ANALISIS ‘URF TERHADAP JUAL BELI TANAH SAWAH DENGAN SISTEM BATA DI DESA BRUDU KECAMATAN SUMOBITO KABUPATEN JOMBANG.

(1)

ANALISIS

URF

TERHADAP JUAL BELI TANAH SAWAH

DENGAN SISTEM

BATA

DI DESA BRUDU KECAMATAN

SUMOBITO KABUPATEN JOMBANG

SKRIPSI Oleh:

SYAIFUDDIN ANAM NIM. C02210002

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Fakultas Syari’ah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam

Prodi Hukum Ekonomi Syari’ah (Muamalah) Surabaya


(2)

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi oleh Siti Fatichah ini telah dipertahankan di depan Tim Penguji Skripsi.

Surabaya, 12 Agustus 2015

Mengesahkan

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Tim Penguji:

Sekertaris,

NrP. 1985061020 1 503 1006 Penguji I,

Prof. Dr. H. Zainul Arifin" M.Ag NrP. 195s0321 198903 1001

ry-ffiH

s"ffi

Ushuluddin dan Filsafat

31002r993031002

NrP. 1 9580 131t992032001


(3)

PENGESAHAN

Skripsi yang telah ditulis Syaifuddln. Anam

NIM'

C02210002

ini

telah

dipertahankan dl

depai-;idd

Majelis

ry*"*l+

Skripsi

Flkultas Svariah dan Hukum trIN Sunan

;;;;lK;uyu

pudu hari Kamis tanggal13

Agustus 2015 dandapatditerimasebagaisalahsatu'peNyaratanuntukmenyel,esaikanprogram

sariana srrata saru

d;i;;-Jr***

uut,r*"'P;;;"

Islam Prodi Hukum

Ekonomi Syutirfl Fakultas Syariah dan Hukum'

Ketua,

Maj elis Munaqasah SkriPsi :

NIP.

Pembimbing' Penguji I,

tv

Prof. Dt 1e. narobaliag-!tt'

tq500szotqgzo3l002

fffioz

-q6aogtotq93031000

196803091996031002 NIP.


(4)

PERSETUJUAN PEMBIMR ING

Skripsi yang berjudul "Analisis Urf Tcrhaclap Jual Beli Tanah Sawah Dengan Sistem Bata dr Desa Bruclu Kecamatan Sumobito I(abupaten Jombang" yang di

tulis oleh Syaifuddin Anam (C02210002) sudah diperiksa dan ciisetujui untuk climunaqasahkan.

Surabaya,05 Juli 2015

,14

/tr

L/

Prof. Dr. H. A Faishal Haq. M.Ag NIP : 195005201982031002


(5)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan yang berjudul “ Analisis ‘Urf Terhadap Jual Beli Tanah Sawah dengan sistem Bata di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang” dan skripsi ini ditulis untuk menjawab pertanyaan bagaimana mekanisme jual beli tanah sawah dengan sistem bata di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang dilakukan dengan cara, merubah satuan meter menjadi bata dengan perbulatan dan bagaimana analisis ‘urf terhadap jual beli tanah sawah dengan sistem bata di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jomnbang.

Jenis penelitian ini dikategorikan sebagai field research (penelitian lapangan), proses sumber data primernya diperoleh dari pihak yang bersangkutan dalam praktik jual beli dengan sistem bata yaitu penjual dan pembeli, teknis pengumpulan datanya melalui observasi, interview dan dokumentasi. Selanjutnya dianalisis menggunakan metode deskriptif analisis yaitu memaparkan atau menjelaskan data yang diperoleh dilapangan dan selanjutnya dianalisis dengan polapokir deduktif, yaitu berangkat dari hal yang bersifat umum mengenai teori jual beli dalam Islam beserta teori ‘urf kemudian digunakan untuk menganalisis temuan di lapangan dengan menggunakan ‘urf

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, Mekanisme jual beli tanah sawah dengan sistem bata di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang dilakukan dengan cara yaitu, merubah satuan meter menjadi bata dengan perbulatan luas yang awalnya 175 bata menjadi 200 bata. Menurut analisis ‘urf jual beli dengan menggunakan sistem bata dari segi perjanjian atau akad kerjanya dikategorikan sah dan dapat dibenarkan menurut hukum Islam, secara jelas objek dan subjeknya telah memenuhi rukun dan syarat yang telah ditetapkan dalam hukum Islam. Karena di dalamnya tidak ada unsur yang dirugikan antara pemilik tanah sawah dan pembeli tanah sawah.

Sejalan dengan kesimpulan di atas, maka saran-saran yang dapat disampaikan kepada pemilik tanah sawah dan pembeli tanah sawah, kedua belah pihak hendaknya lebih memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam praktik jual beli tanah sawah yang sesuai dengan norma-norma agama atau syari’ah Islam. walaupun dilingkungannya terdapat tradisi dengan sistem bata yang lama dipertahankan, hendaklah sedikit dirubah yang dulunya tidak mengacu pada luas sebenarnya, mulai sekarang mengacu pada luas sebenarnya (sertifikat). Kepada mahasiswa, peneliti, dan sebagainya semoga hasil penelitian ini bisa dijadikan rujukan awal, kemudian dikembangkan untuk penelitian yang selanjutnya yang lebih baik dan benar-benar menjadi hasil karya ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya dan bisa berguna untuk pengembangan ilmu hukum bisnis Islam.


(6)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

MOTTO. … ... viii

PERSEMBAHAN ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 7

C. Rumusan Masalah ... 8

D. Kajian Pustaka ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 10

F. Kegunaan Penelitian ... 11

G. Definisi Operasional ... 11

H. Metode Penelitian ... 12

I. Sistematika Pembahasan ... 17

BAB II KONSEP JUAL BELI DAN ‘URF DALAM ISLAM ... 19

A. Konsep Jual Beli dalam Islam ... 19

1. Definisi Jual Beli (Bai’) ... 19

2. Landasan Hukum Jual Beli (Bai’) ... 21

B. Rukun Dan Syarat Jual Beli ... 25

1. Rukun dalam jual beli ... 25

2. Syarat dalam Jual beli ... 27


(7)

1. Jual beli yang sahih ... 36

2. Jual beli yang batil ... 36

3. Jual beli yang fasid ... 37

D. Pengertian ‘Urf ... 39

E. Macam-Macam ‘Urf... 40

1. Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan ... 41

2. Dari segi ruang lingkup penggunaannya ... 41

3. Dari segi penilaian baik dan buruk ... 42

F. Syarat-Syarat ‘Urf ... 43

1. ‘Urf itu berlaku umum ... 43

2. Tidak bertentangan dengan nash Syar’i... 43

3. ‘Urf itu sudah berlaku sejak lama ... 44

4. Tidak berbenturan dengan tashri>h ... 44

5. ‘Urf tidak berlaku atas sesuatu yang telah disepakati ... 44

G. Kedudukan ‘Urf Sebagai Dalil Syara’ ... 45

BAB III MEKANISME JUAL BELI TANAH SAWAH DENGAN SISTEM BATA DI DESA BRUDU KECAMATAN SUMOBITO KABUPATEN JOMBANG ... 48

A. Deskripsi tentang Lokasi Penelitian ... 48

1. Keadaan geografis ... 48

2. Kependudukan dan sosial ekonominya ... 50

3. Sarana pendidikan dan sarana peribadatan ... 53

4. Struktur kepemerintahan ... 54

B. Mekanisme terhadap Jual Beli Tanah Sawah dengan sistem Bata di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang ... 56

1. Pengertian sistem Bata dan definisi Bata menurut masyarakat Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang ... 56


(8)

BAB IV ANALISIS MEKANISME TERHADAP JUAL BELI TANAH SAWAH DENGAN SISTEM BATA DI DESA BRUDU KECAMATAN

SUMOBITO KABUPATEN JOMBANG ... 63

A. Mekanisme Jual Beli Tanah Sawah dengan Sistem Bata di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Jombang ... 63

1. Tradisi... 63

2. Keuntungan sistem bata ... 63

B. Analisis ‘Urf Terhadap Jual Beli Tanah Sawah dengan Sistem Bata di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang ... 64

BAB V PENUTUP ... 68

A. Kesimpulan ... 68

B. Saran ... 68 DAFTAR PUSTAKA


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan mahluk sosial yang memiliki berbagai kebutuhan hidup dan dalam memenuhi kebutuhan tersebut, tidak mungkin diproduksi sendiri. Manusia selalu berhubungan satu sama lain untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.1 Intinya hubungan manusia terhadap manusia yang lain ialah saling membutuhkan satu sama lain, sebagaimana yang Allah SWT perintahkan untuk saling tolong menolong, bahu-membahu untuk mencapai sesuatu yang bisa direalisasikan lewat jual-beli ataupun bentuk hubungan sosial yang lainnya.

Dalam hubungan sosial kita banyak melakukan aktivitas muamalah yang terkadang dinafikan hukumnya karena sudah menjadi kebiasaan umum di tengah kehidupan masyarakat. Sebenarnya kebiasaan umum tidak akan bermasalah ketika sudah dibenarkan secara hukum. Hal ini berbeda ketika kebiasaan itu kontradiksi dengan hukum akan tetapi dikenal umum di tengah kehidupan masyarakat sehingga tidak melanggar hukum misalkan praktek jual-beli dengan menggunakan sistem tradisi. Persoalan tradisi jual beli selalu dinamis dan dalam dinamika tersebut, perlu diperhatikan segala sesuatu yang berkaitan dengan sah atau tidaknya tradisi jual beli itu.

1


(10)

2

Dalam tradisi jual beli supaya tidak menimbulkan permasalahan, kecurangan, penipuan, ketidakadilan yang menafikan kepentingan orang lain dan sikap yang merugikan dari perbuatan yang merusak, dalam hal itu Islam telah mengatur untuk mengantisipasi hal tersebut. Dengan demikian, dalam tradisi jual-beli bisa dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam hukum Islam, sebagaimana Islam memberikan pengarahan untuk melakukan sesuatu yang baik dan melarang yang merusak.

Sebenarnya, praktik jual-beli sudah ada semenjak manusia purba yang kita kenal dengan sistem barter sebelum Islam atau sistem jual-belinya di sesuaikan dengan adat kebiasaan setempat. Tetapi tidak bisa dipungkiri dalam praktik jual-beli sering ditemukan hal-hal yang merugikan masyarakat. Hal ini disebabkan adanya asas kedekatan atau saling percaya yang berkembang dalam tradisi masyarakat, sehingga mereka sering melupakan perjanjian tertulis atau kontrak tertulis seperti bukti pembayaran yang memiliki esensi dapat membantu apabila terjadi perselisihan di kemudian hari.

Jual Beli (bai’) adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu atau barang dengan uang sebagai alat tukarnya.2 Adapun jual beli menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah persetujuan saling mengikat antara penjual dan pembeli. Penjual yakni pihak yang menyerahkan barang, dan pembeli sebagai pihak yang membayar harga yang dijual.3

Hukum jual beli pada dasarnya dibolehkan oleh ajaran agama Islam

selama tidak bertentangan dengan Syara‟, Nabi Muhammaad SAW sendiri

2

Rachmat Syafe‟i, Fiqih Muamalah (Bandung : Pustaka Setia, 2000), 73.

3

Tim penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), 477.


(11)

3

selama hidupnya juga tidak lepas dari perniagaan atau beli. Hukum jual-beli mengalami perkembangan dan perubahan sesuai kemajuan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu aturan Allah yang terdapat dalam

al-Qur‟an tidak menjangkau seluruh segi perkembangan yang berubah itu.

Dewasa ini, praktik jual-beli sangat beragam. Keberagaman itu terjadi di masyarakat Desa Brudu dalam hal jual-beli tanah sawah, salah satunya adalah menggunakan sistem Bata sebagai landasan jual beli yang dilakukan oleh masyarakat Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang. Sebagaimana yang telah diketahui bahwasanya lahan yang berada di Desa Brudu adalah lahan persawahan yang masih luas. Didalam sejarah yang diketahui oleh masyarakat di Desa Brudu, bahwa untuk mendapatkan tanah sawah seluas 1 Hektar yaitu melalui sistem undian, hal itu terjadi setelah penjajahan belanda sekitar tahun 1949.4 Tapi waktu itu pemanfaatan lahan masih belum maksimal seperti pada saat ini, bahkan tidak cukup buat menunjang perekonomian sehari-hari. Karena waktu itu bahan pangan masih sangat sulit didapatkan.

Heru Fuadzin mengatakan bahwa jual beli tanah sawah dengan sistem

Bata di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang sudah lama diterapkan, kurang lebih setelah penjajahan belanda sistem ini sudah ada, dan sistem ini terus berlaku sampai sekarang, walaupun menurutnya ada sedikit perbedaan dalam praktiknya, antara ukuran tanah dengan nilai jualnya, tapi ini memang sudah menjadi tradisi, jadi praktik jual beli tanah sawah dengan

4


(12)

4

sistem Bata di Desa Brudu tidak mengacu pada luas tanah sebenarnya, tapi mengacu pada hitungan tradisi, yaitu dengan sebutan Bata, 300 bata kalau tanah yang berada di utara kampung dan 200 Bata kalau tanah di selatan kampung. 1 (satu) bata sama dengan panjang 14 (empat belas) meter dan lebarnya 1 (satu) meter, meski ukuran sebenarnya tidak sampai 200 atau 300 bata.5

Misalkan tanah yang berada di utara kampung dengan luas yang tertera di sertifikat adalah 3990 meter, dalam hitungan bata yaitu 285 bata, dalam hitungantradisi dibulatkan menjadi 300 bata. Sedangkan tanah yang berada di selatan kampung luas yang tertera di sertifikat 2450 meter, dalam hitungan bata yaitu 175 bata, dalam hitungan tradisi di bulatkan menjadi 200

bata. Dengan adanya tradisi ini, masyarakat Desa Brudu merasa beruntung kalau tanahnya laku terjual, karena harganya yang relatif tinggi.

Pernyataan yang sama juga disampaikan Kasnadi kalau tradisi jual beli tanah sawah di Desa Brudu memang sudah mengikuti tradisi dari nenek moyang yang terdahulu. Jadi sampai kapanpun tradisi jual beli seperti ini akan tetap ada bahkan sampai tujuh turunan lebih. Awal mulanya kurang tau kenapa sampai ada tradisi seperti ini, mungkin saja tanah disini sangat berpotensi untuk menunjang perekonomian ke depan, seperti pertanian dan lain-lain. Dan tanah disini juga sudah bersertifikat semua. Harga jualnya mulai Rp.1.500.000,00. sampai Rp.2.000.000,00. per batanya. Walau

5


(13)

5

terbilang lumayan mahal, tapi tidak henti-hentinya orang datang untuk membeli tanah disini, bahkan tanpa ada tawar menawar sedikitpun.6

Seperti yang disampaikan Bapak Sadak, dia menjual sebagian tanahnya kepada Bapak Jarkawiyang berada di selatan Desa atau selatan perkampungan warga dengan luas sekitar 175 bata, harga 1 (satu)batanya Rp.1000.000,00.- tapi dalam hitungan tradisinya dibulatkan menjadi 200

bata. Jadi semua jumlah uang yang diperoleh Bapak Sadak dari hasil penjualan tahah sawah senilai Rp.200.000.000,00-.7

Melihat sistem jual beli tradisi Bata ini dalam hukum Islam sebenarnya telah memiliki istilah yang di sebut dengan ‘urf. ‘Urf adalah sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.8 Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi, jika tidak bertentangan dengan Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah. Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyarakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Misal adat kebiasaan yang diakui, kerja sama dagang dengan cara berbagi untung ( al-Mudarabah). Praktik seperti ini telah berkembang di bangsa Arab sebelum Islam. Berdasarkan kenyataan ini, para Ulama menyimpulkan bahwa adat

6

Kasnadi,Wawancara, Jombang, 30 Agustus 2014.

7

Sadak,Wawancara, Jombang, 29 September 2014.

8


(14)

6

istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan landasan hukum, bilamana memenuhi beberapa persyaratan.

1. ‘Urf itu harus berlaku secara umum dalam mayoritas kalangan masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut, baik itu ‘urf dalam bentuk praktek, perkataan, umum dan khusus.

2. ‘Urf itu memang telah memasyarakat sebelumnya.

3. ‘Urf tidak bertentangan dengan apa yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi. Seperti apabila dalam suatu transaksi dikatakan secara jelas bahwa si pembeli akan membayar uang kirim barang, sementara

‘urf yang berlaku adalah si penjuallah yang menanggung ongkos kirim, maka dalam kasus seperti ini ‘urf tidak berlaku.

4. ‘Urf tidak bertentang dengan nash, sehingga menyebabkan hukum yang

dikandung nash tersebut tidak bisa diterapkan. „Urf seperti ini tidak dapat

dijadikan dalil syara‟ karena kehujjahan ‘urf baru bisa diterima apabila tidak ada nash yang mengandung hukum permasalahan yang di hadapi.9

Dari penggambaran sistem jual beli dan „Urf pada latar belakang di atas, maka penulis tertarik meneliti, dan yang akan diteliti dalam skripsi yang berjudul “Analisis Urf Terhadap Jual Beli Tanah Sawah Dengan Sistem Bata di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang”.

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah

9


(15)

7

Dari uraian latar belakang masalah di atas, masalah-masalah yang dapat diidentifikasi yaitu :

1. Jual beli tanah sawah dengan sistem Bata

2. Jumlah luas tanah sawah berdasarkan sebutan Bata dan tidak berdasarkan surat tanah (Sertifikat).

3. Tradisi jual beli tanah sawah merugikan salah satu pihak

4. Tidak adanya tawar menawar dalam praktik jual beli tanah sawah 5. Syarat dan rukun jual beli

6. Sistem jual beli tanah sawah dalam hukum Islam

7. Mekanisme jual beli tanah sawah dengan sistem Bata di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang

8. Analisis ‘urf terhadap jual beli tanah sawah dengan sistem Bata di desa tersebut.

Sedangkan batasan masalah yang sudah diuraikan pada latar belakang di atas meliputi tentang :

1. Mekanisme jual beli tanah sawah dengan sistem Bata di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang

2. Analisis ‘urf terhadap jual beli tanah sawah dengan sistem Bata di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang


(16)

8

C. Rumusan Masalah

Dari pemaparan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka rumusan masalahnya adalah :

1. Bagaimana mekanisme jual beli tanah sawah dengan sistem Bata di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang?

2. Bagaimana analisis ‘Urf terhadap jual beli tanah sawah dengan sistem

Bata di Desa tersebut?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.10

Setelah penulis menelusuri kajian sebelumnya, penulis menemukan skripsi yang membahas kajian yang terkait dengan jual beli tanah sawah yakni :

1. Skripsi yang di tulis oleh Siti Muniroh di IAIN Sunan Ampel Surabaya

pada tahun 2004 dengan judul “Tinjauan Hukum Islam terhadap kasus

Praktik Adol Sawah di Desa Widang Kecamatan Widang Kabupaten

Tuban”. Dalam skripsi ini Muniroh menggunakan metode deskriptif analitik yaitu dengan memaparkan data dan informasi tentang praktik Adol

Sawah di Desa Widang. Penelitian ini membahas tentang permasalahan

10

Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi (Surabaya: Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2014), 8.


(17)

9

“Apakah praktik Adol sawah yang telah mentradisi di kalangan masyarakat Widang sejalan dengan ketentuan Hukum Islam”. Karena praktik Adol sawah penjual menjual sawah dengan ketentuan waktu dan pembayarannya menggunakan emas, dengan ketentuan jika waktu tersebut telah selesai, maka emas akan kembali kepada pembeli dan sebaliknya sawah tersebut akan kembali kepada penjual, dan kepemilikan di sini bukan kepemilikan benda dan bukan pula kepemilikan penuh.11

Sedangkan dalam skripsi yang akan di teliti ini lebih menerangkan pada Mekanisme jual beli tanah sawah dengan sistem Bata di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang dan di Analisis dengan Hukum Islam.

2. Skripsi yang ditulis oleh Muhaimin di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2014 dengan judul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktik Jual Beli Tanah di Lahan Perhutani Di Desa Sidaurip Kecamatan

Gandrung Mangu Kabupaten Tuban”. Dalam skripsi Muhaimin menekankan pada praktik jual beli tanah di lahan perhutani dan di tinjau dari hukum Islam. Skripsi ini menggunakan metode deskriptif yaitu penilaian dan gambaran mengenai persoalan jual beli tanah di lahan perhutani Desa Sidaurip. Dan penelitian ini hanya di fokuskan mengenai jual beli tanah di lahan perhutani saja.12

11

Siti Muniroh, “Tinjauan Hukum Islam terhadap kasus Praktik Adol Sawah di Desa Widang

Kecamatan Widang Kabupaten Tuban” (Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2004), 7.

12 Muhaimin, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktik Jual Beli Tanah di Lahan Perhutani di

Desa Sidaurip Kecamatan Gandrung mangu Kabupaten Cilacap” (Skripsi UIN Sunan Kalijaga, Yoyakarta 2014), 7.


(18)

10

Penelitian ini membahas tentang jual beli tanah di lahan perhutani yang masih tersebut merupakan lahan sengketa dan lahan tersebut tidak di lengkapi dengan surat tanah (sertifikat). Sedangkan yang akan di bahas oleh penulis yaitu jual beli tanah sawah yang memang tanah tersebut milik masyarakat Desa Brudu dan tanah tersebut sudah di lengkapi dengan surat tanah (sertifikat) hanya saja dalam tradisi jual belinya menggunakan sebutan Bata.

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Menjelaskan mekanisme jual beli tanah sawah dengan sistem Bata Di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang

2. Untuk mengetahui analisis ‘urf terhadap jual beli tanah sawah dengan sistem Bata di Desa tersebut.


(19)

11

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Skripsi dengan judul “Analisis ‘Urf Terhadap jual beli Tanah Sawah dengan sistem Bata di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang” ini berguna untuk :

1. Secara teoritis : Merumuskan kaidah hukum Islam terkait dengan jual beli khususnya tentang jual beli tanah sawah dengan sistem Bata.

2. Secara praktis : Menambah wawasan kepada pembaca untuk memahami hukum jual beli yang diperbolehkan oleh Syara’ khususnya dalam jual beli tanah sawah dengan sistem Bata di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang. Agar mereka lebih tahu tentang jual beli dengan sistem Bata yang dibolehkan dan tidak bertentangan dengan Hukum Islam, sehingga pada akhirnya mereka lebih bisa menilai tentang bagaimana transaksi yang akan dilakukannya.

G. Definisi Operasional

Untuk memudahkan dalam memahami judul skripsi “Analisis ‘Urf

Terhadap Jual Beli Tanah Sawah dengan Sistem Bata di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang” maka penulis akan menjelaskan beberapa unsur istilah yang terdapat dalam judul skripsi ini, diantaranya:

‘Urf : Sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.13

13Muin


(20)

12

Jual beli : Suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu memberi benda dan pihak lain menerimanya.14 Sistem Bata : Sistem jual beli yang digunakan oleh masyarakat Brudu dalam

melakukan transaksi jual beli tanah sawah, yaitu dengan mengubah satuan meter menjadi bata dan sistem ini tidak berpedoman pada surat tanah (sertifikat). (satu) bata adalah empat belas kali satu meter.15

H. Metode Penelitian

Bentuk penelitian yang digunakan adalah field research (penelitian lapangan) dengan memakai metode penelitian kualitatif dengan konsep peneliti akan memaparkan permasalahan yang sebenarnya sebagaimana penelitian yang telah dilakukan dengan metode ilmiah lain sebagai penunjang.16 Metode ilmiah lain yang dimanfaatkan untuk menunjang terpenuhinya data adalah metode penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data atau keterangan dengan bantuan buku-buku yang terdapat dalam perpustakaan kemudian akan dianalisis dengan metode deskriptif analisis.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu mengenai mekanisme jual beli tanah sawah dengan sistem bata di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang dan data mengenai analisis urf

14

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT. raja Grafindo Pustaka, 2002), 68

15

Heru Fuadzin, Wawancara.

16


(21)

13

terhadap jual beli tanah sawah di desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang yang meliputi beberapa sumber data, diantaranya:

1. Sumber Data.

Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dari mana data dapat diperoleh, baik menggunakan kuisioner atau wawancara dalam pengumpulan datanya, baik secara tertulis maupun lisan.17 Secara garis besar, sumber data penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.

a. Sumber data primer

Sumber data primer adalah data yang langsung memberikan informasi data kepada pengumpul data yang diambil dari pihak yang melakukan praktik jual beli tanah sawah di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang, meliputi orang yang bertransaksi seperti Bapak Kasmari, Jalil, sebagai pemilik tanah sawah atau sebagai penjual dan Bapak Mahmud, Sarbani, Teguh sebagai pembeli.

17


(22)

14

b. Sumber data Sekunder

Sumber data sekunder adalah data yang secara tidak langsung memberikan informasi kepada pengumpul data.18 Misalnya, melalui orang lain atau dokumen, untuk memperoleh generalisasi yang bersifat ilmiah atau memperoleh pengetahuan ilmiah yang baru, dan dapat pula berguna sebagai pelengkap informasi.19

1. Ilmu Ushul Fiqh kaidah hukum Islam, dikarang oleh Wahab Abdul Khallaf. (Jakarta Pustaka Amani, 1977)

2. Fiqh Muamalat, dikarang oleh Abdul Rahman Ghazaly, et, al. (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010)

3. Fiqh Muamalah, dikarang oleh Ahmad Wardi Muslich. (Jakarta : Amzah 2010)

4. Asas-asas Hukum Muamalah, dikarang oleh Ahmad Azhar Basyir. (Yogyakarta : UII Press, 2000)

5. Berbagai macam transaksi dalam Islam, dikarang oleh Ali Hasan (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003)

6. Garis-garis besar Fiqh, dikarang oleh Amir Syamsuddin. (Jakarta Timur : Prenada media, 2003)

7. Ushul Fikih 2, dikarang oleh Amir Syamsuddin. (Jakarta: Prenada media Group 2011)

8. Hukum Perjanjian dalam Islam, dikarang oleh Chairuman Pasaribu. (Jakarta : Sinar Grafika, 1994)

18

Ibid., 225.

19


(23)

15

9. Fiqh Muamalah, dikarang oleh Hendi Suhendi. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Pustaka, 2002)

10. Ushul Fiqh, dikarang oleh Abd Rahman Dahlan. (Jakarta : Amzah 2011)

11. Ushul Fiqh 1, dikarang oleh Muin Umar, et al. (Jakarta : Depag RI 1986)

12. Fiqih Muamalah, dikarang oleh Nasrun Haroen (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007)

13. Fiqih Muamalah, dikarang oleh Rachmat syafe‟i (Bandung : Pustaka Setia, 2000)

14. Hukum Ekonomi Islam, dikarang oleh Suhrawardi K Lubis. (Jakarta : Sinar Grafika, 2000)

15. Al-Fiqh al-Islami Wa-Adillatuhu, dikarang oleh Wahbah Az-Zuhaily. (Damaskus : Dar al-Fiqh al-Mu‟asim, 2005)

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan beberapa metode untuk menjawab problematika, mencapai tujuan dan membuktikan hipotesis dalam penelitian ini, di antaranya :

a. Observasi, yaitu pengamatan langsung pada objek yang diteliti dengan melihat langsung apa yang terjadi di lapangan, kemudian mencatat hasil yang telah diperoleh di lapangan.20

20

Boedi Abdullah. Metode Penelitian Ekonomi Islam. Muamalah (Bandung: Pustaka Setia 2014), 204.


(24)

16

b. Interview, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan pada para responden.21

c. Dokumentasi, yaitu mencari data yang bersumber dari catatan, transkip, buku, majalah, jurnal, blog, dan sebagainya.

3. Teknik Pengolahan Data

Setelah seluruh data terkumpul maka dilakukan analisis data secara kualitatif dengan tahapan sebagai berikut:22

a. Editing, pemeriksaan kembali data yang diperoleh yaitu tentang proses praktik tradisi jual beli di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang.

b. Organizing, menyusun dan mensistematiskan data yang di peroleh baik dari data primer maupun sekunder.

c. Analizing, setelah editing dan organizing dilakukan maka proses pengolahan data selanjutnya adalah menganalisis data-data yang telah ada dengan metode yang telah ditentukan.

4. Teknik Analisis Data

Teknik yang digunakan untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini menggunakan metode:

a. Deskriptif, yaitu objek penelitian yang menggambarkan status sekelompok manusia, kondisi sosial, suatu sistem pemikiran ataupun

21

P. Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teoridan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,2007),3.

22


(25)

17

kebiasaan masyarakat di Desa Brudu dalam melakukan jual beli tanah sawah.23

b. Pola pikir Deduktif yaitu mengemukakan teori jual beli secara umum, kemudian digunakan untuk menganalisis teori jual beli secara khusus.

I. Sistematika Pembahasan

Dalam sistematika pembahasan ini menjelaskan runtutan pembahasan terhadap skripsi mulai bab pertama sampai bab ke lima, diantaranya:

Bab Pertama : Pendahuluan yang berisi tentang pokok-pokok pikiran atau landasan permasalahan yang melatarbelakangi penelitian ini, sehingga memunculkan gambaran isi tulisan yang terkumpul dalam konteks penelitian, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, defenisi operasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab Kedua : Merupakan deskripsi tentang bai’ (jual beli) menurut hukum Islam yang terdiri dari, konsep bai’, landasan hukum bai’, rukun dan syarat bai’, aspek penting dalam bai’ yang fasid, batil dan gharar, berakhirnya akad bai’ dan deskripsi tentang ‘urf, meliputi. Konsep ‘urf, landasan hukum

‘urf, macam-macam ‘urf, syarat-syarat ‘urf yang shahih atau fasid dan kedudukan ‘urf.

Bab Ketiga : Memuat tentang mekanisme jual beli tanah sawah dengan sistem Bata di desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang,

23


(26)

18

mengenai deskripsi daerah, latar belakang terjadinya praktik tradisi jual beli tanah sawah di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang dengan sistem Bata, pendapat Ulama‟ setempat mengenai praktik tradisi jual beli tanah sawah dengan sistem Bata di desa tersebut

Bab Keempat: Analisis ‘urf terhadap jual beli tanah sawah dengan sistem Bata menurut tradisi setempat di lihat dari segi akadnya, dan ditinjau dari segi prakteknya.

Bab Kelima: Bab ini merupakan bab penutup yang menyajikan kesimpulan yang di lengkapi dengan saran-saran.


(27)

BAB II

KONSEP JUAL BELI DAN URF DALAM ISLAM

A. Konsep Jual Beli dalam Islam

Dalam jual beli terdapat beberapa konsep yang perlu di pahami sebelum terjadinya proses akad jual beli, diantaranya:

1. Definisi Jual Beli (Bai’)

Secara terminologi, terdapat beberapa definisi Jual Beli yang

dikemukakan Ulama‟ fiqih, sekalipun subtansi dan tujuan masing-masing adalah sama. Perkataan jual beli sebenarnya terdiri dari dua suku kata yaitu

“jual dan beli”. Sebenarnya kata “jual dan beli” mempunyai arti yang satu

sama lainnya bertolak belakang. Kata jual menunjukan bahwa adanya perbuatan menjual, sedangkan beli adalah adanya perbuatan membeli.1 Dengan demikian perkataan jual beli menunjukan adanya dua perbuatan dalam satu peristiwa, yaitu satu pihak menjual dan pihak yang lain membeli, maka dalam hal ini terjadilah peristiwa hukum jual beli.2

Dari ungkapan di atas terlihat bahwa dalam perjanjian jual beli itu terlibat dua pihak yang saling menukar atau melakukan pertukaran. Menurut pengertian Syari‟a>t, yang dimaksud dengan jual beli adalah

“pertukaran harta atas dasar saling rela atau memindahkan hal milik

1

Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah (Jakarta: Amzah, 2010), 173.

2


(28)

20

dengan ganti rugi yang dapat dibenarkan (yaitu berupa alat tukar yang sah).3

Dari definisi yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa jual beli itu dapat terjadi dengan cara :

a. Pertukaran harta antara dua pihak atas dasar saling rela dan

b. Memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan yaitu berupa alat tukar yang diakui sah dalam lalu lintas perdagangan.

Dalam istilah lain pengertiannya dengan obyek hukum, yaitu meliputi segala benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, yang dapat dimanfaatkan atau berguna bagi subyek hukum. Pertama yaitu, pertukaran harta atas dasar saling rela ini dapat dikemukakan bahwa jual beli yang dilakukan adalah dalam bentuk barter atau pertukaran barang (dapat dikatakan bahwa jual beli ini adalah dalam bentuk pasar tradisional).4

Kedua, yaitu “memindahkan milik yang dengan ganti yang dapat dibenarkan”, di sini berarti barang tersebut dipertukarkan dengan alat ganti

yang dapat dibenarkan, adapun yang dimaksud dengan ganti yang dapat dibenarkan disini berarti milik/harta tersebut dipertukarkan dengan alat pembayaran yang sah, dan diakui keberadaannya misalnya uang rupiah dan lain-lain sebagainya.

3

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Pustaka, 2002), 67-68.

4


(29)

21

2. Landasan Hukum Jual Beli (Bai’)

Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah SAW. Tidak sedikit kaum muslimin yang lalai mempelajari hukum jual beli, bahkan melupakannya, sehingga tidak meperdulikannya apakah yang dilakukan dalam jual beli itu haram atau tidak. Keadaan seperti itu merupakan kesalahan besar yang harus dicegah, agar semua kalangan yang bergerak dibidang perdagangan mampu membedakan mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak.

Terdapat ayat al-Qur‟an yang berbicara tentang jual beli, di antaranya yaitu:

a. Surat al-Baqarah ayat 275:

         

Artinya : Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (Q.S. al-Baqarah 275).5

b. Surat an-Nisa ayat 29:

                                          

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali

5


(30)

22

dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu (Q.S. An-Nisa 29).6

c. Surat al-Baqarah ayat 198:

                                              

Artinya : Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah

menolak dari „arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy‟arilharam dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagai yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang yang sesat. (Q.S. Al-Baqarah 198).7

Sedangkan menurut ijmak, ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya sendiri, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.

Dari kandungan ayat-ayat Al-Quran di atas, para ulama fiqih mengatakan bahwa hukum dari jual beli itu adalah mubah (boleh). Akan tetapi, pada situasi-situasi tertentu, menurut Imam asy-Syatibi (w. 790 H), pakar fiqih Maliki, hukumnya boleh berubah menjadi wajib, Imam

6

Abdur Rahman Ghazaly, et al., Fiqih Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 68.

7


(31)

23

Syatibi memberi contoh ketika terjadi praktik ihtika>r (penimbunan barang sehingga stok hilang dari pasar sehingga harga melonjak naik).

1. Definisi jual beli menurut Ulama Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah, jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan kepemilikan.8 Penekanan definisi jual beli menurut 3 madzhab ulama di atas, adalah pada kata milik dan kepemilikan dengan maksud untuk mebedakan antara transaksi jual beli dan transaksi sewa menyewa (al-Ija>rah).

2. Definisi jual beli menurut ulama Hanafiyah adalah: Saling menukar harta dengan harta dengan cara tertentu atau tukar menukar sesuatu yang diinginkan dengan yang sepadan melalui cara yang bermanfaat. Yang dimaksud dengan cara khusus dalam definisi jual beli ulama Hanafiyah di atas adalah harus ada ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan qabul (pernyataan menjual dari penjual). Selain itu, barang yang perjualbelikan haruslah barang yang bermanfaat bagi manusia, contoh bangkai, minuman keras adalah barang yang tidak bermanfaat, maka menurut ulama Hanafiyah, jual beli barang tidak bermanfaat tersebut hukumnya tidak sah.9

Apabila seseorang melakukan ihtika>r dan mengakibatkan melonjaknya harga barang yang ditimbun dan disimpan itu, maka menurutnya, pihak pemerintah boleh memaksa pedagang untuk menjual

8

Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa-Adillatu. Jilid IV (Bairut: Dara al-Fikr, 1989)

9


(32)

24

barangnya itu sesuai dengan harga sebelum terjadinya pelonjakan harga. Dalam hal ini, menurutnya, pedagang itu wajib menjual barangnya sesuai dengan ketentuan pemerintah. Hal ini sesuai dengan prinsip asy-Syatibi bahwa yang mubah itu apabila ditinggalkan secara total, maka hukumnya boleh menjadi wajib. Apabila sekelompok pedagang besar melakukan boikot tidak mau menjual beras lagi, pihak pemerintah boleh memaksa mereka untuk berdagang beras dan pedagang ini wajib melaksanakannya. Demikian pula dalam komoditi-komoditi lainnya.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa inti jual beli ialah suatu tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai, suka rela antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang lebih dibenarkan oleh syara' dan disepakati. Yang dimaksud dengan ketetapan hukum ialah memenuhi persyaratan-persyaratan, rukun-rukun dan hal-hal lainnya yang ada kaitannya dengan jual beli, maka syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara'. Yang dimaksud benda yang dapat mencakup pada pengert ian barang dan uang, sedangkan sifat benda tersebut harus dapat dinilai, yakni benda yang berharga dan dapat dibenarkan penggunaanya menurut syara', benda itu adakalanya bergerak (dapat dipindahkan) dan ada kalahnya tetap (tidak dapat dipindahkan), dapat dibagi-bagi, adakalanya tidak dapat dibagi-bagi, harta yang ada perumpamaanya (mit}sli) dan tak ada yang menyerupainya (qi}mi) dan


(33)

25

yang lainnya, penggunaan harta tersebut dibolehkan sepanjang tidak dilarang oleh syara'.

B. Rukun dan Syarat Jual Beli

Sebelum terjadinya proses kegiatan jual beli, rukun dan syarat hendaklah dipenuhi, sebab apabila terdapat rukun atau syarat yang tidak terpenuhi, maka kegiatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan jual beli.

1. Rukun dalam jual beli

Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga jual beli itu dapat dikatakan sah oleh syara'. Dalam menentukan rukun jual beli, terdapat perbedaan pendapat ulama Hanafiyah dengan jumhur ulama. Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan qabul (ungkapan menjual dari penjual).10

Menurut mereka yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli. Akan tetapi, karena unsur kerelaan itu merupakan unsur hati yang sulit untuk diindera sehingga tidak kelihatan, maka perlu indikasi yang menunjukkan kerelaan itu dari kedua belah pihak. Indikasi yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual, menurut mereka, boleh

10


(34)

26

tergambar dalam ijab dan qabul, atau melalui cara saling memberikan barang dan harga (ta'ati).11

Akan tetapi, jumhur ulama‟ menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu:

a. Penjual

Penjual adalah seorang yang berakad atau muta>'aqidain (penjual dan pembeli) benda atau barang kepada pihak lain atau pembeli baik individu maupun kelompok.

b. Pembeli

Pembeli adalah seorang atau sekelompok orang yang membeli benda/barang dari penjual baik individu maupun kelompok.

c. Shighat (Ijab-Qabul)

Rukun yang pokok dalam akad (perjanjian) jual beli adalah (ijab-qabul) yaitu ucapan penyerahan hak milik di satu pihak dan ucapan penerimaan di pihak lain. Adanya (ijab qabul) dalam transaksi ini merupakan indikasi adanya rasa suka sama suka dari pihak-pihak yang mengadakan transaksi.12

Pernyataan transaksi adalah bentuknya yang dilaksanakan lewat ijab qabul yang melibatkan komitmen kedua belah pihak, atau hanya dengan ijab saja jika komitmen itu dari satu pihak. Semua syariat menyepakati bahwa dianggap ada dan terealisasikannya sebuah transaksi ditandai dengan adanya pernyataan yang menunjukkan

11

Ibid, 196

12


(35)

27

kerelaan dari kedua belah pihak untuk membangun komitmen bersama. Adapun cara yang dianggap boleh oleh agama menurut Hanafi adalah jual beli dapat terjadi dengan kata yang menunjukkan kerelaan untuk perpindahan kepemilikan harta sesuai tradisi masyarakat tertentu.13

Ijab ataupun qabul tidak harus secara berurutan. Jika salah satu dari keduanya, maka tidak mengharuskan pihak lain sebelum adanya bagian terakhir. Hal terpenting adalah bahwa masing-masing dari kedua belah pihak pada saat melakukan transaksi boleh memilih natara menerima ataupun mengembalikan barang.14

d. Ma’qud ‘alaih (objek akad). adalah objek akad benda-benda yang dijadikan akad yang bentuknya tampak dan membekas dan barang tersebut dapat berbentuk harta benda, sepeti barang dagangan, benda bukan harta seperti dalam akad pernikahan dan dapat pula berbentuk suatu kemanfaatan seperti dalam masalah upah-mengupah.15

2. Syarat dalam Jual Beli

Dalam transaksi jual beli harus terpenuhi empat syarat, yaitu syarat terjadinya transaksi, syarat sah jual beli, syarat berlaku jual beli dan syarat keharusan (komitmen) jual beli. Tujuan dari syarat-syarat ini secara umum untuk menghindari terjadinya sengketa di antara manusia, melindungi kepentingan kedua belah pihak, menghindari terjadinya (kemungkinan) manipulasi dan menghilangkan kerugian karena faktor.16

13

Wahbah Al-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 5. (Jakarta: Gema Insani, 2011), 29.

14

Ibid., 32.

15

Ibid, 33.

16


(36)

28

a. Syarat terjadinya transaksi jual beli (Syart al-in’iqa>d)

Syart al-in’iqa>d adalah syarat yang harus terpenuhi agar akad

jual beli dipandang sah menurut syaria‟h. Apabila syarat ini tidak terpenuhi, maka akad jual beli menjadi batal. Di kalangan ulama tidak ada kesepakatan mengenai syarat in‟iqad ini.

Hanafiah mengemukakan empat macam syarat untuk keabsahan jual beli:

1) Syarat untuk ‘a>qid (orang yang melakukan akad), yaitu penjual dan pembeli ada tiga:

a) a>qid harus berakal yakni mumayyiz. Maka tidak sah akad yang dilakukan oleh orang gila dan anak yang belum berakal (belum

mumayyiz).

b) a>qid (orang yang melakukan akad) harus berbilang (tidak sendirian). Dengan demikian, akad yang dilakukan oleh satu orang yang mewakili dua pihak hukumnya tidak sah, kecuali apabila dilakukan oleh ayah yang membeli barang dari anaknya yang masih di bawah umur dengan harga pasaran.17

c) dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa), maksudnya adalah dalam melakukan perbuatan jual beli tersebut salah satu pihak tidak melakukan suatu tekanan atau paksaan kepada pihak lainnya, sehingga pihak yang lain tersebut melakukan perbuatan jual beli bukan lagi disebabkan kemauannya sendiri, tapi

17


(37)

29

disebabkan adanya unsur paksaan, jual beli yang dilakukan bukan

atas dasar‚ kehendaknya sendiri adalah tidak sah.18

2) Syarat berkaitan dengan akad itu sendiri

Syarat akad yang sangat penting adalah qabul yang harus sesuai dengan ijab, dalam arti pembeli menerima apa yang di-ijab-kan (dinyatadi-ijab-kan) oleh penjual. Apabila terdapat perbedaan antara qabul dan ijab, misalnya pembeli menerima barang yang tidak sesuai dengan yang dinyatakan oleh penjual, maka akad jual beli tidak sah. 3) Syarat berkaitan dengan tempat akad

Syarat yang berkaitan dengan tempat akad adalah ijab dan qabul harus terjadi dalam satu majlis. Apabila ijab dan qabul berbeda majlisnya, maka akad jual beli tidak sah.

4) Syarat Berkaitan dengan Objek Akad (ma’qu>d ‘alaih).19

Syarat-syarat yang berkaitan dengan barang yang diperjualbelikan sebagai berikut:

a) Barang itu ada

b) Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia c) Millik seseorang

d) Boleh diserahkan saat akad berlangsung atau pada waktu yang disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.20

18

Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian dalam Islam (Jakarta: Sinar Grafika,1994), 35.

19

Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, 187-189.

20


(38)

30

e) Barang yang diakadkan ada di tangan, yakni barang yang akan diperjualbelikan sudah berada dalam penguasaan penjual atau barang tersebut sudah diterima pembeli.21

b. Syarat Berlakunya Transaksi Jual Beli

Pertama, hak pemilikan dan hak wewenang. Hak milik adalah hak memeliki barang di mana hanya orang yang memilkinya yang mampu

berkuasa penuh atas barang itu selama tidak ada halangan syar‟i.

Sementara hak wewenang adalah kekuasaan resmi yang diberikan oleh agama agar bisa melegalkan ataupu melakukan sebuah transaksi. Ada dua jenis hak wewenang, hak wewenang asli, yaitu seseorang memiliki hak untuk mengurusi dirinya dengan dirinya sendiri ataupu hak wewenang perwakilan, yaitu seseorang mengurusi orang lain yang tidak sempurna hak kapasitasnya. Hak berkuasa tipe kedua ada dua macam, yaitu mengganti hak pemilik dan disebut wakil, dan mewakili pemberi kekuasaan dan perwakilan ini disebut wali. Mereka adalah bapak, kakek, hakim, wali yang ditunjuk bapak, lalu walinya, kakek, lalu walinya, hakim, lalu walinya.

Kedua, hendaknya pada barang yang dijual tidak ada hak milik selain penjual. Jika saja pada barang yang dijual itu ada hak orang lain, maka jual beli tertangguhkan belum terlaksana. Atas dasar ini pula, jual beli orang pegadaian atas barang gadaian tidak bisa terlaksana, juga

21


(39)

31

tidak terlaksana jual beli orang yang menyewakan barang yang disewakan.22

c. Syarat Sahnya Transaksi

Syarat sah ini terbagi kepada dua bagian, yaitu syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum adalah syarat yang harus ada pada setiap

jenis jual beli agar jual beli tersebut dianggap sah menurut syara‟. Secara global akad jual beli harus terhindar dari enam macam „aib : a. Ketidakjelasan (jahalah), b. Pemaksaan (al-ikra>h), c. Pembatasan dengan waktu (at-tauq>it), d. Penipuan (ghara>r), e. Syarat-syarat yang merusak.23

a) Ketidakjelasan (al-jahalah)

Yang dimaksud disini adalah ketidakjelasan yang serius yang mendatangkan perselisihan yang sulit untuk diselesaikan. Ketidakjelasan ini ada empat macam, yaitu:

1) Ketidakjelasan dalam barang yang dijual, baik jenisnya, macamnya, atau kadarnya menurut pandangan pembeli.

2) Ketidakjelasan harga

3) Ketidakjelasan masa (tempo), seperti harga yang diangsur atau dalam khiyar syarat. Dalam hal ini waktu harus jelas, apabila tidak jelas maka akad jual beli batal.

4) Ketidakjelasan dalam langkah-langkah penjaminan. Misalnya penjual mensyaratkan diajukannya seorang kafil (penjamin).

22

Wahba Al-Zuhaili, Fiqih Islam, 48-49.

23


(40)

32

Dalam hal ini penjamin tersebut harus jelas. Apabila tidak jelas maka akad jual beli menjadi batal.

b) Pemaksaan (Al-Ikra>h)

Pengertian pemaksaan adalah mendorong orang lain (yang dipaksa) untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak disukainya. Paksaan ini ada dua macam;

1) Paksaan Absolute ( ), yaitu paksaan dengan

ancaman yang sangat berat, seperti akan dibunuh atau dipotong anggota badannya.

2) Paksaan Relative ( ), yaitu paksaan dengan

ancaman yang lebih ringan, seperti dipukul.

Kedua ancaman tersebut mempunyai pengaruh terhadap jual beli, yakni menjadikannya jual beli yang fasid menurut jumhur Hanafiah dan mauquf menurut Zufar.24

c) Pembatasan dengan Waktu (At-Tauq>it)

Pembatasan dengan waktu yaitu jual beli yang dibatasi waktunya. Seperti, “Saya jual baju ini kepadamu untuk selama satu bulan atau satu tahun”. Jual beli semacam ini hukumnya fa>sid, karena kepemilikan atas suatu barang, tidak bisa dibatasi dengan waktu.

d) Penipuan (Gharar)

24


(41)

33

Penipuan yang dimaksud disini adalah gharar (penipuan) dalam sifat barang, seperti, seseorang menjual sapi dengan pernyataan bahwa sapi itu air susunya sehari sepulu liter, padahal kenyataannya paling banyak dua liter, apabila dia menjual dengan pernyataan bahwa air susunya lumayan banyak tanpa menyebutkan kadarnya maka termasuk syarat yang sahi>h. Akan tetapi, apabila

gharar (penipuan) pada wujud (kadarnya) barang maka ini membatalkan jual beli.

e) Syarat yang Merusak.

Yaitu setiap syarat yang ada manfaatnya bagi salah satu pihak yang bertransaksi, tetapi syarat tersebut tidak ada dalam syara‟ dan adat kebiasaan atau tidak dikehendaki oleh akad atau tidak selaras dengan tujuan akad. Seperti seseorang yang menjual mobil dengan syarat ia (penjual) akan menggunakannya selama satu bulan setelah terjadinya akad jual beli atau seseorang menjual rumah dengan syarat ia (penjual) boleh tinggal di rumah itu selama masa tertentu setelah terjadi akad jual beli itu.

Syarat yang fa>sid apabila terdapat dalam akad mu‟awadlah maliyah, seperti jual beli atau ija>rah, akan menyebabkan akadnya fasid, tetapi tidak dalam akad-akad yang lain, seperti akad tabarru‟ (hibah atau wasiat) dan akad nikah. Dalam akad-akad ini syarat yang fasid tersebut tidak berpengaruh sehingga akadnya tetap sah.25

25


(42)

34

Adapun syarat-syarat khusus yang berlaku untuk jenis jual beli adalah sebagai berikut:

1) Barang harus diterima.

2) Mengetahui harga pertama apabila jual belinya berbentuk

murabahah, tauliyah, wadhi’ah atau isyra>k.

3) Saling menerima (taqabudh) penukaran, sebelum berpisah, apabila jual belinya jual beli sharf (uang).

4) Dipenuhi syarat-syarat salam, apabila jual beli salam (pesanan). 5) Harus sama dalam penukarannya, apabila barangnya ribawi. 6) Harus diterima utang piutang yang ada dalam perjanjian, seperti

muslam fih dan modal salam dan menjual sesuatu dengan untang kepada selain penjual.26

d. Syarat Kelaziman Jual Beli

Syarat-syarat luzuum transaksi harus diperhatikan setelah syarat-syarat sah dan berlakunya transaksi telah terpenuhi. Yang dimaksud syarat luzuum transaksi adalah transaksi yang dilakukan oleh kedua belah pihak lolos dari pemberlakuan hak untuk meneruskan atau membatalkan transaksi oleh salah satu pelaku transaksi seperti hak

khiya>r al-syart (meneruskan atau membatalkan transaksi karena salah seorang pelaku transaksi atau keduanya mensyaratkan adanya hak bagi keduanya untuk membatalkan transaksi sampai waktu tertentu),

khiya>r al-naqd (syarat yang diberikan oleh penjual jika pembeli

26


(43)

35

menyerahkan harga pada waktu tertentu maka jual beli telah berlaku),

khiya>r ‘aib (hak yang dimiliki dan disepakati oleh kedua pelaku transaksi jika ada cacat pada barang maka salah satunya bisa meneruskan atau membatalkan transaksi), khiya>r al-ru’yah (hak yang dimiliki oleh pembeli untuk meneruskan atau membatalkan jual beli ketika selesai melihat barang), khiya>r al-ta’yi>n (hak yang dimiliki pembeli untuk menetukan salah satu dari kedua barang yang telah di tawarkan kepadanya untuk dibeli), khiya>r al-washfi (hak yang dimilik pembeli untuk meneruskan atau membatalkan jual beli jika barang yang dilihatnya tidak sesuai dengan kesepakatan), khiya>r al-ghubni (hak yang dimiliki pembeli untuk meneruskan atau membatalkan jual beli jika ternyata penjual menjual barang dengan harga yang lebih mahal dari ketentuan pasar). Dengan demikian, jika pada jual beli yang dilangsungkan oleh kedua belah pihak ada salah satu pihak yang disebut di atas maka jual beli tidak berlaku pada pihak yang memiliki hak pilih tersebut. Secara otomatis, ia berhak meneruskan atau membatalkan transaksi itu, kalau terjadi halangan untuk menerapkannya.27

C. Macam-Macam Jual Beli

27


(44)

36

Ditinjau dari segi hukumnya, jual-beli terbagi menjadi tiga jual-beli sah menurut hukum Islam dan jual-beli yang tidak sah menurut hukum Islam, diantaranya:

1. Jual Beli yang Sa>hih

Suatu jual beli dikatakan sebagai jual beli yang sahih apabila jual

beli itu disyari‟atkan, memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan; bukan milik orang lain, tidak tergantung pada hak khiyar lagi. Jual beli seperti ini dikatakan sebagai jual beli sahih.28

2. Jual Beli yang Ba>til

Apabila pada jual beli itu salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi atau jual beli itu pada dasarnya dan sifatnya tidak disyariatkan seperti jual beli yang dilakukan oleh anak-anak, orang gila, atau barang yang diperjualbelikan tersebut merupakan barang yang diharamkan oleh

syara‟ seperti bangkai, darah, babi dan khamr. Adapun bentuk jual beli yang batil itu sebagai berikut:

a. Jual beli sesuatu yang tidak jelas (Gharar)

b. Menjual barang yang tidak dapat diserahkan artinya menjual barang yang tidak dapat diserahkan kepada pembeli, tidak sah (ba>til). Misalnya, menjual barang yang hilang atau burung peliharaan yang lepas dari sangkarnya.

28


(45)

37

c. Jual beli yang mengandung unsur tipuan artinya menjual barang yang ada unsur tipuan tidak sah (ba>til). Umpamanya, barang itu kelihatan baik, sedangkan dibaliknya terlihat tidak baik.

d. Jual beli benda najis hukumnya tidak sah, seperti menjual babi, bangkai, darah dan khamr (semua benda yang memabukkan). Sebab benda-benda tersebut tidak mengandung makna arti hakiki menurut

sayara‟.

e. Jual beli al-„urbun yaitu jual beli dengan sistem panjar yakni menjual barang lalu pembeli membeli sejumlah uang kepada penjual sebagai uang muka dengan syarat bentuk pembeli akan membeli/mengambil barang tersebut, maka uang muka termasuk harga yang harus dibayar. Jika pembeli tidak jadi membelinya maka uang menjadi milik penjual. Memperjualbelikan air sungai, air danau, air laut dan air yang tidak boleh dimiliki seseorang. Air yang disebutkan itu adalah milik bersama umat manusia dan tidak untuk diperjualbelikan.29

3. Jual beli yang fa>sid

a. Ulama Hanfiyah yang membedakan jual beli fa>s}id dengan yang batal. Apabila kerusakan dalam jual beli terkait dengan barang yang dijualbelikan, maka hukumnya batal. Apabila kerusakan pada jual beli itu menyangkut harga barang dan boleh diperbaiki, jual beli itu dinamakan fa>sid. Di antara jual beli yang fa>sid, menurut ulama Hanafiyah, adalah:

29

Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 128-134.


(46)

38

b. Jual beli al-majhu (benda atau barangnya secara global tidak diketahuai) dengan syarat kemajhulannya itu menyeluruh.

c. Jual beli yang dikaitkan dengan suatu syarat, apabila syaratnya terpenuhi maka jual belinya dianggap sah.

d. Menjual barang yang gaib yang tidak dapat dihadirkan pada saat jual beli berlangsung, sehingga tidak dapat dilihat oleh pembeli.

e. Jual beli yang dilakukan oleh orang buta. Jumhur ulama mengatakan bahwa jual beli orang buta adalah sah apabila orang buta itu memiliki hak khiya>r. Sedangkan menurut ulama Syafi‟iyah tidak membolehkan jual beli ini, kecuali jika barang yang dibeli itu telah ia lihat sebelumnya buta.

f. Barter dengan barang yang diharamkan, umpamanya menjadikan barang-barang yang diharamkan sebagai harga, seperti babi, khamr, darah dan bangkai.

g. Jual beli anggur dan buh-buahan lain dengan tujuan pembuatan khamr, apabila penjual mengetahui bahwa pembeli itu adalah produsen khamr. h. Jual beli yang bergantung pada syarat.

i. Jual beli sebagian barang yang sama sekali tidak dapat dipisahkan dari satuannya.

j. Jual beli buah-buahan dan padi-padian yang belum sempurna matangnya untuk dipanen.30

30


(47)

39

D. Pengertian Urf

Kata ‘urf secara etimologi yaitu, sesuatu yang di pandang baik dan diterima oleh akal sehat. Adapun dari segi terminologi kata ‘urf mengandung makna:

Artinya: sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang populer diantara mereka, ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain.

Kata ‘urf dalam pengertian terminologi sama dengan istilah al-adah

(kebiasaan), yaitu:

Artinya: sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapatnya diterima oleh akal yang sehat dan watak yang benar.31

Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidah, istilah ‘urf berarti sesuatu yang telah dikenali oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan, perbuatan atau pantangan-pantangan dan juga

bisa disebut dengan adat. Menurut istilah ahli syara‟, tidak ada perbedaan

antara ‘urf dan adat (adat kebiasaan). Namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian ‘urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa

31


(48)

40

dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sangsi-sangsi terhadap orang yang melanggarnya.32

Contohnya adat perbuatan, seperti kebiasaan umat manusia berjual beli dengan tukar menukar secara langsung, tanpa bentuk ucapan akad. Adat ucapan seperti kebiasaan manusia menyebut al-wald secara mutlak berarti anak laki-laki, bukan anak perempuan dan kebiasaan mereka, juga kebiasaan mereka untuk tidak mengucapkan kata daging sebagai ikan. Adat terbentuk dari kebiasaan manusia menurut derajat mereka, secara umum maupun tertentu. Berbeda dengan ijma‟, yang terbentuk dari kesepakatan para mujtahid saja, tidak termasuk manusia secara umum.33

E. Macam-Macam Urf

‘Urf atau adat itu ada dua macam, yaitu adat yang benar dan adat yang rusak. Adat yang benar adalah kebiasaan yang dilakukan manusia, tidak

bertentangan dengan dalil syara‟, tidak menghalalkan yang haram dan tidak

membatalkan kewajiban. Sedangkan adat yang rusak adalah kebiasaan yang

dilakukan oleh manusia tetapi bertentangan dengan syara‟, menghalalkan

yang haram atau membatalkan kewajiban.34

Penggolongan macam-macam adat atau ‘urf itu juga dapat dilihat dari beberapa segi:

1. Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan. Dari segi ini ‘urf ada dua macam:

32

Muin Umar, et al, Ushul Fiqh 1(Jakarta:Depag RI, 1986), 150.

33

Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh kaidah hukum Islam(Jakarta:Pustaka Amani 1977), 117.

34


(49)

41

a. ‘Urf qauli, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan. Contohnya, kata Waladun secara etimologi artinya “anak”

yang digunakan untuk anak laki-laki atau perempuan. Berlakunya kata tersebut untuk perempuan karena tidak ditemukannya kata ini khusus untuk perempuan dengan tanda perempuan (Mu’annat). Penggunaan kata Walad itu untuk anak laki-laki dan perempuan, (mengenali waris atau harta pusaka) berlaku juga dalam al-Qur‟an, seperti dalam surat an

-Nisa‟ (4): 11-12. Seluruh kata walad dalam kedua ayat tersebut yang disebutkan secara berulang kali, berlaku untuk anak laki-laki dan perempuan.

b. ‘Urf fi’li, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Umpamanya: (1) jual beli barang-barang yang enteng (murah dan tidak begitu

bernilai) transaksi antara penjual dan pembeli cukup hanya menunjukkan barang serta serah terima barang dan uang tanpa ucapan transaksi (akad) apa-apa. Hal ini tidak menyalahi aturan akad dalam jual beli.

(2) kebiasaan saling mengambil rokok di antara sesama teman tanpa adanya ucapan meminta dan memberi, tidak dianggap mencuri. 2. Dari segi ruang lingkup penggunaannya

a. Adat atau ‘urf umum, yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku di mana-mana, hampir di seluruh penjuru dunia, tanpa memandang negara, bangsa dan agama. Umpamanya: menganggukkan kepala tanda menyetujui dan menggelengkan kepala tanda menolak atau


(50)

42

meniadakan. Kalau ada orang berbuat kebalikan dari itu, maka dianggap aneh atau ganjil.

b. Adat atau' urf'khusus, yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang tertentu atau pada waktu tertentu; tidak berlaku di semua tempat dan sembarang waktu. Contohnya, orang Sunda menggunakan kata

“paman” hanya untuk adik dari ayah; sedangkan orang Jawa

menggunakan kata “paman” itu untuk adik dan kakak dari ayah. 3. Dari segi penilaian baik dan buruk:

a. Adat yang shahi>h, yaitu adat yang berulang ulang dilakukan, diterima oleh orang banyak, tidak bertentangan dengan agama, sopan santun dan budaya yang luhur. Contohnya, memberi hadiah kepada orang tua dan kenalan dekat dalam waktu-waktu tertentu, mengadakan acara halal bihalal (silaturrahmi) saat hari raya; memberi hadiah sebagai suatu penghargaan atas suatu prestasi.

b. Adat yang fa>sid, yaitu adat yang berlaku di suatu tempat meskipun merata pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama, undang-undang negara daan sopan santun. Contohnya, berjudi untuk merayakan suatu peristiwa; pesta dengan menghidangkan minuman haram; membunuh anak perempuan yang baru lahir; kumpul kebo (hidup bersama tanpa nikah).35

F. Syarat-Syarat Urf

35


(51)

43

Tidak semua ’urf bisa dijadikan sandaran hukum. Akan tetapi, harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:

a. ‘Urf itu berlaku umum, yaitu ‘urf itu dipahami oleh semua lapisan masyarakat, baik di semua daerah maupun pada daerah tertentu. Oleh karena itu, kalau hanya merupakan ’urf orang-orang tententu saja, tidak bisa dijadikan sebagai sebuah sandaran hukum.

b. Tidak bertentangan dengan nash Syar‟i, yaitu ‘urf yang selaras dengan nash Syar‟i. ‘urf ini harus dikerjakan, namun bukan karena dia itu ‘urf,

akan tetapi karena dalil tersebut. Misalnya: ‘urf di masyarakat bahwa seorang suami harus memberikan tempat tinggal untuk istrinya. ‘urf

semacam ini berlaku dan harus dikerjakan, karena Allah SWT berfirman:

                                                              

Artinya: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.(QS. Al-Thala>q [65]:6)

c. ‘Urf itu sudah berlaku sejak lama, bukan sebuah ‘urf baru yang barusan terjadi. Maknanya kalau ada seseorang yang mengatakan demi Allah, saya tidak akan makan daging selamanya. Dan saat dia mengucapkan kata


(52)

44

tersebut yang dimaksud dengan daging adalah daging kambing dan sapi. Lalu lima tahun kemudian ‘urf masyarakat berubah bahwa maksud daging adalah semua daging termasuk daging ikan. Lalu orang tersebut makan daging ikan, maka orang tersebut tidak dihukumi melanggar sumpahnya karena sebuah lafadh tidak didasarkan pada ‘urf yang muncul belakangan. d. Tidak berbenturan dengan tashrih. Jika sebuah ‘urf berbenturan dengan

tashrih (ketegasan seseorang dalam sebuah masalah), maka ‘urf itu tidak berlaku. Misalnya: Kalau seseorang bekerja di sebuah kantor dengan gaji bulanan Rp. 500.000,- tapi pemilik kantor tersebut mengatakan bahwa gaji ini kalau masuk setiap hari termasuk hari Ahad dan hari libur. Maka wajib bagi pekerja tersebut untuk masuk setiap hari maskipun ‘urf masyarakat memberlakukan hari Ahad libur.

e. ‘Urf tidak berlaku atas sesuatu yang telah disepakati. Hal ini sangatlah penting karena bila ada ‘urf yang bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh para ulama (dalam hal ini ‟Ijma) maka ‘urf menjadi tidak berlaku, bila ‟urfnya bertentangan dengan dalil Syar‟i.36

G. Kedudukan Urf Sebagai Dalil Syara

Para ulama‟ sepakat bahwa ‘urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah

selama tidak bertentangan dengan Syara‟. Ulama‟ Malikiyyah terkenal

dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama‟ Madinah dapat dijadikan

36

al-A‟jam Rafiq,”Ushul Islamiyah Manhajuha wa-Ab’aduha”, dalam

http://viewislam.wordpress.com/urt-sebagai-salah-satu-metode-ushul-fiqh-dalam-meng- istimbath-setiap-permasalahan-dalam-kehidupan, di akses pada 15 april 2014.


(53)

45

hujjah, demikian pula ulama‟ Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama‟

Kufah dapat dijadikan dasar hujjah. Imam Syafi‟i terkenal dengan qaul qadim

dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Makkah (qaul al-qadi>m) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul al-jadi>d). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan ‘urf. Tentu saja ‘urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah.

Adapun kehujjahan ‘urfsebagai dalil syara‟ didasarkan atas argumen -argumen berikut ini:

a. Firman Allah pada surah al-A‟raf ayat 199

















Artinya: Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang

ma‟ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang bodoh.

Melalui ayat di atas Allah memerintahkan kaum muslimin untuk

mengerjakan yang ma‟ruf. Sedangkan yang disebut sebagai ma‟ruf itu sendiri ialah, yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang, dan tidak bertentangan dengan watak manusia yang benar, yang dibimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran Islam.

b. Ucapan sahabat Rasulullah SAW; Abdullah bin Mas‟ud:

Artinya: Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah, dan sesuatu yang mereka nilai buruk maka ia buruk di sisi Allah.

Ungkapan Abdullah bin Mas‟ud di atas, baik dari segi redaksi maupun


(54)

46

dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntunan umum syari‟at Islam adalah juga merupakan sesuatu yang baik di sisi Allah.37 Sebaliknya, hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan yang dinilai baik oleh masyarakat, akan melahirkan kesulitan dan kesempitan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal dalam pada itu, Allah berfirman pada surat al-Mai>dah ayat 6:                           

Artinya: “Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,

supaya kamu bersyukur”.

Adat yang benar, wajib diperhatikan dalam pembentukan hukum

Syara‟ dan putusan perkara. Seorang mujtahid harus memperhatikan hal ini dalam pembentukan hukumnya dan bagi hakim juga harus memperhatikan hal itu dalam setiap putusannya, karena apa yang sudah diketahui dan dibiasakan oleh manusia adalah menjadi kebutuhan mereka, disepakati dan ada kemaslahatannya. Adapun adat yang rusak, maka tidak boleh diperhatikan, karena memperhatikan adat yang rusak berarti menentang dalil Syara‟ atau membatalkan hukum Syara‟. Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat, karena masalah baru bisa berubah sebab perubahan masalah asal. Oleh karena itu dalam hal perbedaan

37


(55)

47

pendapat ini para „ulama fikih berkata: “Perbedaan itu adalah pada waktu dan

masa, bukan pada dalil dan alasan.38

38

Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh kaidah hukum Islam (Jakarta : Pustaka Amani, 1977), 118-119.


(56)

BAB III

MEKANISME JUAL BELI TANAH SAWAH DENGAN SISTEM BATA DI DESA BRUDU KECAMATAN SUMOBITO KABUPATEN JOMBANG

A. Deskripsi tentang Lokasi Penelitian

Untuk mengetahui letak geografis desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang yang meliputi keadaan geografis desa, peta desa Brudu, sarana pendidikan dan peribadatan serta struktur pemerintahan desa Brudu dapat didiketahui pada poin di bawah ini:

1. Keadaan geografis

Desa Brudu merupakan salah satu desa dari 5 dusun yang berada di Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang dengan batasan wilayah sebagai berikut:

a. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Mlaras Kecamatan Sumobito

Kabupaten Jombang.

b. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Plemahan Kecamatan

Sumobito Kabupaten Jombang.

c. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Palrejo Kecamatan

Sumobito Kabupaten Jombang.

d. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Badas Kecamatan Sumobito

Kabupaten Jombang. 1


(57)

49

PETA DESA BRUDU

Sumber Data: Demografi Desa Brudu

Letak geografis Desa Brudu dengan ukuran luas desa sekitar 2,402,680 Ha dengan deretan agak memanjang (seperti terlihat dalam

peta).2

Desa Brudu tersebut terdiri dari 5 dusun, 24 RT dan 7 RW. Sedangkan nama-nama dusun tersebut adalah:

a. Dusun Brudu;

b. Dusun Jeblok;

c. Dusun Kedung Urip;

d. Dusun Sukorejo; dan

e. Dusun Plosorejo.3

Letak Desa Brudu sisi barat berbatasan dengan Desa Badas yang dibatasi dengan persawahan, dari sisi timur perbatasan dengan Desa Plemahan yang dibatasi dengan persawahan, dari sisi selatan berbatasan dengan Desa Palrejo yang dibatasi dengan persawahan, dan dari sisi

2 Dinas Kependudukan dan Statistik Kab.Jombang 3 Ibid


(58)

50

utara berbatasan dengan Desa Mlaras dan juga dibatasi dengan persawahan. Jarak Desa Brudu ke ibu kota kecamatan terdekat + 6 km. yang dapat ditempuh dengan kendaraan + ¼ jam. Sedangkan jarak ke ibu kota kabupaten terdekat + 20 km. yang bisa ditempuh dengan kendaraan + 1/2 jam. Sedangkan Desa Brudu jika diukur dari permukaan laut, maka desa tersebut ada di ketinggian 44 mdl.

Tabel 1

Luas Tanah di Desa Brudu

NO. PERTANAHAN Ha

01. 02. 03. 05. 06. 07. 08.

Tanah Kas Desa

Tanah Perkebunan Rakyat Tanah Pemukiman Umum Sawah Tanah Hujan Tanah Irigasi Teknis Tanah Sekolah Tanah Perkantoran 45,0 110,0 68,140 510 172,510 1,5 0,250

JUMLAH 613,125 Ha

Sumber Data: Demografi Desa Brudu Tahun 2014

Berdasarkan pada tabel di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa di Desa Brudu masih banyak tanah-tanah yang perlu dirawat dengan baik agar menghasilkan produksi yang lebih berkualitas, karena jumlah data yang diperoleh untuk tanah pertanian lebih dominan sedangkan yang lainnya adalah tanah perkebunan.

2. Kependudukan dan sosial ekonominya

Di desa Brudu dari segi kependudukan bisa dikatakan dalam jumlah yang standart jika diukur dengan desanya, sedangkan jumlah penduduknya + 5.107 orang dengan rincian sebagaimana keterangan berikut:


(59)

51

Tabel 2

Jumlah Penduduk Desa Brudu

Nomor Jenis Kelamin Jumlah

01. 02. 03.

Laki-Laki Perempuan

Warga Negara Asing (WNA).

2.595 orang 2.512 orang

-

JUMLAH 5.107 orang

Sumber Data: Demografi Desa Brudu Tahun 2014

Berdasarkan data di atas, maka jumlah penduduk Desa Brudu jumlah laki-laki lebih banyak dari pada jumlah perempuan dan mayoritas adalah suku jawa.

Mata pencaharian penduduk atau profesi Desa Brudu adalah beraneka ragam dengan keterangan sebagai berikut:

Tabel 3

Profesi Penduduk Desa Brudu

Nomor Mata Pencaharian Jumlah

01. 02. 03. 04. 05. 06. 07. 08. 09. 10. 11. 12. Petani Pemilik Sawah Buruh Tani Penggarap Pegawai Negeri/PNS Pengrajin TNI/Polri Pedagang Bidan Peternak Wira Swasta Pengusaha Sedang Lain-Lain 2.523 orang 325 orang 863 orang 164 orang 21 orang 7 orang 3 orang 201 orang 2 orang 221 orang 387 orang 19 orang 30 orang

JUMLAH 4.766 orang

Sumber Data: Demografi Desa Brudu Tahun 2014

Berdasarkan data pada tabel di atas, maka mayoritas masyarakat Desa Brudu mata pencahariannya adalah sebagai petani. Mata pencaharian ini selalu menjadi prioritas utama khususnya di wilayah Jombang. Dengan banyak macam yang ditanam di antaranya padi,


(1)

62

objeknya juga jelas yakni sebidang tanah sawah. Jadi sistem ukuran bata tetap dipakai acuan dalam jual beli di desa Brudu”.25

Dari apa yang sudah teruraikan di atas, bahwa jual beli tanah sawah dengan sistem bata memang sudah menjadi suatu tradisi masyarakat desa Brudu dan tradisi itu dianggap tidak menyimpang di dalam Hukum Islam, karena proses akadnya jelas, pihak penjual dan pembeli tidak ada yang saling dirugikan.

Penulis dapat memberikan kesimpulan bahwa berlakunya sistem jual beli tanah sawah dengan ukuran bata yang terjadi di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang ada beberapa faktor yaitu: a. Sistem bata sudah menjadi tradisi yang sudah lama berlaku di

kalangan masyarakat desa Brudu.

b. Pihak pembeli tidak merasa dirugikan dengan adanya jual beli tanah sawah dengan sistem bata.

c. Sebelum proses akad, penjual memberikan informasi kepada pembeli bahwa jual beli tersebut menggunakan sistem bata

d. Tokoh masyarakat desas Brudu berpendapat sah atas tradisi jual beli tanah sawah dengan sistem bata


(2)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, maka penulis dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut:

1. Mekanisme jual beli tanah sawah dengan sistem bata di Desa Brudu Kecamatan

Sumobito Kabupaten Jombang dilakukan dengan cara yaitu, merubah satuan meter menjadi bata dengan perbulatan luas yang awalnya 175 bata menjadi 200 bata.

2. Menurut analisis ‘urf jual beli dengan menggunakan sistem bata dari segi perjanjian atau akad kerjanya dikategorikan sah dan dapat dibenarkan menurut hukum Islam, secara jelas objek dan subjeknya telah memenuhi rukun dan syarat yang telah ditetapkan dalam hukum Islam. Karena di dalamnya tidak ada unsur yang dirugikan antara pemilik tanah sawah dan pembeli tanah sawah.

B. Saran-saran

Adapun saran-saran yang dapat disampaikan adalah:

1. Kepada pemilik tanah sawah dan pembeli tanah sawah, kedua belah pihak hendaknya lebih memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam praktik jual beli tanah sawah yang sesuai dengan norma-norma agama atau syari’ah islam. walaupun dilingkungannya terdapat tradisi dengan sistem Bata yang lama dipertahankan, hendaklah sedikit dirubah yang dulunya tidak mengacu pada luas sebenarnya, mulai sekarang mengacu pada luas sebenarnya (sertifikat).


(3)

69 2. Kepada mahasiswa, peneliti, dan sebagainya semoga hasil penelitian ini bisa

dijadikan rujukan awal, kemudian dikembangkan untuk penelitian yang selanjutnya yang lebih baik dan benar-benar menjadi hasil karya ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya dan bisa berguna untuk pengembangan ilmu hukum bisnis Islam.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Boedi. Metode Penelitian Ekonomi Islam, muamalah Bandung: Pustaka Setia 2014.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.

Azhar, Ahmad Basyir. Asas-Asas Hukum Muamalah. Yogyakarta: UII Press, 2000.

Hasan, Ali. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Haroen, Nasrun. Fiqih Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.

Joko, P Subagyo. Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 2007.

Lubis, K Suhrawardi. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta, Sinar Grafika, 2000. Moleong, Lexy J. Metodologi Peneitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya,

2009.

Muhaimin “Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktik Jual Beli Tanah di Lahan

Perhutani di Desa Sidaurip Kecamatan Gandrung mangu Kabupaten

Cilacap” Skripsi--UIN Sunan Kalijaga, Yoyakarta 2014.

Muniroh, Siti. “Tinjauan Hukum Islam terhadap kasus Praktik Adol Sawah di

Desa Widang Kecamatan Widang Kabupaten Tuban”. Skripsi--IAIN

Sunan Ampel, Surabaya, 2004.

Nasution, Metode Research. Jakarta: BumiAksara, 1996.

Nazir, Moh. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.

Pasaribu, Chairuman. Hukum Perjanjian dalam Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 1994.

Rafiq, al-A’jam. ”Ushul Islamiyah Manhajuha wa-Ab’aduha”, dalam

http://viewislam.wordpress,com/urf-sebagai-salah-satu-metode-ushul-fiqh dalam-meng-istimbath-setiap-permasalahan-dalam-kehidupan, di akses pada 15 april 2014.


(5)

Rahman, Abdur Ghazaly. et al., Fiqih Muamalat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2008.

Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Pustaka, 2002.

Syafe’i, Rachmat. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia, 2000.

Syamsuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqih. Jakarta Timur: Prenada Media, 2003.

---. Ushul Fikih 2. Jakarta: Prenada Media Grup, 2011.

Tim penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2008.

Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi. Surabaya: Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2014.

Umar, Muin, et al., Ushul Fiqh 1. Jakarta: Depag RI 1986.

Wahab, Abdul Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh kaidah hukum Islam. Jakarta: Pustaka Amani, 1977.

Wardi, Ahmad Muslich. Fiqih Muamalah. Jakarta: Amzah, 2010.

Zuhaily, Wahbah. al-Fiqh al-Isla>mi> wa-Adillatuhu, Jilid IV. Bairut: Dara al-Fikr, 1989.

---. Fiqih Islam wa-Adillatuhu, Jilid 5. Jakarta: Gema Insani, 2011.

---. al-Fiqh al-Isla>mi> wa-Adilatuhu. Damaskus: Da>r al-Fiqr al-Mu’as}im, 2005. Amenan. Wawancara. Jombang, 25 November 2014.

Bukin. Wawancara. Jombang, 25 November 2014.

Fuadzin, Heru. Kasun.Wawancara. Jombang 29Agustus 2014. Jalil. Wawancara. Jombang, 20 November 2014.


(6)

Kasnadi. Wawancara. Jombang, 30 Agustus 2014. Komaruddin. Wawancara. Jombang, 30 November 2014. Mahmud. Wawancara. Jombang, 17 November 2014. Maslikha. Wawawncara. Jombang, 26 November 2014. Mughni. Wawancara. Jombang, 15 November 2014.

Na’am. Wawancara. Jombang, 17 November 2014.

Ruba’i. Wawancara. Jombang, 20 November 2014.

Sadak. Wawancara. Jombang, 29 Sempetber 2014. Sarbani. Wawancara. Jombang, 20 November 2014. Sarpani. Wawancara. Jombang, 25 November 2014. Siman. Wawancara. Jombang, 17 November 2014. Soleh. Wawancara. Jombang, 15 November 2014.

Sujadi dan Sunali. Wawancara. Jombang, 20 November 2014. Sukani dan Sri. Wawancara. Jombang, 26 November 2014. Teguh. Wawancara. Jombang, 26 November 2014.