Analisis Yuridis Atas Jual Lepas Tanah Adat Dan Kendala Pendaftarannya : Studi Pada Tanah Adat Suku Pak Pak Di Kabupaten Pak – Pak Bharat
ANALISIS YURIDIS ATAS JUAL LEPAS TANAH ADAT DAN KENDALA PENDAFTARANNYA : STUDI PADA TANAH ADAT SUKU PAK PAK DI
KABUPATEN PAK – PAK BHARAT
TESIS
Oleh :
OLIFIA BANUREA 097011089
MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
ABSTRAK
Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang penting sebagai kebutuhan manusia. Kebutuhan akan tanah untuk daerah yang sedang berkembang selalu mengalami peningkatan seoalah – olah tanah menjadi barang yang sangat berharga. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh Negara diarahkan dengan mempertahankan Hak Atas Tanah Ulayat, agar terwujud keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penulisan ini bertujuan untuk megetahui pelaksanaan jual lepas tanah adat suku Pakpak di Kabupaten Pak – Pak Bharat perkembangan yang terjadi dalam pelaksanaan pelepasan tanah marga suku Pakpak proses peralihan hak milik adat menjadi hak milik perseorangan dan kendala dalam proses pendaftarannya.
Metode pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan yuridis sosiologis, yaitu suatu pendekatan yang meneliti data sekunder terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan mengadakan penelitian data primer di lapangan. Adapun sumber data faktor yuridisnya adalah UUPA No.5 tahun 1960, Peraturan Pelaksanaan lainnya berkaitan dengan tanah dan hasil wawancara dengan Ketua Lembaga Adat Sulang Silima dan pihak lainnya yang berkaitan dengan jual lepas tanah adat marga di Pak – Pak Bharat.
Masyarakat adat di Pak – Pak Bharat merupakan persekutuan hukum adat teritoriall dan geneologis. Keberadaannya masih diakui serta masih mempertahankan pemerintahan adat dan sangat tergantung pada tanah Hak Ulayat. Perbuatan hukum pelepasan hak dilaksanakan dengan pelepasan adat dan dibuatnya surat pelepasan yang disaksikan oleh ketua Lembaga adat Sulang Silima. Pelaksanaan jual lepas didasarkan pada pelepasan adat dan proses pendaftaran tanahnya didasarkan dengan mekanisme yang telah baku berlaku sesuai dengan ketentuan pendaftaran tanah.
Dari data yang dianalisis diperoleh kesimpulan bahwa pelaksanaan jual jual lepas tanah marga yang ada di Pak – Pak Bharat mengalami perubahan dimana yang paling berpengaruh sekarang ini adalah Lembaga adat Sulang Silima sebagai penentu dalam permasalahan tanah. dan dalam pelaksanaan jual lepas dilakukan dengan sepengetahuan Sulang Silima dan Kepala Desa sebagai saksi tanpa dilakukan di depan PPAT sementara/Camat dan jarang dilanjutkan pendaftaran ke Kantor Pertanahan Pak – Pak Bharat.Adapun hambatan dalam pelaksanaannya adalah karena keengganan masyarakat adatnya dan Lembaga Sulang Silima untuk menerima peraturan yang berlaku yaitu UU No.5 tahun 1960 dan PP no.24 tahun 1997.
(3)
ABSTRACT
Land as a gift from the God has an important function for human’s needs. The need for the land in the developing areas always increases as if the land is a precious property. The authority and use of land by the state are directed by defending the right to communal land to establish social justice for all of the people of Indonesia.
The purpose of this study was to find out the implementation of selling the communal land belongs to the Pak-Pak living in Pak-Pak Barat District, to find out the development occurred in releasing the communal land belongs to Pak-Pak tribe, to look at the process of right transfer from adat property into the individual’s, and to find out the constraints existed in its registration process.
This study employed a sociological juridical approach, an approach to study secondary data which is then continued by conducting research on primary data on the field. The sources of juridical data were UUPA No. 5/1960, the other regulations implemented on the land, and the results of the interviews with the Chairman of Sulang Silima Adat Institution and other parties related to the selling of the communal land of Pak-Pak Barat tribe.
The community of Pak-Pak Barat was an alliance of territorial and genealogical traditional law. Their existences were still recognized and they still maintained their local administration, and they were really dependent on the rights to communal land. The legal deeds of releasing their rights were conducted by issuing the Letter of Land Release witnessed by the Chairman of Sulang Silima Adat Institution. The implementation of selling was done based on traditional land release ceremony and the process of land registration was based on standard mechanism in accordance with the stipulation on land registration.
The results of this study showed that the implementation of selling the land belongs to the clans living in Pak-Pak Barat experienced changes in which the most influential adat institution today was Sulang Silima as decision maker on land problems. The selling of land must be known and approved by Sulang Silima and Head of Village as the witness, not before the ad- interim PPAT (Land Act Issuing Official)/Head of Subdistrict and was rarely registered to Pak-Pak Barat Land Office. The constraints faced in the implementation of land registration were that the adat community and Sulang Silima Adat Institution were reluctant to accept the existing Law No.5/1960 and Government Regulation No.24/1997.
(4)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang telah memberikan rahmat dan hidayatNYa serta kasihNya yang luar biasa, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian penulisan tesis ini dengan judul “ANALISIS YURIDIS ATAS JUAL LEPAS TANAH ADAT DAN PENDAFTARANNYA : STUDI PADA TANAH ADAT SUKU PAK-PAK DI KABUPATEN PAK-PAK BHARAT”. Tesis ini merupakam persyaratan akademik untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKn) pada Program Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati, Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, dukungan, perhatian dan masukan kepada Penulis .
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus
(5)
Pembimbing Utama yang dengan penuh perhatian memberi bimbingan dan saran kepada Penulis.
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum, selaku Sekretaris Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan masukan yang sangat membangun kepada Penulis
5. Bapak Prof.Dr.Syafruddin Kalo,SH,MHum selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktunya dan menyumbangkan pikiran serta memberikan petunjuk dalam pengarahan materi ilmiah.
6. Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, MHum, selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan masukan yang sangat membangun kepada Penulis.
8. Bapak-bapak dan Ibu-ibu staf pengajar serta para pegawai di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
10. Kepada yang terhormat dan terkasih kedua orangtua Penulis Jansen Banurea,SE dan Elisabeth Samosir dan yang terkasih orang tua kedua bagiku dr.Agustina Samosir buat kesempatan yang telah diberikan kepada Penulis dan buat segala perhatian, kasih sayang dan segala sesuatu yang diberikan kepada penulis
11. Buat adik – adik tersayang drg.Feby Banurea, Deny Banurea, Benhard Martin Pasaribu, Venissha Claudia Pasaribu dan Johan Nicholas Pasaribu buat semangat dan dukungan yang diberikan dan tempat penulis berbagi cerita.
12. Buat teman – teman yang selalu melewati hari bersama sama Lestriana (k.Inez), Syahrani, Laila Hayati (k.Laila) dan Afnida Novriani.
13. Keluarga besar mahasiswa Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Pudio Yunanto, J.E.Melky, Roy Verson, Bukler Tarigan, Tesy, Abi Yaser, Zuwina, , Rahmat Setiadi, Suhaili, Magdalena, Catur, teman-teman lainnya yang tidak bisa untuk disebutkan satu-persatu, mohon ma’af jika tidak tersebutkan.
(6)
Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan perhatiannya sehingga Penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan tesis ini. Penulis menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, namun diharapkan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Medan, Januari 2012 Penulis, Olifia Banurea
(7)
DAFTAR ISI
Abstrak ………. i
Kata Pengantar ……….. ii
Daftar Isi ……….iii
Daftar Istilah ………... iv
Daftar table ……… v
BAB I. Pendahuluan A. Latar Belakang ……… 1
B. Perumusan masalah ………...12
C. Tujuan Penelitian ………...………. 12
D. Manfaat Penelitian ...………...12
E. Keaslian Penelitian ………... 13
F. Kerangka teori dan Konsepsi .………... 14
G. Metode Penelitian ………... 24
H. Sumber Data ………... 25
I. Pengumpulan Data……… ……….. 26
J. Analisis Data ………..……….. 27
BAB II Syarat – Syarat Jual Lepas Tanah Adat di Pak – Pak Bharat. A. Profil Singkat Kabupaten Pak–Pak Bharat dan Masyarakat Pak-Pak 1. Kondisi Wilayah Pak-Pak Bharat ………. ….. 28
(8)
3. Peranan Kepala Adat di Pak-Pak Bharat ……… 36 B. Struktur Kepemilikan Tanah Marga atau Tanah Adat di Pak-Pak Bharat ….... 39 C. Jual Beli dalam Hukum Adat ……… ……… 41 D. Jual Beli Tanah Adat menurut UUPA ……… 45 E. Syarat – Syarat Proses Terjadi Jual Lepas Tanah Adat di Pak-Pak Bharat ….. 50
BAB III
Peralihan Hak Milik Adat Menjadi Hak Perseorangan di Pak – Pak Bharat
A. Hak Atas Tanah
1. Hak – Hak Tanah Adat sebelum UUPA ………. 60 B. Hak Atas Tanah Menurut UUPA ……… 69 C. Hak Perseorangan Pada Masyarakat Pak – Pak ……….. 72 D. Peralihan Hak Milik Adat menjadi Hak Perseorangan di Pak – Pak Bharat .. 73
BAB IV
Proses Pendaftaran Tanah dan Kendala Pendaftaran Tanah di Kabupaten Pak – Pak Bharat
A. Tinjauan Umum Tentang Pendaftaran Tanah
1. Dasar Hukum dan Tinjaun Pendaftaran Tanah ………. 78 2. Azas dan Sistem Pendafaran Tanah ………. 83 B. Pendaftaran hak Atas Tanah Adat Menurut Ketentuan Konversi dan PP No.24 Tahun 1997 ……… 93 C. Proses Pendaftaran Tanah Pada Kantor Pertanahan Kota Salak Kanupaten Pak – Pak Bharat ………. 96
(9)
D. Hambatan – Hambatan Dalam Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Yang Berasal Dari
Jual Beli Menurut Hukum Adat di Kabupaten Pak – Pak
Bharat………. ……… 103
BAB V
Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan………. 108 B. Saran ………... 110
Daftar Pustaka ………. 112
(10)
DAFTAR ISTILAH
Beschikkingsrecht : Hubungan antara persekutuan dan tanah itu sendiri.
Hak ulayat : Hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu persekutuan hukum (desa, suku) Genealogis : Keturunan
Lebbuh/Kuta : Kampung, atau Desa
Pertaki : Kepala desa/Kepala Kampung
Komunal : Dikuasai bersama/Persekutuan
perisang – isang : Anak paling besar
perekur –ekur : Anak paling bungsu
pertulang tengah : Anak tengah perpunya ndiadep : Anak boru
perbetekken : Teman satu marga
Religio-magis : artinya hubungan ini bukan antara individu dengan tanah saja tetapi juga antara
sekelompok anggota masyarakat suatu persekutuan Hukum adat
(rechtsgemeentsschap ) di dalam hungan dengan tanah adat.
(11)
Tanah marga : Istilah tanah ulayat di Kabupaten Pak – Pak Bharat
(12)
DAFTAR TABEL
(13)
ABSTRAK
Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang penting sebagai kebutuhan manusia. Kebutuhan akan tanah untuk daerah yang sedang berkembang selalu mengalami peningkatan seoalah – olah tanah menjadi barang yang sangat berharga. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh Negara diarahkan dengan mempertahankan Hak Atas Tanah Ulayat, agar terwujud keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penulisan ini bertujuan untuk megetahui pelaksanaan jual lepas tanah adat suku Pakpak di Kabupaten Pak – Pak Bharat perkembangan yang terjadi dalam pelaksanaan pelepasan tanah marga suku Pakpak proses peralihan hak milik adat menjadi hak milik perseorangan dan kendala dalam proses pendaftarannya.
Metode pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan yuridis sosiologis, yaitu suatu pendekatan yang meneliti data sekunder terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan mengadakan penelitian data primer di lapangan. Adapun sumber data faktor yuridisnya adalah UUPA No.5 tahun 1960, Peraturan Pelaksanaan lainnya berkaitan dengan tanah dan hasil wawancara dengan Ketua Lembaga Adat Sulang Silima dan pihak lainnya yang berkaitan dengan jual lepas tanah adat marga di Pak – Pak Bharat.
Masyarakat adat di Pak – Pak Bharat merupakan persekutuan hukum adat teritoriall dan geneologis. Keberadaannya masih diakui serta masih mempertahankan pemerintahan adat dan sangat tergantung pada tanah Hak Ulayat. Perbuatan hukum pelepasan hak dilaksanakan dengan pelepasan adat dan dibuatnya surat pelepasan yang disaksikan oleh ketua Lembaga adat Sulang Silima. Pelaksanaan jual lepas didasarkan pada pelepasan adat dan proses pendaftaran tanahnya didasarkan dengan mekanisme yang telah baku berlaku sesuai dengan ketentuan pendaftaran tanah.
Dari data yang dianalisis diperoleh kesimpulan bahwa pelaksanaan jual jual lepas tanah marga yang ada di Pak – Pak Bharat mengalami perubahan dimana yang paling berpengaruh sekarang ini adalah Lembaga adat Sulang Silima sebagai penentu dalam permasalahan tanah. dan dalam pelaksanaan jual lepas dilakukan dengan sepengetahuan Sulang Silima dan Kepala Desa sebagai saksi tanpa dilakukan di depan PPAT sementara/Camat dan jarang dilanjutkan pendaftaran ke Kantor Pertanahan Pak – Pak Bharat.Adapun hambatan dalam pelaksanaannya adalah karena keengganan masyarakat adatnya dan Lembaga Sulang Silima untuk menerima peraturan yang berlaku yaitu UU No.5 tahun 1960 dan PP no.24 tahun 1997.
(14)
ABSTRACT
Land as a gift from the God has an important function for human’s needs. The need for the land in the developing areas always increases as if the land is a precious property. The authority and use of land by the state are directed by defending the right to communal land to establish social justice for all of the people of Indonesia.
The purpose of this study was to find out the implementation of selling the communal land belongs to the Pak-Pak living in Pak-Pak Barat District, to find out the development occurred in releasing the communal land belongs to Pak-Pak tribe, to look at the process of right transfer from adat property into the individual’s, and to find out the constraints existed in its registration process.
This study employed a sociological juridical approach, an approach to study secondary data which is then continued by conducting research on primary data on the field. The sources of juridical data were UUPA No. 5/1960, the other regulations implemented on the land, and the results of the interviews with the Chairman of Sulang Silima Adat Institution and other parties related to the selling of the communal land of Pak-Pak Barat tribe.
The community of Pak-Pak Barat was an alliance of territorial and genealogical traditional law. Their existences were still recognized and they still maintained their local administration, and they were really dependent on the rights to communal land. The legal deeds of releasing their rights were conducted by issuing the Letter of Land Release witnessed by the Chairman of Sulang Silima Adat Institution. The implementation of selling was done based on traditional land release ceremony and the process of land registration was based on standard mechanism in accordance with the stipulation on land registration.
The results of this study showed that the implementation of selling the land belongs to the clans living in Pak-Pak Barat experienced changes in which the most influential adat institution today was Sulang Silima as decision maker on land problems. The selling of land must be known and approved by Sulang Silima and Head of Village as the witness, not before the ad- interim PPAT (Land Act Issuing Official)/Head of Subdistrict and was rarely registered to Pak-Pak Barat Land Office. The constraints faced in the implementation of land registration were that the adat community and Sulang Silima Adat Institution were reluctant to accept the existing Law No.5/1960 and Government Regulation No.24/1997.
(15)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan manusia tanah tidak akan terlepas dari segala tindak tanduk
manusia itu sendiri, sebab tanah merupakan tempat bagi manusia untuk menjalani dan
kelanjutan kehidupannya. Oleh sebab itu tanah sangat dibutuhkan oleh setiap anggota
masyarakat. Sangat berartinya tanah bagi kehidupan manusia dan juga bagi suatu
Negara dibuktikan dengan diaturnya secara konstitusional dalam Undang - Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat ( 3 ) bahwa :
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar – besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Ketentuan pasal tersebut kemudian menjadi landasan filosofi terhadap pengaturan tanah di Indonesia yang secara yuridis diatur dalam Undang – Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan Undang - Undang Pokok Agraria ( UUPA).
Tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat karena
merupakan satu – satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang
bagaimanapun akan tetap dalam keadaan semula, malah kadang – kadang akan
menjadi lebih menguntungkan, dipandang dari segi ekonomis misalnya sebidang
(16)
setelah api padam ataupun setelah pemboman selesai tanah tersebut akan muncul
kembali, tetap berwujud tanah seperti semula, kalau dilanda banjir, misalnya setelah
airnya surut, tanah muncul kembali sebagai sebidang tanah yang lebih subur dari
semula. Kecuali itu adalah suatu kenyataan bahwa tanah merupakan tempat tinggal
keluarga dan masyarakat, memberikan penghidupan, merupakan tempat dimana para
warga yang menginggal dunia dikuburkan.
Oleh karena itu antara persekutuan dengan tanah yang diduduki tersebut
mempunyai hubungan yang erat sekali yang bersifat religio-magis. Hubungan yang
erat dan religio-magis ini menyebabkan persekutuan memperoleh hak untuk
menguasai tanah tersebut, memanfaatkan, memungut hasil dari tumbuh – tumbuhan
yang hidup diatas tanah tersebut, juga berburu terhadap binatang – binatang yang
hidup disitu.
Hak persekutuan atas tanah ini disebut dengan hak pertuanan atau hak ulayat,
yang oleh Van Vollenhoven disebut “beschikkingsrecht” yaitu hubungan antara
persekutuan dan tanah itu sendiri.1
Hak ulayat dalam bentuk dasarnya adalah suatu hak daripada persekutuan atas
tanah yang didiami, sedangkan dalam pelaksanaanya dilakukan oleh persekutuan itu
sendiri oleh kepala persekutuan atas nama persekutuan. Wilayah kekuasaan
persekutuan itu adalah merupakan milik persekutuan yang pada asanya bersifat tetap
1
Ahmad Fauzie Ridwan, Hukum Tanah Adat, Cetakan Pertama, (Jakarta;Dewarucci Press, 1982), halaman 24.
(17)
dimana perpindahan hak milik atas wilayah ini tidak diperbolehkan, yang dalam
kenyataannya terdapat pengecualian – pengecualian.2
Beschikkingsrecht ataupun hak ulayat ini berlaku keluar dan kedalam,
dikatakan berlaku keluar karena bukan warga persekutuan pada prinsipnya tidak
diperbolehkan turut menggarap tanah yang merupakan wilayah kekuasaan
persekutuan yang bersangkutan, orang luar dapat menggunakan tanah wilayah
persekutuan tersebut apabila telah mendapat izin dari pihak persekutuan yang
berwenang dan memberikan ganti rugi, dikatakan berlaku kedalam karenapersekutuan
sebagai suatu keseluruhan yang berarti semua warga persekutuan bersama – sama
sebagai suatu kesatuan, melakukan hak ulayat tersebut dengan memetik hasil dari
tanah tersebut beserta segala tumbuhan dan binatang yang hidup diatasnya. Hak
persekutuan ini hakekatnya membatasai kebebasan usaha atau kebebasan gerak para
warga persekutuan sebagai perseorangan yang dilakukan untuk kepentingan
persekutuan tersebut.
Hak ulayat ini dalam bentuk dasarnya adalah suatu hak dari persekutuan atas
tanah yang didiami, sedangkan pelaksanaannya dilakukan baik oleh persekutuan itu
sendiri, maupun oleh kepala persekutuan atas nama persekutuan.
Terjadinya hak milik perorangan atas tanah persekutan atau hak ulayat
dikarenakan perorangan dengan keluarganya membuka tanah hutan lingkungan hak
ulayat marga atau kampung, untuk tanah perladangan, sampai menjadi tempat
kediaman atau tempat usaha pertanian yang tetap dengan penanaman tanam
2
(18)
tumbuhan. Perbuatan membuka tanah untuk tempat kediaman sehingga menjadi
tempat kediaman sementara yang merupakan perbuatan sepihak yang menimbulkan
hak atas tanah bagi yang membukanya, yang mana oleh Soerjono Soekanto
diistilahkan dengan hak wenang pilih.3
Di daerah – daerah orang membuka tanah dimulai dengan memberi tanda
pada tanahnya tersebut, yaitu tanda akan membuka tanah, yang biasanya berupa tanda
silang atau bambu yang dipasang dipohon yang apabila dilihat dari kejauhan tanda
tersebut kelihatan, dengan adanya tanda tersebut maka timbullah hak untuk
mengusahakan sebidang tanah ( hak membuka tanah).
Jika tanah tersebut terus dibuka dan dijadikan tanah perladangan yang
ditanami, maka akan terjadi hak pakai atau hak mengusahakan tanah. Untuk
menjadikan tanah itu hak milik perorangan, maka tanah itu haruslah dikerjakan terus
menerus akan tetapi jika tanah itu dibiarkan terbengkalai menjadi semak belukar atau
kembali menjadi hutan, maka hak miliknya hilang dan yang tertinggal hanyalah hak
untuk mengusahakannya kembali, yang mana hak ini juga akan hilang apabila bidang
tanah tersebut telah berubah menjadi hutan dan tanah itu kembali menjadi milik hak
ulayat.
Hak milik perorangan atas tanah adat dapat ditingkatkan menjadi hak milik
perorangan milik adat tetap apabila diatas tanah itu ditanami tumbuh – tumbuhan
3
Soerjono Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, ( PT Raja Grafindo Persada; Jakarta,2001) halaman 197.
(19)
berupa tanaman keras ( pohon buah – buahan, karet, kelapa, kopi dan sebagainya)
sehingga menjadi sebuah tanah ladang ataupun tanah kebun.
Selain dari pembukaan tanah hak milik perorangan atas tanah ulayat juga
terjadi dikarenakan adanya warga persekutuan yang dengan izin kepala desa atau
kepala persekutuannya membuka tanah wilayah persekutuan dengan menggarap
tanah itu timbullah suatu hubungan antara individu dengan tanah dan juga hubungan
religio - magis antara warga yang bersangkutan dengan tanah yang dikerjakannya tersebut.
Hak milik perorangan tanah adat dari seorang warga persekutuan yang
membuka dan mengerjakan tanah itu sepenuhnya dengan ketentuan wajib
menghormati hak ulayat marga atau kampungnya, kepentingan orang lain yang
memiliki tanah dan juga peraturan peraturan adat. Hak milik perorangan atas tanah ini
berarti bahwa pemiliknya berkuasa penuh atas tanah yang bersangkutan seperti
halnya menguasai rumah, ternak ataupun hal lain yang dimilikinya secara utuh.
Dengan berubahnya status tanah adat menjadi hak milik adat, maka hubungan
antara masyarakat dengan tanah tersebut lepas. Lepas disini dalam arti pemilik tanah
telah bebas menentukan sendiri kegunaan tanah tersebut. Namun Soepomo
berpendapat bahwa hak milik atas tanah meliputi kekuasaan untuk bertindak sebagai
yang berhak sepenuhnya atas tanah, dengan mengingat beberapa kewajiban terhadap
masyarakat yang harus diperhatikan oleh pemiliknya.4
4
(20)
Sehingga tergambar bahwa meskipun pemilik tanah berkuasa penuh terhadap
sebidang tanah, namun masih terikat beberapa hak masyarakat. Adapun hak–hak
masyarakat yang dimaksud adalah seperti memberikan hak pengembalaan ternak atau
membolehkan sedikit tanahnya dibuat jalan yang semuanya merupakan untuk
kepentingan umum. Hal tersebut di atas sesuai dengan ketentuan dalam UUPA, di
mana dalam UUPA setiap hak milik selalu terkandung hak masyarakat sehingga tidak
ada kemutlakan hak sebagaimana terdapat dalam hak eigendom sebelum berlakunya
UUPA. Dalam pasal 20 ayat (1) menyebutkan : “Hak milik adalah hak turun temurun
terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat
ketentuan pasal 6”.5
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Purnadi dan A Ridwan Hakim
menyebutkan bahwa hak milik adat adalah suatu hak atas sebidang tanah tertentu
yang dipegang oleh perorangan yang terletak dalam wilayah hak ulayat suatu
masyarakat adat yang bersangkutan, tanah yang dikuasai dengan hak milik dalam
hukum adat tersebut berupa sawah dan beralih turun temurun.
Dalam pasal tersebut telah mengandung makna seseorang dalam
memiliki dan mempergunakan tanah harus mengingat kepentingan umum.
6
Peralihan tanah tersebut dapat dilakukan dengan pewarisan ataupun dengan
pemberian hibah atau dengan melakukan transaksi – transaksi yang dilakukan dengan
pengoperan ataupun penyerahan dengan disertai pembayaran kontan dari pihak lain
5
Undang – Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 6
Purnadi Purbacaraka dan A Ridwan Hakim, Sendi-Sendi Hukum Agraria,(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993), halaman 27
(21)
saat itu juga. Pada umumnya yang menjadi sebab seseorang pemilik tanah melakukan
transaksi itu adalah kebutuhan akan uang, apabila tidak dapat memperoleh pinjaman
uang, maka dilakukan transaksi tanah.
Dalam hukum tanah perbutan hukum ini disebut transaksi jual yang dapat
dibedakan atas 3 (tiga) jenis :
1. Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan tanpa syarat untuk selama – lamanya atau disebut jual lepas.
2. Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai ketentuan bahwa yang menyerahkan tanah dapat memiliki kembali tanah tersebut dengan pembayaran sejumlah uang disebut jual gadai.
3. Pembayaran tanah dengan pembayaran kontan disertai perjanjian, bahwa apabila kemudian tidak ada perbuatan hukum lain, sesudah satu – dua tahun atau bebrapa kali panen, tanah itu kembali lagi kepada pemilik tanah semula disebuat jual tahunan.7
Transaksi tanah dimana terjadi pemilik tanah selaku penjual menyerahkan
bidang tanahnya kepada pihak lain sebagai pembeli selama lamanya dengan
pembayaran sejumlah uang secara tunai atau dengan cicilan maka perbuatan tersebut
disebut Jual – Lepas. Kebanyakan di masa lampau jual – lepas tanah ini berlaku
dengan tertulis dibawah tangan, dengan atau tanpa kesaksian perangkat desa. Pada
masa sekarang jual – lepas dilakukan harus dengan kesaksian perangkat desa.
Dalam kebiasaan masyarakat kalaupun terjadi jual lepas tanah harus terlebih
dahulu menuruti ketentuan “ hak terdahulu” yakni orang yang mau menjual tanah
tidak begitu saja dapat menjualnya kepada siapa saja. Akan tetapi harus
mendahulukan penjualan itu kepada kerabatnya yang terdekat atau keluarga satu
marganya. Bila tidak ada kawan satu kerabat yang hendak membelinya, maka dia
7
(22)
harus menjualnya kepada orang sekampungnya dan apabila juga tidak ada yang
membelinya, pemilik tanah harus mencari orang yang berdekatan dengan tanah di
mana tanah tersebut berada, tetangganyalah yang didahulukan. Bila juga tetangga
yang berdekatan itu tidak ada yang membelinya, barulah dia dapat menjual lepaskan
kepada siapa saja yang mau membelinya. Hal ini supaya tidak diketahui bahwa telah
terjadi jual lepas tanah.8
Sifat jual lepas ini terang dan tunai, yang artinya terang diketahui oleh
tetangga, kerabat dan juga kepala persekutuan atau kepala adat dan dilakukan
pembayarannya pada saat itu juga, jika pembayaran belum lunas maka sisa
pembayaran yang belum lunas itu merupakan hutang pembeli kepada penjual.
Sehubungan hal tersebut di atas, Imam Soetiknyo memberi pengertian
“terang” yang menjelaskan bahwa pengalihan hak atas tanah menurut adat, harus
dengan dukungan (medewerking) Kepala Suku/Masyarakat hukum/Desa agar
perbuatan itu terang dan sahnya (rechtsgeldigheid) ditanggung Kepala
Suku/Masyarakat Hukum/Desa tersebut. Selain daripada itu Kepala Adat juga harus
menjamin agar hak-hak ahli waris, para tetangga (buren recht) dan hak sesama suku
tidak dilanggar apabila tanah hak milik adat tersebut akan di lepas atau dijual akad.9
Penguasaan tanah di Kabupaten Pakpak Bharat pada umumnya merupakan tanah
adat yang lahir dari penguasaan secara turun temurun atas bagian dari tanah ulayat,
8
Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Cetakan Pertama (Medan; Pustaka Bangsa Press,2003) halaman 127
9
Imam Soetiknyo, Politik Agraria Nasional, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1987) , halaman. 61
(23)
tanah menurut hukum Adat Pakpak adalah milik marga – marga Pakpak yang ada
salah satunya adalah marga Banurea, yang berada di bawah kekuasaan, pengawasan,
kewenangan penyelenggaraan Kepala Kappung yaitu Pertaki (Sulang Silima).
Kepemilikan atas tanah adat di Pakpak Bharat awalnya oleh karena pembukaan hutan
yang dibuat sebagai perkampungan (lebbuh) oleh Kepala Adat,lalu tanah itu
digunakan untuk kepentingan bersama masyarakat kampung (lebbuh) itu dan
kepentingan pribadi. Adapun dalam perkembangan tanah kampung (lebbuh) itu
terjadi peralihan dengan sistem pewarisan atau hibah. Transaksi karena gadai dan
jual - beli tanah adat atau yang disebut dengan jual - lepas.
Dalam pelaksanaan jual – lepas yang terjadi di Pakpak Bharat sering tidak dengan
proses yang ditentukan masyarakat adat, hukum adat, juga dalam melakukan
perbuatan pengalihan hak tanah adat tidak lagi melihat kepentingan dan martabat
marganya oleh karena “hak terdahulu” tidak lagi diutamakan dalam pelaksanaan
Jual – Lepas banyak daripada masyarakat hukum adat di Kabupaten Pakpak Bharat
Selain itu juga jual – lepas yang dilakukan terkadang tanpa sepengetahuan ahli waris
sebenarnya dari tanah tersebut, yang akhirnya peristiwa tersebut menimbulkan
permasalahan tanah di Pakpak Bharat, yang mana terjadi tumpang tindih kepemilikan penguasaan tanah dan ketidakpastian pemilik tanah hak adat yang sebenarnya pada akhirnya menimbulkan kerugian pada masyarakat hukum adat sendiri,yang dapat menyebabkan terjadi pertikaian diantara para kerabat marga itu
(24)
sendiri selain itu banyak dari para marga asli yang seharusnya berada di tanah
kampungya sendiri tidak memiliki tanah di kampungnya sendiri melainkan menyewa ataupun membeli tanah dari marga lainnya dan berada diluar tanah marganya sendiri.
Apabila sesuatu hak terjadinya menurut hukum adat, maka prosesnya pada
pembukaan tanah ulayat masyarakat adat setempat melalui proses yang lama. Untuk keperluan pendaftaraan hak diperlukan suatu surat keputusan pengakuan hak dari Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional setempat atau Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota sebagai penetepan Pemerintah. Pendaftaraan hak mempunyai arti dan fungsi di samping sebagai alat pembuktian yang kuat juga merupakan syarat lahirnya hak atas tanah tersebut.
”Di dalam ketentuan pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, menyebutkan setiap peralihan hak atas tanah melalui jual-beli, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, hanya dapat didaftarkan jika dapat dibuktikan dengan akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT). “Dalam UUPA juga menentukan bahwa setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan pasal 19 ayat (1) UUPA yang merupakan pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak konsumen dari masyarakat”.10
Dari ketentuan di atas, dapat ditarik suatu pengertian bahwa setiap dilakukan
peralihan hak atas tanah harus dibuat akta oleh dan di hadapan PPAT. Hal ini
10
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA, isi dan Pelaksanaannya, ( Jakarta: Djambatan, 1982), halaman 117
(25)
dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi
para pihak.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaraan Tanah disebutkan tujuan pendaftaran tanah adalah memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak dan kewajiban pemegang hak atas tanah. Dalam peraturan tentang pendaftaraan tanah dan aturan pelaksanaannya diatur tentang proses peralihan hak atas tanah dan pendaftaraannya, yang berakhir dengan terbitnya
sertifikat. Oleh karena itu kekuataan sertifikat akan tergantung dari keabsahan perbuatan hukumnya.
Perbuatan hukum yang melandasi peralihan hak cacat maka akan berakibat cacat pula kekuataan hukum sertifikatnya, Jual beli tanah hak ulayat dengan pelepasan adat sering dilakukan dengan tidak sesuai hukum adat dan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Masalah sengketa perkara tanah di Kota Salak disebabkan tidak memenuhi persyaratan dan prosedur yang telah ditentukan dalam jual – lepas tanah sehingga menjadi terhambat dalam proses pendaftaran tanah tersebut di BPN ( Badan Pertanahan Nasional) Kabupaten Pak – Pak Bharat.
Dari permasalahan tersebut diatas dapat diasumsikan bahwa dalam pelaksanaan Jual – Lepas tanah yang terjadi di Pakpak Bharat sekarang ini telah mengalami perubahan dalam prosesnya yang menyebabkan tanah marga yang ada mudah untuk dimiliki
(26)
oleh orang luar yang mana pada akhirnya akan menyebabkan menghilangnya tanah marga tersebut secara perlahan – lahan.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang penelitian diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan tesis ini adalah :
1. Bagaimanakah syarat – syarat proses terjadinya jual lepas tanah yang terjadi di Pakpak Bharat apakah masih menurut ketentuan Hukum Adat?.
2. Bagaimanakah proses peralihan hak milik adat menjadi hak perseorangan di Pak –Pak Bharat?
3. Apakah kendala yang terjadi dalam pendaftaran peralihan hak atas tanah adat di Kabupaten Pak-Pak Bharat?.
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apakah syarat-syarat proses terjadinya jual lepas yang terjadi di Pakpak Bharat masih menurut ketentuan Hukum Adat.
2. Untuk mengetahui bagaimana proses Hak Adat di Pak – Pak Bharat bisa menjadi hak milik adat.
3. Untuk mengetahui apakah kendala yang terjadi dalam pendaftaran peralihan hak atas tanah adat di Kabupaten Pakpak Bharat.
(27)
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan manfaat praktis , sebagai berikut :
1. Manfaat secara teoritis
a. Diharpkan dapat berguna bagi masyarakat yang akan melakukan proses jual lepas tanh hak ulayat dengan proses pelepasan adat.
b. Menjadi bahan informasi bagi para masyarakat terhadap proses jual lepas tanah ulayat
c. Menjadi bahan informasi bagi masyarakat untuk informasi dalam pelaksanaan pendaftaran tanah.
2. Manfaat secara praktis
a. Menjadi bahan masukan bagi masyarakat hukum adat terhadap hak dan kewajiban mengenai hak atas tanah ulayat
E. Keaslian Penelitian
Telah banyak penelitian yang dilakukan mengenai Tanah Ulayat, namun sejauh ini berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan khususnya dilingkungan Sekolah Pasca Sarjana Magister Kenotariatan dan Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan belum ada penelitian sebelumnya dengan judul : “ Analisis Yuridis Atas Jual Lepas Tanah Adat dan Kendala Pendaftaraannya Studi Pada Tanah Adat Suku Pakpak di Kabupaten Pakpak Bharat.”
(28)
Namun dalam penelusuran kepustakaan, penulis ada menemukan beberapa tesis karya mahasiswa, yang mengangkat masalah jual beli tanah namun permasalahan dan bidang kajiannya sangat berbeda, yaitu:
1. Tesis atas nama Cut Ida Khairani NIM : 027011009 dengan judul Analisis Pelaksanaan Jual Beli Tanah Milik Adat Pada Masyarakat Aceh. (Studi Di Kabupaten Aceh Barat). Permasalahan : Bagaimana pelaksanaan jual beli milik adat dalam masyarakat Aceh Barat, Apa faktor penyebab jual beli tanah milik adat dilakukan di hadapan PPAT dan tidak di daftarkan ke Kantor Pertanahan dan Apa peranan pihak terkait dalam upaya memberikan pemahaman tentang pentingnya kekuatan pembuktian jual beli tanah milik adat.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan mengapa gejala spesifik terjadi atau proses tertentu terjadi, dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta – fakta yang dapat menunjuk kan ketidak benarannya. Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir – butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan ( problem ) yang menajadi bahan perbandingan, pegangan teoritis,11
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir – butir pendapat, teori,tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan,
11
(29)
pegangan teoritis12
Kerangka teori yang akan dibahas dalam penelitian ini dengan aliran teori hukum dari kubu neo posivisme yang menyatakan Hukum itu cermin Rasionalitas dan Otoritas. Salah satu penganut teori ini adalah Max Weber, dimana ia menggunakan ukuran tingkat rasionalitas dan model kekuasaan untuk mengkonstruksi teorinya tentang hukum. Dalam ranah rasionalitas teori Weber berbunyi : “ Tingkat rasionalitas sebuah masyarakat akan menentukan warna hukum dalam masyarakat itu”. Disini Weber membagi tiga tingkat rasionalitas yakni : (i) substansif rasionalitas, (ii) substansif dengan sedikit kandungan rasional, (iii) rasional penuh.yang digunakan dalam pennelitian ini adalah tingkat rasionalitas yang kedua yaitu substansif dengan sedikit kandungan rasional, dimana pada tipe kedua ini dimiliki oleh masyarakat tradisi yang bertopang pada adat dan kebiasaan tradisonal, dimana hukum mewajah dalam bentuk informal rasional ( berupa aturan hukum yang serba informan).
. Teori diperlukan untuk menerangkan atau menjelaskan gejala spesifik atau prose tertentu terjadi, kerenanya suatu teori haruslah diujui dengan mengahadapkan pada fakta – fakta untuk menunjukkan kebenarannya.
13
Selain adanya teori aliran hukum neo positivism juga menuju adanya kepastian hukum yang oleh Roscue Pound dikatakan bahwa adanya kepastian hukum memungkinkan adanya “Predictability”.14
12
Ibid.,halaman 27
Dengan demikian kepastian hukum
13
Bernad L Tanya, dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Penerbit Genta Publishing, Yogyakarta 2010,hal
14
Pieter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Kencana Prenada Media group,Jakarta 2009,halaman 158
(30)
mengandung dua pengertian , yang pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan dan kedua berupa pengamanan bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Sedangkan menurut ajaran dogmatis tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin kepastian hukum, yang diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang membuktikan suatu aturan hukum semata – mata untuk kepastian hukum.
Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arah serta menjelaskan gejala yang diamati, karenanya penelitian ini diarahkan pada ilmu hukum neo positif yang berlaku yaitu tentang adanya hukum tanah adat dan transaksi tanah yang berlaku dalam masyarakat adat.
Tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat, karena merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan bagaimanapun akan tetap dalam keadaan semula, malah terkadang tidak menguntungkan dari segi ekonomis. Kecuali itu, adalah suatu kenyataan bahwa tanah merupakan tempat tinggal keluarga dan masyarakat, memberikan penghidupan, merupakan tempat di mana para warga yang meninggal dunia dikuburkan; dan sesuai dengan kepercayaan merupakan pula tempat tinggal para dewa-dewa pelindung dan tempat roh para leluhur bersemayam. Di dalam hukum adat, antara masyarakat hukum merupakan kesatuan
(31)
dengan tanah yang didudukinya, terdapat hubungan yang sangat erat sekali; hubungan yang bersumber pada pandangan yang bersifat religio-magis.
Pasal 5 UUPA yang menyatakan sebagai berikut :
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatunya dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar kepada hukum agama”. 15
Dari ketentuan Pasal 5 dapat dikatakan bahwa hukum adat yang merupakan dasar hukum agraria itu haruslah hukum adat yang :
a. Tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa.
b. Tidak bertentangan dengan sosialisme Indonesia
c. Tidak bertentangan dengan UUPA dan peraturan perundang-undangan lainnya
d. Mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama
Hak ulayat disebut juga sebagai hak purba (Djojodigeon), hak pertuanan (Soepomo)
yaitu hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum adat (sehingga sifatnya
merupakan hak bersama) untuk menguasai seluruh tanah beserta segala isinya dalam
15
(32)
lingkungan wilayah persekutuan tersebut yang merupakan hak atas tanah yang
tertinggi dalam hukum adat.16
Hukum tanah di Indonesia didasarkan pada Hukum Adat. Hal ini terdapat dalam
Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang berbunyi :
Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang berdasarkan pada Hukum Agama.17
Hak perseorangan atas tanah dibatasai oleh hak ulayat, sebagai seorang warga
persekutuan, maka tiap individu mempunyai hak untuk :18
1. Mengumpulkan hasil – hasil hutan
2. Memburu binatang liar
3. Mengambil hasil dari pohon – pohon yang tumbuh liar
4. Membuka tanah dan kemudian mengrjakan tanah itu
5. Mengusahakan tanah untuk diurus
16
Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat suatu Pengantar, penerbit Bina Cipta Bandung . 1988, halaman.35
17
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Penerbit Djambatan, Jakarta, Edisi Revisi 2004, Halaman 7
18
Bushar Muhammad,Pokok – Pokok Hukum Adat, PT Pradnyna Paramita Jakarta,2006,hal 107
(33)
Jadi seorang warga persekutuan berhak untuk membuka tanah untuk
mengerjakan tanah itu terus menerus dan menanam pohon itu di atas tanah itu,
sehingga ia mempunyai hak milik atas tanah itu.
Dalam kehidupan sehari – hari sering dijumpai transaksi atas tanah seperti
adanya seseorang yang menjual tanahnya, menyewa tanahnya, mengadaikan tanahnya
ataupun perbuatan – perbuatan hukum lainnya yang berkaitan dengan tanah guna
mendapatkan kontraprestasi yang berupa uang. Di dalam hukuma adat transaksi tanah
itu juga sering dilakukan.
Untuk mengungkap problematika pada permasalahan, diajukan beberapa teori dan konsep untuk menjelaskan suatu persoalan yang kita hadapi dalam masyarakat
Hukum Adat. Konsep dan teori yang berhubungan dengan pemindahan hak atas tanah adat (ulayat) melalui jual lepas yang sering dilakukan masyarakat adat, pemindahan hak tanah hak ulayat merupakan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemilik tanah dengan pelepasan adat kepada orang lain.
Menjual tanah adat berarti menyerahkan hak atas tanah adat dengan menerima ganti rugi ( pago – pago ) tertentu berbentuk uang tunai, dalam istilah hukum adat, jual beli dimaksudkan adalah jual lepas mutlak, jual lepas mutlakyaitu dengan
dijualnya/diserahkannya atas suatu bidang tanah, maka melepaskan pula segala hak atas bidang tanah tersebut, sehingga perpindahan dari tangan penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya.
(34)
Dalam penyerahan bidang tanah tersebut, pada saat itu diterima secara langsung pembayaran uangnya secara sekaligus tanpa dicicil.
Soepomo menyatakan bahwa: kata "jual" sebagai istilah hukum adat tidak sama artinya dengan kata "Verkopen" sebagai istilah hukum barat. Verkopen adalah suatu perbuatan hukum yang besifat obligatoir artinya verkoper berjanji dan wajib
mengoperkan barang yang diverkoop kepada pembeli dengan tidak dipersoalkan apakah harga itu dibayar kontan atau tidak.19
Sehubungan perbuatan hukum jual beli tanah dengan pelepasan adat dikuatkan oleh para saksi dapat dinyatakan sah menurut adat yang utama tidak menyimpang dari ketentuan sebagaimana diatur dalam ketentuan hukum lainnya, namun apabila dikaitkan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Pasal 26, perbuatan hukum tersebut harus ditindaklanjuti dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT, dengan demikian jual beli tersebut sah adanya.
Namun belum resmi sebagaimana diamanatkan UUPA. Berkaitan dengan hal tersebut Boedi Harsono memberikan Pernyataan bahwa:
"Dalam hukum adat, "Jual beli tanah" bukan perbuatan hukum yang merupakan apa yang disebut "perjanjian obligatoir". Jual beli tanah dalam Hukum Adat merupakan perbuatan hukum pemindahan hak dengan pembayaran tunai. Artinya, harga yang disetujui bersama dibayar penuh pada saat dilakukan jual beli yang bersangkutan. Dalam hukum adat tidak ada pengertian penyerahan yuridis sebagai pemenuhan kewajiban hukum penjual, karena apa yang disebut "jual beli tanah " itu
19
(35)
adalah penyerahan hak atas tanah yang dijual kepada pembeli yang pada saat yang sama membayar penuh kepada penjual harga yang telah disetujui bersama.20
Dalam suatu perbuatan hukum pemindahan hak terhadap tanah ulayat seyogyanya harus mendasarkan diri pada peraturan yang lebih tinggi, agar adanya harmonisasi pelaksanaan hukum di dalam masyarakat adat maupun masyarakat umum sehingga tidak saling bertentangan.
Vant Kant mengatakan bahwa hukum bertujuan untuk menjaga kepentingan tiap – tiap manusia supaya kepentingan – kepentingan itu tidak diganggu. Bahwa hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat.21 Untuk menjamin bahwa suatu jual beli itu sah, maka harus dilakukan secara terang, suatu perbuatan hukum jual beli dilakukan secara terang, jika dilaksanakan dengan sepengetahuan pimpinan persekutuan atau kepala desa yang sekaligus bertindak sebagai saksi dan menjamin sahnya perbuatan hukum jual beli tersebut.
Menurut Hilman Hadikusuma
”Bagi masyarakat adat dalam tata cara jual beli tanah, bukan unsur subjektif atau objektif tetapi terlaksana dan terjadinya perjanjian itu didasarkan pada kesepakatan (bulat mufakat) tunai dan tidak tercela, yang dimaksud tidak tercela yaitu masyarakat lingkungannnya tidak ada yang mempersoalkan, tidak ada yang merasakan terjadinya perjanjian itu tidak baik. Sebaliknya walaupun perjanjian itu dibuat dihadapan Kepala Kampung jika masyarakat mempersoalkan, menganggap hal itu tidak baik, maka perjanjian itu sebenarnya tidak sah.22
Berdasarkan sistem dan tata cara jual beli menurut hukum adat dapat disimpulkan
bahwa syarta-syarat sahnya suatu perbuatan hukum jual beli tanah menurut hukum
adat yaitu adanya objek daripada jual beli berupa tanah dan uang/harga, adanya kata
20
Boedi Harsono, Op. Cit. halaman. 29 21
CST Kansil, Pengantar Ilmu hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,2002, halaman 44 – 45.
22
(36)
sepakat para pihak (penjual dan pembeli) dan adanya saksi-saksi yang menyaksikan
perbuatan hukum jual beli itu
Mengenai pendaftaran terhadap tanah yang berasal dari tanah milik adat, Muhammad Yamin menyebutkan
”Khusus pendaftaran tanah yang berasal dari tanah hak milik adat maka pemohon mengajukan permohonan pengakuan hak/konversi dengan melampirkan tanda bukti haknya seperti yang dimaksud dalam UUPA, Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 tahun 1970 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
26/DDA/1996 kemudian oleh Kepala Pertanahan Kabupaten/Kotamdaya permohonan tersebut diumumkan selama 2 (dua) bulan berturut-turut di Kantor Kepala Desa dan Kantor Camat untuk memberikan kemungkinan pihak lain mengajukan keberatan-keberatan atas permohonan pendaftaran tersebut. Bila dalam jangka waktu yang telah ditentukan telah lewat, maka permohonan pengukuran hak tersebut diteruskan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi untuk diterbitkan Surat
Keputusan pengakuan haknya”.23
Berdasarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku, maka semua tanah yang berada dalam Wilayah Rrpublik Indonesia harus terdaftar, dengan tujuan pokok sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Umum Undang – Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria yaitu :
1. Meletakkan dasar – dasar bagi penyusunan hukum agrarian nasioanl yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat tani dalam rangka masyarakat adil dan makmur.
2. Meletakkan dasar – dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan hukum pertanahan.
23
Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofi Hukum Agraria, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), halaman 39
(37)
3. Meletakkan dasar – dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak – hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Masyarakat yang akan melakukan peralihan hak atas tanah karena jual lepas sangat berpengaruh dalam proses pendaftaran Akta PPAT dan meminimalisir penyimpangan Jual Lepas tanah Hak Ulayat dengan cara pendaftaran tanah di Kota Salak.
2. Konsepsi
Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan
sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang
disebut dengan operational definition.24 Pentingnya definisi operasional adalah untuk
menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu
istilah yang dipakai. 25
Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus
didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil
penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:
1. Tanah adalah Bagian permukaan bumi yangmerupakan suatu bidang yang terbatas.26
24
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1997), halaman 10
25
Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia : Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumetera Utara, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002, halaman 35
26
(38)
2. Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut.
3. Tanah Ulayat merupakan tanah wilayah masyarakat hukum adat tertentu
4. Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam wilayahnya yang merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa (Lebensraum).27
5. Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus – menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi: pengumpulan, pengelolaan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang – bidang dan satuan – satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang – bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak – hak tertentu yang membebaninya.28
6. Kepala Adat menurut Soepomo adalah bapak masyarakat, dia mengetuai
persekutuan sebagai ketua sebagai keluarga besar, dia adalah pemimpin dalam pergaulan persekutuan.29
27
Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang – Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya Jakarta : Djambatan, 2003 halaman. 185 - 186
28
Pasal 1 angka 1 PP No.24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah 29
(39)
7. Jual Lepas merupakan suatu perbuatan pemindahan dan penyerahan suatu bidang tanah beserta hak – haknya untuk selama – lamanya kepada pembeli dengan cara yang konkrit.
G. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian
Sifat Penelitian ini dilakukan dengan metode pendekatan yuridis sosiologis, yaitu suatu pendekatan yang meneliti data sekunder terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan mengadakan penelitian data primer.
Pendekatan Penelitian dalam penulisan hukum ini bersifat deskriptif analitis yaitu suatu penulisan yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala – gejala lainnya dan dilakukan analisi yang dimaksudkan untuk menggambarkan peraturan pertanahan yang berlaku.30
2. Lokasi Penelitian
Sesuai dengan perkembangan Pak – Pak Bharat yang terpusat di Desa Salak 1 dan Desa Salak 2, maka yang menjadi lokasi penelitian ini terletak di Kecamatan Salak Kabupaten Pak – Pak Bharat Propinsi Sumatera Utara.
H. Sumber Data
30
(40)
Untuk memperoleh data yang akurat dan objektif, maka dalam penelitian ini dilakukan dua cara pengumpulan data, yaitu data primer dan data sekunder. Data tersebut dapat diperoleh melalui:
1. Data Primer
Data primer ini diperoleh dengan cara mengadakan penelitian lapangan dengan mengadakan wawancara. yaitu cara untuk memperoleh informasi dengan cara bertanya secara langsung kepada responden yang telah ditetapkan sebelumnya. Tipe wawancara yang dilakukan adalah wawancara tidak berstruktur, yaitu wawancara yang dilakukan dengan tidak dibatasi oleh waktu dan daftar urutan pertanyaan, tetapi tetap berpegang pada pokok penting permasalahan yang sesuai dengan tujuan
wawancara. Wawancara tidak terstruktur ini dimaksudkan agar memperoleh jawaban spontan dan gambaran yang lugas tentang masalah yang diteliti. Sifat wawancara yang dilakukan adalah wawancara terbuka, artinya wawancara yang subjeknya mengetahui bahwa mereka sedang diwawancarai dan mengetahui maksud dan tujuan wawancara tersebut. Narasumber tersebut dipilih dari berbagai instansi dengan pertimbangan bahwa data yang diperoleh akan bersifat objektif dan tidak memihak. Hasil wawancara, baik dari pihak Pemerintah, masyarakat hukum adat maupun praktisi diharapkan akan membedakan uraian fakta dan data mengenai Kebijakan Negara dalam pelaksanaan jual beli Tanah Hak Ulayat dengan pelepasan adat dan pendaftaran tanah.
(41)
Adapun populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Pak – Pak Bharat yang telah melakukan jual lepas tanah pada kurun waktu 2009 – 2011. Sampel diambil 10% dari populasi, diperkirakan ada 10 orang dari total 5 desa yang terdapat di Kecamatan Salak masing – masing 2 kepala keluarga dari setiap desa.
Untuk melengkapi data penelitian yang telah diambil dari wawancara masyarakat, juga dilakukan wawancara dengan para narasumber yaitu:
1. Tokoh Adat 2 orang
2. Badan Pertanahan Nasional 1 orang
3. Kepala Desa 1 orang
4. Camat 1 orang
2. Data Sekunder
1. Bahan hukum sekunder, yaitu buku, makalah, dan artikel dari internet yang berkaitan dengan penelitian; Bahan hukum sekunder diperoleh melalui buku-buku yang berkaitan dengan judul tulisan, artikel, makalah, dan artikel yang diperoleh melalui internet.
2. Bahan hukum tertier, yaitu kamus hukum, eksiklopedia dan kamus bahasa.
I. Pengumpulan Data.
Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini diperoleh dengan kumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan cara yaitu :
(42)
a. Studi Lapangan dilakukan dengan pedoman wawancara kepada para pihak yang dianggap sangat berkompeten dalam bidang pertanahan dan berwenang untuk memberikan penjelasan berkaitan dengan materi yang menajadi objek penelitian anatara lain instansi – instansi terkait dengan masalah tanah adat seperti Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Pak – Pak Bharat, Lembaga Adat serta masyarakat adat itu sendiri.
b. Studi kepustakaan ( library research ) yaitu pengumpulan data dengan melakukan penelaahan kepada bahan pustaka atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum primer.
J. Analisis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurut data ke dalam pola,
kategori, dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.31
Data yang dikumpulkan baik dari penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan selanjutnya dianalisis secara kualitatif, yaitu metode analisi yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari lapangan menurut kualitas dan
kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan teori – teori yang diperoleh dari kepustakaan, sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang diajukan.
31
Lexy, J. Moeleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), halaman103
(43)
Kemudian berdasarkan analisa tersebut ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif.
(44)
BAB II
SYARAT – SYARAT JUAL LEPAS TANAH ADAT DI PAK – PAK BHARAT
A. Profil Singkat Kabupaten Pak–Pak Bharat Dan Masyarakat Pak-Pak 1. Kondisi Wilayah Pak – Pak Bharat
Kabupaten Pak-Pak Bharat sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Dairi
terletak di Pantai Barat Sumatera yaitu 2, 00 – 3,00 LU 96,00 – 98,30 BT dan berada
pad ketinggian 250 – 1400 m diatas permukaan laut. Kabupaten Pak – Pak Bharat
juga memiliki batas wilayah sebagai berikut :
1. Sebelah Utara : Kecamatan Silima Punggapungga, Lae Parira, Sidikalang
Kabupaten Dairi.
2. Sebelah Selatan : Kecamatan Tara Bintang, Kabupaten Humbang Hasundutan
dan Kecamatan Manduamas Kabupaten Tapanuli Tengah.
3. Sebelah Timur : Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi dan Kecamatan
Harian Kabupaten Tobasa.
4. Sebelah Barat : Kabupaten Aceh Singkil Propinsi Nangroe Aceh Darrusalam.
Sebenarnya Pak-Pak Bharat bukan wilayah baru, Kabupaten yang mengambil
3 (tiga) Kecamatan dari Dairi mengambil nama sub wilayah suku Pak – Pak.
Kabupaten Pak – Pak Bharat secara administratif memiliki 8 (delapan)
Kecamatan yakni Kecamatan Salak, Kecamatan Kerajaan, KecamataSitellu n Tali
Urang Jehe, Kecamatan Tinada, Kecamatan Siempat Rube, Kecamatan Sitellu Tali
(45)
wilayah Kabupaten 1.218,30 KM2 ( 121.830 Ha) atau 1,76 % dari luas Propinsi
Sumatera Utara. Dari luas wilayah tersebut 63.974 Ha diantaranya merupakan lahan
yang efektif dan 53.156 Ha merupakan lahan yang belum dioptimalkan, yang
beriklim sedang, dengan rata – rata suhu 280
Penduduk Kabupaten Pak-Pak Bharat berjumlah 36.972 jiwa yang terdiri dari 18.216
jiwa laki – laki dan 18.756 jiwa perempuan
C dengan curah hujan per tahun sebesar
311 MM.
32
Sebagai Kabupaten yang sedang berkembang banyak pembangunan yang terjadi di
daerah Pak – Pak Bharat hal ini sangat terlihat di ibukota Kabupatennya yaitu Kota
Salak, dan kebutuhan akan tanah di kota itu sangatlah tinggi oleh karena banyak dari
pegawai pemerintahan kabupaten tersebut berasal dari luar daerah Pak – Pak dan
kebanyak dari mereka berdomisili di Kota Salak, selain faktor itu juga banyak dari
pihak luar yang datang ke daerah itu untuk berusaha dan membangun sarana
prasarana yang membantu perkembangan daerah itu misalnya pembagunan
perkantoran, hotel,dan sebagainya oleh karena pembangunan ini lah praktek jual
lepas (pelepasan hak) banyak terjadi di Kota Salak yaitu mencakup desa Salak 1 dan
desa Salak 2 menurut keterangan dari Kepala Desa Salak 2 sejak tahun 2009 – 2011 . Pada umumnya mereka tinggal di
daerah pedesaan dan pencaharian utamanya adalah dengan bertani, dan merupakan
Kabupaten yang memiliki penduduk paling sedikit dari seluruh Kabupaten/ kota di
Propinsi Sumatera Utara.
3232
(46)
sudah terjadi 73 kasus jual lepas ( pelepasan hak ) sedangkan di desa Salak 1 ada 60
kasus jual lepas ( pelepasan hak )33
Kota Salak yang terdapat di Kecamatan Salak merupakan Ibukota Kabupaten
yang terdiri dari 5 (lima) desa yaitu Desa Salak 1 (satu), Desa Salak 2 (dua),
Boangmanalu Salak, Penangalan binangaboang dan Kuta Tinggi. Dari ke 5 (lima)
desa ini Desa Salak 1 (satu) dan Salak 2 (dua) yang paling banyak melakukan praktek
Jual Lepas atau dalam pelaksanaannya di daerah ini lebih sering disebut dengan
Pelepasan Hak.
sedangkan di tiga desa lain yang ada di
Kecamatan Salak jarang sekali dilakukan praktek jual lepas tanah ini dikarenakan
jaraknya yang jauh dari pusat kota Salak dan susahnya transportasi sehingga tidak
banyak yang berminat. Oleh karena itu untuk sampel penelitian ini hanya dilakukan
di ke-2 (dua) desa yaitu Desa Salak 1 dan Desa Salak 2 yang terdapat di Kecamatan
Salak .
34
a. Desa Salak 1 (satu)
Sebab di kedua desa inilah pembangunan sangat pesat terjadi dan
juga merupakan jantung Kota Salak. Adapun luas wilayah kota ini seluas 730 ha (
tujuh ratus tiga puluh hektar) kepadatan penduduk yang terdiri dari laki – laki 3.571
orang dan perempuan 3.640 orang. Desa Salak 1 (satu) dan Desa Salak 2 (dua)
masing – masing memiliki 5 (lima) dusun yaitu:
- Dusun Pasar
33
Wawancara Kepala Desa Salak 2 E.Padang (24 Juli 2011)
34
(47)
- Dusun Pelnas
- Dusun Permangu
- Dusun Lae cilum
- Dusun Gunung Meriah
b. Desa Salak 2 (dua)
- Dusun 1 Pasar Salak
- Dusun 2 Barisan
- Dusun 3 Napa Sengkut
- Dusun 4 Persabahen
- Dusun 5 Kuta Kettang
Walaupun di Pak – Pak Bharat pada saat ini sedang melaksanakan pembangunan
tetapi pembangunannya belum begitu merata dapat dilihat pembangunan hanya
terpusat di Kota Salak, sehingga banyak tanah yang belum dimanfaatkan secara
maksimal, masih banyak tanah yang ditumbuhi belukar dan bergunung terjal yang
merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat Pak – Pak.
2. Keadaan Masyarakat Hukum Adat Pakpak
Suku Pakpak terdiri atas 5 (lima) suak yaitu simsim, keppas,pegagan, boang
dan kelasen. Dibawah suak terdapat kuta (kampung) yang dipimpin oleh Pertaki atau kappung (kepala kampung). Pada umumnya Pertaki atau kappung (kepala kampung) juga merupakan raja adat sekaligus sebagai panutan di kampungnya, disamping itu
(48)
berkaitan dengan pengolaha kuta (kampung), penegakan hukum, ketertiban dan
disiplin. Disetiap kuta ada Sulang Silima sebagai pembantu Pertaki yang terdiri dari
perisang – isang, perekur –ekur, pertulang tengah, perpunya ndiadep dan perbetekken (anak paling besar,anak tengah, anak paling kecil, anak perempuan dan
teman satu marga)
Meski struktur pemerintahan yang seperti ini sudah tidak dipakai lagi karena
dianggap tidak relevan karena pengaturan daerah termasuk desa – desa di seluruh
Indonesia diatur secara nasional melalui perundang – undangan, Undang - Undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintaha Daerah yang sudah mengatur secara tegas
mengenai desa, keluruhan, dusun dan lingkungan dan semuanya tidak berdasarkan
hukum adat Pakpak, tetapi masih tetap dipertahankan sebagai sumber hukum adat
budaya Pakpak.
Secara tradisional wilayah komunitasnya disebut tanah Pakpak, hampir 90%
(Sembilan puluh persen) penduduk di wilayah Pak-Pak Bharat beretnis Pakpak maka
penduduknya bisa dikategorikan homogen Walaupun tanah Pakpak itu terpisah secara
administratif, tetapi secara geografi tidak terpisah satu sama lain karena berbatasan
langsung walaupun hanya bagian – bagian kecil dari wilayah kabupaten tertentu,
kecuali Kabupaten Pak-Pak Bharat menjadi sentra utama masyarakat suku Pak-Pak.
Kesatuan komunitas terkecil yang umum dikenal hingga saat ini disebut
Lebbuh dan Kuta. Lebuh merupakan bagian dari Kuta yang dihuni oleh klan kecil sementara kuta adalah gabungan dari lebbuh – lebbuh yang dihuni oleh suatu klen
(49)
Jadi setiap Lebbuh dan Kuta dimiliki oleh klen atau marga tertentu dan
dianggap sebagai penduduk asli, sementara marga tentu dikategorikan sebagai
pendatang. Selain itu orang Pakpak menganut prinsip Patrilineal dalam
memperthitungkan garis keturunan dan pembentukan klen (kelompok
kekerabatannya) yang disebut marga.
Marga – marga yang ada dalam suku Pakpak diklasifikasikan menjadi 5
(lima) bagian besar yakni Pakpak Simsim, Pakpak Boang, Pakpak Keppas, Pakpak
Pegagan, dan Pakpak Kelasen., masing – masing sub ini dibedakan berdasarkan hak
ulayat marga.
Marga – marga Pakpak yang termasuk Pakpak Simsim misalnya : marga
Berutu, Tinadang, Padang, Bancin, Manik, Sitakar, Kebeaken, Lembeng, dan Cibro,
Boangmanalu, Padang Batanghari, Solin, Tendang dan Banurea. Marga Pak-Pak
Keppas misalnya : marga Ujung, Angkat Bintang, Capah, Kudadiri, Brampu, dan
Maha, Sinamo, Pardosi. Marga Pakpak Kelasen misalnya : marga Tumangger,
Tinambunen, Kesogihen, Meka, Maharaja, Gajah Brasa, Sikettang dan Mungkur .
Marga Pak-Pak yang termasuk Pakpak Boang misalnya : Saraan dan Sambo Marga
Pakpak yang termasuk Pakpak Pegagan misalnya : marga Lingga, Mataniari dan
Manik.35
Kota Salak yang dulunya pada saat masih menjadi bagian dari Kabupaten
Dairi hanyalah sebuah desa kecil yang mana tanahnya merupakan hak ulayat dari Masing – masing sub marga ini dibedakan berdasarkan hak ulayat marganya
dan identitasnya adalah marga yang dimilikinya.
35
(50)
marga Banurea, setelah Pak – Pak Bharat memisahkan diri dan menjadi Kabupaten
Desa Salak ini lah yang sangat mempunyai potensi sebagai Ibukota. Kota Salak
sekarang bukan lagi seperti pada saat menjadi sebuah desa luas wilahnya pun
bertambah yang dulunya hanya dimiliki oleh tanah ulayat marga Banurea tetapi juga
ada tanah ulayat marga Boangmanalu dan Bancin walaupun begitu 80 (delapan
puluh) % dari luas Kota Salak sekarang adalah tanah marga Banurea dan berada di
Desa Salak 1 (satu) dan Desa Salak 2 (dua), oleh karena itu praktek Jual Lepas atau
Penyerahan Hak sangat banyak dilakukan di Desa Salak 1 dan Salak 2 yang tanahnya
dimiliki oleh marga Banurea dikarenakan di tanah ulayat marga Banurea inilah terjadi
banyak pembangunan.
Marga Banurea sendiri terdiri dari 8 (delapan) bagian yaitu :
1. Banurea Mabar
2. Banurea Kutagugung
3. Banurea Perira
4. Banurea Kutakettang
5. Banurea Kutarimbaru
6. Banurea Boangjati
7. Banurea Telangke
8. Banurea Lebuh tendang36
36
(51)
Masing masing marga ini memiliki Lebbuh (perkampungan) nya sendiri dan
bebas untuk menggunakan dan mengusahakan setiap tanah yang ada di seluruh
wilayah kekuasaan marga Banurea yang mana setiap Lebbuh (perkampungan)
dipimpin oleh Pertaki atau kappung ( kepala kampung). Walaupun ada sub bagiannya
tetapi diatasnya itu juga ada satu Pertaki atau Kappung yang dipilih dari sub
marganya untuk menjadi pemimpin marga itu secara kesatuan.
Jadi dapat dilihat bahwa seluruh suku Pakpak di Kabupaten Pak – Pak Bharat
adalah anggota masyarakat hukum adat yang mempunyai kekayaan, wilayah sendiri
yang dipimpin oleh Pertaki atau Kappung ( Kepala Kampung) dan memiliki hak dan
kewajiban yang sama dalam Persekutuan Hukum Adat.
Bushar Muhammad menjelaskan bahwa masyarakat hukum adat yang bersifat territorial adalah : Masyarakat yang disusun berdasarkan lingkungan daerah, adalah masyarakat hukum adat yang para anggotanya merasa bersatu dan oleh sebab itu merasa bersama – sama merupakan kesatuan dalam hubungan kekerabatan karena adanya ikatan para mereka masing – masing dengan tanah tempat tinggal mereka. Landasan – landasan yang akan mempersatukan para anggota masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat territorial adalah ikatan orang dengan anggota masyarakat masing – masing dengan tanah yang didiaminya, sejak kelahirannya.37
Masyarakat hukum adat Pakpak mempunyai hubungan kekerabatan dengan
adanya keterikatan dengan tanah tempat tinggal sejak kelahirannya bersama – sama
membentuk suatu kesatuan atas lingkungan daerah tersebut, sehingga dapat dikatakan
bahwa masyarakat hukum adat Pakpak sebagai masyarakat hukum adat bersifat
37
Bushar Muhammad, Asas – Asas Hukum Adat suatu Pengantar, ( Bandung : Bina Cipta 1988), halamana 33
(52)
territorial, yang masih memperdulikan hak – hak atas pemerintahan adat dalam
kehidupan sehari –hari yang masih mempertahankan nilai – nilai leluhur.
3. Peranan Lembaga Adat Sulang Silima Suku Pakpak
Menurut Soepomo, pengertian Kepala Adat adalah sebagai berikut “Kepala
Adat adalah bapak masyarakat, dia mengetuai persekutuan sebagai ketua suatu
keluarga besar, dia adalah pemimpin pergaulan hidup dalam persekutuan.” 38
Dengan demikian kepala adat bertugas memelihara hidup hukum didalam
persekutuan, menjaga, supaya hukum itu dapat berjalan dengan selayaknya. Aktivitas
Kepala Adat sehari – hari meliputi seluruh lapangan masyarakat. Tidak ada satu
lapangan pergaulan hidup di dalam badan persekutuan yang tertutup bagi Kepala
Adat untuk ikut campur bilamana diperlukan untuk memelihara ketentraman,
perdamaian, keseimbangan lahir batin untuk menegakkan hukum.
Adapun aktivitas kepala adat dapat dibagi dalam 3 bagian yaitu :
1. Tindakan mengenai urusan tanah berhubung dengan adanya pertalian erat antara
tanah persekutuan (golongan manusia) yang menguasai tanah itu.
2. Penyelesaian hukum sebagai usaha untuk mencegah adanya pelanggaran hukum
(Preventieve Rechtzorg) supaya hukum dapat berjalan sebagaimana mestinya.
38
(53)
3. Menyelenggarakan hukum sebagai pembetulan hukum setelah hukum itu
dilanggar (Repseive Reshtszorg).39
Dengan demikian Kepala Adat di dalam segala tindakannya dan dalam
memegang adat itu ia selalu memperhatikan perubahanperubahan. Adanya
pertumbuhan hukum, sehingga dibawah pimpinan dan pengawasan Kepala Adat yang
sangat penting adalah pekerjaan di lapangan atau sebagai hakim perdamaian desa.
Apabila ada perselisihan atau perbuatan – perbuatan yang bertentangan dengan
hukum adat, maka Kepala Adat bertindak untuk memulihkan perdamaian adat,
memilihkan keseimbangan di dalam suasana desa serta memulihkan hukum.
Dalam masyarakat adat Pakpak yang masih sangat dipengaruhi oleh hukum
adat, kepala adat sebagai pimpinan dari suatu lebbuh atau Kuta dari marga – marga
yang ada di Pakpak mempunyai peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan
aturan – aturan adat yang ada pada masyarakat Pakpak.
Dulunya kepala adat di Pakpak disebut dengan Pertaki atau Kappung (Kepala
Kampung) dialah yang menjadi pimpinan dan penanggung jawab dari suatu lebbuh
atau kuta dengan Sulang Silima sebagai pelaksana tugasnya, seiring perkembangan
zaman dan perkembangan daeran istilah Pertaki ini perlahan – lahan menghilang
keberadaannya dan Sulang Silima yang dianggap sebagai ketua adatnya. Lambat laun
Sulang Silima yang tadinya terdiri dari 5 (lima) unsur yaitu : perisang – isang (anak paling besar), perekur –ekur (anak paling bungsu), pertulang tengah (anak tengah ), perpunya ndiadep(anak boru) dan perbetekken (teman satu marga) juga mengalami
39
(54)
perubahan, Sulang Silima yang sekarang hanya beranggotakan dari marga – marga
Pakpak yang ada.
Pada sekarang ini istilah Pertaki atau Kappung (kepala kampung) sudah
tidak dipergunakan lagi tetapi sudah diganti menjadi Kepala Desa sesuai dengan
Pengaturan Pemerintahan dalam Undang – undang No 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, dulunya dialah yang berkuasa penuh dalam pelaksanaan hukum
adat terutama masalah pertanahan setelah Pertaki atau Kappung ( Kepala Kampung)
tidak lagi digunakan yang berpengaruh saat ini adalah Sulang Silima.
Sulang Silima yang menjadi penentu dan pembuat keputusan dan sumber dari segala sumber hukum adat Pakpak yang menyangkut hukum pertanahan, hukum
perkawinnan, hukum pewarisan dan juga mengatur tentang kekerabatan pada
masyarakat Pakpak, dimana dalam pelaksanaannya diluar dari ke 5 (lima) unsur yang
ada dalam Sulang Silima diangkatlah satu orang dengan marga yang sama sebagai
Kepala Adat, fungsi Kepala Adat disini hanyalah sebagai perantara masyarakat
dengan ke 5 (lima) unsur Sulang Silima, kepala adat disini tidak berhak untuk
mengambil keputusan dalam pelaksanaan adat, kepala adat ini hanya berfungsi
dengan baik pada saat acara – acara adat saja, sedang peranan dari Sulang Silima
sama dengan peranan Pertaki atau Kappung (Kepala Kampung) sebelumnya. Ke 5 (
lima ) unsur yang ada di Sulang Silima bukan satu ketetapan yang mana isi dari ke 5
(lima) unsur masih merupakan satu keluarga dari satu garis keturunan
Sulang Silima yang sekarang dikenal di Pak – Pak Bharat dan masih dianggap keberadaannya adalah Lembaga Adat Sulang Silima yang dibentuk dan anggotanya
(55)
dipilih sendiri oleh para marganya. Walaupun Sulang Silima ini menjadi satu
kesatuan, tetapi di dalam pembentukannya juga masih berdasarkan ke 5 (lima) unsur
yang diharuskan tetapi sudah menjadi satu kesatuan bukan lagi berdasarkan
keturunan keluarga satu empungnya (kakek).
Adapun peranan dari Sulang Silima pada saat ini sangat terlihat dalam usaha
untuk pengamanan amanah atau warisan tanah ulayat marganya. Dalam
pelaksanaannya sendiri Sulang Silima ini terlihat pada marga Banurea Kutagugung
yang dipimpin oleh H.Banurea sebagai Ketua Umum yang merupakan sub bagian
dari Sulang Silima Banurea seluruhnya yang pada saat ini dipimpin oleh M.Banurea
(Mpu Bada).40
B. Struktur Kepemilikan Tanah Marga atau Tanah Adat di Pak – Pak Bharat
Bila ada perbuatan – perbuatan hukum serta permasalahan mengenai
tanah marga, maka penyelesaian diserahkan kepada Sulang Silima sebagai lembaga
adat tertinggi suku Pakpak pada masa sekarang ini.
Dari hasil penelitian yang diperoleh melalui hasil wawancara responden bahwa status
tanah yang ada di Pak – Pak Bharat merupakan tanah dalam status tanah adat,
sebagian besar dari bidang tanah diatur menurut hak milik adat, atau hak atas tanah
adat. Hak atas tanah adat dalam bahasa Indonesia disebut hak ulayat. Tanah ulayat
menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor.5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
40
H.Banurea, Wawancara dengan Kepala Adat Sulang Silima marga Banurea Kutagugung.(Salak, 25 Juli 2011)
(56)
Hukum Adat Pasal 1 ayat 2 menyatakan bidang tanah yang di atasnya terdapat hak
ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.
Kepemilikan tanah pada umumnya di Kabupaten Pak – Pak Bharat adalah tanah
marga dan tanah milik adat secara bersama – sama 80% (delapan puluh persen) dari
kepemilikan tanah yang ada di Pak – Pak Bharat adalah tanah marga dan 20% (dua
puluh persen) adalah tanah milik adat bersama yang mana kepemilikan tanah ini
dimiliki secara bersama – sama dalam satu keluarga tanah ini masuk kedalam tanah
warisan keluarga dan masih dalam sistem kekeluargaan yang sangat erat maka
pembagiannya tidak dilakukan secara jelas hanya secara lisan saja. Luas Tanah adat
yang ada di Pak-Pak Bharat seluas 35.670 ha yang dikuasai oleh marga Pak-Pak yaitu
marga Berutu, Bancin, Padang, Solin, Sinamo, Manik, Cibro, Banurea,
Boangmanalu,Lembeng, Sitakar, Kabeaken, Tinendung, Munthe, Ujung, Kudadiri,
Mataniari dan Siketang.
Tanah adalah satu kesatuan dengan kehidupan masyarakat Pakpak atau menunjukkan
identitas tentang keberadaan anggota masyarakat tersebut sehingga tanah menetukan
hidup matinya masyarakat tersebut. Tanah dikuasai oleh marga sebagai pemilik
ulayat tanah tersebut. Adapun bentuk – bentuk tanah sebagai berikut :
a. Tanah tidak diusahai : Tanah “Karangan Longo – longoon” (hutan dan tidak
pernah dikunjungi orang), Tanah “Kayu Ntua” (tanah yang luas penuh dengan
(57)
– lamanya), Tanah “Balik Batang” (tanah bekas ladang yang tidak diusahai lagi)
dan Rambah Keddep (Jempalan) (lapangan yang luas dan subur tempat kerbau
untuk makan).
b. Tanah yang diusahai : “Tahuma Pargadongen” (ladang ubi), “Perkemenjemen”
(ladang kemenyan) dan “Bungus” ( tanah luas dan banyak terdapat tanaman tua)
c. Tanah Perpulungen yaitu “embal – embal” (warisan) dan Jalangan ( tanah yang
subur yang tidak dketahui siapa pemilik tanah tersebut dan dapat digarap).
d. Tanah Sembahen : tanah yang dijadikan tempat untuk melakukan ritual khusu
menyembah nenek moyang yang mempunyai sifat magis (keramat) pada saat ini
tanah ini sudah tidak dipergunakan lagi dan dijadikan tempat untuk berladang.
e. Tanah Persediaan yaitu tanah cadangan dimana tanah ini tetap hak marga, tanah
yang dijaga oleh Permangmang (orang yang sangat dihormati) dan tidak boleh
diganggu.
f. Lebbuh : tanah perkempungan untuk setiap marga bermukim.
Dalam hal pergeseran/pengalihan tanah tidak ada dalam hukum adat Pakpak, kecuali
tanah Rading Berru (tanah yang diberikan kepada anak perempuan/menantu
sepanjang masih dipakai) dan apabila tidak dipakai lagi harus dikembalikan kepada
(58)
tersebut harus menggambil anak perempuan (berru) dari kula-kulanya tersebut dan
juga tanah ladang dan persawahan.41
Tetapi dalam hal perkembangan Pak – Pak Bharat yang berkembang dengan pesat
serta kebutuhan akan tanah dan kepentingan akan uang pergeseran/pengalihan tanah
yang dikatakan tidak ada tersebut dapat dikesampingkan asal sesuai dengan tata cara
adat dan telah mendapat izin dari Sulang Silima. Disinilah peran serta dan pentingnya
Sulang Silima sebagai Kepala Adat
C. Jual Beli dalam Hukum Adat
Jual beli tanah sebagai suatu lembaga hukum tidak secara tegas dan terperinci diatur
dalam UUPA, bahkan sampai sekarang belum ada peraturan yang mengatur khusus
mengenai pelaksanaan jual beli tanah. Menurut hukum adat, jual beli tanah adalah
suatu pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti
perbuatan pemindahan hak tersebut harus dilakukan di hadapan kepala adat, yang
berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan
pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh umum. Tunai
maksudnya bahwa peraturan pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan
secara kontan
41
(1)
tanda tangan dari Ketua Adat dan Kepala walaupun tidak dilakukan di hadapan pejabat yang berwenag dalam hal ini PPAT.
3. Hambatan hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan pendaftaran tanah yang berasal dari jual lepas tanah adat adalah sebagian besar masyarakat adatnya menggangap bahwa penentu dalam pelaksanaan transaksi dan pengelolaan tanah yang ada di Pak – Pak Bharat itu berdasarkan keputusan dari Lembaga adat Sulang Silima dan hukum adat masih sangat kuat dan pelaksanaan penerapan UU No.5 tahun 1960 tentang Pokok – Pokok Agraria dan PP No.24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah beserta peraturan lainnya belum dapat berjalan dengan lancar sehingga administrasi pendaftaran tanah masih berantakan.
B. Saran
1. Masyarakat adat Pak – Pak dalam melakukan jual lepas tanah mulai berpedoman kepada Keputusan Bersama yang telah disepakati oleh Kantor Pertanahan dan Lembaga Adat Sulang Silima Marga yang ada tentang pelaksanaan transaksi tanah, dengan adanya keputusan tersebut bukan menidakan fungsi dari Sulang Silima tapi untuk menciptakan administrasi hukum pertanahan di Pak – Pak Bharat.
2. Pendekatan dan sosialisasi yang lebih baik lagi dilakukan oleh Kantor Pertanahan kepada Sulang Silima dan masyarakat adatnya terutama tentang Keputusan Bersama mengenai tanah yang ada di Pak-Pak Bharat dan Undang Undang No 5 tahun 1960 dan PP No.24 tahun 1997 mengenai Pendaftaran Tanah sehingga
(2)
Sulang Silima dan Kantor Pertanahan dapat bekerjasama melakukan pendekatan kepada masyarakat adat marga yang ada di Pak – Pak Bharat untuk menerima dan lebih memahami peraturan perundang – undangan yang berlaku.
3. Kantor Pertanahan harus memberikan pemahaman kepada masyarakat dibantu oleh Kepala Desa dan Camat dengan melakukan penyuluhan dan sosialisasi mengenai pentingnya sebuah sertifikat, adanya tranparansi dari pihak kantor Pertanahan sendiri tentang biaya yang dikeluarkan dalam pembuatan sertifikat tanah agar para masyarakat tidak menganggap itu menjadi beban dan hanya membuang – buang waktu saja.
(3)
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, 1985 , Beberapa Aspek Tentang Hukum Agraria Seri Hukum Agraria V, Sinar.
Ardiwilaga R. Roestandi, 1962, Hukum Agraria Indonesia, NV. Masa Baru Bandung
Berutu Lister , Berutu Tandak ,2006,Adat & Tata Cara Perkawinan Masyarakat Pakpak,Penerbit Grasindo Monara, Medan
Dalimunthe , Chaddijah,1998, Pelaksanaan Landeform di Indonesia, edisi pertama, cetakan pertama,USU Press Medan
Effendi,Bachtiar,1983, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan- Peraturan Pelaksanaannya, Cetakan Kesatu, Alumni Bandung.
Hadikusuma, Hilman,1994, Hukum Perjanjian Adat, PT. Citra Adytia, Bandung. Haar, Ter,1982, Asas – asas dan susunan Hukum Adat Indonesia, Cetakan kedelapan,
Penerbit Sumur Bandung.
Harsono,Boedi, 200, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Edisi Revisi, Cetakan ke-11, Djambatan, Jakarta
Harahap,A.Bazar, 2007, Posisi Tanah Ulayat Menurut Hukum Nasional, CV. Yani’s, Jakarta
Kansil,C.S.T,2002, Pengantar Ilmu hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Kartasapoetra dkk, G ,1990, Hukum Tanah, Jaminan Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah.PT Rineka Cipta,Jakarta
Lubis,M. Solly,1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, Cetakan I
Moeleong Lexy, J, 1994, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda, Bandung: Karya
(4)
Mertokusumo,Sudikno,2005, Mengenal Hukum , Liberty, Yogyakarta. ________________ ,2007 Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta
Murad,Rusmadi,1991, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Penerbit Alumni,
Bandung.
Mahadi,2003, Uraian Singkat Hukum Adat Sejak RR tahun 1854,Penerbit Alumni,Bandung.
Parlindungan,A.P,1999, Pendaftaran Tanah di Indonesia, CV. Mandan Maju, Bandung
_______________, 1993 ,Komentar Atas Undang – undang Pokok Agraria. Mandar Madju.Bandung
Perangin,Effendi, 1988 , Praktek Jual Beli Tanah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Purbacaraka,Purnadi dan A Ridwan Hakim, 1983, Sendi-Sendi Hukum Agraria, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Poerwadarminta,W.J.S, 1996, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta
Poespanoto K.Ng. Soebakti, 1981, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramitha,Jakarta
Prodjodikoro, Wirjono, 1998, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, CV. Haji Mas Agung , Jakarta
Rajagukguk Erman, 1995, Hukum Agraria,Hukum Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup. Chandra Pratam
Ridwan, Ahmad Fauzi, Hukum Tanah Adat, Cetakan Pertama, Dewarucci Press, Jakarta,1982.
Ruchiyat,Edi, ,1984 Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, Bandung: Alumni.
(5)
Sutedi Adrian ,2009 Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya,Sinar Grafika,Jakarta
Suandra,Wayan, 1991, Hukum Pertanahan Indonesia, Penerbit Rineka Cipta JakartaCitra Aditya, Bandung.
Sumardjono, Maria S.W, 2001, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Buku Kompas, Jakarta
Soekanto,Soerjono,1986. . Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta ________________ ,2001 Meninjau Hukum Adat Indonesia, PT Raja Grafindo
Persada;, Jakarata.
_________________,1986, Sosiologi Suatu Pengantar, CV. Rajawali, Jakarta Soesilo,R,1991, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politea, Bogor.
Soepomo,R, 1994, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, PT. Pradnya Paramita, Jakarta ______________, 1967 Hukum Perdata Jawa Barat, Djambatan,Jakarta, Soetiknyo,Iman,1987, Politik Agraria Nasional, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
Soedjendro Kartini J, 2001, Perjanjian Peralihan Hak atas Tanah yang berpotensi konflik Kanisius. Yogyakarta.
. Tan Kamelo, 2002 , Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia : Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumetera Utara, Disertasi, PPs-USU, Medan,
Taneko, Soeleman Biasene, 1981 Dasar-Dasar Hukum Adat dan Ilmu Hukum Adat: Alumni, Bandung
Tanya Bernad L, dkk,2010, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Penerbit Genta Publishing, Yogyakarta.
Wignjodipoero, Soerojo, 1983, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Penerbit. PT. Toko Gunung Agung, Jakarta
Yamin,Muhammad,2003 Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Pustaka Bangsa Press,Medan.
(6)
B. Perundang-Undangan
Undang-undang Dasar 1945 dan Amandemen.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria.