Analisis maslahah mursalah terhadap jual beli bibit ikan lele sistem takaran di Desa Jombok Kecamatan Kesamben Kabupaten Jombang.

(1)

JOMBANG

SKRIPSI

Oleh :

Fajar Wahyu Firmansyah

NIM.C72213121

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syari’ah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam

Program Studi Hukum Ekonomi Syariah

Surabaya


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

v

bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana praktik jual beli bibit ikan lele dengan sistem takaran di Desa Jombok Kecamatan Kesamben Kabupaten Jombang? dan bagaimana analisis mas{lah{ah mursalah terhadap jual beli bibit ikan lele dengan sistem takaran di Desa Jombok Kecamatan Kesamben Kabupaten Jombang?

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan observasi, wawancara, dokumentasi dan telaah pustaka sebagai teknik pengumpulan datanya. Data yang terkumpul kemudian diolah dengan cara editing dan organizing serta dengan metode deskriptif analisis, yaitu menggambarkan bagaimana proses terjadinya jual beli bibit ikan lele dengan sistem takaran di Desa tersebut.

Hasil penelitian menemukan bahwa: pertama, pada awalnya, praktik jual beli bibit ikan lele menggunakan sistem hitungan karena skalanya yang kecil. Semakin banyaknya peminat budidaya ikan lele, bisnis ini pun berkembang dan melayani pembelian dalam skala besar saja. Oleh karena itu, untuk mempermudah dan mempercepat perhitungan, maka pelayanannyapun berubah menjadi sistem takaran atas kerelaan kedua belah pihak. Pada takaran pertama dilakukan perhitungan langsung jumlah ikan bibit lele, yang mana volume takaran pertama tersebut\ digunakan sebagai acuan banyaknya bibit ikan lele tanpa dilakukan perhitungan lagi; kedua, dilihat dari unsur mas{lah{ah

mursalah-nya, penggunaan sistem takaran ini sudah sejalan dengan kehendak syarak, di mana sistem takaran ini bisa diterima oleh akal, menghilangkan kesulitan, dan tidak bertentangan dengan dasar ketetapan Al-Quran, hadis, dan Ijma’, dalam arti syarat dan rukunnya telah terpenuhi serta didasari atas kerelaan kedua belah pihak.

Sejalan dengan kesimpulan di atas, maka disarankan: pertama, bagi penjual hendaknya mengedepankan prinsip kejujuran dalam transaksi jual beli bibit ikan lele, dari mulai proses penghitungan sampai takaran selesai, agar tidak ada yang merasa dirugikan; kedua, bagi pembeli hendaknya turut serta dalam proses penghitungan bibit ikan lele, agar takarannya sesuai dengan pesanan.


(7)

v

iii

PERNYATAAN KEASLIAN...ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING...iii

PENGESAHAN ...iv

ABSTRAK ...v

KATA PENGANTAR ...vi

DAFTAR ISI...vii

DAFTAR TABEL...viii

DAFTAR TRANSLITERASI...ix

BAB I : PENDAHULUAN...1

A. Latar belakang masalah ...1

B. Identifikasi dan batasan masalah...5

C. Rumusan masalah...6

D. Kajian pustaka ...7

E. Tujuan penelitian...10

F. Kegunaan penelitian ...10

G. Definisi operasiaonal...12

H. Metode penelitian ...13

I. Sistematika pembahasan ...17

BAB II : LANDASAN TEORI ...19

A. Konsep Jual Beli ...19

1. Definisi Jual Beli ...19

2. Landasan Hukum Jual Beli ...21

3. Rukun Jual Beli ...22

4. Syarat Sah-nya Jual Beli ...23

5. Macam-macam Jual Beli ...26

6. Jual Beli yang dilarang...27

7. Hikmah Jual Beli...30

B. Konsep maslahah mursalah ...30


(8)

ix

5. Konsep hitungan dan takaran ...49

BAB III : GAMBARAN UMUM TENTANG DESA DAN PRAKTIK JUAL BELI BIBIT IKAN LELE DI DESA JOMBOK KECAMATAN KESAMBEN KABUPATEN JOMBANG 52 A. Gambaran umum Desa Jombok Kecamatan Kesamben Kabupaten Jombang... 50

B. Pelaksanaan jual beli bibit ikan lele dengan menggunakan sistem takaran di Desa Jombok Kecamatan Kesamben Kabupaten Jombang... 51

BAB IV : ANALISIS MASLAHAH MURSALAH TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI IKAN LELE DENGAN SISTEM TAKARAN DESA JOMBOK KECAMATAN KESAMBEN KABUPATEN JOMBANG ... 65

A. Praktik Jual beli bibit ikan lele di Desa Jombok Kecamatan Kesamben Kabupaten Jombang ... 65

B. Analisis Maslahah Mursalah Terhadap Sistem Takaran Dalam Prakti Jual Beli Bibit Ikan Lele Di Desa Jombok Kecamatan Kesamben Kabupaten Jombang... 67

BAB V : PENUTUP ... 75

A. Kesimpulan ... 75

B. Saran... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 77 LAMPIRAN


(9)

x

3.1 Data Penjual bibit ikan lele di desa Jombok ... 64 3.2 Data Pembeli bibit ikan lele di Desa Jombok ... 64 4.1 Perbandingan manfaat dan mudharat penggunaan system takaran .. 68


(10)

xi

3.1 Alat yang digunakan untuk memilah bibit ikan lele ... 59

3.2 Proses Pemilahan Bibit ... 59

3.3 Alat takar yang digunakan untuk menakar lele... 60


(11)

1

Agama Islam adalah agama penceraah yang diturunkan Allah SWT

kepada umatnya yang beriman kepada-Nya dan menjadikan Al-Quran

sebagai pedoman hidup semua kaum muslimin agar hidup mereka senantiasa

menuju kejalan yang benar. Agama yang diturunkan Allah melalui Malaikat

Jibril dengan cara mengirimkan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW

sebagai nabi akhir zaman Aturan-aturan (hukum) dalam agama islam atau

yang biasa disebut hukum islam dipandang sebagai aturan yang hakiki yang

mana manusia sebagai makhluk Allah yang paling mulia ditugaskan untuk

melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Sumber dan dalil hukum Islam terbagi menjadi dua bagian, yang

masing-masing memiliki dasar sebagai metode penetapan hukum islam yang

kuat, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Adapun sumber primer

adalah Al-Quran dan Hadis. Sedangkan untuk sumber hukum sekunder

adalah ijmak, qiyas,ihtisan,ma{slah{ah mursalah, saddu dzariah,istishabdan urf . tak hanya itu, pada zaman modern ini banyak sekali permasalahan-permasalahan baru yang muncul dimana jika ada suatu masalah, terutama

dalam permasalahan muamalah tidak ditemukan nas-nya, maka seorang

muslim harus pada istinbat hukum Islam atau yang bersumber sumber

hukum primer, yaitu Al-Quran dan Hadis. Salah satu yang akan penulis


(12)

Secara umum mas{lah{ah mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak ada nash juz’i (dalil rinci) yang mendukungnya ataupun menolaknya, dan juga tidak ada ijma’ yang mendukungnya, tetapi kemaslahatan ini

didukung oleh sejumlah nas melalui cara istiqr>a’ (induksi dari sejumlah nas Hukum-hukum yang berkaitan dengan muamalah hanya dijelaskan

didalam Al-Quran dalam prinsip-prinsip dasar dan umum, kalaupun ada

sunah yang memperincinya tetapi jumlahnya tidak banyak.Ini di latar

belakangi pada realita bahwa hukum-hukum yang demikian banyak terkait

dengan perubahan lingkungan dan kondisi serta kemaslahatan yang

berkembang dalam masyarakat.

Perkembangan zaman selalu berubah-ubah setiap ke tahun mengikuti

situasi dan kondisi. Manusia merasa kesulitan untuk memecahkan suatu

masalah yang terjadi pada zamn ini jika tidak terdapat masalah yang serupa

pada zaman dahulu, maka manusia diberi kebebasan untuk mengatur

kehidupannya sesuai situasi dan kondisi yang dialami dengan syarat tidak

bertentangan dengan nas maupun maksud syarak.

Prinsip yang harus ada dalam jual beli adalah kejujuran, kepercayaan,

dan saling rela. Prinsip ini dibuat agar dalam jual beli tidak ada pihak yang

dirugikan, kedua belah pihak mendapatkan kemanfaatan dari apa yang telah

dilakukannya. Jika kedua belah pihak mempunyai iktikad yang baik maka

tidak akan terjadi kecurangan yang bisa merugikan salah satu pihak seperti

adanya jual beli yang mengandung unsurmaisi>r,riba, dan ghara>r.

1


(13)

Saling rela dalam transaksi jual beli sangatlah diprioritaskan, sebab

keberkahan akan didapat dari kerelaan antara keduanya, dan jalan kebathilan

sangatlah dicela karena akan merugikan satu antara keduannya. Inti dari ayat

di atas bahwa dalam memperoleh keuntungan dari jual beli, seseorang harus

paham betul terhadap aturan dan batasan yang dapat mempertahankan

kehalalan dari pekerjaan itu, oleh karena itu wajib hukumnya berlaku jujur

dalam bertransaksi dan diharamkan untuk bermanipulasi yang

mengakibatkan unsur haram masuk didalamnya.

Kriteria halal dalam bertransaksi dapat dicapai seseorang dengan cara

memperhatikan syarat dan rukun dari transaksi tersebut, terlebih pada objek

yang diperjualbelikan barang yang diperjualbelikan milik sendiri (milik

penjual).2Tidaklah sah menjual barang orang lain tanpa seizin pemiliknya

atau menujual barang yang hendak menjadi milik orang lain. Islam

mengajarkan kepada manusia untuk berlaku adil dalam jual beli. Hal ini

perlu ditegaskan agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Sebagaimana

firman Allah dalam surat al-Isra>’ ayat 35:

                  

“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”3

2

Wahbah az-Zuhaili,Fiqh al-Isla>m W a A dillatuhu, Terj. A bdul Hayyie al-Kattani, Fiqh Islam W a A dillatuhu, Jilid 6(Jakarta: Gema Insani, 2011), 235.

3


(14)

Sebagai contoh yang terjadi Desa Jombok Kecamatan Kesamben

Kabupaten Jombang para penjual lele dan bibit lele sangat berkembang tiga

tahun belakangan ini. Dikarenakan selain perawatannya tidak membutuhkan

kebutuhan khusus, pemasarannya yang tidak terlalu rumit, Omset yang

dihasilkan juga sangat menggiurkan.Salah satu penjual bibit mengakui

bahwa dia bisa menghasilkan 3 juta perbulan dengan menjual bibit lelenya

kepada pengepul besar yang ada di Sidoarjo dan Bojonegoro.

Semakin banyaknya pesananan, penjual bibit lele pun semakin

kualahan meladeni para pembeli, bahkan dalam sekali pesanan pengepul dapat memesan sampai 30.000 bibit lele kepada penjual bibit lele di Desa

Jombok, maka untuk mempercepat waktu dan meminimalisir kemungkinan

resiko kematian bibit lele para penjual bibit terbiasa menggunakan sistem

takaran dalam jual belinya, yang mana sistem takaran hanya menggunakan

perhitungan awal sebagai acuan untuk takaran selanjutnya tanpa harus

menghitung lagi. Pertama-tama penjual bibit menghitung dengan

menggunakan alat seaadanya, seperti cangkir/gelas kecil. Biasanya 1 gelas

itu bisa terisi sampai 300 ekor bibit lele dan jika pembeli memesan 3000

ekor bibit, maka awalnya penjual bibit menghitung sampai 300 ekor bibit,

setelah itu untuk takaran selanjutnya disamakan ukuran/takarannya tanpa

harus dihitung lagi jumlahnya dan di ulangi sampai 10 kali takaran.

Cara seperti ini lebih efektif dan tidak merugikan salah satu pihak

menurut pihak penjual dan lebih cepat. Akan tetapi dalam praktiknya masih


(15)

kepastian jumlahnyapun masih dipertanyakan untuk takaran selanjutnya

karena tidak selalu sama dengan perhitungan awal,dengan perhitungan awal

dari pihak penjual maupun pihak pembeli masih bisa mengetahui yang mana

bibit lele yang sehat ataupun yang cacat tetapi tidak dengan takaran

selanjutnya. Jika ada yang cacat tentu akan merugikan pihak pembeli.

Berangkat dari latar belakang, maka dari itu penulis tertarik mengkaji

lebih dalam dan menganalisisnya dengan mas{lah{ah mursalahkarena jual beli sistem takaran ini termasuk jual beli yang tidak diatur secara rinci di dalam

Al-Quran, Hadis, ijmak dan qiyas. Selain itu juga dengan analisis mas{lah{ah mursalah ini penulis bisa lebih fokus dengan masalah yang dituju karena mas{lah{ah mursalahini baru bisa digunakan pada saat suatu masalah tersebut tidak ditemukan dalil rinci didalam nas dan juga agar masyarakat khususnya

penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi jual beli bibit lele ini tidak

melenceng terlalu jauh dari kaidah-kaidah hukum islam yang berlaku.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Identifikasi masalah dilakukan untuk menjelaskan

kemungkinan-kemungkinan cakupan masalah yang dapat muncul dalam penelitian dengan

melakukan identifikasi sebanyak-banyaknya kemudian yang dapat diduga

sebagai masalah. 4 Berdasarkan paparan latar belakang di atas, penulis

mengidentifikasi inti dari permasalahan yang terkandung di dalamnya sebagai

berikut:

4

Tim Penyusun Fakultas Syari’ah dan Hukum, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi (Surabaya: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel, 2016),8.


(16)

1. Praktik jual beli bibit ikan lele dengan sistem takaran di Desa

Jombok Kecamatan Kabupaten Jombang

2. Sistem takaran pada jual beli bibit lele

3. Ketidakpastian jumlah bibit yang didapat dalam sistem takaran.

4. Dampak dari penggunaan sistem takaran

5. Analisis Mas{lah{ah Mursalah terhadap praktik jual beli bibit ikan lele dengan sistem takaran di Desa Jombok Kecamatan Kabupaten

Jombang.

Dari beberapa identifikasi masalah tersebut, penulis perlu menjelaskan

batasan dan ruang lingkup persoalan yang akan dikaji dalam penelitian ini

agar terfokus dan terarah. Adapun batasan dalam skripsi ini adalah sebagai

berikut:

1. Praktik jual beli bibit lele dengan sistem takaran di Desa Jombok

Kecamatan Kesamben Kabupaten Jombang.

2. Analisis Mas{lah{ah Mursalah terhadap praktik jual beli bibit ikan lele dengan sistem takaran di Desa Jombok Kecamatan Kabupaten Jombang.

C. Rumusan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dalam penelitian berdasarkan

paparan latar belakang, identifikasi dan batasan masalah diatas, maka

penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Praktik Jual Beli Bibit Ikan Lele Dengan Sistem Takaran di


(17)

2. Bagaimana Analisis Mas{lah{ah Mursalah Terhadap Jual Beli Bibit Ikan Lele Dengan Sistem Takaran Di Desa Jombok Kecamatan Kesamben

Kabupaten Jombang?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian/penelitian yang

sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti sehingga

terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan

pengulangan atau duplikasi dari kajian/penelitian yang telah ada.5Bahwa

penulis menemukan penelitian mengenai jual beli dan sejenisnya dari peneliti

sebelumnya yang berjudul:

Pertama, Skripsi yang berjudul “Analisis Hukum Islam terhadap

praktik jual beli beras dengan alat omplong di Desa Jungkarang Kecamatan

Jrengik Kabupaten Sampang”. Berdasarkan analisis yang dilakukan maka

dapat ditarik kesimpulan bahwa: Jual beli beras dengan alat omplong di

Desa Jungkarang dilakukan di tempat penggilingan padi, di rumah pedagang

atau tengkulak dan toko-toko yang menyediakan beras. Pedagang/tengkulak

menakar barang menggunakan dua omplong. Dengan bertanya terlebih

dahulu kepada masyarakat yang ingin menjual atau membeli beras. Ketika

masyarakat akan menjual maka pedagang akan mengambil takaran yang

lebih besar.

5


(18)

Akan tetapi, ketika masyarakat akan membeli beras pedagang akan

mengambil takaran yang lebih kecil. Jual beli beras dengan alat omplong ini

sah karena syarat dan rukunnya telah terpenuhi meskipun dalam praktiknya

takaran yang digunakan tidak seimbang ada takaran yang lebih besar dan

kecil, namun itu tidak masalah bagi masyarkat karena selisihnya sanga

sedikit dan itu dianggap wajar. Mereka saling merelakan (ridha) dan

keberadaannya pun dirasa membantu terutama ketika keadaan mendesak. |6

Kedua, Skripsi dengan judul “Tinjauan ma}slah}ah mursalah terhadap Praktik Jual Beli Jangkrik dengan Sistem Perkiraan di Desa Kacangan

Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali”. Praktik seperti ini

dilatarbelakangi karena pada awalnya penjual jangkrik melayani pembeli

dengan hitungan ekor perekor jangkrik yang membuat penjual kesulitan

dalam perhitungannya, sedangkan penanganan jangkrik memerlukan waktu

yang cepat demi kemaslahatan nyawa jangkrik, di sisi lain pembeli sudah

banyak yang mengantri. Untuk lebih efektif maka diubahlah cara

penjualannya dengan sistem perkiraan dimana pihak penjual dan pembeli

sepakat dengan cara itu. Kesimpulannya bahwa praktik jual beli jangkrik

dengan sistem perkiraan di Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten

Boyolali perlu dilakukan demi kemaslahatan bersama.7

6

Muhammad Kurniawan, “Analisis Hukum Islam terhadap Praktik jual beli beras dengan alat omplong di Desa Jungkarang Kecamatan Jrengik Kabupaten Sampang” (Skripsi--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2015).

7

Nizar Arifin, “Tinjauanmas{lah{ah mursalahTerhadap Praktik Jual Beli Jangkrik Dengan Sistem Perkiraan Di Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali” (Skripsi--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2016).


(19)

Ketiga, Skripsi dengan judul “Tinjauan Hukum Islam terhadap

Tradisi Jual Beli Sistem Cawukan di Desa Gempolmanis Kecamatan

Sambeng Kabupaten Lamongan”. Hasil penelitian di Desa Gempolmanis

Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan ini ditemukan bahwa

pengukuran barang dagangan oleh lijo Desa Gempolmanis tidak

menggunakan timbangan sesuai dengan standar umum melainkan

mengunakan sistem cawukan, penggunakan sistem ini menurut lijo memiliki

beberapa faktor diantaranya yakni karena permintaan pembeli yang

bermacam-macam dengan waktu yang singkat sehingga sistem ini dirasa

cocok dan sangat memberatkan jika harus menimbang karena sistem

penjualan yang digunakan adalah penjajakan..

Menurut pembeli hal ini sudah lumrah tetapi tidak jarang pembeli

yang menawar ukuran cawukan, seperti meminta lebih banyak lagi dari yang

lijo berikan. Kesimpulannya, ditinjau dengan hukum Islam ialah bahwa

praktek jual beli sistem cawukan yang terjadi di Desa Gempolmanis

Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan dibolehkan karena memberikan

kemaslahatan lebih besar dari ada kemadharatan yang ditimbulkan. Selain

itu terdapat dalil syara’ yang memolehkan sistem cawukan ini yang lebih,

dikenal dengan jual beli jizaf. Karena telah diterapkan oleh masyarakat dan tidak bertentangan dengan syariat Islam dan bahkan terdapat hadith yang


(20)

kemaslahatan bagi masayarakat. Maka jual beli menggunakan sistem

cawukan ini dapat dikateorikan terhadap‘urf s{ahi<h.8

Adapun penelitian yang berjudul “Analisis Mas{lah{ah Mursalah Terhadap Jual Beli Bibit Lele dengan sistemtakaran di Desa Jombok

Kecamatan Kesamben Kabupaten Jombang”, ini difokuskan pada Analisis

Mas{lah{ah Mursalah terhadap prektek jual beli bibit lele sistem takaran. \

E. Tujuan Penelitian

Agar suatu langkah penulisan pembahasan masalah ini dapat diketahui

tujuannya, maka penulis membuat tujuan yang ingin dicapai dalam

penelilitian ini sebagai berikut:

1. Mengetahui praktik jual beli bibit lele dengan sistem takaran sesuai

dengan hukum islam atau tidak di Desa Jombok Kecamatan Kesamben

Kabupaten Jombang.

2. Memahami bagaimana tinjauan mas{lah{ah mursalah terhadap praktik jual beli bibit lele dengan sistem takaran di Desa Jombok Kecamatan

Kesamben Kabupaten Jombang.

F. Kegunaan Penelitian

Sebuah penelitian dilakukan agar bisa mendatangkan kemanfaatan dan

berguna bagi siapa saja yang membaca. Dengan judul yang penulis pilih yaitu

8

Fahmi Nugroho, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Tradisi Jual Beli Sistem Cawukan di Desa Gempolmanis Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan” (Skripsi--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2015).


(21)

tentang analisisMas{lah{ah Mursalahterhadap praktik jual beli bibit lele sistem takaran di Desa Jombok Kecamatan Kesamben Kabupaten Jombang, semoga

dapat dipergunakan untuk:

1. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan

ilmu syariah, khususnya jurusan hukum ekonomi syariah untuk menjadi

tambahan wawasan keilmuan dan keagamaan dalam masalah yang

berhubungan dengan praktik jual beli bibit ikan lele.

Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi pemikiran

tentang sistem jual beli kontemporer terhadap program studi Muamalah di

UIN Sunan Ampel Surabaya dan tempat lain. Selain itu juga dapat

dijadikan sebagai referensi untuk penelitian berikutnya yang memiliki

kesamaan obyek penelitian namun dengansettingyang berbeda. 2. Secara praktis

Memberikan solusi bagi para pelaku praktik jual beli bibit lele dengan

sistem hitungan dan takaran agar tidak perlu takut melakukan jual beli

dengan cara tersebut, karena agama Islam itu tidak mempersulit, tapi malah

mempermudah demi tercapainya kesejahteraan umat manusia di muka

bumi ini.

Selain itu juga ntuk memberikan pertimbangan kepada pihak-pihak

yang terlibat langsung dalam praktik jual beli bibit lele, agar senantiasa

tetap berpegang teguh pada aturan jual beli yang berlaku di dalam hukum


(22)

G. Definisi Operasional

Untuk memahami judul sebuah skripsi perlu adanya pendefinisian judul

secara operasional agar dapat diketahui secara jelas judul yang akan penulis

bahas dalam skripsi ini “A nalisis Mas{lah{ah Mursalah terhadap Jual Beli Bibit Lele dengan Sistem Takaran di Desa Jombok Kecamatan Kesamben Kabupaten Jombang”, dan untuk menghindari kesalah pahaman dalam pengertian maksud dari judul di atas, maka penulis memberikan definisi yang

menunjukkan ke arah pembahasan sesuai dengan maksud yang dikehendaki

dengan judul tersebut adalah sebagai berikut:

1. Mas{lah{ah Mursalah adalah suatu kajian tentang pemecahan masalah yang mengandung kemaslahatan yang tidak ditetapkan hukumnya oleh

syara’dan tidak ada dalil yang melarang atau mewajibkannya.

2. Jual beli adalah suatu aktifitas transaksi pertukaran harta/benda dengan

berdasarkan cara khusus yang disepakati dan sudah menjadi kebiasaan.

3. Bibit lele adalah benih lele yang masih kecil dengan kisaran ukuran 0,5

cm – 5 cm dan masih memerlukan pemeliharaan sampai menjadi

dewasa dan akan dipanen dan diperjualbelikan setelah benih tersebut

menjadi dewasa.

4. Takaran adalah ukuran yang dijadikan acuan dalam mengukur

banyaknya bibit lele yang diperjualbelikan dengan cara menghitung

bibit lele dalam satu gelas pertama dan kemudian dilakukan takaran


(23)

H. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field reseach) yang memfokuskan pada kasus yang terjadi di lapangan (Desa Jombok

Kecamatan Kesamben Kabupaten Jombang) dengan tetap merujuk pada

konsep-konsep yang ada. Penulis memilih penelitian ini karena penulis

mendapatkan permasalahan dalam jual beli bibit ikan lele di Desa

Jombok Kecamatan Kesamben Kabupaten Jombang yang dikira kurang

sesuai dengan aturan jual beli dalam ajaran Islam namun di dalamnya

mengandung kemaslahatan. Keseluruhan obyek penelitian yang berupa

orang perusahaan, kasus, tingkah laku, alat-alat penyelenggaraan dan

lain sebagainya akan penulis kaji dalam pembahasan selanjutnya.

2. Pengumpulan Data

Sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan, maka dalam

penelitian ini data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a. Praktek jual beli bibit ikan lele dengan melihat langsung di lokasi

tentang bagaimana proses jual beli bibit ikan lele itu berlangsung.

b. Proses penjualan bibit lele kepada pembeli dengan sistem takaran.

c. Data tentang ketentuan yang berlaku terkait dengan proses

terjadinya jual beli bibit ikan lele di Desa Jombok Kecamatan


(24)

3. Sumber Data

Adapun sumber-sumber dalam penelitian ini diperoleh dari

beberapa sumber baik\primer maupun sekunder antara lain:

a. Sumber Data Primer

Sumber primer yaitu sumber yang langsung berkaitan

dengan obyek penelitian. Sumber data primer yang berasal dari

responden antara lain: Pembeli dan penjual bibit lele yang

merupakan masyarakat wilayah Desa Jombok maupun yang diluar

daerah Desa Jombok yang diambil secara acak dalam proses jual beli

bibit ikan lele dengan sistem takaran.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber sekunder yaitu sumber yang mendukung atau

melengkapi dari sumber primer.9Sumber data sekunder merupakan

sumber pelengkap yang penulis ambil untuk mendukung data primer.

4. Teknik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan beberapa teknik antara lain:

a. Observasi

Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data dengan cara

mengadakan pengamatan langsung pada objek yang diteliti dengan

jalan pengamatan dan pencatatan.10Melihat bagaimana pelaksanaan

penjualan bibit lele dengan sistem takaran bagi pembeli yang

9

Andi Prastowo,Memahami Metode-Metode Penelitian(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 31-32.

10


(25)

membeli dengan jumlah bibit yang mencapai ribuan ekor sehingga

tidak memungkinkan untuk di hitung satu-persatu dan hal-hal lain

yang terkait dengannya.

b. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang

diarahkan untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna

subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang

diteliti.11 Penulis akan mewawancarai antara penjual dan pembeli

bibit ikan lele untuk mendapatkan pengetahuan tentang pelaksanaan

proses pelayanan pembeli bibit ikan lele dengansistem takaran tanpa

di hitung. Wawancara akan dilakukan dengan cara sistematis yaitu

mempergunakan daftar wawancara yang telah dipersiapkan secara

cermat untuk memperoleh informasi yang relevan dengan masalah

penelitian.

c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal

atau variabel yang berupa catatan, buku, surat kabar, dan lain

sebagainya. Dengan adanya dokumentasi ini maka dapat

meningkatkan keabsahan dan penelitian akan terjamin, karena

peneliti betul-betul melakukan penelitian kelapangan secara

langsung.

11


(26)

5. Teknik Pengolahan Data

Setelah pengumpulan data yang diperoleh secara kualitatif,

maka tahap berikutnya adalah teknik pengelolaan data sebagai berikut:

1) Editing, yaitu memeriksa kembali data yang diperoleh dari proses jual beli bibit ikan lele dengan sistem takaran di Desa Jombok

Kecamatan Kesamben Kabupaten Jombang. dari segi kelengkapan

dan kesesuaian antara data yang satu dengan yang lainnya.

2) Organizing, yaitu menyusun secara sistematis data yang diperoleh dalam kerangka yang sudah direncanakan sebelumnya dan kerangka

tersebuat dibuat berdasarkan data yang relevan dengan sistematika

pertanyaan dalam rumusan masalah.

6. Analisis Data

Data yang diperoleh dari lapangan akan dianalisis dengan

menggunakan deskriptif analisis, yaitu memaparkan data yang terkait

dengan masalah yang dibahas yang ditemukan dalam berbagai literatur

dan kesimpulannya diambil logika deduktif yaitu memaparkan masalah–

masalah yang bersifat umum kemudian ditarik suatu kesimpulan yang


(27)

I. Sistematika Pembahasan

Penelitian ini dibagi dalam lima bab yang masing-masing mengandung

sub-sub antara yang satu dengan yang lain nya saling berkaitan. Adapun

sistematikanya sebagai berikut:

Bab pertama merupakan pendahuluan yang memuat tentang tentang

latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan

masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi

operasional, metodologi penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua akan membahas tentang kajian pustaka yang menguraikan

teori-teori tentang teori jual beli dan mas{lah{ah mursalah, dalam hal ini

mencakup bahasan tentang konsep jual beli dalam islam yang diantaranya

mengenai pengertian, landasan hukum, rukun dan syarat, macam-macam,

dan hikmah jual beli.dan mas{lah{ah mursalah yang memuat tentang

pengertian, syarat-syarat, landasan hukum dan macam-macam mas{lah{ah

mursalah.

Bab ketiga merupakan penyajian data hasil penelitian yang telah

dikumpulkan kemudian dideskripsikan secara objektif mengenai gambaran

umum tentang lokasi penelitian dan gambaran tentang praktik jual beli bibit

lele dengan sistem takaran.

Bab keempat memuat tentang analisis, menggunakanan analisis

mas{lah{ah mursalah terhadap praktik jual beli bibit lele dengan sistem


(28)

Bab kelima merupakan penutup, yang didalamnya memuat tentang


(29)

19 1. Definisi Jual Beli

Jual beli atau perdagangan dalam istilah fiqh disebut al-bai’ yang menurut etimologi berarti menjual atau mengganti. Wahbah al-Zuhaily

mengartikannya secara bahasa dengan menukar sesuatu dengan sesuatu

yang lain‛. Kata al-bai’ dalam bahasa arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kataal-syira’(beli).1

Dalam syariat islam, jual beli adalah pertukaran harta/semua yang

bisa dimiliki dan dimanfaatkan dengan harta lain berdasarkan keridhaan

antara keduanya, atau dengan kata lain memindahkan hak milik dengan

hak milik lain berdasarkan persetujuan dan dengan hitungan materi.2

Adapun secara terminologi terdapat beberapa pendapat yang

dikemukakan oleh ulama fikih, diantaranya :

a. Menurut Ulama Hanafiyah

“Saling tukar menukar harta melalui cara tertentu” b. Menurut Ulama Syafiiyah, Malikiyah dan Hanabilah

"Saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan

1

Abdul Rahman Ghazaly,Fiqh Muamalah(Jakarta: Prenada Media Group, 2010), 67.

2

Sayyid Sabiq,Fiqhus Sunnah, Terj. Nor Hasanudin,Fiqih Sunnah,Jilid 4 (Jakarta: Pena Pundi


(30)

milik dan kepemilikan”

c. Menurut Imam Qudamah dalam kitabAl-Mugni:

“Pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik”.3 Meskipun para Ulama’ memiliki pendapat yang berbeda, akan tetapi isi dan tujuannya sama, sesuai dengan firman Allah Surat A l-Baqarahayat 275:          

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

Selain itu, surat A l-Baqarahayat 198:

                                          



“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ’Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril haram. dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.”

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulakan bahwa jual beli adalah aktifitas dimana ada penjual yang menyerahkan barangnya dan pembeli yang memberikan sejumlah uang/harta yang dimilikinya sesuai kesepakatan yang didasarkan saling kerelaan diantara mereka berdua.

Adapun Takaran menurut Poerwodarminto dalam Kamus Umum

3


(31)

Bahasa Indonesia adalah alat yang digunakan untuk menakar.4 Jadi jual

beli sistem takaran menurut penulis adalah suatu aktifitas jual beli dimana

subjek jual belinya ditakar dengan wadah khusus.dalam kasus ini yang

digunakan sebagai wadah takaran bibit lele adalah sebuah cangkir kecil.

2. Landasan hukum Jual Beli

Jual beli diisyaratkan berdasarkan Al-Quran, sunnah, dan ijma’,

yakni :

a. Al-Quran

Surat A l-Baqarah ayat 275:

         

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

Surat A l-Baqarahayat 282 :

 



“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual-beli.” Surat A n-Nisa’ayat 29 :

           

“Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka”.5

b. A s-sunnah

Dalam dalil sunnah, Rasululloh SAW pernah bersabda:

“Usaha yang paling utama (afdhal) adalah hasil usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan hasil dari jual beli yang mabrur.” (HR. Bajjar, Hakim yang menyahihkan dari Rifa’ah Ibn Rafi’).6

4

Poerwodarminto,Kamus Umum Bahasa Indonesia(Jakarta: Balai Pustaka, 1986), 82

5

Rachmat Syafe’I,Fiqih Sunnah...., 74-75.

6


(32)

c. Ijmak

Berdasarkan Ijmak ulama menyepakati bahwa jual beli

diperbolehkan dan telah dipraktekkan sejak masa Rasululloh SAW

hingga sekarang dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu

mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain.7 Namun

demikian, bantuan atau milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus

diganti dengan barang lainnya yang sesuai.

3. Rukun Jual Beli

Dalam menetapkan rukun jual beli, diantara para ulama terjadi

perbedaan pendapat. Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli adalah

ijab dan qabul yang menunjukkan pertukaran barang secara rida, baik dengan ucapan maupun perbuatan.8

Menurut Sayyid Sabiq dalam buku Fiqih Sunnah jilid 4, Tidak ada

kata-kata khusus dalam pelaksanaan ijab dan qabul, karena ketentuan tergantung pada akad sesuai dengan tujuan dan maknanya, bukan

berdasarkan atas kata-kata dan bentuk kata tersebut.9

Tetapi perlu diingat bahwasanya dalam akad jual beli harus didasari

pada ketentuan saling rela, atau dengan cara lain yang dapat menunjukkan

akan sikap ridha atau rela. Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama

ada empat, yaitu :

7

Sayyid Sabiq,Fiqhus Sunnah...., 121. 8

Rachmat Syafe’i,Fiqih Sunnah...., 77

9


(33)

a. Ba’i(penjual) &Mustari(pembeli) atau ‘A qid(Pihak yang berakad) Dalam jual beli tentu saja adanya penjual dan pembeli adalah

hal yang paling mutlak adanya, karena jika tidak ada keduanya maka

tidak akan terjadi jual beli tersebut.

b. Shighat(ijab dan qabul)

Shighat adalah ijab dan qabul, dan ijab seperti yang diketahui sebelumnya diambil dari kata aujaba yang artinya meletakkan, dari

pihak penjual yaitu pemberian hak milik, dan qabul yaitu orang yang

menerima hak milik.10

c. Ma’qud ‘alaih(benda atau barang yang diakadkan)

Ma’qud ‘alaihi,yaitu harta yang akan dipindah tangankan salah

seorang yang berakad kepada pihak lain, baik harga atau barang

berharga.11

4. Syarat Sah-nya Jual Beli

Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang

dikemukakan jumhur ulama adalah sebagai berikut:

a. Syarat-syarat orang yang berakad

1) Berakal. Oleh sebab itu, jual beli yang dilakukan anak kecil yang

belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah. Adapun anak

kecil yang telah mumayiz, menurut ulama Hanafiyah, apabila

akad yang dilakukannya membawa keuntungan bagi dirinya,

seperti menerima hibah, wasiat dan sedekah, maka akadnya sah.

10

Abd. Aziz Muhammad Azzam,Fiqh Muamalat(Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010), 28. 11


(34)

Sebaliknya, apabila akad itu membawa kerugian bagi dirinya,

seperti meminjamkan hartanya kepada orang lain, mewaqafkan

atau menghibahkannya, maka tindakan hukumnya tidak boleh

dilaksanakan.12

2) Orang yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda.

Artinya, seseorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang

bersamaan sebagai penjual sekaligus pembeli. Misalnya, Ahmad

menjual sekaligus membeli barangnya sendiri, maka jual belinya

tidak sah.

b. Syarat-syarat yang terkait dengan ijab qabul.

1) Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.

2) Qabul sesuai dengan ijab. Misalnya, penjual mengatakan: ‚Saya

jual buku ini seharga Rp. 20.000, lalu pembeli menjawab: Saya beli buku ini dengan harga Rp.20.000. Apabila antara ijab dan qabul tidak sesuai maka jual beli tidak sah.13

3) Ijab dan qabul itu dilakukan dalam satu majelis. Di zaman modern, perwujudan ijab dan qabul tidak lagi diucapkan, tetapi dilakukan dengan sikap mengambil barang dan membayar uang oleh pembeli, serta menerima uang dan menyerahkan barang oleh penjual tanpa mengucapkan apapun. Dalam Islam jual beli seperti ini disebut denganba’i al-mu’at{hah.

12

Abdul Rahman Ghazaly,Fiqh Muamalah…, 72.

13


(35)

Dalam kasus perwujudan ijab dan qabul melalui sikap ini

(ba’i almu’at{ hah) terdapat perbedaan pendapat dikalangan

ulama fiqh. Jumhur ulama berpendapat bahwa jual beli seperti ini

hukumnya boleh, apabila hal ini merupakan kebiasaan

masyarakat di suatu daerah, karena hal ini telah menunjukkan

unsur saling rela dari kedua belah pihak.

Akan tetapi, ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa transaksi

jual beli harus dilakukan dengan ucapan yang jelas atau sindiran melalui ijab dan qabul. Oleh sebab itu, menurut mereka jual beli seperti kasus di atas(ba’i al-mu’at{hah) hukumnya tidak sah, baik jual beli itu dalam partai besar maupun kecil. Unsur kerelaan adalah masalah tersembunyi dalam hati, karenanya perlu diungkapkan dengan kata-kata ijab dan qabul.

c. Syarat-syarat barang yang dijualbelikan(Ma’qud alaihi).

1) Barang itu ada, atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu. 2) Dapat dimanfaatkan dan dapat bermanfaat bagi manusia. Oleh

sebab itu, bangkai, khamar, dan darah tidak sah menjadi objek jual beli, karena dalam pandangansyara’benda-benda seperti itu tidak bermanfaat bagi muslim.

3) Milik seseorang. Barang yang sifatnya belum dimiliki seseorang tidak boleh diperjualbelikan, contohnya memperjualbelikan ikan


(36)

di laut atau emas dalam tanah, karena ikan dilaut dan emas

ditanah ini belum dimiliki penjual.

4) Boleh diserahkan saat akad berlangsung atau pada waktu yang

disepakati bersama ketika transaksi berlansung.

5. Macam-macam Jual Beli

Jual beli berdasarkan pertukarannya secara umum dibagi empat

macam:14

a. Jual beli saham (pesanan)

Jual beli saham adalah jual beli melalui pesanan, yakni jual beli

dengan cara menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian

barangnya diantar belakangan.

b. Jual belimuqayyadhah(barter)

Jual beli muqayadhah adalah jual beli dengan cara menukar

barang dengan barang, seperti menukar baju dengan sepatu.

c. Jual beliMuthlaq

Jual beli Muthlaq adalah jual beli barang dengan sesuatu yang

telah disepakati sebagai alat penukarang, seperti uang.

d. Jual beli alat penukar dengan alat penukar

Jual beli alat penukar dengan alat penukar adalah jual beli

barang yang biasa dipakai sebagai alat penukar dengan alat penukar

lainnya, seperti uang perak dengan uang emas.

14


(37)

Berdasarkan dari segi harga, jual beli dibagi pula menjadi empat

bagian:

a. Jual beli yang menguntungkan(al-murabbahah)

b. Jual beli yang tidak menguntungkan, yaitu menjual harga aslinya

(at-tauliyah)

c. Jual beli rugi(al-khasarah)

d. Jual beli al-musawah, yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya,

tetapi kedua orang yang akad saling meridhai, jual beli inilah yang

sekarang berkembang.

6. Jual beli yang dilarang

Berkaitan denga jual beli yang dilarang oleh Islam, para ulama

menjabarkannya sebagai berikut:

a. Terlarang sebabA hliyah(Orang yang berakad).15

1) Jual beli oleh orang gila.

2) Jual beli oleh anak kecil, ulama fiqih sepakat bahwa jual beli

anak kecil dipandang tidak sah, kecuali dalam perkara-perkara

yang ringan.

3) Jual beli oleh orang buta, jumhur ulama mengkategorikan s}a>h{ih

jika barang-barang yang dibelinya diterangkan sifat-sifatnya.

4) Jual beli terpaksa.

5) Jual beli fud}ul, yaitu jual beli milik orang lain tanpa seizin

pemiliknya.

15

Suqiyah Musafa’aah,Hukum Ekonomi dan Bisnis Islam I(Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2013), 69.


(38)

6) Jual beli orang yang terhalang, maksudnya adalah terhalang

karena kebodohan, bangkrut (taflis), ataupun sakit.

7) Jual beli malja>’, yaitu jual beli orang yang sedang dalam bahaya,

yakni untuk menghindari perbuatan zalim.

b. Jual beli terlarang karena tidak memenuhi syarat dan rukun.

1) Jual beli barang yang zatnya haram, najis, atau tidak boleh

diperjualbelikan. Barang yang najis atau haram dimakan haram

juga untuk diperjualbelikan, seperti babi, berhala, bangkai, dan

khamar (minuman yang memabukkan).16

2) Jual beli yang bersifat spekulasi atau samar-samar, karena dapat

merugikan salah satu pihak. Yang dimaksud samar-samar adalah

tidak jelas, baik barangnya, harganya, kadarnya, masa

pembayarannya, maupun ketidakjelasan yang lainnya.

3) Jual beli bersyarat, yaitu jual beli yang ijab kabulnya dikaitkan

dengan syarat-syarat tertentu yang tidak ada kaitannya dengan

jual beli atau ada unsur yang merugikan dilarang oleh agama.

4) Jual beli yang menimbulkan kemudaratan, yaitu segala sesuatu

yang dapat menimbulkan kemudaratan, kemaksiatan, bahkan

kemusyrikan dilarang untuk diperjualbelikan, seperti jual beli

patung, salib, dan buku-buku bacaan porno.

5) Jual beli yang dilarang karena dianiaya, yaitu segala bentuk jual

beli yang mengakibatkan penganiayaan hukumnya haram, seperti

16


(39)

menjual anak binatang yang masih membutuhkan (bergantung)

kepada induknya.

6) Jual beli muh{alaqah, yaitu menjual tanam-tanaman yang masih

di ladang atau di sawah.17

7) Jual beli mukhdara>t, yaitu menjual buah-buahan yang masih

hijau (belum pantas dipanen).

8) Jual belimula>masah, yaitu jual beli secara sentuh-menyentuh.

9) Jual beli muna>badhah, yaitu jual beli secara lempar-melempar.

Seperti orang berkata: “Lemparkan kepadaku apa yang ada

padamu, nanti kulemparkan pula kepadamu apa yang ada padaku”. Setelah terjadi lempar-melempar terjadilah jual beli.

10) Jual beli muza>banah, yaitu menjual buah yang basah dengan buah yang kering. Seperti menjual padi kering dengan bayaran padi basah sedang ukurannya dengan ditimbang sehingga merugikan pemilik padi kering.18

b. Jual beli terlarang karena ada faktor lain yang merugikan pihak-pihak terkait. Jual beli ini antara lain:

1) Jual beli dari orang yang masih dalam tawar menawar. 2) Jual beli dengan menghadang dagangan di luar kota/pasar. 3) Membeli barang dengan memborong untuk ditimbun. 4) Jual beli barang rampasan atau curian.19

17

Hendi Suhendi,Fiqih Mua’malah(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 79.

18

Abdul Rahman Ghazaly,Fiqh Muamalah … ,85.

19


(40)

7. Hikmah Jual Beli

Allah SWT mensyariatkan jual beli sebagai keluangan dan keleluasaan

kepada hamba-hamba-Nya, karena semua manusia secara pribadi mempunyai

kebutuhan berupa sandang, pangan, dan papan. Dalam hubungan ini, tak ada

satu hal pun yang lebih sempurna daripada saling tukar, dimana seseorang

memberikan apa yang ia miliki untuk kemudian ia memperoleh sesuatu yang

berguna dari orang lain sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Berikut

ini terdapat pendapat ulama tentang hikmah jual beli:

a. Menurut Al Jazairi, hikmah disyariatkannya jual beli ialah seorang

muslim bisa mendapatkan apa yang dibutuhkan dengan sesuatu yang ada

ditangan saudaranya tanpa kesulitan yang berarti.

b. Menurut As Shan’ani adalah bahwa kebutuhan manusia tergantung

dengan apa yang ada pada orang lain (temannya); sedangkan temannya itu terkadang tidak mau memberikannya kepada orang lain. Maka dalam syariat jual beli itu terdapat sarana untuk sampai kepada maksud itu, tanpa dosa.20

B. KonsepMas{lah{ah Al-Mursalah

1. DefinisiMas{lah{ah Mursalah

Mas}lah}ah al-mursalah terdiri dari dua kata yaitu kata mas}lah}ah dan mursalah. Mas}lah}ah artinya baik (lawan dari buruk), manfaat atau terlepas dari kerusakan. Adapun kata mursalah secara bahasa artinya

20


(41)

terlepas dan bebas. Maksudnya ialah terlepas dan bebas dari keterangan

yang menunjukkan boleh atau tidaknya sesuatu itu dilakukan. Maslahat

secara etimologi didefinisikan sebagai upaya mengambil manfaat dan

menghilangkanmafsadat/madharat.21

Mas}lah}ah al-mursalah merupakan salah satu metode yang

dikembangkan ulama Us{hul Fiqh dalam mengistinbatkan hukum dari

nas}. Menurut Abdul Wahhab Khallaf mas}lah}ah al-mursalah yaitu suatu

yang dianggap maslahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk

merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang

mendukung maupun menolaknya, sehingga disebut mas}lah}ah

al-mursalah(mas}lah}ahyang lepas dari dalil secara khusus).22

Untuk menghukumi sesuatu yang tidak dijelaskan oleh syariat

perlu dipertimbangkan faktor manfaat dan mudaratnya. Bila mudaratnya

lebih banyak maka dilarang oleh agama, atau sebaliknya. Hal ini

sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah: ‚berubahnya suatu hukum

menjadi haram atau halal bergantung pada mafsadah atau mas}lah}ah -nya‛.23

Adapun menurut istilah syarak sebagaimana dikutip oleh Sapiuddin Shidiq yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazaly dalam kitab musytasyfa-nya yaitu :

21

Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh Jilid 2(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), 323.

22

Satria Effendi,Us}hu>l Fiqh(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 49.

23


(42)

“Sesuatu yang tidak ada bukti baginya syara’ dalam bentuk nas} yang membatalkannnya dan tidak ada pula yang menetapkannya.”24

Mas}lah}ah al-mursalah adalah maslahat yang secara eksplisit tidak ada satu dalil pun baik mengakuinya maupun yang menolaknya. Secara lebih tegas mas}lah}ah al-mursalah ini termasuk jenis mas}lah}ah yang didiamkan oleh nas. Dengan demikianmas}lah}ah mursalahini merupakan

mas}lah}ah yang sejalan dengan tujuan syarak yang dapat dijadikan dasar pijakan dalam mewujudkan kebaikan yang diharapkan oleh manusia serta terhindar dari kemudaratan.Mas}lah}ah al-mursalahmerupakan jenis

mas}lah}ah yang terus tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat Islam yang dipengaruhi oleh perbedaan kondisi dan tempat.25

Lalu ada juga menurut Jalaluddin Abdurrahman sebagaimana dikutip oleh Romli SA, mendefinisikanmas}lah}ahsebagai berikut:

.

“Maslahat ialah memelihara maksud hukum syara’ terhadap berbagai kebaikan yang telah digariskan dan ditetapkan batas-batasnya, bukan berdasarkan keinginan dan hawa nafsu manusia belaka”.26

Sementara itu, menurut Ibnu Taimiyah sebagaimana dikutip oleh Imam Abu Zahrah, bahwa yang dimaksud dengan maslahat ialah pandangan mujtahid tentang perbuatan yang mengandung kebaikan yang

24

Sapiuddin Shidiq,Ushul Fiqh(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), 88.

25

Romli SA,Muqaranah Mazahib fil Ushul(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), 164-165.

26


(43)

jelas dan bukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum syara’. Dari

ketiga definisi di atas, baik yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazaly, Jalaluddin Abdurrahman maupun Ibnu Taimiyah mengandung maksud yang sama. Artinya maslahat yang dimaksudkan adalah kemaslahatan yang menjadi tujuan syarak bukan kemaslahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan dan hawa nafsu manusia saja. Sebab, disadari sepenuhnya, bahwa tujuan pensyariatan hukum tidak lain adalah untuk merealisir kemaslahatan bagi manusia dalam segala segi dan aspek kehidupan mereka di dunia dan terhindar dari berbagai bentuk yang bisa membawa kepada kerusakan. Dengan kata lain, setiap ketentuan hukum yang telah digariskan oleh syar’i adalah bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan bagi manusia.27 Dari tiga definisi penulis menyimpulkan bahwa:

a. Mas}lah}ah Mursalah adalah sesuatu yang tidak ada nas hukumnya dalam Al-Quran maupun hadis.

b. Mas}lah}ah Mursalahadalah sesuatu yang baik menurut akal. Dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan dan menghindari keburukan. Sesuatu yang baik menurut akal sehat maka pada hakikatnya tidak bertentangan dengan tujuan syara’ secara umum. Pada intinya, dapat disimpulkan bahwa mas}lah}ah mursalah yaitu salah satu sumber hukum yang dijadikan dasar dalam menetapkan suatu hukum demi mewujudkan kemaslahatan umum di mana

27


(44)

sebelumnya tidak ada dalil syara’ atau nas} yang membolehkan

maupun melarangnya. Sebagaimana dalil tentang mas}lah}ah mursalahdibawah ini:

.

“Mas}lah}ah al-mursalah adalah sesuatu yang oleh syara’ (Allah), tidak diberikan hukumnya dan tidak ada suatu dalil yang menetapkan atau menolaknya”.28

Dengan demikian mas}lah}ah al-mursalah ini merupakan maslahat yang sejalan dengan tujuan syariat yang dapat dijadikan dasar pijakan dalam mewujudkan kebaikan yang dibutuhkan oleh manusia serta terhindar dari kemudaratan. Dalam kehidupan nyata kemaslahatan menjadi tolak ukur dalam menetapkan hukum seiring tumbuh dan berkembangnya kehidupan masyarakat Islam yang dipengaruhi oleh perbedaan kondisi dan tempat. Berdasarkan pada pengertian tersebut pembentukan hukum itu dimaksudkan untuk merealisir kemaslahatan umat manusia bagi mereka dan menolak mad}aratan serta menghilangkan kesulitan dari padanya.

2. Syarat-syaratMas{lah{ah A l-Mursalah

Dalam menggunakan mas}lah}ah al-mursalah sebagai hujjah, para ulama bersikap sangat hati-hati, sehingga tidak menimbulkan pembentukan syariat berdasarkan nafsu dan keinginan tertentu. Maka

28

Acmad El Ghandur,Perspektif Hukum Islam,terj. Ma’mun Muhammad Murai (Yogyakarta:


(45)

dari itu, para ulama menyusun syarat-syarat mas}lah}ah al-mursalah yang

dipakai sebagai dasar pembentukan hukum. Imam Maliki memberikan

sedikitnya tiga syarat utama agar mas}lah}ah al-mursalahdapat dijadikan

sebagaihujjah, diantaranya :

a. Adanya persesuaian antara mas}lah}ah yang dipandang sebagai

sumber dalil yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syarak

(Maqa>sid al-Syari’ah).

a. Mas}lah}ah itu harus masuk akal, mempunyai sifat-sifat yang

sesuai dengan pemikiran rasional.

b. Penggunaan dalil mas}lah}ah ini dalam rangka menghilangkan

kesulitan yang terjadi. Artinya manusia akan mengalami kesulitan

jikamas}lah}ahyang diambil tidak diterima oleh akal.

Imam Ghazaly memberikan beberapa persyaratan agar istilah

(Mas}lah}ah) dapat dijadikan alasan dalam istimbat hukum, yang

diantaranya:

a. Mas}lah}ahitu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syarak.

b. Mas}lah}ah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nas

syara’.

c. Mas}lah}ah itu termasuk dalam kategori mas}lah}ah yang d}aru>riyah,

baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan

universal artinya berlaku untuk semua orang tanpa terkecuali.29

29


(46)

Untuk terakhir ini al-Ghazali juga mengatakan bahwa yang

hajjiyah atau dalam rangka mempermudah manusia untuk

menjalankan perintah Allah SWT, apabila menyangkut kepentingan

orang banyak bisa jadi d}aru>riyahatau sesuatu yang dianggap darurat

yang apabila tidak dilakukan akan menyusahkan diri sendiri.

Sedangkan Abdul Wahhab Khalla>f menyebutkan bahwa

syarat-syarat mas}lah}ah al-mursalah untuk bisa dijadikan sebagai

h}ujjah.Yaitu:

a. Mas}lah}ah harus benar-benar membuahkan mas}lah}ah atau tidak

didasarkan dengan mengada-ngada, Maksudnya ialah agar bisa

diwujudkan pembentukan didasarkan atas peristiwa yang

memberikan kemanfaatan bukan didasari atas peristiwa yang

banyak menimbulkan kemadaratan. Jika mas}lah}ah itu

berdasarkan dugaan, atau hukum itu mendatangkan kemanfaatan

tanpa pertimbangan apakah masalah itu bisa lahir dengan cara

pembentukan tersebut. Misalnya, mas}lah}ah dalam hal

pengambilan hak seorang suami dalam menceraikan istrinya.

b. Mas}lah}ah itu sifatnya umum, bukan bersifat perorangan.

Maksudnya ialah bahwa dengan kaitannya dengan pembentukan

hukum terhadap suatu kejadian atau masalah dapat melahirkan

kemanfaatan bagi kebanyakan umat manusia, yang benar-benar


(47)

c. Pembentukan hukum dengan mengambil kemaslahatan ini tidak

berlawanan dengan tata hukum atau dasar ketetapan nas dan

ijma’. Seperti hal tuntutan kemaslahatan untuk mempersamakan

hak waris antara anak laki-laki dengan perempuan, merupakan

kemaslahatan yang tidak dibenarkan, sebab bertentangan dengan

nas yang telah ada.

d. Pembentukan mas}lah}ah itu harus sesuai dengan prinsip-prinsip

yang ditetapkan oleh hukum-hukum Islam, karena jika

bertentangan maka mas}lahah tersebut tidah dapat dikatakan

sebagaimas}lah}ah.

e. Mas}lah}ah itu bukan bukan mas}lah}ah yang tidak benar . dimana

nas yang ada tidak menganggap salah dan tidak pula

membenarkannya.30

3. Landasan HukumMas{lah{ah A l-Mursalah

a. Al-Qur’an

Berdasarkan istiqra’ (penelitian empiris) dan nas}-nas{h al-Qur’a>n maupun hadis diketahui bahwa hukum-hukum syari’at Islam mencakup diantaranya pertimbangan kemaslahatan manusia.31Sebagaimana firman Allah dalam surat Y u@nus(10) ayat 57:

30

Abdul Wahha>b Khalla>f,Ilmu Uhs}ul Fiqh:Kaidah Hukum Islam(Jakarta: Pustaka Amani, 2003), 145-146.

31


(48)

                      

“Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”.32

Hasil induksi terhadap ayat dan hadis menunjukan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia, dalam hubungan ini, Allah berfirman dalam surat al-A nbiya>’ (21) ayat 107:\            

“Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.33

Redaksi ayat di atas sangat singkat, namun ayat tersebut mengandung makna yang sangat luas. Di antara empat hal pokok, yang terkandung dalam ayat ini adalah: Allah mengutus Nabi Muhammad (al-‘A >lamīn), serta risalah, yang kesemuanya mengisyaratkan sifat-sifatnya, yakni rahmat yang sifatnya sangat besar. Firman Allah dalam suratal-Baqarah(2) ayat 185:

           

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…”.34

32

Departemen Agama RI,A l-Qur’a>n dan Terjemahannya…, 215.

33


(49)

Ayat tersebut terdapat kaidah yang besar, di dalam

tugas-tugas yang dibebankan akidah Islam secara keseluruhan, yaitu‚

memberikan kemudahan dan tidak mempersulit . Hal inimemberikan kesan kepada kita yang merasakan kemudahan di dalam menjalankan kehidupan ini secara keseluruhan dan mencetak jiwa orang muslim berupa kelapangan jiwa, tidak memberatkan, dan tidak mempersukar.

b. Hadis

Hadis Najmuddi>n Sulaiman bin Abd Qawiy bin Abd al-Karim al-T{ufi al-Hanbaly (al-T}ufi) menggunakan hadis riwayat Ibn Ma>jah dan Da>r al-Qut}ni, Imam Mali>k Hakim dan al-Baihaqi, yang dikategorikan dalam hadis hasan sebagai dasar hukum mas}lah}ah, landasan utama pendapatnya adalah mendahulukan nas{ danijma’.

:

"Diriwayatkan dari Aby Sa’id Sa>ad bin Mali>k al-khudzi>y, r.a sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda‚tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain" .

Hadis hasan diriwayatkan oleh Ibnu Ma>jah dan dari Quthni dan selain keduanya adalah masnad, dan meriwayatkan Ima>m Mali>k dalam al-Muwa>t}o’, dari Amr bin Yahya dari ayahnya dari

34


(50)

Nabi Muhammad SAW dinilai sebagai hadis mursal terputus pada

Aba> Sa’id‛.

Al-Thufi berpendapat bahwa hadis tersebut mengandung makna bahwa hukum Islam melarang segala bentuk kemudaratan dari manusia. Pendapatnya ini didasarkan pada pemahamnnya terhadap ayat Al-Quran maupun hadis yang menggambarkan bahwa Allah memelihara dan memprioritaskan kemaslahatan hambanya.35

4. Macam-macamMas{lah{ah A l-Mursalah

Para Ahli ushul fiqh mengemukakan beberapa pembagian mas}lah}ah.:

a.Mas}lah}ahberdasarkan segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan.36 1) Mas}lahah D{aru>riyyah

Kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima macam, yaitu:

a) Melindungi Agama(al-di>n).

Untuk persoalan al-di>n berhubungan dengan ibadah-ibadah yang dilakukan seseorang muslim dan muslimah, membela Islam dari ajaran-ajaran yangsesat, membela Islam dari serangan-serangan orang-orang yang beriman kepada agama lain.

35

Nasrun Haroen,Us}u>l Fiqh 1…, 128.

36


(51)

b) Melindungi jiwa(al-nafs)

Dalam Agama Islam, jiwa manusia yang didalamnya

terdapat ruh atau nyawa adalah sesuatu yang sangat berharga

bagi orang lain atau dirinya sendiri.

c) Melindungi akal(al-‘aql)

Salah satu hal yang membedakan manusia dengan

hewan adalah akal, oleh karena itu kita wajib menjaga dan

melindunginya. Islam menyarankan kita untuk menuntut ilmu

sampai keujung dunia manapun dan melarang kita untuk

merusak akal sehat kita, seperti meminim alkohol.

d) Melindungi keluarga/garis keturunan(al-nasl)

Menjaga keturunan dengan menikah secara Agama dan

Negara. Punya anak diluar nikah, misalnya akan berdampak

pada warisan dan kekacauan dalam keluarga dengan tidak

jelasnya status anak tersebut.

e) Melindungi harta (al-ma>l)

Harta adalah hal yang sangat penting dan berharga,

namun Islam melarang untuk mendapatkan harta dengan cara

ilegal seperti mencuri korupsidan lain sebagainya.

Kemaslahatan dalam taraf ini mencakup lima prinsip

dasar universal dari persyariatan atau disebut juga dengan

konsep Maqa>sid al-Syari’ah. Jika hal ini tidak terwujud maka


(52)

bahkan siksaan akan mengancam. Oleh karena itu kelima

macam maslahat ini harus dipelihara dan dilindungi.

2) Mas}lah}ah H{a>jiyah

Semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait

dengan dasar yang lain (yang ada padamas}lah}ah d{aru>riyyah) yang

dibutuhkan oleh masyarakat tetap akan terwujud, tetapi dapat

menghindarkan kesulitan dan menghilangkan kesempitan. h{a>jiyah

ini tidak rusak dan terancam, tetapi hanya menimbulkan kepicikan

atau kurangnya pengetahuan terhadap suatumas}lah}ah.h{a>jiyah ini

berlaku dalam lapangan ibadah, adat, muamalat, dan di bidang

jinayat. Intinya, mas}lah}ah h{a>jiyah adalah Sebuah kemaslahatan

yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok

(mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk

mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia.37

Termasuk kategori h}a>jiyah dalam perkara mubah ialah

diperbolehkannya sejumlah bentuk transaksi yang dibutuhkan oleh

manusia dalam bermuamalah, seperti akad muzaro’ah, musaqah,

salam maupun murabahah. Contoh lain dalam hal ibadah ialah

bolehnya berbuka puasa bagi musafir, dan orang yang sakit

ataupun bolehnya mengqasharsholat ketika dalam perjalanan.

Termasuk dalam hal h{a>jiyah ini, memelihara kemerdekaan

pribadi, kemerdekaan beragama. Sebab dengan adanya

37


(53)

kemerdekaan pribadi dan kemerdekaan beragama, luaslah gerak

langkah hidup manusia. Melarang/mengharamkan rampasan dan

penodongan termasuk juga dalamha>jiyah.

3) Mas}lah}ah Tahs}iniyyah

Kemaslahatan yang kebutuhan hidup manusia kepadanya

tidak sampai tingkat dharuri ataupun h}a>jiyah . Namun kebutuhan

tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan

keindahan bagi hidup manusia.38 Bisa juga segala sesuatu yang

dapat memperindah keadaan manusia, dapat menjadi sesuatu yang

sesuai dengan tuntutan harga diri dan kemulyaan akhlak.39 Bisa

juga kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang

dalam masyarakat dan di hadapan Tuhan-Nya sesuai dengan

kepatuhan.40 Bisa juga kemaslahatan yang sifatnya pelengkap

berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan

sebelumnya yaitu kemaslahatan dharuriyat danh{a>jiyah.41

Kebutuhantahsiniyahadalah tindakan atau sifat-sifat yang

pada prinsipnya berhubungan dengan al-mukarim al-akhlak, serta

pemeliharaan tindakan-tindakan utama dalam bidang ibadah, adat,

dan mu’amalat. Artinya seandainya aspek ini tidak terwujud,

maka kehidupan manusia tidak akan terancam kekacauan, seperti

38

Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh Jilid 2...., 328.

39

Abdul Wahha>b Khalla>f,Ilmu Us}ul Fiqh..., 299.

40

Ismail Muhammad Syah,dkk.,Filsafat Hukum Islam.,(Jakarta: Bumi Aksara, 1992), 124.

41


(54)

kalau tidak terwujudnya aspek dharuriyat dan juga tidak akan

membawa kesusahan seperti tidak terpenuhinya aspekh{a>jiyah.42

b. Mas}lah}ahberdasarkan cakupannya (jangkauannya).

Bila ditinjau dari segi cakupan, Jumhur Ulama membagi

mas}lah}ahkepada tiga tingkatan, yaitu:

1) A l-Mas}lah}ah al-‘Āmmah (Kemaslahatan umum)

Kemaslahatan yang berkaitan dengan semua orang seperti

mencetak mata uang untuk kemaslahatan suatu negara.

2) A l-Mas}lah}ah al-Gha>libah(Kemaslahatan mayoritas)

Kemaslahatan yang berkaitan dengan mayoritas

(kebanyakan) orang, tetapi tidak bagi semua orang. Contohnya

orang yang mengerjakan bahan baku pesanan orang lain untuk

dijadikan barang jadi, maka apabila orang tersebut membuat

kesalahan (kerusakan) wajib menggantinya.

3)A l-Mas}lah}ah al-Khas>s{ah(Kemaslahatan khusus/pribadi),

Kemaslahatanyang berkenaan dengan orang-orang tertentu.

Seperti adanya kemaslahatan bagi seorang istri agar hakim

menetapkan keputusan fasah }karena suaminya dinyatakan

hilang.43

42

Alaiddin Koto,Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh: Sebuah Pengantar Edisi Revisi,(Jakarta: Rajawali Press, 2009), 125.

43

Muhammad Mushthafa al-Syalabi,T a’li>l al-A hka>m(Mesir: Da>r al Nahd>oh al-‘Arabiyyah, tt), 281-287.


(55)

c. Mas}lah}ahdilihat dari segi keberadaanmasḷahạhmenurut syariat.

Sedangkan mas}lah}ah dilihat dari segi keberadaan mas}lahạh

menurut syariat, menurut Muhammad Mushthafa al-Syalabi dibagi menjadi tiga yaitu:

1) A l-Mas}lah}ah al-Mu’tabarah

Kemaslahatan yang secara tegas diakui syariat dan telah

ditetapkan ketentuan-ketentuan hukum untuk merealisasikannya

guna untuk melindungi agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan.44

Umat muslim diperintahkan jihad memerangi orang kafir

untuk melindungi agama Islam, melakukan qishas bagi pelaku

pembunuhan demi memelihara jiwa, menghukum pemabuk demi

memelihara akal, menghukum pelaku zina demi memelihara

keturunan, serta menghukum pelaku pencurian demi memelihara

harta benda. Semua ulama sepakat bahwa semua mas}lah}ahyang

dikategorikan kepada mas}lah}ah mu’tabarah wajib ditegakkan

dalam kehidupan, karena dilihat dari segi tingkatannya

merupakan kepentingan pokok yang wajib ditegakkan.

2) A l-Mas}lah}ah al-Mulghā

Sesuatu yang dianggap masḷahạh oleh akal pikiran, tetapi

dianggap palsu karena kenyataannya bertentangan dengan

ketentuan syariat. Ada dua contoh beserta dalilnya, yang

pertama, penambahan harta melalui riba dianggap mas}lah}ah.

44


(56)

Kesimpulan seperti itu bertentangan dengan nas Al-Qur’an surat

al-Baqarah(2) ayat 275:

                                                                                    

“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang\ yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba. Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya dikembalikan‛.45

Adapun contoh yang kedua mengenai adanya anggapan bahwa menyamaratakan pembagian warisan antara laki-laki dan perempuan adalah mas}lah}ah. Hal ini tentu bertentangan dengan ketentuan syarat yang ada di dalam al-qura>n surat an-Nisa’ ayat 11:                                                45


(57)

                                                                                        

“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separuh harta. dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Adanya pertentangan tersebut menunjukkan bahwa, apa yang dianggapmas}lah}ahitu, bukanmas}lah}ahdi sisi Allah.

3) A l-Mas}lah}ah al-Mursalah

Kemaslahatan yang tidak diakui secara eksplisit oleh syariat dan tidak pula ditolak serta dianggap batil oleh syariat. 46Mas}lahạh

mursalah menurut istilah berarti kebaikan (mas}lahạh) yang tidak disinggung dalam syariat, untuk mengerjakannya maupun meninggalkannya, namun jika dikerjakan akan membawa

46


(58)

manfaat.47Mas}lah}ah semacam ini terdapat dalam Mas}lah}ah

mua>malah yang tidak ada ketegasan hukum dan tidak ada pula ada

bandingannya dalam Al-Qur’an dan Sunah untuk dapat dilakukan

analogi.48

5. Konsep Hitungan dan Takaran

Islam mengatur bahwa jual beli harus sesuai dengan Syari’at yang dibenarkan termasuk didalamnya sistem hitungan, takaran, dan timbangan. Tujuan penetapan sistem hitungan, takaran dan timbangan ini adalah atas dasar keadilan Islam yang harus ditegakkan. Karena definisi adil akan berbeda antara satu dengan lain bila hanya mengikuti hawa nafsu. Takaran adalah alat untuk menakar, dalam muamalah dipakai untuk mengukur satuan dasar isi atau volume dan dinyatakan dalam standar yang diakui banyak pihak contohnya satuan liter. Sementara timbangan dipakai untuk mengukur satuan berat, contohnya kilo gram. Takaran dan timbangan wajib dipergunakan secara tepat dalam penegakan hukum muamalah syar’i.

Hal ini sejalan dengan prinsip kejujuran untuk mewujudkan keadilan, sesuai perintah Allah SWT untuk menyempurnakan takaran dan timbangan. Dalam QS.al-Isra>’ayat 35:

                       47

Nasrun Haroen,Us}u>l Fiqh I…,119.

48


(59)

“dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”49

Dalam A l-A n‘am ayat 152, Allah memerintahkan supaya umat manusia melakukan jual beli dengan takaran dan timbangan yang adil sekedar kesanggupannya :

                                                                 

“ dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.”50

Allah melarang sistem muamalah yang curang, sebagaimana Firman Allah dalam QS. at-taffif : 1-6:

                                                 

“kecelakaan besarlah bagi orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang-orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa Sesungguhnya mereka akan dibangkitkan,

49

Departemen Agama RI,A l-Qur’a>n dan Terjemahannya…,285.

50


(60)

pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?”.51

Membeli makanan dengan takaran dan timbangan yang tak jelas maka dilarang menjualnya ditempat yang sama. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis shahih pada kitab shahih bukhari pada Bab al-hudud, No: 6346.

Dari sa>lim dari Abdullah bin Umar, “ Di masa Rasu<lulla<h S{allalla<hu ‘alayhi wa sallam, jika para sahabat membeli makanan yang tak jelas takaran dan timbangannya, mereka dilarang menjualnya ditempat mereka membeli hingga mereka memindahkannya ke kendaraan angkut mereka. (Sahih Bukha<ri: 6346).52

Jual beli dengan takaran yang sama, dan sama berat serta tunai dibolehkan dalam jika jenisnya berbeda maka jual beli tersebut dibolehkan asal dengan tunai dan langsung serah terimanya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis shahih pada kitab shahih muslim pada Bab al-masa>>qah, No: 2970, yaitu:

.

Dari Ubadah bin Shamit dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, tidak mengapa jika dengan takaran yang sama, dan sama berat serta tunai. Jika jenisnya

51

Ibid, 487.

52


(61)

berbeda, maka juallah sesuka hatimu asal dengan tunai dan langsung serah terimanya.” (S}ah}ih} Muslim: 2970).53

53


(1)

dibutuhkan untuk memelihara salah satu dari lima macam-macam al-masali>h al-khamsah.3

Maksud dari kata al-masali>h al-khamsah adalah suatu kemaslahatan yang berdasarkan dari kebutuhan pokok manusia. karena penjualan bibit ikan lele dengan sistem takaran ini bertujuan untuk memudahkan dalam pelayanan pembelian bibit ikan lele sehingga penjual tanpa harus bersusah payah menghitungnya ekor perekor sampai ribuan dan pembeli juga mempunyai waktu yang efektif untuk mempertahankan kelangsungan bibit ikan lele tersebut.

Dilihat dari segi cakupannya kasus ini termasuk dalam mas{lahah ghalibah atau maslahah yang berkaitan dengan kebanyakan orang tetapi tidak untuk semua orang.4 Karena menyangkut dengan orang-orang yang terlibat dalam jual beli tersebut yaitu penjual dan pembeli bibit ikan lele. Maksudnya, ketika dalam transaksi jual beli bibit lele ini ditemui kematian bibit lele saat pemesanan maka hanya yang penjual wajib mengganti bibit lele yang mati tersebut.

Dilihat dari segi keberadaannya masalah ini termasuk dalam mas{lahah mursalah karena dalam praktiknya terdapat ketidakpastian pada jumlah bibit lele yang diterima pembeli dimana itu termasuk dalam kemudharatan penggunaan sistem takaran ini, namun disisi lain lebih banyak manfaatnya baik bagi keduanya yaitu efektifitas waktu yang didapat agar dapat mengurangi resiko kematian bibit ikan lele.

3

Nasrun Haroen,Us}u>l Fiqh 1…, 115-116. 4


(2)

73

Berdasarkan penjelasan yang telah penulis paparkan diatas maka dapat disimpulkan bahwa praktik jual beli bibit ikan lele dengan sistem takaran di Desa Jombok Kecamatan Kesamben Kabupaten Jombang sudah memenuhi syarat-syarat untuk menggunakan mas{lah{ah mursalah sebagai landasan penegasan hukumnya yang sudah dijelaskan diatas atau pendapat yang menguatkan dalam hal kebolehan. Praktik jual beli bibit lele ini mengandung manfaat, menghindari dari kesulitan dan berjalan sesuai kehendak syarak.


(3)

75

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pada awalnya, praktik jual beli bibit ikan lele menggunakan sistem hitungan karena skalanya yang kecil. Semakin banyaknya peminat budidaya ikan lele, bisnis ini pun berkembang dan melayani pembelian dalam skala besar saja. Oleh karena itu, untuk mempermudah dan mempercepat perhitungan, maka pelayanannyapun berubah menjadi sistem takaran atas kerelaan kedua belah pihak. Pada takaran pertama dilakukan perhitungan langsung jumlah ikan bibit lele, yang mana volume takaran pertama tersebut\ digunakan sebagai acuan banyaknya bibit ikan lele tanpa dilakukan perhitungan lagi.

2. Dilihat dari unsur mas{lah{ah mursalah-nya, penggunaan sistem takaran ini sudah sejalan dengan kehendak syarak, di mana sistem takaran ini bisa diterima oleh akal, menghilangkan kesulitan, dan tidak bertentangan dengan dasar ketetapan Al-Quran, hadis, dan Ijma’, dalam arti syarat dan rukunnya telah terpenuhi serta didasari atas kerelaan kedua belah pihak.


(4)

76

B. Saran

Dari kesimpulan di atas, maka penulis memberikan saran kepada beberapa pihak, yaitu:

1. Bagi penjual, hendaknya mengedepankan prinsip kejujuran dalam transaksi jual beli bibit ikan lele, dari mulai proses penghitungan sampai takaran selesai, agar tidak ada yang merasa dirugikan.

2. Bagi pembeli, hendaknya turut serta dalam proses penghitungan bibit ikan lele, agar takarannya sesuai dengan pesanan.


(5)

77

Kabupaten Boyolali”.Skripsi--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2010.

Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Effendi, Satria.Us}hu>l Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012. Ghandur (el), Acmad.Perspektif Hukum Islam,alih bahasa Ma’mun Muhammad

Murai. Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2006.

Haroen, Nasroen.Fiqih Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000. Karim, A. Syafi’iUs}hu>l Fiqih. Bandung: Pustaka Setia, 2006.

Kurniawan, Muhammad. “A nalisis Hukum Islam terhadap Praktik Jual Beli Beras dengan A lat Omplong di Desa Jungkarang Kecamatan Jrengik

Kabupaten Sampang”. Skripsi--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2015.

Koto, Alaiddin. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh:Sebuah Pengantar Edisi Revisi.

Jakarta: Rajawali Press, 2009.

Masruhan.Metodologi Penelitian Hukum.Surabaya: Hilal Pustaka, 2013.

Munib, Abdul.Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih,cet. ke-7. Jakarta: Kalam Mulia, 2008. Nugroho, Fahmi. “Tinjuan Hukum Islam terhadap Tradisi Jual Beli Sistem

Cawukan di Desa Gempolmanis Kecamatan Sambeng Kabupaten

Lamongan”.Skripsi--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2015.

Prastowo, Andi. Memahami Metode-Metode Penelitian. Yogyakarta:Ar-Ruzz Media, 2011.

Shidiq, Sapiuddin.Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011. Subagio, Joko. Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 2004.

Syalabi (al), Muhammad Mushthafa. Ta’li>l al-A hka>m. Mesir: Da>r al Nahd>oh al-‘Arabiyyah, t.t


(6)

78

Syah, Ismail Muhammad.Filsafat Hukum Islam.Jakarta: Bumi Aksara, 1992. Syafie, A.Ushu\l Fiqh.Jakarta: Wijaya, 1989.

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jilid 2. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

S.A, Romli.Muqaranah Maza>hib fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999. Tim Penyusun Fakultas Syari’ah dan Hukum,Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi.

Surabaya: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel, 2016.

Wahha>b, Abdul Khalla>f. Ilmu Us}ulFiqh: KaidahHukum Islam. Jakarta: Pustaka Amani, 2003.

Zahrah (Abu), Muhammad.Us}u>l Fiqih. Mesir: Darul Araby, 1985.

Zuhaili (al), Wahbah. al-Fiqh al-Islam W aA dillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-Kattani,Jilid 6.Jakarta: Gema Insani, 2011.