20140327 Keberagaman Agama Adiani

“Keberagaman Adalah Kekayaan 
yang Harus Dirayakan” ; 
Soekarno

Indonesia adalah negara yang berlimpah ruah keberagaman. Agama, aliran kepercayaan‐ agama lokal ‐, yang
telah ada sejak dulu kala, merupakan bagian penting kehidupan di Indonesia.

Konstitusi UUD 1945, sejumlah instrumen nasional dan internasional, secara tegas dan terang memberikan
jaminan perlindungan kebebasan beragama/ berkepercayaan itu. Namun begitu, para penganut agama/
kepercayaan belum merdeka sepenuhnya dalam beragama/ berkepercayaan. Dari tahun ke tahun berulang
peristiwa‐peristiwa kekerasan, pelanggaran berbasis agama dan kepercayaan. Negara bersikap tidak jelas.
Sejumlah kasus berbasis agama/ kepercayaan didiamkan berlarut‐larut tanpa penyelesaian yang pasti. Korban
dikorbankan. Hak‐hak mereka terlantar. Pembiaran oleh negara itu menjadi semangat bagi massa intoleran
yang gemar menebar kebencian, merusak kedamaian, memecah belah persatuan, dan merasa paling benar.
Korban tidak diam.
Dengan tetap berpegang teguh pada keyakinannya, terus memperjuangkan hak‐haknya dalam beragama.
Bersama SOBAT KBB, korban terus menyuarakan pentingnya tenggangrasa, semangat dan nilai‐nilai toleransi ,
serta meghormati dan menghargai perbedaan.
Berikut adalah profil singkat beberapa agama/ kepercayaan lokal, dan masalah‐masalah yang hingga kini
masih mereka hadapi.


Teks dan foto ditulis dan diambil oleh Adiani Viviana –Elsam, dalam temu korban‐pendamping
KBB yang diselenggarakan oleh SOBAT KBB pada awal 2014 di Bogor Jawa Barat.

BUDI SANTOSO : 
Sesepuh Penganut Ajaran Sedulur Sikep Kudus


Komunitas penganut ajaran Sedulur Sikep, merupakan 
komunitas penganut keyakinan yang telah lama ada di 
Indonesia. Kita berhutang budi pada komunitas keyakinan ini 
; catatan sejarah menorehkan, bahwa pada zaman 
penjajahan Belanda dan Jepang, komunitas ini secara tegas 
dan terang mengobarkan semangat perlawanan terhadap 
penjajah seperti menolak membayar pajak, dan menolak 
segala peraturan yang dibuat oleh Belanda. Penganut ajaran 
ini berada di beberapa titik daerah, diantaranya Kudus, 
Blora, dan Bojonegoro. 




Salah satu ajaran Sedulur Sikep adalah memegang pedoman 
bahwa agama adalah suatu pegangan hidup. Sedulur Sikep 
tidak membeda‐bedakan agama, oleh karena itu Sedulur 
Sikep tidak pernah mengingkari atau membenci agama. 
Tabiat dalam hidup merupakan hal yang penting bagi 
penganut kepercayaan ini.



Selain mendapat penolakan masyarakat, keberadaan 
penganut Sedulur Sikep juga tidak diakui oleh negara. Hingga 
kini, mereka masih menghadapi berbagai masalah. Bahkan, 
anak‐anak yang lahir dari orang tua penganut Sedulur Sikep, 
dianggap sebagai anak yang lahir di luar pernikahan. Karena 
akta kelahiran anak akan berbunyi “telah lahir anak luar 
kawin dari”. Diskriminasi terus berlanjut ; selain hak 
menganut keyakinan, juga pendidikan. Anak‐anak tersebut 
harus mengikuti ujian agama yang ada di sekolah. Sekolah 
tidak mengakomodir siswanya untuk melakukan ujian agama 
sesuai agama atau keyakinan yang mereka anut.




“Yaa, begitulah nasib kami Mbak,sampai sekarang tidak 
diakui”, kata Pak Budi Santoso pada 27 Maret 2014 lalu saat 
pak Budi dan saya duduk‐duduk di teras samping gedung 
YLBHI sambil memandangi serumpun pohon bambu.



SERVASIUS WUE : 
Pengurus Persatuan Warga Sapta Darma
Sapta Darma adalah ajaran murni kerokhanian 
yang sudah terdaftar sejak lama di Kementrian 
Dalam Negeri Indonesia. Ajaran ini untuk 
pertama kalinya diterima oleh Hardjosapuro 
sebagai wahyu Allah pada tahun 1952 di Pare, 
Kediri‐Jawa Timur, bukan merupakan pecahan 
atau cabang dari agama lain.
Menurut Pak Servasius, ajaran Sapta Darma 

sudah tersebar di 22 provinsi di Indonesia, 
dengan sekitar 4 juta penganut. Seperti ajaran 
agama/ kepercayaan lainnya, ajaran Sapta Darma 
juga berisi ajaran kebaikan, kasih sayang, 
perdamaian. Penganut Sapta Darma wajib 
menjalankan wewarah tujuh, diantaranya adalah 
“tetulung marang sapa bae yen perlu kanti ra 
nduwe pamrih apa bae kejaba mung rasa welas 
lan asih ‐ menolong siapa saja yang 
membutuhkan tanpa pamrih hanya berdasarkan 
rasa cinta dan kasih”.
Pada 2008, Sanggar tempat Ibadah Sapta Darma 
di Yogyakarta diserbu dan dirusak massa 
intoleran. Hingga kini penganut Sapta Darma juga 
masih mengalami kesulitan dalam mendirikan 
Sanggar tempat ibadah. Di lain hal, penganut 
Sapta Darma juga masih harus berjuang agar 
ajaran kerokhanian Sapta Darma dapat masuk 
dan diterima dalam kurikulum pendidikan 
sekolah, sehingga anak‐anak penganut Sapta 

Darma bisa mendapatkan pendidikan agama 
sesuai dengan keyakinannya.

DEWI KANTI SETYANINGSIH: 
Penganut Kepercayaan Sunda Wiwitan 
Sunda Wiwitan, adalah kepercayaan tradisi Sunda lama sebelum datangnya agama‐agama lain ke Indonesia. Kepercayaan ini meyakini 
tentang Sang Pencipta, lingkungan dan alam sekitarnya. Kata “sunda” berarti damai dan cahaya, jadi bukan hanya bermakna etnis Sunda. 
Sedangkan kata “wiwitan” berarti permulaan atau awal. 
Meskipun kepercayaan Sunda Wiwitan telah ada sejak dulu kala, diskriminasi tetap saja melingkupi para penganut kepercayaan ini. Menurut 
Dewi, dengan istilah kepercayaan saja, mereka masih dianggap tidak bertuhan. Di sekolah‐sekolah formal  juga mengarahkan bahwa 
kepercayaan itu bukan agama. Pengkebirian banyak terjadi melalui sistem pendidikan. 
Perkawinan adat mereka juga dianggap sebagai perkawinan liar. Karena tidak mau dicatat di KUA.  Menurut Dewi, minoritas ini bisa mandiri 
tanpa Negara. Ia berharap semua kalangan terutama masyarakat yang menjunjung tinggi toleransi bisa saling menguatkan keberagaman, 
dan saling menguatkan. Ia juga mengingatkan agar kita bisa terus berusaha mengingatkan aparatur Negara yang sudah mati nuraninya. 
Masih banyak perlakuan diskriminasi yang dialami oleh kelompok ini.

NASRUDDIN :
Ahmadiyah Nusa Tenggara Barat
AHMADIYAH juga agama. Agama apa? Agama Islam. Ahmadiyah juga
bersyahadat. Jemaat Ahmdiyah adalah orang Islam.

Hingga saat ini pengikut jemaat Ahmadiyah di seluruh dunia berjumlah kurang
lebih 220 juta orang yang tersebar di 181 negara. Ahmadiyah berdiri di
Indonesia sejak tahun 1925. Melalui penetapannya tanggal 13 Maret
1953, pemerintah Indonesia cq. Menteri Kehakiman RI Nomor JA.5/23/13
yang dimuat dalam tambahan berita negara RI tanggal 31 Maret 1953
Nomor 26, diperkuat dengan pernyataan Departemen Agama RI
tertanggal 11 Mei 1968 Ahmadiyah diakui sebagai sebuah Badan Hukum.
Begitu juga Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga Ahmadiyah, telah
disahkan secara resmi oleh menteri kehakiman sebagai badan hukum.
Di Indonesia dari tahun ke tahun Ahmadiyah menjadi kelompok paling rentan
kekerasan dan paling banyak mengalami tindak kekerasan baik oleh
aktor negara maupun non-negara.
Jemaat Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat sudah mengalami setidaknya 13 kali
amuk masa, adapula yang dibunuh pada tahun 2001, dari kasus
penyerangan ini tidak ada satupun yang diproses secara hukum hingga
tuntas. Mereka sangat sedih dan menyayangkan itu ; tinggal di negara
hukum tetapi hukum tidak berjalan. Lebih menyedihkan lagi, setelah 69
tahun Indonesia Merdeka, Jemaat Ahmadiyah di NTB justru harus tinggal
di pengungsian sejak 2006 hingga kini. Karena mereka penganut
Ahmadiyah, mereka harus mengungsi di negeri sendiri. Pada 2006 itu,

mereka diusir, mereka mengungsi di Transito.
Tinggal di pengungsian selama bertahun-tahun menimbulkan tidak
terpenuhinya pula hak-hak dasar yang lain ; hak akan tempat tinggal,
hak memperoleh pendidikan, hak atas air bersih, hak atas pelayanan
kesehatan dan hak-hak lain. M. Natsir, Mubaligh Ahmadiyah NTB,
melalui syair yang ia ciptakan menggambarkan bagaimana pengungsi
Ahmadiyah Transito bertahan hidup dan berjuang keras
mempertahankan haknya. “Syair ini sering kami nyanyikan di
pengungsian, sebagai penghibur diri”, kata Bang Nas, begitu biasanya ia
disapa.

“Simponi Anak Negeri” ;
syair ciptaan Nasruddin sebagai pelipur sedih dan penyemangat pengusngsi

MAMA ENDHEK :
Penganut Kepercayaan 
Kaharingan 
Kepercayaan Kaharingan adalah agama asli 
Indonesia. Masyarakat Dayak meyakini bahwa 
agama Kaharingan telah ada sejak awal 

penciptaan alam semesta.  
Sejak tahun 1980, agama Kaharingan sudah 
berada di bawah naungan agama Hindu yang 
diakui negara. Namun demikian, antara 
Kaharingan dan Hindu adalah dua kepercayaan/ 
agama yang berbeda. 
Kaharingan berarti hidup atau tumbuh. 
Dimaksudkan sebagai agama suku yang hidup dan 
tumbuh secara turun temurun dan dihayati oleh 
masyarakat Dayak di Kalimantan. 
Penganut kepercayaan Kaharingan juga belum 
sepenuhnya mendapatkan kebebasan dalam 
mengaktualisasikan dirinya sebagai Penganut 
Kaharingan. Masih adanya stigma masyarakat 
yang menganggap Kaharingan bukan sebuah 
agama/ kepercayaan agama, menjadi cikal bakal 
perlakuan diskriminasi. Misalnya dalam 
mendapatkan lapangan pekerjaan dan 
pendidikan, mereka masih tersisihkan.
Foto : Berkacamata ‐Margareta Wahyuretno 

(umat Katolik NTB)  bersama Mama Endhek

ABDUL GAOS : 
Pengurus Pendirian Masjid di Batuplat Kupang, Nusa Tenggara Timur
Agama Islam adalah agama minoritas di Kupang, Nusa Tenggara Timur. 
Umat Islam di kota yang dihuni oleh suku Timor, Sabu, Flores, 
Ambon, Tionghoa, Jawa pendatang ini, juga mengalami diskriminasi. 
Muslim di Batuplat. Hak atas rumah ibadah mereka hingga kini belum 
terpenuhi. Pendirian Masjid Nur Musofir di Batuplat dihentikan dan 
belum bisa dilanjutkan karena Surat Rekomendasi Forum 
Kerukunan Umat Beragama dinilai cacat. Selain itu surat dukungan 
warga sekitar dan surat dukungan jumlah umat juga menjadi alasan 
tidak dilanjutkannya pembangunan masjid ini.
Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, 
dan Jaksa Agung, menganjurkan bahwa pembangunan sebuah 
rumah ibadah minimal harus mendapatkan persetujuan dari 
sekurang‐kurangnya 90 kepala keluarga (KK) di sekitar lokasi 
pembangunan rumah ibadah. Hingga kini belum ada penyelesaian 
konkrit terhadap permasalahan ini. Sudah sejak 2008 kasus ini 
terkatung‐katung. Pemerintah gagal dalam memberikan 

perlindungan kebebasan beragama/ berkepercayaan. “Kasus ini 
seperti didiamkan mengendap. Setelah sekian lama, tidak ada juga 
penyelesaiannya”, kata Abdul Ghaos.
Di lain sisi, menurut Yohanes Seo, seorang non‐muslim asli NTT yang 
bekerja sebagai jurnalis,  kehidupan sehari‐hari antara muslim dan 
non muslim di Batuplat ataupun Kupang, rukun dan baik‐baik saja. 
Kondisi itu misalnya dapat dilihat pada aktivitas buka bersama yang 
dilakukan oleh Komunitas Muda Lintas Agama (Kompak) pada bulan 
Ramadhan tahun 2013 lalu. Bahkan para pemuda dan pemuka 
agama lintas iman ini juga berkomitmen untuk membangun NTT 
secara damai. Pemerintah dan negaralah yang telah absen dan 
gagal dalam mengelola dan melindungi kebebasan beragama. 


Syiah, adalah sebuah Mazhab dalam Islam.  Di Sampang‐Madura, ketegangan antara Syiah dan Sunni sudah terjadi sejak tahun 2004. Pada 29 Desember 2011, kaum Syiah di 
Sampang mengalami pengusiran oleh massa dari kelompok Sunni. Sekitar 300 jiwa mengungsi di GOR Sampang. Kekerasan, pengusiran, pembakaran rumah menimpa 
mereka saat itu. Dan sejak peristiwa itu, berbagai dampak negatif harus ditanggung oleh kaum Syiah khususnya di Sampang. Mulai dari cap sesat, kafir, intimidasi, kekerasan,  
larangan berkumpul keagamaan, hingga pendidikan pesantren. Belum lagi, dampak‐dampak yang harus mereka tanggung di pengungsian, misalnya kesulitan akses 
pendidikan, pelayanan kesehatan, hak tempat tinggal, ekonomi. Pada 26 Agustus 2006 peristiwa kekerasan terhadap kaum Syiah terjadi lagi. Kelompok Sunni kembali 
menyerang Syiah. Puluhan orang mengalami luka‐luka, 10 orang mengalami luka berat, dan satu orang meninggal dunia. Kelompok penyerang juga merusak dan membakar 

puluhan rumah penganut syiah termasuk rumah pimpinan Syiah Sampang ; Ustadz Tajul Muluk. 
Meskipun peristiwa tersebut diproses secara hukum, namun tidak ada  keadilan bagi warga Syiah. Putusan pengadilan membebaskan pelaku kekerasan. Pengadilan gagal 
memberikan perlindungan hak dasar‐kebebasan beragama warga negaranya. 
Pemaksaan tobat melalui kegiatan pembinaan dengan tujuan untuk penyadaran dan peningkatan keamanan terhadap penganut Syiah yang dilakukan oleh Kementrian 
Agama dan Pemkab Sampang juga merupakan bentuk pemaksaan pindah agama yang tidak sesuai keyakinannya.  
Foto : Kiri :  Nike Amelia/ Syiah IJABI ; Kanan : Syafiuddin/ Syiah Sampang

GOPAS SINAGA :
Agama Parmalim Medan 
Parmalim, adalah agama asli suku Batak atau disebut 
juga Agama Malim. Agama ini sudah ada sejak 497 
Masehi atau 1450 tahun Batak. 
Meskipun Permalim merupakan agama Monotheis, 
namun Parmalim juga memiliki sekte‐sekte, 
diantaranya yaitu : Parmalim sekte rasulnya Guru 
Somalaing berkedudukan di Balige, Parmalim sekte di 
Huta Tinggi, Laguboti, yang dipimpim Rasul Raja Mulia 
Naipospos. Parmalim terutama banyak dianut oleh 
suku Batak Toba di Sumatera Utara. Ajaran Parmalim 
mengutamakan komunikasi pada alam sebagai dasar 
eksistensi manusia sebagai keseimbangan kehidupan. 
Sejarah adalah kebenaran nyata. Meskipun sejarah 
tentang Parmalim telah secara terang menunjukkan 
keberadaan Parmalim, namun penolakan bahwa 
Parmalim adalah sebuah kepercayaan atau agama 
tetap terjadi di masyarakat, dan negara. Pada 26 
November 2013, DPR mengesahkan revisi UU 
Adminduk. Pasal 64 ayat (1) UU ini mewajibkan setiap 
warga negara untuk memilih salah satu agama yang 
diakui pemerintah sebagai tanda identitias diri di KTP. 
Penganut kepercayaan Parmalim menolak revisi UU 
ini. Karena hal tersebut sama dengan pemaksaan 
untuk memilih agama yang tidak diyakininya. 
Diskriminasi terkait rumah ibadah kepercayaan 
Permalim di Sumatera Utara juga terjadi. Mereka 
masih kesulitan untuk mendirikan rumah ibadah 
karena adanya pembatasan atas hak ini.

Bertukar pengalaman dan pemikiran 
antar korban lintas iman

Bertukar pengalaman ; hambatan dan 
tantangan dalam advokasi KBB antar lembaga 
pendamping

Bertukar pengalaman antar lembaga pendamping ; 
hambatan dan tantangan dalam advokasi KBB

saling menguatkan, memupuk masa depan, berkomitmen untuk terus menjaga dan 
menyebarkan toleransi

Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. 
Kita ada karena kita berbeda. Kita Setara!