Konsep Otonomi Daerah di Dalam Negara Ke

KONSEP OTONOMI DAERAH DI DALAM NEGARA
KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
Sebagai Archipelago State, Indonesia yang terdiri dari berbagai pulau,
begitu kaya akan budaya, tradisi adat-istiadat dan memiliki karakter masyarakat
yang begitu majemuk. Tidak heran, jika tingkat fragmentasi kehidupan sosial
negara ini sangatlah tinggi. Adapun dengan bentuk geografis yang berbentuk
kepulauan dan suasana yang begitu pluralistik, susunan negara yang sangat
mendukung dan paling ideal untuk menampung fenomena tersebut, bisa kita
temukan pada susunan negara yang berbentuk federal atau negara serikat.
Hal itu senada dengan buah pikiran dari salah satu dari The founding
fathers diawal pra kemerdekaan Indonesia, Mohammad Hatta, yang menyatakan
Indonesia merdeka haruslah berbentuk negara federal. Menurutnya, bentuk negara
federal lebih tepat untuk bangsa Indonesia yang dikenal sangat majemuk, bukan
negara kesatuan (unitary state)1
Memanglah mungkin secara logis, apa yang menjadi buah pemikiran bung
hatta untuk membangun negara Indonesia ini diatas susunan negara federal
sangatlah dimungkinkan, tetapi dengan pertimbangan di awal kemerdekaan untuk
melepaskan diri dari belenggu penjajahan, Indonesia tidak hanya memerlukan
persatuan (union), tetapi juga membutuhkan kesatuan (unitary) serta keutuhan
bangsa. Sehingga menjadi hal yang menarik kemudian untuk diperhatikan ialah,
melalui hasil rembukannya dalam sidang-sidang awal BPUPKI2, bentuk susunan

negara yang akhirnya dipilih oleh para The founding fathers ialah berbentuk
negara kesatuan.

1 Jimly Asshiddiqie, 2008, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta
Pusat: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, hlm. 788.
2 Hasil pemungutan suara (Voting) di BPUPKI tentang ini menunjukkan bahwa
83% menghendaki negara kesatuan dan hanya17% yang menghendaki
negara federal. Lebih lanjut lihat, Moh. Mahfud MD, 2011, Membangun Politik
Hukum Menegakkan Konstitusi, Jakarta Utara: PT. Rajagrafindo Persada, hlm.
216.

Namun walaupun demikian, susunan negara kesatuan yang dipilih
bukanlah negara kesatuan yang bersifat sentralistik, dimana pembagian wilayah
tidak dikenal3 dan kekuasaan serta penyelenggaraan negara berpusat pada satu
badan organ pemerintahan saja4. Hal itu bisa kita lihat kemudian pada rumusan
pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 asli, yang dirumuskannya pembagian
daerah Indonesia tersusun atas daerah besar dan daerah kecil, sehingga jelas
secara tersirat, susunan negara kesatuan yang dikehendaki ialah negara kesatuan
yang menganut prinsip desentralisasi.
Apa yang kemudian dikenal sebagai hak, wewenang, dan kewajiban untuk

mengatur dan mengurus wilayah dan daerah sendiri yang kemudian disebut
sebagai hak otonomi merupakan wujud dari dianutnya prinsip desentralisasi ini.
Sesuai dengan penjelasan pasal UUD NRI 1945, hak otonomi tersebut kemudian
diberikan kepada daerah-daerah yang sedari awal sebelum kemerdekaan Indonesia
dianggap otonom. Namun, seiring dengan berjalannya roda pemerintahan
Indonesia, tuntutan untuk memberikan hak otonomi ke tiap-tiap daerah yang ada
di Indonesia dianggap perlu seiring dengan makin kompleksnya urusan
pemerintahan dan tingkat fragmentasi sosial yang ada di tiap daerah makin
meningkat, maka diaturlah secara rinci penyelenggaraan hak otonomi bagi daerahdaerah yang kemudian disebut sebagai otonomi daerah ke dalam bentuk undangundang tersendiri yang khusus mengatur mengenai ketentuan tersebut.
Sayangnya,

apa

yang

telah

dirumuskan

secara


ideal

mengenai

penyelenggaraan otonomi daerah melalui semangat yang terkandung dalam UUD
NRI 1945 dan kebijakan-kebijakan peraturan perundang-undangan pemerintah di
awal kemerdekaan terkait otonomi daerah, tidaklah sesuai harapan. Biasnya
pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut malah membuat Otonomi daerah
sebagai sebuah antinomi yang dapat memecah belah kesatuan Republik Indonesia.

3 Lihat dan hubungkan Moh Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, 1985, Pengantar
Hukum Tata Negara Indonesia (cetakan keenam), Jakarta Pusat: Pusat Studi
Hukum Tata Negara FH UI dan CV. Sinar Bakti, hlm. 256-257
4 Lihat dan hubungkan Soehino, 2008, Ilmu Negara (cetakan kedelapan),
Yogyakarta: Libert Yogyakarta, hlm. 224.

Tetapi kesemua hambatan dan keraguan tersebut, berangsur mengalami
penyempurnaan seiring dengan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dan
perbaikan peraturan perundang-undangan terkait pemerintah daerah. Sehingga

seiring dengan penyempurnaan tersebut, permasalahan yang barupun mulai
bermunculan. Perdebatan-perdebatan yang kemudian mencuat kepermukaan pun
bukan lagi seputar pertentangan antara otonomi daerah dengan susunan
kenegaraan Republik Indonesia yang berbentuk negara kesatuan, melainkan
banyaknya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan penyalahgunaan
kewenangan (abuse of authorithy) yang terjadi akibat pemberian dan
penyelenggaraan otonomi daerah di daerah-daerah. Maraknya praktik-praktik
korupsi, kolusi dan nepotisme oleh anggota DPRD dan kepala daerah menjadikan
mereka seperti raja-raja kecil di daerah-daerah hingga tidak efisiennya pemberian
otonomi daerah dan penyelenggaraan otonomi daerah di daerah-daerah membuat
negara banyak mengalami kerugian seperti bengkaknya utang dan pengeluaran
yang dilakukan oleh negara.
Belum lagi berbicara mengenai arah politik hukum pembaruan peraturanperundang-undangan terkait pemerintahan daerah yang seringkali menimbulkan
banyak kerancuan dan kritik, seperti pada apa yang dituangkan dalam ketentuan
terbaru pemerintahan daerah, yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun 2014.
Berangkat dari uraian sejarah dan permasalahan tersebutlah, tulisan ini
mencoba mengurai beberapa permasalahan yang terjadi terhadap seputar konsep
otonomi

daerah


yang

penyelenggaraannya

masih

menimbulkan

banyak

permasalahan. Melalui pembahasan mengenai dinamika otonomi daerah dan
politik hukum peraturan perundang-undangan pemerintahan daerah di Indonesia
yang nantinya akan diurai, diharapkan output yang bisa dihasilkan dapat
memberikan gambaran yang jelas mengenai konsep otonomi daerah yang cocok
bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dinamika Otonomi Daerah dan Politik Hukum Peraturan Perundangundangan Pemerintahan Daerah di Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 selaku hukum dasar dan hukum yang paling tertinggi, semangat untuk

membangun negara hukum yang demokratis oleh para The founding fathers mulai
dikristalisasi didalamnya. Salah-satunya mengenai ketentuan pembagian wilayah
Indonesia beserta kewenangan untuk mengurus dan mengatur wilayah dan daerah
sendiri dirumuskan pada pasal 18. Hal itu untuk menjamin semangat demokrasi
yang ada pada negara Kesatuan Republik Indonesia yang begitu luas wilayahnya
dan majemuk masyarakatnya. Melalui prinsip desentralisasi, asas otonomi-pun
mulai diwujudkan sehingga menimbulkan konsep otonomi daerah di daerahdaerah.
Berbicara mengenai konsep otonomi daerah itu sendiri, peraturan terkait
dan penyelenggaraannya begitu kaya akan dinamika dan fluktuasi ketatanegaraan
didalam sejarah Negara Republik Indonesia, membuat konsep otonomi daerah
bagaikan eksperimen yang tak kunjung selesai dalam menemukan bentuk
sempurnanya. Hal itu bisa kita lihat pada berbagai ketentuan peraturan perundangundangan dan perjalanan pelaksanaan dan penyelenggaraan otonomi daerah di
Indonesia.
Walaupun apa yang telah dirumuskan secara ideal didalam rumusan pasal
18 UUD NRI 1945 mengenai pembagian wilayah Indonesia atas daerah besar dan
daerah kecil untuk menyelenggarakan prinsip desentralisasi melalui asas otonomi
untuk menjamin semangat demokrasi, namun kenyataannya di awal kemerdekaan,
pelaksanaannya tak kunjung dilaksanakan. Adapun Undang-undang yang pertama
dilahirkan di dalam sejarah Republik Indonesia, yaitu Undang-Undang No. 1
tahun 1945 mengenai kedudukan Komite Nasional Daerah, bisa dikatakan

berkaitan dengan pelaksanaan pasal 18 UUD NRI 1945, yang pada pokok undangundang tersebut memberi tempat penting bagi komite Nasional Daerah sebagai

alat perlengkapan demokrasi di daerah, juga belum bisa menjamin bukti
pelaksanaan otonomi daerah.
Apa yang kemudian menjadi ketentuan yang ada pada Undang-Undang
tersebut hanya lebih bersifat pemberian otonomi daerah secara formal, karena
tidak diaturnya penyerahan urusan-urusan pemerintahan kepada daerah secara
spesifik. Sehingga pelaksanaan semangat demokrasi dan prinsip desentralisasi
yang sebagaimana termaktub pasal 18 UUD NRI 1945 tidak bisa dilaksanakan
secara optimal, justru yang terlihat pada era tersebut ialah usaha negara untuk
mengkonsolidasikan kekuasaan pemerintahan secara terpusat
Kemudian di tahun 1948, dikeluarkanlah Undang-Undang No. 22 Tahun
1948 mengenai penetapan aturan-aturan pokok mengenai pemerintahan sendiri di
daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Di
keluarkannya Undang-Undang tersebut guna untuk melengkapi peraturan
sebelumnya yang dianggap kurang lengkap sehingga menyebabkan kerancuan
penyelenggaraan negara yang bersifat dualistik antara pemerintahan pusat dan
daerah. Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 ini sendiri menganut asas otonomi
formal dan juga materil sekaligus, dimana aturan ini mulai mengatur terkait asas
otonomi kepada daerah yang agak terperinci jika dibandingkan juga dengan

peraturan sebelumnya. Ini terlihat pada pasal 23 ayat 2 yang menyebutkan urusan
yang diserahkan kepada daerah (materiil) dan pasal 28 yang menyebutkan adanya
pembatasan-pembatasan bagi Komite Nasional Daerah yang bertransformasi
menjadi DPRD untuk tak membuat Perda tertentu yang telah diatur oleh
pemerintahan yang tingkatannya lebih tinggi. Sehingga hal ini menunjukkan
adanya upaya untuk memperluas otonomi daerah.
Lalu di era diberlakukannya UUDS 1950, gagasan otonomi nyata yang
seluas-luasnya tak dapat lagi dibendung sehingga melahirkan Undang-Undang
No. 1 tahun 1957 mengenai Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Di masa ini,
pemilihan kepala daerah secara langsung sudah mulai diperkenalkan, dimana
sebelumnya dikenal pemilihan kepala daerah diajukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. Namun walaupun demikian, hal ini belum sempat dilaksanakan

karena terjadi perubahan politik. Dalam Undang-Undang ini, DPRD dijadikan
tulang punggung otonomi daerah sedangkan tugas-tugas pembantuan dilakukan
oleh DPD (Dewan Pemerintahan Daerah).
Kemudian pada era 1959 yang biasa juga di sebut sebagai era demokrasi
terpimpin, politik hukum otonomi daerah mengalami titikbalik prinsip
desentralisasi ke sentralisasi yang hampir mutlak. Disinilah ketika otonomi daerah
diterapkan secara luas dan nyata dianggap sebagai sebuah antinomi dan ancaman

bagi keutuhan bangsa. Sehingga dengan demikian, menurut presiden Soekarno
yang pada saat itu masih berkuasa, pelaksanaan otonomi harus disesuaikan dengan
konsepsi Demokrasi terpimpin. Konsepsi inipun dipertegas dengan mengeluarkan
Penpres No. 6 tahun 1959 yang mempersempit penyelenggaraan otonomi daerah.
Walaupun istilah otonomi seluas-luasnya masih dipakai sebagai asas,
tetapi kenyataannya di dalam sistem pemerintahan justru merupakan pengekangan
yang luar biasa atas daerah. Kepala daerah di tentukan sepenuhnya oleh Pusat
dengan wewenang untuk mengawasi jalannya pemerintahan di daerah, bahkan
wewenang untuk menangguhkan keputusan-keputusan DPRD sehingga lembaga
ini praktis tidak sekali mempunyai peranan.
Yang terparah kemudian ketika Penpres ini kemujian dituangkan dalam
bentuk Undang-Undang, yaitu Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 mengenai
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, yang substansi dan sistemnya tidak
mengubah sama sekalipun pada apa yang ada didalam Penpres.
Barulah politik hukum otonomi daerah kembali diubah ketika era
Demokrasi terpimpin (orde lama) di ganti dengan era yang menyebutkan dirinya
sebagai era Demokrasi Pancasila (orde baru) yang di tandai dengan pergantian
kursi kekuasaan presiden dari Soekarno ke Soeharto. Apresiasi kembali terhadap
prinsip desentralisasi dan otonomi daerah seiring dengan dikeluarkannya Tap
MPRS No. XXI/MPRS/1966 tentang Otonomi Seluas-luasnya kepada Daerah

pada tanggal 5 juli 1966, yang juga disertai dengan perintah agar Undang-Undang

No. 18 tahun 1965 diubah kembali guna disesuaikan dengan prinsip otonomi yang
dianut oleh Tap MPRS tersebut.
Namun, kenyataan yang terjadi tidaklah sesuai dengan suasana idealis
yang dibangun pada era ini, hal itu disebabkan oleh konfigurasi politik pada Orde
baru ini sangatlah sarat akan otoritarian dan bersifat executive heavy yang ditandai
dengan lahirnya Undang-Undang No. 15 dan 16 Tahun 1969 yang masing-masing
terkait tentang pemilu dan tentang susunan kedudukan MPR/DPR/DPRD yang
kemudian memberi pengaruh besar pada lembaga eksekutif (presiden).
Kamandekan yang terjadi tidak hanya itu, melainkan juga dengan
kekuatan politik yang dominan, pemerintah Orde baru mencabut Tap MPRS No.
XXI/MPRS/1966 tentang otonomi daerah dan memasukkannya kedalam Tap MPR
No. IV/MPR/1973 tentang Garis Besar Halauan Negara yang menyangkut
otonomi daerah, penentuan asasnya di ubah dari “otonomi nyata yang seluasluasnya” menjadi “otonomi nyata dan bertanggung jawab”. Kemudian ketentuan
otonomi daerah makin di perparah dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 5
Tahun 1974 yang justru mengembalikan kekuasaan yang tersentralisasi dan
menumpulkan otonomi daerah. sehingga imbasnya, pada era ini terjadi
ketidakadilan politik pada pemerintahan daerah dan ketidakadilan ekonomi yang
didasarkan pada banyaknya kekayaan daerah tersedot ke pusat.

Lalu setelah memasuki era Reformasi pada tahun 1998 yang di tandai
dengan telah terjadi pergantian kekuasaan dari presiden Soeharto ke presiden B.J.
Habibie, aspirasi mengenai prinsip desentralisasi dan otonomi daerah kembali
menemukan tempatnya. Dalam sidang MPR tahun 1998, kebijakan desentralisasi
itu dituangkan dalam Tap MPR No. XV/MPR/1998 yang untuk melaksanakan tap
tersebut, disahkan juga Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Antar Pemerintah Pusat dan Daerah, atas inisiatif pemerintah. Semangat untuk
melaksanakan otonomi seluas-luasnya begitu tinggi sehingga setelah pengesahan
kedua peraturan perundang-undangan tersebut, dikeluarkan juga beberapa
peraturan terkait seperti Tap MPR No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi

kebijakan operasional dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, lalu disusul
juga Undang-Undang pemberian otonomi khusus terhadap penyelenggaraan
otonomi daerah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Provinsi
Papua.
Namun dengan semangat untuk melaksanakan otonomi yang seluasluasnya ditambah dengan kebijakan peraturan perundang-undangan otonomi
daerah, Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, menuai banyak masalah dimana
praktik KKN kian marak dilakukan oleh kepala daerah maupun anggota DPRD,
selain hal tersebut juga memunculkan kritik yang diakibatkannya karena
kebijakan tersebut sangatlah bercorak federalistik sehingga dianggap kebablasan
dalam menyelenggarakan otonomi daerah. Maka ditahun 2004, dikeluarkanlah
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang walaupun
secara substansi masih relevan dengan undang-undang sebelumnya, tetapi
memilki beberapa perubahan yang bisa dibilang cukup signifikan. Salah satunya
yang menarik untuk diperhatikan ialah menyangkut pemilihan kepala daerah
(Pilkada) yang sebelumnya melalui Undang-Undang sebelumnya, kepala daerah
dipilih melalui anggota DPRD, kini melalui Undang-Undang yang baru ini,
diselenggarakan secara langsung yang dirasa sangat sesuai dengan amanat
konstitusi yang lebih bersifat demokratis. Selain itu juga untuk menutup celah dan
mengatasi praktik-praktik KKN yang kerap dimanfaatkan oknum tertentu dari
anggota DPRD dalam pemilihan kepala daerah yang sering disalahgunakan hak
suaranya.
Selain itu, perubahan juga dirasakan dari segi pembagian urusan pusat dan
daerah yang mengalami perubahan redaksi, juga dari segi hierarkis yang ingin
menyambung kembali hubungan hierarkis antara pemerintahan provinsi dan
pemerintahan kabupaten/kota yang walaupun secara tersurat dan eksplisit tidak
ditegaskan dalam Undang-Undang ini.
Kemudian di tahun 2014, Undang-Undang terkait pemerintahan daerah
mengalami revisi kembali seiring muncul berbagai masalah baru seputar masalah
pembentukan daerah otonom, pembagian urusan pemerintahan, daerah berciri

kepulauan, pemilihan kepala daerah sarat akan KKN, peran gubernur sebagai
wakil pusat yang lemah, masalah keuangan daerah yang membengkak, pemekaran
daerah yang kebablasan, permasalahan desa, serta partisipasi masyarakat yang
kurang, sehingga di tuangkanlah revisi undang-undang tersebut dalam UndangUndang No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan Daerah. Yang menarik
kemudian untuk di perhatikan disini ialah, munculnya undang-undang khusus
yang mengatur pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, dan Undang-Undang
yang khusus mengatur mengenai Desa, yang jika kita lihat sebelumnya ketentuanketentuan tersebut tidak dipisah didalam Undang-Undang yang mengatur terkait
pemerintahan daerah.
Perbedaan yang paling mendasar antara Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 terdapat pada pembagian
urusan yang kini dikenal dengan urusan pemerintahan yang dibagi atas urusan
Absolut (urusan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pusat), urusan konkruen
(urusan yang dibagi atas pemerintahan pusat dan pemerinthaan provinsi dan
kabupaten/kota), dan urusan pemerintahan umum (yang hanya menjadi
kewenangan presiden sebagai kepala pemerintahan). Selain itu, perbedaan juga
terlihat pada upaya penguatan kedudukan gubernur selain sebagai kepala daerah
provinsi yang otonom juga ditegaskan dalam peraturan ini gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat yang bertugas melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan Tugas Pembantuan di Kabupaten/Kota, melakukan monev dan
supervisi, melakukan evaluasi APBD dan lain-lain, dapat membatalkan Perda dan
memberikan persetujuan terhadap Raperda Kabupaten/Kota, serta dapat
memberikan

sanksi

kepada

Bupati/Walikota.

Kemudian

dalam

konteks

melaksanakan perannya tersebut, hubungan gubernur dengan pemerintahan daerah
kabupaten/kota bersifat hierarkis.
Dari ketentuan-ketentuan yang ada pada Undang-Undang No. 23 Tahun
2014, khususnya pada ketentuan yang mengatur terkait penguatan kedudukan
peran gubernur jelaslah pengharapan apa yang hendak dibangun didalam
peraturan ini. Pengharapan itu ialah harapan untuk dapat meminimalisir

kekuasaan “Raja-Raja Kecil” yang menerapkan oligarki politik. Selain itu, juga
terlihat sebagai respon untuk mengambil-alih atau setidaknya mengurangi
kewenangan kabupaten/kota untuk dikembalikan ke pusat melalui perpanjangan
tangan mereka di daerah, yaitu gubernur atas banyaknya daerah yang gagal
menerapkan otonomi daerah dan melakukan penyimpangan-peyimpangan
kekuasaan.
Jika pemerintahan pusat memang terfokus dan serius untuk mengurangi
atau meminimaslisir penyalahgunaan wewenang yang terjadi di daerah-daerah,
maka solusi yang ditawarkan melalui ketentuan untuk memperkuat peran
kedudukan gubernur dan membuat kedudukan bupati dan walikota subordinat di
bawah gubernur (hierarkis) kuranglah tepat. Karena dengan solusi tersebut, yang
ada hanya cenderung memindahkan penyakit praktik KKN yang semula marak
berada di level kabupaten/kota ke level provinsi, juga mematikan potensi daerah
kabupaten/kota akibat pembatasan kewenangan oleh pemerintahan pusat melalui
Gubernur. Terutama persoalan pengawasan.
Seharusnya, langkah atau solusi yang tepat untuk ditempuh dalam
menanggulangi efek negatif dari semangat menyelenggarakan otonomi yang
seluas-luasnya, bukan pencabutan atau pembatasan kewenangan otonomi,
melainkan dengan meningkatkan pengawasan dengan model pengawasan yang
berpolakan paradigma horizontal, yang lebih terfokus terhadap penguatan
kedudukan serta peran dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam melakukan
pengawasan.
Bukan

malah

melakukan

sebaliknya,

melakukan

pengawasan

penyelenggaraan pemerintahan oleh aktor yang masih berada di dalam
kelembagaan negara (paradigma hierarkis), yang terhadap pengawasan dengan
paradigma tersebut, hampir di seluruh negara yang menganut sistem demokrasi
dan berprinsipkan desentralisasi sudah mulai di tinggalkan.