Review Perempuan Dalam Pusaran Hukum

Review Buku dengan Judul
PEREMPUAN DALAM PUSARAN HUKUM
Karya: Ristina Yudhanti, S.H., M.Hum
Penerbit Thafa Media, Yogyakarta 2014
Oleh: Muhammad Aulia Y Guzasiah, 15/387682/PHK/08788
Mata Kuliah HUKUM & HAM HUMANITER INTERNASIONAL
Dosen pengampu: Prof. Dr. Agustinus Supriyanto, S.H., M.Si

Berawal dari stigma masyarakat yang selalu memandang rendah wanita
dan realitas kekiniannya yang selalu termarginalkan diberbagai bidang, penulis
mulai menyusun kerangka diskursus permasalahan mengenai posisi perempuan
didalam Hukum yang selalu di posisikan bukan sebagai subjek, melainkan objek.
Penulis berpendapat, hal itu disebabkan oleh sistem hukum yang dibangun dewasa
ini lebih bersifat maskulin dan didominasi oleh kaum lelaki yang selalu
memberikan pemikiran yang diskriminatif terhadap perempuan. Oleh karena itu,
tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dengan menuangkan ide pemikirannya
ialah untuk memberikan motivasi bagi kalangan aktivis gender untuk senantiasa
berusaha merubah posisi dan kedudukan perempuan, yang seharusnya tidak
dijadikan sebagai objek saja, melainkan harus diposisikan juga sebagai subjek di
dalam pusaran hukum.
Dalam buku ini juga akan kita temukan berbagai bahasan mengenai

persoalan bagaimana perempuan dengan kehidupan serta permasalahan yang
kompleks dapat berkembang seiring dengan tekanan-tekanan yang ada di
sekelilingnya. Sehingga secara garis besar, buku ini terbagi atas 4 (empat) BAB,
yang tiap bagiannya mempunyai subbab pembahasan sebagai berikut:
BAB I Perempuan Dalam Pusaran Hukum
A. Membaca Perempuan

1

B. Perempuan Dalam Sistem Pemerintahan Indonesia
BAB II Marginalisasi Perempuan
A. Gender
B. Posisi Perempuan
C. Peran Perempuan dalam Politik
BAB III Perempuan dalam Hukum
A. Marginalisasi Perempuan dalam Hukum
B. Teori Pembentukan Hukum
BAB IV Akses Keadilan bagi Perempuan
A. Perempuan dalam pergulatan Hukum
B. Equality Before The Law (laki-laki dan perempuan)

Adapun yang uraian singkat mengenai bahasan dari BAB-BAB tersebut,
akan di sajikan sebagai berikut:
BAB I Perempuan Dalam Pusaran Hukum
Dalam BAB pertama ini, diawali dengan pembahasan (a) Membaca
Perempuan, yang mencoba melakukan re-kontektualisasi kondisi kekinian
perempuan, yang di era sekarang perempuan tidak hanya berperan sebagai juru
masak keluarga melainkan bisa juga berperan diberbagai posisi penting, seperti
dalam bidang bisnis berupa pimpinan perusahaan, direksi, komisari dan lain-lain.
Berbagai posisi penting itu, tak jarang juga di level tertingginya bisa juga menjadi
pemimpin Negara, seperti di Negara Jerman, yang pemerintahannya dipimpin oleh
seorang wanita bernama Angela Mirkel. Sehingga dengan fakta-fakta demikian,
sampailah penulis pada suatu kesimpulan bahwa perempuan sejatinya bukanlah
makhluk yang lemah, melainkan ia adalah makhluk yang kuat dalam menghadapi
segala problema yang ada. Namun melihat kondisi realitas yang ada juga,
walaupun perempuan telah mengisi dan berperan diberbagai bidang yang penting,
kaum lelaki tetaplah masih mendominasi hampir disegala bidang, yang dengan
dominasi tersebut masih mempunyai kecenderungan besar dalam memberikan
pemikiran yang diskriminatif terhadap perempuan. Adapun diskriminasi yang
dimaksud oleh penulis disini ialah, diskriminasi menurut Konvensi Internasional
2


Labour Organization (ILO) No. 111 tahun 1958, yakni setiap pembedaan,
ekslusi/preferensi yang dibuat berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama,
pendapat politik, ektradisi nasional atau asal muasal, yang memiliki dampak
meniadakan atau menghambat

kesetaraan peluang atau perlakuan dalam hal

pekerjaan atau jabatan.
Adanya dominasi tersebut sebenarnya tidak lepas dari peran sejarah
terdahulu yang telah membentuk kondisi sosial pada masa sekarang. Telah
nampak didalam sejarah bagaimana perempuan selalu dianak tirikan, dengan
posisi kekuasaan yang selalu berada pada kaum lelaki dan tak jarang selalu
menebarkan teror bahwa perempuan adalah sosok makhluk yang lemah.
Disebarkannya teror tersebut, yang tak hanya dengan menggunakan landasan
pengetahuan yang dibuat oleh kaum lelaki, namun terhadap dalil-dalil agama juga
yang menjelaskan bahwa perempuan memiliki jiwa yang lemah dan tidak lugas
dalam hal bekerja sehingga oleh karena itu perempuan harus tunduk dan patuh
pada lelaki.
Tidak hanya itu, dahulu wanita dianggap sebagai makhluk yang tidak

sempurna, sehingga digunakanlah simbol-simbol bahasa seperti kata “female”
yang berasal dari bahasa Greek, yang jika kata “female” itu dipecah, maka akan
terurai kata “fe” dan “mina”. Padanan kata “fe” itu adalah “fides” atau “faith”
yang mempunyai arti kepercayaan atau iman, sedangkan “mina” berasal dari kata
“minus” yang artinya kurang. Jadi dengan demikian, dapatlah diartikan bahwa
femina merupakan seseorang yang mempunyai iman yang kurang.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya juga, bahwa salah satu faktor
yang membuat tersingkirnya wanita dikarenakan disebarkannya teror dengan
menggunakan dalil-dalil agama. Hal ini dapat kita lihat pada dogma-dogma yang
telah diajarkan oleh gereja pada terdahulu. Tercatat ada seorang pendeta yang
bernama Paderi St. John yang pernah menafsirkan kitab Bible terkait dengan
posisi wanita adalah syaitan yang tidak dapat dihindari, suatu kejahatan dan
bencana yang abadi dan menarik sebuah risiko didalam rumah tangga. Sehingga
dengan demikian, banyak kalangan yang memandang wanita hanyalah orang yang
3

dalam posisi didalam rumah tangga sebagai penunggu rumah, ia tidak boleh
keluar karena dengan keluarnya dia dari rumah akan menyebabkan kemaksiatan
yang akan bermuculan. Bahkan diceritakan juga pada waktu itu ketika wanita
yang menikah pada lelaki, sang wanita tidak boleh menceraikan suaminya (lakilaki), karena perempuan pada saat itu tidak mempunya hak apapun jika

dihadapkan pada lelaki, walaupun dengan alasan apapun. Demikianlah hal itu
kemudian terus dibiarkan kemudian menjadi kebiasaan yang mencengkam
menjadi budaya yang harus dipatuhi bersama.
Hingga tiba saatnya timbulah suatu gerakan yang dilakukan oleh kaum
perempuan untuk membendung kekuatan lelaki yang seringkali disewenangkan
untuk memarginalkan kedudukan perempuan yang kemudian disebut sebagai
gerakan feminisme, yang bertujuan untuk memperjuangkan posisi perempuan
didalam tatanan masyarkat. Mereka menggunakan kajian-kajian ilmu pengetahuan
dalam membebaskan dari pembelengguan laki-laki yang selalu dibela oleh budaya
atau tatanan sosial. Lalu puncak akumulasi dari gerakan ini berpuncak bersamaan
dengan revolusi prancis (1789) yang mendapat legitimasi dari gereja, yang
kemudian, seiring dengan pemaknaan yang dilakukan Dorothy Smith, Feminisme
bukan lagi hanya dilihat sebagai gerakan pembebasan, namun dimaknai sebagai
sebuah gerakan politik yang melahirkan teori gerakan, epistemologi, metodologi
dan praktek yang sangat merindukan adanya kebenaran.
Kemudian sehubungan dengan permasalahan sebelumnya, Penulis
berpendapat, bahwa posisi wanita yang rendah dimata masyarakat itu bukanlah
takdir, namun diakibatkan oleh suatu tatanan yang memang dibuat untuk
menyingkirkan wanita dalam berbagai sistem. Pendapat penulis ini berakar dari
pendapat Anthony Giddens yang memberikan suatu gambaran terhadap masifnya

sebuah wacana yang kemudian bisa dijadikan sebuah budaya yang mengakar.
Lalu dengan pembahasan kedua, yakni (b) Perempuan dalam Sistem
Pemerintah

Indonesia,

penulis

mencoba

menguraikan

keadaan

sistem

pemerintah di Indonesia dalam kaitannya dengan keikutsertaan peran perempuan
dalam membangun bangsa.
4


Sebenarnya dari segi peraturan, Indonesia belum mempunyai peraturan
khusus yang mengkhususkan perempuan ikut serta dalam pengambilan sebuah
kebijakan disebuah institusi pemerintahan, parlemen misalnya. Adapun UndangUndang 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang
memberikan Affirmative action terhadap perempuan untuk berkesempatan ikut
serta hanya dalam tahap pencalonan. Sehingga penulis berpendapat, peraturan
semacam itu, hanyalah seru-seruan seperti jincu yang digunakan sebagai penghias
kecantikan wanita, bukan sebagai tangan-tangan yang mempunyai kekuatan dalam
mengambil kebijakan-kebijakan strategis, karena tidak adanya kewajiban khusus
bagi partai perempuan untuk memberikan tempat khusus bagi wanita untuk duduk
diparlemen.
Dengan Affirmative action yang memberikan 30% kuota kepada calon
legislatif bagi perempuan, banyak kalangan yang berpendapat merupakan langkah
yang cukup kongkrit, namun sebenarnya itu tidak memberikan efek apapun terkait
langkah nyata untuk mengembalikan peran perempuan dalam masyarakat. Adapun
langkah kongkrit yang seharusnya diberlakukan, penulis berpendapat, seharusnya
partai politik memberikan porsi 30% terhadap legislatif perempuan untuk duduk
di parlemen, bukan hanya pada saat untuk pencalonan legislatif. Dengan demikian
affirmative action itu bisa memberi kesempatan kepada perempuan untuk
membela kepentingannya yang selama ini didominasi oleh kaum lelaki.

Dengan realitas sosial yang ada, dimana sedikitnya keterwakilan
perempuan didalam lembaga legislatif akan memberikan akibat kecenderungan
adanya diskriminasi pemaknaan terkait perempuan yang dimaknai sebagai objek
kajian yang terpojokkan. Undang-Undang No. 44 tahun 2008 tentang pornografi
misalnya, yang memuat contoh kasus yang seringkali menimbulkan perdebatan
terutama pemaknaan pornografi. Misalnya pemaknaan yang terkait dengan
“memuat kecabulan atau ekploitasi seksual dalam pasal 1 (bagian umum)
pornografi yang berbunyi “gambar sketsa, ilustrasi, foto, percakapan. Gerak tubuh
atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan atau

5

pertunjukkan di muka umum, yang memuat kecabulan atau ekploitasi seksual
yang melanggar norma kesusilaan masyarakat”. Pemaknaan atau tafsir atas bunyi
klausa pada pasal tersebut tentunya mempunyai tafsiran yang berbeda dari kaum
lelaki yang seringkali menghegemoni tafsiran dari perempuan. Adapun tafsiran
yang kemudian dijadikan kebenaran sosial yang direkayasa yang berasal dari
tafsiran sebagian kaum lelaki yang berpandangan konservatif ialah penafsiran
bahwa perempuan yang menggunakan rok pendek selutut bisa dikatakan sebagai
pelanggaran terhadap undang-undang ini. Sehingga tentunya hal ini membuat

tekanan secara tidak langsung yang memberikan penderitaan batin kepada
perempuan.
Maka dari itu sebelum berbicara perlakuan yang sama dimata hukum
(equality), ada baiknya dalam hal pembuatan hukum ini perlu dikaji terlebih
dahulu, yang terkadang belum sampai pada tahap pengaplikasian penerapan
hukum didalam masyarakat, di tahap pembuatan sudah terjadi deksriminasi
terhadap perempuan.
Sehubungan dengan itu, adapun gerakan persamaan antara laki-laki dan
perempuan mulai menjamah ke Indonesia dimulai sejak diratifikasinya
Convention on The Elimination All From Deskrimination Against Woman
(CEDAW) yang menjadi puncak dunia internasional untuk melindungi
danmempromosikan hak-hak perempuan diseluruh dunia dalam Undang-Undang
No. 7 Tahun 1984. Salah satu kemunculan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004
tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang
memberikan keleluasaan kepada wanita untuk mendapatkan hak-haknya dimata
hukum, juga merupakan implikasi dari diratifikasinya konvensi perjanjian
internasional tersebut.
BAB II Marginalisasi Perempuan
Di BAB kedua ini, penulis memulai pembahasan dengan subbab (a)
Gender, yang sudah tidak asing di telinga umum. Tema gender, sudah menjadi


6

pembahasan sejak lama dan mendunia terutama di dunia barat yang
memperlihatkan tidak ada perbedaan dalam sisi antar lelaki dan perempuan.
Walaupun isu kesamaan gender sudah didengungkan sejak lama tetapi
masih banyak juga masyarakat yang belum memahami dengan benar istilah
tersebut. Di subbab ini, penulis berusaha mengulas kembali sejarah perbedaan
gender antar seorang lelaki dan perempuan yang melalui dan dibentuk oleh proses
yang sangat panjang dalam kondisi sosial budaya, kondisi keagamaan dan kondisi
kenegaraan.
kondisi sosial budaya, keagamaan dan kenegaraan yang kemudian menjadi
elemen yang sangat berpengaruh dalam membentuk tatanan masyarakat kerap kali
mengalami ketidaksinkronan dengan pemahaman atas gender. Akibatnya,
perbedaan gender sering dianggap menjadi ketentuan Tuhan yang bersifat kodrati
atau seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah lagi, sehingga imbasnya
menjadi awal dari terjadinya ketidakadilan gender ditengah-tengah masyarakat.
Padahal tidaklah demikian, bila diartikan lebih luas lagi, gender bisa diartikan
menjadi sebuah bentuk rekayasa masyarakat (sosio construction).
Kesenjangan


gender

merupakan

kenyataan

yang

harus

dihadapi

perempuan dihampir semua belahan dunia dan dapat ditemukan disemua ranah,
publik maupun privat, domestik-reproduktif maupun produktif. Posisi perempuan
yang seringkali termarjinalkan, menurut penulis, dikarenakan sistem budaya
patriarkal tertanam begitu kuat dan memberi pemahaman bahwa wilayah publik
(politik dan dunia kerja)) sebagai wilayah lelaki, biasa dituding sebagai faktor
penyebab utama mengapa kiprah perempuan diranah publik secara umum berada
pada posisi subordinat terhadap laki-laki.
Adapun semangat untuk melakukan suatu hal yang kemudian disebut
sebagai emansipasi wanita di Indonesia, dimulai pada masa R. A. Kartini, yang
pada masa itu Indonesia mulai mengenal pentingnya sosok perempuan dalam
memperjuangkan pendidikan yang dikala itu masih sangat sedikit perempuan
yang bisa menikmatinya. Anggapan bahwa perempuan merupukan makhluk

7

lemah, lembut, halus, sensitif dan sifat feminim lainnya membuatnya tidak
memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki. Sehubungan dengan wanita
yang selalu dianggap lemah didalam tataran masyarakat, menimbulkan gambaran
bahwa perempuan membutuhkan lelaki untuk melindunginya. Sehingga dengan
logika demikian, lelaki sebagai pelindung, selalu diberi fasilitas yang lebih
daripada perempuan yang kemudian berawal dari sinilah munculnya sekat
pemisah yang membedakan antara perempuan dan lelaki.
Dengan

menggunakan

pendapat

Masdar

F.

Mas’udi,

penulis

menggambarkan ada empat persoalan yang menimpa perempuan akibat pelabelan
tersebut. Persoalan tersebut yaitu (1) melalui proses subordinasi meletakkan posisi
perempuan berada di bawah supremasi lelaki yang mengharuskan perempuan
tunduk kaum lelaki sebagai yang paling pantas menjadi pemimpin, (2) adanya
marginalisasi

perempuan,

yang

membuat

perempuan

cenderung

untuk

dimarginalkan atau dengan kata lain diletakkan di posisi pinggir, seperti misalkan
dalam rumah tangga sebagai konco wingking didapur, (3) perempuan selalu
diposisikan di posisi yang lemah, yang oleh karenanya perempuan selalu menjadi
korban tindak kekerasan (violance) oleh kaum lelaki, kemudian terakhir, (4)
akibat ketidakadilan gender itu, perempuan harus menerima beban pekerjaan yang
lebih jauh berat dan lebih lama daripada yang dipikul oleh kaum lelaki.
Kemudian di subbab pembahasan kedua, yaitu (b) Posisi Perempuan,
penulis mencoba melanjutkan pembahasan sebelumnya yang masih pada
perjuangan posisi perempuan yang dimulai dari masa R.A. Kartini. Walaupun dari
segi pendidikan, apa yang diperjuangkan oleh R.A Kartini dahulu untuk
memajukan kualitas pendidikan bagi perempuan telah membuahkan hasil, dimana
di tahap pendidikan sudah tidak ada lagi pembedaan, namun di tahap lingkungan
publik, ranah pribadi, secara politik, hukum, sosial, budaya dan ekonomi,
perempuan masih mengalami ketimpangan perlakuan.
Persoalan yang kemudian bagi penulis yang perlu diperhatikan, ialah
bagaimana memaknai prinsip kesetaraan gender tersebut. Dalam ranah politik,

8

konsep kesetaraan kesempatan berarti pemberian kesempatan yang sama bagi
setiap warga negara. Di Indonesia sendiri, walaupun jaminan kedudukan laki-laki
dan perempuan khususnya dibidang pemerintahan telah dijamin didalam Pasal 27
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “segala warga negara
bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” dan
oleh karenanya seiring dengan waktu juga peran perempuan didalam politik mulai
mengalami peningkatan, namun secara kuantitas jumlahnya tidak mewakili dan
mencerminkan secara proporsional peran perempuan di sektor-sektor strategis
pengambilan keputusan/kebijakan.
Tingkat keterwakilan dan partisipasi perempuan baik sebagai anggota
partai politik maupun anggota parelemen DPR serta institusi formal politik
lainnya ditingkat pusat maupun daerah, ternyata secara angka masih terbilang
rendah. Dalam pemilu Legislatif 9 april 2014, persentase keterwakilan perempuan
di DPR, DPD, dan DPRD provinsi serta kabupaten/kota menurun dramatis. Angka
yang muncul tak sesuai dengan target 30 % yang ditetapkan dalam UndangUndang No. 12 tahun 2013, di DPR jumlah calon anggota DPR perempuan yang
terpilih dalam pemilu legislatif kali ini hanya 97 orang atau setara 17,32 %, yang
dimana ditahun 2004-2009 pernah mencapai 103 orang atau 19%. Selain itu, di
tujuh provinsi juga, yaitu di Aceh, Papua barat, bali, Nusa Tenggara Timur,
Kalimantan Selatan dan Bangka Belitung, tidak memiliki wakil perempuan di
DPR RI. Sehingga dengan demikian, ini merupakan sebuah kemunduran
keterwakilan perempuan di DPR RI.
Namun walaupun demikian, jika dibandingkan negara lain, Indonesia
tergolong “maju” dalam soal hak pilih perempuan. Hal itu bisa dilihat ketika
Indonesia merdeka, kesetaraan politik laki-laki dan perempuan langsung diakui
didalam konstitusinya. Di Amerika Serikat, hak pilih bagi perempuan baru
diberikan di tahun 1920 atau hampir 150 tahun setelah negeri “paman sam” itu
mendeklarasikan kemerdekaannya. Di Inggris, hak pilih bagi perempuan baru
diakui setelah mengalami banyak pengorbanan dan perjuangan, seperti
9

pengorbanan yang dilakukan oleh Emily Wilding Davidson yang sengaja
melemparkan dirinya kelapangan pacu kuda yang kemudian terinjak-injak oleh
kuda kerajaan sampai mati. Di Arab Saudi, hak pilidan memilih untuk perempuan
belum sama sekali termiliki, barulah ditahun 2015 Raja Arab Saudi berjanji
memberikannya.
Lalu di pembahasan terakhir dibab ini, yakni (c) Peran Perempuan
dalam Politik, penulis mencoba memaparkan beberapa fenomena penting yang
mewarnai kompleksnya partisipasi wanita dalam berbagai dimensi kehidupan,
salah satunya di bidang politik. Fenomena tersebut sebenarnya tidak pernah lepas
dan selalu terkait dari ekspansi demokrasi Amerika Serikat ke penjuru dunia yang
memposisikan wanita bukan lagi sebagai kelompok yang harus dibatasi
partisipasinya dalam panggung perpolitikan dunia.
Di Indonesia kesetaraan perempuan tidak terlepas dari seorang tokoh dari
jawa yang bernama R.A. Kartini, seorang pahlawan nasional dan tokoh
emansipasi wanita Indonesia yang sejak mudah ingin memajukan kaum
perempuan pribumi yang pada saat itu berstatus sosial paling rendah. Lalu di
Makassar, Sulawesi Selatan, Salawati Daud muncul sebagai walikota perempuan
pertama di indonesia yang menandakan peran perempuan dibidang politik.
Salawati daud itu sendiri merupakan pejuang kemerdekaan yang aktif dalam
pergerakan anti-kolonial di SulSel sejak 1930-an hingga 1950-an. Salain itu,
ditahun 1950 ia juga aktif dalam pembentukan organisasi perempuan nasional
yang bernama Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) yang kemudian menjadi cikal
bakal Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).
Indonesia juga pernah mempunyai presiden perempuan dan satu-satunya
sampai saat ini yang merupakan putri dari Soekarno, yaitu Megawati Soekarno
Putri. Ia dilantik pada tanggal 23 juli 2001 dan resmi menjadi Presiden dan
menggantikan Abdurahman Wahid (Gusur) setelah MPR mengadakan sidang
istimewa pada tahun 2001 dalam menanggapi langkah presiden Gus Dur yang
membekukan Lembaga DPR & MPR serta partai Golkar. Lalu dimasa

10

pemerintahannya ditandai dengan menguatnya konsolidasi demokrasi di
Indonesia, dimana pemilihan umum presiden secara langsung dan secara umum
dilaksanakan. Lalu dipemilhan presiden 2004, ia kemudian mengalam kekalahan
(40%-60%) dan menyerahkan tonggak kepresidenan kepada Sosilo Bambang
Yudhoyono

yang

merupakan

mantan

menteri

koordinator

pada

masa

pemerinttahannya.
Adapun diluar negeri juga, dikenal juga beberapa perempuan yang
berperan dalam dunia perpolitikan dan menjadi pemimpin negara, seperti: Indira
Gandi dari India, Margaret Thatcher dari Inggris, dan Benazir Bhutto di pakistan.
BAB III Perempuan Dalam Hukum
(a) Marginalisasi Perempuan dalam Hukum, yang kemudian menjadi
pembahasan pertama dalam BAB ini, mencoba mengurai makna marginalisasi
yang terjadi pada perempuan lebih luas. Dimana marginalisasi yang terjadi tidak
hanya berbicara jenis kelamin, namun juga tentang hak-hak yang ada didalamnya,
seperti: hak politik dan hak hukum. Berbicara mengenai marginalisasi juga,
tentunya berkaitan dengan kekuasaan, dimana akibat adanya marginalisasi, maka
kekuasaan hanya dimiliki oleh salah satu jenis kelamin saja, yaitu laki-laki. Selain
itu, berakibat juga dalam hal memperoleh keadilan terhadap perempuan yang
selalu terlalu terbelakang dalam peradaban.
Marginalisasi itu sendiri, cukup berdampak besar bagi kehidupan
perempuan. Dengan adanya marginalisasi/ketidaksetaraan ini, perempuan menjadi
tidak mempunyai cukup peran untuk bertindak, yang tidak jarang imbasnya
mengarah pada tindak kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan secara fisik
ataupun secara batin. Untuk menjelaskan fenomena demikian, banyak teori yang
bisa diacu, salah satunya mengapa suatu masyarakat bisa menganut sifat patriarkal
dan menonjolkan superioritas lelaki terhadap perempuan, karena menurut Berger,
prilaku individu sesungguhnya merupakan produk sosial yang dengan nilai dan
norma yang berlaku di masyarakat turut membentuk prilaku individu. Ada juga
pendapat Mave Cormack dan Stathern yang menjelaskan mengapa dominasi lelaki

11

terhadap perempuan bisa terbentuk, ditinjau dari teori natur and culture. Dalam
proses transformasi dari nature ke culture sering terjadi penaklukan. Laki-laki
sebagai culture mempunyai wewenang menaklukan dan memaksakan kehendak
kepada perempuan (nature). Sehingga secara kultural lelaki ditempatkan pada
posisi lebih tinggi dari perempuan, karena lelaki memiliki legitimasi dan
wewenang untuk menaklukan dan memaksa perempuan. Dengan demikian, dari
kedua teori ini menunjukkan gambaran aspek sosiokultural telah membentuk
social structure yang kondusif bagi dominasi laki-laki atas perempuan, sehingga
mempengaruhi perilaku individu dalam kehidupan sosial, dalam tempat bekerja
dan dalam rumah tangga (berkeluarga).
Adapun dengan disahkannya CEDAW (Convention on the Elimination of
All Types of Descrimination againts Women) pada tahun 1979 oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa adalah sebagai hasil perjuangan perempuan ditingkat global
karena pada saat itu mereka mempresepsikan bahwa didalam kelompok negara
yang telah menandatangani deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM, 1948),
terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia, khususnya dalam bentuk diskriminasi
terhadap perempuan. Namun walaupun demikian, meskipun Indonesia telah
meratifikasinya tetapi kenyataannya masih kita temui juga masih banyak
deksriminasi terhadap perempuan, sehingga dapatlah dikatakan menurut penulis,
ratifikasi CEDAW dan pelaksanaannya masih jauh dari harapan.
Adapun untuk mengatasi baik marginalisasi dan upaya diskriminasi itu
dalam mencapai keadilan gender, penulis menggunakan teori dari Squires yang
dikenal dengan tiga strategi untuk mencapai keadilan gender, yaitu kuota,
pengarusutamaan gender, dan pembentukan fokus utama gender yang dalam hal
ini dimaknai sebagai fokus utama terhadap perempuan. Pemberian pendidikan
yang layak dan murah juga dapat membantu mengurangi kebodohan, khususnya
bagi perempuan yang berasal dari keadaan daerah yang terbelakang yang acapkali
sering menjadi korban penipuan yang berbuntut PSK dan human trafficking.
Lalu di pembahasan kedua, penulis mencoba menjelaskan beberapa (b)
Teori Pembentukan Hukum, merupakan instrumen yang cukup penting dalam
12

kehidupan manusia. Hal-hal yang kemudian dikaji dalam teori Hukum bercorak
meta yuridis sehingga, dari kajian itu dapat dijelaskan berbagai konsep dan aliran
pemikiran hukum. Dalam pembahasan pemikiran hukum (teori hukum) sangat
dimungkinkan adanya hubungan/kerja sama dengan disiplin ilmu lain diluar dari
hukum. Didalam hukum terdapat tujuan-tujuan yang harus dicapai, seperti
keadilan, kemanfaatan dan kepastian yang merupakan satu kesatuan yang utuh.
Apabila tidak dapat mencapai keseluruhan dari ketiga tujuan tersebut, maka dapat
dikatakan hukum tersebut gagal atau tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya.
Diantara berbagai ajaran hukum yang bersumber dari ajaran moral seperti
yang dapat ditemui pada aliran hukum alam, lalu dikembang berdasar basis rasio
dan kehendak manusia pada aliran Positivisme hukum, lalu akibat ditahap
penerapan yang sudah tidak sesuai konteks lagi, melahirkan aliran legal realism
dan sebagainya, salah satu aliran pemikiran hukum yang sangat penting untuk
mewujudkan keadilan sosial dan gender di Indonesia ialah aliran filsafat hukum
feminisme yang di ikuti dengan ajaran hukum responsif atau teori hukum kritis.
Indonesia adalah negara berdasar pada Pancasila, namun keadilan sosial
belum merupakan asas utama dalam pembentukan hukum di Indonesia. keadilan
sosial masih jauh dari harapan sebenarnya, dimana dalam hubungan antara lakilaki dan perempuan belum dipandang sebagai suatu asas hukum. Menurut penulis,
Keadilan sosial berkaitan erat dengan asas equality before the law, yang
merupakan asas yang tidak membedakan antara laki-laki maupun perempuan baik
dari status sosial, jabatan, dan lain-lain.
Teori hukum feminis memiliki asumsi dasar tentang hukum dan
bekerjanya unsur yang secara empiris hukum dan teori hukum menyatakan dalam
penulisan hukum dan pembentukan teori-teori hukum yang dianut, domain lelaki
lebih besar dan dianggap lebih berperan ketimbang perempuan. Sehingga di
tingkat penerapannya mungkin saja belum tentu cocok untuk diterapkan.
Hukum itu sendiri, menurut penulis, tidaklah netral dan kenyataan bahwa
hukum

kemudian

dapat

digunakan

oleh

orang

yang

berpengalaman

13

menggunakannya yang kemudian digunakan untuk menekan orang lain. hal yang
nampak terlihat ketika seorang penegak hukum baik laki-laki maupun perempuan
menerjemahkan pesan yang ada pada hukum kepada seorang korban perempuan,
dengan memaknainya dari sudut pandang laki-laki, bukan dari sudut perempuan
sebagai korban. Adapun marginalisasi yang terjadi dan terus berlarut, lambat laun
akan menyebabkan perempuan kehilangan kodratnya sebagai manusia. sehingga
bentuk marginalisasi itu kita golongkan salah satu bentuk perampasan
kemerdekaan dan perampasan HAM.
Indonesia merupakan negara hukum, dan sebagaimana ciri pada negara
hukum ialah adanya pengakuan persamaan dan perlindungan terhadap HAM.
Pengakuan persamaan dan perlindungan terhadap HAM tentu tidak terbatas pada
status sosial maupun jenis kelamin. Adapun beberapa cara yang dapat dilakukan
untuk menghindari terjadinya marginalisasi dan menegakkan HAM terhadap
perempuan menurut penulis, ialah salah satunya dengan membuat peraturan
hukum yang memuat materi demikian. Produk hukum, seperti undang-undang
misalnya, merupakan cara yang cukup efektif untuk memberikan perlindungan
bagi perempuan. Produk hukum berupa undang-undang yang melindungi
kepentingan perempuan di Indonesia sebenarnya sudah ada. Seperti UndangUndang No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), Undang-Undang No. 39
tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No. 23 tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). Produk-produk
hukum tersebut sebenarnya sudah menjadi landasan yang cukup kuat untuk
menghindarkan

perempuan

dari

marginalisasi,

tetapi

jika

pada

tahap

penerapannya mengalami pelemahan, maka sama saja peraturan tersebut tidak
berfungsi.
Selain itu membuat produk hukum berupa Undang-Undang, cara lain yang
bisa ditempuh adalah dengan membentuk dan mendukung lembaga-lembaga
independen yang berfungsi sebagai wadah bagi perempuan, seperti komnas
Perempuan misalnya. Komnas Perempuan ini sendiri dibentuk dengan Keppres

14

No. 181 tahun 1998 yang lalu diperkuat dengan peraturan presiden No. 65 tahun
2005. Selain Komnas Perempuan, para perempuan juga hendaknya membentuk
wadah tersendiri untuk mengakomodir kebutuhan perempuan sesuai dengan
kondisi ekonomi, sosial dan budaya tempatnya. Sehingga dengan terbentuknya
organisasi/kelompok perempuan, diharapkan semakin memberikan pengetahuan
dan wawasan yang cukup luas guna kepentingan perempuan itu sendiri.
Di antara dari beberapa solusi seperti diatas, hal yang tidak kalah penting
juga dalam rangka menghindari marginalisasi perempuan dan mewujudkan
keadilan sosial dan gender, ialah dengan cara memberi kesempatan kepada
perempuan untuk tampil diruang-ruang publik. Adapun ruang-ruang publik yang
dimaksud ialah dunia perpolitikan. Selain itu, peran perempuan untuk terhindar
dari marginalisasi juga dapat ditempuh melalui jalur menjadi aparat penegak
hukum, polisi, jaksa dan hakim. Dengan demikian, tentunya akan membawa
dampak positif dan perempuan akan memiliki ruang yang cukup untuk mencapai
keadilan melalui sarana penegak hukum.
BAB IV Akses Keadilan Bagi Perempuan
Di bab terakhir ini, penulis mencoba membahas (a) Perempuan Dalam
Pergulatan Hukum, dimana keadilan gender yang kerap kali diserukan oleh
perempuan seringkali mengalami kegagalan untuk mengubah presepsi masyarakat
dan tidak mampu memperoleh posisi yang staregis dalam konstitusi negara.
Meskipun telah ditetapkan dalam konferensi internasional (Universal Declaration
of Human rights) dan dalam konstitusi Indonesia juga telah disebutkan dalam
Pasal 28D bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Lalu di pasal 27 ayat (1) juga telah disebutkan bahwa “segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, namun
posisi perempuan tidak terlalu menunjukkan perbedaan yang signifikan.

15

Berbicara mengenai keadilan gender itu sendiri tidak terlepas dari
perkembangan ilmu dan pengetahuan dari nilai-nilai yang ada pada masyarakat.
Nilai keadilan yang kemudian merupakan salah satu sentral yang diharapkan
dapat terwujud dan selalu beriringan dengan perkembangan masyarakat, namun
pada tataran pemahamannya masih dianggap binary dan abstark oleh masyarakat.
Hubungan antara keadilan dengan masyarakat dapat dipahami sebagai
bentuk relasi antara nilai sosial dengan ilmu hukum, maka dari itu untuk
menggambarkan keadilan secara jelas dan gamblang, ilmu hukum harus
dihubungkan atau dikolerasikan dengan suatu ilmu sosial atau disiplin ilmu
lainnya. Selain itu, jika kira berbicara mengenai keadilan itu sendiri, maka tidak
akan terlepas juga dari tokoh-tokoh pemikir yang telah lama menemukan konsep
serta gambaran mengenai keadilan. Jika kita memandang keadilan tersebut dari
perspektif teori ekonomi, maka nilai-nilai yang ada dalam ekonomi tersebut yang
menentukan tercapainya suatu keadilan. Sebagai contoh jika kita memahami
tentang keadilan berdasar pada teorinya Karl Marx, yang menarik garis dari
sistem produksi kedalam konsep keadilan, dimana dari semakin kecil
produktivitas kerja semakin banyak waktu yang diperlukan dan semakin besar
pula nilainya. Sehingga menurutnya dikatakan adil jika jumlah pengorbanan
sebanding dengan jumlah hasil yang akan diterimanya.
Adapun jika kita melihat keadilan kedalam teori atau pandangan yang
berbeda, maka kita juga akan menemukan definisi keadilan yang berbeda pula.
Pandangan John Locke mengenai manusia dalam menjalani kehidupannya
memiliki kebutuhan akan pemenuhan hak asasi, yang kemudian pandangannya ini
ikut mewarnai konsep keadilan. Lalu Unger, mengkonsepsikan keadilan berupa
konstruksi dan kehendak penguasa. Hal yang berbeda bisa kita temukan juga
ketika kita melihat keadilan dari perspektif gender, maka kita akan menemukan
bahwa desain serta bentuk aturan hukum yang dibuat untuk mencapai keadilan
didalamnya harus terbebas dari adanya kekerasan serta diskriminasi berbasis
gender yang berakibat pada penghambatan kaum perempuan untuk mendapatkan
kebebasan. Penulis sendiri, mengkonstruksikan keadilan sebagai suatu hal yang

16

baru dapat terwujud ketika terpenuhinya pengakuan terhadap hak-hak dasar
manusia tanpa adanya pembedaan antara manusia yang satu dengan yang lainnya.
Berbicara tentang perempuan dalam pusaran hukum, juga tidak pernah
terlepas dari perjuangan perempuan guna mencapai keadilan yang akan membawa
kita pada perjuangan gender, yang dilakukan oleh perempuan, yang hingga sampai
saat ini masih menimbulkan perdebatan-perdebatan yang terus bergulir. Perbedaan
mengenai pemahaman gender pada hakikatnya tidaklah menjadi suatu pokok
permasalahan yang rumit, sepanjang perdebatan mengenai gender tersebut tidak
menghasilkan suatu konflik yang berakibat pada ketidakadilan gender (gender
inequality). Namun dalam perkembangannya bagi masyarakat perbedaan
mengenai gender telah berubah menjadi konflik sosial yang harus dilakukan
penyelesaian.
Meskipun dalam konstitusi yang berada di Indonesia tidak menyudutkan
perempuan, namun dalam praktiknya didalam masyarakat menunjukkan akar
permasalahan gender yang masih menjadi suatu permasalahan yang tetap ada dan
berkembang dalam masyarakat. Hal itu terlihat dari anggapan masyarakat
Indonesia yang melihat kajian gender terhadap perempuan sebagai sesuatu yang
tabu untuk dibahas, karena menurut stigma masyarakat hal itu akan membuat
kedudukan perempuan lebih tinggi dari laki-laki. Padahal sebenarnya tidaklah
demikian adanya. Kajian kesetaraan gender hanya secara eksplisit memberikan
gambaran bahwa wanita memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam
segala bidang. Sehingga hal itu menandakan bukan berarti perempuan harus
unggul dari laki-laki, melainkan hanya berusahan memperjuangkan wanita untuk
mendapatkan kedudukan serta kesempatan yang sama dengan laki-laki didalam
kehidupan sosial.
Lalu di pembahasan terakhir pada bab ini, membahas (b) Equality Before
The Law (Laki-Laki dan Perempuan), yang tidak terlepas dari sistem
masyarakat yang ada, apakah terbuka majemuk atau menganut paham patrilineal
atau matrilineal ataukah persamaan kedudukan di depan hukum itu berdasarkan
kearifan lokal, hukum adat atau hukum positif yang digunakan di Indonesia ini.
17

Indonesia

sendiri

memiliki

masyarakat

yang

majemuk,

dimana

kebudayaan masyarakat di satu daerah dengan masyarakat yang berada di daerah
lain berbeda-beda. Masyarakat di Indonesia, terlebih pada masyarakat yang
menganut sistem patrilineal, kedudukan perempuan berada di bawah laki-laki,
dimana tugas seorang perempuan adalah mengurusi urusan rumah tangga. Pada
masyarakat yang menganut paham matrilineal, kedudukan perempuan lebih
diutamakan daripada laki-laki sehingga perempuan tidak lagi dianggap
berkedudukan dibawah laki-laki. Meski demikian, jika kita melihat permasalahan
secara lebih luas, dimana kedudukan perempuan menempati posisi yang kurang
strategis, dimana perempuan dalam melakukan perjanjian atau perbuatan hukum
harus mendapat ijin dari suami atau laki-laki. Hal itulah kemudian yang
menjadikan perempuan rentan akan diskriminasi dan marginaliasi baik secara
langsung maupun secara tidak langsung. Adapun upaya menciptakan persamaan
hak dan kedudukan yang setara antara lelaki dan perempuan telah dilakukan oleh
instrumen hukum yang telah ada, baik hukum nasional maupun hukum
internasional.
Namun seringkali terdapat pertentangan antara aturan hukum positif
dengan aturan hukum adat, dimana kedudukan seorang wanita di depan hukum
sama dengan laki-laki, namun hal tersebut berbeda jika dibandingkan dengan
kedudukan seorang wanita didalam masyarakat adat yang menganut patrilineal.
Upaya yang kemudian dilakukan oleh dunia internasional dalam menghapus
diskriminasi yang dialami oleh perempuan menjadikan konvensi CEDAW, sebagai
salah satu langkah yang dapat diambil untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Karena konvensi CEDAW membuka gambaran baru terhadap bentuk hukum yang
dapat dijadikan rujukan untuk mengurangi perilaku diskriminatif terhadap
perempuan.

Sehingga

semangat

kesetaraan

tersebut

diharapkan

akan

memunculkan sebuah budaya baru bahwa didalam masyarakat dibutuhkan adanya
kesetaraan, kebersamaan, serta kebebasan dalam bertindak tanpa adanya tekanan
serta diskriminasi yang dilakukan mengatas namakan gender.

18

Adapun kesimpulan yang dapat disimpulkan dari pembahasan yang ada
pada buku ini ialah bahwa Perempuan, dilintas sejarah negara dan budaya
manapun, selalu dianak tirikan oleh sistem yang selalu di kuasai dan didominasi
oleh kaum lelaki. Persoalan yang kemudian menjadi permasalahan mengenai
posisi perempuan di dalam Hukum yang selalu di posisikan bukan sebagai subjek,
melainkan objek, sebenarnya tidak terlepas dari peran sejarah. Peran sejarah
kemudian membuktikan bahwa sebuah sistem yang terbangun dan direkayasa oleh
kaum lelaki ialah berawal anggapan yang lalu menjadi stigma masyarakat
mengenai perempuan memiliki jiwa yang lemah dan tidak lugas dalam hal
bekerja, membuat posisi perempuan selalu tersudutkan, termarginalisasi dan
selalu mengalami upaya diskriminatif. Sehingga tak jarang perempuan selalu
menjadi korban tindak kekerasan (violance) oleh kaum lelaki. Adapun Sistem
yang terbangun dari kekuasaan dan dominasi kaum lelaki membuat posisi
perempuan subordinat terhadap lelaki, yang kemudian disebut budaya patriarkal,
tertanam begitu kuat didalam masyarakat Indonesia dan dianggap sebagai takdir
atau kodrat bagi perempuan. Hal itulah kemudian yang menjadikan perempuan
tidak mempunyai cukup peran untuk memperjuangkan hak-haknya yang tertindas
dan menuntut kesetaraan serta persamaan hak yang sama terhadap laki-laki.
Adapun posisi wanita yang terbangun dari sistem tersebut sebenarnya bukanlah
takdir, namun diakibatkan oleh suatu tatanan sistem yang memang dibuat untuk
menyingkirkan wanita dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Sehingga
dengan demikian hal ini harus diselesaikan selain demi mewujudkan keadilan
sosial yang menjadi cita-cita Negara kesatuan Republik Indonesia, juga untuk
melaksanakan amanah Konsitusi UUD NRI 1945 yang menjamin Hak dasar atau
Hak Asasi Manusia (HAM).

19