Ulama dalam Dinamika Politik Kerajaan Sa
ULAMA DALAM DINAMIKA POLITIK
KERAJAAN ARAB SAUDI
Oleh : HASBI ASWAR
Alumni Pasca Sarjana Hubungan Internasional FISIP UGM
Ulama dalam tradisi Islam adalah sosok yang sangat penting dalam menjaga
berjalannya penerapan syariat Islam di masyarakat atau di negara Islam. Ulama bisa
berada di sisi masyarakat dan atau berada disisi penguasa. Peran ulama menjadi
berubah saat terjadinya modernisasi politik di negara-negara bekas wilayah kekuasaan
Usmani. Banyak ilmuwan yang menganggap bahwa peran ulama tergusur dan akhirnya
menjadi subordinat dari penguasa atau bahkan menjadi legitimasi bagi kebijakankebijakan pemerintah. Tulisan ini mengkaji peran ulama dalam dinamika kerajaan
Saudi dan hasilnya memperkuat argumentasi dari para ilmuwan yang pesimis tadi.
Keyword: Ulama, Politik, Kerajaan Arab Saudi, legitimasi
A. Pendahuluan
Negara yang saat ini memiliki identitas Islam yang sangat kuat adalah Kerajaan Saudi
Arabia. Sejak keruntuhan kekuasaan Islam yang berbasis di Turki tahun 1924, negara Saudi
inilah yang masih tetap bertahan untuk menyematkan Islam sebagai dasar negara. Meskipun
ada banyak perbedaan ketika membandingkan dinamika politik dalam kerajaan Saudi dan
kekuasaan-kekuasaan Islam sebelumnya. Bahkan walaupun mengaku sebagai negara Islam
ada banyak kelompok dari umat Islam yang tidak mengakui keabsahan kerajaan Saudi
sebagai sebuah negara Islam salah satunya kelompok al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden
Ketika sebuah negara melandasi dirinya dengan Islam maka konsekuensinya secara
otomatis akan mengarahkan kita untuk menelisik lebih jauh mengenai konstitusi negara
tersebut dan sistem-sistem yang dibangun oleh negara itu baik itu sistem politik, ekonomi,
pendidikan, hukum, kebijakan pendidikan dan luar negeri. Bagaimana semua sistem itu
dibangun dari sudut pandang Islam. Salah satu unsur yang berperan penting dalam
merumuskan sistem-sistem tersebut adalah para ulama. Dalam tradisi Islam, ulama telah
diakui sebagai pemilik otoritas untuk menafsirkan dan membuat ijtihad-ijtihad baru dalam
sebuah masyarakat. Ibnu Taymiyyah pernah menyatakan: “dua kelompok yang memiliki
otoritas untuk memimpin kebaikan masyarakat: ulama untuk memutuskan persoalan hukum
dan penguasa untuk menerapkan hukum. Masyarakat harus patuh terhadap penguasa”1.
Kerajaan Arab Saudi sendiri jumlah ulama saat ini diperkirakan sekitar 20.000
orang2. Tahun 1971 kerajaan Saudi mendirikan sebuah lembaga untuk para ulama terkemuka
sebagai wadah kordinasi antara pemerintah dan para ulama yang disebuh Hay`at kibaril
ulama atau dewan ulama senior yang dipimpin oleh seorang mufti besar. Tulisan ini akan
menguraikan secara deskriptif dinamika peran ulama dalam politik kerajaan Arab Saudi.
a. Ulama
Ulama adalah bentuk jamak dari Alim yang berarti seseorang yang memiliki ilmu. Dalam
tradisi Islam ulama adalah orang yang memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan ilmuilmu keislaman. Berdasarkan atas keilmuwan yang dimilikinya sehingga ulama dianggap
sebagai penjaga atau pewaris ajaran-ajaran Islam dan penjaga Islam itu sendiri. Otoritas
sebagai penafsir dan penjaga syariat Islam ini menjadikan ulama berada di posisi yang tinggi
dalam masyarakat. Dalam sebuah negara yang berasaskan Islam, para ulama menduduki
1
2
James Wynbrandt.2004. A Brief History of Saudi Arabia. New York: Facts On File, Inc, hal:120
Sherifa Zuhur. 2011. Saudi Arabia. California: ABC-CLIO, hal: 189
berbagai posisi dalam masyarakat atau negara baik secara formal maupun informal seperti,
sebagai mufti, Qadhi (hakim), Khatib (penceramah), Mudarris (guru, dosen)3.
Secara historis ulama memiliki otoritas yang kuat dalam masyarakat karena menjadi
penafsir dan penjaga sikap dan perilaku masyarakat serta menjadi tempat masyarakat bertanya
tentang hukum/legalitas dalam perbuatan mereka. Hubungannya dengan pemerintah, Ulama
biasanya menjadi penasehat bagi pemerintah, pemberi fatwa, pemegang otoritas dalam
pendidikan dan kehakiman. Ulama juga berperan sebagai penghubung antara rakyat dan
penguasa. Sering dimintai masukan oleh pemerintah dan terkadang pula ulama berada di fihak
rakyat sebagai oposisi kepada pemerintah yang dianggap zalim dan menindas masyarakat. di
Mesir, pada era pendudukan Inggris dan Perancis ulama menjadi bagian penggerak utama dari
kelompok oposisi yang melawan penjajah. Posisi istimewa tersebut menjadi berkurang saat
negara-negara Islam bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran barat mengenai modernisasi.
Modernisasi struktur politik dan pemerintahan, pendidikan, kehakiman perlahan-lahan
menggeser peran aktif ulama dalam bidang-bidang tersebut. Peran ulama akhirnya malah
menjadi rubber stamp bagi pemerintahan 4.
Pengaruh modernisasi terhadap ulama diungkap juga oleh Noah Fieldman bahwa
setelah berabad-abad ulama menjadi state balance of power, penyeimbang kekuataan
eksekutif dan penjaga penerapan hukum Islam dalam kerajaan Usmani mereka akhirnya
tersingkirkan dengan dibuatnya reformasi hukum pada abad 19 yang akhirnya
mensubordinasi hukum syariah dan ulama tinggal menjadi alat legitimasi kekuasaan
pemerintah. Fieldman menyimpulkan:
The core claim for continuity relies on a set of related observations. First, in the
traditional Sunni constitutional order, the shari‘a was a transcendent, divine
source of law interpreted exclusively by the scholars; but in the late Ottoman
period, and in the constitutional orders that prevailed through most of the Sunni
world after World War I, the shari‘a became instead a set of rules defined and
applied by authority of the state. In many cases, the jurisdiction of the shari‘a
shrank to encompass only matters of family law. Second, the scholars went from
quasi-autonomous keepers of the law to, at best, dependent state functionaries. At
worst, the scholars turned into purely religious figures irrelevant to adjudication
or to governance more generally. Third, as a result of the first two changes, the
scholars ceased to be necessary to legitimate the existing government5.
Dalam konteks yang lebih kontemporer Gibreel Gibreel menuliskan hubungan antara
ulama dan pemerintah di Timur Tengah sebagai dua hubungan yang interdependen. Menurut
Gibreel, meskipun para ulama tidak menempati posisi legislatif dalam Negara-Negara Arab
namun kekuasaan mereka ada pada dua jalan utama yaitu, mempengaruhi opini publik dan
memberi legitimasi atau membangkang dari pemerintah. Poin yang pertama, opini publik,
bisa dijadikan oleh Ulama untuk memobilisasi umat islam untuk mendukung atau menentang
kebijakan pemerintah. Sementara poin kedua, posisi penting ulama membuka akses langsung
untuk berinteraksi dengan pemerintah6.
b. Histori Hubungan Ulama dan Pemerintah Saudi
Alejandra Galindo Marines .2001. The relationship between the ulama and the government in the
contemporary Saudi Arabian Kingdom: an interdependent relationship?, Durham theses, Durham
University, Hal: 2-3
4
Meir Hatina. 2010. ʿUlamaʾ , Politics, and the Public Sphere An Egyptian Perspective. Salt Lake
City: The University of Utah Press, hal: 5
5
Noah Feldman. 2008. The fall and rise of the Islamic state.New Jersey: Princeton University Press, 41
William Street, hal: 81
6
Gibreel Gibreel. 2001. The Ulema: Middle Eastern Power Brokers. Middle East Quarterly.
Volume VIII: Number 4, http://www.meforum.org/105/the-ulema-middle-eastern-power-brokers,
diakses 13/11/13
3
Hubungan antara ulama dan penguasa di Arab Saudi secara historis telah terjalin
sejak abad ke 18 di era Muhammad ibnu Abdul Wahhab dan Muhammad ibnu Saudi. Mereka
berkoalisi untuk memperluas ajaran Abdul Wahhab yang kini dikenal dengan ajaran Wahhabi
dan memperluas kekuasaan ibnu Saudi di Jazirah Arab saat itu7. Sejak saat itu, agenda-agenda
politik Ibnu Saud mendapatkan dukungan relijius melalui fatwa-fatwa Abdul Wahhab.
Simbiosis mutualisme antara kedua entitas, pemerintah dan ulama masih tetap berjalan
meskipun dalam sejarahnya terjadi pasang surut dalam politik kerajaan Saudi. seperti pada
peristiwa perang antara kekuasaan Saudi dan kekhalifahan Usmani tahun 1790an yang
memenangkan turki usmani pada dan menghapuskan kekuasaan kerajaan Ibnu Saudi 8 .
Kemudian kekuasaan Saudi bangkit lagi tahun 1824 setelah penerus kerajaan Saudi,
Muhammad Ali merebut kembali kekuasaan di Riyadh yang telah diambil oleh kekuasaan
Usmani dan kemudian mengkonsolidasi kekuasaan dan mengembalikan martabat mazhab
wahhabi dan para ulamanya9. Namun, runtuh kembali tahun 1837 setelah diserang oleh Mesir.
Dan bangkit kembali tahun 1843. Posisi ulama masih tetap menjadi pendukung setia dari
Kerajaan Saudi. Dukungan tersebut tetap langgeng hingga berdirinya kerajaan Arab Saudi
secara resmi tahun 1932.
Setelah terbentuknya kerajaan Saudi proses modernisasi struktur pemerintahan dan
birokratisasi ulama terjadi menjadi hal yang tak terelakkan bagi pemerintah Saudi di masa
Raja Faizal tahun 1950an. Modernisasi secara massif terjadi utamanya setelah Raja Saudi
mengeluarkan 10 program reformasi dalam kekuasaan dinasti Saudi termasuk, merumuskan
konstitusi baru, membentuk bandan konsultasi dan pemerintahan lokal. Setelah itu dibentuk
berbagai kementerian, biro-biro dan agensia-agensi yang bertanggung jawab dalam hal
perminyakan, urusan-urusan wilayah, pekerjaan dan perencanaan publik. Disamping itu,
ulama juga dibirokratisasi melalui pembentukan agensi-agensi pemerintah yang berkaitan
dengan penelitian agama, pendidikan perempuan, urusan masjid dan yayasan keagamaan.
Reformasi ini, modernisasi dan birokratisasi menurut Yassini, berdampak pada berkurangnya
peran ulama atau agama dalam ruang publik serta, birokratisasi ulama menjadikan ulama
berada di dalam kontrol kuasa kerajaan Saudi10. Sejak reformasi tersebut peran ulama yang
berada di kontrol kekuasaan membenarkan tesis dari Gibreel Gibreel mengenai peran ulama
di Saudi sebagai pemberi legitimasi atas kebijakan-kebijakan pemerintah.
Tahun 1971 pemerintahan Saudi membentuk Dewan Ulama Senior berfungsi sebagai
lembaga konsultatif antara pemerintah dengan ulama. Lembaga ini dipimpin oleh seorang
mufti besar yang telah ditunjuk oleh pemerintah Saudi. Kedua lembaga ini melakukan
pertemuan rutin setiap minggu. Dalam isu-isu tertentu pemerintah biasanya meminta
persetujuan atau sanksi publik dari para ulama senior tersebut 11 . dalam perjalanannya,
lembaga ini menjadi sarana konsolidasi publik kerajaan untuk mendukung aktifitas
pemerintah. Menurut Madawi Rasheed, para ulama di Saudi, khususnya ulama senior,
memiliki tiga mekanisme dalam mendukung konsolidasi politik pemerintah yaitu, Hijrah,
Takfir dan Jihad. Konsep hijrah ini digunakan untuk membuat garis pemisah antara negara
Islam Saudi dan negara lain. pada Pada abad 18 wilayah Saudi lah yang dianggap sebagai
Anthony B. Toth. 2008. Saudi Arabia. Microsoft® Student 2009 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft
Corporation,.
8
David Commins. 2006. The Wahhabi Mission and Saudi Arabia. London: I.B.Tauris & Co Ltd, Hal:
42
9
Ibid, hal: 45
10
Ibid, hal: 106
11
Global Security. Council of Senior Ulama. http://www.globalsecurity.org/military/world/gulf/saulama.htm, 13/11/2013
7
tempat yang paling tepat untuk berhijrah dibandingkan provinsi-provinsi lain dibawah
kekuasaan Usmani yang sudah sesat12.
Metode kedua untuk mengokohkan kedudukan stabilitas politik di Saudi adalah
dengan melalui takfir atau penyesatan kepada orang-orang muslim yang berbeda dengan
pendapat resmi yang dikeluarkan oleh para ulama Saudi baik dalam perkara aqidah dan
ibadah ataupun sosial dan politik. Orang-orang atau kelompok yang telah disematkan label
kafir atasnya maka, pemerintah wajib untuk mengajak orang tersebut bertaubat jika tidak
maka, wajib atasnya untuk dibunuh atau diperangi. Sikap ini telah diperlihatkan oleh
Muhammad ibn Abdul Wahhab ketika mengkafirkan masyarakat Muslim dibawah kekuasaan
Usmani yang kemudian menjadi justifikasi bagi kelompok Abdul Wahhab dan Ibnu Saud
untuk memerangi mereka. Cara ketiga koalisi Saudi-Wahhabi untuk mengokohkan posisi
politiknya adalah melalui Jihad atau memerangi orang-orang kafir. Praktek ini sering
didengung-dengungkan oleh ulama Saudi utamanya pada masa-masa pembentukan dan
ekspansi kekuasaan Saudi.13
Ketiga poin tersebut menurut Rasheed, meski mengatasnamakan terminology Islam
namun kosong dari makna Islam karena telah berubah menjadi senjata politik (political
weapon) untuk mengkonsolidasikan kerajaan dan ulama sebagai penjaga moralnya. 14
Sebenarnya tidak semua ulama di Saudi menjadi pendukung setia pemerintahan
Saudi. ulama yang dimaksud hanyalah yang tergabung dalam Dewan Ulama Senior dan
Mufti. Ada banyak ulama independent, dikampus, atau imam yang memiliki pandangan
berbeda dengan ulama Senior dan bahkan sering mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah
namun, mereka biasanya diintimidasi, ditangkapi atau dipenjara begitupun juga nasib
kelompok-kelompok oposisi yang lain.
c.
Beberapa Kasus
Terdapat beberapa kasus yang memperlihatkan pentingnya peran ulama senior di
Arab Saudi dalam mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah. Diantaranya, kasus
pendudukan masjidil haram oleh kelompok salafi tahun 1979. Peristiwa perang teluk 1990
dan munculnya kritik dari para tokoh dan ulama di internal Saudi di era perang teluk atau
pasca perang teluk.
1.
Pengepungan Masjidil Haram 1979
Tahun 1979 kelompok oposisi yang mengatas namakan diri sebagai al-Jama`a alSalafiyyah al-Muhtasib dipimpin oleh Juhayman al-Utaybi bersama Muhammad ibn Abdullah
al-Qahtani mengepung masjidil haram di Makkah selama tiga minggu dan menyandera sekitar
130 orang yang sedang beribadah. Gerakan ini muncul sebagai respon terhadap kebijakan
modernisasi pemerintah Saudi seperti pengadopsian teknologi baru di Saudi. Pada pernyatan
sikap yang disampaikan pada saat penyanderaan masjid, kelompok ini menyerukan untuk
menghapus pengaruh budaya barat dan memutus hubungan kepada negara-negara barat yang
telah mengeksploitasi negara Saudi. Para ulama juga dianggap gagal untuk mengoreksi
kebijakan-kebijakan pemerintah yang menentang Islam oleh karenanya, menurut mereka,
kerajaan Monarki Saudi harus dijatuhkan dan diganti dengan pemerintahan Islam yang benar
dan lurus 15 . Ulama juga dianggap telah dibeli oleh Penguasa Saudi untuk mendukung
kerajaan. Syekh Abdul Aziz bin Baz, mufti besar Saudi, dianggap sebagai alat manipulasi
Madawi Rasheed. 2007. Contesting the Saudi State: Islamic Voices from a New Generation. New
York: Cambridge University Press, Hal: 34-37
13
Ibid, hal: 37-42
14
ibid, Hal: 45
12
keluarga kerajaan yang korup16. Sebagai pemimpin gerakan Salafiyyah, Juhayman menolak
pendapat para ulama Wahhabi yang mengharamkan menjatuhkan pemerintah yang sah selama
belum kufur dan melarang pelaksanaan ajaran Islam. Juhayman menganggap tidak ada negeri
Islam yang betul-betul menjalankan pemerintahan Islam sebenar-benarnya karena telah
mengadopsi sistem-sistem pemerintahan asing. Kelompok ini akhirnya bisa ditumpas setelah
Saudi mendapatkan bantuan dari 100.000 tentara Pakistan dan bantuan intelijen dari
pemerintah Perancis, Amerika dan Jerman. Juhayman dieksekusi mati dan al-Qahtani
meninggal dalam peperangan.
Yang penting dalam peristiwa ini adalah, tindakan keras pemerintah terhadap para
“pemberontak” baru diambil setelah raja Khalid meminta fatwa dari dewan ulama senior dan
fatwa tersebut keluar dan mendukung untuk bertindak tegas pada kelompok salafi tersebut .
Dalam fatwa yang diputuskan tahun 1979 tertulis:
“…..On Tuesday, His Majesty King Khalid ibn 'Abd al-'Aziz al-Sa'ud called
us, the undersigned, and we met in his majesty's office in al-Ma'dhar. He
informed us that at dawn that day…. We told him that it is incumbent to call
on them to surrender and lay down their arms. If they did, their surrender
would be accepted and they would be imprisoned until their case was
considered according to the Sharia. If they refused, all measures would be
taken to seize them and to kill those who were not arrested or had not
surrendered”17.
2.
Perang Teluk 1990
Pada saat terjadinya Invasi Irak terhadap Kuwait, Raja Fahd merasa khawatir bahwa
ekspansi Irak akan berlanjut ke Saudi setelah Kuwait ditaklukkan. Raja Fahd juga khawatir
untuk meminta bantuan dari Amerika Serikat karena akan menjatuhkan citranya sebagai
Khadimul Haramain (penjaga dua kota suci) jika memanggil tentara kafir untuk datang ke
Arab Saudi. Bahkan saat pertama kali AS menawarkan bantuan keamanan ke Saudi para
ulama dan masyarakat domestik menolak rencana tersebut. Setelah diskusi yang panjang
akhirnya mufti besar yang saat itu dipegang oleh Abdul Aziz bin Baz dan para ulama dalam
dewan senior ulama bersepakat untuk mendukung kebijakan pemerintah dengan syarat-syarat
yang ketat bagi pasukan asing tersebut seperti, harus menghormati tradisi kerajaan, harus
segera meninggalkan Saudi jika tidak dibutuhkan lagi dan harus tunduk pada polisi agama atau
Komite amar ma`ruf nahi munkar. Berikut kutipan singkat fatwa dewan ulama senior:
“ Dengan segala kemungkinan, Dewan ulama senior mendukung tindakan yang
diambil oleh pemerintah, semoga Allah menganugerahinya kesuksesan;
mempersiapkan kekuatan yang dilengkapi dengan perlengkapan yang bisa
menggentarkan dan menimbulkan rasa takut bagi siapa saja yang ingin
menyerang negeri Ini. kewajiban ini dituntut oleh kondisi tertentu dan menjadi
tak terelakkan karena situasi yang sangat menyakitkan tersebut. Dasar hukum dan
fakta menuntut bahwa yang memegang urusan kaum muslimin harus mencari
bantuan kepada yang lain yang mampu untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hal
ini telah diperintahkan dalam quran dan sunnah agar bersiap siaga sebelum
terlambat”18.
Fatwa ini menjadi pendukung kebijakan pemerintah Saudi untuk memberikan
kebebasan kepada militer Amerika Serikat untuk membuat pangkalan militer di wilayah
kerajaan. Kebijakan pemerintah Saudi yang didukung oleh fatwa ulama menimbulkan
Joseph A. Kechichian. 1986. The Role of the Ulama in the Politics of an Islamic State: The Case of
Saudi Arabia. International Journal of Middle East Studies, Vol. 18, No. 1, Hal 59
17
Ibid, hal 66-67
18
Charles Kurzman. Pro-U.S. Fatwas. Global Middle East Policy, Vol. X, No. 3, Fall 2003, Hal: 157
16
kemarahan di kalangan kelompok mujahidin al-Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin
Laden. Kemarahan ini menjadi sebab dari deklarasi Kecaman dan Tokoh-tokoh Islam
perang al-Qaeda terhadap Amerika dan kerajaan Saudi tahun 1996 untuk mengusir
Pendudukan Amerika di dua kota suci. 19 Kritik juga muncul dari banyak tokoh-tokoh
ulama yang menganggap Arab Saudi telah menguasai rumah Islam. para tokoh tersebut
mengingatkan dengan mengirim surat ke Dewan Ulama Senior dan Institusi fatwa dan
penelitian bahwa musuh yang lebih besar bukan Saddam tapi Amerika dan negara barat20.
3.
The age of petitions
Setelah Perang Teluk berlangsung, tahun 1991 terjadi kegoncangan ekonomi di
internal kerajaan Saudi sebagai dampak dari Perang Teluk dan mengakibatkan munculnya
ketidakpuasan terhadap pemerintah. Legitimasi penguasa dihadapan sebagian ulama juga
berkurang akibat aliansi Saudi dan Amerika Serikat dalam Perang Teluk.
Pada saat yang sama, di kubu kelompok islam muncul petisi yang ditujukan ke
pemerintah, Khitab al-Mathalib, yang ditandatangani sekitar 52 petinggi ulama terhadap
pemerintah Saudi yang berisi tuntutan-tuntutan kepada pemerintah untuk lebih taat pada
aturan syariah seperti, bidang kehakiman, angkatan bersenjatan, ekonomi, sosial dan
administrasi publik. Juga, meminta pemerintah untuk mencabut kebijakan pembatasan
terhadap para ulama, khatib dan ilmuwan. Surat tuntutan tersebut juga disebarkan ke publik
baik domestik dan internasional. Tiga tokoh yang paling populer melakukan penyebaran opini
publik pembangkangan terhadap pemerintah adalah Safar Hawali, Salman al-Awdah, dan
`Aidh al-Qarni. Kaset-kaset ceramah mereka beredar di publik yang berisi kritik atas
kebijakan-kebijakan pemerintah. Safar Hawali dan Salman al-Awdah dikenal sebagai syekh
sahwa Islamiyyah (kebangkitan) simbol yang disematkan bagi ulama para pejuang
kebangkitan Islam (revivalis Islam) di Saudi.
Kemudian tahun 1992, Mudhakkirat al-Nasihah (memorandum of advice) yang
ditandatangani oleh 100 ulama dikirim ke Mufti abdul Aziz bin Baz sebagai nasehat kepada
pemerintah untuk menerapkan Islam secara lebih utuh. Dan pemberian kebebasan politik bagi
para ulama, sarjana, dan guru untuk menulis dan mencetak tulisan serta berceramah.
Pemberian kebebasan bagi ulama untuk berpartisipasi dalam setiap aktifitas pemerintahan
untuk memastikan penerapan syariah Islam; revisi kurikulum universitas, menghentikan
nepotisme, sensor terhadap produk-produk asing dsb21.
Akibat tekanan-tekanan dari kalangan oposisi Islam dan opini yang gencar yang
dibentuk di masyarakat pemerintah Saudi meminta dewan ulama senior mengeluarkan fatwa
mengecam para oposisi sebagai provokator pemecah kerajaan, melanggar aturan dengan
melakukan kritik publik yang lebih menonjolkan kekurangan kerajaan dibandingkan kebaikankebaikannya. Dewan juga mengecam ulama oposisi yang melanggar etika nasehat-menasehati
seperti yang telah dituntunkan oleh Islam. Sejak tahun 1992 hingga tahun 1994 pemerintah
sibuk melakukan stabiliasi opini publik dan mengawasi, mengintimidasi dan menahan
kalangan oposisi, mayoritas dari kalangan islamis, Syekh Safar Hawali dan Syekh Salman alAwdah ditahan tahun 1994 dan dilarang oleh fatwa mufti besar, Syekh bin Baz, untuk
mengajar, mengadakan pertemuan dan merekam ceramah. 22 Tokoh-tokoh Sahwa Islamiyyah
dibebaskan oleh rezim pada tahun 1999.
David Commins, op.cit,Hal: 187-188
James Wynbrand, Hal: 256
21
R. Hrair Dekmejian. 1994. The Rise of Political Islamism in Saudi Arabia. Middle East Journal, Vol.
48, No. 4,Hal: 633-634
22
James Wynbrandt, op.cit, Hal: 263
19
20
4.
Kontraterorisme dan Arab Spring
Peristiwa teror yang menimpa Amerika Serikat tahun 2001 juga menimpa kerajaan Arab
Saudi. sejak tahun 1995 telah terjadi serangan teror di Arab Saudi. Osama bin Laden
dianggap sebagai aktor utama di balik serangan tersebut. Serangan teror yang terjadi secara
massif di Saudi dimulai tahun 2003 oleh kelompok al-Qaeda di Jazirah Arab yang dipimpin
oleh Yusuf al-Uyayri 23 . Serangan teror tersebut diarahkan pada fasilitas-fasilitas asing,
warga-warga asing, fihak keamanan dan pemerintahan Saudi, pengeboman konsulat Amerika,
ledakan bom mobil, penembakan mati pekerja asing 24 . Tahun 2008 al-Qaeda di Saudi
berhasil diberantas, pemimpin-pemimpinnya berhasil ditembak mati, Yusuf al-Uyayri, Turki
al-Dandani dan Ahmad al-Dukhayy. 25 Sekitar 9.000 orang telah ditahan atas tuduhan
terindikasi terlibat dalam gerakan teror dalam operasi kontraterorisme antara tahun 2003-2007
26
.
Kesuksesan program-program kontraterorisme yang dibuat oleh pemerintah Saudi
juga tak lepas dari dukungan dewan ulama senior dan mufti. Fatwa menjadi alat untuk
mengontrol opini publik mengenai ketidakabsahan tindakan teror dan sesatnya para pelaku
teror tersebut sehingga tindakan-tindakan pemerintah mendapatkan legalitas secara religius
untuk memberantas terorisme.
Sejak peristiwa 9/11 tahun 2001 mufti dan dewan ulama senior telah mengeluarkan
fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat mengenai respon ulama terhadap aktifitas terorisme.
Dewan Senior Ulama telah mengeluarkan fatwa mengenai respon terhadap terorisme
sebanyak dua kali yaitu pada tahun 2003 dan tahun 2010. Fatwa pertama dikeluarkan tanggal
11 Februari 2003 sebagai respon terhadap serangan massif yang dilakukan oleh al-Qaeda di
internal negara Saudi. Fatwa tersebut menyatakan bahwa penumpahan darah orang-orang
yang tak berdosa, pengeboman bangunan dan kapal laut, penghancuran instalasi publik dan
privat adalah tindakan kriminal dan bertentangan dengan Islam. dan mengharuskan bagi yang
memiliki pemahaman dan ideologi yang menyimpang untuk bertanggung jawab atas tindakan
kriminalnya tersebut. Fatwa tersebut juga memberikan dukungan yang besar bagi otoritas
pemerintah Saudi untuk mengusir atau membasi terorisme sampai ke akar-akarnya, dan
mengajak bagi semua masyarakat untuk bekerjasama dengan pemerintah untuk melawan
terorisme dan memperingatkan untuk tidak menyediakan dukungan, perlindungan bagi para
teroris dan jaringannya. Serta, dewan ulama senior mengecam segala fatwa yang
menjustifikasi segala aksi teror terhadap kaum Muslim sebagai tindakan jihad. Siapa saja
mengeluarkan fatwa tersebut, menurut Dewan Senior, maka harus dibawa ke pengadilan atau
dihukum27.
Kemudian Dewan ulama senior tahun 2010 mengeluarkan fatwa lagi mengenai
pendanaan untuk terrorisme, Fatwa on terror financing, May 7, 2010. Fatwa tersebut
menyatakan bahwa membantu pendanaan terror, insepsi, membantu, atau mencoba untuk
melakukan tindak terrorisme atau apa bentuk atau dimensinya yang berkaitan dengan itu
dilarang oleh syariah bisa dikenai hukuman kriminal. Termasuk juga, proses mengumpulkan
dan menyediakan dana, atau berpartisipasi dalam berbagai bentuk termasuk finansial dan nonfinansial ases tanpa memandang asalnya legal atau illegal28.
Thomas Hegghammer. 2010. Jihad in Saudi Arabia: Violence and Pan-Islamism since 1979.
Cambridge: Cambridge University Press, hal: 200
24
James Wynbrandt, op.cit, Hal: 283
25
Thomas Hegghammer, op.cit, hal: 202
26
Amnesty International. 2011. Saudi Arabia Repression in the Name of Security. London: Amnesty
Internasional, hal: 18
27
Saudi Press Agency.2003. 17th August 2003 - Statement by Senior Ulema Commission condemns
terrorism. www.saudinf.com/display_news.php?id=910 diakses 13/11/2013
28
Saudi Embassy. 2010. Council of Senior Ulema Fatwa on terror-financing.
(http://www.saudiembassy.net/announcement/announcement05071001.aspx). diakses 13/11/2013
23
Kebijakan kontraterrorisme pemerintah Saudi yang didukung oleh para ulama
memperoleh banyak kritik dari para tokoh dan ulama seperti, Dr. Sa`id al- Zu`air, Professor di
Universitas Imam Muhammad dan Imam di Masjid Riyadh. al-Zu`air yang pernah dipenjara
tahun 1995 kemudian bebas tahun 2003 ditangkap kembali oleh pemerintah Saudi tahun 2007
setelah dianggap menyatakan dukungannya terhadap aksi teror di Riyadh serta mengkritik
kebijakan kontraterorisme pemerintah Saudi dalam sebuah wawancara dengan TV AlJazeera29. Kemudian, Syekh Ali al-Khudhair, Syekh Ahmed al-Khalidi dan Syekh Nasser alFahad adalah tiga ulama yang menolak kebijakan kontraterorisme pemerintah. Tahun 2003,
ketika pemerintah merilis 19 buronan terroris, ketiga ulama tersebut membuat pernyataan
bersama yang menolak pengumuman pemerintah tersebut dan memfatwakan melarang setiap
orang untuk membantu pemerintah mencari 19 orang tersebut baik melalui poster, melaporkan
keberadaan, atau berusaha untuk mencari mereka. Para ulama itu beralasan bahwa pemerintah
Saudi mengeluarkan data tersebut dibawah dukungan program war on terror pemerintah
Amerika Serikat sehingga mendukung pemerintah Saudi sama saja dengan mendukung
Amerika Serikat. Setelah mengeluarkan pernyataan tersebut, ketiga ulama ini akhirnya
ditangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah Saudi. 30
Sejak tahun 2003 hingga masa revolusi Dunia Arab, Banyak tokoh-tokoh, ilmuwan
dan ulama yang ditangkapi oleh pemerintah dengan alasan-alasan kontraterrrorisme. Mereka
itu secara umum menentang berbagai kebijakan pemerintah Saudi baik dalam
kontraterrorisme, penentangan terhadap kerjasama Saudi dan Amerika ataupun tuntutan
reformasi terhadap pemerintah Arab Saudi. Mereka itu antara lain, Dr. Sa’ud Mukhtar alHashimi, Dr. Musa al-Qarni and Dr. Suleiman al-Rushoodi, Ali al-Demaini, Dr. Matrouk alFaleh, Dr. Abdullah al-Hamed, Syekh Khalid al-Rashed dan Dr. Bisher Fahad al-Bisher.
5. Arab Spring di Kerajaan Saudi
Revolusi Dunia Arab tahun 2011 yang berawal dari Tunisia kemudian menjalar ke
Mesir, Libya, Bahrain, Yaman dan negara-negara lainnya di Timur Tengah juga berdampak
pada kerajaan Arab Saudi. Tuntutan-tuntutan reformasi juga menjadi marak pada tahun 2011
tersebut dari aktifis-aktifis pro-reformasi yang menuntut reformasi konstitusional, dialog
nasional, pengadaan pemilu dan memberikan hak partisipasi politik bagi wanita. Serta
mengkritik birokrasi pemerintah yang tidak efisien, fanatisme beragama, dan kesenjangan
sosial antara negara dan rakyat. Mereka yang terlibat antara lain dalam kalangan aktifis,
akademisi, pebisnis dan ulama. 31
Untuk merespon permasalahan munculnya protes secara internal di negara Saudi,
Pemerintah Saudi membuat beberapa kebijakan untuk menghentikan aksi-aksi dan
mengembalikan stabilititas diantaranya. Tindakan keras bagi para demonstran, penambahan
bantuan sosial bagi masyarakat, dan menjanjikan pemberian hak perempuan dalam politik32.
Pada saat gencarnya seruan-seruan untuk melakukan demonstrasi di Saudi, pada 6
Maret 2011, dewan ulama senior mengeluarkan fatwa yang menentang protes-protes yang
dilakukan oleh masyarakat. Isi fatwa tersebut menyatakan dukungan terhadap keamanan dan
stabilitas di dalam kerajaan Arab Saudi yang merupakan kepimpinan yang sah, diakui dalam
Islam dan telah diridhoi oleh Allah Swt karena keteguhan penguasa untuk menjaga Islam dan
Steven Stalinsky. 2011. American-Yemeni Al-Qaeda Cleric Anwar Al-Awlaki Highlights the Role
and Importance of Media Jihad, Praises Al-Jazeera TV Journalists and WikiLeaks. Inquiry & Analysis
Series Report No. 677, http://www.memri.org/report/en/print5096.htm , diakses 15/11/2013
30
Ihrc . 2011. Saudi Arabia’s Political Prisoners: Towards a Third Decade of Silence 1990, 2000,
2010. Wembley: Islamic Human Rights Commission, hal: 6
31
Ahmed Al Omran. Saudi Arabia: A new mobilisation, dalam ECFR. 2014. What does The gulf
think about the arab Awakening?. London: European Council on Foreign Relations (ECFR), hal: 6-7
32
Devin Entrikin, Amy Grinsfelder, dkk. 2011. The Arab Spring in the Arabian Peninsula.
http://saudirevolt.files.wordpress.com/2011/12/saudi-group-final-paper.pdf,diakses 13/11/2013, hal:25
29
dua kota suci. oleh karena itu, tidak ada yang mampu untuk memecah belahnya dari
kelompok manapun, bahkan kelompok-kelompok asing33.
Dewan ulama senior menyerukan kepada semua masyarakat untuk menjaga keutuhan
dan kesatuan dalam masyarakat dan bersama-sama menentang segala yang bertentangan
dengan hal tersebut seperti, ketidakadilan, penindasan, dan kebencian terhadap kebenaran.
Ulama senior mengajak untuk saling nasehat-menasehati, saling memahami dan bekerjasama
dalam kebenaran dan kesalehan dan mencegah dalam kejahatan dan kebencian. Dan selama
penguasa Saudi masih berlandaskan al-Quran dan Sunnah maka wajib ditaati dan tidak boleh
melakukan demonstrasi untuk menuntut perbaikan karena bisa menimbulkan kerusuhan dan
perpecahan umat. Sikap ini, menurut fatwa tersebut, adalah bentuk dari ketaatan terhadap
mazhab/tradisi para pendahulu/ salafus sholeh dan para pengikut mereka dari dulu hingga
sekarang. Fatwa ini kemudian diperintahkan untuk dicetak sebanyak 1,5 juta kopi untuk
disebarkan ke masjid-masjid dan masyarakat, juga disebarkan lewat media-media online34.
Media-media lokal juga memuat fatwa tersebut untuk memperkuat dukungan terhadap
penyebaran fatwa tersebut.
Dampak dari fatwa-fatwa yang dibuat oleh ulama tersebut mendeligitimasi segala
demonstrasi yang dibuat oleh masyarakat Saudi. Dan memberikan legitimasi kepada
pemerintah untuk bertindak sesukanya untuk mengendalikan suasana baik represi, penahanan
ataupun pembunuhan.
Laporan Komisi HAM Islam (Commission of Islamic Human
Right) tahun 2011, menuliskan sekitar 5.000 tambahan tahanan politik di penjara-penjara
Saudi yang dikutip dari data pemerintah. Sementara yang dicatat oleh para pengacara/pakar
hukum dan aktifis HAM sekitar 7.000 orang tahanan politik yang menambah jumlah tahanan
menjadi sekitar 30.000 orang di negara tersebut. 35 Sementara yang tewas karena ditembak
oleh pihak keamanan sejak tahun 2011 hingga 2012 sebanyak 22 orang yang mayoritasnya
adalah anak-anak muda dibawah usia 20 tahun36.
Sikap dari dewan ulama senior, mufti dan pemerintah banyak dikritik oleh tokohtokoh dan ulama non pemerintah. Diantaranya adalah figure ulama sahwa islamiyyah Syekh
Dr. Salman al-Awdah. Di tengah-tengah terjadinya protes di Saudi Arabia, dia membuat surat
terbuka kepada pemerintah melalui Twitternya yang diikuti oleh 2,4 juta followers. Disitu ia
menggambarkan suasana stagnan yang menurut dia disebabkan oleh kurangnya perumahan,
masalah pengangguran, kemiskinan, korupsi, sistem pendidikan dan kesehatan yang buruk,
nasib buruk tahanan dan ketiadaan prospek reformasi politik. Al-Awdah memperingatkan,
jika revolusi ditindas, aksi demonstrasi akan berubah menjadi aksi bersenjata, dan jika para
aktifis demonstran diabaikan maka mereka akan meluas dan menyebar. Penyelesaiannya
adalah keputusan bijaksana dan tepat pada waktunya untuk menghindari percikan
kerusuhan37.
Tokoh-tokoh ulama lain yang juga ikut mengkritisi pemerintah dan tidak ikut
menentang para demonstran adalah Seperti, Syekh Sulaiman al-Duwaish, yang menggunakan
Asharq al-Awsat. 2011. A fatwa from the Council of Senior Scholars in the Kingdom of Saudi Arabia
warning against mass demonstrations Fatwa.
http://islamopediaonline.org/fatwa/fatwa-councilsenior-scholars-kingdom-saudi-arabia-warning-against-mass-demonstrations, Diakses 13/11/2013
34
The Guardian. 2011. Saudi Arabia prints 1.5m copies of religious edict banning protests..
http://www.guardian.co.uk/world/2011/mar/29/saudi-arabia-edict-banning-protests.
diakses
13/11/2012
35
Ihrc . 2011. Saudi Arabia’s Political Prisoners: Towards a Third Decade of Silence 1990, 2000,
2010. Wembley: Islamic Human Rights Commission, hal: 11
36
______,2011–13
Saudi
Arabian
protests.
http://en.wikipedia.org/wiki/2011%E2%80%9313_Saudi_Arabian_protests#cite_note
ThReut_LaessingDeported-170 diakses 13/11/2013
37
Inilah. 2013. Ulama Arab Saudi keluarkan peringatan langka soal reformasi.
http://m.inilah.com/read/detail/1947868/ulama-arab-saudi-resah-akibat-kebijakan-raja.diakses
13/11/2013
33
youtube untuk mengkritisi pemerintah yang dianggap tidak Islami dan korup. Problem ini
menurutnya, menjadi pemicu dari meningkatnya pembangkangan dan kerusuhan secara
meluas di Masyarakat Saudi. al-Duwaish akhirnya ditahan oleh pemerintah bulan juni 2011.
Ulama yang lain, Dr. Yusuf al-Ahmad, terkenal dengan fatwa kontroversialnya yang
mengharamkan perempuan untuk bekerja sebagai pilot pesawat dan seruannya untuk
membangun kembali masjid al-Haram di Makkah dengan konsep laki-laki dan perempuan
terpisah. Dia mengunggah video ceramahnya di youtube yang mengkritisi berbagai kebijakan
pemerintah, menuntut keadilan bagi para tahanan politik, dan mengecam penahanan massal
yang dilakukan oleh pemerintah terhadap para demonstran laki-laki ataupun perempuan.
Setelah tiga videonya diunggah di youtube, akhirnya dia ditahan tanggal 8 Juli 201138.
Kesimpulan
Dalam kasus-kasus yang terjadi sejak tahun 1979 hingga Arab Spring 2011. Ulama
memperlihatkan peran yang sangat penting dalam memberikan dukungan terhadap penguasa
Saudi dalam kebijakan-kebijakan yang akan dibuat. Ulama Senior bertugas membuat fatwa
yang fatwa itu berfungsi melegitimasi setiap kebijakan Saudi dan menstabilkan opini publik
serta menyingkirkan suara-suara yang bertentangan dengan fatwa ulama senior.
Pada masa perang teluk dan setelahnya, banyak ulama non-pemerintah yang mengkritisi sikap
kerajaan Saudi yang bekerjasama dengan negara kafir barat dan mengkritisi buruknya
penerapan Islam di Saudi. Namun, kritik tersebut tidak merubah sikap pemerintah dan mufti
atau ulama terhadap kebijakan yang telah dibuat. Bahkan para tokoh yang kritis tersebut
ditangkapi dan diintimidasi atas tuduhan melanggar syariah dengan mengkritisi pemerintah
terang-terangan.
Politik fatwa juga diterapkan dalam kasus-kasus terakhir, kontraterorisme dan Revolusi dunia
arab. Setelah keluarnya fatwa ulama mengenai kontraterorisme. Pemerintah gampang saja
menuduh dan menangkap siapa saja yang dianggap teroris dan mendukung aktifitas terorisme.
Banyak tokoh yang ditangkap hanya karena mengkritisi kebijakan pemerintah Saudi dalam
kontraterorisme. Disisi lain, ribuan orang ditangkap hanya karena diperkirakan terlibat dalam
terorisme atau memiliki pemikiran radikal. Pada peristiwa revolusi dunia arab. Fatwa ulama
memberikan kekuatan bagi pemerintah untuk menangkap atau bahkan membunuh para
demonstran.
Kasus-kasus yang pernah terjadi dalam kerajaan Saudi memperlihatkan peran besar ulama
dalam setiap kebijakan-kebijakan pemerintah. Namun, peran ulama tersebut tidak langsung
dalam merumuskan kebijakan yang diambil. Ulama hanya menjadi pendukung setiap
kebijakan pemerintah dengan fatwa yang dibuatnya. Posisi ulama ini sangat rentan
dimanipulasi atau diperalat oleh pemerintah. Terbukti, banyak kebijakan-kebijakan Saudi
yang didukung oleh ulama dikritik oleh tokoh-tokoh ulama sendiri di internal kerajaan Saudi.
Daftar pustaka
ECFR. 2014. What does The gulf think about the arab Awakening?. London: European Council on
Foreign Relations (ECFR)
Feldman, Noah. 2008. The fall and rise of the Islamic state. New Jersey: Princeton University Press
Hegghammer, Thomas. 2010. Jihad in Saudi Arabia: Violence and Pan-Islamism since 1979.
Cambridge: Cambridge University Press
Hatina, Meir. 2010. ʿUlamaʾ , Politics, and the Public Sphere An Egyptian Perspective. Salt Lake City:
The University of Utah Press
38
IHRC . opcit. Hal: 10
International, Amnesty. 2011. Saudi Arabia Repression in the Name of Security. London: Amnesty
Internasional
IHRC . 2011. Saudi Arabia’s Political Prisoners: Towards a Third Decade of Silence 1990, 2000,
2010. Wembley: Islamic Human Rights Commission
Jones, Toby Craig. 2011. Saudi Arabia Versus the Arab Spring, Raritan: quarterly review
Marines, Alejandra Galindo .2001. The relationship between the ulama and the government in the
contemporary Saudi Arabian Kingdom: an interdependent relationship?. Durham theses:
Durham University
Toth, Anthony B. 2008. Saudi Arabia. Microsoft® Student 2009 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft
Corporation,.
Wynbrandt, James. 2004. A brief history of Saudi Arabia. New York: Facts On File, Inc
Asharq al-Awsat. 2011. A fatwa from the Council of Senior Scholars in the Kingdom of Saudi Arabia
warning against mass demonstrations Fatwa.
http://islamopediaonline.org/fatwa/fatwacouncil-senior-scholars-kingdom-saudi-arabia-warning-against-mass-demonstrations, Diakses
13/11/2013
Al-Otaibi, Abdullah. 2013. 30 stars join the Shura Council: Surprise decision admits women to
institution for first time. http://www.aawsat.net/2013/01/article55239131c. Diakses 13/11/2013
______,
2011–13
Saudi
Arabian
protests.
http://en.wikipedia.org/wiki/2011%E2%80%9313_Saudi_Arabian_protests#cite_noteThReut_LaessingDeported-170 diakses 21/05/2013
Entrikin, Devin, Amy Grinsfelder, dkk. 2011. The Arab Spring in the Arabian Peninsula.
http://saudirevolt.files.wordpress.com/2011/12/saudi-group-final-paper.pdf,diakses 13/11/2013
Global Security. Council of Senior Ulama. http://www.globalsecurity.org/military/world/gulf/saulama.htm, Diakses 13/11/2013
Haykel, Bernard. 2011. Saudi Arabia vs. the Arab Spring.
http://www.project-syndicate.org/commentary/saudi-arabia-vs--the-arab-spring. Diakses 15/05/2013
Inilah.
2013. Ulama Arab Saudi keluarkan peringatan langka soal reformasi.
http://m.inilah.com/read/detail/1947868/ulama-arab-saudi-resah-akibat-kebijakan-raja.diakses
23/05/2013
Saudi Press Agency.2003. 17th August 2003 - Statement by Senior Ulema Commission condemns
terrorism. www.saudinf.com/display_news.php?id=910 diakses 13/11/2013
Saudi
Embassy.
2010.
Council
of
Senior
Ulema
Fatwa
on
terror-financing.
(http://www.saudiembassy.net/announcement/announcement05071001.aspx).
diakses
13/11/2013
Stalinsky, Steven. 2011. American-Yemeni Al-Qaeda Cleric Anwar Al-Awlaki Highlights the Role and
Importance of Media Jihad, Praises Al-Jazeera TV Journalists and WikiLeaks. Inquiry &
Analysis Series Report No. 677, http://www.memri.org/report/en/print5096.htm , diakses
15/05/2013
The Guardian. 2011. Saudi Arabia prints 1.5m copies of religious edict banning protests..
http://www.guardian.co.uk/world/2011/mar/29/saudi-arabia-edict-banning-protests. diakses
15/11/2013
KERAJAAN ARAB SAUDI
Oleh : HASBI ASWAR
Alumni Pasca Sarjana Hubungan Internasional FISIP UGM
Ulama dalam tradisi Islam adalah sosok yang sangat penting dalam menjaga
berjalannya penerapan syariat Islam di masyarakat atau di negara Islam. Ulama bisa
berada di sisi masyarakat dan atau berada disisi penguasa. Peran ulama menjadi
berubah saat terjadinya modernisasi politik di negara-negara bekas wilayah kekuasaan
Usmani. Banyak ilmuwan yang menganggap bahwa peran ulama tergusur dan akhirnya
menjadi subordinat dari penguasa atau bahkan menjadi legitimasi bagi kebijakankebijakan pemerintah. Tulisan ini mengkaji peran ulama dalam dinamika kerajaan
Saudi dan hasilnya memperkuat argumentasi dari para ilmuwan yang pesimis tadi.
Keyword: Ulama, Politik, Kerajaan Arab Saudi, legitimasi
A. Pendahuluan
Negara yang saat ini memiliki identitas Islam yang sangat kuat adalah Kerajaan Saudi
Arabia. Sejak keruntuhan kekuasaan Islam yang berbasis di Turki tahun 1924, negara Saudi
inilah yang masih tetap bertahan untuk menyematkan Islam sebagai dasar negara. Meskipun
ada banyak perbedaan ketika membandingkan dinamika politik dalam kerajaan Saudi dan
kekuasaan-kekuasaan Islam sebelumnya. Bahkan walaupun mengaku sebagai negara Islam
ada banyak kelompok dari umat Islam yang tidak mengakui keabsahan kerajaan Saudi
sebagai sebuah negara Islam salah satunya kelompok al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden
Ketika sebuah negara melandasi dirinya dengan Islam maka konsekuensinya secara
otomatis akan mengarahkan kita untuk menelisik lebih jauh mengenai konstitusi negara
tersebut dan sistem-sistem yang dibangun oleh negara itu baik itu sistem politik, ekonomi,
pendidikan, hukum, kebijakan pendidikan dan luar negeri. Bagaimana semua sistem itu
dibangun dari sudut pandang Islam. Salah satu unsur yang berperan penting dalam
merumuskan sistem-sistem tersebut adalah para ulama. Dalam tradisi Islam, ulama telah
diakui sebagai pemilik otoritas untuk menafsirkan dan membuat ijtihad-ijtihad baru dalam
sebuah masyarakat. Ibnu Taymiyyah pernah menyatakan: “dua kelompok yang memiliki
otoritas untuk memimpin kebaikan masyarakat: ulama untuk memutuskan persoalan hukum
dan penguasa untuk menerapkan hukum. Masyarakat harus patuh terhadap penguasa”1.
Kerajaan Arab Saudi sendiri jumlah ulama saat ini diperkirakan sekitar 20.000
orang2. Tahun 1971 kerajaan Saudi mendirikan sebuah lembaga untuk para ulama terkemuka
sebagai wadah kordinasi antara pemerintah dan para ulama yang disebuh Hay`at kibaril
ulama atau dewan ulama senior yang dipimpin oleh seorang mufti besar. Tulisan ini akan
menguraikan secara deskriptif dinamika peran ulama dalam politik kerajaan Arab Saudi.
a. Ulama
Ulama adalah bentuk jamak dari Alim yang berarti seseorang yang memiliki ilmu. Dalam
tradisi Islam ulama adalah orang yang memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan ilmuilmu keislaman. Berdasarkan atas keilmuwan yang dimilikinya sehingga ulama dianggap
sebagai penjaga atau pewaris ajaran-ajaran Islam dan penjaga Islam itu sendiri. Otoritas
sebagai penafsir dan penjaga syariat Islam ini menjadikan ulama berada di posisi yang tinggi
dalam masyarakat. Dalam sebuah negara yang berasaskan Islam, para ulama menduduki
1
2
James Wynbrandt.2004. A Brief History of Saudi Arabia. New York: Facts On File, Inc, hal:120
Sherifa Zuhur. 2011. Saudi Arabia. California: ABC-CLIO, hal: 189
berbagai posisi dalam masyarakat atau negara baik secara formal maupun informal seperti,
sebagai mufti, Qadhi (hakim), Khatib (penceramah), Mudarris (guru, dosen)3.
Secara historis ulama memiliki otoritas yang kuat dalam masyarakat karena menjadi
penafsir dan penjaga sikap dan perilaku masyarakat serta menjadi tempat masyarakat bertanya
tentang hukum/legalitas dalam perbuatan mereka. Hubungannya dengan pemerintah, Ulama
biasanya menjadi penasehat bagi pemerintah, pemberi fatwa, pemegang otoritas dalam
pendidikan dan kehakiman. Ulama juga berperan sebagai penghubung antara rakyat dan
penguasa. Sering dimintai masukan oleh pemerintah dan terkadang pula ulama berada di fihak
rakyat sebagai oposisi kepada pemerintah yang dianggap zalim dan menindas masyarakat. di
Mesir, pada era pendudukan Inggris dan Perancis ulama menjadi bagian penggerak utama dari
kelompok oposisi yang melawan penjajah. Posisi istimewa tersebut menjadi berkurang saat
negara-negara Islam bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran barat mengenai modernisasi.
Modernisasi struktur politik dan pemerintahan, pendidikan, kehakiman perlahan-lahan
menggeser peran aktif ulama dalam bidang-bidang tersebut. Peran ulama akhirnya malah
menjadi rubber stamp bagi pemerintahan 4.
Pengaruh modernisasi terhadap ulama diungkap juga oleh Noah Fieldman bahwa
setelah berabad-abad ulama menjadi state balance of power, penyeimbang kekuataan
eksekutif dan penjaga penerapan hukum Islam dalam kerajaan Usmani mereka akhirnya
tersingkirkan dengan dibuatnya reformasi hukum pada abad 19 yang akhirnya
mensubordinasi hukum syariah dan ulama tinggal menjadi alat legitimasi kekuasaan
pemerintah. Fieldman menyimpulkan:
The core claim for continuity relies on a set of related observations. First, in the
traditional Sunni constitutional order, the shari‘a was a transcendent, divine
source of law interpreted exclusively by the scholars; but in the late Ottoman
period, and in the constitutional orders that prevailed through most of the Sunni
world after World War I, the shari‘a became instead a set of rules defined and
applied by authority of the state. In many cases, the jurisdiction of the shari‘a
shrank to encompass only matters of family law. Second, the scholars went from
quasi-autonomous keepers of the law to, at best, dependent state functionaries. At
worst, the scholars turned into purely religious figures irrelevant to adjudication
or to governance more generally. Third, as a result of the first two changes, the
scholars ceased to be necessary to legitimate the existing government5.
Dalam konteks yang lebih kontemporer Gibreel Gibreel menuliskan hubungan antara
ulama dan pemerintah di Timur Tengah sebagai dua hubungan yang interdependen. Menurut
Gibreel, meskipun para ulama tidak menempati posisi legislatif dalam Negara-Negara Arab
namun kekuasaan mereka ada pada dua jalan utama yaitu, mempengaruhi opini publik dan
memberi legitimasi atau membangkang dari pemerintah. Poin yang pertama, opini publik,
bisa dijadikan oleh Ulama untuk memobilisasi umat islam untuk mendukung atau menentang
kebijakan pemerintah. Sementara poin kedua, posisi penting ulama membuka akses langsung
untuk berinteraksi dengan pemerintah6.
b. Histori Hubungan Ulama dan Pemerintah Saudi
Alejandra Galindo Marines .2001. The relationship between the ulama and the government in the
contemporary Saudi Arabian Kingdom: an interdependent relationship?, Durham theses, Durham
University, Hal: 2-3
4
Meir Hatina. 2010. ʿUlamaʾ , Politics, and the Public Sphere An Egyptian Perspective. Salt Lake
City: The University of Utah Press, hal: 5
5
Noah Feldman. 2008. The fall and rise of the Islamic state.New Jersey: Princeton University Press, 41
William Street, hal: 81
6
Gibreel Gibreel. 2001. The Ulema: Middle Eastern Power Brokers. Middle East Quarterly.
Volume VIII: Number 4, http://www.meforum.org/105/the-ulema-middle-eastern-power-brokers,
diakses 13/11/13
3
Hubungan antara ulama dan penguasa di Arab Saudi secara historis telah terjalin
sejak abad ke 18 di era Muhammad ibnu Abdul Wahhab dan Muhammad ibnu Saudi. Mereka
berkoalisi untuk memperluas ajaran Abdul Wahhab yang kini dikenal dengan ajaran Wahhabi
dan memperluas kekuasaan ibnu Saudi di Jazirah Arab saat itu7. Sejak saat itu, agenda-agenda
politik Ibnu Saud mendapatkan dukungan relijius melalui fatwa-fatwa Abdul Wahhab.
Simbiosis mutualisme antara kedua entitas, pemerintah dan ulama masih tetap berjalan
meskipun dalam sejarahnya terjadi pasang surut dalam politik kerajaan Saudi. seperti pada
peristiwa perang antara kekuasaan Saudi dan kekhalifahan Usmani tahun 1790an yang
memenangkan turki usmani pada dan menghapuskan kekuasaan kerajaan Ibnu Saudi 8 .
Kemudian kekuasaan Saudi bangkit lagi tahun 1824 setelah penerus kerajaan Saudi,
Muhammad Ali merebut kembali kekuasaan di Riyadh yang telah diambil oleh kekuasaan
Usmani dan kemudian mengkonsolidasi kekuasaan dan mengembalikan martabat mazhab
wahhabi dan para ulamanya9. Namun, runtuh kembali tahun 1837 setelah diserang oleh Mesir.
Dan bangkit kembali tahun 1843. Posisi ulama masih tetap menjadi pendukung setia dari
Kerajaan Saudi. Dukungan tersebut tetap langgeng hingga berdirinya kerajaan Arab Saudi
secara resmi tahun 1932.
Setelah terbentuknya kerajaan Saudi proses modernisasi struktur pemerintahan dan
birokratisasi ulama terjadi menjadi hal yang tak terelakkan bagi pemerintah Saudi di masa
Raja Faizal tahun 1950an. Modernisasi secara massif terjadi utamanya setelah Raja Saudi
mengeluarkan 10 program reformasi dalam kekuasaan dinasti Saudi termasuk, merumuskan
konstitusi baru, membentuk bandan konsultasi dan pemerintahan lokal. Setelah itu dibentuk
berbagai kementerian, biro-biro dan agensia-agensi yang bertanggung jawab dalam hal
perminyakan, urusan-urusan wilayah, pekerjaan dan perencanaan publik. Disamping itu,
ulama juga dibirokratisasi melalui pembentukan agensi-agensi pemerintah yang berkaitan
dengan penelitian agama, pendidikan perempuan, urusan masjid dan yayasan keagamaan.
Reformasi ini, modernisasi dan birokratisasi menurut Yassini, berdampak pada berkurangnya
peran ulama atau agama dalam ruang publik serta, birokratisasi ulama menjadikan ulama
berada di dalam kontrol kuasa kerajaan Saudi10. Sejak reformasi tersebut peran ulama yang
berada di kontrol kekuasaan membenarkan tesis dari Gibreel Gibreel mengenai peran ulama
di Saudi sebagai pemberi legitimasi atas kebijakan-kebijakan pemerintah.
Tahun 1971 pemerintahan Saudi membentuk Dewan Ulama Senior berfungsi sebagai
lembaga konsultatif antara pemerintah dengan ulama. Lembaga ini dipimpin oleh seorang
mufti besar yang telah ditunjuk oleh pemerintah Saudi. Kedua lembaga ini melakukan
pertemuan rutin setiap minggu. Dalam isu-isu tertentu pemerintah biasanya meminta
persetujuan atau sanksi publik dari para ulama senior tersebut 11 . dalam perjalanannya,
lembaga ini menjadi sarana konsolidasi publik kerajaan untuk mendukung aktifitas
pemerintah. Menurut Madawi Rasheed, para ulama di Saudi, khususnya ulama senior,
memiliki tiga mekanisme dalam mendukung konsolidasi politik pemerintah yaitu, Hijrah,
Takfir dan Jihad. Konsep hijrah ini digunakan untuk membuat garis pemisah antara negara
Islam Saudi dan negara lain. pada Pada abad 18 wilayah Saudi lah yang dianggap sebagai
Anthony B. Toth. 2008. Saudi Arabia. Microsoft® Student 2009 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft
Corporation,.
8
David Commins. 2006. The Wahhabi Mission and Saudi Arabia. London: I.B.Tauris & Co Ltd, Hal:
42
9
Ibid, hal: 45
10
Ibid, hal: 106
11
Global Security. Council of Senior Ulama. http://www.globalsecurity.org/military/world/gulf/saulama.htm, 13/11/2013
7
tempat yang paling tepat untuk berhijrah dibandingkan provinsi-provinsi lain dibawah
kekuasaan Usmani yang sudah sesat12.
Metode kedua untuk mengokohkan kedudukan stabilitas politik di Saudi adalah
dengan melalui takfir atau penyesatan kepada orang-orang muslim yang berbeda dengan
pendapat resmi yang dikeluarkan oleh para ulama Saudi baik dalam perkara aqidah dan
ibadah ataupun sosial dan politik. Orang-orang atau kelompok yang telah disematkan label
kafir atasnya maka, pemerintah wajib untuk mengajak orang tersebut bertaubat jika tidak
maka, wajib atasnya untuk dibunuh atau diperangi. Sikap ini telah diperlihatkan oleh
Muhammad ibn Abdul Wahhab ketika mengkafirkan masyarakat Muslim dibawah kekuasaan
Usmani yang kemudian menjadi justifikasi bagi kelompok Abdul Wahhab dan Ibnu Saud
untuk memerangi mereka. Cara ketiga koalisi Saudi-Wahhabi untuk mengokohkan posisi
politiknya adalah melalui Jihad atau memerangi orang-orang kafir. Praktek ini sering
didengung-dengungkan oleh ulama Saudi utamanya pada masa-masa pembentukan dan
ekspansi kekuasaan Saudi.13
Ketiga poin tersebut menurut Rasheed, meski mengatasnamakan terminology Islam
namun kosong dari makna Islam karena telah berubah menjadi senjata politik (political
weapon) untuk mengkonsolidasikan kerajaan dan ulama sebagai penjaga moralnya. 14
Sebenarnya tidak semua ulama di Saudi menjadi pendukung setia pemerintahan
Saudi. ulama yang dimaksud hanyalah yang tergabung dalam Dewan Ulama Senior dan
Mufti. Ada banyak ulama independent, dikampus, atau imam yang memiliki pandangan
berbeda dengan ulama Senior dan bahkan sering mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah
namun, mereka biasanya diintimidasi, ditangkapi atau dipenjara begitupun juga nasib
kelompok-kelompok oposisi yang lain.
c.
Beberapa Kasus
Terdapat beberapa kasus yang memperlihatkan pentingnya peran ulama senior di
Arab Saudi dalam mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah. Diantaranya, kasus
pendudukan masjidil haram oleh kelompok salafi tahun 1979. Peristiwa perang teluk 1990
dan munculnya kritik dari para tokoh dan ulama di internal Saudi di era perang teluk atau
pasca perang teluk.
1.
Pengepungan Masjidil Haram 1979
Tahun 1979 kelompok oposisi yang mengatas namakan diri sebagai al-Jama`a alSalafiyyah al-Muhtasib dipimpin oleh Juhayman al-Utaybi bersama Muhammad ibn Abdullah
al-Qahtani mengepung masjidil haram di Makkah selama tiga minggu dan menyandera sekitar
130 orang yang sedang beribadah. Gerakan ini muncul sebagai respon terhadap kebijakan
modernisasi pemerintah Saudi seperti pengadopsian teknologi baru di Saudi. Pada pernyatan
sikap yang disampaikan pada saat penyanderaan masjid, kelompok ini menyerukan untuk
menghapus pengaruh budaya barat dan memutus hubungan kepada negara-negara barat yang
telah mengeksploitasi negara Saudi. Para ulama juga dianggap gagal untuk mengoreksi
kebijakan-kebijakan pemerintah yang menentang Islam oleh karenanya, menurut mereka,
kerajaan Monarki Saudi harus dijatuhkan dan diganti dengan pemerintahan Islam yang benar
dan lurus 15 . Ulama juga dianggap telah dibeli oleh Penguasa Saudi untuk mendukung
kerajaan. Syekh Abdul Aziz bin Baz, mufti besar Saudi, dianggap sebagai alat manipulasi
Madawi Rasheed. 2007. Contesting the Saudi State: Islamic Voices from a New Generation. New
York: Cambridge University Press, Hal: 34-37
13
Ibid, hal: 37-42
14
ibid, Hal: 45
12
keluarga kerajaan yang korup16. Sebagai pemimpin gerakan Salafiyyah, Juhayman menolak
pendapat para ulama Wahhabi yang mengharamkan menjatuhkan pemerintah yang sah selama
belum kufur dan melarang pelaksanaan ajaran Islam. Juhayman menganggap tidak ada negeri
Islam yang betul-betul menjalankan pemerintahan Islam sebenar-benarnya karena telah
mengadopsi sistem-sistem pemerintahan asing. Kelompok ini akhirnya bisa ditumpas setelah
Saudi mendapatkan bantuan dari 100.000 tentara Pakistan dan bantuan intelijen dari
pemerintah Perancis, Amerika dan Jerman. Juhayman dieksekusi mati dan al-Qahtani
meninggal dalam peperangan.
Yang penting dalam peristiwa ini adalah, tindakan keras pemerintah terhadap para
“pemberontak” baru diambil setelah raja Khalid meminta fatwa dari dewan ulama senior dan
fatwa tersebut keluar dan mendukung untuk bertindak tegas pada kelompok salafi tersebut .
Dalam fatwa yang diputuskan tahun 1979 tertulis:
“…..On Tuesday, His Majesty King Khalid ibn 'Abd al-'Aziz al-Sa'ud called
us, the undersigned, and we met in his majesty's office in al-Ma'dhar. He
informed us that at dawn that day…. We told him that it is incumbent to call
on them to surrender and lay down their arms. If they did, their surrender
would be accepted and they would be imprisoned until their case was
considered according to the Sharia. If they refused, all measures would be
taken to seize them and to kill those who were not arrested or had not
surrendered”17.
2.
Perang Teluk 1990
Pada saat terjadinya Invasi Irak terhadap Kuwait, Raja Fahd merasa khawatir bahwa
ekspansi Irak akan berlanjut ke Saudi setelah Kuwait ditaklukkan. Raja Fahd juga khawatir
untuk meminta bantuan dari Amerika Serikat karena akan menjatuhkan citranya sebagai
Khadimul Haramain (penjaga dua kota suci) jika memanggil tentara kafir untuk datang ke
Arab Saudi. Bahkan saat pertama kali AS menawarkan bantuan keamanan ke Saudi para
ulama dan masyarakat domestik menolak rencana tersebut. Setelah diskusi yang panjang
akhirnya mufti besar yang saat itu dipegang oleh Abdul Aziz bin Baz dan para ulama dalam
dewan senior ulama bersepakat untuk mendukung kebijakan pemerintah dengan syarat-syarat
yang ketat bagi pasukan asing tersebut seperti, harus menghormati tradisi kerajaan, harus
segera meninggalkan Saudi jika tidak dibutuhkan lagi dan harus tunduk pada polisi agama atau
Komite amar ma`ruf nahi munkar. Berikut kutipan singkat fatwa dewan ulama senior:
“ Dengan segala kemungkinan, Dewan ulama senior mendukung tindakan yang
diambil oleh pemerintah, semoga Allah menganugerahinya kesuksesan;
mempersiapkan kekuatan yang dilengkapi dengan perlengkapan yang bisa
menggentarkan dan menimbulkan rasa takut bagi siapa saja yang ingin
menyerang negeri Ini. kewajiban ini dituntut oleh kondisi tertentu dan menjadi
tak terelakkan karena situasi yang sangat menyakitkan tersebut. Dasar hukum dan
fakta menuntut bahwa yang memegang urusan kaum muslimin harus mencari
bantuan kepada yang lain yang mampu untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hal
ini telah diperintahkan dalam quran dan sunnah agar bersiap siaga sebelum
terlambat”18.
Fatwa ini menjadi pendukung kebijakan pemerintah Saudi untuk memberikan
kebebasan kepada militer Amerika Serikat untuk membuat pangkalan militer di wilayah
kerajaan. Kebijakan pemerintah Saudi yang didukung oleh fatwa ulama menimbulkan
Joseph A. Kechichian. 1986. The Role of the Ulama in the Politics of an Islamic State: The Case of
Saudi Arabia. International Journal of Middle East Studies, Vol. 18, No. 1, Hal 59
17
Ibid, hal 66-67
18
Charles Kurzman. Pro-U.S. Fatwas. Global Middle East Policy, Vol. X, No. 3, Fall 2003, Hal: 157
16
kemarahan di kalangan kelompok mujahidin al-Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin
Laden. Kemarahan ini menjadi sebab dari deklarasi Kecaman dan Tokoh-tokoh Islam
perang al-Qaeda terhadap Amerika dan kerajaan Saudi tahun 1996 untuk mengusir
Pendudukan Amerika di dua kota suci. 19 Kritik juga muncul dari banyak tokoh-tokoh
ulama yang menganggap Arab Saudi telah menguasai rumah Islam. para tokoh tersebut
mengingatkan dengan mengirim surat ke Dewan Ulama Senior dan Institusi fatwa dan
penelitian bahwa musuh yang lebih besar bukan Saddam tapi Amerika dan negara barat20.
3.
The age of petitions
Setelah Perang Teluk berlangsung, tahun 1991 terjadi kegoncangan ekonomi di
internal kerajaan Saudi sebagai dampak dari Perang Teluk dan mengakibatkan munculnya
ketidakpuasan terhadap pemerintah. Legitimasi penguasa dihadapan sebagian ulama juga
berkurang akibat aliansi Saudi dan Amerika Serikat dalam Perang Teluk.
Pada saat yang sama, di kubu kelompok islam muncul petisi yang ditujukan ke
pemerintah, Khitab al-Mathalib, yang ditandatangani sekitar 52 petinggi ulama terhadap
pemerintah Saudi yang berisi tuntutan-tuntutan kepada pemerintah untuk lebih taat pada
aturan syariah seperti, bidang kehakiman, angkatan bersenjatan, ekonomi, sosial dan
administrasi publik. Juga, meminta pemerintah untuk mencabut kebijakan pembatasan
terhadap para ulama, khatib dan ilmuwan. Surat tuntutan tersebut juga disebarkan ke publik
baik domestik dan internasional. Tiga tokoh yang paling populer melakukan penyebaran opini
publik pembangkangan terhadap pemerintah adalah Safar Hawali, Salman al-Awdah, dan
`Aidh al-Qarni. Kaset-kaset ceramah mereka beredar di publik yang berisi kritik atas
kebijakan-kebijakan pemerintah. Safar Hawali dan Salman al-Awdah dikenal sebagai syekh
sahwa Islamiyyah (kebangkitan) simbol yang disematkan bagi ulama para pejuang
kebangkitan Islam (revivalis Islam) di Saudi.
Kemudian tahun 1992, Mudhakkirat al-Nasihah (memorandum of advice) yang
ditandatangani oleh 100 ulama dikirim ke Mufti abdul Aziz bin Baz sebagai nasehat kepada
pemerintah untuk menerapkan Islam secara lebih utuh. Dan pemberian kebebasan politik bagi
para ulama, sarjana, dan guru untuk menulis dan mencetak tulisan serta berceramah.
Pemberian kebebasan bagi ulama untuk berpartisipasi dalam setiap aktifitas pemerintahan
untuk memastikan penerapan syariah Islam; revisi kurikulum universitas, menghentikan
nepotisme, sensor terhadap produk-produk asing dsb21.
Akibat tekanan-tekanan dari kalangan oposisi Islam dan opini yang gencar yang
dibentuk di masyarakat pemerintah Saudi meminta dewan ulama senior mengeluarkan fatwa
mengecam para oposisi sebagai provokator pemecah kerajaan, melanggar aturan dengan
melakukan kritik publik yang lebih menonjolkan kekurangan kerajaan dibandingkan kebaikankebaikannya. Dewan juga mengecam ulama oposisi yang melanggar etika nasehat-menasehati
seperti yang telah dituntunkan oleh Islam. Sejak tahun 1992 hingga tahun 1994 pemerintah
sibuk melakukan stabiliasi opini publik dan mengawasi, mengintimidasi dan menahan
kalangan oposisi, mayoritas dari kalangan islamis, Syekh Safar Hawali dan Syekh Salman alAwdah ditahan tahun 1994 dan dilarang oleh fatwa mufti besar, Syekh bin Baz, untuk
mengajar, mengadakan pertemuan dan merekam ceramah. 22 Tokoh-tokoh Sahwa Islamiyyah
dibebaskan oleh rezim pada tahun 1999.
David Commins, op.cit,Hal: 187-188
James Wynbrand, Hal: 256
21
R. Hrair Dekmejian. 1994. The Rise of Political Islamism in Saudi Arabia. Middle East Journal, Vol.
48, No. 4,Hal: 633-634
22
James Wynbrandt, op.cit, Hal: 263
19
20
4.
Kontraterorisme dan Arab Spring
Peristiwa teror yang menimpa Amerika Serikat tahun 2001 juga menimpa kerajaan Arab
Saudi. sejak tahun 1995 telah terjadi serangan teror di Arab Saudi. Osama bin Laden
dianggap sebagai aktor utama di balik serangan tersebut. Serangan teror yang terjadi secara
massif di Saudi dimulai tahun 2003 oleh kelompok al-Qaeda di Jazirah Arab yang dipimpin
oleh Yusuf al-Uyayri 23 . Serangan teror tersebut diarahkan pada fasilitas-fasilitas asing,
warga-warga asing, fihak keamanan dan pemerintahan Saudi, pengeboman konsulat Amerika,
ledakan bom mobil, penembakan mati pekerja asing 24 . Tahun 2008 al-Qaeda di Saudi
berhasil diberantas, pemimpin-pemimpinnya berhasil ditembak mati, Yusuf al-Uyayri, Turki
al-Dandani dan Ahmad al-Dukhayy. 25 Sekitar 9.000 orang telah ditahan atas tuduhan
terindikasi terlibat dalam gerakan teror dalam operasi kontraterorisme antara tahun 2003-2007
26
.
Kesuksesan program-program kontraterorisme yang dibuat oleh pemerintah Saudi
juga tak lepas dari dukungan dewan ulama senior dan mufti. Fatwa menjadi alat untuk
mengontrol opini publik mengenai ketidakabsahan tindakan teror dan sesatnya para pelaku
teror tersebut sehingga tindakan-tindakan pemerintah mendapatkan legalitas secara religius
untuk memberantas terorisme.
Sejak peristiwa 9/11 tahun 2001 mufti dan dewan ulama senior telah mengeluarkan
fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat mengenai respon ulama terhadap aktifitas terorisme.
Dewan Senior Ulama telah mengeluarkan fatwa mengenai respon terhadap terorisme
sebanyak dua kali yaitu pada tahun 2003 dan tahun 2010. Fatwa pertama dikeluarkan tanggal
11 Februari 2003 sebagai respon terhadap serangan massif yang dilakukan oleh al-Qaeda di
internal negara Saudi. Fatwa tersebut menyatakan bahwa penumpahan darah orang-orang
yang tak berdosa, pengeboman bangunan dan kapal laut, penghancuran instalasi publik dan
privat adalah tindakan kriminal dan bertentangan dengan Islam. dan mengharuskan bagi yang
memiliki pemahaman dan ideologi yang menyimpang untuk bertanggung jawab atas tindakan
kriminalnya tersebut. Fatwa tersebut juga memberikan dukungan yang besar bagi otoritas
pemerintah Saudi untuk mengusir atau membasi terorisme sampai ke akar-akarnya, dan
mengajak bagi semua masyarakat untuk bekerjasama dengan pemerintah untuk melawan
terorisme dan memperingatkan untuk tidak menyediakan dukungan, perlindungan bagi para
teroris dan jaringannya. Serta, dewan ulama senior mengecam segala fatwa yang
menjustifikasi segala aksi teror terhadap kaum Muslim sebagai tindakan jihad. Siapa saja
mengeluarkan fatwa tersebut, menurut Dewan Senior, maka harus dibawa ke pengadilan atau
dihukum27.
Kemudian Dewan ulama senior tahun 2010 mengeluarkan fatwa lagi mengenai
pendanaan untuk terrorisme, Fatwa on terror financing, May 7, 2010. Fatwa tersebut
menyatakan bahwa membantu pendanaan terror, insepsi, membantu, atau mencoba untuk
melakukan tindak terrorisme atau apa bentuk atau dimensinya yang berkaitan dengan itu
dilarang oleh syariah bisa dikenai hukuman kriminal. Termasuk juga, proses mengumpulkan
dan menyediakan dana, atau berpartisipasi dalam berbagai bentuk termasuk finansial dan nonfinansial ases tanpa memandang asalnya legal atau illegal28.
Thomas Hegghammer. 2010. Jihad in Saudi Arabia: Violence and Pan-Islamism since 1979.
Cambridge: Cambridge University Press, hal: 200
24
James Wynbrandt, op.cit, Hal: 283
25
Thomas Hegghammer, op.cit, hal: 202
26
Amnesty International. 2011. Saudi Arabia Repression in the Name of Security. London: Amnesty
Internasional, hal: 18
27
Saudi Press Agency.2003. 17th August 2003 - Statement by Senior Ulema Commission condemns
terrorism. www.saudinf.com/display_news.php?id=910 diakses 13/11/2013
28
Saudi Embassy. 2010. Council of Senior Ulema Fatwa on terror-financing.
(http://www.saudiembassy.net/announcement/announcement05071001.aspx). diakses 13/11/2013
23
Kebijakan kontraterrorisme pemerintah Saudi yang didukung oleh para ulama
memperoleh banyak kritik dari para tokoh dan ulama seperti, Dr. Sa`id al- Zu`air, Professor di
Universitas Imam Muhammad dan Imam di Masjid Riyadh. al-Zu`air yang pernah dipenjara
tahun 1995 kemudian bebas tahun 2003 ditangkap kembali oleh pemerintah Saudi tahun 2007
setelah dianggap menyatakan dukungannya terhadap aksi teror di Riyadh serta mengkritik
kebijakan kontraterorisme pemerintah Saudi dalam sebuah wawancara dengan TV AlJazeera29. Kemudian, Syekh Ali al-Khudhair, Syekh Ahmed al-Khalidi dan Syekh Nasser alFahad adalah tiga ulama yang menolak kebijakan kontraterorisme pemerintah. Tahun 2003,
ketika pemerintah merilis 19 buronan terroris, ketiga ulama tersebut membuat pernyataan
bersama yang menolak pengumuman pemerintah tersebut dan memfatwakan melarang setiap
orang untuk membantu pemerintah mencari 19 orang tersebut baik melalui poster, melaporkan
keberadaan, atau berusaha untuk mencari mereka. Para ulama itu beralasan bahwa pemerintah
Saudi mengeluarkan data tersebut dibawah dukungan program war on terror pemerintah
Amerika Serikat sehingga mendukung pemerintah Saudi sama saja dengan mendukung
Amerika Serikat. Setelah mengeluarkan pernyataan tersebut, ketiga ulama ini akhirnya
ditangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah Saudi. 30
Sejak tahun 2003 hingga masa revolusi Dunia Arab, Banyak tokoh-tokoh, ilmuwan
dan ulama yang ditangkapi oleh pemerintah dengan alasan-alasan kontraterrrorisme. Mereka
itu secara umum menentang berbagai kebijakan pemerintah Saudi baik dalam
kontraterrorisme, penentangan terhadap kerjasama Saudi dan Amerika ataupun tuntutan
reformasi terhadap pemerintah Arab Saudi. Mereka itu antara lain, Dr. Sa’ud Mukhtar alHashimi, Dr. Musa al-Qarni and Dr. Suleiman al-Rushoodi, Ali al-Demaini, Dr. Matrouk alFaleh, Dr. Abdullah al-Hamed, Syekh Khalid al-Rashed dan Dr. Bisher Fahad al-Bisher.
5. Arab Spring di Kerajaan Saudi
Revolusi Dunia Arab tahun 2011 yang berawal dari Tunisia kemudian menjalar ke
Mesir, Libya, Bahrain, Yaman dan negara-negara lainnya di Timur Tengah juga berdampak
pada kerajaan Arab Saudi. Tuntutan-tuntutan reformasi juga menjadi marak pada tahun 2011
tersebut dari aktifis-aktifis pro-reformasi yang menuntut reformasi konstitusional, dialog
nasional, pengadaan pemilu dan memberikan hak partisipasi politik bagi wanita. Serta
mengkritik birokrasi pemerintah yang tidak efisien, fanatisme beragama, dan kesenjangan
sosial antara negara dan rakyat. Mereka yang terlibat antara lain dalam kalangan aktifis,
akademisi, pebisnis dan ulama. 31
Untuk merespon permasalahan munculnya protes secara internal di negara Saudi,
Pemerintah Saudi membuat beberapa kebijakan untuk menghentikan aksi-aksi dan
mengembalikan stabilititas diantaranya. Tindakan keras bagi para demonstran, penambahan
bantuan sosial bagi masyarakat, dan menjanjikan pemberian hak perempuan dalam politik32.
Pada saat gencarnya seruan-seruan untuk melakukan demonstrasi di Saudi, pada 6
Maret 2011, dewan ulama senior mengeluarkan fatwa yang menentang protes-protes yang
dilakukan oleh masyarakat. Isi fatwa tersebut menyatakan dukungan terhadap keamanan dan
stabilitas di dalam kerajaan Arab Saudi yang merupakan kepimpinan yang sah, diakui dalam
Islam dan telah diridhoi oleh Allah Swt karena keteguhan penguasa untuk menjaga Islam dan
Steven Stalinsky. 2011. American-Yemeni Al-Qaeda Cleric Anwar Al-Awlaki Highlights the Role
and Importance of Media Jihad, Praises Al-Jazeera TV Journalists and WikiLeaks. Inquiry & Analysis
Series Report No. 677, http://www.memri.org/report/en/print5096.htm , diakses 15/11/2013
30
Ihrc . 2011. Saudi Arabia’s Political Prisoners: Towards a Third Decade of Silence 1990, 2000,
2010. Wembley: Islamic Human Rights Commission, hal: 6
31
Ahmed Al Omran. Saudi Arabia: A new mobilisation, dalam ECFR. 2014. What does The gulf
think about the arab Awakening?. London: European Council on Foreign Relations (ECFR), hal: 6-7
32
Devin Entrikin, Amy Grinsfelder, dkk. 2011. The Arab Spring in the Arabian Peninsula.
http://saudirevolt.files.wordpress.com/2011/12/saudi-group-final-paper.pdf,diakses 13/11/2013, hal:25
29
dua kota suci. oleh karena itu, tidak ada yang mampu untuk memecah belahnya dari
kelompok manapun, bahkan kelompok-kelompok asing33.
Dewan ulama senior menyerukan kepada semua masyarakat untuk menjaga keutuhan
dan kesatuan dalam masyarakat dan bersama-sama menentang segala yang bertentangan
dengan hal tersebut seperti, ketidakadilan, penindasan, dan kebencian terhadap kebenaran.
Ulama senior mengajak untuk saling nasehat-menasehati, saling memahami dan bekerjasama
dalam kebenaran dan kesalehan dan mencegah dalam kejahatan dan kebencian. Dan selama
penguasa Saudi masih berlandaskan al-Quran dan Sunnah maka wajib ditaati dan tidak boleh
melakukan demonstrasi untuk menuntut perbaikan karena bisa menimbulkan kerusuhan dan
perpecahan umat. Sikap ini, menurut fatwa tersebut, adalah bentuk dari ketaatan terhadap
mazhab/tradisi para pendahulu/ salafus sholeh dan para pengikut mereka dari dulu hingga
sekarang. Fatwa ini kemudian diperintahkan untuk dicetak sebanyak 1,5 juta kopi untuk
disebarkan ke masjid-masjid dan masyarakat, juga disebarkan lewat media-media online34.
Media-media lokal juga memuat fatwa tersebut untuk memperkuat dukungan terhadap
penyebaran fatwa tersebut.
Dampak dari fatwa-fatwa yang dibuat oleh ulama tersebut mendeligitimasi segala
demonstrasi yang dibuat oleh masyarakat Saudi. Dan memberikan legitimasi kepada
pemerintah untuk bertindak sesukanya untuk mengendalikan suasana baik represi, penahanan
ataupun pembunuhan.
Laporan Komisi HAM Islam (Commission of Islamic Human
Right) tahun 2011, menuliskan sekitar 5.000 tambahan tahanan politik di penjara-penjara
Saudi yang dikutip dari data pemerintah. Sementara yang dicatat oleh para pengacara/pakar
hukum dan aktifis HAM sekitar 7.000 orang tahanan politik yang menambah jumlah tahanan
menjadi sekitar 30.000 orang di negara tersebut. 35 Sementara yang tewas karena ditembak
oleh pihak keamanan sejak tahun 2011 hingga 2012 sebanyak 22 orang yang mayoritasnya
adalah anak-anak muda dibawah usia 20 tahun36.
Sikap dari dewan ulama senior, mufti dan pemerintah banyak dikritik oleh tokohtokoh dan ulama non pemerintah. Diantaranya adalah figure ulama sahwa islamiyyah Syekh
Dr. Salman al-Awdah. Di tengah-tengah terjadinya protes di Saudi Arabia, dia membuat surat
terbuka kepada pemerintah melalui Twitternya yang diikuti oleh 2,4 juta followers. Disitu ia
menggambarkan suasana stagnan yang menurut dia disebabkan oleh kurangnya perumahan,
masalah pengangguran, kemiskinan, korupsi, sistem pendidikan dan kesehatan yang buruk,
nasib buruk tahanan dan ketiadaan prospek reformasi politik. Al-Awdah memperingatkan,
jika revolusi ditindas, aksi demonstrasi akan berubah menjadi aksi bersenjata, dan jika para
aktifis demonstran diabaikan maka mereka akan meluas dan menyebar. Penyelesaiannya
adalah keputusan bijaksana dan tepat pada waktunya untuk menghindari percikan
kerusuhan37.
Tokoh-tokoh ulama lain yang juga ikut mengkritisi pemerintah dan tidak ikut
menentang para demonstran adalah Seperti, Syekh Sulaiman al-Duwaish, yang menggunakan
Asharq al-Awsat. 2011. A fatwa from the Council of Senior Scholars in the Kingdom of Saudi Arabia
warning against mass demonstrations Fatwa.
http://islamopediaonline.org/fatwa/fatwa-councilsenior-scholars-kingdom-saudi-arabia-warning-against-mass-demonstrations, Diakses 13/11/2013
34
The Guardian. 2011. Saudi Arabia prints 1.5m copies of religious edict banning protests..
http://www.guardian.co.uk/world/2011/mar/29/saudi-arabia-edict-banning-protests.
diakses
13/11/2012
35
Ihrc . 2011. Saudi Arabia’s Political Prisoners: Towards a Third Decade of Silence 1990, 2000,
2010. Wembley: Islamic Human Rights Commission, hal: 11
36
______,2011–13
Saudi
Arabian
protests.
http://en.wikipedia.org/wiki/2011%E2%80%9313_Saudi_Arabian_protests#cite_note
ThReut_LaessingDeported-170 diakses 13/11/2013
37
Inilah. 2013. Ulama Arab Saudi keluarkan peringatan langka soal reformasi.
http://m.inilah.com/read/detail/1947868/ulama-arab-saudi-resah-akibat-kebijakan-raja.diakses
13/11/2013
33
youtube untuk mengkritisi pemerintah yang dianggap tidak Islami dan korup. Problem ini
menurutnya, menjadi pemicu dari meningkatnya pembangkangan dan kerusuhan secara
meluas di Masyarakat Saudi. al-Duwaish akhirnya ditahan oleh pemerintah bulan juni 2011.
Ulama yang lain, Dr. Yusuf al-Ahmad, terkenal dengan fatwa kontroversialnya yang
mengharamkan perempuan untuk bekerja sebagai pilot pesawat dan seruannya untuk
membangun kembali masjid al-Haram di Makkah dengan konsep laki-laki dan perempuan
terpisah. Dia mengunggah video ceramahnya di youtube yang mengkritisi berbagai kebijakan
pemerintah, menuntut keadilan bagi para tahanan politik, dan mengecam penahanan massal
yang dilakukan oleh pemerintah terhadap para demonstran laki-laki ataupun perempuan.
Setelah tiga videonya diunggah di youtube, akhirnya dia ditahan tanggal 8 Juli 201138.
Kesimpulan
Dalam kasus-kasus yang terjadi sejak tahun 1979 hingga Arab Spring 2011. Ulama
memperlihatkan peran yang sangat penting dalam memberikan dukungan terhadap penguasa
Saudi dalam kebijakan-kebijakan yang akan dibuat. Ulama Senior bertugas membuat fatwa
yang fatwa itu berfungsi melegitimasi setiap kebijakan Saudi dan menstabilkan opini publik
serta menyingkirkan suara-suara yang bertentangan dengan fatwa ulama senior.
Pada masa perang teluk dan setelahnya, banyak ulama non-pemerintah yang mengkritisi sikap
kerajaan Saudi yang bekerjasama dengan negara kafir barat dan mengkritisi buruknya
penerapan Islam di Saudi. Namun, kritik tersebut tidak merubah sikap pemerintah dan mufti
atau ulama terhadap kebijakan yang telah dibuat. Bahkan para tokoh yang kritis tersebut
ditangkapi dan diintimidasi atas tuduhan melanggar syariah dengan mengkritisi pemerintah
terang-terangan.
Politik fatwa juga diterapkan dalam kasus-kasus terakhir, kontraterorisme dan Revolusi dunia
arab. Setelah keluarnya fatwa ulama mengenai kontraterorisme. Pemerintah gampang saja
menuduh dan menangkap siapa saja yang dianggap teroris dan mendukung aktifitas terorisme.
Banyak tokoh yang ditangkap hanya karena mengkritisi kebijakan pemerintah Saudi dalam
kontraterorisme. Disisi lain, ribuan orang ditangkap hanya karena diperkirakan terlibat dalam
terorisme atau memiliki pemikiran radikal. Pada peristiwa revolusi dunia arab. Fatwa ulama
memberikan kekuatan bagi pemerintah untuk menangkap atau bahkan membunuh para
demonstran.
Kasus-kasus yang pernah terjadi dalam kerajaan Saudi memperlihatkan peran besar ulama
dalam setiap kebijakan-kebijakan pemerintah. Namun, peran ulama tersebut tidak langsung
dalam merumuskan kebijakan yang diambil. Ulama hanya menjadi pendukung setiap
kebijakan pemerintah dengan fatwa yang dibuatnya. Posisi ulama ini sangat rentan
dimanipulasi atau diperalat oleh pemerintah. Terbukti, banyak kebijakan-kebijakan Saudi
yang didukung oleh ulama dikritik oleh tokoh-tokoh ulama sendiri di internal kerajaan Saudi.
Daftar pustaka
ECFR. 2014. What does The gulf think about the arab Awakening?. London: European Council on
Foreign Relations (ECFR)
Feldman, Noah. 2008. The fall and rise of the Islamic state. New Jersey: Princeton University Press
Hegghammer, Thomas. 2010. Jihad in Saudi Arabia: Violence and Pan-Islamism since 1979.
Cambridge: Cambridge University Press
Hatina, Meir. 2010. ʿUlamaʾ , Politics, and the Public Sphere An Egyptian Perspective. Salt Lake City:
The University of Utah Press
38
IHRC . opcit. Hal: 10
International, Amnesty. 2011. Saudi Arabia Repression in the Name of Security. London: Amnesty
Internasional
IHRC . 2011. Saudi Arabia’s Political Prisoners: Towards a Third Decade of Silence 1990, 2000,
2010. Wembley: Islamic Human Rights Commission
Jones, Toby Craig. 2011. Saudi Arabia Versus the Arab Spring, Raritan: quarterly review
Marines, Alejandra Galindo .2001. The relationship between the ulama and the government in the
contemporary Saudi Arabian Kingdom: an interdependent relationship?. Durham theses:
Durham University
Toth, Anthony B. 2008. Saudi Arabia. Microsoft® Student 2009 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft
Corporation,.
Wynbrandt, James. 2004. A brief history of Saudi Arabia. New York: Facts On File, Inc
Asharq al-Awsat. 2011. A fatwa from the Council of Senior Scholars in the Kingdom of Saudi Arabia
warning against mass demonstrations Fatwa.
http://islamopediaonline.org/fatwa/fatwacouncil-senior-scholars-kingdom-saudi-arabia-warning-against-mass-demonstrations, Diakses
13/11/2013
Al-Otaibi, Abdullah. 2013. 30 stars join the Shura Council: Surprise decision admits women to
institution for first time. http://www.aawsat.net/2013/01/article55239131c. Diakses 13/11/2013
______,
2011–13
Saudi
Arabian
protests.
http://en.wikipedia.org/wiki/2011%E2%80%9313_Saudi_Arabian_protests#cite_noteThReut_LaessingDeported-170 diakses 21/05/2013
Entrikin, Devin, Amy Grinsfelder, dkk. 2011. The Arab Spring in the Arabian Peninsula.
http://saudirevolt.files.wordpress.com/2011/12/saudi-group-final-paper.pdf,diakses 13/11/2013
Global Security. Council of Senior Ulama. http://www.globalsecurity.org/military/world/gulf/saulama.htm, Diakses 13/11/2013
Haykel, Bernard. 2011. Saudi Arabia vs. the Arab Spring.
http://www.project-syndicate.org/commentary/saudi-arabia-vs--the-arab-spring. Diakses 15/05/2013
Inilah.
2013. Ulama Arab Saudi keluarkan peringatan langka soal reformasi.
http://m.inilah.com/read/detail/1947868/ulama-arab-saudi-resah-akibat-kebijakan-raja.diakses
23/05/2013
Saudi Press Agency.2003. 17th August 2003 - Statement by Senior Ulema Commission condemns
terrorism. www.saudinf.com/display_news.php?id=910 diakses 13/11/2013
Saudi
Embassy.
2010.
Council
of
Senior
Ulema
Fatwa
on
terror-financing.
(http://www.saudiembassy.net/announcement/announcement05071001.aspx).
diakses
13/11/2013
Stalinsky, Steven. 2011. American-Yemeni Al-Qaeda Cleric Anwar Al-Awlaki Highlights the Role and
Importance of Media Jihad, Praises Al-Jazeera TV Journalists and WikiLeaks. Inquiry &
Analysis Series Report No. 677, http://www.memri.org/report/en/print5096.htm , diakses
15/05/2013
The Guardian. 2011. Saudi Arabia prints 1.5m copies of religious edict banning protests..
http://www.guardian.co.uk/world/2011/mar/29/saudi-arabia-edict-banning-protests. diakses
15/11/2013