Fenomena Pengemis di Kota Yogyakarta

Fenomena Pengemis di Kota Jogjakarta
M. Zainul Asror – PSdK UGM
A. Pendahuluan
Setiap masyarakat tentu menghendaki satu kondisi kehidupan yang aman, tentram dan
damai, terpenuhinya berbagai kebutuhan hidup serta terhindar dari segala bentuk problem yang
bisa menggangu keadaan stabil masyarakat tersebut. Kondisi itu lazim dimaknai dengan kata
sejahtera. Tidak ada definisi khusus untuk menjelaskan kata sejahtera karena gambaran sejahtera
sangat objektif, tergantung dari perspektif yang dirasakan oleh individu sebagai satuan terkecil
dalam masyarakat. Satu hal yang pasti bahwa sejahtera itu adalah kondisi yang menjadi harapan
semua komponen masyarakat. Namun untuk mewujudkan sebuah kesejahteraan maka prioritas
utama adalah menyelesaikan masalah sosial yang menjadi hambatannya.
Soetomo dalam bukunya menjelaskankan1:
“Kehidupan masyarakat yang sejahtera merupakan kondisi ideal dan menjadi dambaan
setiap warga masyarakat. Oleh sebab itu wajar apabila berbagai upaya dilakukan untuk
mewujudkannya. Di samping itu berbagai upaya dilakukan untuk menghilangkan atau
minimal mengantisipasi dan mengeliminasi faktor-faktor yang menghalangi pencapaian
kondisi ideal tersebut. Fenomena yang disebut sebagai masalah sosial dianggap sebagai
kondisi yang dapan menghambat perwujudan kesejahteraan sosial”.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------Dalam kehidupan masyarakat baik secara sadar atau tidak sadar banyak sekali masalahmasalah sosial yang timbul sebagai hasil dari proses interaksi sosial antar semua komponen
masyarakat. Sebagian mungkin tidak akan memiliki dampak yang signifikan terhadap
masyarakat itu sendiri karena terhitung dalam ukuran kecil dan masih dalam intensitas yang

rendah. Namun sebagian masalah-masalah sosial akan sangat berdampak besar terhadap pola
hubungan dan sistem dalam masyarakat yang telah berjalan secara harmonis.
Mengambil salah satu contoh kasus masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat, di
Yogyakarta dalam tampak beberapa bulan terakhir jumlah pengemis belum juga menurun.
Walaupun sebelumnya pada tahun 2013 lalu, Pemerintah Provinsi DIY di media melalui Kepala
Bidang Polisi Pamong Praja dan Pembinaan Masyarakat Dinas Ketertiban mengklaim bahwa
1 Soetomo : Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya, 2008, Pustaka Pelajar

1

jumlah pengemis cenderung turun2. Namun yang terlihat justru jumlah pengemis semakin
meningkat. Secara riil para pengemis masih sering kita jumpai di beberapa tempat misalnya di
Jalan Malioboro, Jalan Ahmad Yani, Jalan Kaliurang dan Kawasan Masjid Kampus UGM,
bahkan ada juga mereka yang berkeliaran masuk di dalam Kampus UGM.
Dalam menjalankan aksinya, masing-masing pengemis memiliki cara tersendiri. terlepas
dari yang memang mengalami difabilitas atau mempunyai cacat fisik. Mereka menggunakan
cara-cara berbeda untuk menarik simpati dari orang-orang. Secara umum penampilan mereka
berpakaian compang camping dan kumuh, tapi aksesoris yang mereka gunakan beragam. Mulai
dari menggunakan perban untuk membalut kaki kemudian dibubuhi dengan obat merah,
mengikat tangan ke leher seperti patah, menggunakan kursi roda, menggendong anak, bahkan

sampai ada juga yang membawa beberapa anak usia dibawah 4 tahun yang kemudian
digenggamkan gelas pelastik untuk ikut meminta-minta.
Mencoba menganalisa permasalahan ini secara lebih dalam, secara sepintas fenomena
pengemis ini seperti menampilkan wajah kemiskinan, marginal dan jauh dari sebutan sejahtera.
Namun anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar bahkan mungkin keliru samasekali. Orientasi
mengemis sekarang ini, terutama di Kota Yogyakarta, bukan lagi tentang usaha pemenuhan
kebutuhan dasar. Sangat jauh menyimpang dari itu mengemis telah menjadi sebuah profesi baru
yang sangat menjanjikan. Penghasilan yang diperoleh dari mengemis dari satu lokasi saja bisa
mencapai Rp.200.000/ hari3. Berita terakhir di Harian kedaulatan Rakyat, beberapa waktu yang
lalu polisi berhasil menemukan sindikat pengemis yang sering beroperasi di wilayah Sleman4.
Sebagai sebuah permasalahan sosial yang tidak lagi baru, fenomena pengemis di
Yogyakarta bukan lagi terkait dengan masalah kesejahteraan bahkan malah mengarah kepada
tindakan kriminal. Sehingga baik para pengemis ataupun yang memberi bisa dikenakan pidana
penjara atau denda. Hal itu sudah jelas tertuang dalam Peraturan Daerah DIY tentang
gelandangan dan pengemis (gepeng)5. Dengan mengacu kepada aturan hukum tersebut
pemerintah provinsi DIY terus berusaha untuk mensosialisasikan PERDA tersebut dan
2 http://www.antarayogya.com/berita/307241/jumlah-gelandangan-di-yogyakarta-cenderung-turun diakses pada
Sabtu 4 April 2015 pukul 7.15
3 http://jogja.solopos.com/baca/2013/12/03/penghasilan-pengemis-pengemis-di-jogja-raup-rp200-000-perhari470671 diakses pada Sabtu 4 April 2015 pukul 7.48
4 Harian Kedaulatan Rakyat Edisi Kamis 2 April 2015

5 PERDA DIY Nomor 1 Tahun 2014 tentang Gelandangan dan Pengemis

2

melakukan penertiban terhadap para gelandangan tersebut untuk kemudian dilakukan pendataan
serta diberikan pembinaan6.
B. Analisis Pendekatan System Blame Approach
Dalam usaha mengatasi dan menyelesaikan berbagai bentuk permasalahan sosial dalam
masyarakat ada tiga tahapan yang harus dilakukan yaitu tahap identifikasi, diagnosis, dan
treatment7. Proses identifikasi diperlukan untuk mengetahui bahwa di dalam masyarakat ada
terdapat masalah-masalah sosial. Pada tahapan diagnosis, kita mencoba memahami sebab-sebab
munculnya masalah sosial, berbagai faktor yang memiliki hubungan dengan masalah tersebut
sampai pada menemukan sumber masalah. Kemudian ketika sumber-sumber masalah telah
ditemukan melalui proses diagnosis barulah diadakan upaya ketiga yaitu penyembuhan atau
treatment.
Ketiga hal diatas merupakan kunci untuk menyelesaikan permasalahan sosial. Satu hal
yang tidak boleh terlupakan adalah pada tahap diagnosis ada dua pendekatan yang bisa
digunakan sebagai pisau analisis seperti yang dikemukakan oleh Eitzen (1987:12) pendekatan
personal blame approach dan system blame approach8. Dengan kedua pendekatan tersebut akan
membantu


menemukan sumber masalah

dan memberikan

gambaran

tentang

solusi

pemecahannya.
Dalam kasus masalah tentang pengemis di Kota Jogja akan kita coba urai dengan
pendekatan yang kedua, system blame approach . dimana hipotesis yang kita munculkan adalah
fenomena pengemis ini terjadi akibat kurang berfungsinya struktur sosial, institusi sosial,
maupun terganggunya fungsi dari berbagai elemen pada sistem sosial yang ada dalam
masyarakat. Karena masyarakat secara keseluruhan merupakan satu bentuk kesatuan sistem.
Dalam Teori Fungsional Struktural9, pada dasarnya masyarakat merupakan sebuah sistem
yang berjalan dengan pola keteraturan dan harmoni. Kehidupan masyarakat yang berjalan secara
teratur tidak lepas dari berfungsinya dengan baik setiap komponen yang ada dalam masyarakat.

Setiap komponen yang menjalankan fungsinya dengan tepat maka akan mempengaruhi
6 Harian Kedaulatan Rakyat Edisi Selasa 27 Januari 2015
7 Soetomo, Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya, Pustaka Pelajar Hal.29
8 _______Ibid Halaman 43
9 George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern Edisi ke-8 th 2012

3

komponen yang lain juga untuk bekerja sesuai tugasnya. Namun sebaik dan sesempurna apapun
sebuah sistem tentu mempunyai kelemahan yang pada satu waktu akan berpengaruh terhadap
perjalanan sistem tersebut.
Untuk membantu lebih memahami masalah sosial ini, kita akan coba menggunakan
variasi pendekatan berdasarkan unit analisisnya. Identifikasi terhadap fenomena pengemis di
Kota Jogja ini bisa digunakan pendekatan individual. Artinya bahwa mereka (pengemis) sebagai
penyandang masalah sosial yang menjadi objek kajian. Namun dalam langkah-langkah diagnosis
dan treatment-nya kita menggunakan pendekatan sistem, dimana sistem dan struktur masyarakat
sebagai sumber masalah sedangkan pengemis itu merupakan korban sistem yang tidak berfungsi
dengan baik.
Untuk diagnosis lebih mendalam dari pendekatan sistem ini, kita dapat meminjam
analisis Parsons untuk memahami sebuah sistem dalam masyarakat yaitu AGIL 10. Yaitu fungsi

Adaptasi, Pencapaian Tujuan, Integrasi, dan Fungsi Laten. Dalam masyarakat setiap fungsi
tersebut masing-masing dijalankan oleh pranata yang berbeda.
Fungsi adaptasi dijalankan oleh pranata ekonomi yang memegang peranan penting dalam
sistem tindakan yang mengatur penyesuaian kondisi lingkungan terhadap kebutuhan-kebutuhan
masyarakat. Fungsi Pencapaian tujuan dijalankan oleh pranata politik pemerintahan, dengan
mengatur dan mengoptimalkan berbagai sumberdaya untuk mencapai tujuan bersama. Fungsi
integrasi diperankan oleh lembaga hokum yang dijalankan oleh komunitas masyarakat dengan
mengatur prilaku-prilaku individu. Yang terakhir dan tidak kalah pentingnya adalah fungsi
latensi atau pemeliharaan dijalankan oleh sistem kepercayaan yang didalamnya terdapat
lembaga-lembaga agama, keluarga, sekolah dengan fungsinya untuk menanamkan nilai-nilai dan
norma yang berlaku dalam masyarakat.
Dari hasil analisa tersebut dapat kita temukan beberapa hal yang terkait dengan fenomena
pengemis di Kota Jogja, diantaranya:

10 AGIL singkatan dari (Adaptation, Goal Attainment, Integration, dan Latent Pattern) konsep ini digagas oleh
Talcott Parsons

4

1. Tidak berfungsinya dengan balik lembaga ekonomi sehingga perubahan sosial yang

terjadi membuat masyarakat tidak mampu menyesuaikan diri dan sebagiannya harus
tersingkir (marginal) menjadi pengemis.
2. Pengelolaan sumberdaya yang tidak optimal dalam pencapaian tujuan juga membawa
sumbangsih terhadap belum tercapainya pengentasan kemiskinan.
3. Lembaga hukum telah cukup tegas menjalankan fungsinya, terbukti PERDA DIY tentang
gelandangan dan pengamis dapat diterapkan dengan baik. Tapi karena fungsi sebelumnya
belum maksimal maka ini juga tidak bisa menyelesaikan masalah secara keseluruhan.
4. Fungsi penanaman nilai yang kurang kuat dalam masyarakat tidak mampu membendung
mentalitas masyarakat yang “tidak kenal malu” menjadi pengemis.
Dengan bekal hasil diagnosis tersebut dapat dilakukan upaya treatment terhadap
pengemis dan gelandangan. Namun sebelum itu, agar upaya treatment bisa berjalan efektif maka
kita harus membedakan golongan pengemis ini menjadi dua. Pertama, pengemis yang
menyandang status difabel dan tidak memiliki kemampuan produktif (cacat, lanjut usia). Kedua,
pengemis yang masih tergolong usia produktif dan dalam tanda kutip “menjdikan mengemis
sebagai profesi”. Sehingga dengan pengklasifikasian tersebut bisa dilakukan tindakan yang tepat
dalam penyelesaian masalanya.
C. Upaya Treatment / Rekomendasi Pemecahan Masalah
Karena proses diagnosis masalah sosial yang dilakukan menggunakan pendekatan system
blame approach maka upaya treatment yang digunakan tentu juga dengan pendekatan sistem.
Sumber masalah yang disebabkan oleh sakit sistem kemudian menimbulkan masalah sosial

terhadap individu maka fokus penyembuhan adalah pada perbaikan sistem dan struktur sosial
yang ada dalam masyarakat. Seburuk apapun keadaan yang terjadi, karena sumber masalah
adalah pada sistem dan struktur sosial, maka ketika proses penyembuhan itu difokuskan pada
perbaikan sistem secara menyeluruh berikut dengan sistem kerjanya maka dengan sendirinya
masalah tersebut akan bisa terselesaikan. Tentu juga dengan didukung oleh pendampingan
terhadap individu sebagai objek atau penyandang masalah.
Seperti analogi sebuah mesin yang dirancang sempurna untuk dapat menjalankan
sistemnya dengan baik, pada suatu ketika tentu mesin itu akan memiliki masa kerja efektif dan
mengalami kelelahan atau beberapa komponennya tidak lagi bisa menjalankan fungsi sistem
5

dengan baik sehingga menjadikan efektivitas kerja sistem mesin tersebut akan terganggu. Ketika
sistem kerjanya terganggu maka mesin tersebut tidak akan bisa berjalan sebagaimana mestinya.
Pemecahan masalah pengemis di Kota Jogja bukan tidak pernah dilakukan, namun belum
ada yang terbukti efektif menghilangkan masalah tersebut. Pada ranah kebijakan, pemerintah
Provinsi DIY telah menelurkan peraturan daerah Nomor 1 tahun 2014 tentang gelandangan dan
pengemis. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa baik para pengemis maupun yang
memberi akan di kenakan pidana. Berikut kutipan tentang PERDA tersebut11:
Kepala bagian humas SETDA DIY, Iswanto menyampaikan “isi Perda tersebut antara lain
ancaman pidana dan denda terkait gelandangan dan pengemis. Gepeng perorangan akan

dikenai pidana 6 minggu atau denda Rp.10 juta, pemberi uang atau barang akan dikenai
pidana 10 hari atau denda Rp.1 juta dan gepeng berkelompok dipidana 3 bulan atau
denda Rp.50 juta”.
Lanjut Iswanto menambahkan,”Memperalat orang lain dikenai pidana 1 tahun dan denda
RP 50 juta, mendatangkan gepeng dipidana 1 tahun dengan denda Rp.50 juta dan
mengkoordinir gepeng dipidana 6 bulan dengan denda Rp.40 juta”.
Aturan tersebut secara materi sudah cukup bagus, namun tidak akan efektif
menyelesaikan masalah pengemis di Kota Jogja. Alasannya sangat sederhana karena perda
tersebut memiliki sasaran langsung kepada individu (penyandang masalah) bukan pada sistem.
padahal sumber masalahnya bukan pada individu melainkan sistem dan struktur sosial yang tidak
berjalan dengan baik. Oleh karena itu perlu dirumuskan sebuah solusi yang berorientasi
penyembuhan sistem yang telah didiagnosis menderita sakit tersebut.
Langkah yang lebih baik dilakukan adalah: Pertama, melakukan pendataan secara
berkesinambungan dan menyeluruh karena ada kemungkinan juga bahwa para pengemis itu tidak
hanya berasal dari Kota Jogja melainkan datang dari berbagai daerah di sekitarnya. Kedua
klasifikasi pengemis difabel dan tidak produktif dengan pengemis yang produktif, karena
keduanya memerlukan perlakuan dan tindakan yang berbeda. Ketiga barulah diadakan upaya
treatment terhadap masalah.
Berikut beberapa rekomendasi sebagai alternative untuk
gelandangan dan pengemis di kota Jogja.

11 Harian Kedaulatan Rakyat – Edisi Selasa 27 Januari 2015

6

pemecahan masalah

1. Pemerintah melakukan perbaikan dan proteksi terhadap lembaga-lembaga perekonomian
sehingga tersedianya lapangan kerja yang cukup akan otomatis menyerap tenaga kerja
dan memungkinkan mereka yang berprofesi sebagai pengemis bisa pindah profesi yang
lebih bermartabat.
2. Orientasi politik pemerintah hendanya diarahkan kepada kesejahteraan rakyat, penerapan
berbagai regulasi juga harus melindungi rakyat kecil. Sehingga ketika kondisi rakyat
yang sejahtera atau minimal kebutuhan dasar terpenuhi tidak akan tertarik untuk menjadi
pengemis.
3. Penerapan dan penegakan hukum sudah dijalankan dengan baik tinggal membutuhkan
penyesuaian dengan sistem yang lain.
4. DIY dikenal dengan masyarakat yang memiliki rasa etika dan sopan santun yang tinggi
melalui lembaga agama, keluarga dan sekolah hendaknya agar diarahkan kepada
penanaman nilai giat bekerja, “malu mengemis” dan memilih pekerjaan yang
bermartabat.

5. Bagi para pengemis penyandang difabel dan tidak produktif agar diberikan santunan yang
layak agar bisa melanjutkan hidup yang lebih baik tanpa mengemis.
6. Bagi pengemis produktif ketika terjaring razia bisa dilakukan pembinaan secara
berkelanjutan dengan pelatihan softskill yang bisa mendukung mereka untuk mencari
nafkah. Tidak hanya sebatas pengarahan yang pada akhirnya merekapun akan kembali ke
jalanan.
7. Diperlukan

tindakan

tegas

kepada

sindikat-sindikat

pengemis

terlebih

mempekerjakan anak usia sekolah dan anak dibawah umur untuk mengemis.

7

yang