PENDIDIKAN PERDAMAIAN UNTUK KEMULYAAN MA
PENDIDIKAN PERDAMAIAN UNTUK
KEMULYAAN MARTABAT MANUSIA
Zamroni
PENDAHULUAN
Dewasa ini kekerasan ada di mana mana, kekerasan di sekitar kita.
Kekerasan dalam bentuk bullying, merebak di sekolah sekolah. Intimidasi,
ancaman dan pemerasan di kalangan siswa terjadi di banyak sekolah.
Perkelahian antar siswa dan bahkan tawuran antar kelompok siswa sampai
merenggut nyawa sering muncul dalam berita media massa. Pekelahian
antar warga kampung lawan
warga kampung tetangga dengan berbagai
macam senjata tajam sering muncul di TV bagaikan menyaksikan sinetron,
karena begitu jelas tayangannya. Tidak tanggung tanggung, bentrok fsik
diantara anggota angkatan Angkatan Bersenjata juga sering di ditemui di
media massa. Kekerasan dalam rumah tangga sudah biasa, bukan menjadi
berita lagi. Sebagian warga masyarakat begitu mudah menumpahkan darah
hanya untuk suatu yang sepela saja. Bertambah menyedihkan, kekerasan
seksual semakin banyak, bahkan setelah pemerkosaan massal diakhiri
dengan pembunuhan. Vandalisme dalam bentuk corat coret di tembok
ditemui di mana-mana di seluruh Nusantara. Nyaris, di negeri ini
sulit
mencari tembok yang bebas coretan.
Sudah barang tentu, semua kekerasan ini sangat disesalkan dan
sekaligus menimbulkan kekawatiran dan ketakutan warga masyarakat.
Rasa aman dan nyaman mulai tergerus dari kehidupan masyarakat.
Sebagian
besar
ketidakmampuan
warga
peran
masyarakat, sebagaimana
masyarakat
wajib
pemerintah
mulai
dalam
mempertanyakan
melindungi
tercantum dalam pembukaan
warga
UUD 1945:
1
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia.......”.
Kekerasan tidak hanya berhenti pada menjadikan warga kekhawatiran
dan ketakutan, serta rasa aman melayang tidak tahu kemana, tetapi yang
mesti direnungkan adalah kekerasan akan merendahkan harkat dan
martabat manusia. Nilai kehidupan dan martabat manusia merosot tajam.
Namun demikian, sejarah peradaban telah mengajarkan kepada kita
bahwa kekerasan tidak dapat dilawan kekerasan. Kebencian tidak dapat
diatasi dengan kebencian. Bahkan teror tidak akan dapat dipadamkan
dengan
teror.
Penegakan
hukum
mutlak
diperlukan,
tetapi
belum
mencukupi. Perlu dikembangkan Cara cara inovatif, berbudaya dan
beradab untuk menghentikan kekerasan di kalangan masyarakat kita.
Sudah tentu, selagi kekerasan merebak di kalangan masyarakat, tidak
dapat
disalahakan
apabila
sebagian
besar
warga
masyarakat
akan
mempertanyakan: “Inikah hasil dari pendidikan Indonesia”? Pertanyaan
tidak aneh karena, bukankah Aristotle menyatakan“..the fate of empires
depends on the education of the youth.”... Whatever good or bad that you see
today in the society is directly linked to the kind of education we give to our
youth.
Di fhak lain, sudah jamak manakala suatu bangsa mengalami
permasalahan
besar,
bangsa
tersebut
akan
menengok
seraya
menyanyakan: “Apa yang diperbuat oleh dunia pendidikan untuk mengatasi
masalah ini”? Sebagai contoh, ketika Amerika Serikat mengalami malu
besar karena kalah bersaing dengan Soviet Uni, dalam menaklukan ruang
angkasa di tahun 1950-an, maka bangsa Amerika mempertanyakan peran
pendidikan. Dan, dunia pendidikan memberikan jawaban dengan tegas dan
pasti:
“Reformasi
pembelajaran
kurikulum
discovery
dan
Science,
inquiry”.
termasuk
Hasilnya,
memenangkan persaingan dengan mengirimkan
melahirkan
model
Amerika
Serikat
Neils Amstrong, sebagai
2
manusia pertama
menginjakan kakinya di bulan, seraya berujar: “One
Giant Leap For Mankind”. Demikian pula, ketika bangsa Amerika mengalami
permasalahan
banyaknya
melahirkan, bangsa
“teeneger
Amerika
mothers”,
menengok ke
masih
dunia
sekolah
sudah
pendidikan,
yang
kemudian lahir kebijakan “Sex education”.
Apa yang dilakukan bangsa Amerika menongok ke dunia pendidikan
manakala
menghadapi
problem
besar
tidaklah
salah.
Bukankah
sebagaiamana dikutip Denesh (2006: 56), Dewey, flosof dan pedagog,
menyatakan....‘education is the fundamental method of social progress and
reform’.
MARTABAT MANUSIA.
Martabat adalah kehormatan, dan martabat ini merupakan bagian dari
sifat manusia. Manusia memiliki martabat dan keagungan dibandingkan
dengan makhluk lainnya. Allah SWT telah menetapkan "Dan sesungguhnya
telah Kami muliakan anak-anak Adam dan Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan
dengan kelebihan yang sempurna." (surat al-Isra ayat 70). Disamping itu
pula,
manusia
berbagaui
kelebihan
dibandingkan dengan ciptaan Allah yang lain. Antara lain,
manusia
ditakdirkan
dilahirkan
Allah
memiliki
dengan
menyandang
kelebihan,
yakni:
terindah
bentuk
dan
pencitraanya, dan memiliki kemulyaan derajadnya (Surat At Tien). Oleh
karena itu, manusia diberikan predikat dan tugas sebagai Khalifah di bumi.
Tugas ke- Khalifah-an menuntut manusia memiliki ke-Imanan-an dan keTaqwa-an mutlak pada Allah sang pencipta serta melakukan
perbuatan
yang baik, amal sholeh. Ke Imanan dan ke Taqwaan kepada Allah akan
senantiasa melahirkan pada diri seseorang perkataan yang baik dan benar,
3
serta konsisten satu dengan perbuatan. Dalam berbagai ayat lain dalam Al
Qur’an ditegaskan bahwa apa yang di langit dan di bumi diciptakan untuk
manusia. Hal itu menunjukkan keagungan dan kemuliaan manusia
manusia dibandingkan dengan makluk lainnya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa martabat adalah nilai-nilai
haqiqi kehidupan yang mesti dimiliki oleh seseorang guna bisa hidup layak
dan berfungsi menjaga, memakmurkan mensejahterakan masyarakatnya.
Semakin mulya martabat yang
disandang semakin menonjol
fungsi
kekhalifaanya, semakin bermanfaat bagi sesamanya. Manusia bermartabat
memiliki
dimensi,
yang
memungkinkannya
kekhalifahan. Pertama dimensi individual,
melaksanakan
fungsi
yang menunjukan manusia
memiliki sifat keuniqan, sehingga tidak ada dua orang yang sama persis
lahir dan bathin. Keunikan ini hanya diketahui oleh dirinya sendiri. Oleh
karena itu, tidak mungkin seseorang memahami orang lain secara penuh
lagi utuh, meskipun dengan pasangan hidupnya sekalipun. Pasti ada
bagian-bagian yang orang lain tidak tahu atau tidak memahamianya.
Berbagai
permasalahan
sampai
konfik
muncul
berawal
dari
gagal
memahami keunikan yang dimiliki fhak lain. Termasuk dimensi indidual
ini adalah masing- masing orang memiliki minat dan bakat sendiri-sendiri.
Kedua,
dimensi kefthrahan yang mengandung kebenaran dan
keluhuran. Pada dasarnya manusia memiliki kesucian diri, sebagaimana
waktu lahir. Kefthraan mencakup antara lain kejujuran, konsistensi kata
dan perbuatan, amanah, kepatuhan dan taat pada hukum. Sudah barang
tentu kehidupan lingkungan
mempengaruhi kesuciannya tersebut. Oleh
karena itu, lingkungan hidup, termasuk di dalamnya pendidikan mesti
direkayasa agar memberikan pengaruh menuju kebaikan.
Ketiga, dimensi kesosialan yang menjabarkan kebutuhan dan
kemampuan manusia untuk berkomunikasi dan hidup bersama. Dalam
4
interaksi
ini
akan
muncul
beranekawarna,
bukan
anekaragaman,
interaksi
bersifat
juga
realitas
bahwa
tunggal.
bervariasi.
kehidupan
Karena
Manusia
adalah
memiliki
perlu
ke
memiliki
kemampuan interaksi dengan berbagai variasi yang ada. Oleh karena itu,
dimensi
kesosialan ini, merujuk pada
manusia yang mampu hidup
bersama dan bekerjasama dengan segala perbedaan yang ada. Sehingga,
lahirlah toleransi, tenggang rasa, empathi dan siap membantu sesama.
Ke empat dimensi ke susilaan yang menekankan pada nilai-nilai,
moralitas
dan
spiritualitas.
Tekanan
pada
dimensi
ini
adalah
visi
pandangan kehidupan yang jauh nyaris tiada bertepi. Kehidupan tidak
hanya di dunia yang ibaratnya sekedar berteduh, melainkan kehidupan
akan bersambung, berujung pada kehidupan akherat kelak.
Dimensi ini
menjadikan individu memiliki pertimbangan jangka panjang. Demikian
pula, dimensi ini menjadikan individu merasa terpantau oleh Yang Maha
Kuasa, yang akan menjadikan perilaku dalam kehidupan senantiasa pada
rel yang benar, Sirotalmustaqiem.
Ke lima, dimensi berkemajuan yang menjadikan manusia tidak pernah
puas dengan dan selalu ingin terus berubah. Dimensi ini memberikan
dorongan dan kekuatan pada diri untuk terus belajar
(learning persons)
dan masyarakat yang terus belajar (a learning society) guna mewujudkan
sesuatu yang lebih baik, yang akan mendorong munculnya invensi dan
innovasi dalam kehidupan.
Dalam perjalanan sejarah, ketentuan martabat manusia tersebut
dijabarkan dalam Piagam Madinah yang menggariskan pedoman perilaku
sosial, keagamaan, serta perlindungan semua anggota komunitas yang
hidup bersama-sama di kota Madinah Al Munawarah, kala itu.
Adapun
pokok-pokok ketentuan dalam Piagam Madinah yang menjunjung tinggi
martabat manusia adalah:
5
1. Kesetaraan interaksi secara baik dengan sesama, baik pemeluk Islam
maupun non Muslim.
2. Kelompok kelompok saling membantu dalam menghadapi musuh
bersama.
3. Membela mereka yang teraniaya.
4. Saling menasihati.
5. Menghormati kebebasan beragama.
Ratusan tahun kemudian, pada tahun 1948 tepatnya, dunia baru
merumuskan apa yang ada dalam Piagam Madinah, menjunjung tinggi
martabat manusia, kedalam
pernyataan tentang norma universal dalam
kehidupan dalam bentuk Universal Declaration of Human Rights, Pernyataan
Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia, antara lain mencantumkan, bahwa
setiap orang mempunyai hak untuk: Hidup; Kemerdekaan dan keamanan
badan; Diakui kepribadiannya; Memperoleh pengakuan yang sama dengan
orang lain menurut hukum untuk mendapat jaminan hukum dalam
perkara pidana, seperti diperiksa di muka umum, dianggap tidak bersalah
kecuali ada bukti yang sah; Mendapatkan hak milik atas benda; Bebas
mengutarakan
pikiran
Mengeluarkan
pendapat;
dan
perasaan;
Berapat
dan
Bebas
memeluk
berkumpul;
agama;
Berdagang
dan
memperoleh Pendidikan.
Martabat manusia apabila didekati dari perspektif fsafat sosial akan
dapat
diketemukan
tiga
tekanan
utama,
seperti
dikemukakan
Sastraprateja (1992), yakni:
1. Pertama,
martabat
manusia
(dignity
of
man)
diletakan
pada
kedudukan sebagai subjek atau individu, yang mampu menentukan
pilihan,
menentukan
tindakannya
dan
dirinya
sendiri
(self
6
ditermination). Martabat pertama ini menekankan bahwa manuisa
memiliki hak hak, termasuk hak hak kebebasan.
2. Kedua, martabat manusia terletak pula dalam sosialitasnya, yang
semakin lama semakin luas radius sosialitasnya, yang melewati
batas-batas geografs, budaya
dan keyakinan. Dimensi
martabat
kedua ini menekankan pada egalitarian, interaksi antar individu
mesti didasarkan dan mengembangkan keadilan dan kesetaran.
3. Ketiga, martabat manusia terletak pada keutuhannya. Dimensi ke
tiga ini menekankan bahwa manusia merupakan totalitas
dirinya
yang
mengandung
keberadaan dan interaksi
tubuh,
otak,
dan
hati.
pada
Apabiloa
ketiga aspek manusia harmonis maka
akan meneguhkan martabat manusia yang mulya.
Martabat manusia juga sudah menjadi pemikiran bagi pendiri bangsa,
sehingga dicantumkan dalam UUD 1945 (sebelum amandemen), bahwa:
a. Tiap tiap warga negara berhak atas penghidupan dan pekerjaan yang
layak bagi (martabat) kemanusiaan (pasal 27 ayat 2).
b. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaanya itu (pasal 29 ayat b2).
c. Tiap tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran (pasal31
ayat 1)
d. Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintah wajib menunjang hukum... (pasal 27 ayat1).
Dari pengertian martabat diatas, kita mengetahui bahwa setiap orang
wajib dan berhak menjaga martabatnya. Namun, seringkali martabat
manusia direndahkan oleh sesamanya sendiri dengan cara bullying,
pencemaran nama baik, diskriminasi sosial dan tindakan pelanggaran hak
7
hak asasi
lainnya, serta kekerasan fsik,
lebih lebih dalam bentuk
peperangan. Padahal setiap manusia pasti tidak ingin harga dirinya
dijatuhkan. Sangat tepat apabila semua bentuk pelanggaran hak hak asasi
manusia yang menjatuhkan martabat manusia harus ditindak tegas dan
dibawa pada jalur hukum. Banyak korban yang merasa martabatnya
dijatuhkan menjadi depresi, minder atau bahkan ada yang mengambil
langkah untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Menjaga martabat, apalagi memulyakannya hanya mungkin dilakukan
dalam kondisi masyarakat yang damai, aman tanpa kekerasan. Upaya
mewujudkan kedamaian dalam masyarakat merupakan kondisi mutlak
yang dibutuhkan untuk dapat memulyakan martabat
manusia. Dengan
kata lain, memulyakan martabat manusia memerlukan upaya untuk
mewujudkan masyarakat yang hidup damai tanpa kekerasan.
PERDAMAIAN DAN KULTUR DAMAI.
Hidup damai merupakan
kondisi yang diperlukan untuk dapat
memenuhi kebutuhan pokok seperti keamanan, mengemukakan ide atau
partisipasi dalam kehidupan masyarakat. Demikian pula tanpa kedamaian
amat sulit mempertahankan apalagi meningkatkan kemulyaan martabat.
Hidup damai adalah kondisi yang ideal dimana tidak ada kekerasan baik,
dalam suatu bangsa maupun antar bangsa. Sudah barang tentu pengertian
ini terlalu umum. Perlu difahami bahwa membahas membahas perdamaian
secara tidak langsung mesti membahas konfik. Konfik adalah kondisi
tidak sepakat dan tidak harmonis yang disebabkan adanya kenyataan yang
bertentangan satu sama lain berkaitan dengan kebutuhan, idea, nilai dan
keinginan-keinginan. Konfik yang terjadi dapat bersifat
internal, yakni
suatu perbedaan yang terdapat dalam diri sendiri atau
eksternal,
perbedaan yang terjadi antara diri dengan oran atau kelompok lain.
8
Berkaitan dengan perdamain, Galtung
menjelaskan bahwa perdamaian merupakan suatu
adanya
& Jacobsen
(2000)
kondisi dimana tidak
kekerasan, baik personal yang bersifat langsung maupun
struktural yang bersifat tidak langsung. Manifestasi kekerasan struktural
bisa dalam bentuk pembagian pendapatan yang sangat timpang ataupun
distribusi kekuasaam yang timpang. Hubungan yang timpang merupakan
hubungan bersifat memeras tidak hanya bagi hubungan antara manusia,
tetapi juga hubungan antara manusia dan alam. Damai dengan alam
merupakan fondasi
dikarenakan
perdamaian yang positif (Mische, 1987). Hal ini
lingkungan alam merupakan sumber untuk
menjalani
kehidupan, ketahanan fsik, kesehatan dan kekayaan. Apabila lingkungan
alam
rusak
sehingga
sulit
untuk
dapat
segera
diperbaiki
akan
menimbulkan akibat negatif bagi kehidupan umat manusia. Mesti dicatat
bahwa perilaku manusia sangat terkait dengan ketersediaan sumber alam
(Barnaby, 1989).
Masyarakat yang damai bisa dilihat dari dua perpektif, mikro dan
makro. Dalam perspektif mikro masyarakat damai merupakan
suatu
kondisi di mana warga masyarakat merasakan kehidupan yang harmonis
dengan tidak adanya pertikaian dan konfik antar warga masyarakat.
Perspektif makro adalah kondisi masyarakat
yang dirasakan harmonis
tanpa adanya kekerasan fsik dan peperangan. Pada perspektif makro,
kehidupan masyarakat yang damai tidak terlalu terganggu dengan adanya
pertikaian dan ketegangan yang terjadi diantara warga masyarakat.
O’Kane (1991), mengemukakan bahwa hidup damai merupakan
merupakan suatu pola kerjasama dan penyatuan
diantara berbagai
kelompok dominan dalam masyarakat. Perdamaian berkaitan bagaimana
cara-cara warga masyarakat berinteraksi satu sama lain, dan bagaimana
mengorganisasikan warga masyarakat yang bebeda beda memiliki tekad
9
bersama untuk hidup bersama dan bekerjasama guna kepentingan
masyarakat. Perdamaian memerlukan sistem dimana tidak ada pemenang
dan
pecundang.
Oleh karena itu, siapapun yang ingin mewujudkan
perdamaian, hidup damai, mesti menciptakan kondisi sedemikian rupa
untuk
munculnya
berbagai
dimensi
diatas.
Dalam
kaitan
dengan
perdamaian, keberadaan kebebasan, terjaminya martabat dan hak-hak
manusia, serta keadilan tidak bisa dinafkan. Dari sisi manajemen, sangat
dianjurkan agar di kalangan warga masyarakat atau kelompok kelompok
dalam masyarakat, untuk mengembangkan berbagai strategi mewujudkan
hidup damai, seperti kemampuan mendamaikan konfik, melakukan
tindakan anti kekerasan, dan mengembangkan kebersamaan masyarakat.
Kehidupan penuh kedamaian ditunjukan dengan berbagai hal, seperti
tidak
adanya
konfik,
perbedaan,
terdapat
kemampuan
untuk
adanya
saling
komitmen
saling
bersama
menjaga,
terdapatnya keamanan dan
pengertian,
saling
untuk
memperhatikan
menghargai
mengembangkan
dan
kerjasama,
kebebasan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Hidup damai memerlukan penyatuan dan harmonisasi diantara
berbagai elemen yang ada di masyarakat. Baik elemen dalam pengertian
pisik maupun non fsik. Kehidupan yang damai akan memberikan
ketenangan dan kenyamanan
serta kesejahteraan bagi semua warga
masyarakat.
Namun, upaya menciptakan kehidupan yang damai memerlukan
pengembanganh kultur perdamaian. Kultur perdamaian mesti mengganti
kultur
kekerasan
untuk
mewujudkan
kehidupan
yang
damai.
Mengembangkan kultur perdamain memerlukan waktu yang panjang yang
mesti dilakukan dengan penuh konsistensi dan secara terus menerus.
Generasi muda khususnya memerlukan perspektif baru, kehidupan yang
penuh dengan kedamaian. Bahkan tidak hanya sampai disitu tetapi
10
generasi muda harus pula memiliki
baru
yang memungkinakn
ketrampilan dan orientasi nilai nilai
mereka mengembangkan hubungan dan
struktur kerjasama dengan semua komponen bangsa yang membawa ke
perubahan kehidupan
yang membawa ke arah perdamaian. Perilaku
sebagai ujud kehidupan yang damai mesti berakar pada kultur hidup damai
yang menjiwai dan dipegang teguh oleh warga masayarakat. Kehidupan
damai yang hakiki, lahir bathin, tidak mungkin dipaksanakan dari luar,
ditopang
dengan
senjata
sekalipun.
Kehidupan
yang
damai
mesti
menunjukan adanya keseimbangan dan keharmonisan, bukan karena
hegemoni atau kekuasaan, apalagi oleh teror. Artinya, kehidupan yang
penuh kedamaian mesti alami, tidak bisa bersifat artifsial. Karena makna
kultur damai penting, PBB pada tanggal 13 September 1999 telah
mengeluarkan Deklarasi tentang Kultur Perdamaian, yang
menyatakan
bahwa: “culture of peace is a set of values, attitudes, traditions and modes of
behaviour and ways of life based on respect for life, ending of violence and
promotion and practice of non-violence through education, dialogue and
cooperation”.
Sudah barang tentu kultur damai berlawanan dengan kultur
kekerasan, yang dapat dikaji pada perbandingan berikut.
TABEL 1: PERBANDINGAN KULTUR DAMAI DAN KULTUR KEKERASAN
KULTUR DAMAI
KULTUR KEKERASAN
Dikembangkan lewat pendidikan
Dikembangkan
dengan
menggunakan kekuatan
Pemahaman,
toleransi
saling Sama adalah kawan, berbeda adalah
menghargai
musuh
Pertisipasi demokrasi
Pemerintahan otoriter
11
Kebebasan informasi
Proaganda dan kontrol informasi
Pelucutan senjata
Pengembangan persenjataan
Meneguhan HAM
Eksploitasi penduduk
Pembangunan berkelanjutan
Eksploitasi sumber daya alam
Kesetaraan perempuan dan lelaki
Dominasi lelaki
Diharapkan dengan dikembangkannya kultur perdamaian pada semua
jenjang pendidikan akan dapat diujudkan:
1. Kultur perdamaian menjadi nilai-nilai, sikap, dan perilaku warga
masyarakat, kelompok kelompok dan masyarakat dan bangsa sebagai
kesatuan.
2. Penghapusan segala bentuk deskriminasi terhadap perempuan.
3. Jaminan penghargaan terhadap anak-anak dan melindungi hak hak
anak-anak.
4. Jaminan memajukan demokrasi dan peningkatan pelaksanaan hakhak asasi manuisa.
5. Peningkatan kemampuan dan ketrampilan memecahkan perbedaan
dengan cara cara damai, seperti dialog, negosiasi, mengembangkan
konsensus.
6. Peningkatan pembangunan ekonomi sosial yang berkelanjutan.
7. Kebebasan menjalankan agamanya.
8. Kebebasan dan kemudahan menjalankan usaha untuk
memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Apabila dikaji secara cermat maka akan dapat diketemukan bahwa
perujudan dari pelaksanaan kultur damai dalam kehidupan masyarakat,
khususnya
kehidupan
lembaga
pendidikan,
merupakan
sarana
meningkatkan kemulyaan martabat manusia. Sumber kekuatan utama
12
membangun budaya perdamaian adalah warga masyarakat itu sendiri,
lewat mereka hubungan yang penuh kedamaian dapat diciptakan. Mendidik
warga masyarakat menjadi aktivis membangun perdamaian adalah penting.
PENDIDIKAN PERDAMAIAN
Pendidikan perdamaian adalah didasarkan pada flsafat bahwa
mengajarkan anti kekerasan, cinta, menyayangi, mempercayai, keadilan,
kerjasama, adalah
penting untuk kehidupan keluarga, bahkan untuk
seluruh kehidupan alam semesta ini. Di samping itu guna memujudkan
kehidupan yang damai warga masyarakat khususnya para pesertadidik
memerlukan
penguasaan
ketrampilan
yang
diperlukan,
seperti,
berkomunikasi, mendengarkan, memahami berbagai perpektif, kerjasama,
pemecahan masalah, berpikir kritis, mengambil keputusan, memecahkan
konfik dan tanggung jawab sosial.
Berkaitan dengan itu, konfrensi PBB untuk Pendidikan Perdamaian
(Castro, Loreta Navarro and Galace, Jasmin Nario, 2008) telah merumuskan
defnisi pendidikan perdamaian sebagai: Pengajaran untuk dan tentang hak
hak manusia, kesetaraan jender, perlucutan senjata, keadilian sosial
ekonomi, anti kekerasan, pembangunan yang berkelanjutan, Undangundang internasional, dan tradisi perdamaian lokal. Sudah barang tentu
defnisi PBB ini sangat luas dan mengarah pada suatu kemauan sesuai
dengan kondisi politik yang ada. Betatapun juga dengan rumusan tersebut
telah menunjukan bagaimana pentingnya pendidikan perdamaian dalam
kehidupan internasional, Pada masa sekarang ini konsep pendidikkan
perdamaian semakin menonjol dan diterima sebagai suatu program yang
amat penting dan sangat diperlukan bagi masyarakat demokratis dan
berkemajuan.
Oleh
karena
itu,
Vriens
(1999)
menyatakan
bahwa
pendidikan perdamaian merupakan suatu temuan penting pada era modern
13
ini.
Pendapat
senada
bahkan
cenderung
mendukung,
sembari
mengingatkan, dikemukakan oleh Bar-Tal (1999) dengan pernyataannya
meski pendidikan perdamaian telah tumbuh berkembang, tetapi program
pendidikan perdamaian secara praktis memerlukan melibatkan berbagai
komponen pendidikan.
Menurut Ardizzone, sebagaimana dikutip Harris (2004) kajian
pendidikan
perdamaian
bagaimana
cara
pada
awalnya
menghindarinya.
masyarakat yang
mengkaji
Untuk
itu
sebab
perlu
perang
dididik
dan
warga
mau dan mampu mempersiapkan sistem anti perang
secara struktural, baik dalam skop nasional maupun internasional.
Kemudian Danesh & Danesh
(2004) memperluas kajian
sehingga
pendidikan perdamaian mencakup: a)menjelaskan akar dari kekerasan,
b)mengajarkan
c)mengungkap
bagaiman
berbagai
menemukan
bentuk
dari
alternatif
kekerasan,
dari
kekerasan,
d)mengkaji
proses
perdamaian yang memiliki banyak variasi sesuai dengan konteks, dan,
e)menguraikan realitas konfik.
Disamping itu,
pendidikan
b)mengatasai
keamanan,
Harris (2002) mengidentifkasi adanya tujuan
perdamaian,
rasa
yakni:
ketakutan,
d)memahami
a)memperkaya
c)menyediakan
perilaku
konsep
sistem
kekerasan,
perdamaian,
informasi
dan
e)mengembangkan
pemahaman antar budaya, f)menyediakan suatu orientasi masa depan,
g)mengajarkan perdamaian sebagai suatu proses, h)memajukan konsep
perdamaian diiringi dengan keadilan sosial, i)mendorong munculnya suatu
penghargaan terhadap kehidupan, dan, j)menghentikan kekerasan. Secara
lebih umum, Reardon (1988) mengingatkan bahwa pendidikan perdamaian
memiliki tujuan sosial yang penting yakni melakukan transformasi kondisi
yang ada sekarang ini
dengan merubah struktur dan pola pikir guna
menciptakan kondisi yang baru. Pendapat ini dipertegas oleh Reardon &
14
Cabezudo (2002), yang menyatakan bahwa tujuan utama pendidikan
perdamaian
adalah menghapuskan
ketidakadilan sosial,
penolakan
terhadap kekerasan dan menghilangkan peperangan.
Pendidikan perdamaian sebagaimana dikemukakan oleh
Navarro and Jasmin Nario (2008) merupakan
penduduk
dengan
dilengkapi
ketrampilan,
Loreta
upaya memberdayakan
sikap
dan
penghetahuan
bertujuan untuk:
1. Mengembangkan, menjaga dan memperbaiki hubungan dan
interaksi antar warga masyarakat.
2. Mengembangkan pendekatan positif dalam menangani konfik
konfik, mulai dari konfik individual sampai konfik internasional.
3. Menciptakan lingkungan yang aman, baik fsik maupun emosional,
yang mempengaruhi individu individu.
4. Menciptakan dunia yang aman berdasarkan keadilan dan hak hak
asasi.
5. Membangun suatu lingkungan yang terus bertumbuh dan menjaga
dari eksploitasi dan peperangan.
Ahli lain, Gavriel Salomon(2002) setelah mengkaji berbagaiu kegiatan
pendidikan perdamaian, sampai pada keismpulan
bahwa
program
pendidikan perdamaian yang ada selama ini dapat di klasifkasi ke dalam
empat kategori:
1. Pendidikan
perdamaian
mengutamakan
pada
perubahan
pola
perilaku
2. Pendidikan
perdamaian
mengutamakan
pada
pengembangan
ketrampilan yang diperlukan dalam memecahkan konfik
3. Pendidikan perdamaian yang menekankan pada memajukan hak hak
asasi manusia.
15
4. Pendidikan perdamaian yang menekankan pada memajukan kultur
perdamaian.
Gagasan pendidikan perdamaian semakin mengerucut jelas
sebagaimana oleh salah seorang pedagog, Fountain (1999, 1) dirumuskan
pendidikan perdamaian sebagai:
“.....the process of promoting the knowledge, skills, attitudes
and values needed to bring about behaviour changes that willl
enable children, youth and adults to prevent confict and
violence, both overt and structural; to resolve confict peacefully;
and to create due conditions conducive to peace, whether at an
intra-personal,
inter-personal,
inter-group,
national
or
international level”.
Kondisi aman dalam pendidikan amat penting, sehingga para
pesertadidik merasa tidak takut. Secara psikologis rasa aman memiliki
peran sangat penting bagi anak
untuk bisa fokus dalam belajar. Aspek
psikososial ini juga merupakan salah satu sasaran dalam pendidikan
perdamain.
Relevan
mengemukaan
dengan
bahwa
pernyataan
kondisi
aman
itersebut,
pada
Harris
suatu
sekolah
(2002)
akan
menguntungkan bagi proses pendidikan karena akan menurunkan tingkat
konfik antar kelompok-kelompok
siswa, menurunya tingkat kenakalan
siswa dan menurunnya konfik konfik kekerasan lainya. Selanjutnya,
Harris menegaskan apabila anak memiliki aspek emosional yang baik akan
menimbulkan: a)meningkatkan emphati satu sama lain, b)meningkatkan
kemampuan
mengatur
diri,
c)mengurangi
tindak
agresivitas,
dan,
d)meningkatkan upaya konstruktif untuk mengatasi permasalahan atau
konfik.
16
Pendapat diatas didukung oleh hasil kajian pustakan yang dilakukan
Loreta Navaro & Jasmin Naro (2008) yang menyimpulklan antara lain,
bahwa
1. Saling hormat menghormati diantara warga bermasyarakat termasuk
warga sekolah merupakan suatu keharusan bagi perkembangan
intelektual seseorang.
2. Ada hubungan yang signifkan antara stress dan daya ingat
seseorang.
3. Terdapat kaitan antara keberhasilan dalam belajar dengan
keberhasilan mengembangkan kerjasama dengan sesama
pesertadidik.
Pendidikan perdamaian mengembangkan pengetahuan, ketrampilan,
sikap dan nilai-nilai
yang kemudian akan mengubah perilaku individu
kearah penghilangan kekerasan. Outcome pendidikan perdamaian adalah
siswa mengidentifkasi dirinya dengan kehidupan yang damai, bagaimana
menolak konfik, menghindari dari dan mencegah konfik, memahami akar
penyebab
konfik dan dan memecakannya dengan jalan damai, seperti
dialog dan negosiasi. Transformasi akan terjadi dengan mengembangkan
kesadaran
pada diri setiap persertadidik dan pemahaman bagaimana
melakukan perubahan. Dengan demikian pendidikan perdamaian dapat
disebut sebagai pendidikan transformatif, Sebagai pendidikan transformatif,
pendidikan perdamaian berarti mengembangkan proses pembelajaran yang
bersifat holistik, yang bertujuan mengembangkan keutuhan pada diri setiap
pesertadidik: kognitif, sosial, moral, estetika, dan fsik.
Pendidikan perdamaian yang dikemukakan dalam kesempatan ini lebih
menekankan pendidikan perdamaian sebagai upaya untu mengembangkan
budaya damai.
Pendidikan perdamaian bertujuan mengembangkan
17
kultur perdamaian atau kultur hidup damai di kalangan pesertadidik,
khususnya, dan masyarakat luas pada umumnya. Sebagai suatu bentuk
pendidikan mesti dikembangkan sesuai dengan prinsip prinsip pendidikan,
salah satunya adalah anti indoktrinasi. Peserta didik memiliki kebebasanm
untuk memahami, mengevaluasi dan mengkritisi pendidikan perdamaian
dan kultur damai tersebut.
Dari berbagai konsep dan defnisi diatas dapat dirumuskan Pendidikan
perdamaian adalah pendidikan yang dirancang untuk mengembangkan
budaya damai. Pendidikan perdamaian mengembangkan pengetahuan,
ketrampilan, sikap dan nilai-nilai yang mengubah perilaku individu kearah
penghilangan kekerasan dalam kehidupan bermasyarakat. Perubahan akan
terjadi dengan mengembangkan kesadaran
dan pemahaman bagaimana
melakukan perubahan. Dengan demikian, pendidikan perdamaian akan
memberikan
tantangan
bagi
indivdu
guna
melakukan
aksi
yang
memungkinkan warga masyarakat menciptakan suatu sistem dan kondisi
yang mendorong tindakan anti kerasan, keadilan, dan merawat lingkunga
hidup dan nilai-nilai perdamaian lainnya.
Dari perpektif teoritis, pendidikan perdamaianini bisa disebut sebagai
pendidikan
holistik transformatif, yang memiliki makna senantiasa akan
mengembangkan proses pembelajaran yang bersifat holistik, yang bertujuan
mengembangkan keutuha pada diri siswa, kognitif, sosial, moral, estetika,
dan fsik, sehingga akan menghasilan suatu perubahan. Pendidikan
perdamaian holistic
transformatif memiliki karakteristik sebagai berikut:
a)memberikan kesempatan bagi peserta untuk berkembang secara utuh,
b)menghintegrasikan materi perdamaian dalam mata pelajaran yang
relevan, c)menekankan pengembangan secara optimal dalam diri individu
dan kelompok, d)menekankan proses pembelajaran yang dinamis dengan
perilaku partisipatif dari semua pesertadidik,
e)menekankan proses
18
pembelajaran
pengembangan
pengetahuan
dan
sikap,
dan,
kultur
perdamaian yang akan terjabarkan dalam perilaku damai.
Sitem dan praktik pendidikan
berawal
dari
suatu
prinsip
perdamaian transformatif holistik,
bahwa
setiap
pesertadidik
membawa
kemampuan yang khas, yang berkaitan erat dengan bakat, minat dan
ketertarikan pada sesuatu hal tertentu, termasuk tidak ada anak yang ingin
menderita, sebaliknya setiap anak ingin hidup damai. Pendidik, memiliki
tugas untuk membantu para pesertadidik mengembangkan bakat dan
potensi secara optimal. Dr Ramon Gallegos Nava (2000) menjabarkan
pendidikan
perdamaian
holistic
transformatif
memiliki
potensi
multidimensi, mencakup intelektual, sosial, emosional, pisik, aestetika dan
spiritual. Keenam aspek tersebut akan menyatu menjadi semangat
kemanusiaan anti kekerasan. Jadi pendidikan perdamaian tidak sekedar
mengembangkan intelektual yang pada hakekatnya bertintikan logika.
Semakin tinggi derajat intelektual berarti semakin kuat logika yang dimiliki.
Proses pendidikan perdamaian tidak berlangsung dalam ruang dan kondisi
vakum, melainkan pendidikan berproses dalam suatu lingkingan sosial.
Lingkungan sosial ini akan mengembangkan kemampuan pesertadidik
untuk
memberikana
disekitarnya.
makna
Pemahaman
bersama
akan
atas
makna
apa
bersama
yang
inilah
yang
yang
terjadi
akan
menciptakan kehidupan menjadi serasi, harmonis dan damai. Disamping
lingkungan sosial, proses pendidikan perdamaian juga melibatkan emosi
pesertadidik dan juga emosi pendidik. Kematangan emosional pesertadidik
akan berkembang seiring sejalan dengan kekuatan intelektual. Ketidak
sesuaian
perkembanagan
intelektual
dan
emosional
pesertadidik
menimbulkan ketimpangan dalam diri pesertadidik yang akan berdampak
pada
kehidupan
masyarakatnya.
Proses
pembelajaran
pendidikan
perdamaian juga erat berkaitan dengan fsik pesertadidik. Kekuatan fsik
yang
dimiliki
akan
mempengaruhi
kemampuan
intelektual.
Proses
19
pendidikan memerlukan kekuatan pisik yang prima. Antara otak dan tubuh
harus
serasi. Aestetika atau keindahan
dalam
eksistensi
kehidupan
merupakan salah satu kunci
kemanusiaan,
kehidupan yang harmnois, damai dan
yang
akan
mewujudkan
bahagia. Pendidikan perdamaian
pada akhirnya akan mengantarkan pesertadidik menuju kehidupan yang
bermartabat, bahagia lahir dan bathin. Pencapaian kehidupan yang
bermartabat, bahagia lahir dan bathin, memerlukan kesadaran untuk apa
hidup dan bagaimana seharusnya hidup itu. Oleh karena itu, dengan
pendidikan perdamaian,
pesertadidik harus memiliki pemahaman dan
kesadaran untuk apa belajar dan harus bagaimana belajar itu. Pemahaman
dan kesadaran tersebut merupakan inti dari spiritualitas. Pesertadidik yang
memiliki
kedalaman
spiritualitas
akan
dapat
memaknai
pendidikan
perdamaian dalam perilaku damai dna mengajak lingkungan hal yang
sama. Puncak dari spiritualitas dan merupakan kesatuan dari enam aspek
pesertadidik akan terujud dalam bentuk semangat kemanusiaan, semangat
menjalani hidup dan kehidupan yang
bermartabat, kehidupan yang
menjauhi tindak kerasan. Menjadi seseorang yang senantiasa menekankan
sikap dan tindakan anti kekerasan dalam menjalani kehidupan, seseorang
yang senantiasa mendahulukan cara cara damai dalam memecahklan
setiap persoalan kehidupan, merupakan cermin dari kemulyaan martabat
manusia.
Kehidupan pesertadidik dalam proses pendidikan perdamaian dapat
dianalisis berdasarkan kesatuan pengetahuan dari ilmu psikologi, flsafat
dan
agama,
yang
akan
terujud
pada
kemampuan
dan
kapasitas
pesertadidik yang mencakup kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan,
keindahan cinta kasih dan kemauan atau nafsu. Kesemuanya itu akan
terujud dalam, tiga aspek kehidupan: tubuh, pikiran dan jiwa.
Dari perspektif pendidikan perdamaian, hakekat hidup manusia itu
memiliki tiga dimensi: tubuh, pikiran dan jiwa. Tubuh merupakan cermin
20
semua mahluk hidup. Apapun mahluk hidup pasti memiliki tubuh, dan
semua tubuh memiliki kesamaan. Jadi antara binatang dan manusia,
berdasarkan perspektif tubuh adalah sama. Pikiran juga dimiliki oleh
sebagian mahluk hidup, tidak hanya manusia. Hanya apabila dilihat dari
potensi keberadaan pikiran manusia menempati derajat paling tinggi, baik
dalam arti kondisi maupun dalam potensi untuk berkembang. Sedangkan
jiwa hanya dimiliki oleh mahluk manusia. Oleh karena itu, jiwalah yang
akan bisa membedakan hakekat manusia dengan mahluk bukan manusia.
Pendidikan perdamaian akan menyentuh dan mengembangkan ketiga
aspek manusia tersebut secara serasi dan harmonis. Pendidikan yang bisa
mengembangkan secara serasi dan harmonis ketiga dimensi kehidupan:
tubuh, pikiran dan jiwa, akan bisa mengembangkan potensi yang dimiliki
manusia: pengetahuan, cintakasih dan kemauan atau nafsu. Dalam
konteks proses pendidikan perdamaian, ketiga dimensi
tersebut bisa
diujudkan dalam tubuh, otak dan hati. Keterpaduan dan keharmonisan tiga
dimensi tersebut merupakan akar tumbuhnya budaya perdamaian.
Praktik pembelajaran pendidikan perdamaian senantiasa berpusat
sekitar keterkaitan atau hubungan, keutuhan, dan aktualisasi. Keterkaitan
atau hubungan merupakan suatu prinsip bahwa kehidupan itu memiliki
karakteristik yang terangkai dalam sebab akibat. Suatu hasil pasti ada
penyebabnya. Dan setiap penyebab bisa direkayasa untuk mempengaruhi
hasil tertentu. Sebab akibat tidak mesti hasil rekanan manusia, melainkan
ada
sebab
akibat
yang
terkait
dengan
alam
sekitarnya.
Praktik
pembelajaran pendidikan perdamaian tersebut antara lain mencakup:
Interdependence,
Interrelationship,
Participatory,
dan
Non-linearity.
Interdependence memiliki arti bahwa setiap bagian memiliki keterkaiatan
dengan dengan fungsi bagian yang lain, sehingga membentuk suatu sistem
yang utuh dan menyeluruh. Interrelationship memiliki arti sistem yang ada
merupakan suatu jejaring yang kompleks, dan terjadi hubungan diantara
21
berbagai bagian dalam sistem dan hubungan dengan sistem eksternal.
Participatory
memiliki
arti
bahwa
siapapun
yang
terlibat
dalam
pembelajaran perdamaian akan memiliki hubungan yang amat dekat
dengan lingkungan pembelajaran yang ada. Non-linearity merujuk bahwa
sistem pembelajaran perdamaian bersifat terbuka, dengan pola interaksi
yang kompleks, terdapat sistem umpan balik yang dinamis, muncul; sistem
yang mengorganisir diri sendiri secara otomatis, dan sifat hubungan tidak
linier langsung melainkan bersifat dialetik. Hal ini menyebabkan praktik
pendidikan perdamian sangat variatif kontekstual sesuai dengan kondisi
dan lingkungan yang ada.
Pembelajaran dalam pendidikan perdamaian menekankan lahirnya
pesertadidik yang memiliki kepribadian mandiri, memiliki penghayatan
hidup damai, senantiasa menekankan pada kebajikan dan refektif, serta
memilih sifat jujur alami tidak dibuat-buat.
Disamping itu, pendidkan
perdamaian menekankan pada keutuhan pada diri pesertadidik, kreativitas,
dan transformatif serta bertanggung jawab. Prosedur pembelajaran dalam
pendidikan
perdamaian
adalah
mengenalkan
kepada
pesertadidik
pengetahuan yang relevan, mengangkat mempertanyakan nilai-nilai
dan
menggunakan diskusi dan bentuk partisipasi yang lain guna melibatkan
pesertadidik secara aktif dalam proses pembelajaran, dengan tekanan agar
terjadi internalisasi nilai-nilai dan sikap petamaian dalam diri individu
pesertadidik.
Sudah barang tentu meski tujuan pendidikan adalah keutuhan,
namun
dalam
analisis
tetap
saja
ditekankan
bahwa
pembelajaran
pendidikan perdamaian mencakup aspek kognitif, afektif dan perilaku.
Proses pembelajaran pendidikan perdamaian pada level kognitif
mengembangkan
pemahaman dan kesadaran.
adalah
Pada level afektif untuk
mengembangkan sikap mendukung, pro pada tindakan non kekerasan
22
dalam kehidupan bermasyarakat.
dan pada level
perilaku adalah
mengembangkan tindakan menegakan perdamaian.
Berdasarkan bahasan diatas, dapat diujudkan pada gambar 1 yang
menunjukan bagaimana dinamika kemulyaan martabat manusia sangat
tergantung dengan keberadaan perilaku damai. Perilaku damai sendiri tidak
datang dengan tiba –tiba melainkan muncul berakar dari adanya kultur
damai. Kultur damai juga tidak muncul secara tiba tiba melainkian hasil
proses panjang dan rekaya saya pendidikkan perdamaian.
Apapun konsep dan tujuan yang akan diujudkan lewat pendidkan
perdamaian, satu hal yang mesti dicatat adalah bahwa pendidikan
perdamaian mesti menekankan tujuan jangka panjang yang mesti dicapai.
Disamping itu, pendidikan perdamaian adalah suatu etika yang bersifat
keniscayaan guna menghindarkan
penduduk dari berbagai bentuk
bencana kekerasan. Oleh karena itu, pendidikan perdamaian perlu
mengembangkan kesadaran akan pentingnya perubahan personal dan
struktural yang akan melahirkan berbagai kebijakan untuk memecahkan
masalah tanpa dengan kekerasan, manusiawi dan ramah lingkungan.
23
Pendidikan perdamaian mengembangkan etika dan nilai-nilai tidak
hanya untuk hal hal yang bersifat fsik manusiawi,
kebaikan dalam
bebagai, seperti,
tetapi
juga untk
hormat terhadap martabat manusia,
tindak tanpa kekerasan, keadilan dan mencintai empati kepada sesama.
Semua
itu
merupakan
prinsip
kehidupan
yang
didorong
untuk
diinternalisasi pada setiap diri individu karena akan membawa kedamaian
hidup.
Sudah barang tentu membahas pendidikan, termasuk pendidikan
perdamaian tidak bisa melepaskan dari pembahasan kurikulum. Setiap
kurikulum mengandung apa yang akan disampaikan atau diajarkan kepada
pesertadidik dan bagaimana menyampaikannya. Bagaimana menyampaikan
atau
delivery
instructional
system
sudah
dibahas
dibagian
depan.
Pertanyaanya apakah materi yang akan disampaikan dalam pendidikan
perdamaian. Beberapa pengetahuan dan materi pembelajaran yang dapat
diintegrasikan kedalam pendidikan perdamaian antara lain:
1. Konsep holistik perdamaian
2.Konfik dan kekerasan
3.Beberapa altertnatif damai
4. Perlucutan senjata
5. Tanpa kekerasan
6. Resolosi ttansformasi dan preventif konfik
7. Hak hak asasi, solidaritas, keadilan, demokratisasi dan pembangunan
berkelanjutan
24
Sedangkan aspek aspek nilai dan sikap yang perlu untuk
dkembangkan
1. Self-respect, Respek pada fhak lain, Respek terhadap kehidupan
lingkungan.
2. Kesetaraan gender.
3. Berkaitan denghan kehidupan global: globalisasi, ekologi, kerjasama
global, keterbukaan dan toleransi, keadilan global, tanggung jawab
sosial dan visi kedepan
Berkaitan dengan Ketrampilan
khas perdamaian, pendidikan
perdamaian perlu mengembanghkan pada diri pesertadidik
untuk
melakukan:
keputusan,
imaginasi,
Refeksi,
Berpikir
komnunikasi,
kritis
resolusi
analitis,
konfik,
kemampuan
penghambilan
empati
dan
mengembangkan kelompok.
Dalam dunia pendidikan, betapapun bagus kebijakan yang ada,
semuanya akan terpulang pada kondisi sekolah dan apa yang berlangsung
di sekolah. Kenyataan ini mengajarkan kepada kita semua bahwa pada
akhirnya makna pendidikan perdamaian adalah terletak pada level sekolah.
Sebagaimana dikemukakan diatas, pada level sekolah memiliki variasi dan
karakteristik yang ber beda beda yang membawa implikasi bentuk dan
warna pendidikan perdamaian juga akan berbeda beda, baik antar bangsa
maupun berbeda beda dalam satu bangsa.
Sekolah sebagai suatu entitas utuh dengan segala komponennya mesti
secara penuh terlibat dalam pendidikan perdamaian. Pendidikan pada level
sekolah adalah merupakan sekumpulan
interaksi yang terjadi diantara
berbagai warga sekolah. Interaksi siswa dengan siswa, interaksi siswa
dengan guru, interaksi guru dengan kepala sekolah, interaksi guru dengan
guru, interaksi kepala sekolah dengan pustakawan, interaksi guru dan
25
siswa dengan penjaga sepeda, dan sebagainya. Setiap interaksi akan
menimbulkan enerji. Interaksi yang positif akan menimbulkan enerji positif
yang akan mendukiung terciptanya sekolah yang aman dan damai.
Sebaliknya, interaksi negatif akan menimbulkkan enerji negatif yang akan
mendorong munculnya kekerasan di sekolah.
Interaksi positif akan muncul manakala warga sekolah yang dewasa,
khususnya guru dan kepala sekolah, dalam berinteraksi dengan siswa
senantiasa mengaktifkan persepsi positif atas siswa. Mengaktifkan persepsi
positif memiliki arti manakala ketemu dan atau berinteraksi dengan siswa
guru atau kepala sekolah senantiasa melihat
dan menekankan dimensi
positif yang dimiliki oleh siswa. Bukan sebaliknya, menonjolkan sisi negatif
dari siswa. Persepsi yang baik ini akan mempengaruhi sikap dan perilaku
guru dan kepala sekolah selanjutnya, yang akan menguntungkan untuk
perkembangan budaya damai siswa.
Apa yang terjadi pada level sekolah akan memiliki kaitan dengan apa
yang terjadi pada level kelas. Diantara dua level ini senantiasa terjadi
interaksi yang berisfat kausalitas. Sekolah mesti dapat memastikan bahwa
pada level kelas berjalan proses pendidikan perdamaian. Salah satu kondisi
yang diperlukan untuk memulai pendidikan perdamaian pada level kelas
adalah terciptanya zone damai pada setiap kelas, yang memiliki ciri sebagai
berkut:
1. Dalam kelas senantiasa hanya satu orang yang berbicara, dan yang
lain menjadi menjadi pendengar yang baik.
2. Senantiasa bersifat inklusif.
3. Siapapun berbicara seperlunya.
4. Berbicara dengan sopan.
5. Menunjukan saling hormat menghormati.
6. Memahami dan menerima perbedaan yang ada.
26
7. Senantiasa mendahulukan kerjasama dari pada bersaing.
8. Senantiasa terbiasa memncari upaya pemecahan secara konstruktif
tanpa kekasrasan.
9. Membiasakan berkomunikasi dengan bahasa dan gaya tubuh yang
bersahabat.
10.
Membiasakan menggunakan pola bahasa yang positif dari pada
negatif.
PENUTUP
Tidak adanya persetujuan umum atas pendekatan dan konsep
menangani perdamaian bukan hanya satu satunya penyebab banyaknya
konfik dan kekerasan antar bangsa dan dalam suatu bangsa, sebagaimana
yang ada pada bangsa Indonesia. Penyebab penting adalah tidak adanya
pendidikan perdamaian yang diberikan kepada para peserta didik sebagai
generasi baru bangsa. Tidak adanya pendidikan perdamaian sungguh amat
mempengaruhi munculnyan kekerasan di setiap generasi baru. Oleh karena
itu, sudah semestinya, perlu dirancang dan dirintis program pendidkan
perdamaian.
Berbagai pendekatan dan konsep
yang ada pada pendidikan
perdamaian menunjukan, disatu sisi betapa luasnya cakupan keinginan
hidup yang baik
dalam perdamaian. Pada sisi lain menunjukan betapa
sulitnya mencapai persetujuan memahami hakekat perdamaian dan upaya
uintuk mewujudkannya. Bertitik tolak dari hal ini sangat terasa perlunya
keberadaan suatu kerangka teori perdamaian dan pendidikan perdamian,
untuk membawa berbagai pandangan berkaitan dengan
kedalam
satu
pemahaman
yang
utuh
dan
menyeluruh
perdamaian
bagaimana
seharusnya menghilangkan kekerasan dan menciptakan perdamaian.
27
Pendidikan perdamaian merupakan suatu proses transformatif holistik
yang bertujuan menanamkan nilai-nilai, mengembangkan pengetahuan dan
sikap, ketrampilan serta perilaku untuk senantiasa hidup harmonis pada
diri sendiri, harmonis dengan orang lain dan harmonis pula dengan
lingkunan
alamnya.
Nilai yang paling penting yang dihasilkan oleh
pendidikan
perdamaian adalah kemampuan untuk menjadi diri sendiri
yang memiliki tanggung jawab menyalakan api untuk menerangi jalan
menuju kehidupan yang damai.
Pendidikan perdamaian memiliki tanggung jawab kepada bangsa dan
negara serta kepada umat manusia untuk menghasilkan manusia-manusia
yang utuh bebas dari rasa takut dan
mengembanghkan
Dengan demikian,
perdamaian
dengan
memiliki semangat untuk
segala
resiko
proses pendidikan perdamaian
yang
dihadapi.
akan senantiasa
memulyakan martabat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang paling
sempurna, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
28
DAFTAR PUSTAKA
Barnaby, F. (Ed.) (1989). The Gaia peace atlas. New York: Doubleday.
Bar-Tal, D. (1999) The elusive nature of peace, in: A. Raviv, L. Oppenheimer
& D. Bar-Tal (Eds) How children understand war and peace (San
Francisco, CA, Jossey-Bass).
Danesh, H. B. ( 2006, March) Towards an integrative theory of peace
education. Journal of Peace Education Vol. 3, No. 1, pp. 55–78
Danesh. H. B. (2002, September) Education for Peace: breaking the cycle of
violence. A Paper presented at: African Civil Society Organization and
Development: re-evaluation for the 21st century (New York, Ofce of
Social and Economic Development, United Nations) pp. 32–39.
Danesh, H. B. & Danesh R. (2004) Confict-free confict resolution (CFCR):
process and methodology, Peace and Confict Studies, Vol. 11(2), 55–84.
Fountain, S. (1999). Peace education in UNICEF. United Nations Children's
Fund Programme Publications.
Galtung, J. & Jacobsen, C. G. (2000) Searching for peace: the road to
TRANSCEND (London, Pluto Press).
Harris, Ian, M. (2004, March)
Peace education theory. Journal of Peace
Education. Vol. 1:1, pp. 5-20
Jardine, David. (2000). Under the Tough Old Stars: Ecopedagogical Essays.
Brandon, VT: Foundation for Educational Renewal.
Kessler, Rachael (2000). The Soul of Education: Helping Students Find
Connection, Compassion and Character at School. Alexandria, VA:
ASCD.
Loreta Navarro-Castro and Jasmin Nario-Galace (2008) Peace education: A
Pathway to a culture of peace. Center for Peace Education, Miriam
College Quezon City, Philippines
29
Mische, P. (1987). The earth as peace teacher. A Paper. International
institute on peace education. Manila.
Nava, Ramon,
Gallegos
(2003) Conscious Evolution through Holistic
Education. An Integrated Model of Holistic Education. A Paper.
O’Kane, M. “Peace: The Overwhelming Task,” Veterans for Peace Journal,
(Winter 1991-92), Issue no.19, p.3.
Reardon, B. (1988). Comprehensive peace education. New York: Teachers
College, Columbia University.
Reardon, B. and Cabezudo, A. (2002). Learning to abolish war: teaching
toward a culture of peace. New York: Hague Appeal for Peace.
Salomon, G. (2002) The nature of peace education: not all programs are
equal, in: G. Salomon & B. Nevo (Eds) Peace education: the concept,
principles, and practices around the world (New York, Lawrence
Erlbaum) pp. 3–14.
Sastraprateja, S.J. (1992) Konsepkualitas dan martabat manusia: Konsep
budayawan dan masyarakat. Dalam Pembangunan Martabat manusia.
Peranan ilomu ilmu sosial
dalam pembangunan diedit oleh Sofan
Effendi, Syafri Sairin, M. Alwi Dahlan. Yogyakarta: Gajah Mada
Universwity Preess, 59-63.
Tricia S. Jones, Tricia S. (2001) Making Peace in Our Schools: Confict
Resolution Education and the Department of Peace. A Paper.
UNESCO (1998) Transdisciplinary project. Towards a culture of peace.
Available
online
at:
http://www.unesco.org/cpp/uk/projects/infoe.html (diunduh 9 Mei
2016
Vriens, L. (1999) Children, war, and peace: a review of ffty years of
research from the perspective of a balanced concept of peace education,
30
in: A. Raviv, L. Oppenheimer & D. Bar-Tal (Eds) How children
understand war and peace (San Francisco, CA, Jossey-Bass) pp. 27–58.
31
KEMULYAAN MARTABAT MANUSIA
Zamroni
PENDAHULUAN
Dewasa ini kekerasan ada di mana mana, kekerasan di sekitar kita.
Kekerasan dalam bentuk bullying, merebak di sekolah sekolah. Intimidasi,
ancaman dan pemerasan di kalangan siswa terjadi di banyak sekolah.
Perkelahian antar siswa dan bahkan tawuran antar kelompok siswa sampai
merenggut nyawa sering muncul dalam berita media massa. Pekelahian
antar warga kampung lawan
warga kampung tetangga dengan berbagai
macam senjata tajam sering muncul di TV bagaikan menyaksikan sinetron,
karena begitu jelas tayangannya. Tidak tanggung tanggung, bentrok fsik
diantara anggota angkatan Angkatan Bersenjata juga sering di ditemui di
media massa. Kekerasan dalam rumah tangga sudah biasa, bukan menjadi
berita lagi. Sebagian warga masyarakat begitu mudah menumpahkan darah
hanya untuk suatu yang sepela saja. Bertambah menyedihkan, kekerasan
seksual semakin banyak, bahkan setelah pemerkosaan massal diakhiri
dengan pembunuhan. Vandalisme dalam bentuk corat coret di tembok
ditemui di mana-mana di seluruh Nusantara. Nyaris, di negeri ini
sulit
mencari tembok yang bebas coretan.
Sudah barang tentu, semua kekerasan ini sangat disesalkan dan
sekaligus menimbulkan kekawatiran dan ketakutan warga masyarakat.
Rasa aman dan nyaman mulai tergerus dari kehidupan masyarakat.
Sebagian
besar
ketidakmampuan
warga
peran
masyarakat, sebagaimana
masyarakat
wajib
pemerintah
mulai
dalam
mempertanyakan
melindungi
tercantum dalam pembukaan
warga
UUD 1945:
1
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia.......”.
Kekerasan tidak hanya berhenti pada menjadikan warga kekhawatiran
dan ketakutan, serta rasa aman melayang tidak tahu kemana, tetapi yang
mesti direnungkan adalah kekerasan akan merendahkan harkat dan
martabat manusia. Nilai kehidupan dan martabat manusia merosot tajam.
Namun demikian, sejarah peradaban telah mengajarkan kepada kita
bahwa kekerasan tidak dapat dilawan kekerasan. Kebencian tidak dapat
diatasi dengan kebencian. Bahkan teror tidak akan dapat dipadamkan
dengan
teror.
Penegakan
hukum
mutlak
diperlukan,
tetapi
belum
mencukupi. Perlu dikembangkan Cara cara inovatif, berbudaya dan
beradab untuk menghentikan kekerasan di kalangan masyarakat kita.
Sudah tentu, selagi kekerasan merebak di kalangan masyarakat, tidak
dapat
disalahakan
apabila
sebagian
besar
warga
masyarakat
akan
mempertanyakan: “Inikah hasil dari pendidikan Indonesia”? Pertanyaan
tidak aneh karena, bukankah Aristotle menyatakan“..the fate of empires
depends on the education of the youth.”... Whatever good or bad that you see
today in the society is directly linked to the kind of education we give to our
youth.
Di fhak lain, sudah jamak manakala suatu bangsa mengalami
permasalahan
besar,
bangsa
tersebut
akan
menengok
seraya
menyanyakan: “Apa yang diperbuat oleh dunia pendidikan untuk mengatasi
masalah ini”? Sebagai contoh, ketika Amerika Serikat mengalami malu
besar karena kalah bersaing dengan Soviet Uni, dalam menaklukan ruang
angkasa di tahun 1950-an, maka bangsa Amerika mempertanyakan peran
pendidikan. Dan, dunia pendidikan memberikan jawaban dengan tegas dan
pasti:
“Reformasi
pembelajaran
kurikulum
discovery
dan
Science,
inquiry”.
termasuk
Hasilnya,
memenangkan persaingan dengan mengirimkan
melahirkan
model
Amerika
Serikat
Neils Amstrong, sebagai
2
manusia pertama
menginjakan kakinya di bulan, seraya berujar: “One
Giant Leap For Mankind”. Demikian pula, ketika bangsa Amerika mengalami
permasalahan
banyaknya
melahirkan, bangsa
“teeneger
Amerika
mothers”,
menengok ke
masih
dunia
sekolah
sudah
pendidikan,
yang
kemudian lahir kebijakan “Sex education”.
Apa yang dilakukan bangsa Amerika menongok ke dunia pendidikan
manakala
menghadapi
problem
besar
tidaklah
salah.
Bukankah
sebagaiamana dikutip Denesh (2006: 56), Dewey, flosof dan pedagog,
menyatakan....‘education is the fundamental method of social progress and
reform’.
MARTABAT MANUSIA.
Martabat adalah kehormatan, dan martabat ini merupakan bagian dari
sifat manusia. Manusia memiliki martabat dan keagungan dibandingkan
dengan makhluk lainnya. Allah SWT telah menetapkan "Dan sesungguhnya
telah Kami muliakan anak-anak Adam dan Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan
dengan kelebihan yang sempurna." (surat al-Isra ayat 70). Disamping itu
pula,
manusia
berbagaui
kelebihan
dibandingkan dengan ciptaan Allah yang lain. Antara lain,
manusia
ditakdirkan
dilahirkan
Allah
memiliki
dengan
menyandang
kelebihan,
yakni:
terindah
bentuk
dan
pencitraanya, dan memiliki kemulyaan derajadnya (Surat At Tien). Oleh
karena itu, manusia diberikan predikat dan tugas sebagai Khalifah di bumi.
Tugas ke- Khalifah-an menuntut manusia memiliki ke-Imanan-an dan keTaqwa-an mutlak pada Allah sang pencipta serta melakukan
perbuatan
yang baik, amal sholeh. Ke Imanan dan ke Taqwaan kepada Allah akan
senantiasa melahirkan pada diri seseorang perkataan yang baik dan benar,
3
serta konsisten satu dengan perbuatan. Dalam berbagai ayat lain dalam Al
Qur’an ditegaskan bahwa apa yang di langit dan di bumi diciptakan untuk
manusia. Hal itu menunjukkan keagungan dan kemuliaan manusia
manusia dibandingkan dengan makluk lainnya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa martabat adalah nilai-nilai
haqiqi kehidupan yang mesti dimiliki oleh seseorang guna bisa hidup layak
dan berfungsi menjaga, memakmurkan mensejahterakan masyarakatnya.
Semakin mulya martabat yang
disandang semakin menonjol
fungsi
kekhalifaanya, semakin bermanfaat bagi sesamanya. Manusia bermartabat
memiliki
dimensi,
yang
memungkinkannya
kekhalifahan. Pertama dimensi individual,
melaksanakan
fungsi
yang menunjukan manusia
memiliki sifat keuniqan, sehingga tidak ada dua orang yang sama persis
lahir dan bathin. Keunikan ini hanya diketahui oleh dirinya sendiri. Oleh
karena itu, tidak mungkin seseorang memahami orang lain secara penuh
lagi utuh, meskipun dengan pasangan hidupnya sekalipun. Pasti ada
bagian-bagian yang orang lain tidak tahu atau tidak memahamianya.
Berbagai
permasalahan
sampai
konfik
muncul
berawal
dari
gagal
memahami keunikan yang dimiliki fhak lain. Termasuk dimensi indidual
ini adalah masing- masing orang memiliki minat dan bakat sendiri-sendiri.
Kedua,
dimensi kefthrahan yang mengandung kebenaran dan
keluhuran. Pada dasarnya manusia memiliki kesucian diri, sebagaimana
waktu lahir. Kefthraan mencakup antara lain kejujuran, konsistensi kata
dan perbuatan, amanah, kepatuhan dan taat pada hukum. Sudah barang
tentu kehidupan lingkungan
mempengaruhi kesuciannya tersebut. Oleh
karena itu, lingkungan hidup, termasuk di dalamnya pendidikan mesti
direkayasa agar memberikan pengaruh menuju kebaikan.
Ketiga, dimensi kesosialan yang menjabarkan kebutuhan dan
kemampuan manusia untuk berkomunikasi dan hidup bersama. Dalam
4
interaksi
ini
akan
muncul
beranekawarna,
bukan
anekaragaman,
interaksi
bersifat
juga
realitas
bahwa
tunggal.
bervariasi.
kehidupan
Karena
Manusia
adalah
memiliki
perlu
ke
memiliki
kemampuan interaksi dengan berbagai variasi yang ada. Oleh karena itu,
dimensi
kesosialan ini, merujuk pada
manusia yang mampu hidup
bersama dan bekerjasama dengan segala perbedaan yang ada. Sehingga,
lahirlah toleransi, tenggang rasa, empathi dan siap membantu sesama.
Ke empat dimensi ke susilaan yang menekankan pada nilai-nilai,
moralitas
dan
spiritualitas.
Tekanan
pada
dimensi
ini
adalah
visi
pandangan kehidupan yang jauh nyaris tiada bertepi. Kehidupan tidak
hanya di dunia yang ibaratnya sekedar berteduh, melainkan kehidupan
akan bersambung, berujung pada kehidupan akherat kelak.
Dimensi ini
menjadikan individu memiliki pertimbangan jangka panjang. Demikian
pula, dimensi ini menjadikan individu merasa terpantau oleh Yang Maha
Kuasa, yang akan menjadikan perilaku dalam kehidupan senantiasa pada
rel yang benar, Sirotalmustaqiem.
Ke lima, dimensi berkemajuan yang menjadikan manusia tidak pernah
puas dengan dan selalu ingin terus berubah. Dimensi ini memberikan
dorongan dan kekuatan pada diri untuk terus belajar
(learning persons)
dan masyarakat yang terus belajar (a learning society) guna mewujudkan
sesuatu yang lebih baik, yang akan mendorong munculnya invensi dan
innovasi dalam kehidupan.
Dalam perjalanan sejarah, ketentuan martabat manusia tersebut
dijabarkan dalam Piagam Madinah yang menggariskan pedoman perilaku
sosial, keagamaan, serta perlindungan semua anggota komunitas yang
hidup bersama-sama di kota Madinah Al Munawarah, kala itu.
Adapun
pokok-pokok ketentuan dalam Piagam Madinah yang menjunjung tinggi
martabat manusia adalah:
5
1. Kesetaraan interaksi secara baik dengan sesama, baik pemeluk Islam
maupun non Muslim.
2. Kelompok kelompok saling membantu dalam menghadapi musuh
bersama.
3. Membela mereka yang teraniaya.
4. Saling menasihati.
5. Menghormati kebebasan beragama.
Ratusan tahun kemudian, pada tahun 1948 tepatnya, dunia baru
merumuskan apa yang ada dalam Piagam Madinah, menjunjung tinggi
martabat manusia, kedalam
pernyataan tentang norma universal dalam
kehidupan dalam bentuk Universal Declaration of Human Rights, Pernyataan
Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia, antara lain mencantumkan, bahwa
setiap orang mempunyai hak untuk: Hidup; Kemerdekaan dan keamanan
badan; Diakui kepribadiannya; Memperoleh pengakuan yang sama dengan
orang lain menurut hukum untuk mendapat jaminan hukum dalam
perkara pidana, seperti diperiksa di muka umum, dianggap tidak bersalah
kecuali ada bukti yang sah; Mendapatkan hak milik atas benda; Bebas
mengutarakan
pikiran
Mengeluarkan
pendapat;
dan
perasaan;
Berapat
dan
Bebas
memeluk
berkumpul;
agama;
Berdagang
dan
memperoleh Pendidikan.
Martabat manusia apabila didekati dari perspektif fsafat sosial akan
dapat
diketemukan
tiga
tekanan
utama,
seperti
dikemukakan
Sastraprateja (1992), yakni:
1. Pertama,
martabat
manusia
(dignity
of
man)
diletakan
pada
kedudukan sebagai subjek atau individu, yang mampu menentukan
pilihan,
menentukan
tindakannya
dan
dirinya
sendiri
(self
6
ditermination). Martabat pertama ini menekankan bahwa manuisa
memiliki hak hak, termasuk hak hak kebebasan.
2. Kedua, martabat manusia terletak pula dalam sosialitasnya, yang
semakin lama semakin luas radius sosialitasnya, yang melewati
batas-batas geografs, budaya
dan keyakinan. Dimensi
martabat
kedua ini menekankan pada egalitarian, interaksi antar individu
mesti didasarkan dan mengembangkan keadilan dan kesetaran.
3. Ketiga, martabat manusia terletak pada keutuhannya. Dimensi ke
tiga ini menekankan bahwa manusia merupakan totalitas
dirinya
yang
mengandung
keberadaan dan interaksi
tubuh,
otak,
dan
hati.
pada
Apabiloa
ketiga aspek manusia harmonis maka
akan meneguhkan martabat manusia yang mulya.
Martabat manusia juga sudah menjadi pemikiran bagi pendiri bangsa,
sehingga dicantumkan dalam UUD 1945 (sebelum amandemen), bahwa:
a. Tiap tiap warga negara berhak atas penghidupan dan pekerjaan yang
layak bagi (martabat) kemanusiaan (pasal 27 ayat 2).
b. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaanya itu (pasal 29 ayat b2).
c. Tiap tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran (pasal31
ayat 1)
d. Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintah wajib menunjang hukum... (pasal 27 ayat1).
Dari pengertian martabat diatas, kita mengetahui bahwa setiap orang
wajib dan berhak menjaga martabatnya. Namun, seringkali martabat
manusia direndahkan oleh sesamanya sendiri dengan cara bullying,
pencemaran nama baik, diskriminasi sosial dan tindakan pelanggaran hak
7
hak asasi
lainnya, serta kekerasan fsik,
lebih lebih dalam bentuk
peperangan. Padahal setiap manusia pasti tidak ingin harga dirinya
dijatuhkan. Sangat tepat apabila semua bentuk pelanggaran hak hak asasi
manusia yang menjatuhkan martabat manusia harus ditindak tegas dan
dibawa pada jalur hukum. Banyak korban yang merasa martabatnya
dijatuhkan menjadi depresi, minder atau bahkan ada yang mengambil
langkah untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Menjaga martabat, apalagi memulyakannya hanya mungkin dilakukan
dalam kondisi masyarakat yang damai, aman tanpa kekerasan. Upaya
mewujudkan kedamaian dalam masyarakat merupakan kondisi mutlak
yang dibutuhkan untuk dapat memulyakan martabat
manusia. Dengan
kata lain, memulyakan martabat manusia memerlukan upaya untuk
mewujudkan masyarakat yang hidup damai tanpa kekerasan.
PERDAMAIAN DAN KULTUR DAMAI.
Hidup damai merupakan
kondisi yang diperlukan untuk dapat
memenuhi kebutuhan pokok seperti keamanan, mengemukakan ide atau
partisipasi dalam kehidupan masyarakat. Demikian pula tanpa kedamaian
amat sulit mempertahankan apalagi meningkatkan kemulyaan martabat.
Hidup damai adalah kondisi yang ideal dimana tidak ada kekerasan baik,
dalam suatu bangsa maupun antar bangsa. Sudah barang tentu pengertian
ini terlalu umum. Perlu difahami bahwa membahas membahas perdamaian
secara tidak langsung mesti membahas konfik. Konfik adalah kondisi
tidak sepakat dan tidak harmonis yang disebabkan adanya kenyataan yang
bertentangan satu sama lain berkaitan dengan kebutuhan, idea, nilai dan
keinginan-keinginan. Konfik yang terjadi dapat bersifat
internal, yakni
suatu perbedaan yang terdapat dalam diri sendiri atau
eksternal,
perbedaan yang terjadi antara diri dengan oran atau kelompok lain.
8
Berkaitan dengan perdamain, Galtung
menjelaskan bahwa perdamaian merupakan suatu
adanya
& Jacobsen
(2000)
kondisi dimana tidak
kekerasan, baik personal yang bersifat langsung maupun
struktural yang bersifat tidak langsung. Manifestasi kekerasan struktural
bisa dalam bentuk pembagian pendapatan yang sangat timpang ataupun
distribusi kekuasaam yang timpang. Hubungan yang timpang merupakan
hubungan bersifat memeras tidak hanya bagi hubungan antara manusia,
tetapi juga hubungan antara manusia dan alam. Damai dengan alam
merupakan fondasi
dikarenakan
perdamaian yang positif (Mische, 1987). Hal ini
lingkungan alam merupakan sumber untuk
menjalani
kehidupan, ketahanan fsik, kesehatan dan kekayaan. Apabila lingkungan
alam
rusak
sehingga
sulit
untuk
dapat
segera
diperbaiki
akan
menimbulkan akibat negatif bagi kehidupan umat manusia. Mesti dicatat
bahwa perilaku manusia sangat terkait dengan ketersediaan sumber alam
(Barnaby, 1989).
Masyarakat yang damai bisa dilihat dari dua perpektif, mikro dan
makro. Dalam perspektif mikro masyarakat damai merupakan
suatu
kondisi di mana warga masyarakat merasakan kehidupan yang harmonis
dengan tidak adanya pertikaian dan konfik antar warga masyarakat.
Perspektif makro adalah kondisi masyarakat
yang dirasakan harmonis
tanpa adanya kekerasan fsik dan peperangan. Pada perspektif makro,
kehidupan masyarakat yang damai tidak terlalu terganggu dengan adanya
pertikaian dan ketegangan yang terjadi diantara warga masyarakat.
O’Kane (1991), mengemukakan bahwa hidup damai merupakan
merupakan suatu pola kerjasama dan penyatuan
diantara berbagai
kelompok dominan dalam masyarakat. Perdamaian berkaitan bagaimana
cara-cara warga masyarakat berinteraksi satu sama lain, dan bagaimana
mengorganisasikan warga masyarakat yang bebeda beda memiliki tekad
9
bersama untuk hidup bersama dan bekerjasama guna kepentingan
masyarakat. Perdamaian memerlukan sistem dimana tidak ada pemenang
dan
pecundang.
Oleh karena itu, siapapun yang ingin mewujudkan
perdamaian, hidup damai, mesti menciptakan kondisi sedemikian rupa
untuk
munculnya
berbagai
dimensi
diatas.
Dalam
kaitan
dengan
perdamaian, keberadaan kebebasan, terjaminya martabat dan hak-hak
manusia, serta keadilan tidak bisa dinafkan. Dari sisi manajemen, sangat
dianjurkan agar di kalangan warga masyarakat atau kelompok kelompok
dalam masyarakat, untuk mengembangkan berbagai strategi mewujudkan
hidup damai, seperti kemampuan mendamaikan konfik, melakukan
tindakan anti kekerasan, dan mengembangkan kebersamaan masyarakat.
Kehidupan penuh kedamaian ditunjukan dengan berbagai hal, seperti
tidak
adanya
konfik,
perbedaan,
terdapat
kemampuan
untuk
adanya
saling
komitmen
saling
bersama
menjaga,
terdapatnya keamanan dan
pengertian,
saling
untuk
memperhatikan
menghargai
mengembangkan
dan
kerjasama,
kebebasan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Hidup damai memerlukan penyatuan dan harmonisasi diantara
berbagai elemen yang ada di masyarakat. Baik elemen dalam pengertian
pisik maupun non fsik. Kehidupan yang damai akan memberikan
ketenangan dan kenyamanan
serta kesejahteraan bagi semua warga
masyarakat.
Namun, upaya menciptakan kehidupan yang damai memerlukan
pengembanganh kultur perdamaian. Kultur perdamaian mesti mengganti
kultur
kekerasan
untuk
mewujudkan
kehidupan
yang
damai.
Mengembangkan kultur perdamain memerlukan waktu yang panjang yang
mesti dilakukan dengan penuh konsistensi dan secara terus menerus.
Generasi muda khususnya memerlukan perspektif baru, kehidupan yang
penuh dengan kedamaian. Bahkan tidak hanya sampai disitu tetapi
10
generasi muda harus pula memiliki
baru
yang memungkinakn
ketrampilan dan orientasi nilai nilai
mereka mengembangkan hubungan dan
struktur kerjasama dengan semua komponen bangsa yang membawa ke
perubahan kehidupan
yang membawa ke arah perdamaian. Perilaku
sebagai ujud kehidupan yang damai mesti berakar pada kultur hidup damai
yang menjiwai dan dipegang teguh oleh warga masayarakat. Kehidupan
damai yang hakiki, lahir bathin, tidak mungkin dipaksanakan dari luar,
ditopang
dengan
senjata
sekalipun.
Kehidupan
yang
damai
mesti
menunjukan adanya keseimbangan dan keharmonisan, bukan karena
hegemoni atau kekuasaan, apalagi oleh teror. Artinya, kehidupan yang
penuh kedamaian mesti alami, tidak bisa bersifat artifsial. Karena makna
kultur damai penting, PBB pada tanggal 13 September 1999 telah
mengeluarkan Deklarasi tentang Kultur Perdamaian, yang
menyatakan
bahwa: “culture of peace is a set of values, attitudes, traditions and modes of
behaviour and ways of life based on respect for life, ending of violence and
promotion and practice of non-violence through education, dialogue and
cooperation”.
Sudah barang tentu kultur damai berlawanan dengan kultur
kekerasan, yang dapat dikaji pada perbandingan berikut.
TABEL 1: PERBANDINGAN KULTUR DAMAI DAN KULTUR KEKERASAN
KULTUR DAMAI
KULTUR KEKERASAN
Dikembangkan lewat pendidikan
Dikembangkan
dengan
menggunakan kekuatan
Pemahaman,
toleransi
saling Sama adalah kawan, berbeda adalah
menghargai
musuh
Pertisipasi demokrasi
Pemerintahan otoriter
11
Kebebasan informasi
Proaganda dan kontrol informasi
Pelucutan senjata
Pengembangan persenjataan
Meneguhan HAM
Eksploitasi penduduk
Pembangunan berkelanjutan
Eksploitasi sumber daya alam
Kesetaraan perempuan dan lelaki
Dominasi lelaki
Diharapkan dengan dikembangkannya kultur perdamaian pada semua
jenjang pendidikan akan dapat diujudkan:
1. Kultur perdamaian menjadi nilai-nilai, sikap, dan perilaku warga
masyarakat, kelompok kelompok dan masyarakat dan bangsa sebagai
kesatuan.
2. Penghapusan segala bentuk deskriminasi terhadap perempuan.
3. Jaminan penghargaan terhadap anak-anak dan melindungi hak hak
anak-anak.
4. Jaminan memajukan demokrasi dan peningkatan pelaksanaan hakhak asasi manuisa.
5. Peningkatan kemampuan dan ketrampilan memecahkan perbedaan
dengan cara cara damai, seperti dialog, negosiasi, mengembangkan
konsensus.
6. Peningkatan pembangunan ekonomi sosial yang berkelanjutan.
7. Kebebasan menjalankan agamanya.
8. Kebebasan dan kemudahan menjalankan usaha untuk
memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Apabila dikaji secara cermat maka akan dapat diketemukan bahwa
perujudan dari pelaksanaan kultur damai dalam kehidupan masyarakat,
khususnya
kehidupan
lembaga
pendidikan,
merupakan
sarana
meningkatkan kemulyaan martabat manusia. Sumber kekuatan utama
12
membangun budaya perdamaian adalah warga masyarakat itu sendiri,
lewat mereka hubungan yang penuh kedamaian dapat diciptakan. Mendidik
warga masyarakat menjadi aktivis membangun perdamaian adalah penting.
PENDIDIKAN PERDAMAIAN
Pendidikan perdamaian adalah didasarkan pada flsafat bahwa
mengajarkan anti kekerasan, cinta, menyayangi, mempercayai, keadilan,
kerjasama, adalah
penting untuk kehidupan keluarga, bahkan untuk
seluruh kehidupan alam semesta ini. Di samping itu guna memujudkan
kehidupan yang damai warga masyarakat khususnya para pesertadidik
memerlukan
penguasaan
ketrampilan
yang
diperlukan,
seperti,
berkomunikasi, mendengarkan, memahami berbagai perpektif, kerjasama,
pemecahan masalah, berpikir kritis, mengambil keputusan, memecahkan
konfik dan tanggung jawab sosial.
Berkaitan dengan itu, konfrensi PBB untuk Pendidikan Perdamaian
(Castro, Loreta Navarro and Galace, Jasmin Nario, 2008) telah merumuskan
defnisi pendidikan perdamaian sebagai: Pengajaran untuk dan tentang hak
hak manusia, kesetaraan jender, perlucutan senjata, keadilian sosial
ekonomi, anti kekerasan, pembangunan yang berkelanjutan, Undangundang internasional, dan tradisi perdamaian lokal. Sudah barang tentu
defnisi PBB ini sangat luas dan mengarah pada suatu kemauan sesuai
dengan kondisi politik yang ada. Betatapun juga dengan rumusan tersebut
telah menunjukan bagaimana pentingnya pendidikan perdamaian dalam
kehidupan internasional, Pada masa sekarang ini konsep pendidikkan
perdamaian semakin menonjol dan diterima sebagai suatu program yang
amat penting dan sangat diperlukan bagi masyarakat demokratis dan
berkemajuan.
Oleh
karena
itu,
Vriens
(1999)
menyatakan
bahwa
pendidikan perdamaian merupakan suatu temuan penting pada era modern
13
ini.
Pendapat
senada
bahkan
cenderung
mendukung,
sembari
mengingatkan, dikemukakan oleh Bar-Tal (1999) dengan pernyataannya
meski pendidikan perdamaian telah tumbuh berkembang, tetapi program
pendidikan perdamaian secara praktis memerlukan melibatkan berbagai
komponen pendidikan.
Menurut Ardizzone, sebagaimana dikutip Harris (2004) kajian
pendidikan
perdamaian
bagaimana
cara
pada
awalnya
menghindarinya.
masyarakat yang
mengkaji
Untuk
itu
sebab
perlu
perang
dididik
dan
warga
mau dan mampu mempersiapkan sistem anti perang
secara struktural, baik dalam skop nasional maupun internasional.
Kemudian Danesh & Danesh
(2004) memperluas kajian
sehingga
pendidikan perdamaian mencakup: a)menjelaskan akar dari kekerasan,
b)mengajarkan
c)mengungkap
bagaiman
berbagai
menemukan
bentuk
dari
alternatif
kekerasan,
dari
kekerasan,
d)mengkaji
proses
perdamaian yang memiliki banyak variasi sesuai dengan konteks, dan,
e)menguraikan realitas konfik.
Disamping itu,
pendidikan
b)mengatasai
keamanan,
Harris (2002) mengidentifkasi adanya tujuan
perdamaian,
rasa
yakni:
ketakutan,
d)memahami
a)memperkaya
c)menyediakan
perilaku
konsep
sistem
kekerasan,
perdamaian,
informasi
dan
e)mengembangkan
pemahaman antar budaya, f)menyediakan suatu orientasi masa depan,
g)mengajarkan perdamaian sebagai suatu proses, h)memajukan konsep
perdamaian diiringi dengan keadilan sosial, i)mendorong munculnya suatu
penghargaan terhadap kehidupan, dan, j)menghentikan kekerasan. Secara
lebih umum, Reardon (1988) mengingatkan bahwa pendidikan perdamaian
memiliki tujuan sosial yang penting yakni melakukan transformasi kondisi
yang ada sekarang ini
dengan merubah struktur dan pola pikir guna
menciptakan kondisi yang baru. Pendapat ini dipertegas oleh Reardon &
14
Cabezudo (2002), yang menyatakan bahwa tujuan utama pendidikan
perdamaian
adalah menghapuskan
ketidakadilan sosial,
penolakan
terhadap kekerasan dan menghilangkan peperangan.
Pendidikan perdamaian sebagaimana dikemukakan oleh
Navarro and Jasmin Nario (2008) merupakan
penduduk
dengan
dilengkapi
ketrampilan,
Loreta
upaya memberdayakan
sikap
dan
penghetahuan
bertujuan untuk:
1. Mengembangkan, menjaga dan memperbaiki hubungan dan
interaksi antar warga masyarakat.
2. Mengembangkan pendekatan positif dalam menangani konfik
konfik, mulai dari konfik individual sampai konfik internasional.
3. Menciptakan lingkungan yang aman, baik fsik maupun emosional,
yang mempengaruhi individu individu.
4. Menciptakan dunia yang aman berdasarkan keadilan dan hak hak
asasi.
5. Membangun suatu lingkungan yang terus bertumbuh dan menjaga
dari eksploitasi dan peperangan.
Ahli lain, Gavriel Salomon(2002) setelah mengkaji berbagaiu kegiatan
pendidikan perdamaian, sampai pada keismpulan
bahwa
program
pendidikan perdamaian yang ada selama ini dapat di klasifkasi ke dalam
empat kategori:
1. Pendidikan
perdamaian
mengutamakan
pada
perubahan
pola
perilaku
2. Pendidikan
perdamaian
mengutamakan
pada
pengembangan
ketrampilan yang diperlukan dalam memecahkan konfik
3. Pendidikan perdamaian yang menekankan pada memajukan hak hak
asasi manusia.
15
4. Pendidikan perdamaian yang menekankan pada memajukan kultur
perdamaian.
Gagasan pendidikan perdamaian semakin mengerucut jelas
sebagaimana oleh salah seorang pedagog, Fountain (1999, 1) dirumuskan
pendidikan perdamaian sebagai:
“.....the process of promoting the knowledge, skills, attitudes
and values needed to bring about behaviour changes that willl
enable children, youth and adults to prevent confict and
violence, both overt and structural; to resolve confict peacefully;
and to create due conditions conducive to peace, whether at an
intra-personal,
inter-personal,
inter-group,
national
or
international level”.
Kondisi aman dalam pendidikan amat penting, sehingga para
pesertadidik merasa tidak takut. Secara psikologis rasa aman memiliki
peran sangat penting bagi anak
untuk bisa fokus dalam belajar. Aspek
psikososial ini juga merupakan salah satu sasaran dalam pendidikan
perdamain.
Relevan
mengemukaan
dengan
bahwa
pernyataan
kondisi
aman
itersebut,
pada
Harris
suatu
sekolah
(2002)
akan
menguntungkan bagi proses pendidikan karena akan menurunkan tingkat
konfik antar kelompok-kelompok
siswa, menurunya tingkat kenakalan
siswa dan menurunnya konfik konfik kekerasan lainya. Selanjutnya,
Harris menegaskan apabila anak memiliki aspek emosional yang baik akan
menimbulkan: a)meningkatkan emphati satu sama lain, b)meningkatkan
kemampuan
mengatur
diri,
c)mengurangi
tindak
agresivitas,
dan,
d)meningkatkan upaya konstruktif untuk mengatasi permasalahan atau
konfik.
16
Pendapat diatas didukung oleh hasil kajian pustakan yang dilakukan
Loreta Navaro & Jasmin Naro (2008) yang menyimpulklan antara lain,
bahwa
1. Saling hormat menghormati diantara warga bermasyarakat termasuk
warga sekolah merupakan suatu keharusan bagi perkembangan
intelektual seseorang.
2. Ada hubungan yang signifkan antara stress dan daya ingat
seseorang.
3. Terdapat kaitan antara keberhasilan dalam belajar dengan
keberhasilan mengembangkan kerjasama dengan sesama
pesertadidik.
Pendidikan perdamaian mengembangkan pengetahuan, ketrampilan,
sikap dan nilai-nilai
yang kemudian akan mengubah perilaku individu
kearah penghilangan kekerasan. Outcome pendidikan perdamaian adalah
siswa mengidentifkasi dirinya dengan kehidupan yang damai, bagaimana
menolak konfik, menghindari dari dan mencegah konfik, memahami akar
penyebab
konfik dan dan memecakannya dengan jalan damai, seperti
dialog dan negosiasi. Transformasi akan terjadi dengan mengembangkan
kesadaran
pada diri setiap persertadidik dan pemahaman bagaimana
melakukan perubahan. Dengan demikian pendidikan perdamaian dapat
disebut sebagai pendidikan transformatif, Sebagai pendidikan transformatif,
pendidikan perdamaian berarti mengembangkan proses pembelajaran yang
bersifat holistik, yang bertujuan mengembangkan keutuhan pada diri setiap
pesertadidik: kognitif, sosial, moral, estetika, dan fsik.
Pendidikan perdamaian yang dikemukakan dalam kesempatan ini lebih
menekankan pendidikan perdamaian sebagai upaya untu mengembangkan
budaya damai.
Pendidikan perdamaian bertujuan mengembangkan
17
kultur perdamaian atau kultur hidup damai di kalangan pesertadidik,
khususnya, dan masyarakat luas pada umumnya. Sebagai suatu bentuk
pendidikan mesti dikembangkan sesuai dengan prinsip prinsip pendidikan,
salah satunya adalah anti indoktrinasi. Peserta didik memiliki kebebasanm
untuk memahami, mengevaluasi dan mengkritisi pendidikan perdamaian
dan kultur damai tersebut.
Dari berbagai konsep dan defnisi diatas dapat dirumuskan Pendidikan
perdamaian adalah pendidikan yang dirancang untuk mengembangkan
budaya damai. Pendidikan perdamaian mengembangkan pengetahuan,
ketrampilan, sikap dan nilai-nilai yang mengubah perilaku individu kearah
penghilangan kekerasan dalam kehidupan bermasyarakat. Perubahan akan
terjadi dengan mengembangkan kesadaran
dan pemahaman bagaimana
melakukan perubahan. Dengan demikian, pendidikan perdamaian akan
memberikan
tantangan
bagi
indivdu
guna
melakukan
aksi
yang
memungkinkan warga masyarakat menciptakan suatu sistem dan kondisi
yang mendorong tindakan anti kerasan, keadilan, dan merawat lingkunga
hidup dan nilai-nilai perdamaian lainnya.
Dari perpektif teoritis, pendidikan perdamaianini bisa disebut sebagai
pendidikan
holistik transformatif, yang memiliki makna senantiasa akan
mengembangkan proses pembelajaran yang bersifat holistik, yang bertujuan
mengembangkan keutuha pada diri siswa, kognitif, sosial, moral, estetika,
dan fsik, sehingga akan menghasilan suatu perubahan. Pendidikan
perdamaian holistic
transformatif memiliki karakteristik sebagai berikut:
a)memberikan kesempatan bagi peserta untuk berkembang secara utuh,
b)menghintegrasikan materi perdamaian dalam mata pelajaran yang
relevan, c)menekankan pengembangan secara optimal dalam diri individu
dan kelompok, d)menekankan proses pembelajaran yang dinamis dengan
perilaku partisipatif dari semua pesertadidik,
e)menekankan proses
18
pembelajaran
pengembangan
pengetahuan
dan
sikap,
dan,
kultur
perdamaian yang akan terjabarkan dalam perilaku damai.
Sitem dan praktik pendidikan
berawal
dari
suatu
prinsip
perdamaian transformatif holistik,
bahwa
setiap
pesertadidik
membawa
kemampuan yang khas, yang berkaitan erat dengan bakat, minat dan
ketertarikan pada sesuatu hal tertentu, termasuk tidak ada anak yang ingin
menderita, sebaliknya setiap anak ingin hidup damai. Pendidik, memiliki
tugas untuk membantu para pesertadidik mengembangkan bakat dan
potensi secara optimal. Dr Ramon Gallegos Nava (2000) menjabarkan
pendidikan
perdamaian
holistic
transformatif
memiliki
potensi
multidimensi, mencakup intelektual, sosial, emosional, pisik, aestetika dan
spiritual. Keenam aspek tersebut akan menyatu menjadi semangat
kemanusiaan anti kekerasan. Jadi pendidikan perdamaian tidak sekedar
mengembangkan intelektual yang pada hakekatnya bertintikan logika.
Semakin tinggi derajat intelektual berarti semakin kuat logika yang dimiliki.
Proses pendidikan perdamaian tidak berlangsung dalam ruang dan kondisi
vakum, melainkan pendidikan berproses dalam suatu lingkingan sosial.
Lingkungan sosial ini akan mengembangkan kemampuan pesertadidik
untuk
memberikana
disekitarnya.
makna
Pemahaman
bersama
akan
atas
makna
apa
bersama
yang
inilah
yang
yang
terjadi
akan
menciptakan kehidupan menjadi serasi, harmonis dan damai. Disamping
lingkungan sosial, proses pendidikan perdamaian juga melibatkan emosi
pesertadidik dan juga emosi pendidik. Kematangan emosional pesertadidik
akan berkembang seiring sejalan dengan kekuatan intelektual. Ketidak
sesuaian
perkembanagan
intelektual
dan
emosional
pesertadidik
menimbulkan ketimpangan dalam diri pesertadidik yang akan berdampak
pada
kehidupan
masyarakatnya.
Proses
pembelajaran
pendidikan
perdamaian juga erat berkaitan dengan fsik pesertadidik. Kekuatan fsik
yang
dimiliki
akan
mempengaruhi
kemampuan
intelektual.
Proses
19
pendidikan memerlukan kekuatan pisik yang prima. Antara otak dan tubuh
harus
serasi. Aestetika atau keindahan
dalam
eksistensi
kehidupan
merupakan salah satu kunci
kemanusiaan,
kehidupan yang harmnois, damai dan
yang
akan
mewujudkan
bahagia. Pendidikan perdamaian
pada akhirnya akan mengantarkan pesertadidik menuju kehidupan yang
bermartabat, bahagia lahir dan bathin. Pencapaian kehidupan yang
bermartabat, bahagia lahir dan bathin, memerlukan kesadaran untuk apa
hidup dan bagaimana seharusnya hidup itu. Oleh karena itu, dengan
pendidikan perdamaian,
pesertadidik harus memiliki pemahaman dan
kesadaran untuk apa belajar dan harus bagaimana belajar itu. Pemahaman
dan kesadaran tersebut merupakan inti dari spiritualitas. Pesertadidik yang
memiliki
kedalaman
spiritualitas
akan
dapat
memaknai
pendidikan
perdamaian dalam perilaku damai dna mengajak lingkungan hal yang
sama. Puncak dari spiritualitas dan merupakan kesatuan dari enam aspek
pesertadidik akan terujud dalam bentuk semangat kemanusiaan, semangat
menjalani hidup dan kehidupan yang
bermartabat, kehidupan yang
menjauhi tindak kerasan. Menjadi seseorang yang senantiasa menekankan
sikap dan tindakan anti kekerasan dalam menjalani kehidupan, seseorang
yang senantiasa mendahulukan cara cara damai dalam memecahklan
setiap persoalan kehidupan, merupakan cermin dari kemulyaan martabat
manusia.
Kehidupan pesertadidik dalam proses pendidikan perdamaian dapat
dianalisis berdasarkan kesatuan pengetahuan dari ilmu psikologi, flsafat
dan
agama,
yang
akan
terujud
pada
kemampuan
dan
kapasitas
pesertadidik yang mencakup kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan,
keindahan cinta kasih dan kemauan atau nafsu. Kesemuanya itu akan
terujud dalam, tiga aspek kehidupan: tubuh, pikiran dan jiwa.
Dari perspektif pendidikan perdamaian, hakekat hidup manusia itu
memiliki tiga dimensi: tubuh, pikiran dan jiwa. Tubuh merupakan cermin
20
semua mahluk hidup. Apapun mahluk hidup pasti memiliki tubuh, dan
semua tubuh memiliki kesamaan. Jadi antara binatang dan manusia,
berdasarkan perspektif tubuh adalah sama. Pikiran juga dimiliki oleh
sebagian mahluk hidup, tidak hanya manusia. Hanya apabila dilihat dari
potensi keberadaan pikiran manusia menempati derajat paling tinggi, baik
dalam arti kondisi maupun dalam potensi untuk berkembang. Sedangkan
jiwa hanya dimiliki oleh mahluk manusia. Oleh karena itu, jiwalah yang
akan bisa membedakan hakekat manusia dengan mahluk bukan manusia.
Pendidikan perdamaian akan menyentuh dan mengembangkan ketiga
aspek manusia tersebut secara serasi dan harmonis. Pendidikan yang bisa
mengembangkan secara serasi dan harmonis ketiga dimensi kehidupan:
tubuh, pikiran dan jiwa, akan bisa mengembangkan potensi yang dimiliki
manusia: pengetahuan, cintakasih dan kemauan atau nafsu. Dalam
konteks proses pendidikan perdamaian, ketiga dimensi
tersebut bisa
diujudkan dalam tubuh, otak dan hati. Keterpaduan dan keharmonisan tiga
dimensi tersebut merupakan akar tumbuhnya budaya perdamaian.
Praktik pembelajaran pendidikan perdamaian senantiasa berpusat
sekitar keterkaitan atau hubungan, keutuhan, dan aktualisasi. Keterkaitan
atau hubungan merupakan suatu prinsip bahwa kehidupan itu memiliki
karakteristik yang terangkai dalam sebab akibat. Suatu hasil pasti ada
penyebabnya. Dan setiap penyebab bisa direkayasa untuk mempengaruhi
hasil tertentu. Sebab akibat tidak mesti hasil rekanan manusia, melainkan
ada
sebab
akibat
yang
terkait
dengan
alam
sekitarnya.
Praktik
pembelajaran pendidikan perdamaian tersebut antara lain mencakup:
Interdependence,
Interrelationship,
Participatory,
dan
Non-linearity.
Interdependence memiliki arti bahwa setiap bagian memiliki keterkaiatan
dengan dengan fungsi bagian yang lain, sehingga membentuk suatu sistem
yang utuh dan menyeluruh. Interrelationship memiliki arti sistem yang ada
merupakan suatu jejaring yang kompleks, dan terjadi hubungan diantara
21
berbagai bagian dalam sistem dan hubungan dengan sistem eksternal.
Participatory
memiliki
arti
bahwa
siapapun
yang
terlibat
dalam
pembelajaran perdamaian akan memiliki hubungan yang amat dekat
dengan lingkungan pembelajaran yang ada. Non-linearity merujuk bahwa
sistem pembelajaran perdamaian bersifat terbuka, dengan pola interaksi
yang kompleks, terdapat sistem umpan balik yang dinamis, muncul; sistem
yang mengorganisir diri sendiri secara otomatis, dan sifat hubungan tidak
linier langsung melainkan bersifat dialetik. Hal ini menyebabkan praktik
pendidikan perdamian sangat variatif kontekstual sesuai dengan kondisi
dan lingkungan yang ada.
Pembelajaran dalam pendidikan perdamaian menekankan lahirnya
pesertadidik yang memiliki kepribadian mandiri, memiliki penghayatan
hidup damai, senantiasa menekankan pada kebajikan dan refektif, serta
memilih sifat jujur alami tidak dibuat-buat.
Disamping itu, pendidkan
perdamaian menekankan pada keutuhan pada diri pesertadidik, kreativitas,
dan transformatif serta bertanggung jawab. Prosedur pembelajaran dalam
pendidikan
perdamaian
adalah
mengenalkan
kepada
pesertadidik
pengetahuan yang relevan, mengangkat mempertanyakan nilai-nilai
dan
menggunakan diskusi dan bentuk partisipasi yang lain guna melibatkan
pesertadidik secara aktif dalam proses pembelajaran, dengan tekanan agar
terjadi internalisasi nilai-nilai dan sikap petamaian dalam diri individu
pesertadidik.
Sudah barang tentu meski tujuan pendidikan adalah keutuhan,
namun
dalam
analisis
tetap
saja
ditekankan
bahwa
pembelajaran
pendidikan perdamaian mencakup aspek kognitif, afektif dan perilaku.
Proses pembelajaran pendidikan perdamaian pada level kognitif
mengembangkan
pemahaman dan kesadaran.
adalah
Pada level afektif untuk
mengembangkan sikap mendukung, pro pada tindakan non kekerasan
22
dalam kehidupan bermasyarakat.
dan pada level
perilaku adalah
mengembangkan tindakan menegakan perdamaian.
Berdasarkan bahasan diatas, dapat diujudkan pada gambar 1 yang
menunjukan bagaimana dinamika kemulyaan martabat manusia sangat
tergantung dengan keberadaan perilaku damai. Perilaku damai sendiri tidak
datang dengan tiba –tiba melainkan muncul berakar dari adanya kultur
damai. Kultur damai juga tidak muncul secara tiba tiba melainkian hasil
proses panjang dan rekaya saya pendidikkan perdamaian.
Apapun konsep dan tujuan yang akan diujudkan lewat pendidkan
perdamaian, satu hal yang mesti dicatat adalah bahwa pendidikan
perdamaian mesti menekankan tujuan jangka panjang yang mesti dicapai.
Disamping itu, pendidikan perdamaian adalah suatu etika yang bersifat
keniscayaan guna menghindarkan
penduduk dari berbagai bentuk
bencana kekerasan. Oleh karena itu, pendidikan perdamaian perlu
mengembangkan kesadaran akan pentingnya perubahan personal dan
struktural yang akan melahirkan berbagai kebijakan untuk memecahkan
masalah tanpa dengan kekerasan, manusiawi dan ramah lingkungan.
23
Pendidikan perdamaian mengembangkan etika dan nilai-nilai tidak
hanya untuk hal hal yang bersifat fsik manusiawi,
kebaikan dalam
bebagai, seperti,
tetapi
juga untk
hormat terhadap martabat manusia,
tindak tanpa kekerasan, keadilan dan mencintai empati kepada sesama.
Semua
itu
merupakan
prinsip
kehidupan
yang
didorong
untuk
diinternalisasi pada setiap diri individu karena akan membawa kedamaian
hidup.
Sudah barang tentu membahas pendidikan, termasuk pendidikan
perdamaian tidak bisa melepaskan dari pembahasan kurikulum. Setiap
kurikulum mengandung apa yang akan disampaikan atau diajarkan kepada
pesertadidik dan bagaimana menyampaikannya. Bagaimana menyampaikan
atau
delivery
instructional
system
sudah
dibahas
dibagian
depan.
Pertanyaanya apakah materi yang akan disampaikan dalam pendidikan
perdamaian. Beberapa pengetahuan dan materi pembelajaran yang dapat
diintegrasikan kedalam pendidikan perdamaian antara lain:
1. Konsep holistik perdamaian
2.Konfik dan kekerasan
3.Beberapa altertnatif damai
4. Perlucutan senjata
5. Tanpa kekerasan
6. Resolosi ttansformasi dan preventif konfik
7. Hak hak asasi, solidaritas, keadilan, demokratisasi dan pembangunan
berkelanjutan
24
Sedangkan aspek aspek nilai dan sikap yang perlu untuk
dkembangkan
1. Self-respect, Respek pada fhak lain, Respek terhadap kehidupan
lingkungan.
2. Kesetaraan gender.
3. Berkaitan denghan kehidupan global: globalisasi, ekologi, kerjasama
global, keterbukaan dan toleransi, keadilan global, tanggung jawab
sosial dan visi kedepan
Berkaitan dengan Ketrampilan
khas perdamaian, pendidikan
perdamaian perlu mengembanghkan pada diri pesertadidik
untuk
melakukan:
keputusan,
imaginasi,
Refeksi,
Berpikir
komnunikasi,
kritis
resolusi
analitis,
konfik,
kemampuan
penghambilan
empati
dan
mengembangkan kelompok.
Dalam dunia pendidikan, betapapun bagus kebijakan yang ada,
semuanya akan terpulang pada kondisi sekolah dan apa yang berlangsung
di sekolah. Kenyataan ini mengajarkan kepada kita semua bahwa pada
akhirnya makna pendidikan perdamaian adalah terletak pada level sekolah.
Sebagaimana dikemukakan diatas, pada level sekolah memiliki variasi dan
karakteristik yang ber beda beda yang membawa implikasi bentuk dan
warna pendidikan perdamaian juga akan berbeda beda, baik antar bangsa
maupun berbeda beda dalam satu bangsa.
Sekolah sebagai suatu entitas utuh dengan segala komponennya mesti
secara penuh terlibat dalam pendidikan perdamaian. Pendidikan pada level
sekolah adalah merupakan sekumpulan
interaksi yang terjadi diantara
berbagai warga sekolah. Interaksi siswa dengan siswa, interaksi siswa
dengan guru, interaksi guru dengan kepala sekolah, interaksi guru dengan
guru, interaksi kepala sekolah dengan pustakawan, interaksi guru dan
25
siswa dengan penjaga sepeda, dan sebagainya. Setiap interaksi akan
menimbulkan enerji. Interaksi yang positif akan menimbulkan enerji positif
yang akan mendukiung terciptanya sekolah yang aman dan damai.
Sebaliknya, interaksi negatif akan menimbulkkan enerji negatif yang akan
mendorong munculnya kekerasan di sekolah.
Interaksi positif akan muncul manakala warga sekolah yang dewasa,
khususnya guru dan kepala sekolah, dalam berinteraksi dengan siswa
senantiasa mengaktifkan persepsi positif atas siswa. Mengaktifkan persepsi
positif memiliki arti manakala ketemu dan atau berinteraksi dengan siswa
guru atau kepala sekolah senantiasa melihat
dan menekankan dimensi
positif yang dimiliki oleh siswa. Bukan sebaliknya, menonjolkan sisi negatif
dari siswa. Persepsi yang baik ini akan mempengaruhi sikap dan perilaku
guru dan kepala sekolah selanjutnya, yang akan menguntungkan untuk
perkembangan budaya damai siswa.
Apa yang terjadi pada level sekolah akan memiliki kaitan dengan apa
yang terjadi pada level kelas. Diantara dua level ini senantiasa terjadi
interaksi yang berisfat kausalitas. Sekolah mesti dapat memastikan bahwa
pada level kelas berjalan proses pendidikan perdamaian. Salah satu kondisi
yang diperlukan untuk memulai pendidikan perdamaian pada level kelas
adalah terciptanya zone damai pada setiap kelas, yang memiliki ciri sebagai
berkut:
1. Dalam kelas senantiasa hanya satu orang yang berbicara, dan yang
lain menjadi menjadi pendengar yang baik.
2. Senantiasa bersifat inklusif.
3. Siapapun berbicara seperlunya.
4. Berbicara dengan sopan.
5. Menunjukan saling hormat menghormati.
6. Memahami dan menerima perbedaan yang ada.
26
7. Senantiasa mendahulukan kerjasama dari pada bersaing.
8. Senantiasa terbiasa memncari upaya pemecahan secara konstruktif
tanpa kekasrasan.
9. Membiasakan berkomunikasi dengan bahasa dan gaya tubuh yang
bersahabat.
10.
Membiasakan menggunakan pola bahasa yang positif dari pada
negatif.
PENUTUP
Tidak adanya persetujuan umum atas pendekatan dan konsep
menangani perdamaian bukan hanya satu satunya penyebab banyaknya
konfik dan kekerasan antar bangsa dan dalam suatu bangsa, sebagaimana
yang ada pada bangsa Indonesia. Penyebab penting adalah tidak adanya
pendidikan perdamaian yang diberikan kepada para peserta didik sebagai
generasi baru bangsa. Tidak adanya pendidikan perdamaian sungguh amat
mempengaruhi munculnyan kekerasan di setiap generasi baru. Oleh karena
itu, sudah semestinya, perlu dirancang dan dirintis program pendidkan
perdamaian.
Berbagai pendekatan dan konsep
yang ada pada pendidikan
perdamaian menunjukan, disatu sisi betapa luasnya cakupan keinginan
hidup yang baik
dalam perdamaian. Pada sisi lain menunjukan betapa
sulitnya mencapai persetujuan memahami hakekat perdamaian dan upaya
uintuk mewujudkannya. Bertitik tolak dari hal ini sangat terasa perlunya
keberadaan suatu kerangka teori perdamaian dan pendidikan perdamian,
untuk membawa berbagai pandangan berkaitan dengan
kedalam
satu
pemahaman
yang
utuh
dan
menyeluruh
perdamaian
bagaimana
seharusnya menghilangkan kekerasan dan menciptakan perdamaian.
27
Pendidikan perdamaian merupakan suatu proses transformatif holistik
yang bertujuan menanamkan nilai-nilai, mengembangkan pengetahuan dan
sikap, ketrampilan serta perilaku untuk senantiasa hidup harmonis pada
diri sendiri, harmonis dengan orang lain dan harmonis pula dengan
lingkunan
alamnya.
Nilai yang paling penting yang dihasilkan oleh
pendidikan
perdamaian adalah kemampuan untuk menjadi diri sendiri
yang memiliki tanggung jawab menyalakan api untuk menerangi jalan
menuju kehidupan yang damai.
Pendidikan perdamaian memiliki tanggung jawab kepada bangsa dan
negara serta kepada umat manusia untuk menghasilkan manusia-manusia
yang utuh bebas dari rasa takut dan
mengembanghkan
Dengan demikian,
perdamaian
dengan
memiliki semangat untuk
segala
resiko
proses pendidikan perdamaian
yang
dihadapi.
akan senantiasa
memulyakan martabat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang paling
sempurna, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
28
DAFTAR PUSTAKA
Barnaby, F. (Ed.) (1989). The Gaia peace atlas. New York: Doubleday.
Bar-Tal, D. (1999) The elusive nature of peace, in: A. Raviv, L. Oppenheimer
& D. Bar-Tal (Eds) How children understand war and peace (San
Francisco, CA, Jossey-Bass).
Danesh, H. B. ( 2006, March) Towards an integrative theory of peace
education. Journal of Peace Education Vol. 3, No. 1, pp. 55–78
Danesh. H. B. (2002, September) Education for Peace: breaking the cycle of
violence. A Paper presented at: African Civil Society Organization and
Development: re-evaluation for the 21st century (New York, Ofce of
Social and Economic Development, United Nations) pp. 32–39.
Danesh, H. B. & Danesh R. (2004) Confict-free confict resolution (CFCR):
process and methodology, Peace and Confict Studies, Vol. 11(2), 55–84.
Fountain, S. (1999). Peace education in UNICEF. United Nations Children's
Fund Programme Publications.
Galtung, J. & Jacobsen, C. G. (2000) Searching for peace: the road to
TRANSCEND (London, Pluto Press).
Harris, Ian, M. (2004, March)
Peace education theory. Journal of Peace
Education. Vol. 1:1, pp. 5-20
Jardine, David. (2000). Under the Tough Old Stars: Ecopedagogical Essays.
Brandon, VT: Foundation for Educational Renewal.
Kessler, Rachael (2000). The Soul of Education: Helping Students Find
Connection, Compassion and Character at School. Alexandria, VA:
ASCD.
Loreta Navarro-Castro and Jasmin Nario-Galace (2008) Peace education: A
Pathway to a culture of peace. Center for Peace Education, Miriam
College Quezon City, Philippines
29
Mische, P. (1987). The earth as peace teacher. A Paper. International
institute on peace education. Manila.
Nava, Ramon,
Gallegos
(2003) Conscious Evolution through Holistic
Education. An Integrated Model of Holistic Education. A Paper.
O’Kane, M. “Peace: The Overwhelming Task,” Veterans for Peace Journal,
(Winter 1991-92), Issue no.19, p.3.
Reardon, B. (1988). Comprehensive peace education. New York: Teachers
College, Columbia University.
Reardon, B. and Cabezudo, A. (2002). Learning to abolish war: teaching
toward a culture of peace. New York: Hague Appeal for Peace.
Salomon, G. (2002) The nature of peace education: not all programs are
equal, in: G. Salomon & B. Nevo (Eds) Peace education: the concept,
principles, and practices around the world (New York, Lawrence
Erlbaum) pp. 3–14.
Sastraprateja, S.J. (1992) Konsepkualitas dan martabat manusia: Konsep
budayawan dan masyarakat. Dalam Pembangunan Martabat manusia.
Peranan ilomu ilmu sosial
dalam pembangunan diedit oleh Sofan
Effendi, Syafri Sairin, M. Alwi Dahlan. Yogyakarta: Gajah Mada
Universwity Preess, 59-63.
Tricia S. Jones, Tricia S. (2001) Making Peace in Our Schools: Confict
Resolution Education and the Department of Peace. A Paper.
UNESCO (1998) Transdisciplinary project. Towards a culture of peace.
Available
online
at:
http://www.unesco.org/cpp/uk/projects/infoe.html (diunduh 9 Mei
2016
Vriens, L. (1999) Children, war, and peace: a review of ffty years of
research from the perspective of a balanced concept of peace education,
30
in: A. Raviv, L. Oppenheimer & D. Bar-Tal (Eds) How children
understand war and peace (San Francisco, CA, Jossey-Bass) pp. 27–58.
31