Mari bergabung dengan komunitas Wikipedi (2)

Mari bergabung dengan komunitas Wikipedia bahasa Indonesia!

Pemberontakan di Aceh
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pemberontakan di Aceh (1976–2005)

Lokasi Aceh di Indonesia

Tanggal
Lokasi

4 Desember 1976 – 15 Agustus 2005
Aceh, Indonesia
Persetujuan perdamaian Helsinki

Hasil



Otonomi khusus untuk Aceh




Pelucutan GAM



Ditariknya tentara Indonesia



Misi Pemantau Aceh



Diadakannya pilkada

Pihak yang terlibat
Gerakan Aceh

Indonesia


Merdeka

Komandan
Suharto
Jusuf Habibie
Abdurahman Wahid
Megawati Sukarnoputri

Hasan di Tiro

[tutup]

Susilo Yudhoyono

Kekuatan
150,000

[1]


3,000 [2]

Korban
10.000 tewas[3]
Artikel ini bagian dari seri

Sejarah Indonesia

Lihat pula:
Garis waktu sejarah Indonesia
Sejarah Nusantara
Prasejarah

Kerajaan Hindu-Buddha
Kutai (abad ke-4)
Tarumanagara (358–669)
Kalingga (abad ke-6 sampai ke-7)
Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13)
Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)
Kerajaan Medang (752–1006)

Kerajaan Kahuripan (1006–1045)
Kerajaan Sunda (932–1579)
Kediri (1045–1221)
Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)
Singhasari (1222–1292)
Majapahit (1293–1500)
Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)

Kerajaan Islam
Penyebaran Islam (1200-1600)
Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521)
Kesultanan Ternate (1257–sekarang)
Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)
Kesultanan Malaka (1400–1511)
Kerajaan Inderapura (1500-1792)
Kesultanan Demak (1475–1548)
Kesultanan Aceh (1496–1903)
Kesultanan Banten (1527–1813)
Kesultanan Cirebon (1552 - 1677)
Kesultanan Mataram (1588—1681)

Kesultanan Siak (1723-1945)

Kerajaan Kristen
Kerajaan Larantuka (1600-1904)

Kolonialisme bangsa Eropa
Portugis (1512–1850)
VOC (1602-1800)
Belanda (1800–1942)

Kemunculan Indonesia
Kebangkitan Nasional (1899-1942)
Pendudukan Jepang (1942–1945)
Revolusi nasional (1945–1950)

Indonesia Merdeka
Orde Lama (1950–1959)
Demokrasi Terpimpin (1959–1965)
Masa Transisi (1965–1966)


Orde Baru (1966–1998)
Era Reformasi (1998–sekarang)



l



b



s

Pemberontakan di Aceh dikobarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk
memperoleh kemerdekaan dari Indonesia antara tahun 1976 hingga tahun 2005.
Operasi militer yang dilakukan TNI dan Polri (2003-2004), beserta kehancuran
yang disebabkan oleh gempa bumi Samudra Hindia 2004 menyebabkan
diadakannya persetujuan perdamaian dan berakhirnya pemberontakan. Amnesty

International merilis laporan Time To Face The Past pada April 2013 setelah
pemerintah Indonesia dianggap gagal menjalankan kewajibannya sesuai perjanjian
damai 2005. Laporan tersebut memperingatkan bahwa kekerasan baru akan terjadi
jika masalah ini tidak diselesaikan.[4]

Daftar isi


1 Latar belakang



2 Garis waktu
o 2.1 Tahap pertama
o 2.2 Tahap kedua
o 2.3 Tahap ketiga
o 2.4 Kesepakatan damai dan pilkada pertama




3 Kemungkinan penyebab konflik
o 3.1 Sejarah
o 3.2 Agama
o 3.3 Keluhan ekonomi
o 3.4 Peran GAM dalam memprovokasi keluhan



4 Kemungkinan faktor konflik berkepanjangan
o 4.1 Daya tahan jaringan GAM
o 4.2 Pelanggaran HAM oleh militer Indonesia
o 4.3 Kepentingan militer Indonesia di Aceh



5 Kemungkinan faktor resolusi damai
o 5.1 Melemahnya posisi militer GAM
o 5.2 Tekanan internasional
o 5.3 Pergantian kepemimpinan Indonesia 2004




6 Laporan Time To Face The Past



7 Lihat pula



8 Referensi



9 Pranala luar

Latar belakang

Secara luas di Aceh, agama Islam yang sangat konservatif lebih dipraktekkan, hal
ini berbeda dengan penerapan Islam yang moderat di sebagian besar wilayah

Indonesia lain. Perbedaan budaya dan penerapan agama Islam antara Aceh dan
banyak daerah lain di Indonesia ini menjadi gambaran sebab konflik yang paling
jelas. Selain itu, kebijakan-kebijakan sekuler dalam administrasi Orde Baru
Presiden Soeharto (1965-1998) sangat tidak populer di Aceh, di mana banyak
tokoh Aceh membenci kebijakan pemerintahan Orde Baru pusat yang
mempromosikan satu 'budaya Indonesia'. Selanjutnya, lokasi provinsi Aceh di
ujung Barat Indonesia menimbulkan sentimen yang meluas di provinsi Aceh
bahwa para pemimpin di Jakarta yang jauh tidak mengerti masalah yang dimiliki
Aceh dan tidak bersimpati pada kebutuhan masyarakat Aceh dan adat istiadat di
Aceh yang berbeda.

Garis waktu
Tahap pertama
Kecenderungan sistem sentralistik pemerintahan Soeharto, bersama dengan
keluhan lain mendorong tokoh masyarakat Aceh Hasan di Tiro untuk membentuk
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 4 Desember 1976 dan
mendeklarasikan kemerdekaan Aceh. Ancaman utama yang dianggap
melatarbelakangi adalah terhadap praktik agama Islam konservatif masyarakat
Aceh, budaya pemerintah Indonesia yang dianggap "neo-kolonial", dan
meningkatnya jumlah migran dari pulau Jawa ke provinsi Aceh. Distribusi

pendapatan yang tidak adil dari sumber daya alam substansial Aceh juga menjadi
bahan perdebatan. Serangan pertama GAM pada tahun 1977 dilakukan terhadap
Mobil Oil Indonesia yang merupakan pemegang saham PT Arun NGL,
perusahaan yang mengoperasikan ladang gas Arun.
Pada tahap ini, jumlah pasukan yang dimobilisasi oleh GAM yang sangat terbatas.
Meskipun telah ada ketidakpuasan cukup besar di Aceh dan simpati yang
mungkin pada tujuan GAM, hal ini tidak mengundang partisipasi aktif massa.[5]

Dalam pengakuan Hasan di Tiro sendiri, hanya 70 orang yang bergabung
dengannya dan mereka kebanyakan berasal dari kabupaten Pidie, terutama dari
desa di Tiro sendiri, yang bergabung karena loyalitas pribadi kepada keluarga di
Tiro, sementara yang lain karena kekecewaan terhadap pemerintah pusat.[5]
Banyak pemimpin GAM adalah pemuda dan profesional berpendidikan tinggi
yang merupakan anggota kelas ekonomi atas dan menengah masyarakat Aceh.[6]
Kabinet pertama GAM, yang dibentuk oleh di Tiro di Aceh antara tahun 1976 dan
1979, terdiri dari tokoh pemberontakan Darul Islam berikut ini:[7]


Teungku Hasan di Tiro:Wali Negara, Menteri Pertahanan, dan Panglima
Agung



Dr Muchtar Hasbi: Wakil Presiden, Menteri Dalam Negeri



Teungku Muhamad Usman Lampoih Awe: Menteri Keuangan



Teungku Ilyas Leube: Menteri Kehakiman



Dr Husaini M. Hasan: Menteri Pendidikan dan Informasi



Dr Zaini Abdullah: Menteri Kesehatan



Dr Zubir Mahmud: Menteri Sosial



Dr Asnawi Ali: Menteri Pekerjaan Umum dan Industri



Amir Ishak: Menteri Komunikasi



Amir Mahmud Rasyid: Menteri Perdagangan



Malik Mahmud: Menteri Luar Negeri

Para prajurit kelas menengah dan serdadu yang bergabung dalam GAM sendiri
telah berjuang pada tahun 1953-1959 dalam pemberontakan Darul Islam.[5]
Banyak dari mereka adalah laki-laki tua yang tetap setia kepada mantan gubernur
militer Aceh dan pemimpin pemberontakan Darul Islam di Aceh, Daud Beureueh.
[8]

Orang yang paling menonjol dari kelompok ini adalah Teungku Ilyas Leube,

seorang ulama terkenal yang pernah menjadi pemimpin pemberontakan Darul
Islam.[8] Beberapa orang anggota Darul Islam juga kemungkinan terkait dengan di
Tiro melalui keluarga atau ikatan regional, namun kesetiaan mereka terutama
adalah untuk Beureueh.[9] Orang-orang inilah yang menyediakan pengetahuan
militer, pertempuran, pengetahuan lokal dan keterampilan logistik yang tidak
memiliki pemimpin muda GAM yang berpendidikan.[9]
Pada akhir tahun 1979, tindakan penekanan yang dilakukan militer Indonesia
telah menghancurkan GAM, pemimpin-pemimpin GAM berakhir di pengasingan,
dipenjara, atau dibunuh; pengikutnya tercerai berai, melarikan diri dan
bersembunyi.[10] Para pemimpinnya seperti Di Tiro, Zaini Abdullah (menteri
kesehatan GAM), Malik Mahmud (menteri luar negeri GAM), dan Dr Husaini M.
Hasan (menteri pendidikan GAM) telah melarikan diri ke luar negeri dan kabinet
GAM yang asli berhenti berfungsi.[11]

Tahap kedua

Teungku Muhammad Daud Beureueh
Pada tahun 1985, di Tiro mendapat dukungan Libya untuk GAM, dengan
mengambil keuntungan dari kebijakan Muammar Gaddafi yang mendukung
pemberontakan nasionalis melalui "Mathaba Melawan Imperialisme, Rasisme,
Zionisme dan Fasisme".[12] Tidak jelas apakah Libya kemudian telah mendanai
GAM, tapi yang pasti disediakan adalah tempat perlindungan di mana para
serdadu GAM bisa menerima pelatihan militer yang sangat dibutuhkan.[12]
Sejumlah pejuang GAM yang dilatih oleh Libya selama periode 1986-1989 atau
1990 menceritakan pengakuan yang berbeda-beda.[13] Perekrut GAM mengklaim
bahwa jumlah mereka ada sekitar 1.000 sampai 2.000 sedangkan laporan pers
yang ditulis berdasar laporan militer Indonesia menyatakan bahwa mereka
berjumlah 600-800.[12] Di antara para pemimpin GAM yang bergabung selama
fase ini adalah Sofyan Dawood (yang kemudian menjadi komandan GAM Pasè,
Aceh Utara) dan Ishak Daud (yang menjadi juru bicara GAM di Peureulak, Aceh
Timur).[14]
Insiden di tahap kedua dimulai pada tahun 1989 setelah kembalinya peserta
pelatihan GAM dari Libya.[15] Operasi yang dilakukan GAM antara lain operasi
merampok senjata, serangan terhadap polisi dan pos militer, pembakaran dan

pembunuhan yang ditargetkan kepada polisi dan personel militer, informan
pemerintah dan tokoh-tokoh yang pro-Republik Indonesia.
Meskipun gagal mendapatkan dukungan yang luas, tindakan kelompok GAM
yang lebih agresif ini membuat pemerintah Indonesia untuk memberlakukan
tindakan represif. Periode antara tahun 1989 dan 1998 kemudian menjadi dikenal
sebagai era Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh ketika militer Indonesia
meningkatkan operasi kontra-pemberontakan di Aceh.[10] Langkah ini, meskipun
secara taktik berhasil menghancurkan kekuatan gerilya GAM, telah
mengakibatkan korban di kalangan penduduk sipil lokal di Aceh. Karena merasa
terasing dari Republik Indonesia setelah operasi militer tersebut, penduduk sipil
Aceh kemudian memberi dukungan dan membantu GAM membangun kembali
organisasinya ketika militer Indonesia hampir seluruhnya ditarik dari Aceh atas
perintah presiden Habibie pada akhir era 1998 setelah kejatuhan Soeharto.[16]
Komandan penting GAM telah entah dibunuh (komandan GAM Pasè Yusuf Ali
dan panglima senior GAM Keuchik Umar), ditangkap (Ligadinsyah Ibrahim) atau
lari (Robert, Arjuna dan Daud Kandang).[17]

Tahap ketiga

Tentara Wanita dari Gerakan Aceh Merdeka dengan komandan GAM Abdullah
Syafei'i, 1999

Pada tahun 1999, terjadi kekacauan di Jawa dan pemerintah pusat yang tidak
efektif karena jatuhnya Soeharto memberikan keuntungan bagi Gerakan Aceh
Merdeka dan mengakibatkan pemberontakan tahap kedua, kali ini dengan
dukungan yang besar dari masyarakat Aceh.[18] Pada tahun 1999 penarikan
pasukan diumumkan, namun situasi keamanan yang memburuk di Aceh kemudian
menyebabkan pengiriman ulang lebih banyak tentara. Jumlah tentara diyakini
telah meningkat menjadi sekitar 15.000 selama masa jabatan Presiden Megawati
Soekarnoputri (2001 -2004) pada pertengahan 2002. GAM mampu menguasai 70
persen pedesaan di seluruh Aceh.[19]
Selama fase ini, ada dua periode penghentian konflik singkat: yaitu "Jeda
Kemanusiaan" tahun 2000 dan "Cessation of Hostilities Agreement" (COHA)
("Kesepakatan Penghentian Permusuhan") yang hanya berlangsung antara
Desember 2002 ketika ditandatangani dan berakhir pada Mei 2003 ketika
pemerintah Indonesia menyatakan "darurat militer" di Aceh dan mengumumkan
bahwa ingin menghancurkan GAM sekali dan untuk selamanya.[20]
Dalam istirahat dari penggunaan cara-cara militer untuk mencapai kemerdekaan,
GAM bergeser posisi mendukung penyelenggaraan referendum. Dalam
demonstrasi pro-referendum 8 November 1999 di Banda Aceh, GAM memberikan
dukungan dengan menyediakan transportasi pada para pengunjuk rasa dari daerah
pedesaan ke ibukota provinsi.[21] Pada tanggal 21 Juli 2002, GAM juga
mengeluarkan Deklarasi Stavanger setelah pertemuan "Worldwide Achehnese
Representatives Meeting" di Stavanger, Norwegia.[22] Dalam deklarasi tersebut,
GAM menyatakan bahwa "Negara Aceh mempraktekkan sistem demokrasi."[23]
Impuls hak-hak demokratis dan hak asasi manusia dalam GAM ini ini dilihat
sebagai akibat dari upaya kelompok berbasis perkotaan di Aceh yang
mempromosikan nilai-nilai tersebut karena lingkungan yang lebih bebas dan lebih
terbuka setelah jatuhnya rezim otoriter Soeharto.[24]
Memburuknya kondisi keamanan sipil di Aceh menyebabkan tindakan
pengamanan keras diluncurkan pada tahun 2001 dan 2002. Pemerintah Megawati

akhirnya pada tahun 2003 meluncurkan operasi militer untuk mengakhiri konflik
dengan GAM untuk selamanya dan keadaan darurat dinyatakan di Provinsi Aceh.
Pada bulan November 2003 darurat militer diperpanjang lagi selama enam bulan
karena konflik belum terselesaikan. Menurut laporan Human Rights Watch,[25]
militer Indonesia kembali melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam
operasi ini seperti operasi sebelumnya, dengan lebih dari 100.000 orang
mengungsi di tujuh bulan pertama darurat militer dan pembunuhan di luar hukum
yang umum. Konflik ini masih berlangsung ketika tiba-tiba bencana Tsunami
bulan Desember 2004 memporakporandakan provinsi Aceh dan membekukan
konflik yang terjadi di tengah bencana alam terbesar dalam sejarah Indonesia
tersebut.

Kesepakatan damai dan pilkada pertama
Setelah bencana Tsunami dahsyat menghancurkan sebagian besar Aceh dan
menelan ratusan ribu korban jiwa, kedua belah pihak, GAM dan pemerintah
Indonesia menyatakan gencatan senjata dan menegaskan kebutuhan yang sama
untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan ini.[26] Namun, bentrokan bersenjata
sporadis terus terjadi di seluruh provinsi. Karena gerakan separatis di daerah,
pemerintah Indonesia melakukan pembatasan akses terhadap pers dan pekerja
bantuan. Namun setelah tsunami, pemerintah Indonesia membuka daerah untuk
upaya bantuan internasional.[27]
Bencana tsunami dahsyat tersebut walaupun menyebabkan kerugian manusia dan
material yang besar bagi kedua belah pihak, juga menarik perhatian dunia
internasional terhadap konflik di Aceh. Upaya-upaya perdamaian sebelumnya
telah gagal, tetapi karena sejumlah alasan, termasuk tsunami tersebut, perdamaian
akhirnya menang pada tahun 2005 setelah 29 tahun konflik berkepanjangan. Era
pasca-Soeharto dan masa reformasi yang liberal-demokratis, serta perubahan
dalam sistem militer Indonesia, membantu menciptakan lingkungan yang lebih
menguntungkan bagi pembicaraan damai. Peran Presiden Indonesia yang baru
terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla adalah

sangat signifikan dalam menangnya perdamaian di Aceh.[28] Pada saat yang sama,
kepemimpinan juga GAM mengalami perubahan, dan militer Indonesia telah
menimbulkan begitu banyak kerusakan pada gerakan pemberontak yang mungkin
menempatkan GAM di bawah tekanan kuat untuk bernegosiasi.[29] Perundingan
perdamaian tersebut difasilitasi oleh LSM berbasis Finlandia, Crisis Management
Initiative, dan dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari.
Perundingan ini menghasilkan kesepakatan damai [30] ditandatangani pada 15
Agustus 2005. Berdasarkan perjanjian tersebut, Aceh akan menerima otonomi
khusus di bawah Republik Indonesia, dan tentara non-organik (mis. tentara
beretnis non-Aceh) akan ditarik dari provinsi Aceh (hanya menyisakan 25.000
tentara), dan dilakukannya pelucutan senjata GAM. Sebagai bagian dari perjanjian
tersebut, Uni Eropa mengirimkan 300 pemantau yang tergabung dalam Aceh
Monitoring Mission (Misi Pemantau Aceh). Misi mereka berakhir pada tanggal 15
Desember 2006, setelah suksesnya pilkada atau pemilihan daerah gubernur Aceh
yang pertama.
Aceh telah diberikan otonomi yang lebih luas melalui UU Pemerintah, meliputi
hak khusus yang disepakati pada tahun 2002 serta hak masyarakat Aceh untuk
membentuk partai politik lokal untuk mewakili kepentingan mereka. Namun,
pendukung HAM menyoroti bahwa pelanggaran HAM sebelumnya di provinsi
Aceh akan perlu ditangani.[31]
Selama pilkada gubernur Aceh diadakan pada bulan Desember 2006, mantan
anggota GAM dan partai nasional berpartisipasi. Pemilihan itu dimenangkan oleh
Irwandi Yusuf, yang basis dukungannya sebagian besar terdiri dari para mantan
anggota GAM.

Kemungkinan penyebab konflik
Sejarah

Akademis dari ANU Edward Aspinall berpendapat bahwa pengalaman sejarah
Aceh selama Revolusi Nasional Indonesia menyebabkan munculnya separatisme
Aceh. Peristiwa masa lalu menyebabkan perkembangan selanjutnya. Dia
berargumen bahwa pemberontakan Aceh di bawah pemerintahan Indonesia terjadi
berdasarkan jalur sejarah Aceh. Hal ini bisa ditelusuri ke konflik kepentingan dan
peristiwa-peristiwa tertentu dalam sejarah Aceh, terutama otonomi yang didapat
oleh para ulama Aceh selama revolusi nasional dan kehilangan yang dramatis
setelah kemerdekaan Indonesia.[32]
Aspinall berpendapat lebih lanjut bahwa ada dua tonggak jalan sejara
berkembangnya separatisme Aceh:
1945-1949: Aceh memainkan peranan penting dalam revolusi dan perang
kemerdekaan melawan Belanda dan akibatnya disinyalir mampu
mendapatkan janji dari Presiden Soekarno saat kunjungannya ke Aceh
pada 1947, bahwa Aceh akan diizinkan untuk menerapkan hukum Islam
(atau syariah) setelah perang kemerdekaan Indonesia.[33]
1953-1962: Gubernur militer Aceh Daud Beureueh menyatakan bahwa
provinsi Aceh akan memisahkan diri dari Republik Indonesia (RI) untuk
bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII) sebagai reaksi terhadap
penolakan pemerintah pusat untuk mengizinkan pelaksanaan syariah dan
penurunan Aceh dari status provinsi. Pemberontakan dimana Aceh
merupakan bagian ini, kemudian dikenal sebagai Pemberontakan Darul
Islam. Aspinall berpendapat bahwa kegagalan pemberontakan ini
menandai berakhirnya identifikasi Aceh dengan haluan panIndonesia/Islamis dan meletakkan dasar bagi partikularisme.[34]
Argumen oleh Aspinall di atas bertentangan dengan pandangan ulama
sebelumnya. Sebelumnya pada 1998, Geoffrey Robinson berpendapat bahwa
kekalahan dan penyerahan pemberontakan yang dipimpin Daud Beureueh pada
1962 diikuti oleh sekitar 15 tahun periode di mana tidak ada masalah keamanan
atau politik khusus di Aceh terhadap pemerintah pusat.[35] Tim Kell juga

menunjukkan bahwa mantan pemimpin-pemimpin pemberontakan Darul Islam
1953-1962 telah dengan niat bergabung dengan Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia dalam operasi penumpasan berdarah Partai Komunis Indonesia (PKI)
pada tahun 1965 dan 1966.[36]

Agama
Aceh memiliki penganut Islam sebagai kelompok agama mayoritas. Namun,
secara umum diakui bahwa Aceh adalah daerah di mana Islam pertama kali masuk
ke kepulauan Melayu. Kerajaan Islam pertama yang dikenal adalah Pasai (dekat
Lhokseumawe sekarang di Aceh Utara) yang didirikan pertengahan abad ke-13.
Bukti arkeologis paling awal yang ditemukan untuk mendukung pandangan ini
adalah batu makam Sultan Malik al-Saleh yang meninggal pada tahun 1297.
Dalam abad-abad berikutnya, Pasai dikenal sebagai pusat pembelajaran agama
Islam dan model "pemerintahan Islam" di mana kerajaan lain di kepulauan
Melayu melihat untuk belajar.[37] Bagian identitas Aceh yang berbeda dari daerah
lainnya ini berasal dari statusnya tersebut, sebagai wilayah Islam awal dan contoh
untuk kesultanan-kesultanan lain di kepulauan Melayu.
Keterpisahan Aceh dari daerah lain di Indonesia karena agama Islam ini bisa
dilihat dari sejarah, terutama dari pembentukan Persatuan Ulama Seluruh Aceh
(PUSA) tahun 1939 oleh ulama Islam modernis Aceh. Organisasi ini secara
eksklusif beranggotakan suku Aceh. Perlu dicatat bahwa di Aceh sendiri, sebagian
besar ormas pan-Indonesia telah lemah, bahkan Muhammadiyah, organisasi
terbesar bagi umat Islam yang berhaluan modernis di Indonesia, gagal membuat
terobosan di Aceh di luar daerah perkotaan dan sebagian besar anggotanya
beretnis non-Aceh.[38] Namun, juga perlu dicatat bahwa meskipun organisasi
PUSA bersifat parokial, organisasi ini tetap diidentifikasi berhaluan panIslamisme di mana tujuannya adalah untuk semua umat Islam untuk bersatu di
bawah syariah.[39]

Faktor penyebab keagamaan lain bagi separatisme di Aceh adalah perlakuan yang
didapat kelompok Muslim dan partai politik di Aceh oleh administrasi Orde Baru
rezim Presiden Soeharto. Pertama, adanya penggabungan paksa semua partai
politik yang mewakili kepentingan Islam ke dalam Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) pada tahun 1973. Anggota dan simpatisan partai politik
Islam di Aceh mengalamiberbagai tingkat pelecehan.[40] Walaupun Aceh
mempunyai status wilayah khusus, Aceh tidak diizinkan untuk menerapkan
syariah atau untuk mengintegrasikan sekolah-sekolah agama Islam (madrasah)
dengan sekolah-sekolah nasional untuk menjadi sistem pendidikan terpadu, kedua
proposal Aceh ini diabaikan oleh pemerintah pusat.[41]
Meskipun Indonesia adalah negara bermayoritas penduduk Muslim, dengan
membangun adanya "konsepsi diri" di Aceh akan perannya dalam Islam dan
dengan adanya sikap bermusuhan Orde Baru terhadap pengaruh sosial dalam
bentuk-bentuk Islam di Aceh, GAM mampu membingkai perjuangan mereka
melawan pemerintah Indonesia sebagai "prang sabi" ("perang suci" atau "jihad"
menurut Islam). Dalam banyak cara yang sama, istilah ini banyak digunakan
dalam "Perang Kafir" (atau Perang Aceh) melawan Belanda tahun 1873-1913.
Indikasi tentang ini adalah peminjaman istilah-istilan dalam buku Hikayat Prang
Sabi ("Cerita Perang Suci"), sebuah kumpulan cerita Aceh yang digunakan untuk
menginspirasi perlawanan terhadap Belanda, oleh beberapa simpatisan GAM
sebagai propaganda melawan pemerintah Indonesia. Sebelum gelombang kedua
pemberontakan oleh GAM pada akhir 1980-an, telah diamati bahwa beberapa
orang telah memaksa anak-anak sekolah Aceh untuk malah menyanyikan lagu
Hikayat Prang Sabi, daripada lagu nasional Indonesia, Indonesia Raya.[42] Bahan
publikasi politik GAM juga menggambarkan Pancasila, ideologi negara resmi
Indonesia sebagai "ajaran politeistik" yang dilarang oleh Islam.[43]
Kendati hal di atas, terlihat bahwa pada masa setelah jatuhnya Soeharto pada
tahun 1998, agama Islam sebagai faktor pendorong separatisme Aceh mulai
mereda, bahkan setelah terjadi proliferasi munculnya serikat mahasiswa Muslim
dan kelompok-kelompok ormas Islam lainnya di Aceh. Telah dicatat bahwa

kelompok-kelompok baru yang muncul tersebut jarang menyerukan pelaksanaan
syariah di Aceh. Sebaliknya, mereka menekankan perlunya referendum
kemerdekaan Aceh dan menyoroti pelanggaran HAM yang dilakukan oleh
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (TNI) di Aceh.[44] Demikian pula, posisi
GAM pada syariah juga bergeser. Ketika pemerintah pusat mengeluarkan UU
Nomor 44/1999 tentang Otonomi Aceh yang mencakup ketentuan pelaksanaan
syariah di Aceh, GAM malah mengutuk langkah pemerintah Indonesia tersebut
sebagai tidak relevan dan mungkin upaya untuk menipu Aceh atau
menggambarkan mereka ke dunia luar sebagai fanatik agama.[45] Meskipun
mengubah sikap terhadap syariah, posisi GAM tidaklah jelas. Hal ini dicatat oleh
International Crisis Group (ICG) bahwa antara tahun 1999 dan 2001, terjadi
beberapa kasus secara periodik di mana komandan militer lokal GAM
memaksakan penerapan hukum syariah di masyarakat Aceh dimana mereka
memiliki pengaruh. [46] Aspinall mengamati bahwa secara keseluruhan, posisi
GAM yang berubah-ubah terhadap syariah dan Islam di Aceh tergantung pada
lingkungan internasional dan negara yang mereka inginkan dukungannya untuk
kemerdekaan mereka, yaitu: jika negara Barat yang mereka anggap penting, Islam
akan tidak ditekankan, namun jika negara-negara Islam yang dianggap penting,
Islam akan sangat ditekankan.[47]

Keluhan ekonomi
Masalah utama yang berkaitan dengan masalah ekonomi Aceh adalah terkait
pendapatan yang diperoleh dari industri minyak dan gas di Aceh. Robinson
berpendapat bahwa manajemen Orde Baru, eksploitasi sumber daya alam Aceh
dan pembagian yang tidak adil dari sumber daya tersebut adalah akar penyebab
pemberontakan Aceh.[48] Dari tahun 1970-an sampai pertengahan 1980-an, Aceh
telah mengalami "booming LNG" setelah penemuan gas alam di pantai timur laut
provinsi Aceh. Selama periode yang sama, Aceh menjadi sumber pendapatan
utama bagi pemerintah pusat. Pada tahun 1980, Aceh memberikan kontribusi yang
signifikan kepada ekspor Indonesia ketika menjadi sumber ekspor terbesar ketiga

setelah provinsi Kalimantan Timur dan Riau.[49] Meskipun demikian, hampir
semua pendapatan minyak dan gas dari kegiatan produksi dan ekspor di Aceh
dialokasikan ke pemerintah pusat baik secara langsung maupun melalui perjanjian
bagi hasil dengan perusahaan minyak negara Pertamina.[50] Selain itu, pemerintah
pusat tidak kembali menginvestasikan cukup banyak pendapatan tersebut kembali
ke provinsi Aceh.[51] Hal ini menyebabkan beberapa teknokratis Aceh yang mulai
menonjol saat itu untuk mengeluh bahwa provinsi Aceh telah diperlakukan tidak
adil secara ekonomi dan bahwa Aceh telah terpinggirkan dan diabaikan sebagai
daerah pinggiran.[52]
Robinson mencatat bahwa meskipun beberapa pengusaha bisnis yang kecil di
Aceh telah mendapat manfaat dari masuknya modal asing selama booming LNG,
ada banyak yang merasa dirugikan saat kalah dari orang lain dengan koneksi
politik yang lebih kuat ke pemerintah pusat, terutama pemimpin GAM sendiri,
yaitu Hasan di Tiro. Hasan di Tiro adalah salah satu pihak yang dirugikan ketika
ia mengajukan tawaran kontrak pipa minyak untuk Mobil Oil Indonesia pada
tahun 1974, namun dikalahkan oleh sebuah perusahaan Amerika Serikat.[53]
Robinson mencatat waktu deklarasi kemerdekaan GAM pada bulan Desember
1976 dan aksi militer pertama GAM pada tahun 1977 terhadap Mobil Oil terjadi
pada waktu yang sama ketika fasilitas ekstraksi dan pengolahan gas alam telah
diresmikan.[54] Memang, dalam deklarasi kemerdekaan GAM, GAM mengklaim
sebagai berikut:
"Aceh, Sumatera, telah menghasilkan pendapatan lebih dari 15 miliar
dolar AS setiap tahunnya untuk neokolonialis Jawa, yang mereka gunakan
seluruhnya untuk kepentingan Jawa dan orang Jawa."[55]
Walaupun demikian, Robinson mencatat bahwa meskipun faktor ini menjelaskan
sebagian alasan munculnya pemberontakan GAM pada pertengahan 1970-an, hal
ini tidak menjelaskan munculnya kembali GAM pada tahun 1989 dan tingkat
kekerasan yang tidak pernah dilihat sebelumnya sejak saat itu.[56] Aspinall juga
mendukung sudut pandang ini dan berpendapat bahwa meskipun keluhan

mengenai sumber daya alam dan ekonomi tidak boleh dihiraukan sebagai
penyebab, faktor ini bukan penyebab secara keseluruhan, dengan contoh propinsi
Riau dan Kalimantan Timur yang juga menghadapi eksploitasi ekonomi yang
sama atau bahkan lebih buruk oleh pemerintah pusat, tetapi tidak memunculkan
pemberontakan separatis karena perbedaan kondisi politik.[57] Dia melanjutkan
bahwa keluhan berlatar ekonomi dan sumber daya alam telah menjadi sarana bagi
GAM untuk meyakinkan masyarakat Aceh bahwa mereka harus meninggalkan
harapan untuk perlakuan khusus dan otonomi di Indonesia dan sebaliknya
berjuang untuk memulihkan kejayaan Aceh dengan mendapat kemerdekaan.[58]

Peran GAM dalam memprovokasi keluhan
Pendiri GAM, Hasan di Tiro dan rekan-rekan pemimpin GAM-nya yang ada di
pengasingan di Swedia berperan penting dalam memberikan pesan yang mudah
dimengerti tentang kebutuhan dan hak penentuan nasib sendiri untuk Aceh. Oleh
karena itu, argumen tentang "perlunya kemerdekaan" Aceh ditargetkan oleh GAM
pada penduduk domestik Aceh, sedangkan argumen "hak untuk merdeka"
ditargetkan pada komunitas internasional untuk memenangkan dukungan
diplomatik terhadap GAM.
Dalam propaganda tersebut, Kesultanan Aceh yang telah lama bubar berperan
sebagai aktor yang seolah "masih ada" di panggung internasional dengan
penekanan pada hubungan masa lalu Kesultanan Aceh dengan negara-negara
Eropa, seperti misi diplomatik, perjanjian, serta pernyataan pengakuan kedaulatan
Kesultanan Aceh di masa lampau.[59] Sesuai dengan logika ini, Aceh yang
berdaulat(dan diwakili oleh GAM) akan menjadi negara penerus Kesultanan Aceh
yang telah dibubarkan pasca kekalahan pada Belanda setelah Perang Aceh (18731914).[59] Perang Aceh kemudian dipandang oleh masyarakat Aceh sebagai
perbuatan agresi militer oleh Belanda dan penggabungan Aceh ke Indonesia pada
tahun 1949 dianggap sebagai perpanjangan pendudukan yang tidak sah oleh
Belanda tersebut.[59] Argumen ini ditargetkan oleh GAM pada masyarakat Aceh

sendiri serta komunitas internasional, yaitu melalui seruan pada hukum
internasional.
Dalam nada yang sama, negara Indonesia telah dilabeli oleh propaganda GAM
sebagai kedok dominasi Jawa. Dalam deskripsi di Tiro sendiri:
""Indonesia" was a fraud. A cloak to cover up Javanese colonialism. Since
the world begun [sic], there never was a people, much less a nation, in
our part of the world by that name."[60] (BI: ""Indonesia" adalah sebuah
penipuan. Sebuah kedok untuk menutupi kolonialisme Jawa. Sejak dunia
mulai, tidak pernah ada orang, apalagi bangsa, dalam bagian dari dunia
kami dengan nama tersebut.")
Upaya untuk menyebarkan propaganda GAM banyak mengandalkan dari mulut
ke mulut. Elizabeth Drexler (akademis Universitas Pennsylvania) telah mengamati
bahwa masyarakat Aceh dan pendukung GAM sering mengulangi klaim yang
sama yang dibuat dalam propaganda GAM yang mereka telah datangi melalui
modus penyebaran ini.[61] Almarhum M. Isa Sulaiman (penulis buku "Sejarah
Aceh") menulis bahwa ketika di Tiro pertama kali memulai kegiatan separatis itu
antara tahun 1974 dan 1976, ia mengandalkan jaringan kerabatnya dan sejumlah
intelektual muda yang berpikiran sama untuk menyebarkan pesannya yang
kemudian memperoleh massa simpatisan, khususnya di Medan, Sumatera Utara.
[62]

Aspinall juga menuliskan ingatan para simpatisan GAM tentang hari-hari awal

pemberontakan di mana mereka akan menyebarkan pamflet kepada teman atau
menyelipkannya secara anonim di bawah pintu kantor rekan-rekan mereka.[63]
Namun hasil dari upaya propaganda tersebut cukup berbeda-beda. Eric Morris
ketika mewawancarai pendukung GAM tahun 1983 untuk tesisnya mencatat
bahwa, daripada untuk kemerdekaan, para pendukung GAM lebih tertarik baik
pada sebuah negara Islam Indonesia atau bagi Aceh untuk diperlakukan lebih adil
oleh pemerintah pusat.[64] Aspinall juga mencatat bahwa untuk beberapa daerah,
GAM tidak membedakan dirinya dari Darul Islam atau Partai Persatuan

Pembangunan yang berkampanye di atas panggung Islam untuk Pemilu legislatif
Indonesia tahun 1977.[65] Namun bagi individu yang telah menjadi pendukung inti
GAM, pesan kemerdekaan yang ditemukan dalam propaganda GAM dipandang
sebagai pewahyuan Islam dan banyak yang merasakan momen kebangkitan Islam.
[65]

Kemungkinan faktor konflik berkepanjangan
Daya tahan jaringan GAM
Banyak anggota GAM adalah entah anggota pemberontakan Darul Islam atau
anak-anak dari mereka. Aspinall mencatat bahwa hubungan kekerabatan, antara
ayah dan anak serta antara saudara, telah menjadi penting dalam membentuk
solidaritas GAM sebagai sebuah organisasi.[66] Banyak yang merasa bahwa
mereka sedang melanjutkan aspirasi ayah, paman, saudara atau sepupu laki-laki
yang biasanya adalah orang-orang yang melantik mereka menjadi anggota GAM;
dan orang-orang yang aktivitas atau kematiannya di tangan aparat keamanan
negara telah mengilhami mereka untuk bergabung dengan GAM.[66] Konstituen
GAM juga sering merupakan penduduk masyarakat pedesaan di mana semua
orang tahu dan kenal erat dengan tetangga mereka.[66] Adanya pertalian erat ini
memungkinkan kesinambungan serta resistensi tingkat tinggi terhadap infiltrasi
oleh aparat intelijen negara.
Aspinall juga mengakui kuatnya ketahanan GAM ada pada strukturnya yang
seperti sel pada tingkat yang lebih rendah. Tingkat di bawah komandan militer
regional (atau panglima wilâyah) adalah satuan yang diperintah oleh komandan
junior (panglima muda) dan bahkan komandan tingkat yang lebih rendah
(Panglima Sagoe dan Ulee Sagoe) yang tidak mengetahui identitas rekan-rekan
mereka di daerah tetangga dan hanya mengenal mereka yang langsung berpangkat
di atas mereka.[67] Karakter ini memungkinkan GAM untuk bertahan sebagai
sebuah organisasi meskipun ada di bawah upaya penekanan kuat oleh aparat
keamanan negara Indonesia.

Pelanggaran HAM oleh militer Indonesia
Robinson mengatakan bahwa penggunaan teror oleh militer Indonesia dalam aksi
kontra-pemberontakan melawan GAM dalam periode rezim Orde Baru
pertengahan 1990 (dalam tahap kedua pemberontakan) telah menyebabkan
meluasnya dukungan dari masyarakat Aceh yang terpengaruh oleh kebijakan
militer Indonesia tersebut, dan mendorong mereka untuk menjadi lebih simpatik
dan mendukung GAM.[68] Ia menilai bahwa metode militer tersebut malah
memiliki efek meningkatkan tingkat kekerasan, mengganggu masyarakat Aceh,
dan luka yang ditimbulkan terbukti sulit untuk disembuhkan.[68] Amnesty
International mencatat:
Otoritas politik Angkatan Bersenjata (Republik Indonesia), yang besar
bahkan dalam kondisi normal, sekarang (telah) menjadi tak tertandingi.
Atas nama keamanan nasional, otoritas militer dan polisi dikerahkan di
Aceh kemudian bebas untuk menggunakan hampir segala cara yang
dipandang perlu untuk menghancurkan GPK ("Gerakan Pengacauan
Keamanan"), yang merupakan nomenklatur (istilah) pemerintah Indonesia
untuk GAM.[69]
Amnesty International mendokumentasikan penggunaan penangkapan sewenangwenang, penahanan di luar legalitas, eksekusi, perkosaan dan pembumi-hangusan
sebagai karakter operasi militer Indonesia terhadap GAM sejak tahun 1990. Di
antara tindakan yang lebih mengerikan diamati oleh Amnesty International adalah
pembuangan publik mayat-mayat korban eksekusi (atau Penembakan Misterius)
yang dilakukan sebagai peringatan untuk orang Aceh untuk menahan diri dari
bergabung atau mendukung GAM. Berikut ini adalah deskripsi tindakan tersebut
oleh Amnesty International:
"Penembakan misterius" (Petrus) di Aceh memiliki fitur umum sebagai
berikut. Mayat-mayat korban biasanya dibiarkan di tempat umum - di
samping jalan utama, di ladang dan perkebunan, sungai atau tepi sungai -

tampaknya sebagai peringatan kepada orang lain untuk tidak bergabung
atau mendukung pemberontak. Sebagian besar jelas adalah tahanan ketika
mereka dibunuh, jempol mereka, dan kadang-kadang kaki mereka, diikat
dengan jenis simpul tertentu. Sebagian besar telah ditembak dari jarak
dekat, meskipun peluru jarang ditemukan di tubuh mereka. Kebanyakan
juga menunjukkan tanda-tanda telah dipukuli dengan benda tumpul atau
disiksa, dan karena itu wajah mereka sering tidak bisa dikenali. Dalam
banyak kasus, mayat-mayat tersebut tidak diambil oleh kerabat atau teman,
baik karena takut pembalasan oleh militer, dan karena korban biasanya
dibuang agak jauh dari desa asal mereka.[69]
Taktik TNI lain yang dipertanyakan adalah aktivitas yang disebut "operasi sipilmiliter" di mana warga sipil dipaksa untuk berpartisipasi dalam intelijen dan
operasi keamanan. Sebuah contoh terkenal dari hal ini adalah Operasi Pagar
Betis seperti yang dijelaskan oleh Amnesty International berikut:
....Strategi kerjasama sipil-militer adalah "Operasi Pagar Betis" digunakan sebelumnya di Timor Timur - di mana penduduk desa biasa
dipaksa menyapu melalui daerah tertentu di depan pasukan bersenjata,
baik dalam rangka untuk menghalau pemberontak dan juga untuk
menghambat mereka untuk membalas tembakan. Elemen penting dalam
keberhasilan operasi ini adalah kelompok-kelompok lokal yang "main
hakim sendiri" dan patroli malam yang terdiri dari warga sipil, tetapi
dibentuk di bawah perintah dan pengawasan militer. Antara 20 dan 30
pemuda dimobilisasi dari setiap desa di daerah yang dicurigai daerah
pemberontak. Dalam kata-kata seorang komandan militer setempat: "Para
pemuda adalah garis depan. Mereka adalah yang terbaik dalam
mengetahui siapa adalah anggota GPK. Kami kemudian menyelesaikan
masalah tersebut." Menolak untuk berpartisipasi dalam kelompokkelompok tersebut atau kegagalan untuk menunjukkan komitmen yang
cukup untuk menghancurkan musuh dengan mengidentifikasi, menangkap
atau membunuh terduga pemberontak kadang-kadang mengakibatkan

hukuman oleh pasukan pemerintah, termasuk penyiksaan umum,
penangkapan dan eksekusi.[69]

Kepentingan militer Indonesia di Aceh
Damien Kingsbury, yang menjabat sebagai penasihat informal pimpinan GAM di
Swedia selama Perundingan Damai Helsinki 2005, menyatakan bahwa militer
Indonesia memiliki kepentingan tersembunyi di Aceh sehingga mereka sengaja
menjaga konflik supaya tetap terjadi di tingkat yang akan membenarkan kehadiran
mereka di provinsi bergolak tersebut.[70] ICG juga menegaskan dalam sebuah
laporan tahun 2003 bahwa, "Aceh (adalah) tempat yang terlalu menguntungkan
untuk para perwira militer yang sangat bergantung pada pendapatan yang
bersumber non-anggaran ."[71]
Kingsbury menguraikan berikut sebagai kegiatan usaha yang diduga dilakukan
oleh militer Indonesia di Aceh:[72]


Obat terlarang: Pasukan keamanan mendorong petani lokal Aceh untuk
menanam ganja dan membayar mereka harga yang jauh di bawah nilai
pasar gelap. Salah satu contoh kasus yang disorot adalah di mana seorang
polisi pilot helikopter mengakui setelah penangkapannya, bahwa ia
mengangkut 40 kg konsinyasi obat (ganja) untuk atasannya, kepala polisi
Aceh Besar (perlu dicatat bahwa pada saat itu Kepolisian Republik
Indonesia atau Polri berada di bawah komando militer atau ABRI). Kasus
lain adalah pada bulan September 2002 di mana sebuah truk tentara
dicegat oleh polisi di Binjai, Sumatera Utara dengan muatan 1.350 kg
ganja.



Penjualan senjata ilegal: Wawancara pada tahun 2001 dan 2002 dengan
para pemimpin GAM di Aceh mengungkapkan bahwa beberapa senjata
mereka sebenarnya dibeli dari oknum militer Indonesia. Metode pertama
penjualan ilegal tersebut adalah: personil militer Indonesia melaporkan

senjata-senjata tersebut sebagai senjata yang disita dalam pertempuran.
Kedua, oknum personil militer utama Indonesia yang mempunyai otoritas
akses bahkan langsung mensuplai GAM dengan pasokan senjata serta
amunisi.


Pembalakan liar : Oknum militer dan polisi disuap oleh perusahaan
penebangan untuk mengabaikan kegiatan penebangan yang dilakukan di
luar wilayah berlisensi. Proyek Pembangunan Leuser yang didanai oleh
Uni Eropa dari pertengahan 1990-an untuk memerangi pembalakan liar
sebenarnya telah menemukan bahwa oknum polisi dan militer Indonesia
yang seharusnya membantu mencegah pembalakan liar, pada
kenyataannya malah memfasilitasi, dan dalam beberapa kasus, bahkan
memulai kegiatan ilegal tersebut.



Perlindungan liar: Oknum militer Indonesia mengelola "usaha
perlindungan" liar untuk mengekstrak pembayaran besar dari perusahaanperusahaan besar seperti Mobil Oil dan PT Arun NGL di industri minyak
dan gas, serta perusahaan perkebunan yang beroperasi di Aceh. Sebagai
imbalan untuk pembayaran liar tersebut, militer akan mengerahkan
personilnya untuk "mengamankan" properti dan daerah operasi perusahaan
tersebut.



Perikanan: nelayan lokal Aceh dipaksa untuk menjual tangkapan mereka
kepada oknum militer dengan harga jauh di bawah harga pasar. Oknum
militer kemudian menjual ikan untuk bisnis lokal dengan harga yang jauh
lebih tinggi. Oknum dari Angkatan Laut Indonesia mungkin juga
mencegat kapal-kapal nelayan untuk memeras pembayaran dari nelayan.



Kopi: Serupa dengan nelayan, penanam kopi dipaksa menjual biji kopi
kepada oknum militer dengan harga murah yang kemudian menjualnya
dengan harga tinggi.

Kemungkinan faktor resolusi damai
Melemahnya posisi militer GAM
Dinyatakannya status darurat militer di Aceh oleh pemerintah Indonesia pada Mei
2003 menghasilkan perlawanan terpadu oleh militer Indonesia terhadap GAM.
ICG melaporkan bahwa pada pertengahan 2004, jalur pasokan dan komunikasi
GAM terganggu secara serius.[73] GAM juga makin sulit berpindah-pindah dan
keberadaan mereka di kawasan perkotaan hilang sepenuhnya.[73] Akibatnya,
komando GAM di Pidie menginstruksikan kepada semua komandan lapangan
melalui telepon agar mundur dari sagoe (subdistrik) ke daerah (distrik) dan aksi
militer hanya dapat dilaksanakan jika ada perintah dari komandan daerah disertai
izin komandan wilayah.[73] Sebelumnya, saat GAM masih kuat, satuan tingkat
sagoe-nya memiliki otonomi komando yang lebih besar sehingga mampu
melancarkan aksi militer atas kemauannya sendiri.[73]
Menurut Endriartono Sutarto yang saat itu menjabat Komandan Jenderal ABRI,
pasukan keamanan Indonesia berhasil mengurangi jumlah pasukan GAM
sebanyak 9.593 orang — yang diduga mencakup anggota yang menyerahkan diri,
ditangkap, dan tewas dalam baku tembak.[74] Meski meragukan keakuratan jumlah
tersebut, banyak pemantau sepakat bahwa tekanan militer yang baru terhadap
GAM pasca penerapan darurat militer memberikan pukulan telak bagi GAM.[75]
Akan tetapi, Aspinall mencatat bahwa sebagian besar petinggi GAM yang ia
wawancarai, terutama petugas lapangan, bersikeras bahwa mereka mengakui
MoU Helsinki bukan karena militer mereka semakin lemah.[76] Mantan pemimpin
GAM Irwandi Yusuf, yang kelak menjadi Gubernur Aceh melalui pilkada
langsung tanggal 11 Desember 2006, mengaku bahwa bukannya bubar, situasi
GAM justru membaik sejak anggota yang sakit dan lemah ditangkap militer
Indonesia sehingga anggota di lapangan tidak terbebani oleh mereka.[76] Walaupun
pasukan GAM tetap komit melanjutkan perjuangan mereka, para petinggi GAM
mungkin sudah putus asa membayangkan mungkinkah mencapai kemenangan

militer atas pasukan pemerintah Indonesia.[76] Kata mantan perdana menteri GAM
Malik Mahmud kepada Aspinall bulan Oktober 2005: "Strategi yang diterapkan
oleh kedua pihak berujung pada kebuntuan yang sangat merugikan".[77] Saat
diwawancarai Jakarta Post tentang apakah mengakui MoU Helsinki adalah
tindakan pencitraan oleh GAM pasca kemunduran militernya, Malik menjawab:
"Kami harus realistis. Kami harus mempertimbangkan kenyataan di
lapangan. Jika [perjanjian damai] itu solusi terbaik bagi kedua pihak,
tentunya dengan segala kerendahan hati, mengapa tidak! Ini demi
perdamaian, demi kemajuan masa depan. Jadi tidak ada yang salah dengan
[perjanjian] itu dan saya pikir negara manapun di dunia akan melakukan
hal yang sama. Selain itu, ketika kami menghadapi situasi semacam ini
kami harus sangat, sangat tegas dan berani menghadapi kenyataan. Inilah
yang kami lakukan.[78]

Tekanan internasional
Opini internasional pasca-tsunami juga lebih condong ke dialog damai Helsinki
yang dilaksanakan antara pemerintah Indonesia dan GAM. Kedua pihak
mengirimkan pejabat tertingginya sebagai negosiator, sementara perwakilan pada
dialog Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) yang ditandatangani bulan
Desember 2002 adalah perwakilan yang cenderung masih di tingkat junior.
Para petinggi GAM juga menilai bahwa selama dialog damai Helsinki tidak ada
komunitas internasional yang mendukung aspirasi kemerdekaan Aceh.[79] Tentang
hal ini, Malik berkata:
Kami melihat dunia tidak memedulikan keinginan kami untuk merdeka,
jadi kami berpikir selama proses [negosiasi ini] bahwa [otonomi dan
pemerintahan sendiri] itulah solusi terbaik yang ada di hadapan kami.[79]
Saat menjelaskan kepada para komandan GAM mengenai penerimaan tawaran
pemerintahan sendiri alih-alih melanjutkan perjuangan kemerdekaan, para

petinggi GAM menegaskan bahwa jika mereka terus memaksa menuntut
kemerdekaan setelah tsunami 2004, mereka akan terancam dikucilkan oleh
komunitas internasional.[80]

Pergantian kepemimpinan Indonesia 2004
Pada Oktober 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla dilantik setelah memenangkan pemilu presiden 2004, pemilu
langsung pertama di Indonesia. Aspinall berpendapat bahwa sebelum pemilu
langsung ini, ada keseimbangan posisi antara pejabat pemerintahan Indonesia,
yaitu antara pejabat yang percaya bahwa kemenangan militer mustahil tercapai
dan negosiasi sangat diperlukan, dengan pihak pejabat garis keras yang percaya
bahwa GAM dapat sepenuhnya dilenyapkan. Terpilihnya SBY dan Kalla
mendorong kebijakan pemerintah untuk condong ke posisi pertama.[81]
Aspinall menunjukkan bahwa ketika SBY masih menjabat sebagai menteri dalam
kabinet Presiden Megawati Soekarnoputri, ia mendukung "pendekatan
terintegrasi" berupa pennyertaan upaya militer dengan negosiasi terhadap GAM.
[81]

Kalla, yang saat itu kolega SBY di kementerian, juga mendukung dimulainya

kembali dialog dengan GAM pada awal 2004 (yaitu ketika darurat militer masih
diberlakukan di Aceh dan operasi militer masih berlangsung).[82] Saat itu, Kalla,
melalui orang kepercayaannya, mendekati komandan GAM di lapangan sekaligus
pemimpinnya di Swedia.[81] Posisi presiden dan wakil presiden Indonesia yang
lebih memilih jalur negosiasi sebagai solusi pemberontakan Aceh memberikan
jalan untuk mencapai keberhasilan dialog perdamaian Helsinki.
Kingsbury, penasihat resmi untuk GAM, juga menyebut terpilihnya SBY dan
Kalla tahun 2004 sebagai prawarsa upaya damai yang berakhir dengan perjanjian
resmi.[83] Selain itu, ia menyebut penunjukan Kalla menjadi pengawas delegasi
Indonesia pada dialog damai sebagai faktor penting, dikarenakan status Kalla
yang merupakan ketua umum Golkar, partai mayoritas di DPR saat itu, sehingga
pemerintahan SBY mudah menghadapi penolakan dari anggota DPR lainnya.[84]

Laporan Time To Face The Past
Pada April 2013, Amnesty International meluncurkan laporan Time To Face The
Past ("Saatnya Menghadapi Masa Lalu") yang isinya pernyataan mereka bahwa
"sebagian besar korban dan kerabatnya sudah lama dijauhkan dari kebenaran,
keadilan, dan pemulihan, dan Indonesia telah melanggar kewajibannya menurut
hukum internasional. Mereka masih menunggu otoritas lokal dan nasional
Indonesia untuk mengakui dan memperbaiki apa yang telah mereka dan
keluarganya alami pada masa konflik." Dalam perumusan laporannya, Amnesty
International menggunakan hasil penelitiannya saat berkunjung ke Aceh pada Mei
2012. Pada kunjungan tersebut, perwakilan organisasi tersebut mewawancarai
lembawa swadaya masyarakat (LSM), organisasi masyarakat, pengacara, anggota
dewan, pejabat pemerintah setempat, jurnalis, dan korban dan perwakilan mereka
mengenai situasi di Aceh pada saat wawancara dilaksanakan. Korban menyatakan
apresiasi mereka terhadap proses perdamaian dan meningkatnya keamanan di
provinsi Aceh, tetapi juga menyatakan frustrasi atas tidak adanya tindakan dari
pemerintah Indonesia sesuai nota kesepahaman 2005 yang mencantumkan
rencana pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh dan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh.[85]
Selain itu, laporan Time To Face The Past berisi peringatan potensi munculnya
kekerasan baru di Aceh jika pemerintah Indonesia tetap stagnan dalam
pelaksanaan komitmennya yang tercantum pada MoU 2005. Wakil direktur Asia
Pasifik Amnesty International Isabelle Arradon menjelaskan saat peluncuran
laporan tersebut: "Situasi yang sedang terjadi adalah munculnya benih-benih
ketidakpuasan yang bisa tumbuh menjadi aksi kekerasan baru". Per 19 April 2013,
pemerintah Indonesia belum menanggapi laporan ini. Juru bicara presiden SBY
memberitahukan BBC bahwa ia belum bisa memberi komentar karena belum
membaca laporan tersebut.[86]

Lihat pula



Daftar operasi militer dan non-militer TNI



Operasi militer Indonesia di Aceh 1990-1998



Operasi militer Indonesia di Aceh 2003-2004



Pelanggaran hak asasi manusia oleh Tentara Nasional Indonesia



The Black Road

Referensi
1.

^ Miller, Michelle Ann. Rebellion and Reform in Indonesia.
Jakarta's Security and Autonomy Policies in Aceh (London: Routledge
2008) ISBN 978-0-415-45467-4

2.

^ Schulze, Kirsten E. (2004). The Free Aceh Movement (GAM):
Anatomy of a Separatist Organization. Washington: East-West Center
Washington. hlm. 30. ISBN 1-932728-03-1.

3.

^ Casualties Of The War In Ache

4.

^ "Amnesty: Indonesia 'failing to uphold' Aceh peace terms". BBC
News. 18 April 2013. Diakses 18 April 2013.

5.

^ a b c Ibid. hlm. 14.

6.

^ di Tiro, Hasan M. (1984). The Price of Freedom The Unfinished
Diary. Norsborg, Sweden: Information Department, National Liberation
Front Acheh Sumatara. hlm. 108.

7.

^ Schulz. Op Cit. hlm. 10.

8.

^ a b Aspinall, Edward (2009). Islam and Nation: Separatist
Rebellion in Aceh, Indonesia. Singapore: National University of Singapore
Press. hlm. 63. ISBN 978-9971-69-485-2.

9.

^ a b ibid. hlm. 64.

10.

^ a b Schulz. Op Cit. hlm. 4.

11.

^ ibid. hlm. 11.

12.

^ a b c Aspinall. Islam and Nation. hlm. 105.

13.

^ ibid.

14.

^ Schulz. Op cit. hlm. 15–16.

15.

^ Aspinall. Islam and Nation. hlm. 110.

16.

^ Leonard Sebastian, "Realpolitik: Indonesia's Use of Military
Force", 2006, Institute of Southeast Asian Studies

17.

^ Aspinall. Islam and Nation. hlm. 113.

18.

^ Miller, Michelle Ann. op. cit.

19.

^ The Indonesian Observer. 2 December 1999.

20.

^ Aspinall, Edward (2005). The Helsinki Agreement: A More
Promising Basis for Peace in Aceh?. Washington: East-West Center
Washington. hlm. vii. ISBN 978-1-932728-39-2.

21.

^ "Millions demand referendum in Aceh". Green Left. Diakses 23
October 2012.

22.

^ "Acheh: The Stavanger Declaration". Unrepresented Nations and
Peoples Organization. Diakses 23 October 2012.

23.

^ "ibid".

24.

^ Aspinall. Islam and Nation. hlm. 142.

25.

^ Human Rights Watch

26.

^ Pengakuan yang sangat berguna dan rinci dari proses negosiasi
dari pihak Indonesia dalam buku oleh negosiator kunci Indonesia , Hamid
Awaludin, Peace in Aceh: Notes on the peace process between the
Republic of Indonesia and the Aceh Freedom Movement (GAM) in
Helsinki, diterjemahkan Tim Scott, 2009, Centre for Strategic and
International Studies, Jakarta. ISBN 978-979-1295-11-6.

27.

^
http://www.asiapacific.ca/analysis/pubs/pdfs/commentary/cac43.pdf

28.

^ See Hamid Awaludin, op. cit.

29.

^ Asia Times Online :: Southeast Asia news - A happy, peaceful
anniversary in Aceh

30.

^ Text of the MOU (PDF format)

31.

^ [1]

32.

^ Aspinall. Islam and Nation. hlm. 47.

33.

^ ibid. hlm. 31.

34.

^ ibid. hlm. 48.

^ Robinson, Geoffrey (October 1998). "Rawan is as Rawan Does:

35.

The Origins of Disorder in New Order Aceh". Indonesia (66): 130.
^ Kell, Tim (1995). Ithaca, N.Y.: Cornell Modern Indonesia

36.

Project. hlm. 28. ISBN 978-6028397179. Missing or empty |title=
(help)
37.

^ Aspinall. Islam and Nation. hlm. 23.

38.

^ Morris, Eric Eugene (1983). Islam and Politics in Aceh: A Study
of Center-Periphery Relations in Indonesia. Ithaca, N.Y.: PhD
Dissertation, Cornell University. hlm. 78.

39.

^ ibid. hlm. 84.

40.

^ Aspinall. Islam and Nation. hlm. 52