APAKAH GURU NON PROFESIONAL HARUS DIPECA

APAKAH GURU NON-PROFESIONAL HARUS DIPECAT?
Akuntabilitas: Perspektif Hukum dan Etika
Tirto Suwondo
1. Pendahuluan
Lembaga pendidikan --dalam hal ini sekolah, termasuk juga perguruan tinggi-merupakan sebuah organisasi yang bersistem. Sebagai organisasi yang bersistem,
keberhasilan sebuah lembaga pendidikan ditentukan oleh bagaimana semua komponen
sistem (kepala sekolah, guru, siswa, staf administrasi, orang tua/wali, dll.) yang
membangun keutuhan organisasi itu secara bersama-sama dapat berfungsi dengan
baik. Oleh sebab itu, jika ada salah satu komponen tertentu yang tidak berfungsi
dengan baik, hal itu akan berpengaruh pada komponen-komponen lain sehingga akan
menjadi kendala bagi pencapaian keberhasilan lembaga tersebut.
Makalah ini hanya akan membahas salah satu di antara sekian banyak
komponen yang membangun organisasi lembaga pendidikan (sekolah), yakni guru.
Akan tetapi, realitas menunjukkan bahwa permasalahan yang muncul di seputar
keberadaan guru cukup banyak sehingga tidak mungkin seluruh permasalahan tersebut
dibahas. Oleh karena itu, pembahasan dibatasi pada salah satu aspek, khususnya
persoalan yang berkaitan dengan akuntabilitas (pertanggungjawaban) kinerja guru.
Karena bahasan ini sesungguhnya hanya merupakan rekonstruksi dan atau
apresiasi terhadap artikel Mary Jo McGrath berjudul Dealing Positively With the
Nonproductive Teacher: A Legal and Ethical Perspective on Accountability yang
dimuat dalam bab 12 (hlm. 253--267) buku berjudul Evaluating Teaching: A Guide to

Current Thinking and Best Practice (James H. Stronge, ed.), ada baiknya disajikan
terlebih dahulu rangkuman isi artikel tersebut. Pada prinsipnya artikel itu berbicara
mengenai bagaimana menyikapi kenyataan tentang masih banyaknya guru yang tidak
produktif (tidak profesional). Rangkuman artikel tersebut disajikan berikut.
2. Rangkuman
Secara garis besar dalam artikelnya McGrath mengajukan tesis tentang
bagaimana sistem akuntabilitas kinerja itu berjalan dalam rangka peningkatan
profesionalitas seorang guru. Pengajuan tesis itu didasari oleh kenyataan bahwa
sampai sekarang masih banyak guru yang dipecat atau diberhentikan (mengundurkan
diri dan PHK) akibat dari tindakannya yang tidak produktif (profesional) dan tidak
akuntabel. Dalam artikel ini penulis mengajukan jalan pemecahan (alternatif) bahwa
hukuman yang berupa pemecatan (pemberhentian) bukanlah solusi yang terbaik;
apalagi kalau pemecatan itu hanya didasari oleh model evaluasi etika budaya kerja
yang tidak jarang hanya terpaku pada penerapan kriteria tertentu tanpa
mempertimbangkan komponen lain yang berada di sekitarnya.
Secara hukum guru memang dapat dipecat (diberhentikan) dari status
kepegawaiannya. Hanya saja, sebelum diambil keputusan, terlebih dahulu harus
dilihat semua aspek, termasuk sistem administrasi, guru, siswa, teman sejawat, wali
murid, bahkan perlu dilibatkan pula pengacara. Selain itu juga perlu ada analisis
terhadap aspek kehidupan, kesehatan, keruwetan dalam keluarga, termasuk

kompetensi pengelolaan sekolah mulai dari aspek kepemimpinan, pengawasan,
dokumentasi, sampai evaluasi. Jadi, semua harus dipertimbangkan baik secara
personal maupun profesional. Misalnya, kinerja yang kompeten dari administrator
dalam evaluasi (akuntabilitas) tidak hanya terkait dengan observasi kinerja dalam
kelas, akumulasi nilai portfolio, dan catatan evaluasi saja, tetapi juga meliputi
0

keterlibatan semua pihak yang menentukan seorang guru sebagai manusia yang utuh
seperti halnya sekolah sebagai organisasi yang organik. Dengan demikian, proses
hukum atas pemecatan guru harus mempertimbangkan situasi menyeluruh baik
menyangkut aspek pendidikan, hukum, maupun etik.
Setidaknya terdapat tiga kriteria evaluasi yang dapat digunakan (dilakukan)
untuk mengatur kinerja dan pengawasan guru sebelum terjadi proses hukum
(pemindahan, pemecatan). Tiga kriteria itu berkait dengan masalah evaluasi sebelum
proses, masalah keadilan, dan masalah pelayanan prima. Pertama, berkait dengan
evaluasi dan akuntabilitas sebelum proses. Agar guru tidak merasa diperlakukan
tidak adil, hal-hal yang harus dilakukan adalah (1) guru diberi informasi yang secara
material ada dan menjadi perhatian, (2) guru diberi hak untuk memberi tanggapan
secara tertulis terkait dengan dokumen-dokumen evaluasi, (3) pengevaluasian
dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu, dalam arti waktu harus rasional sehingga

fakta, hal-hal yang tercatat, dan respon yang telah ada dapat dicek kebenarannya,
dan (4) informasi harus berasal dari sumber yang jelas dan faktual.
Kedua, berkait dengan masalah keadilan. Sebelum disidang dan diambil
keputusan, pertanyaaan kunci yang diajukan harus berkaitan dengan (1) apa yang
dilakukan dan apa yang tidak dilakukan oleh guru, (2) seberapa jauh dampak perilaku
guru terhadap komunitas sekolah, termasuk siswa, staf, administrator, dan wali, serta
(3) konteks antara apa yang dilakukan guru dan dampaknya bagi sekolah. Dalam
kaitannya dengan hal ketiga ini, apakah pengawas telah mengawasi dengan jujur dan
transparan atas problem yang terjadi; apakah lembaga secara cerdas dan jujur telah
berusaha membantu upaya peningkatan; dan apakah kesulitan-kesulitan yang tidak
tampak juga menjadi bahan pertimbangan.
Ketiga, berkait dengan masalah pelayanan prima. Hal ini dilandasi oleh
pertanyaan apakah kesalahan yang dilakukan guru signifikan terhadap proses
pendidikan. Jika tidak signifikan, tentu saja guru tidak begitu saja dapat diberhentikan. Berkait dengan hal ini ada 8 kategori pertanyaan yang dapat menjadi faktor
evaluasi, yaitu (1) berdasarkan kesalahan perilaku: apakah yang dilakukan guru
menyebabkan siswa, staf, guru lain, wali murid, dan yang lain tidak puas? (2)
berdasarkan kematangan bertindak: apakah tindakan guru merusak reputasi sekolah?
(3) berdasarkan pergeseran waktu: apakah dalam jangka waktu tertentu telah terjadi
perubahan perilaku atau sikap? (4) berdasarkan suasana: apakah yang dilakukan guru
memperburuk suasana sekitar dan apakah ada faktor ekternal yang membuat ia

melakukan kesalahan? (5) berdasarkan motif: motif dan modus apa yang membuat
guru melakukan kesalahan? (6) berdasarkan usaha perbaikan: apakah belum ada
asistensi atau upaya perbaikan sehingga kinerja guru tidak baik? (7) berdasarkan
tindakan berulang: apakah kesalahan yang sama sudah pernah terjadi? (8) berkaitan
dengan efek hukum: adakah persilangan antara hak individu dan hak publik?
Berkaitan dengan beberapa hal di atas, untuk mengetahui keberkaitan
banyaknya komponen yang merupakan bagian dari kinerja pegawai (guru) dan analisis
hukumnya dapatlah diumpamakan seperti sebuah arsitektur (struktur) bangunan,
misalnya gedung sekolah yang terdiri atas lantai, dinding, dan atap. Pertimbangkan
lantai yang akan dibuat di ruang kelas dan kinerja lain yang terkait. Bahan atau
komponen yang digunakan untuk membantu kualitas kinerja adalah (disingkat PACE)
berikut: (1) performance standards: standar kinerja harus dikomunikasikan dengan
jelas kepada semua pegawai; (2) accountability records: adanya rekaman akuntabilitas monitoring sistem kinerja: (3) classroom observation: pengamatan kelas
dilakukan dengan objektif dan profesional; dan (4) evaluation documents: ada
dokumen evaluasi yang mengindikasikan pola dan pengaturan rencana yang dibutuhkan.
1

Sementara itu, dinding sebuah bangunan, dapat diibaratkan mewakili pengaruh
lingkungan hasil kinerja. Bagian struktur ini dibuat dari pengaruh kinerja guru yang
diukur dengan beberapa hal (disingkat SPACE) berikut: (1) student information:

informasi siswa dengan memperhitungkan prestasi dan variabel yang mempengaruhi
kinerja; (2) peer and parents observation: pengamatan dan pendapat orang tua dan
rekan kerja serta pendapat tentang pengaruh kinerja yang diukur; (3) administrative
factors: faktor adiministratif yang meningkat sebagai hasil kinerja guru; (4)
community relations: relasi masyarakat seperti yang dipengaruhi oleh reputasi guru
dan sekolah berdasar kinerja; dan (5) extenuating circumstances: suatu keadaan yang
sirkulatif mempengaruhi kinerja.
Terakhir adalah atap yang diibaratkan sebagai manajemen dan atau hubungan
dalam suatu komunitas atau organisasi. Hal ini terefleksi dalam kemampuan pimpinan
seperti tampak pada faktor-faktor (disingkat CARE) berikut: (1) commitment to
success: komitmen untuk kesuksesan guru ditunjukkan oleh manajemen; (2) assistance
provided: asistensi disediakan untuk melengkapi remidi; (3) resources: sumber daya
dialokasikan untuk keberhasilan guru; dan (4) encouragement: dorongan yang
memperlihatkan adanya umpan balik yang konsisten untuk guru. Dalam kaitan ini, jika
fungsi pengawasan dan evaluasi dilaksanakan secara tepat, termasuk semua aspek
dalam struktur akuntabilitas, tentu semuanya akan berhasil dengan baik.
Satu hal lagi yang juga penting dalam hubungannya dengan upaya
mengantisipasi terjadinya pemecatan guru adalah sistem evaluasi dan dokumentasi.
Prinsipnya ialah bahwa evaluasi harus dilakukan berdasarkan perencanaan yang
matang dan kerja sama seluruh pihak, baik pengawas, administrator, anggota dewan,

pemerintah, bahkan kejaksaan. Sementara itu, evaluasi harus didukung dengan sistem
dokumentasi yang baik dan sistematis. Misalnya, catatan atau rekaman atas tindakan
tertentu harus dibuat lebih dini; hal ini untuk menjaga akurasi bukti yang diperlukan
pada saat, misalnya, terjadi proses hukum. Jadi, intinya ialah bahwa sistem evaluasi
yang sistematis dan dokumen yang valid dan faktual menjadi sesuatu yang sangat
penting dalam upaya pengambilan keputusan.
Hal lain yang perlu pula dipahami ialah bahwa hendaknya guru tidak
menganggap sistem akuntabilitas sebagai suatu hukuman, melainkan justru sebagai
peluang untuk menunjukkan kontribusinya secara penuh demi kemajuan pendidikan.
Hal itu sesuai dengan konsep bahwa akuntabilitas kinerja sesungguhnya semata-mata
untuk meningkatkan profesionalisme dan secara etik hukuman bukanlah cara untuk
mengubah budaya. Oleh karena itu, sekali lagi, akuntabilitas harus dilihat dan
menjadi sebuah kesempatan atau peluang yang baik untuk memperbaiki kinerja.
Hanya saja, kenyataan menunjukkan bahwa sistem akuntabilitas kinerja yang
diterapkan dewasa ini belum berjalan secara dinamis dan integratif, tetapi masih
bersifat linear, searah, bahkan cenderung hanya untuk memenuhi pesanan
(pemerintah) atau hanya sekedar untuk memenuhi syarat sebagai guru (sekolah) yang
berpredikat profesional. Oleh sebab itu, perlu ada kajian ulang untuk mendefinisikan
kembali sistem akuntabilitas yang didasari oleh visi, nilai-nilai, komitmen, dan tujuan
bersama dengan mempertimbangkan komunitas yang organik dan sekaligus dinamis.

Semua itu dilakukan semata agar pendidikan yang berkualitas benar-benar menjadi
kenyataan.
Berkaitan dengan seluruh paparan di atas, di akhir artikelnya penulis menyatakan dengan tegas bahwa secara hukum dan etik pemberhentian atau pemecatan
guru adalah solusi paling akhir dalam pelaksanaan sistem evaluasi atau akuntabilitas
kinerja. Dinyatakan demikian karena kesalahan atau tindakan kurang profesional guru
tidak hanya disebabkan oleh guru itu sendiri sebagai individu, tetapi juga oleh faktor
atau komponen lain dalam seluruh dinamika organisasi sekolah.
2

3. Permasalahan
Bertolak dari isi artikel di atas dapat dikatakan bahwa persoalan guru ternyata
tidak hanya menjadi masalah yang pelik dalam dunia pendidikan di Indonesia, tetapi
juga menjadi masalah yang perlu penanganan khusus di hampir semua negara di
dunia. Hal itu berarti bahwa di mana pun guru tetap menjadi komponen terpenting
bagi upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dikatakan demikian karena
guru memiliki peran sentral dalam proses pembelajaran di sekolah. Kedudukan guru
dalam sistem persekolahan menempati posisi strategis, berada di garis paling depan,
mengajar di depan kelas, menghadapi dan mengatasi secara langsung berbagai
persoalan yang terjadi dengan peserta didik di kelas dan di sekolah, baik yang bersifat
akademik maupun nonakademik.

Keberhasilan peserta didik menguasai pengetahuan dan mengasah ketajaman
dan keterampilan juga ditentukan oleh guru dalam memberikan arahan, tuntutan,
bimbingan, dan keteladanan yang baik. Dengan demikian, guru bukan hanya menjadi
ujung tombak pendidikan di sekolah, tetapi juga menjadi kunci keberhasilan
pendidikan secara menyeluruh. Oleh karena itu, tidak perlu diragukan lagi keberadaan
guru yang bermutu dan profesional merupakan tuntutan mutlak yang diyakini akan
dapat memberi sumbangan yang sangat berarti terhadap pencapaian keberhasilan
pendidikan.
Sehubungan dengan hal itu, dalam konteks pendidikan di Indonesia, kiranya
tepatlah dengan dikeluarkannya UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, dan PP No. 74/2008 tentang Guru yang mewajibkan guru memiliki
kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik. Hanya saja, masalah yang
kemudian muncul adalah, apakah setelah dilaksanakannya program sertifikasi --yang
menurut istilah dalam artikel di atas disebut program akuntabilitas kinerja-- kemudian
guru di Indonesia benar-benar menjalankan tugas dan fungsinya sebagai seorang
profesional? Atau, sebagai pemegang sertifikat pendidik, apakah guru telah benarbenar unggul dan menguasai kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan
profesional?
4. Pembahasan
Walaupun tidak didasari oleh penelitian lapangan yang akurat, masalah

(pertanyaan) di atas dapatlah dijawab dengan mudah, yaitu bahwa meskipun sebagian
besar guru di Indonesia telah memegang sertifikat pendidik, juga telah menerima
tunjangan kinerja (profesi), dapat dikatakan sebagian besar guru yang telah
bersertifikat itu belum menjalankan tugas dan fungsinya secara baik dan profesional.
Beberapa aspek yang menjadi penyebabnya ialah, antara lain, berikut.
a. Aspek Historis
Sejarah mencatat bahwa sebagai seorang PNS, guru --seperti halnya PNS-PNS
lainnya-- boleh dikata telah cukup lama memiliki sejarah yang kelam dilihat dari sisi
tingkat kesejahteraan. Karena itu, ketika kemudian menerima tunjangan kinerja yang
seharusnya untuk menunjang kegiatan berkait dengan jabatan profesinya, ternyata
tunjangan itu dianggap semata sebagai bentuk perbaikan kesejahteraan. Indikatornya
tampak, misalnya, banyak guru yang tetap tidak kreatif, tidak mengembangkan
media, tidak menulis artikel/buku, tidak membeli buku, tetapi justru menyulap motor
jadi mobil, dan sejenisnya. Agaknya, daftar tunggu haji yang semakin lama dan
panjang itu antara lain juga akibat dari terbitnya selembar sertifikat pendidik ini.
3

b. Aspek Akuntabilitas
Hingga saat ini di Indonesia masalah akuntabilitas kinerja lembaga masih
menjadi masalah serius yang perlu dibenahi, termasuk di lembaga pendidikan

(sekolah). Bahkan, sistem akuntabilitas itu sejauh ini baru diterapkan pada tingkat
organisasi, sementara individu sebagai bagian dari organisasi belum dituntut untuk
itu. Padahal, suatu organisasi dikatakan berhasil jika individu-individu yang ada di
dalamnya secara bersama dapat memberikan dukungan penuh pada visi dan misi
organisasi. Kalau organisasi harus bertanggung jawab penuh kepada pemangku
kepentingan atau publik (masyarakat), mestinya individu-individu yang ada di
dalamnya juga harus bertanggung jawab penuh pada organisasinya. Kalau organisasi
dituntut memiliki rencana kinerja organisasi, individu juga harus memiliki rencana
kinerja individu yang memiliki bobot tertentu sesuai jabatannya sebagai seorang
profesional. Namun, yang terjadi, misalnya di sekolah, guru masih sebatas melakukan
rutinitas tanpa ada laporan akuntabilitas (pencapaian) kinerja sesuai dengan bobot
yang ditetapkan dan disepakati melalui pakta integritas. Kalaupun hal itu telah
dilakukan, biasanya kelemahan terletak pada faktor pengawasan dan kelenturan
hukuman (punisment). Di sinilah letaknya bahwa jiwa sosial yang tinggi tidak selalu
bermakna baik. Dengan begitu, manajemen lalu berjalan penuh rekayasa.
c. Aspek Hukum
Isu tentang kelihaian orang Indonesia membuat undang-undang dan peraturan
bukanlah isu belaka, melainkan nyata adanya. Bahkan, kelihaian itu tidak hanya
terbatas membuat undang-undang dan peraturan, tetapi juga lihai menyiasatinya.
Akibatnya undang-undang dan peraturan tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap

dan konsisten karena masih sarat dengan beragam kepentingan. Oleh sebab itu, pada
tahap implementasi, kehadiran berbagai ketentuan dalam undang-undang dan
peraturan hanya digunakan untuk memenuhi tahapan formalitas. Karena itu pula,
undang-undang itu tidak menyentuh esensi, tetapi hanya sampai tingkat eksistensi.
Maka, tidak heran jika hingga tahun 2012 ini --menurut Mendikbud dalam pidatonya di
Rembugnas 2012 bulan Maret lalu-- guru di Indonesia yang dinilai layak tidak
mencapai angka 50% dan yang profesional kurang dari 20% padahal program sertifikasi
guru hampir selesai.
d. Aspek Tata Nilai dan Budaya Kerja
Sebenarnya Kemendikbud RI telah menyerukan dan menetapkannya dalam
Renstra 2009--2014 tentang tata nilai yang harus diterapkan dalam dan oleh setiap
lembaga, yakni melayani semua dengan amanah. Tata nilai itu wajib menjadi
landasan budaya kerja seluruh komponennya. Tata nilai yang menekankan pada aspek
responsif, adaptif, dan produktif itu perlu diwujudkan dalam sikap, norma, dan
perilaku seluruh pegawai. Akan tetapi, yang terjadi adalah, kenyataannya masih
banyak pegawai, termasuk guru, yang jauh dari tata nilai tersebut. Indikasi yang
menandai hal ini tampak, misalnya, masih banyak pegawai (guru) yang alergi terhadap
perubahan. Agaknya, konsep Jawa mengenai pola hidup sabar, narima, dan pasrah ini
benar-benar memperoleh pemaknaan secara salah.
e. Aspek Lain-Lain
Di samping beberapa aspek di atas, sebenarnya masih banyak aspek lain yang
langsung ataupun tidak berpengaruh pada profesionalisme seorang pendidik (guru).
Dapat disebutkan, misalnya, aspek sosial, politik, sarana prasarana, manajerial,
gerografis, dan sebagainya. Akan tetapi, kenyataan bahwa ketidakprofesionalan dan
4

ketidakproduktifan sebagian besar guru di Indonesia memang disebabkan oleh banyak
hal, kiranya paparan beberapa aspek di atas cukup menjadi bukti kuat tentangnya.
Tentu saja, yang perlu dipikirkan kemudian adalah bagaimana cara mengatasi
seluruh permasalahan yang kompleks tersebut. Hal demikian yang wajib menjadi
pemikiran bersama para ahli, termasuk para guru di sekolah dan para akademisi di
perguruan tinggi. Dan yang lebih penting lagi, akan lebih baik jika hal itu tidak hanya
sekadar menjadi pemikiran atau wacana semata, tetapi juga terbukti melalui
tindakan nyata setiap individu.
5. Penutup
Dalam konteks dunia pendidikan, baik di negara maju maupun negara berkembang, termasuk Indonesia, bagaimanapun guru tetap menjadi sorotan banyak pihak.
Sorotan itu muncul dari kompleksnya masalah seiring dengan adanya tuntutan
kemajuan ilmu dan teknologi. Dalam rangka memenuhi tuntutan itu sebenarnya telah
banyak upaya yang dilakukan, salah satu di antaranya adalah diterapkannya sistem
akuntabilitas kinerja bagi guru yang di Indonesia dikenal dengan nama program
sertifikasi. Namun, pelaksanaan program sertifikasi guru bukannya tanpa masalah, dan
masalah itu timbul dari kompleksnya persoalan sosial, tata nilai, budaya, hukum,
manajemen, dan lain sebagainya.
Berkenaan dengan kompleksnya persoalan itulah, pertanyaan awal sebagaimana
tertulis pada judul makalah ini, apakah guru non-profesional harus dipecat , tetap
sulit dijawab. Barangkali jawaban pasti akan segera diperoleh jika kompleksnya
persoalan yang melingkupi hal tersebut telah dapat diatasi. Hanya persoalannya,
kapankah berbagai persoalan rumit yang melanda dunia pendidikan di Indonesia akan
berakhir?
DAFTAR BACAAN
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Peraturan Mendiknas RI Nomor 42 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Dosen.
Peraturan Pemerintah No. 74/2008 tentang Guru.
Stronge, James H. (ed.). 2006. Evaluating Teaching: A Guide to Current Thinking and
Best Practice. California: Corwin Press.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

5