Membangun Kesadaran Hukum Dan Ketaatan H

Membangun Kesadaran Hukum Dan
Ketaatan Hukum
FILSAFAT HUKUM DALAM MEMBANGUN KESADARAN HUKUM DAN
KETAATAN HUKUM
1. LATAR BELAKANG MASALAH
Jika kita berbicara filsafat, kita seakan berada pada ranah yang sangat abstrak, dan filsafat
hukum merupakan cabang dari filsafat, filsafat hukum mempunyai fungsi yang strategis
dalam pembentukan masyarakat sadar hukum dan taat di Indonesia.
Hukum adalah dalam kompas ilmu untuk manusia, atau sosial ilmu, karena merupakan
bagian integral dan penting dalam komponen manusia masyarakat dan budaya. Tidak ada
kejadian yang dikenal dari suatu keadaan dalam pengalaman manusia, di mana masyarakat
yang heterogen ada dan budaya telah tanpa, atau sudah bebas dari, hukum. Dimanapun dan
kapanpun masyarakat dan budaya yang ditemukan, ada hukum juga ditemukan, menggenangi
seluruh masyarakat sebagai bagian dari budaya.
Seperti komponen lain dari masyarakat manusia dan budaya, hukum adalah fenomena, rentan
terhadap ketakutan intelektual dengan bantuan dari indra manusia, dan tunduk pada
penyelidikan empiris dan ilmiah deskripsi. Hukum merupakan salah satu bentuk budaya
untuk kendali dan regulasi perilaku manusia, baik individual atau kolektif dalam
penerapannya. Hukum adalah alat utama dari kontrol sosial pada masyarakat modern serta
dalam masyarakat primitif.
Pembentukan masyarakat sadar hukum dan taat akan hukum merupakan cita-cita dari adanya

norma-norma yang menginginkan masyarakat yang berkeadilan sehingga sendi-sendi dari
budaya masyarakat akan berkembang menuju terciptanya suatu sistem masyarakat yang
menghargai satu sama lainnya, membuat masyarakat sadar hukum dan taat hukum bukanlah
sesuatu yang mudah dengan membalik telapak tangan, banyak yang harus diupayakan oleh
pendiri atau pemikir negeri ini untuk memikirkan hal tersebut. Hukum bukanlah satu-satunya
yang berfungsi untuk menjadikan masyrakat sadar hukum dan taat hukum, Indonesia
yang notabene adalah negara yang sangatheterogen tampaknya dalam membentuk formulasi
hukum positif agak berbeda dengan negara-negara yang kulturnya homogen, sangatlah
penting kiranya sebelum membentuk suatu hukum yang akan mengatur perjalanan
masyarakat, haruslah digali tentang filsafat hukum secara lebih komprehensif yang akan
mewujudkan keadilan yang nyata bagi seluruh golongan, suku, ras, agama yang ada di
Indonesia.
Peranan hukum didalam masyarakat sebagimana tujuan hukum itu sendiri adalah menjamin
kepastian dan keadilan, dalam kehidupan masyarakat senantiasa terdapat perbedaan antara
pola-pola perilaku atau tata-kelakuan yang berlaku dalam masyarakat dengan pola-pola
perilaku yang dikehendaki oleh norma-norma (kaidah) hukum. Hal ini dapat menyebabkan
timbulnya suatu masalah berupa kesenjangan sosial sehingga pada waktu tertentu cenderung
terjadi konflik dan ketegangan-ketegangan sosial yang tentunya dapat mengganggu jalannya
perubahan masyarakat sebagaimana arah yang dikehendaki. Keadaan demikian terjadi oleh


karena adanya hukum yang diciptakan diharapkan dapat dijadikan pedoman (standard) dalam
bertindak bagi masyarakat tidak ada kesadaran hukum sehingga cenderung tidak ada ketaatan
hukum.
Hukum yang diciptakan diharapkan dapat dijadikan pedoman (standard) dalam bertindak bagi
masyarakat, meskipun harus dipaksa. Namun demikian masyarakat kita tidak sepenuhnya
memahami tujuan dari hukum tersebut, maka timbul ketidak sadaran dan ketidak
taatan hukum. Hukum merupakan hasil kebudayaan yang diciptakan untuk maksud dan
tujuan tertentu. Pada umumnya manusia adalah mahluk berbudaya, memiliki pola pikir dalam
menghargai kebudayanya.
1. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah sebenarnya hakikat filsafat hukum ?
2. Bagaimana peran filsafat hukum dalam membangun kesadaran hukum dan ketaatan
hukum ?
1. PEMBAHASAN
Semenjak kita duduk di bangku pendidikan lanjutan serta Perguruan Tinggi kita sering
mendengar tentang filsafat, apakah sebenarnya filsafat tersebut ? Seseorang yang berfilsafat
diumpamakan seorang yang berpijak dibumi sedang tengadah ke bintang-bintang, dia ingin
mengetahui hakikat keberadaan dirinya, ia berfikir dengan sifat menyeluruh (tidak puas jika
mengenal sesuatu hanya dari segi pandang yang semata-mata terlihat oleh indrawi saja). Ia
juga berfikir dengan sifat (tidak lagi percaya begitu saja bahwa sesuatu itu benar). Ia juga

berfikir dengan sifat spekulatif (dalam analisis maupun pembuktiannya dapat memisahkan
spekulasi mana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak), dan tugas utama filsafat adalah
menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan[1].
Beberapa pengertian Filsafat hukum banyak diutarakan oleh ahli ditafsirkan berbeda beda,
namun pada pokoknya pertanyaan-pertanyaan, pernyataan-penyataan[2]. Ilmu pengetahuan
hukum hanya melihat gejala-gejala hukum belaka, ia tak melihat “hukum”; ia hanya melihat
apa yang dapat dilihat panca indera, bukan melihat dunia hukum yang tak dapat dilihat, yang
tersenbunyi didalamnya; ia sementara mata melihat hukum sebagai dan sepanjang menjelma
dalam perbuatan-perbuatan manusia, dalam kebiasaan-kebiasaan hukum.[3]
Kemudian lebih mengerucut lagi adalah Filsafat hukum, yaitu ilmu yang mempelajari hukum
secara filosofi, yang dikaji secara luas, mendalam sampai kepada inti atau dasarnya yang
disebut dengan hakikat. Dan tujuan mempelajari filsafat hukum untuk memperluas cakrawala
pandang sehingga dapat memahami dan mengkaji dengan kritis atas hukum dan diharapkan
akan menumbuhkan sifat kritis sehingga mampu menilai dan menerapkan kaidah-kaidah
hukum.
Pengertian Filsafat dan Filsafat Hukum
Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu philosophy, adapun istilah filsafat berasal dari bahasa
Yunani, philosophia, yang terdiri atas dua kata: philos (cinta) atau philia (persahabatan,
tertarik kepada) danshopia (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman
praktis, inteligensi). Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran.


[4] Plato menyebut Socrates sebagai philosophos (filosof) dalam pengertian pencinta
kebijaksanaan. Kata falsafah merupakan arabisasi yang berarti pencarian yang dilakukan oleh
para filosof. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian
yang dimaksud, yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat
segala yang ada, sebab asal dan hukumnya. Manusia filosofis adalah manusia yang memiliki
kesadaran diri dan akal sebagaimana ia juga memiliki jiwa yang independen dan bersifat
spiritual.
Filsafat Hukum Menurut Gustaff Radbruch adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum
yang benar. Sedangkan menurut Langmeyer:Filsafat Hukum adalah pembahasan secara
filosofis tentang hukum,[5]Anthoni D’Amato mengistilahkan dengan Jurisprudence atau
filsafat hukum yang acapkali dikonotasikan sebagai penelitian mendasar dan pengertian
hukum secara abstrak, Kemudian Bruce D. Fischer mendefinisikan Jurisprudence adalah
suatu studi tentang filsafat hukum. Kata ini berasal dari bahasa Latin yang berarti
kebijaksanaan(prudence) berkenaan dengan hukum (juris) sehingga secara tata bahasa berarti
studi tentang filsafat hukum.
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa Filsafat hukum merupakan cabang filsafat, yakni
filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain
filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis, jadi objek filsafat
hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai pada inti atau

dasarnya, yang disebut dengan hakikat.
Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto[6] menyebutkan sembilan arti hukum, yaitu : 1)
Ilmu pengetahuan, yaitu pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan
pemikiran. 2) Disiplin, yaitu suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang
dihadapi. 3) Norma, yaitu pedoman atau patokan sikap tindak atau perilaku yang pantas atau
diharapkan. 4) Tata Hukum, yaitu struktur dan proses perangkat norma-norma hukum yang
berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis. 5) Petugas, yakni
pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum
(law enforcement officer) 6) Keputusan Penguasa, yakni hasil proses diskresi 7) Proses
Pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem
kenegaraan 8) Sikap tindak ajeg atau perilaku yang teratur, yakni perilaku yang diulang-ulang
dengan cara yang sama, yang bertujuan mencapai kedamaian 9) Jalinan nilai-nilai, yaitu
jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk.
Filsafat hukum mempelajari hukum secara spekulatif dan kritisartinya filsafat hukum
berusaha untuk memeriksa nilai dari pernyataan-pernyataan yang dapat dikatagorikan sebagai
hukum ;
ü Secara spekulatif, filsafat hukum terjadi dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan
mengenai hakekat hukum.
ü Secara kritis, filsafat hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum
yang sudah ada, melihat koherensi, korespondensi dan fungsinya.

Membangun Kesadaran Hukum.
Kesadaran hukum diartikan secara terpisah dalam bahasa yang kata dasarnya “sadar” tahu
dan mengerti, dan secara keseluruhan merupakan mengetahui dan mengerti tentang hukum,

menurut Ewick dan Silbey : “Kesadaran Hukum” mengacu ke cara-cara dimana orang-orang
memahami hukum dan intitusi-institusi hukum, yaitu pemahaman-pemahaman yang
memberikan makna kepada pengalaman dan tindakan orang-orang.[7]
Bagi Ewick dan Silbey, “kesadaran hukum” terbentuk dalam tindakan dan karenannya
merupakan persoalan praktik untuk dikaji secara empiris. Dengan kata lain, kesadaran hukum
adalah persoalan “hukum sebagai perilaku”, dan bukan “hukum sebagai aturan norma atau
asas”[8]
Membangun kesadaran hukum tidaklah mudah, tidak semua orang memiliki kesadaran
tersebut. Hukum sebagai Fenomena sosial merupakam institusi dan pengendalian masyarakat.
Didalam masyarakat dijumpai berbagai intitusi yang masing-masing diperlukan didalam
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan memperlancar jalannya
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut, oleh karena fungsinya demikian masyarakat perlu
akan kehadiran institusi sebagai pemahaman kesadaran hukum.
Pentingnya kesadaran membangun masyarakat yang sadar akan hukum inilah yang
diharapkan akan menunjang dan menjadikan masyarakat menjunjung tinggi intitusi/ aturan
sebagai pemenuhan kebutuhan untuk mendambakan ketaatan serta ketertiban hukum. Peran

dan fungsi membangun kesadaran hukum dalam masyarakat pada umumnya melekat pada
intitusi sebagai pelengkap masyarakat dapat dilihat dengan : 1) Stabilitas, 2) Memberikan
kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat, 3) Memberikan kerangka
sosial institusi berwujud norma-norma, 4) Jalinan antar institusi.
Beberapa faktor yang mempengarui masyarakat tidak sadar akan pentingnya hukum adalah :
1. Adanya ketidak pastian hukum;
2. Peraturan-peraturan bersifat statis;
3. Tidak efisiennya cara-cara masyarakat untuk mempertahankan peraturan yang

berlaku;[9]
Berlawanan dengan faktor-faktor diatas salah satu menjadi fokus pilihan dalam kajian tentang
kesadaran hukum adalah :
1. Penekanan bahwa hukum sebagai otoritas, sangat berkaitan dengan lokasi dimana
suatu tindakan hukum terjadi;
2. Studi tentang kesadaran hukum tidak harus mengistimewakan hukum sebagai sebuah
sumber otoritas atau motivasi untuk tindakan;
3. Studi tentang kesadaran hukum memerlukan observasi, tidak sekedar permasalahan

sosial dan peranan hukum dalam memperbaiki kehidupan mereka, tetapi juga apa
mereka lakukan.[10]

Berangkat dari uraian diatas maka pemenuhan kebutuhan dan hubungan antara institusi
hukum maupun institusi masyarakat berperan sebagai pranata didalam masyarakat.
Membangun Ketaatan Hukum.

Ketaatan hukum tidaklah lepas dari kesadaran hukum, dan kesadaran hukum yang baik
adalah ketaatan hukum, dan ketidak sadaran hukum yang baik adalah ketidak taatan.
Pernyataan ketaatan hukum harus disandingkan sebagai sebab dan akibat dari kesadaran dan
ketaatan hukum.
Sebagai hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara kesadaran hukum dan ketaataan hukum
maka beberapa literaur yang di ungkap oleh beberapa pakar mengenai ketaatan hukum
bersumber pada kesadaran hukum, hal tersebut tercermin dua macam kesadaran, yaitu :
1. Legal consciouness as within the law, kesadaran hukum sebagai ketaatan hukum,
berada dalam hukum, sesuai dengan aturan hukum yang disadari atau dipahami;
2. Legal consciouness as against the law, kesadaran hukum dalam wujud menentang

hukum atau melanggar hukum[11]
Hukum berbeda dengan ilmu yang lain dalam kehidupan manusia, hukum berbeda dengan
seni, ilmu dan profesionalis lainya, struktur hukum pada dasarnya berbasis kepada kewajiban
dan tidak diatas komitmen. Kewajiban moral untuk mentaati dan peranan peraturan
membentuk karakteristik masyarakat.

Didalam kenyataannya ketaatan terhadap hukum tidaklah sama dengan ketaatan sosial
lainnya, ketaatan hukum merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dan apabila tidak
dilaksanakan akan timbul sanksi, tidaklah demikian dengan ketaatan sosial, ketaatan sosial
manakala tidak dilaksanakan atau dilakukan maka sanksi-sanksi sosial yang berlaku pada
masyarakat inilah yang menjadi penghakim. Tidaklah berlebihan bila ketaatan didalam
hukum cenderung dipaksakan.
Ketaatan sendiri dapat dibedakan dalam tiga jenis, mengutip H. C Kelman (1966) dan L.
Pospisil (1971) dalam buku Prof DR. Achmad Ali,SH Menguak Teori Hukum (Legal Theory)
dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interprestasi Undang-undang
(legisprudence):
1. Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan, hanya
karena takut terkena sanksi. Kelemahan ketaatan jenis ini, karena membutuhkan
pengawasan yang terus-menerus.
2. Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan, hanya
karena takut hubungan baiknya dengan pihak lain menjadi rusak.
3. Ketaatan yang bersifat internalization, yaiutu jika seseorang menaati suatu aturan,
benar-benar karena merasa bahwa aturan itu sesuai dengan nilai-nila intristik yang
dianutnya.
Sudut pandang filsafat tentang ketaatan terhadap hukum
Jika kita mengurai tentang alasan-alasan mengapa masyarakat tidak menaatai hukum atau

mentaati hukum, ini adalah terjadi karena keragaman kultur dalam masyarakat. Mengapa
orang mentaati hukum? Konsep Hermeneutika menjawabnya bahwa tidak lain, karena hukum
secara esensial bersifat relegius atau alami dan karena itu, tak disangkal membangkitkan
keadilan.[12]

Kewajiban moral masyarakat untuk mentaati hukum, kewajiban tersebut meskipun memaksa
namun dalam penerapan atau prakteknya kewajiban tersebut merupakan tidak absolut.
Kemajemukan budaya yang tumbuh didalam masyarakat, norma-norma hidup dan tumbuh
berkembang dengan pesat. Kewajiban moral dalam menyelesaikan masalah-masalah dengan
keadaan tertentu.
Menurut Kohlberg (Valazquez, 1998) menyatakan perkembangan moral individu ada 3 tahap
yaitu:
1. Level Preconvenstional. Level ini berkembang pada masa kanak-kanak.
1. Punishment and obidience orientation: alasan seseorang patuh/ taat adalah
untuk menghindari hukuman.
2. Instrument and relativity orientation; perilaku atau tindakan benar karena
memperoleh imbalan atau pujian.
3. Level Conventional: Individu termotivasi untuk berperilaku sesuai dengan
norma-norma kelompok agar dapat diterima dalam suatu kelompok tersebut.
1. Interpersonal concordance orientation: orang bertingkah laku baik

untuk memenuhi harapan dari kelompoknya yang menjadi loyalitas,
kepercayaan dan perhatiannya seperti keluarga dan teman.
2. Law and order orientation: benar atau salah ditentukan loyalitas
seseorang pada lingkungan yang lebih luas seperti kelompok
masyarakat atau negara.
3. Level Postconventional: pada level ini orang tidak lagi menerima saja
nilai-nilai dan norma-norma dari kelompoknya, melainkan melihat
situasi berdasarkan prinsip-prinsip moral yang diyakininya.
1. Social contract orientation: orang mulai menyadari bahwa
orang-orang memiliki pandangan dan opini pribadi yang sering
bertentangan dan menekankan cara-cara adil dalam mencapai
konsensus dengan perjanjian, kontrak dan proses yang wajar.
2. Universal ethical principles orientation. Orang memahami
bahwa suatu tindakan dibenarkan berdasarkan prinsip-prinsip
moral yang dipilih karena secara logis, komprehensif,
universal, dan konsisten.
Menurut Cristoper Berry Gray (The Philosopy of Law An Encyclopedia-1999), tiga
pandangan mengapa seorang mentaati hukum :
1. Pandangan Ekstrem pertama, adalah pandangan bahwa merupakan “kewajiban
moral” bagi setiap warga negara untuk melakukan yang terbaik yaitu senantiasa
mentaati hukum, kecuali dalam hal hukum memang menjadi tidak menjamin
kepastian atau inkonsistensi, kadang-kadang keadaan ini muncul dalam pemerintahan
rezim yang lalim.

2. Pandangan kedua yang dianggap pandangan tengah, adalah kewajiban utama bagi
setiap orang (Prima facie) adalah kewajiban mentaati hukum.
3. Pandangan Ketiga dianggap pandangan ekstrem kedua yang berlawanan dengan
pandangan pertama, adalah bahwa kita hanya mempunyai kewajiban moral untuk
hukum, jika hukum itu benar, dan kita tidak terikat untuk mentaati hukum.
1. KESIMPULAN
Kesadaran hukum dan ketaatan hukum sering kita dengar atau kita membaca pernyataanpernyataan
yang
menyampaikan
“Kesadaran
hukum” dengan
“Ketaatan
Hukum” atau “Kepatuhan Hukum”, suatu persepsi keliru. Pemahaman Kesadaran hukum dan
ketaatan hukum yang mana dijelaskan bahwa :
1. Kesadaran hukum yang baik, yaitu ketaatan hukum, dan
2. Kesadaran hukum yang buruk, yaitu ketidaktaatan hukum.
Kewajiban moral masyarakat secara individu untuk mentaati hukum, tidak ada yang
mengatakan bahwa kewajiban merupakan sesuatu yang absolut, sehingga terkadang secara
moral, kita dapat melanggar hukum, namun tidak ada pakar hukum, yang secara terbuka atau
terang-terangan melanggar hukum. Kita memiliki alasan moral yang kuat untuk melakukan
apa yang diperintahkan oleh hukum, seperti, tidak melakukan penghinaan, penipuan, atau
mencuri dari orang lain. Kita harus mentaati hukum, jika telah ada aturan hukum yang
disertai dengan ancaman hukuman. Mereka yang yakin akan hukum, harus melakukan
dengan bantuan pemerintah, dan mereka yakin, akan mendapat dukungan dai warga
masyarakat.

: Kesadaran hukum adalah kesadaran diri sendiri tanpa tekanan, paksaan, atau perintah dari luar
untuk tunduk pada hukum yang berlaku.
Pengertian kesadaran hukum menurut Soerjono Soekanto adalah :
Kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri
manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada.
Sudikno Mertokusumo juga mempunyai pendapat tentang pengertian Kesadaran Hukum. Sudikno
Mertokusumo menyatakan bahwa :
Kesadaran hukum berarti kesadaran tentang apa yang seyogyanya kita lakukan atau perbuat atau
yang seyogyanya tidak kita lakukan atau perbuat terutama terhadap orang lain.

Paul Scholten juga mempunyai pendapat tentang arti kesadaran hukum. Paul Scholten menyatakan
bahwa :
Kesadaran hukum adalah kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa hukum itu atau apa
seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan kita dengan mana kita
membedakan antara hukum dan tidak hukum (onrecht), antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak
dilakukan..

Pengertian kesadaran hukum menurut Soerjono Soekanto
adalah :
Kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau
nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum
yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada.
Sebenarnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi
hukum dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadiankejadian yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan.
[1]
Sudikno Mertokusumo juga mempunyai pendapat tentang
pengertian

Kesadaran

Hukum.

Sudikno

Mertokusumo

menyatakan bahwa :
Kesadaran hukum berarti kesadaran tentang apa yang
seyogyanya kita lakukan atau perbuat atau yang seyogyanya
tidak kita lakukan atau perbuat terutama terhadap orang lain.
Ini berarti kesadaran akan kewajiban hukum kita masingmasing terhadap orang lain.[2]

Paul Scholten juga mempunyai pendapat tentang arti
kesadaran hukum. Paul Scholten menyatakan bahwa :
Kesadaran hukum adalah kesadaran yang ada pada setiap
manusia tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum
itu, suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan kita dengan
mana kita membedakan antara hukum dan tidak hukum
(onrecht), antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak
dilakukan.[3]
Berdasarkan ketiga pendapat tersebut, jelas bahwa kesadaran
hukum mempunyai peranan penting dalam kehidupan
bermasyarakat, oleh karena itu, hendaklah setiap insan
mempunyai kesadaran hukum!

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang

Bicara tentang kesadaran hukum pada hakekatnya adalah bicara tentang manusia secara
umum, bukan bicara tentang manusia dalam lingkungan tertentu atau manusia dalam profesi
tertentu seperti hakim, jaksa, polisi dan sebagainya. Manusia sadar dan yakin bahwa kaedah hukum
itu untuk melindungi kepentingan manusia dan sesamanya terhadap ancaman bahaya di
sekelilingnya. Oleh karena itu setiap manusia mengharapkan agar hukum dilaksanakan dan dihayati
oleh semua manusia agar kepentingannya dan kepentingan masyarakat terlindungi terhadap bahaya
yang
ada
di
sekelilingnya.
(Sudikno
Mertokusumo).
Indonesia diidealkan dicita-citakan oleh the founding father sebagai suatu negara hukum
(Rechsstaat/ The Rule of Law). Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 Bab I Pasal 1 Ayat (3) yaitu “Negara Indonesia adalah Negara
hukum” . Sebagai negara hukum tentunya segala sesuatunya harus berlandaskan hukum, baik dalam
hubungan antar lembaga negara yang satu dengan yang lain, pemerintah dengan rakyat, dan
hubungan antara rakyat dengan rakyat. Begitu juga berdasarkan penjelasan UUD ’45, dikatakan
bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum (Rechsstaat) bukan negara kekuasaan (Machstaat).
Hal ini membawa konsekuensi bahwa negara termasuk di dalamnya pemerintah dan lembagalembaga negara yang lain dalam melaksanakan tindakan apapun harus dipertanggungjawabkan
secara hukum, karena itu setiap tindakan harus berdasarkan hukum. Sehingga konsekuensi dari
negara hukum adalah hukum sebagai panglima yang memandang siapapun, baik dari kalangan
pejabat, pengusaha, maupun rakyat biasa mempunyai hak dan kedudukan yang sama dihadapan
hukum. Menurut Achmad Ali, hukum adalah seperangkat norma tentang apa yang benar dan apa
yang salah, yang dibuat atau diakui eksistensinya oleh pemerintah, yang dituangkan baik sebagai
aturan tertulis (peraturan) ataupun yang tidak tertulis, yang mengikat dan sesuai dengan kebutuhan
masyarakatnya secara keseluruhan, dan dengan ancaman sanksi bagi pelanggar aturan itu. Adapun
yang dimaksud negara hukum adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan
kepada
warga
negaranya.
Ide negara hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh para filsuf dari zaman Yunani Kuno.
Plato pada awalnya dalam the Republic berpendapat bahwa adalah mungkin mewujudkan negara
ideal untuk mencapai kebaikan yang berintikan kebaikan. Untuk itu kekuasaan harus dipegang oleh
orang yang mengetahui kebaikan, yaitu seorang filosof (the filosopher king). Namun, dalam bukunya
the Statesmen dan the law, Plato menyatakan bahwa yang dapat diwujudkan adalah bentuk kedua
(the second best) yang menempatkan supremasi hukum. Pemerintah yang mampu mencegah
kemerosotan kekuasaan seseorang adalah pemerintahan oleh hukum. Senada dengan Plato, tujuan
negara menurut Aristoteles adalah untuk mencapai kehidupan yang paling baik (the best life
possible) yang dapat dicapai dengan supremasi hukum. Hukum adalah wujud kebijaksanaan kolektif
warga negara (collective wisdom), sehingga peran warga negara diperlukan dalam pembentukannya.
Selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan konsep
‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat
dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma,
sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam
penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan
erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi.
Kesadaran hukum telah menurun secara memrihatinkan yang mau tidak mau mengakibatkan
merosotnya kewibawaan pemerintah. Seperti yang dikatakan diatas kesadaran hukum itu
berhubungan dengan manusianya bukan dengan hukum. Bukan hukumnyalah yang harus
direformasi. Oleh karena itu yang harus diperbaiki atau ditingkatkan adalah manusianya atau sumber
daya manusianya. Moral, mental dan intelektualitasnya harus ditingkatkan. (Sudikno
Mertokusumo). Permasalahan hukum di Indonesia timbul karena beberapa hal, baik dari sistem
peradilan, perangkat hukum, inkonsistensi penegakkan hukum, intervensi kekuasaan maupun
perlindungan hukum. Banyak perkara yang melibatkan pihak penguasa atau oknum aparat penegak
hukum yang bisa sebelum masuk pengadilan atau diputus bebas oleh hakim. Hal ini akan
memunculkan pemahaman ketidak percayaan masyarakat terhadap hukum.

1.2.

Rumusan dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas penulisan makalah ini lebih memfokuskan pada
perjuangan Jendral Soedirman dan keteladanannya yang dapat dicontoh dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.Untuk menjabarkan permasalahan tersebut, penulisan ini dipandu berdasarkan
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana kesadaran warga negara Indonesia akan kesadaran hukum yang berlaku di Indonesia?
2. Bagaimana peran pemuda atau mahasiswa dalam mengaktualisasikan kesadaran hukum yang
berlaku di lingkungan universitas?
3. Dari mana sajakah masalah yang akan muncul dari permasalahan hukum di Indonesia?

1.3.

Tujuan

Makalah ini di buat untuk menambah pengetahuan tentang Hukum mengatasi kekuasaan
lain atau Hukum sebagai Panglima dan untuk memenuhi tugas terstruktur dari mata kuliah Jati Diri
Unsoed. Diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi pembaca
makalah ini.

BAB II
PEMBAHASAN
Proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan oleh founding father pada tanggal 17
Agustus 1945 adalah awal pemberlakukan hukum nasional yang didasarkan pada landasan ideologi
dan konstitusi negara yaitu Pancasila dan UUD 1945. Pada awal kemerdekaan, Indonesia belum
memiliki hukum yang bersumber dari nilai-nilai yang hidup di masyarakat yang berlaku secara
nasional namun berdasarkan pertimbangan politik dan nasionalisme, segala peraturan perundangundangan yang berlaku pada masa kolonial Belanda masih tetap berlaku melalui proses nasionalisasi,
sepanjang sesuai dengan kebutuhan sebuah negara yang merdeka, berdaulat dan religius.
Produk peraturan perundang-undangan kolonial Belanda yang mengalami proses
nasionalisasi diantaranya: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan nasionalisasi
dari Wetboek van Straafrechts, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan nasionalisasi
dari Burgerlijk

Wetboek,

Kitab

Undang-Undang

Hukum

Dagang

merupakan

nasionalisasi

dariWetboek van Koophandel. Selain menggantikan nama, pasal-pasal yang tidak sesuai kebutuhan
diganti dan ditambah dengan yang baru berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa.
Adanya nasionalisasi produk hukum kolonial Belanda kehukum nasional, Indonesia telah
menganut sistem hukumcivil law system yang dianut oleh negara-negara Eropa Kontinental termasuk
Belanda. Pada perkembangan selanjutnya, sistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak selalu
dipengaruhi oleh Civil Law System. Terdapat empat dari lima sistem hukum yang memengaruhi
hukum

di

Indonesia,

yaitu Civil

Law

System,

Common

Law

System,

Socialist

Law

System danTraditional Law System.
Dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia menentukan dalam Pasal 1 ayat (3)
UUD 1945 amandemen ketiga bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Mengandung arti
bahwa segala perilaku yang ada dalam suatu negara, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun
yang diperintah (rakyat) harus berdasarkan atas aturan-aturan hukum dan bukan berdasarkan atas
kekuasaan. Hukum dijadikan sebagai panglima dalam kehidupan bernegara.
Momentum reformasi tahun 1998 yang diawali dengan tumbangnya orde baru, kembali
menegaskan bahwa hukum adalah panglima dalam kehidupan bernegara. Bukan ekonomi atau
politik sebagaimana yang diangung-agungkan pada era orde baru. Sebagai panglima dalam
kehidupan bernegara, hukum diharapkan mampu mengakomodasi kepentingan warga negara tanpa
membedakan suku, agama, ras dan golongan.

Cita-cita reformasi yang menghendaki adanya pemerintahan demokrasi Indonesia baru,
pembenahan dibidang hukum menjadi prioritas utama. UUD 1945 yang telah mengalami empat kali
amanden merupakan salah satu langkah positif dalam pembenahan hukum. Sesuatu yang dianggap
tabu pada masa orde baru. Tidak bisa disangkal, bertahannya pemerintahan mantan Presiden
Soeharto selama 32 tahun memimpin Republik ini salah satu penyebabnya adalah UUD 1945
(sebelum amanden) memang menghendaki demikian. UUD 1945 memungkinkan presiden untuk
kembali mencalonkan diri setelah dua kali menjabat tanpa ada pembatasan.
Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dipahami dari sudut pandang yang berbeda. Hukum
berposisi sebagai penolong bagi pihak yang diuntungkan dan menjadi kejam bagi pihak yang
dirugikan. Hukum harus bersikap netral bagi setiap pencari keadilan dan bukan bersifat diskriminatif,
memihak pada yang kuat dan berkuasa.

Permasalahan hukum di Indonesia timbul karena beberapa hal, baik dari sistem peradilan,
perangkat hukum, inkonsistensi penegakkan hukum, intervensi kekuasaan maupun perlindungan
hukum. Banyak perkara yang melibatkan pihak penguasa atau oknum aparat penegak hukum yang
bisa sebelum masuk pengadilan atau diputus bebas oleh hakim. Hal ini akan memunculkan
pemahaman ketidak percayaan masyarakat terhadap hukum.Adakalanya kita terlambat menyadari
bahwa apa yang kita lakukan sarat dengan formalitas dan tidak memiliki kedalaman makna, yang
lebih tragis lagi adalah perbuatan anak manusia itu adakalanya kontraproduktif terhadap peri
kemanusiaan itu sendiri.
Penegakan hukum misalnya, selalu menjadi prasyarat bagi sebuah demokrasi dan kemajuan.
Tak ada sebuah negara atau pengurus kebijakan yang menyangkut kepentingan publik akan bisa
berjalan dengan baik. Jika hukum masih compang-camping dan tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Maka sebuah negara akan menjadi mundur jika hukum digairahkan hanya demi hasrat
kepentingan tertentu, apalagi kepentingan politik.
Sebab upaya penegakan hukum bila diboncengi oleh target-target kepentingan atau hukum
hanya digunakan untuk mancari celah dan mendapatkan sesuatu. Maka sama artinya dengan
membawa kita kembali ke masa lampau, orang pun mengibaratkan reformasi seperti bunga yang layu
sebelum berkembang. Hal ini menjadi penting untuk diketengahkan, karena sejumlah catatan sejarah
menjelaskan bahwa banyak sekali penegakan hukum dijadikan alasan untuk mencapai kepentingan,
pembunuhan karakter dengan target menjatuhkan seseorang.

Perubahan penting yang berlangsung pada banyak negara diberbagai belahan dunia tidak
dapat disangkal, selalu berawal dari perbaikan perangkat hukum. Revolusi Prancis yang berlangsung
pada tahun 1789, adalah sebuah contoh munculnya gerakan rakyat yang akhirnya menjungkal Raja
Louis XVI dari tahta. Sesunggunhnya bermula dari kerisauan masyarakat atas tidak berfungsinya
hukum Raja, dengan hukum yang tidak berjalan bermetamorfosis menjadi sosok yang sewenangwenang dan melakukan sesuatu dengan sekehendak hati. Lebih tragis, Raja mengumumkan bahwa
hukum adalah apa yang ia lakukan, yang terkenal dengan ungkapan “Negara adalah saya.”
Kondisi ini membuat hukum menjadi alat kepentingan untuk malakukan apa saja yang
diinginkan, sehingga dengan demikian segala tindakan amoral dan korupsi merajelela. Akibatnya
negara menjadi kacau dan rakyat hidup dalam ketidakmenentuan.
Thomas Hubbes pernah mensinyalir adanya kecenderungan manusia berperang melawan
sesamanya dalam rangka memenuhi kepentingnannya (Bellum Omnium Contra Omnes, Homo
Homini Lupus). Kecendurungan tersebut harus dikendalikan dan satu-satunya alat untuk itu adalah
hukum. Bila kita tidak mengindahkannya, maka ingatlah pesan Hang Jebat !! “Raja adil raja
disembah, raja zhalim raja disanggah…!”
Aktualisasi hukum dalam lingkungan kampus biasannya berupa aktualisasi subyektif yaitu
aktualisasihukum pada setiap individu terutama dalam aspek moral. Masyarakat kampus sebagai
masyarakat ilmiah harus benar-benar mengamalkan budaya akademik, terutama untuk tidak terjebak
pada politik praktis dalam arti terjebak pada legitimasi kepentingan penguasa sebagai akibat lahirnya
kebudayaan yang mengadopsi budaya Barat. Hal itu bukan berarti masyarakat kampus tidak boleh
berpolitik, melainkan masyarakat kampus harus benar-benar berpegang pada komitmen moral yaitu
pada suatu kebenaran objektif. Masyarakat kampus harus terhindar dari kiprah tarik-menarik
kekuasaan dalam pertentangan politik. Masyarakat kampus wajib senantiasa bertanggung jawab
secara moral atas kebenaran objektif, yaitu tanggung jawab terhadap masyarakat bangsa dan negara,
serta mengabdi kepada kesejahteraan kemanusiaan. Oleh karena itu masyarakat kampus tidak boleh
tercemar oleh kepentingan-kepentingan politik penguasa sehingga benar-benar luhur dan mulia.
Dasar pijak kebenaran masyarakat kampus adalah kebenaran yang bersumber pada hati nurani serta
sikap moral yang luhur yang bersumber pada Ketuhanan dan kemanusiaan.

BAB III
KESIMPULAN
Kita semua menginginkan negeri ini menjadi negeri yang manis, yakni sebuah negeri yang
berjalan dengan koridor hukum yang baik dan tidak syarat kepentingan. Untuk mendapatkan ini, kita
semua memang harus meletakkan hukum sebagai salah satu panglima bagi diri kita masing-masing.
Jika tidak, maka kita akan terus tenggelam tanpa henti, tak terdamaikan dan akan terus terpuruk
dalam waktu tanpa batas.

DAFTAR PUSTAKA
http://alimansyur.blog.unissula.ac.id/

Muhaimin, Hendro. 2008.Pengembalian Peran Kampus. Universitas Gajah Mada.
Yogyakarta
http://skyrider27.blogspot.com
http://zaldym.wordpress.com/2008/06/23/hukum-sebagai-panglima/

MAKALAH
Kesadaran Hukum dalam Masyarakat
Diajukan untuk memenuhi dan melengkapi tugas-tugas mata kuliah
Ilmu Hukum

Disusun Oleh :

Ahmad Hidayat

FAKULTAS SYARIAH
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
NOVEMBER,2011

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pelaksanaan hukum di Indonesia sudah tidak tentu arah, seakan sudah tidak memiliki
hukum. Hukum yang sudah di buat oleh pihak legislative pun seakan hanya sebuah catatan
yang dibukukan. Pelanggaran-pelanggaran semakin marak terjadi namun hukum seperti takut
untuk melakukan tugasnya. Kesadaran masyarakat akan hukum pum menjadi kian merosot.
Dan menganggap hukum yang dibuat hanya untuk dilanggar.
1.2 Rumusan Masalah
Dengan mengacu pada latar belakang permasalahan di atas, penulisan makalah ini
dimaksudkan untuk menjawab rumusan masalah, sebagai berikut :
 Bagaimana hakikat kesadaran hukum masyarakat ?
 Bagaimana kondisi kesadaran hukum masyarakat sekarang ini ?
 Bagaimana meningkatkan kesadaran hukum ?
1.3 Tujuan
Makalah ini kami buat dengan tujuan untuk menjelaskan rumusan masalah, sebagai
berikut :

Menjelaskan tentang hakikat kesadaran hukum masyarakat

Menjelaskan tentang kondisi kesadaran hukum masyarakat sekarang ini

Memaparkan cara-cara untuk meningkatkan kesadaran hukum
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hakikat Kesadaran Hukum Masyarakat
Kesadaran hukum dengan hukum itu mempunyai kaitan yang erat sekali. Kesadaran
hukum merupakan faktor dalam penemuan hukum. Bahkan Krabbe menyatakan bahwa
sumber segala hukum adalah kesadaran hukum[1]. Dengan begitu maka yang disebut hukum
hanyalah yang memenuhi kesadaran hukum kebanyakan orang, maka undang-undang yang
tidak sesuai dengan kesadaran hukum kebanyakan orang akan kehilangan kekuatan mengikat.
[2]
Sudikno Mertokusumo dalam buku Bunga Rampai Ilmu Hukum mengatakan :
Kesadaran hukum adalah kesadaran tentang apa yang seyogyanya kita lakukan atau perbuat
atau yang seyogyanya tidak kita lakukan atau perbuat terutama terhadap orang lain.
Kesadaran hukum mengandung sikap toleransi.[3]
Dapat disimpulkan bahwa kesdaran hukum merupakan cara pandang masyarakat terhadap
hukum itu, apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan terhadap hukum, serta
penghormatan terhadap hak-hak orang lain (tenggang rasa). Ini berarti bahwa dalam
kesadaran hukum mengandung sikap toleransi.[4]
Dalam kenyataanya ada beberapa hal secara include perlu ditekankan dalam pengertian
kesadaran hukum; pertama, kesadaran tentang ‘apa itu hukum’ berarti kesadaran bahwa
hukum itu merupakan perlindungan kepentingan manusia. Karena pada prinsipnya hukum
merupakan kaedah yang fungsinya untuk melindungi kepentingan manusia.[5]
Pada hakekatnya kesadaran hukum masyarakat tidak lain merupakan pandanganpandangan yang hidup dalam masyarakat tentang apa hukum itu. Pandangan-pandangan yang

hidup di dalam masyarakat bukanlah semata-mata hanya merupakan produk pertimbanganpertimbangan menurut akal saja, akan tetapi berkembang di bawah pengaruh beberapa faktor
seperti agama, ekonomi poliitik dan sebagainya Sebagai pandangan hidup didalam
masyarakat maka tidak bersifat perorangan atau subjektif, akan tetapi merupakan resultante
dari kesadaran hukum yang bersifat subjektif.[6]
Kedua, kesadarn tentang ‘kewajiban hukum kita terhadap orang lain’ berarti dalam
melaksanakan hak akan hukum kita dibatasi oleh hakmorang lain terhadap hukum itu.
Dengan begitu dalam kesadaran hukum menganut sikap tenggang rasa/toleransi, yaitu
seseorang harus menghormati dan memperhatikan kepentingan orang lain, dan terutama tidak
merugikan orang lain.[7]
Ketiga, kesadaran tentang adanya atau terjadinya ‘tindak hukum’ berarti bahwa
tentang kesadaran hukum itu baru dipersoalkan atau dibicarakan dalam media elektronik
kalau terjadi pelanggaran hokum seperti : pembunuhan, pemerkosaan, terorisme,KKN dan
lain sebagainya.
Hukum baru dipersoalkan apabila justru hukum tidak terjadi, apabila hukum tidak ada.
(onrecht) atau kebatilan. Kalau segala sesuatu berlangsung dengan tertib maka tidak akan ada
orang mempersoalkan tentang hukum. Baru kalau terjadi pelanggaran, sengketa, bentrokan
atau “conflict of human interest”, maka dipersoalkan apa hukumnya, siapa yang berhak, siapa
yang benar dan sebagainya. Dengan demikian pula kiranya dengan kesadaran hukum.[8]
Dengan demikian jelas bahwa kesadaran hukum pada hakekatnya bukanlah kesadaran
akan hukum, tetapi terutama adalah kesadaran akan adanya atau terjadinya “tidak hukum”
atau “onrecht”.[9] Memang kenyataannya ialah bahwa tentang kesadaran hukum itu baru
dipersoalkan atau ramai dibicarakan dan dihebohkan didalam media massa kalau kesadaran
hukum itu merosot atau tidak ada, kalau terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum,seperti :
pemalsuan ijazah, pembunuhan, korupsi, pungli, penodongan dan sebagainya.

2.2 Kondisi Kesadaran Hukum Masyarakat
kondisi suatu masyarakat terhadap kesadaran hukum dapat kita kemukakan galam
beberapa parameter, antara lain: ditinjau dari segi bentuk pelanggaran, segi pelaksanaan
hukum, segi jurnalistik, dan dari segi hukum.
A. Tinjauan bentuk pelanggaran
Bentuk-bentuk pelanggaran yang lagi marak belakangan ini meliputi tindak kriminalitas,
pelanggaran lalu lintas oleh para pengguna motor, pelanggaran HAM, tindak anarkis dan
terorisme, KKN dan penyalahdunaan hak dan wewenang, pemerkosaan dan lain sebagainya.
B. Tinjauan Pelaksanaan Hukum
Pelaksanaan hukum sekarang ini dapat dikatakan tidak ada ketegasan sikap terhadap
pelanggaran-pelanggaran hukum tersebut. Indicator yang dapat dijadikan parameter adalah
banyaknya kasus yang tertunda dan bahkan tidak surut, laporan-laporan dari masyarakat
tentang terjadinya pelanggaran kurang ditanggapi.
Bahkan secara ekstrim dapat dikatakan bahwa pelaksanaan hukum hanya berpihak pada
mereka yang secara financial mampu memberikan nilai lebih dan jaminan. Terbukti sekarang
dengan adanya auditisasi pada setiap departemen dan menjaring setiap pejabat terbukti
korupsi.[10]
C. Tinjauan Jurnalistik
Peristiwa-peristiwa pelanggaran maupun pelaksanaan hukum hamper setiap hari dapat
dibaca di media cetak dan elektronik, ataupun diakses melalui internet. Memang harus kita
akui bahwa jurnalistik terkadang mengusung sensasi dalam pemberitaan, karena sensasi
menarik perhatian pembaca dan berita tentang pelanggaran hokum dan peradilan selalu
menarik perhatian.

D. Tinjauan Hukum
Ditinjau dari segi hukum, maka dengan makin banyak pemberitaan tentang pelanggaran
hukum, kejahatan, dan kebathilan berarti kesadaran akan banyak terjadinya “onrecht”. Hal ini
juga memberikan implikasi makin berkurangnya toleransi dalam masyarakat. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa kesadaran hukum masyarakat sekarang ini menurun, yang
mau tidak mau mengakibatkan merosotnya kewibawaan masyarakat juga.
Menurut Sudikno Mertokusumo, kesadaran hukum yang rendah cenderung pada
pelanggaran hukum, sedangkan makin tinggi kesadaran hukum seseorang makin tinggi
ketaatan hukumnya.[11]
Mengingat bahwa hukum adalah perlindungan terhadap kepentingan manusia, maka
menurunnya kesadaran hukum masyarakat disebabkan karena orang tidak melihat atau
menyadari bahwa hukum melindungi kepentingannya, tidak adanya atau kurangnya
pengawasan pada petugas penegak hukum, sistem pendidikan yang kurang menaruh
perhatiannya dalam menanamkan pengertian tentang kesadaran hukum. Soerjono Soekanto,
menambahkan bahwa menurunya kesadaran hukum masyarakat disebabkan juga karena para
pejabat kurnag menyadari akan kewajibannya untuk memelihara hukum dan kurangnya
pengertian akan tujuan serta fungsi pembangunan.[12]

2.3 Cara-Cara Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat
Kita harus menyadari bahwa setelah mengetahui kesadaran hukum masyarakat dewasa
ini, yang menjadi tujuan kita hakikatnya bukanlah semata-mata sekedar meningkatkan
kesadaran hukum masyarakat, tetapi juga membina kesadaran hukum masyarakat.
Peningkatan kesadaran hukum masyarakat pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua
cara, yaitu dalam bentuk tindakan (action) dan pendidikan (education).[13]Berikut
penjelasannya :
A. Tindakan (action)
Tindakan penyadaran hukum pada masyarakat dapat dilakukan berupa tidakan drastik,
yaitu dengan memperberat ancaman hukuman atau dengan lebih mangetatkan pengawasan
ketaatan warga negara terhadap undang-undang. Cara ini bersifat isidentil dan kejutan dan
bukan merupakan tindakan yang tepat untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat
B. Pendidikan (education)
Pendidikan dapat dilakukan baik secara formal maupun nonformal. Hal yang perlu
diperhatikan dan ditanamkan dalam pendidikan formal/nonformal adalah pada pokoknya
tentang bagaimana menjadi warganegara yang baik, tentang apa hak serta kewajiban seorang
warga negara.
Menanamkan kesadaran hukum berarti menanamkan nilai-nilai kebudayaan. Dan nilainilai kebudayaan dapat dicapai dengan pendidikan. Oleh karena itu setelah mengetahui
kemungkinan sebab-sebab merosotnya kesadaran hukum masyarakat usaha pembinaan
yang efektif dan efesien ialah dengan pendidikan.
1. Pendidikan formal
Pendidikan sekolah merupakan hal yang lumrah dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pendidikan kesadaran hukum di sekolah harus dilakukan dari tingkat rendah/ TK
sampai jenjang pendidikan tinggi ( perguruan tinggi ).
1.a Tingkat TK
Di Taman Kanak-kanak sudah tentu tidak mungkin ditanamkan pengertian-pengertian
abstrak tentang hukum atau disuruh menghafalkan undang-undang. Yang harus ditanamkan
kepada murid Taman Kanak-kanak ialah bagaimana berbuat baik terhadap teman sekelas atau
orang lain, bagaimana mentaati peraturan-peraturan yang dibuat oleh sekolah.[14]

Yang penting dalam pendidikan di Taman Kanak-kanak ialah menanamkan pada anakanak pengertian bahwa setiap orang harus berbuat baik dan bahwa larangan-larangan tidak
boleh dilanggar dan si pelanggar pasti menerima akibatnya
1.b Tingkat SD, SMP, dan SMA
Pada tingkat ini perlu ditanamkan lebih intensif lagi: hak dan kewajiban warga negara
Indonesia, susunan negara kita, Pancasila dan Undang-undang Dasar, pasal-pasal yang
penting dari KUHP, bagaimana cara memperoleh perlindungan hukum. Perlu diadakan
peraturan-peraturan sekolah. Setiap pelanggar harus ditindak. Untuk itu dan juga untuk
menanamkan ”sense of justice” pada murid-murid perlu dibentuk suatu ”dewan murid”
dengan pengawasan guru yang akan mengadili pelanggar-pelanggar terhadap peraturan
sekolah. Di samping buku pelajaran yang berhubungan dengan kesadaran hukum perlu
diterbitkan juga buku-buku bacaan yang berisi cerita-cerita yang heroik.[15]
Secara periodik perlu diadakan kampanye dalam bentuk pekan (pekan kesadaran hukum,
pekan lalu lintas dan sebagainya) yang diisi dengan perlombaan-perlombaan (lomba
mengarang, lomba membuat motto yang ada hubungannya dengan kesadaran hukum),
pemilihan warga negara teladan terutama dihubungkan dengan ketaatan mematuhi peraturanperaturan.
1.c Tingkat Perguruan Tinggi
Perguruan Tinggi, khususnya Fakultas Hukum mempunyi peranan penting dalam hal
meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, karena di dalanya menghasilkan orang-orang
yang memiliki pendidikan hukum yang tinggi.

2.

Pendidikan Non Formal

Pendidikan non formal ditujukan kepada masyarakat luas meliputi segala lapisan dalam
masyarakat. Pedidikan non formal dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain :
penyuluhan hukum, kampanye,dan pameran. Berikut penjelasannya :
2.a Penyuluhan Hukum
Penyuluhan hukum adakah kegiatan untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat
berupa penyampaian dan penjelasan peraturan hukum kepada masyarakat dalam suasana
informal agar setiap masyarakat mengetahui dan memahami apa yang menjadi hak,
kewajiban dan wewenangnya, sehingga tercipta sikap dan prilaku berdasarkan hukum, yakni
disamping mengetahui, memahami, menghayati sekaligus mematuhi /mentaatinya.[16]
Penyuluhan hukum dapat dilakukan melalui dua cara : pertama, penyuluhan hukum
langsung yaitu kegiatan penyuluhan hukum berhadapan dengan masyarakat yang disuluh,
dapat berdialog dan bersambung rasa misalnya : ceramah, diskusi, temu, simulasi dan
sebagainya. Kedua, penyuluhan hukum tidak langsung yaitu kegiatan penyuluhan hukum
yang dilakukan tidak berhadapan dengan masyarakat yang disuluh, melainkan melalui
media/perantara,seperti : radio, televisi, video, majalah, surat kabar, film,dan lain sebagainya.
Penyuluhan hukum yang tidak langdung dalam bentuk bahan bacaan, terutama ceritera
bergambar atau strip yang bersifat heroik akan sangat membantu dalam meningkatkan
kesadaran hukum masyarakat. Buku pengangan yang berisi tentang hak dan kewajiban warga
negara Indonesia, susunan negara kita, Pancasila dan \Undang-undang Dasar, pasa-pasal yang
penting dalam KUHP, bagaimana caranya memperoleh perlindungan hukum perlu
diterbitkan.[17]
Penyuluhan hukum bertujuan untuk mencapai kesadaran hukum yang tinggi dalam
masyarakat, sehingga setiap anggota masyarakat menyadari hak dan kewajibannya sebagai
warga Negara, dalam rangka tegaknya hukum, keadilan, perlindungan terhadap harkat dan

martabat manusia, ketertiban, ketentraman, dan terbentuknya perilaku warga negara yang taat
pada hukum.[18]
2.b Kampanye
Kampanye peningkatan kesadaran hukum masyarakat dilakukan secara ajeg yang diisi
dengan kegiatan-kegiatan yang disusun dan direncanakan,seperti : ceramah, berbagai macam
perlombaan, pemilihan warga negara teladan dan lain sebagainya.
2.c Pameran
Suatu pameran mempunyai fungsi yang informatif edukatif. Maka tidak dapat disangkal
peranannya yang positif dalam meningkatkan dan membina kesadaran hukum masyarakat.
Dalam pameran hendaknya disediakan buku vademecum, brochure serta leaflets di samping
diperlihatkan film, slide,VCD dan sebagainya yang merupakan visualisasi kesadaran hukum
yang akan memiliki daya tarik masyarakat yang besar.[19]
Dan pada akhirnya dalam upaya mensukseskan peningkatan kesadaran hukum
masyarakat masih diperlukan partisipasi dari para pejabat dan pemimpin-pemimpin.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesadaran hukum merupakan cara pandang masyarakat terhadap hukum, apa yang
seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan terhadap hukum, serta penghormatan
terhadap hak-hak orang lain. Kondisi kesadaran hukum masyarakat gapat ditinjau dari empat
parameter (dari segi pelanggaran,pelaksanaan hukum,jurnalistik dan dari segi hukum).
Pandangan tersebut bukan hanya pertimbangan semata yang bersifat objektif. Kesadaran
hukum bukan hanya untuk dipahami dan ditingkatkan melainkan juga harus kita bina agar
terbentuk suatu warga negara yang taat pada hukum. Maka dari itu dibutuhkan suatu
pendidikan gan penyuluhan hukum.

Berbagai program penyuluhan hukum yang dilakukan selama ini terhadap masyarakat luas
terutama yang berada di Desa-Desa dengan target terciptanya masyarakat sadar hukum
(Kadarkum) kelihatannya sesuatu yang baik dan ideal. Namun haruslah difahami bersama
bahwa kesadaran hukum masyarakat tidak identik dengan kepatuhan hukum hukum
masyarakat itu sendiri.
Kepatuhan hukum pada hakikatnya adalah “kesetian” seseorang atau subyek hukum terhadap
hukum itu yang diujudkan dalam bentuk prilaku yang nyata, sedang “kesadaran hukum
masyarakat” masih bersifat abstrak belum merupakan bentuk prilaku yang nyata yang
mengakomodir kehendak hukum itu sendiri. Banyak diantara anggota masyarakat sebenarnya
sadar akan perlunya penghormatan terhadap hukum baik secara “instinktif” maupun secara
rational namun mereka cenderung tidak patuh terhadap hukum. Kebudayaan hukum yang

berkembang dimasyarakat kita ternyata lebih banyak mencerminkan bentuk prilaku
opportunis yang dapat diibarat mereka yang berkenderaan berlalu lintas di jalan raya, ketika
lampu merah dan kebetulan tidak ada polisi yang jaga maka banyak diantara “mereka” nekat
tetap jalan terus dengan tidak mengindahkan atau memperdulikan lampu merah yang sedang
menyala.
Apakah dengan begitu mereka yang melanggar lampu merah itu kita katakan tidak sadar
hukum dan/atau tidak mengerti apa sebenarnya fungsi keberadaan lampu pengatur