View of HAK WARIS BAYI TABUNG DALAM PERSPEKTIF MASLAHAH MURSALAH

  

HAK WARIS BAYI TABUNG DALAM PERSPEKTIF MASLAHAH

MURSALAH

Oleh : Nazaruddin.S.Hi.MA

Dosen Jurusan Syariah STAIN-Malikussaleh

  

Lhokseumawe- Aceh

Abstraks

  Hak warisan merupakan persoalan serius dalam hukum Islam. Dimana persoalan itu disampaikan dalam al-Quran secara detail dan kompliks sungguh berbeda dengan hukum-hukum lain yang disampaikan hanya secara global saja. Namun demikian seiring dengan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi modern maka semakin banyak muncul persoalan-persoalan baru yang membutuhkan terhadap kepastian hukum untuk dijawab secara jelas tentunya mengikat dengan kaidah- kaidah Hukum Islam itu sendiri. Sebagai salah satu contoh inseminasi buatan (Bayi tabung) merupakan suatu proses pembuahan yang terjadi di luar rahim antara ovum dan sperma yang telah disiapkan dan dibiarkan bercampur di dalam sebuah tabung kimia serta diberi suhu yang menyemai panas badan seorang wanita agar tetap hidup. Sehingga antara ovum dan sperma terjadi fertilisasi, kemudian menjadi morulla, lalu dinidaskan ke dalam rahim seorang wanita yang telah disiapkan untuk melanjutkan kehamilan secara alami. Program bayi tabung pada awal mulanya bertujuan untuk menolong bagi pasangan suami-isteri yang tidak mampu mendapatkan keturunan secara normal atau bahkan mengalami kemandulan. Kedudukan bayi tabung ini sangat dibutuhkan jawaban hukum Islam khususnya pada persoalan hukum kewarisan, secara yuridis persoalan tersebut menimbulkan ketidakpastian mengenai status hukum terhadap anak hasil inseminasi buatan (bayi tabung) dan hak warisnya. Tulisan ini mencoba untuk mengkaji lebih jauh terhadap hak waris bayi tabung dilihat dari sisi perpektif maslahah mursalah. Sebagai pisau analisis pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan normatif , yaitu sebuah pendekatan yang digunakan untuk meneliti masalah dalam bingkai norma-norma dan hukum yang ada mengenai status anak dan waris, dengan mengambil ketentuan-ketentuan yang telah ada dalam rangka memandang sesuatu secara substansial.

  Kata Kunci : Hak Waris, Maslahah Mursalah dan Inseminasi

A. Latar Belakang Masalah

  Idealnya dalam suatu perkawinan adalah terpenuhuinya tujuan-tujuan

dilangsungkannya perkawinan itu sendiri, yang salah satunya adalah memperoleh

keturunan. Akan tetapi karena suatu gangguan pada organ reproduksi, mereka tidak dapat

mempunyai anak. Sehingga untuk memperoleh keturunan pihak suami dan istri

  Pesrsoalan ini suami-istri yang sudah melakukan inseminasi buatan (bayi tabung). bertahun-tahun menikah tetapi belum dapat dikaruniai anak. Secara psikologis memberikan dampak kehidupan mereka akan merasakan gelisah. Dimana usia sudah semakin tua, tetapi belum mempunyai anak. Namun demikian ajaran Islam mengajarkan kita untuk tidak boleh berputus asa dan menganjurkan untuk senantiasa berikhtiar (usaha) serta bertawakkal dalam menggapai karunia Allah SWT tersebut. Allah telah menjanjikan setiap kesulitan yakinlah ada solusinya termasuk kesulitan dalam mempunyai keturunan . Pada dasarnya pembuahan yang alami terjadi dalam rahim melalui cara yang alami melalui hubungan seksual, sesuai dengan fitrah yang telah ditetapkan Allah untuk manusia. Akan tetapi pembuahan alami ini terkadang sulit terwujud, misalnya karena rusaknya atau tertutupnya saluran indung telur (tuba Fallopii) yang membawa sel telur ke rahim, serta tidak dapat diatasi dengan cara membukanya atau mengobatinya. Atau karena sel sperma suami lemah atau tidak mampu menjangkau rahim isteri untuk bertemu dengan sel telur, serta tidak dapat diatasi dengan cara memperkuat sel sperma tersebut, atau mengupayakan sampainya sel sperma ke rahim isteri agar bertemu dengan sel telur di sana.Semua ini akan meniadakan kelahiran dan menghambat suami isteri untuk mempunyai anak. Permasalahan tersebut dapat diatasi diera modren dengan teknologi yang berkembang sehingga kendala- kendala dalam kehidupan berumah tangga misalnya dengan kesulitan memporoleh keturunan dengan berbagai faktor penyebabnya dapat diatasi dengan teknologi modren yang berkembang dewasa ini.

  Inseminasi buatan pada manusia merupakan suatu teknologi reproduksi berupa teknik menempatkan sperma di dalam vagina wanita, pertama kali berhasil dipraktikkan pada tahun 1970. Awal berkembangnya inseminasi buatan bermula dari ditemukannya teknik pengawetan sperma. Sperma bisa bertahan hidup lama bila dibungkus dalam gliserol yang dibenamkan dalam cairan nitrogen pada temperatur -321 derajat Fahrenheit (Salim hs, 2010:8 ). Praktik inseminasi buatan dewasa ini telah populer karena keberhasilannya dalam dunia medis. Pada satu sisi, ini merupakan keberhasilan ilmu pengetahuan yang luar biasa, namun di sisi lain ternyata menjadi polemik tersendiri. Polemik yang muncul kepada siapakah penasaban bayi tabung tersebut, sebab ternyata proses bayi tabung ini dapat ditanam di rahim siapa saja tidak mesti di rahim pemilik ovum (Tahar Shaheb, 2012:4).

  Munculnya gagasan program bayi tabung bertujuan untuk membantu pasangan suami-isteri yang tidak mampu memberikan keturunan secara alami atau mengalami kemandulan (Khuzaimah Tanggo dkk, 2005:15). Program ini pada mulanya disambut baik oleh masyarakat Islam, karena dengan munculnya teknologi ini memberikan jawaban yang sangat berarti bagi mereka yang membutuhkan yaitu bagi pasangan suami-isteri yang mandul dan tidak mampu mendapatkan keturunan secara alami. Namun demikian ditengah perjalanan munculnya persoalan lain, seiring dengan munculnya teknologi maka akan bersentuhan dengan persoalan agama dan hukum Islam terhadap kepastian boleh atau tidaknya. Sepintas terbaca dalam beberapa literatur tentang inseminasi buatan (bayi tabung) dalam hukum Islam boleh, selama bibitnya berasal dari pasangan suami-isteri yang sah dan kemudian dikandung serta dilahirkan oleh pasangan suami-isteri tersebut. Bentuk yang seperti ini dianggap bagian dari sebuah bentuk ikhtiar yang dilakukan oleh pasangan suami-isteri untuk mendapatkan keturunan (Husni Thamrin, 2014:89). Jika dilihat dari proses pembuahan hingga reproduksinya, maka bayi tabung dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu: Pertama Secara alami cara ini dilakukan oleh pasangan suami-isteri yang terikat dalam sebuah perkawinan yang sah. kedua Donor cara ini dilakukan melalui proses salah satu benihnya (sperma atau ovum), proses kerjanya pembuahan hasil dari sperma dan ovum di trnsfer ke rahim wanita lain yang bukan pasangan suami-isteri yang sah atau sering disebut dengan bank rahim.

  Kedua model cara kerja tersebut jika dilakukan secara alami tentunya sudah jelas tidak menimbulkan persoalan lain pada bidang hukum yaitu boleh menurut agama. Namun jika melalui donor hal ini yang akan menimbulkan persoalan, khususnya terhadap status hukum anak yang dilahirkan akibat hasil dari teknologi bayi tabung tersebut. Pada akhirnya akan muncul pada persoalan hubungan hak dan kewajiban antara anak dan orang tuanya.

  Munculnya persoalan di bidang hukum, disebabkan proses kelahiran anak tersebut diluar batas alamiah melalui tekhnologi yang berkembang dewasa ini, yaitu melalui proses benih yang berasal dari pendonor. Sehingga kedudukan anak tersebut secara yuridis dan biologis berbeda. Dengan demikian, apakah seorang anak yang dilahirkan melalui donor dapat dikualifikasikan sebagai anak sah atau sebaliknya yang biasa disebut anak zina. Dalam hukum Islam, sepanjang proses pembuahannya dan salah satu benihnya melalui donor maka hal itu dilarang dan haram hukumnya. Hal ini dianggap menyimpang dari ajaran-ajaran Islam, karena salah satu benihnya bukan berasal dari pasangan suami-isteri. Islam memerintahkan kepada umatnya agar senantiasa menjaga kesuciannya, sebagaimana firman Allah SWT

  “Katakanlah kepada orang laki-laki yang

beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara

kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya

Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”.

  Firman Allah tersebut memerintahkan kepada kaum laki-laki (suami) mukmin untuk menahan pandangannya dan kemaluannya, termasuk di dalamnya memelihara jangan sampai sperma yang keluar dari farjinya (alat kelamin) itu bertaburan atau ditaburkan ke dalam rahim yang bukan isterinya. Begitu juga wanita yang beriman diperintahkan untuk menjaga kemaluannya, artinya jangan sampai farjinya itu menerima sperma yang bukan berasal dari suaminya.

  Inseminasi buatan dewasa ini menimbulkan permasalahan tersendiri. Diantara beberapa masalah yang serius dikaji oleh para ilmuan muslim adalah tentang status penasaban anak yang dilahirkan tersebut, karena status penasaban terhadap anak yang dilahirkan itu akan berpengaruh terhadap hak warisan yang akan diterima nantinya oleh si anak tersebut. Di dalam hukum waris Islam tidak ada suatu ketentuan yang mengatur secara khusus tentang warisan anak yang dilahirkan melalui proses bayi tabung, tetapi yang ada hanya mengatur tentang warisan yang dilahirkan secara alamiah, seperti warisan anak sah dan anak tidak sah. Namun tidak berarti bahwa ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan terhadap anak yang dilahirkan melalui proses bayi tabung, yaitu dengan mengkaitkan kedudukan yuridis anak tersebut (Salim hs, 2010:8 ). Persoalan tersebut tidak terlepas dari hubungan ke rahiman seorang ibu. Dimana anak tersebut terlahir melalui rahim seorang isteri dalam sebuah ikatan perkawinan yang sah dengan suaminya, atau dengan cara meminjam bahkan menyewa rahim orang lain dalam proses reproduksinya (Ali Gufron Mukti, 2003:23). Status anak yang dilahirkan melalui inseminasi buatan baik itu dengan sperma dan ovum suami isteri yang sah atau sprema dan ovum donor yang ditanam pada rahim orang lain tanpa adanya ikatan perkawinan persoalannya lebih rumit, sebab kepada siapa anak ini mesti dinasabkan, dan mengenai hak kewarisannya.

  Berangkat dari persoalan tersebut penulis mencoba menguraikan lebih lanjut mengenai ketentuan hukum status anak yang dilahirkan melalui inseminasi buatan (bayi tabung) melalui pendekatan Maslahah Mursalah, kemudian kepastian anak hasil inseminasi buatan yang dilahirkan dan juga hak mawaris anak hasil inseminasi buatan. Dari itu tulisan ini penulis beri judul “Hak Waris Anak Hasil Inseminasi Buatan (Bayi Tabung) Menurut Maslahah Mursalah

  ” tulisan ini bertujuan untuk mengetahui status kedudukan anak hasil inseminasi buatan (bayi tabung) menurut maslahah mursalah. Dan untuk mengetahui hak kewarisan anak hasil inseminasi buatan (bayi tabung) menurut maslahah mursalah. Dan tulisan ini juga penulis berharap memberikan sumbangsih terhadap kajian-kajian yang berhubungan dengan masalah hukum terhadap status anak yang dihasilkan melalui tekhnik bayi tabung.

B. Pengertian Waris

  Waris atau warisan atau kewarisan yang sudah populer dalam bahasa yang berarti Indonesia berasal dari bahasa Arab yaitu :

  ثرو – ثري - ثارو- ةثراو

  pindahnya harta si Fulan atau mempusakai harta si Fulan (Mahmud Yunus, 1989:496). Dalam bahasa Arab berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain juga disebut Al-miirats. Sedangkan makna Al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah atau apa saja yang berupa hak milik l egal menurut syari’I (Muhammad Ali Ash-Shabuni, 1995:33). Dalam literatur hukum Islam terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk menamakan hukum kewarisan Islam yaitu waris dan

  fara’idh. Perbedaan

  dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan dalam titik utama objek pembahasan. Lafaz

  fara’idh merupakan jama’ dari lafaz far’idah yang

  mengandung arti

  mafr’udah, yaitu suatu yang ditetapkan bagiannya secara

  jelas (Amir Syarifuddin, 2012:5). Dalam kitab-kitab fikih, warisan yang disebut juga dengan fa

  râ’id berarti ketentuan. Hal ini karena dalam Islam, bagian-bagian

  warisan yang menjadi hak ahli waris telah ditentukan dalam al- Qur’an. Farâ’id dalam arti mawâris, hukum waris muwaris, dimaksudkan sebagai bagian atau ketentuan yang diperoleh oleh ahli war Zakiah Daradjat , is menurut ketentuan syara’ ( 1995:2).

  Dengan demikian penyebutan

  fara’idh didasari kepada bagian yang

  diperoleh oleh ahli waris. Sedangkan penggunaan kata mawaris lebih melihat kepada yang menjadi objek dari hukum yaitu harta yang beralih kepada ahli waris yang masih hidup. Menurut Wirjono Prodjodikoro waris adalah berbagai aturan tentang perpindahan hak milik seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya.

  Fara’id artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya (Beni Ahmad Saebani, 2012:13).

  Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian kewarisan dalam Islam adalah seperangkat aturan-aturan pemindahan hukum tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan pewaris, mengatur kedudukan ahli waris yang berhak dan bagian masing-masing secara adil dan sempurna sesuai dengan ketentuan- ketentuan syari’at yang berlaku.

C. Dasar Hukum Waris Dalam Islam

  Adapun yang menjadi dasar pelaksanaan pembagian harta warisan dalam hukum Islam adalah berpedoman pada ayat- ayat Al Qur’an, hadist dan ijtihad para ulama.

  a. al-Qur’an Dalam hukum Islam, hukum kewarisan menempati posisi strategis.

  Dimana hukum kewarisan dibahas secara sempurna didalam al-Quran, yang berbeda dengan hukum Islam yang lainnya. Persoalan hukum kewarisan secara eksplisit paling banyak dibicarakan dalam al-

  Qur’an. Misalnya terkait tentang Angka-angka pecahan yang diterima oleh masing-masing pihak sangat jelas dan pasti jumlah yang akan diterima oleh masing-masing penerima, hal ini dibicarakan di dalam al-Quran. Ada beberapa surah dan ayat- ayat al-

  Qur’an yang tersebar di dalam al-Quran membercirakan tentang hal tersebut misalnya dalam surah an-Nisa ayat 7, 8, dan al-Ahzab ayat 6 b.

  Hadist Beberapa hadis Nabi Muhammad SAW tentang waris diantaranya sebagai berikut :

  ﷲﻰﺿﺭﺱﺎﺒﻋﻦﺑﺍﻦﻋﻪﻴﺑﺃﻦﻋﺱﻭﺎﻁﻦﺑﺍﻦﻋﺐﻴﻫﻭﺎﻨﺛﺪﺣﺏﺮﺣﻦﺑﺍﻥﺎﻤﻴﻠﺳﺎﻨﺛﺪﺣ ﻲﻟﻭﻸﻓﻲﻘﺑﺎﻤﻓ ﺎﻬﻠﻫﺄﺑﺾﺋﺍﺮﻔﻟﺍﺍﻮﻘﺤﻟﺃ :ﻝﺎﻗﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋﷲﻲﻠﺻﻲﺒﻨﻟﺍ ﻦﻋﺎﻤﻬﻨﻋ )ﻪﻴﻠﻋﻖﻔﺘﻣ(ﺮﻛﺫﻞﺟﺭ

  Artinya : “Telah mengabarkan kepada kita Sulaiman Ibn Harb dan Wahib dari ibn Thawas dari ayahnya dari Ibn Abbas ra. Nabi Saw. bersabda: Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama

  Suparman Usman, 2002:45) .

  (dekat kekerabatannya)”. (HR. Muslim) (

  ﻋﻢﺷﺎﻫﻦﺑﻢﺷﺎ ﻫﻦﻋﻥﺍﻭﺮﻣﺎﻨﺛﺪﺣﻱﺪﻋﻦﺑﺀﺎﻳﺮﻛﺯﺎﻨﺛﺪﺣﻢﻴﺣﺮﻟﺍﺪﺒﻋﻦﺑﺪﻤﺤﻣﺎﻨﺛﺪﺣ ﻢﻠﺳﻭﻪﻴﻠﻋﷲﻰﻠﺻﻲﺒﻨﻟﺍﻲﻧﺩﺎﻌﻓﺖﺿﺮﻣ:ﻝﺎﻗﻪﻨﻋﷲﻲﺿﺭﻪﻴﺑﺃﻦﻋﺪﻌﺳﻦﺑﺮﻣﺎﻋﻦ

ﺖﻠﻗﺎﺳﺎﻧﻚﺑﻊﻔﻨﻳﻭﻚﻌﻓﺮﻳﷲﻞﻌﻟﻝﺎﻗﻲﺒﻘﻋﻰﻠﻋﻲﻧﺩﺮﻳﺎﻟﻥﺃﷲﻉﺩﺍﷲﻝﻮﺳﺭﺎﻳﺖﻠﻘﻓ

ﻝﺎﻗﺚﻠﺜﻟﺎﻓﺖﻠﻗﺮﻴﺘﻛﻒﺼﻨﻟﺍﻝﺎﻗﻒﺼﻨﻟﺎﺑﻲﺻﻭﺃﺖﻠﻗﺔﻨﺑﺍﻲﻟﺎﻤﻧﺍﻭﻲﺻﻭﺃﻥﺃﺪﻳﺭﺃ

  ﻢﻬﻟﻚﻟﺫﺯﺎﺟﻭﺚﻠﺜﻟﺎﺑﺱﺎﻨﻟﺍﻰﺻﻭﺄﻓﻝﺎﻗﺮﻴﺒﻛﺚﻠﺜﻟﺍ

  Artinya : “Telah menyampaikan kepada kami Muhammad ibn ‘Abdirrahim, telah menyampaikan kepada kami Zakariyya ibn ‘Adi, telah menyampaikan kepada kami Marwan dari Hisham ibn Hashim, dari ‘Amir ibn Sa’d dari ayahnya, bahwasanya ia berkata: saya sakit, kemudian Nabi SAW menjengukku. Maka saya berkata, ya Rasulullah berdoalah kepada Allah, semoga tidak mengembalikan penyakitku lagi di akhir hayatku. Rasulullah berdoa, semoga Allah mengangkat derajatmu dan kamu memberi manfaat terhadap manusia. Saya berkata, saya hendak berwasiat, dan sesungguhnya saya mempunyai seorang anak perempuan. Saya berkata bahwa saya hendak berwasiat separuh (dari harta). Rasulullah bersabda, separuh itu banyak. Saya berkata, bagaimana jika sepertiga. Rasulullah bersabda, sepertiga. Adapun sepertiga itu banyak atau besar. Saya berkata, manusia berwasiat sepertiga, dan Rasulullah

  Suparman Usman,

  memperbolehkannya”. (HR. Al-Bukhari) (

  2002:48) c.

  Ijtihad Ijtihad para sahabat dan mujtahid-mujtahid kenamaan mempunyai peranan dan sumbangsih yang tidak kecil terhadap pemecahan-pemecahan masalah mawaris yang belum dijelaskan oleh nas-nas yang sharih. Misalnya tentang status saudara-saudara yang mewarisi bersama-sama dengan kakek. Di dalam al-

  Qur’an tidak dijelaskan. al-Quran hanya menjelaskan terkait status saudara-saudara bersama-sama dengan ayah atau bersama-sama dengan anak laki-laki yang dalam kedua keadaan ini mereka tidak mendapat apa-apa lantaran terhijab kecuali dalam masalah kalalah mereka mendapatkan bagian. Menurut pendapat kebanyakan sahabat dan imam-imam mazhab yang mengutip pendapat Zaid bin Shabit, saudara tersebut bisa mendapat pusaka secara muqasamah dengan kakek ( Fathur Rahman, 2011:33) .

D. Sebab-sebab Terjadinya Kewarisan

  Dalam hukum Islam, sebab-sebab menerima warisan ada 3 yaitu: a. Hubungan Kekerabatan (al-qarabah)

  Laki-laki dan perempuan, termasuk didalamnya anak-anak, bahkan bayi yang masih di dalam kandungan diberikan hak untuk mewarisi, sepanjang hubungan kekerabatannya membolehkan. Artinya, ada keketentuan bahwa kerabat yang dekat hubungannya, dapat menghalangi kerabat yang jauh dan adakalanya menghalangi (meng-hijab) sama sekali. Seperti suami, sedianya menerima bagian

  ½

  , tetapi karena ada anak atau cucu, berkurang bagiannya menjadi

  ¼ ( Fathur Rahman, 2011:33) .

  b.

  Hubungan Perkawinan (al-musaharah) Perkawinan yang sah, menyebabkan adanya hubungan hukum saling mewarisi antara suami dan isteri. Yaitu perkawinan yang syarat dan rukunnya terpenuhi, baik secara agama maupun administratif. Tentang syarat administrarif ini, masih terdapat perbedaan pendapat pendapat. Ada yang menyebutnya sebagai syarat yang apabila tidak dipenuhi berakibat tidak sah perkawinannya. Hukum perkawinan di Indonesia, memberi kelonggaran dalam hal ini. Yang menjadi ukuran sah atau tidaknya perkawinan bukan administrasi, tetapi ketentuan agama.

  c.

  Hubungan karena sebab al-wala’ Al- memerdekakan hamba sahaya, atau melalui perjanjian tolong menolong. Adapun al-

  wala’ yang pertama disebut dengan wala’ al’ataqah atau Fathur

  

‘usubah sababiyah dan yang kedua disebut wala’ al-muwalah(

Rahman, 2011:35) .

  E. Syarat dan Rukun Pembagian Harta Warisan a.

  Syarat pembagian harta warisan Beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan, yaitu:

  1) Meninggal dunianya pewaris, yaitu baik meninggal dunia hakiki (sejati), meninggal dunia hukmi (menurut putusan hakim) dan meninggal dunia

  taqdiri (menurut dugaan).

  2) Hidupnya ahli waris, hidupnya ahli waris harus jelas pada saat pewaris meninggal dunia.

  3) Mengetahui status kewarisan, seseorang dapat mewarisi harta orang meninggal dunia, jika jelas hubungan antara keduanya. Misalnya, hubungan suami-isteri, hubungan orangtua-anak dan hubungan saudara, baik sekandung, sebapak maupun seibu (A. Rachmad Budiono, 1999:10).

  b.

  Rukun Pembagian Harta Warisan Adapun beberapa rukun pembagian harta warisan yaitu

  1) Pewaris, pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya beragama Islam, meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang masih hidup.

  2) Harta warisan, harta warisan adalah harta bawaan ditambah dengan bagian dari harta bersama sesudah digunakan keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, dan pembayaran utang serta wasiat pewaris.

  3) Ahli waris, Ahli waris adalah orang yang berhak mewaris karena hubungan kekerabatan (nasab) atau hubungan perkawinan (nikah) dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris (A. Rachmad Budiono, 1999:12).

  F. Ahli Waris dan Bagian-bagiannya

  Kata ahli waris yang secara bahasa berarti keluarga tidak otomatis ia dapat mewarisi harta peninggalan saudaranya yang meninggal dunia. Ada dua macam ahli waris, yaitu: a.

  Ahli waris nasabiyah, karena hubungan darah b. Ahli waris Sababiyah, timbul karena perkawinan yang sah (al-musaharah) dan memerdekakan hamba sahaya (al-

  wala’) atau karena perjanjian tolong menolong (A. Rachmad Budiono, 1999:35).

  Apabila dilihat dari bagian-bagian yang diterima, dapat dibedakan kepada: a.

  Ahli waris ashab al-furud, yaitu ahli waris yang menerima bagian yang telah ditentukan besar kecilnya, seperti ½, 1/3, atau 1/6.

  b.

  Ahli waris ‘asabah, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa setelah harta dibagikan kepada ahli waris ashab al-furu.

  c.

  Ahli waris zawi al-arham yaitu ahli waris karena hubungan darah tetapi menurut ketentuan al-Qur'an tidak berhak menerima warisan ( Fathur

  Rahman, 2011:50) .

  Apabila dilihat dari hubungan kekerabatan jauh-dekatnya hubungan dimana hubungan yang dekat lebih berhak untuk menerima warisan daripada yang jauh hubungannya, kedua hubungan tersebut disini dapat dibedakan.

  a.

  Ahli waris hijab, yaitu ahli waris yang dekat yang dapat menghalangi yang jauh, atau karena garis keturunannya menyebabkannya menghalangi orang lain.

  b.

  Ahli waris mahjub, yaitu ahli waris yang terhalang oleh ahli waris yang dekat hubungan kekerabatannya. Ahli waris ini dapat menerima warisan, jika yang menghalanginya tidak ada ( Fathur Rahman, 2011:51) .

  Adapun jumlah keseluruhan ahli waris yang berhak untuk menerima warisan, baik ahli waris nasabiyah atau sababiyah, ada 17 orang, terdiri dari 10 orang laki-laki dan 7 orang perempuan. Namun bila dirinci secara lebih detail secara keseluruhannya ada 25 orang, 15 orang laki-laki dan 10 orang perempuan.

  a.

  Ahli Waris Nasabiyah

  Ahli waris nasabiyah adalah ahli waris yang pertalian kekerabatannya kepada sipewaris berdasarkan hubungan darah. Ahli waris

  nasabiyah ini terdiri 13 orang laki-laki dan 8 orang perempuan.

  Seluruhnya 21 orang.

  Ahli waris laki-laki, berdasarkan urutan kelompoknya sebagai berikut: 1)

  Anak laki-laki (al-ibn) 2)

  Cucu laki-laki dari garis laki-laki 3)

  Bapak 4)

  Kakek dari bapak 5)

  Saudara laki-laki sekandung 6)

  Saudara laki-laki seayah 7)

  Saudara laki-laki seibu 8)

  Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung 9)

  Anak laki-laki saudara laki-laki seayah 10)

  Paman. Saudara bapak sekandung 11)

  Paman seayah 12)

  Anak laki-laki paman sekandung 13) Fathur Rahman, 2011:51)

  Anak laki-laki paman seayah ( b. Ahli Waris Sababiyah

  Ahli waris sababiyah adalah ahli waris yang berhubungan pewarisnya timbul karena sebab-sebab tertentu, yaitu sebab perkawinan (suami atau isteri) dan sebab memerdekakan hamba sahaya.

  Sebagai ahli warisan sababiyah, mereka dapat menerima warisan apabila perkawinan suami-isteri tersebut sah. Begitu juga hubungan yang timbul sebab memerdekakan hamba sahaya, hendaknya dapat dibuktikan menurut hukum yang berlaku.

  c.

  Al-Furud Al-Muqaddarah dan Macam-macamnya Kata al-furud adalah bentuk jamak dari kata fard artinya bagian

  (ketentuan). Al-Muqaddarah artinya ditentukan. Jadi al-furud

  almuqaddarah maksudnya adalah bagian-bagian yang telah ditentukan besar kecilnya di dalam al-Qur'an. Bagian-bagian itulah yang akan diterima oleh ahli waris menurut jauh-dekatnya hubungan kekerabatan. Macam-macam al-furud al-muqaddarah yang diatur di dalam Al- Qur'an ada 6, yaitu: 1)

  Setengah/separuh (1/2 = al-fisf) 2)

  Sepertiga (1/3 = al-sulus) 3)

  Seperempat (1/4 = al-rubu’) 4)

  Seperenam (1/6 = al-sudus) 5)

  Seperdelapan (1/8 = al-sumun) 6)

  Dua pertiga (2/3 = al-sulusan ‘alsulusain) G.

   Inseminasi Buatan (Bayi Tabung) a. Pengertian Inseminasi Buatan (Bayi Tabung)

  Inseminasi buatan merupakan terjemahan dari artificial Insemination (bahasa Inggris). Artifical artinya buatan atau tiruan, sedangkan Insemination berasal dari kata latin, Inseminatus yang artinya pemasukan atau pencapaian.

  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa inseminasi buatan adalah pembuahan atau penghamilan yang dilakukan dengan memasukkan (menyuntikkan dengan sebuah pipet) sperma ke dalam alat kelamin betina yang sedang buahi. Menurut dr. Saflan Dahlan inseminasi buatan adalah suatu cara memasukkan sperma kedalam alat kelamin seorang wanita tanpa melalui senggama (coitus). Mula-mula sperma dikeluarkan terlebih dahulu dengan cara masturbasi atau senggama terputus dan dengan suatu alat sperma tadi dimasukkan ke dalam vagina atau uterus. Maksudnya kehamilan yang tidak mungkin dapat terjadi melalui hubungan kelamin, akibat suatu penyakit kelamin. Dengan cara tersebut kehamilan dapat terjadi. dr.H.Ali Akbar memberikan penjelasan tentang yaitu iseminasi buatan yaitu membuahi istri tanpa junub yang dilakukan dengan pertolongan dokter, tetapi pada kesempatan yang lain ia menegaskan bahwa permanian buatan adalah memasukkan sperma kedalam alat kelamin perempuan tanpa persetubuhan untuk membuahi telur atau ovum wanita. Inseminasi buatan adalah penghamilan buatan yang dilakukan terhadap wanita dengan cara memasukan sperma laki-laki ke dalam rahim wanita tersebut dengan pertolongan dokter, istilah lain yang semakna adalah kawin suntik, penghamilan buatan dan permainan buatan (PB). Inseminasi buatan juga dimaksud dengan bayi tabung yaitu bayi yang di dapatkan melalui proses pembuahan yang dilakukan di luar rahim sehingga terjadi embrio dengan bantuan ilmu kedokteran. Dikatakan sebagai kehamilan bayi tabung karena benih laki-laki yang disebut dari zakar laki-laki disimpan dalam suatu tabung (Salim, 2003:14).

  Husni Thamrin inseminasi buatan ialah pembuahan pada hewan atau manusia tanpa melalui seggama (sexual intercourse). Ada beberapa teknik inseminasi buatan yang telah dikembangkan dalam dunia kedokteran antara lain

  

fertilization in vitro (FIV) dengan cara mengambil sperma suami dan ovom istri

  kemudian diproses di vitro (tabung) dan setelah terjadi pembuahan lalu ditranfer di rahum isteri. Intra Felopian Tuba (GIFT) dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri, setelah dicampur terjadi pembuahan maka segera ditanam

  

Husni Thamrin, 2014:85)

di saluran telur (tuba palopi) ( .

  Didasari oleh beberapa pengertian yang disampaikan oleh para ahli dalam bidang tersebut dalam hal ini adalah para dokter dapat disimpulkan bahwa inseminasi buatan merupakan pembuahan yang terjadi tanpa melalui proses senggama diantara suami isteri, namun dilakukan melalui teknologi modren yaitu sperma laki-laki di masukkan ke dalam alat kelamin perempuan untuk di buahi.

b. Macam-macam Inseminasi Buatan

  Apabila ditinjau dari asal sperma dan ovum serta tempat embrio ditransplantasikan, maka inseminasi buatan dapat dibagi menjadi delapan jenis yaitu: a.

  Inseminasi buatan dengan menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-istri, kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim isteri.

  b.

  Inseminasi buatan dengan menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-istri, kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim ibu pengganti (surrogate mother).

  c.

  Inseminasi buatan dengan menggunakan sperma dari suami dan ovumnya berasal dari donor, kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim isteri.

  d.

  Inseminasi buatan dengan menggunakan sperma dari donor, sedangkan ovumnya berasal dari isteri kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim isteri.

  e.

  Inseminasi buatan dengan menggunakan sperma dari donor, sedangkan ovumnya berasal dari istri kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim surrogate mother.

  f.

  Inseminasi buatan dengan menggunakan sperma dari suami sedangkan ovumnya berasal dari donor, kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim surrogate mother.

  g.

  Inseminasi buatan dengan menggunakan sperma dan ovum dari donor, kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim istri.

  h.

  Inseminasi buatan dengan menggunakan sperma dan ovum dari donor, kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim surrogate mother (Husni Thamrin, 2014:8).

c. Hukum Inseminasi Buatan

  Inseminasi buatan apabila dilakukan dengan menggunakan sperma dan ovum dari suami istri yang terikat dalam suatu perkawinan yang sah dan tidak ditransfer embrionya ke dalam rahim wanita lain termasuk istrinya sendiri yang lain (bagi suami yang berpoligami) maka diperbolehkan dalam hukum Islam. Namun kebolehan tersebut apabila dalam keadaan darurat, kebolehan tersebut berdasarkan kaidah fiqh yang berbunyi:

  ﺔﺟﺎﺤﻟﺍ ﻝﺮﺘﺗ ﺔﻟﺮﺘﻣ ﺓﺭﻭﺮﻀﻟﺍ ﺓﺭﻭﺮﻀﻟﺍﻭ ﺢﻴﺒﺗ ﺕﺍﺭﻮﻀﺤﻤﻟﺍ Artinya : “Kebutuhan yang sangat penting itu diperlakukan seperti keadaan terpaksa ( darurat). Dan keadaan darurat itu membolehkan hal-hal

  

Muchlis Usman, 1999:133)

.

  yang dilarang” ( Dalam kaidah di atas dijelaskan bahwa hajat itu diperlakukan sama sebagaimana dalam keadaan darurat (terpaksa), dan keadaan darurat itu membolehkan hal-hal yang terlarang. Dalam hal ini berarti bahwa bayi tabung merupakan suatu hajat (kebutuhan yang sangat penting) bagi pasangan suami istri yang susah untuk memperoleh keturunan secara alami, sehingga bayi tabung ini diposisikan seperti dalam keadaan darurat. Oleh sebab itu maka bayi tabung diperbolehkan namun harus sesuai dengan ketentuan Syara’ yaitu sperma dan ovumnya berasal dari suami istri yang sah.

  Adapun pelaksanaan inseminasi buatan dengan menggunakan sperma donor tidak diperbolehkan, dan hukumnya sama dengan zina, sebab meletakkan sperma dengan suatu kesengajaan pada ladang yang tidak ada ikatan perkawinan yang sah secar a syara’. Ketidakbolehan inseminasi buatan dengan donor tersebut berdasarkan firman Allah yaitu:

  لا ْﻞجﻌْجتَ جﻊجﻣ هّللَا ﺎًجلَهإ جﺮجخآ جﺪُﻌْﻘج ﺘج ﻓ لاوُذْجمَ ﺎًﻣﻮُﻣْذجﻣ

  Artinya : “Janganlah kamu adakan Tuhan yang lain di samping Allah, agar kamu

  tidak menjadi tercela dan tidak ditinggalkan (Allah)

  ”. (Q.S. Al-Isra:22) Ayat di atas menjelaskan bahwa manusia itu dimuliakan dan diberi kelebihan yang melebihi makhluk lainnya, sehingga apabila inseminasi buatan itu dilakukan dengan sperma donor maka akan merendahkan harkat dan martabat manusia. Dalam hal tersebut maka manusia disejajarkan dengan tumbuh-

  Muchlis Usman, 1999:135)

  tumbuhan dan hewan( . Kemudian dalam al- Qur‟an disebutkan mengenai larangan penggunaan sperma donor yaitu yang berbunyi:

  ّنَجأ اﻮُﺗْﺄجﻓ ثْﺮجﺣ ْﻢُكجﻟ ْﻢُكجﺛْﺮجﺣ ْﻢُﺘْ ئهﺷ اﻮُﻣِّهﺪجﻗجو ْﻢُكهسُﻔْ ﻧلأ ْﻢُﻛُؤﺎجسهﻧ

  اﻮُﻘ ّ ﺗاجو جّللَا ُهﻮُﻗلاُﻣ هﺮِّهشجﺑجو جيهﻨهﻣْؤُﻤْﻟا ُﻢجﻠْﻋاجﻮْﻤُكّﻧجأ

  Artinya : “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam,

  Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman

  ”. (Q.S. Al-Baqarah:223)

  Ayat tersebut menjelaskan adanya perintah kepada para suami untuk menaburkan benihnya (spermanya) kepada istri-istrinya sendiri dan bukan pada orang lain. Demikian juga sebaliknya, bahwa para istri harus menerima sperma dari suaminya sendiri, karena ia (istri) merupakan tanah ladang bagi suaminya. Larangan penggunaan sperma donor semata-mata ialah untuk melindungi keturunan dari adanya unsur-unsur asing yang terdapat dalam rahim seorang istri. Hal ini lebih diprioritaskan dari pada hanya sekedar memperoleh keturunan.

H. Maslahah Mursalah

  Kata maslahah yang dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan maslahat, berasal dari Bahasa Arab yaitu maslahah. Maslahah ini secara bahasa atau secara etimologi berarti manfaat, faedah, bagus, baik, kebaikan, guna atau kegunaan

  Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996:634)

  ( . Maslahah merupakan bentuk

  

masdar (adverd) dari fi’il (verb) salaha. Dengan demikian terlihat bahwa, kata

maslahah dan kata manfaat yang juga berasal dari Bahasa Arab mempunyai

  makna atau arti yang sama. Sedangkan menurut istilah atau epistemology,

  

maslahah diartikan oleh para ulama Islam dengan rumusan hampir bersamaan, di antaranya al-Khawarizmi menyebutkan, maslahah adalah al-marodu bil-

  maslahatil- mukhaafazatu ‘ala maqsudi-syar’i bidaf’i-l mufaasidi ‘ani-l- kholqi,

  yaitu memelihara tujuan hukum Islam dengan menolak bencana/kerusakan/hal-hal yang merugikan diri manusia (makhluq). Sedangkan ulama telah berkonsensus, bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk memelihara agama, akal, harta, jiwa dan keturunan atau kehormatan (Andur Rahman, 2003:125). al-Ghazali merumuskan maslahah sebagai suatu tindakan memlihara tujuan

  syara’ atau tujuan hukum Islam, sedangkan tujuan hukum Islam menurut

  al-Ghazali adalah memelihara lima hal di atas. Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara salah satu dari lima hal di atas disebut maslahah, dan setiap hal yang meniadakannya disebut mafsadah, dan menolak mafsadah disebut maslahah (Andur Rahman, 2003:126). Menurut asy-Syatibi dari golongan mazhab Malikiyah sebagai orang yang paling popular dan kontropersi pendapatnya tentang maslahah-mursalah mengatakan bahwa maslahah itu (maslahat yang tidak ditunjukkan oleh dalil khusus yang membenarkan atau membatalkan) sejalan dengan tindakan

  syara’(Andur Rahman, 2003:127).

  Berdasarkan beberapa definisi yang dikemukakan oleh para Ulama di atas, maka dapat disimpulkan bahwa maslahah-mursalah merupakan suatu metode

  

ijtihad dalam rangka menggali hukum (istinbath) Islam, namun tidak berdasarkan

  kepada nass tertentu, tetapi berdasarkan kepada pendekatan maksud diturunkannya hukum syara’ (maqosid asysyari’ah). Para ulama mengunakan metode istinbath hukum maslahah-mursalah dalam menggali hukum dikarenakan persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam selalu berkembang dan merupakan persoalan hukum baru sebab perkembangan zaman dan teknologi, di mana hukum tersebut tidak ditemukan dalam al-

  Qur’an, al-Sunnah dan ijma’ para sahabat. Salah satu persoalan hukum yang terjadi pada zaman modern ini yaitu mengenai inseminasi buatan (bayi tabung).

  Inseminasi buatan yang merupakan proses memasukkan sperma kedalam alat kelamin perempuan tanpa persetubuhan untuk membuahi telur atau ovum wanita yang bertujuan untuk mendapatkan keturunan bagi mereka yang mandul atau memiliki kendala tertentu dalam memperoleh keturunan. Maslahah-mursalah mengenai inseminasi buatan ini didasari bahwa kehadiran anak dalam kehidupan rumah tangga sangat penting, karena anak bukan hanya sebagai buah hati dan pelipur lara akan tetapi juga berfungsi sebagai pembantu dalam kehidupan di dunia, bahkan juga dapat memberi tambahan amal kebajikan di akhirat. Sehingga inseminasi buatan merupakan suatu perbuatan untuk memelihara keturunan, sebagaimana tujuan Hukum Islam yaitu untuk memelihara agama, akal, harta, jiwa dan keturunan atau kehormatan.

  Sehingga untuk melakukan inseminasi buatan hukumnya adalah boleh dalam bahasa fikih sering disebut dengan

  ja’iz, sebagai upaya tersebut untuk

  mewujudkan apa yang disunnahkan oleh Islam yaitu melahirkan keturunan- keturtunan yang banyak, dan ini merupakan salah satu tujuan dasar dari suatu pernikahan. Inseminasi buatan dimungkinkan untuk mengusahakan terjadinya pembuahan atau kehamilan di luar tempatnya yang alami, jika upaya pengobatan untuk mengusahakan kelahiran alami tidak berhasil.

  Dalam ajaran Islam, dianjurkan bagi manusia untuk tidak berputus asa dan menganjurkan untuk senantiasa berikhtiar (usaha) dalam menggapai karunia Allah Swt. Demikian halnya di antara panca maslahat yang diayomi oleh Maqashid Asy-

  

Syari’ah adalah hifdz an-nasl (memelihara fungsi dan kesucian reproduksi) bagi

  kelangsungan dan kesinambungan generasi umat manusia (Husni Thamrin, 2014:83). Dengan konsep maslahan mursalah membolehkan melakukan inseminasi buatan bagi pasangan suami istri yang sulit mendapatkan anak dengan ketentuan bahwa penghamilan itu menggunakan air mani suami untuk isterinya. Hal ini sebagai suatu cara untuk memperoleh anak yang sah menurut syari’at yang jelas ibu bapaknya.

I. Kesimpulan

  Berdasarkan penelitian yang telah dipaparkan di atas, maka kesimpulan dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : Pertama Pada dasarnya inseminasi buatan (bayi tabung) merupakan solusi bagi pasangan suami isteri yang tidak mampu mendapatkan keturunan secara alami atau bahkan mengalami kemandulan. Status anak yang dilahirkan dari inseminasi buatan dengan sperma dan ovum dari suami isteri yang sah dan ditransplantasikan ke rahim isteri merupakan anak sah (anak kandung) yang dinasabkan pada ayahnya dan akan memperoleh sederatan hak-haknya dari orang tuanya atau dapat dikatakan bahwa status anak tersebut merupakan anak syar’i yang mempunyai hubungan nasab dengan orang tua laki-lakinya. Kedua Hak waris anak hasil inseminasi buatan dengan sperma dan ovum dari suami isteri yang sah dan ditransplantasikan ke rahim isteri adalah ia berhak atas harta peninggalan ayah dan ibunya. Jika anak tersebut berjenis kelamin perempuan dan hanya seorang diri maka ia mendapat ½ dari warisan orang tuanya, jika terdapat 2 orang anak perempuan atau lebih, maka ia mendapat bagian 2/3 dari apa yang ditinggalkan oleh orang tuanya. Jika anak tersebut berjenis kelamin laki-laki dan hanya seorang diri maka ia mendapatkan semua harta orang tuanya, jika memiliki saudara perempuan maka ia mendapat dua bagian dari saudara perempuannya dan jika ia memiliki lebih saudara laki-laki maka ia membagi sama bagian keduanya dari harta peninggalan orang tuanya. Adapun hak waris anak hasil inseminasi dengan menggunakan sperma dan ovum donor, maka hak warisnya hanya mampu dihubungkan kepada ibu dan keluarga ibunya saja. Jika anak yang dihasilkan dengan cara menyewa rahim, maka masala hubungan mewaris anak tersebut tetap kepada orang tua biologisnya serta tidak ada hak dan kewajiban mewarisi kepada surrogate mother (ibu titipan).