Sistem Distribusi Tanah dalam Pembanguna

Sistem Distribusi Tanah dalam Pembangunan
Ekonomi di Indonesia
(Studi Analisis Konsep Ihya-u al-Mawat sebagai Sistem Distribusi Tanah)
Yuke Rahmawati1

Abstract:

The principle of equitable socio-economic welfare of the community is part of the maqasid alShari'ah of Islam, in order to achieve Ridla God and the world-happiness hereafter. Embodiment
of this principle is one of them is through a system of equitable distribution (distributive justice).
Distribution principle applies in all economic activities in Islam. Not only in post-production
activities, but also on all natural resources for human beings by Allah. One is the ground. Rule
in Indonesia's economy is highly dependent on how many people can control the rights to the
land as one economic sector support needs. So it can not be denied, that the ownership of the
land in human life is the essence of something.
Keywords: distributive justice, ihya-u al-mawat, soil, dharury
Abstrak:
Prinsip pemerataan kesejahteraan sosial-ekonomi bagi masyarakat merupakan bagian dari
maqashid al-syari’ah Islam, dalam rangka mencapai ridla Allah dan kebahagiaan duniaakhirat. Pengejawantahan prinsip ini salah satunya adalah melalui sistem distribusi yang
berkeadilan (distributive justice). Prinsip distribusi ini berlaku dalam seluruh kegiatan
perekonomian secara Islam. Tidak hanya pada kegiatan pasca produksi, tetapi juga pada
seluruh sumber daya alam yang Allah karuniakan bagi manusia. Salah satunya adalah tanah.

Aturan perekonomian di Indonesia sangat tergantung pada seberapa banyak masyarakat dapat
menguasai hak atas tanah sebagai salah satu sektor ekonomi penunjang kebutuhan hidupnya.
Sehingga tak dapat dipungkiri, bahwa kepemilikan akan tanah dalam kehidupan manusia adalah
sesuatu yang esensi.

Kata kunci: distribusi berkeadilan, ihya-u al-mawat, tanah, dharury

Pendahuluan
Kajian bidang ekonomi pada prinsipnya membicarakan tingkah laku manusia sebagai
konsumen, distributor dan produsen. Sementara obyek pembicaraan utama dalam bidang
ekonomi ialah tingkah laku manusia, maka untuk memahami tingkah laku manusia langkah yang
harus dilakukan adalah menelusuri melalui filsafat dan sikap hidup yang dianut oleh manusia.
Perjalanan panjang ekonomi konvensional ternyata hanya mengantarkan manusia pada keadaan
1

Dosen Fakultas Syari‘ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

yang sangat resah bukan pada keadaan yang dapat mengantarkan manusia mencapai keadilan dan
kemakmuran di dunia maupun di akhirat. Keadaan itu diakibatkan oleh karena sistem ekonomi
Barat mengabdi kepada kepentingan pribadi, bukan mengabdi kepada Allah SWT.

Keresahan akibat ketidakadilan tersebut mendorong manusia hidup dalam keadaan
konflik dan cenderung bersaing untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Sementara,
ekonomi yang di dasarkan oleh ajaran Islam menganjurkan manusia mengabdi kepada Allah
SWT. (QS. 18:29) dengan memakai landasan iman dan takwa, sehingga menjadikan manusia
tenang dan harmonis. Dari sini kemudian target pembangunan ekonomi Islam adalah an-nafs almuthmainnah atau calmness terhadap akhlak (QS. 89:27-30).
Islam merupakan suatu ajaran tentang sistem kehidupan yang meliputi hubungan antara
Pencipta (al-Khaliq) dengan seluruh ciptaan-Nya (makhluk) dan antar ciptaan itu sendiri, baik
manusia dengan manusia lainnya, maupun manusia dengan alam. Ajaran Islam bersifat
proporsional dan dinamis yang dapat diterapkan pada seluruh tatanan kehidupan masyarakat
yang harmonis, seimbang, adil dan sejahtera. Proporsional, dengan segala aspek yang terkait
pada aturan sunnatullah. Bahwa segala konsekwensi yang diterima berdasar pada apa yang
dilaksanakan dengan seluruh kemampuan dan kesanggupannya. Sedangkan, sifat dinamis lebih
menunjukkan bahwa ajaran Islam sangat luas hingga seluruh daya dapat menyentuhnya, dan
luwes hingga seluruh daya dapat merasakannya. Kedinamisannya dapat ditunjukkan dengan

konsep-konsepnya yang aplicable diseluruh ruang dan waktu.
Pengertian pembangunan ekonomi

sering didefinisikan sebagai


―proses

yang

menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang
yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan‖.2 Pengertian ini memberi pemahaman bahwa
peningkatan pendapatan per kapita adalah sebagai ukuran tingkat pertambahan GNP/GDP suatu
negara pada satu tahun tertentu. Yang tentunya dapat dikatakan bersifat positif bila GNP tersebut
melebihi tingkat pertambahan penduduknya. Namun ternyata peningkatan GNP per kapita yang
cepat saja tidak secara otomatis meningkatkan taraf hidup masyarakat keseluruhan. Hal ini
disebabkan karena proses aliran manfaat dari pertumbuhan ekonomi tidak terjadi. Dan inilah
yang disebut ketidakmerataan distribusi pendapatan.

2

Lincolin Arsyad, Ekonomi Pembangunan, UGM Yogya: Bag. Penerbitan STIE YKPN, 2004, edisi-4, cetII, hal. 113

Berbicara mengenai hasil pembangunan, pembangunan ekonomi dalam hal ini
mempunyai beberapa indikator menuju keberhasilannya, yakni indikator moneter dan indikator
non-moneter3. Indikator pembangunan ekonomi dari segi moneter yang pertama biasanya

diwakili dengan besaran pendapatan per kapita masyarakat. Selain untuk membedakan tingkat
kemajuan ekonomi suatu bangsa (GNP riil), pendapatan per kapita juga memberikan gambaran
tentang laju pertumbuhan kesejahteraan masyarakatnya. Indikator ini juga menunjuk faktor
penting lainnya, yaitu distribusi pendapatan, dimana bila tiap masyarakat memiliki tingkat
pendapatan yang intens, maka di pastikan akan mendapatkan kesejahteraan dalam hidupnya,
meski tingkat kesejahteraan pada tiap-tiap masyarakatnya akan berbeda. Namun, kondisi ini juga
kadang menimbulkan ketidakseimbangan, karena prioritas usaha-usaha pembangunan ekonomi
untuk memperoleh pendapatan diatas hanya menguntungkan sebagian kecil anggota masyarakat
saja. Hal tersebut memberi arti, bahwa tujuan pembangunan ekonomi belum seluruhnya tercapai.
Indikator moneter kedua, adalah kesejahteraan ekonomi bersih atau Net Economic
Welfare (NEW). Indikator ini hanya bentuk koreksi dari kegiatan ekonomi yang bersifat materi
penuh pada kegiatan ekonomi yang lebih bersifat bathiniah (kepuasan hati), yang menunjukkan
bertambahnya tingkat kesejahteraan, meski tingkat GNP-nya turun.
Selanjutnya, indikator pembangunan ekonomi yang bersifat non moneter, lebih menitik
beratkan pada aspek sosial dan indeks kualitas hidup manusia. Pada aspek sosial misalnya,
pembangunan ekonomi dapat dilihat dari perbandingan tingkat pendapatan antara beberapa
wilayah atau negara, perbandingan tingkat harga yang berlaku serta perbandingan tingkat
kesejahteraan yang berdasarkan pada data jumlah kendaraan bermotor, jumlah penduduk yang
bersekolah, jumlah konsumsi minyak dan lain sebagainya. Sedangkan menurut indeks kualitas
hidup, dapat dibagi pada tiga hal, yaitu; tingakat harapan hidup (angka kematian), tingkat melek

huruf, dan tingkat pendapatan riil per kapita berdasarkan daya beli (purchasing power parity)
bukan kurs pasar.
Selain itu berdasarkan aspek filosofis prinsip-prinsip pembangunan ekonomi menurut
Islam yakni ; bersifat komprehensif dan mengandung unsur spiritual, moral dan material. Serta
merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan dan nilai. Dimana aspek material, moral,
ekonomi dan sosial spiritual tidak dapat dipisahkan. Kebahagian yang ingin dicapai tidak hanya

3

Lincolin Arsyad, Ekonomi Pembangunan, UGM Yogya: Bag. Penerbitan STIE YKPN, 2004, edisi-4, cetII, hal. 254

kebahagian dan kesejahteraan material di dunia, tetapi juga di akhirat. Segala aktivitas
multidimensional tersebut seluruhnya terkait dan harus diserahkan pada keseimbangan berbagai
faktor dan tidak menimbulkan ketimpangan. Termasuk pemanfaatan sumberdaya yang telah
diberikan Allah kepada ummat manusia dan lingkungannya semaksimal mungkin melalui
pembagian secara merata berdasarkan prinsip keadilan dan kebenaran.
Terkait dengan hal itu semua, maka prinsip pemerataan kesejahteraan sosial-ekonomi
bagi masyarakat merupakan bagian dari maqashid al-syari’ah Islam, dalam rangka mencapai
ridla Allah dan kebahagiaan dunia-akhirat. Pengejawantahan prinsip ini salah satunya adalah
melalui sistem distribusi yang berkeadilan (distributive justice). Prinsip distribusi ini berlaku

dalam seluruh kegiatan perekonomian secara Islam. Tidak hanya pada kegiatan pasca produksi,
tetapi juga pada seluruh sumber daya alam yang Allah karuniakan bagi manusia. Salah satunya
adalah tanah.
Dalam kehidupan manusia, kebutuhan akan tanah adalah bagian dharury (asasi) untuk
kelangsungan hidup. Hak asasi ini merupakan hukum Allah (sunnatullah) pada seluruh manusia
sebagai bagian dari nalurinya. Mengenai sumber kajian dalam hal ini, isyarat Allah telah sangat
jelas diuraikan dalam hukum-hukum yang diturunkannya, baik melalui Kalamullah maupun
melalui ucapan para nabi utusannya.
Sistem perekonomian yang berlaku saat ini tidak terlepas dari pemikiran ideologi yang
menguasainya. Di Indonesia, sistem ekonominya banyak dipengaruhi oleh pemikiran ideologi
yang masuk ke semua wilayah teritorialnya, baik melalui mekanisme persuasif seperti hubungan
dagang, dan mekanisme jajahan (kolonial) seperti yang telah dialami bangsa ini selama ratusan
tahun. Oleh karenanya, tidak hanya sistem perekonomiannya saja yang berideologi sama tetapi
juga hukum serta aturan perekonomiannya pun punya akibat yang sama.
Tak terlepas dari asumsi diatas, aturan perekonomian di Indonesia sangat tergantung pada
seberapa banyak masyarakat dapat menguasai hak atas tanah sebagai salah satu sektor ekonomi
penunjang kebutuhan hidupnya. Sehingga tak dapat dipungkiri, bahwa kepemilikan akan tanah
dalam kehidupan manusia adalah sesuatu yang esensi.
Aspek penguasaan tanah merupakan bagian yang sangat esensial dalam keseluruhan
sistem agraria yang berlaku, karena akan menentukan tingkat kesejahteraan dan distribusi

ekonomi masyarakat di dalamnya. Selain itu faktor penguasaan tanah menjadi penentu kegiatan
usaha sekaligus distribusi hasilnya. Konsep penguasaan tanah pada resalisasinya relatif berbeda,

baik dalam bentuk maupun sistemnya. Namun bila kita spesifikasi di Indonesia, maka
penguasaan tanah menurut hukum adat pada beberapa suku bangsa di Indonesia memiliki banyak
kesamaan dengan bentuk penguasaan tanah menurut hukum Islam.4
Bentuk penguasaan tanah pada satu negara mengikuti ideologi ekonomi yang dianut
negara tersebut. Kita mengenal setidaknya lima ideologi sistem ekonomi, yaitu kapitalisme,
sosialisme, komunisme, fasisme, dan ekonomi Islam.5 Secara umum, hak kepemilikan (property
rights) yang berlaku dalam sistem ekonomi kapitalis adalah kepemilikan yang tanpa batas.

Bentuk kepemilikan tanpa batas ini berlaku untuk benda apa saja termasuk tanah. Si pemilik
(owner ) dapat menggunakan dan menguasai miliknya sebagaimana ia sukai. Konsep dasar sistem
ekonomi kapitalis adalah kebebasan tanpa batas untuk menciptakan pendapatan pribadi dan
membelanjakannya sesuai dengan kemauannya (personal propensities).6 Motif kepentingan
individu yang didorong oleh filsafat liberalisme kemudian melahirkan sistem ekonomi pasar
bebas, yang pada akhirnya melahirkan ekonomi kapitalis. Lebih dari itu dalam konteks ini,
menurut Wiradi7, pemilikan tanah yang disamakan dengan sumber daya ekonomi lain sehingga
tanah menjadi ‖komoditas‖, merupakan akar terjadinya berbagai krisis ekonomi di tingkat dunia
selama ini. Misalnya saja yang baru-baru ini terjadi yaitu subprime property di Amerika, yang

menggambarkan tingkat ketidak mampuan masyarakat Amerika untuk membayar rumah (tempat
tinggal) mereka, akibat penentuan harga yang tak terkendali di negara tersebut. Sehingga
berdampak massiv terhadap aspek primer masyarakatnya yakni hilangnya hak mendapatkan
tanah untuk tempat tinggal mereka. Secara tidak langsung, ternyata idealisme kapitalisme telah
menggilas hak-hak manusia terutama hak atas tanah.
Sisi ekstrim yang lain adalah kepemilikan tanah di negara sosialis, dimana pemilikan
pribadi hampir seluruhnya telah dicabut dan dialihkan ke negara, dimana pemerintah bertindak
sebagai pihak yang dipercayai oleh seluruh warga masyarakat. Pada akhirnya, sosialisme
melibatkan pemilikan semua alat-alat produksi, termasuk di dalamnya tanah-tanah pertanian oleh
negara dan menghilangkan milik swasta. Dalam masyarakat sosialis, hal yang menonjol adalah
kolektivisme atau rasa kebersamaan, di mana alokasi produksi dan cara pendistribusian semua
4

Syahyuti, Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol.24 no. 1, 2006.

5

Eldine Achyar, Prinsip-prinsip ekonomi Islam, (http//.www.uika-bogor.ac.id/jur07.htm), 2005.

6


Robert L Heilbroner,Tokoh-Tokoh Besar Pemikir Ekonomi, UI Press, 1986.

7

Gunawan Wiradi, Jangan Perlakukan Tanah sebagai Komoditi , Jurnal ―Analisis Sosial‖ , edisi 3, 1996.

sumber-sumber ekonomi diatur oleh negara.8 Selanjutnya, komunisme lebih bersifat gerakan
ideologis yang juga mencoba mendobrak sistem kapitalisme. Komunisme adalah bentuk paling
ekstrem dari sosialisme. Sementara dalam fasisme, asosiasi-asosiasi yang mencakup seluruh
industri atau sindikat-sindikat pekerja mengoperasikan kegiatan produksi, pemerintah melakukan
pengendalian dalam bidang produksi, sedangkan kekayaan dimiliki oleh pihak swasta.
Dalam ekonomi Islam, manusia tidaklah berada dalam kedudukan mendistribusikan
sumber-sumber daya semaunya sendiri. Ada pembatasan yang serius berdasarkan ketetapan kitab
suci Al-Qur`an dan Sunnah. Dalam Islam, kesejahteraan sosial dapat dimaksimalkan jika sumber
daya ekonomi juga dialokasikan sedemikian rupa, dimana tidak seorang pun lebih baik dengan
menjadikan orang lain lebih buruk. Dalam konteks ini manusia tidak hanya sebagai makhluk
sosial tetapi juga sebagai makhluk religius.

Pembahasan

A. Hukum Tanah di Indonesia
Hukum tanah di Indonesia memiliki fungsi sosial. Unsur sosial tersebut berupaya agar
tidak terjadi akumulasi dan monopli tanah oleh segelintir orang. Negara berwenang membatasi
individu maupun badan hukum dalam penguasaan tanah dalam jumlah besar, seperti dalam
peratutan land reform UU No.56 tahun 1960 bahwa orang tidak boleh memiliki tanah lebih dari
lima hektar (jawa).
Namun sistem hukum tanah di Indonesia tampak berada ditengah dua ekstrim, yaitu
hukum adat dan Islam disatu sisi dan hukum barat (kapitalis) di sisi ekstrim lainnya. Ini
bersumber dari Burgerlijk Wetboek Belanda yang disusun berdasarkan Code Civil Perancis, yang
dasar filosofisnya menganut individualistik-liberal.9
Prinsip ―Tanah untuk Rakyat‖—yang sering didengungkan oleh pemerintah Indonesia
dari masa ke masa—seakan-akan hanya sebuah kalimat tanpa makna. Karena pada kenyataannya
akses masyarakat –miskin terutama— terhadap tanah sangat kecil, bahkan hilang akibat
pengaturan pemerintah dalam sektor ini tidak mendukung grass root. Sementara itu, dipihak lain
–para pengembang—mendapat dukungan yang lebih dari cukup yang justru untuk keperluan
spekulasi dan komersil.
8

Eldine Achyar, Prinsip-prinsip ekonomi Islam, (http//.www.uika-bogor.ac.id/jur07.htm), 2005.


9

Syaiful Bahari, Negara dan Hak Rakyat Atas Tanah , Kompas, 2005.

Rupanya sistem demand & supply tanah yang ada, berlaku seperti halnya prinsip
perekonomian yang berjalan saat ini. Sistem konvensional yang berprinsip mekanisme pasar
(market mecanism) membawa dampak para spekulan tanah meraih keuntungan yang sangat
besar. Dan disinilah gap pembangunan sosial dan ekonomi terjadi.
Di Indonesia, seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dalam wilayah RI sebagai karunia Tuhan YME adalah bumi, air dan
ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan Nasional.
Dalam aplikasinya penguasaan hak akan tanah pada masyarakat harus melalui legalisasi
hukum pertanahan, karena terkait dengan undang-undang yang menyatakan bahwa seluruh
sumber daya alam beserta kandungannya adalah milik negara dengan merujuk Undang-undang
Dasar 1945. Yang dengan landasan inilah kemudian, negara menentukan bagaimana dan siapa
saja yang dapat memiliki dan menguasai tanah yang tersebar diseluruh wilayah negeri ini melalui
mekanisme dan aturan yang berlaku.
Mekanisme itu tertuang dalam perundang-undangan hukum agraria Indonesia. Yang tentu
saja didalamnya terdapat hasil elaborasi dan kolaborasi hukum adat, hukum agama serta hukum
yang diberlakukan oleh pemerintah penjajah yang berkuasa saat itu. Sehingga produk hukum dan
peraturan yang dikeluarkan atau dilaksanakan pun –hingga saat ini-- memuat tiga komponen
tersebut.
Namun,

sejatinya

mekanisme

ini

digunakan

dengan

tujuan

supaya

seluruh

rakyat/masyarakat mendapatkan kesejahteraan hidup jangka panjang dan dapat menikmati
kehidupan sehari-harinya dengan laik. Sehingga dapat tercipta pemerataan kekayaan sekaligus
pendapatan dengan adanya pemilikan hak atas tanah tersebut.
Disisi lain, pada kenyataannya tidak seluruh rakyat/masyarakat mendapatkan hak itu
dengan selaiknya, bahkan mungkin lebih banyak masyarakat yang tidak mendapatkan hak
tersebut. Hal ini terjadi akibat mekanisme perundang-undangan dan peraturan yang diberlakukan
tidak condong dan tidak mendukung akan tujuan utama tadi. Sehingga, pada realitasnya
menyebabkan terjadinya gap kepemilikan atau penguasaan hak atas tanah. Bahwa sebagian kecil
masyarakat dapat menguasai sebagian besar hak atas tanah, tapi sebagian besar masyarakat justru
hanya menguasai sebagian kecilnya saja atau bahkan tidak.
Salah satunya adalah rancangan undang-undang perubahan atas Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), khususnya Rancangan UU tentang Hak

Milik atas Tanah dan rancangan UU tentang Pengambilalihan Lahan untuk Kepentingan Umum.
Yang kemudian lahir Perpres No 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Menurut sebagian pemerhati, hal ini justru memberi
peluang untuk terjadinya penguasaan tanah oleh kelompok-kelompok tertentu, yang tentu saja
manfaatnya hanya dirasakan oleh kelompok tersebut. Sedangkan, tujuan utama dirombaknya
UUPA lama untuk di reformasi kearah yang lebih baik, justru menjadi beban hidup bagi
masyarakat yang notabene kepemilikan tanahnya tak seberapa -jauh dari mencukupi kebutuhan
dasar mereka—harus dialihkan kepemilikannya kepada negara atas nama kepentingan umum dan
pembangunan, yang justru didominasi untuk kepentingan industri skala besar.
Kondisi-kondisi inilah yang mengharuskan lahirnya mekanisme atau aturan mengenai
penguasaan/pemilikan hak atas tanah yang condong dan mendukung pada pemerataan dan
kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini konsep Ihya-u al-Mawat menurut ekonomi Islam
menjadi pilihan alternatif dalam memecahkan persoalan ekonomi masyarakat.
Karena kenyataan kondisi dan situasi saat ini adalah penguasaan hak tanah ada pada
negara –baik yang sudah dikelola atau pun belum selama bertahun-tahun, hingga seseorang mau
dan mampu membeli tanah tersebut, apakah untuk dikelola dan dimanfaatkan atau dibiarkan
sekalipun.
Sehingga, pengejawantahan ide-ide yang ada dalam Undang-Undang Dasar ‘45 belum
terealisir sebagai upaya pencapaian tujuan yang dimaksud, yaitu pemerataan pendapatan dan
kesejahteraan hidup masyarakat. Dalam hal inilah kita seharusnya mau menganalisa bagaimana
praktik penguasaan atau pemilikan hak atas tanah yang dilaksanakan di Indonesia dengan konsep
Ihya-u al-Mawat menurut ekonomi Islam, yang memungkinkan kedua hal tersebut mengarahkan

kondisi perekonomian masyarakat miskin Indonesia khususnya, mendapatkan kemakmuran dan
kesejahteraan hidup.

B. Pengertian Ihya-u al-Mawat
Pengertian Ihya-u al-Mawat secara umum adalah menghidupkan tanah mati. Maksud
tanah mati ialah tanah yang tidak ada pemiliknya, dan tidak dimanfaatkan oleh seorang pun.

Sedangkan yang dimaksud dengan menghidupkannya ialah mengolahnya dengan menanaminya,
baik dengan tanaman maupun pepohonan atau dengan mendirikan bangunan di atasnya10.
Dalam perspektif Islam, konsep ini akan membawa pada pemahaman bahwa
pemilikan/penguasaan hak atas tanah tidak serta merta menjadi milik seseorang tanpa ada usaha
untuk menghidupkan atau mengelola tanah tersebut, sehingga hal ini menjadi unsur/syarat hak
tanah itu jatuh ke tangan sesesorang. Syara‘ telah menjadikan tanah tersebut sebagai miliknya,
didasarkan pada hadist Rasulullah riwayat Bukhari dari ‗Aisyah, “Siapa saja yang telah
mengelola sebidang tanah yang bukan menjadi hak orang lain, maka dialah yang lebih berhak.”

Menghidupkan tanah mati (ihya-u al-mawat) itu berbeda faktanya dengan pemberian
cuma-cuma (iqtha’). Perbedaannya adalah, bahwa ihya-u al-mawat merupakan tanah mati, yang
belum dipagari, kemudian dihidupkan dengan sesuatu yang menunjukkan tanah tersebut dikelola.
Sedangkan iqtha‘ adalah memberikan tanah yang sudah dikelola dan siap digarap/ditanami atau
tanah yang pernah dimiliki seseorang.11
Dalam beberapa Hadis dinyatakan bahwa, siapa saja orang yang mengolah tanah yang
tidak ada pemiliknya, maka ia otomatis memilikinya (Hadis riwayat Bukhori, dari Urwah, dari
Aisyah) atau Hadis yang menyatakan siapa saja orang yang menghidupkan tanah mati, maka itu
menjadi miliknya (Hadis riwayat ‗Tsalatsah‘, dari Said bin Zaid) atau bahkan bahasan tentang
al-Hima (tanah dibawah perlindungan) di mana Rasulullah menyatakan bahwa al-Hima adalah
milik Allah dan Rasul-Nya (Hadis riwayat Bukhori, dari Ibnu Abbas).12 Dari Hadis-hadis di atas
jelas menyiratkan bahwa konsep tanah menurut Islam, haruslah bersifat distributif, tidak
menekankan aspek penguasaan, namun lebih pada aspek pengelolaan. Selain itu, Islam memang
memegang prinsip yang didasarkan pada Hadis yang menyatakan bahwa, ―manusia berserikat
pada 3 hal yakni; air, tanah dan api‖, artinya tingkat keberhakkan seseorang dalam penguasaan
akan tanah lebih rendah dibanding kebutuhan masyarakat akan hal itu.
Ihya-u al-Mawat pada dasarnya merupakan konsep yang berkenaan dengan aspek sosio-

ekonomi suatu masyarakat, dimana kehidupan mereka pada dasarnya sangat tergantung pada
ketersediaan akan tanah. Tanpa tanah niscaya mereka akan mengalami kesulitan dalam
10

Taqyuddin an-Nabhani, Membangun sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Surabaya:Risalah
Gusti, 1999, cet-IV, hal. 74.
11

Taqyuddin an-Nabhani, Membangun sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Surabaya:Risalah

Gusti, 1999, cet-IV, hal.135-136
12

Ibnu Hajar al-Astqalany, Subulussalam, Jilid II, Bandung.

pemenuhan ekonomi hidupnya. Keberhakkan masyarakat pada pemilikan akan tanah sejatinya
menjadi bagian ―kewajiban‖ negara untuk pemenuhannya. Dalam Islam, adanya tanah dalam
kehidupan ekonomi manusia merupakan bagian dharury (primer) bagi kelangsungan hidup.
Konsep ―menghidupkan tanah mati‖ menjadi salah satu ciri sistem distribusi tanah dalam Islam
yang paling efektif dan efisien dalam pembangunan ekonomi masyarakat.
Menurut Malikiyah dan Hanabilah cara Ihya-u al-Mawat dalam Islam, yakni dengan
mengarapnya sebagi lahan pertanian. Untuk itu perlu dibersihkan pepohonan yang ada di
dalamnya, mencakul lahannya untuk pertanian, membuat saluran irigrasi, baik dengan menggali
sumur maupun mencari sumber air lainya, memnanaminya dengan pepohonan atau tanaman
yang menghasilkan, serta memagarnya. Begitu pula beberapa persyaratan yang terkait dengan
penerapan Ihya-u al-Mawat ini, sebagai berikut: 13
a. Syarat – syarat yang terkait dengan orang yang mengaraf untuk orang yang mengaraf,
menurut ulama syafi‘iyah, haruslah seorang muslim, karena kaum dzimi tidak berhak
mengaraf lahan umat islam sekali pun di ijinkan oleh pihak penguasa.
b. Syarat yang terkait dengan lahan yang akan di garap. menurut ulam fiqih, disayaratkan
sebagai berikut:
1. Bukan lahan yang di milik olh seorang, baik mislim mapun dzimi
2. Bukan hanya di jadikan sarana sebagi sesuatu.
3. Menurut ulama syafi‘iyah lahan itu berada di wilayah Islam
c. Syarat yang terkait dengan pengarap lahan, ialah harus mendapat izin dari pemerintah
(menurut imam Abu Hanifah), lahan itu sudah harus di garap dalam waktu 3 tahun
(menurut ulama Hanafiyah). Pembatasan waktu tiga tahun ini di dasarkan kepada
pendapat umar Ibn al-Khaththab yang menyatakan : orang yang hanya sekedar memagar
lahan, setelah 3 tahun tidak berhak lagi atas lahan itu ― (HR. Al-Nasa‘i).
Tujuan utama dari konsep ini adalah agar kepemilikan tanah jelas berdasarkan
pengelola dan agar tidak terkonsentrasinya kepemilikan tanah ini pada segelintir orang atau
kelompok saja. Sehingga perilaku pemilikan yang tidak sah dan tidak jujur yang
mengakibatkan tanah tidak terdistribusi secara merata dan keadaaan menjadi tidak adil, perlu
adanya batasan untuk maksimal kepemilikan tanah dan mendistribusikan sisanya secara

13

May way, http://d3ps.blogspot.com/2009/03/blog-post_29.html, diunduh tanggal 02 Mei 2012

merata.14 Yang kemudian diisyaratkan dengan istilah land reforms. Karena land reform
dipandang sebagai kunci utama program ekonomi masyarakat. Kepentingannya adalah untuk
menciptakan iklim egaliterian dan demokrasi (men. Islam) Distribusi tanah merupakan
determinan utama bagi distribusi pendapatan dan minimnya kemiskinan. Reduksi dalam
kesenjangan pendapatan dan kekayaan melalui konsep ini menjadi lebih signifikan.
Pada dasarnya , konsep penguasaan tanah dalam Islam berakar dari konsep bumi (earth),
dimana bumi dipandang sebagai salah satu sumber daya yang paling bernilai untuk menuju
kesejahteraan hidup. Kata ―milik‖ menunjukkan bahwa ada relasi antara benda dengan
seseorang, sebagai dasar sehingga ia punya hak untuk menggunakannya (right to use it),
menguasainya untuk menggunakannya (to keep it for his use), untuk menjualnya (to sell it) atau
meminjamkannya (to lend it) kepada orang lain dan menerima sewa.
Menurut ketentuan Islam, baik negara maupun masyarakat tidak dapat mengklaim
sebidang tanah bila keduanya mengabaikan tanah tersebut melewati batas waktu 3 tahun.
Pemanfaatan atas tanah dalam Islam bukan pada kemampuannya untuk menguasia tanah tersebut
tetapi atas dasar pemanfaatannya. Adapun kaitannya dengan aspek ekonomis, golongan
masyarakat yang menguasai tanahlah yang dianggap produktif karena ia menghasilkan sesuatu.
Berbeda dengan pedagang yang disebut kelompok ‗steril‘. Namun penguasaan tanah tanpa
digarap atau tanah kosong dalam Islam dibebankan membayar zakat. Ini menjadi motivator
pemiliknya agar tanah tersebut tidak diterlantarkan. Sebagaimana dalam hadist diungkapkan :
―Hendaklah menanami (tanah) atau menyerahkannya untuk digarap. Barang siapa yang tidak
melakukan salah satu atau keduanya, maka tahanlah tanahnya ‖.

Penerapan Ihya-u al-Mawat di masa Islam sangat terkait beberapa aspek legalnya, di
antaranya:
a. Para ulama fiqih menyatakan bahwa jika seorang mengarap sebidang lahan kosong yang
memenuhi syarat-syaratnya maka akibat hukumnya adalah :
1. Menjadi pemilik lahan itu. Sebagaimana sabda Rasulullah S.A.W:
Siapa yang mengarap lahan kosong maka lahan itu menjdi miliknya ( HR.Ahmad Ibn

Hambal dan At-tirmidzi dari Jabir Ibn Abdillah ).
2. Terdapat

hubungan hukum antara pemerintah dengan pemilik lahan itu. Yakni,

apabila si penggarap lahan itu seorang muslim, maka pemerintah dapat memungut
14

Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, Tazkia Institute, 2000, hal. 262.

pajak sebesar 10% dari hasil garapannya itu. Namun ada juga yang berpendapat
pemerintah tidak boleh mengambil pajak dari lahan itu jika yang menggarapnya
seorang muslim.
3. Apabila seseorang telah menggarap sebidang lahan, maka ia berhak memanfaatkan
lahan itu untuk menunjang lahan yang ia olah, seperti memanfaatkan lahan di
sebelahnya untuk keperluan irigasi. Akan tetapi para ulama fiqih sepakat menyatakan
bahwa sebelum ia menggarap lahan itu, hak memanfaatkan lahan sekelilingnya belum
boleh, sekalipun pada jarak tertentu, namun pada akhirnya yang memutuskan itu,
menurut mereka adalah adat istiadat atau pemerintah.

C. Sejarah Ihya-u al-Mawat
Dalam sejarah peradaban Islam, konsep Ihya-u al-Mawat sesungguhnya telah teraplikasi
pada zaman Rasulullah berhijrah ke Madinah, di mana Rasulullah memerintahkan kapada kaum
Anshar (tuan rumah) untuk rela berbagi tanah dengan kaum Muhajirin (pendatang) sebagai tanda
persaudaraan dan bantuan secara ekonomi pada mereka. Sebenarnya Nabi memerintahkan
pembagian ini dengan beberapa cara, tergantung kepada tingkat kebutuhannya saat itu.
Pembagian tanah secara cuma-cuma kepada kaum Muhajirin lebih karena mereka yang datang
adalah orang-orang yang ditinggalkan keluarganya–karena masuk Islam (mu’allaf)- bahkan
meninggalkan kekayaannya, sehingga kebutuhan kaum Muhajirin terhadap tanah tersebut
merupakan kebutuhan esensial. Dengan memiliki tanah, kaum Muhajirin akan mampu
mempertahankan bahkan meningkatkan kualitas dan kuantitas hidup mereka. Ada pula
pembagian tanah ini dengan konsep kerjasama, di mana penerima tanah memberikan kompensasi
yang adil kepada si pemberi tanah sesuai kesepakatan.
Pada masa Khalifah Abu Bakar pun konsep ini pernah dilakukan dalam bentuk
pemberian tanah hasil rampasan perang (kaum kafir harbi) dan kafir dzimmi kepada negara
untuk kemudian dibagikan kepada kaum muslimin.
Selanjutnya pada masa Khalifah Umar bin Khattab, di mana pada zaman beliau konsep
ini diterapkan dengan mekanisme distribusi tanah negara sebagai wakaf. Yang pengelolaannya
diserahkan juga kepada negara dalam bentuk pembangunan gedung-gedung pemerintah atau
sarana dan prasarana yang merupakan kebutuhan seluruh masyarakat. Atau oleh negara
diserahkan kepada masyarakat baik muslim maupun non-muslim dengan sistem sewa (ijarah)

untuk dikelola sebagai lahan pertanian yang dapat membantu meningkatkan perekonomian
masyarakat sendiri sekaligus pemasukan untuk kas negara.
Pada masa Umar ini bahkan pernah dilakukan konsolidasi tanah, yakni penataan kembali
penguasaan dan pemilikan tanah, dari yang semula bentuknya tidak teratur menjadi bentuk yang
teratur, rapi, efisien, dan optimal. Obyek konsolidasi tanah ada dua macam, yaitu tanah pertanian
dan tanah pemukiman perkotaan. Salah satunya adalah politik tanah hima yang diputuskan
Umar,15 adalah sebagai berikut :

 Tanah hima adalah tanah Allah, maka harus dilindungi untuk keperluan jihad fisabilillah.

 Tanah di suatu negara yang diperebutkan oleh penduduknya di masa jahiliyah lalu
mereka masuk Islam, maka perlindungan tidak dianggap perlu jika hanya untuk
pengembalaan binatang ternak orang-orang yang memilikinya.

 Umar mewasiatkan kepada para pekerjanya untuk memperhatikan nasib para pemilik
hewan ternak yang sedikit, sebab mereka harus lebih diutamakan dibanding mereka yang
mempunyai harta banyak dan juga karena tanah itu milik mereka.
Mekanisme distribusi tanah sejatinya dapat dilakukan dengan berbagai cara yang sesuai
dengan kaidah-kaidah transaksi, yang terpenting adalah masyarakat dapat mengakses kebutuhan
mereka atas tanah untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Tanah-tanah yang menganggur atau didiamkan oleh pemiliknya tanpa ada produktifitas di
dalamnya, atau bahkan orang lain tidak bisa memanfaatkan tanah-tanah tersebut untuk hidupnya,
maka kondisi itu niscaya membawa dampak secara massiv pada masyarakat atau negara yang
bersangkutan. Terutama pada pembangunan ekonomi, sosial dan keamanan negara tersebut.
Ada berbagai aspek yang harus diperhatikan dengan menggali pengalaman dari sisi
hukum adat, di mana paling sedikit harus ada tiga hal yang dijadikan pemikiran untuk kriteria
penentuan tanah terlantar, yakni:16
1. Dari segi obyeknya, dalam hal ini misalnya keadaan fisik tanah dan penggunaannya
(tanah pertanian atau tanah bangunan).
2. Dari segi subyeknya, dalam hal ini misalnya, apakah ada unsur kesengajaan atau
keterpaksaan.
15

Quthb Ibrahim Muhammad, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khattab, Pustaka Azzam, 2002, hal. 96.
Maria S.W. Sumardjono, Reformasi Hukum Pertanahan, makalah disampaikan pada Pertemuan
Ilmiah Pembangunan Desa dan Masalah Pertanahan , diselenggarakan oleh PAU Studi sosial UGM, pada
tanggal 13-15 Februari 1990 (unpublished), hlm. 15 – 16.
16

3. Dari segi jangka waktunya, misalnya, berapa batas waktu untuk menyatakan suatu bidang
tanah terlantar dilihat dari usaha yang seharusnya sudah dilakukan yang bersangkutan.
Dapat ditarik kesimpulan, bahwa tanah yang terdistribusi dengan merata diantara masyarakat
akan memiliki tingkat produktifitas yang lebih tinggi dibanding penguasaan tanah hanya oleh
segelintir orang saja. Kondisi ini akan mampu memicu pembangunan ekonomi masyarakat dalam
sebuah negara. Konsep tanah terdistribusi ini juga sangat sesuai dengan konsep ihyaul mawat
dalam Islam, karena dengan sendirinya konsep ini memiliki efek ekonomis baik bagi masyarakat
yang mengelolanya, maupun negara sebagai otoritas hukum yang menaunginya.

D. Prinsip Pembangunan Ekonomi dalam Distribusi Tanah
Ilmu Ekonomi Pembangunan mempunyai ruang lingkup yang lebih luas, yang berbeda
dengan pengertian ilmu ekonomi biasa. Selain mengupas cara-cara alokasi sumber daya
produktif langka seefisien mungkin, juga memberikan perhatian pada mekanisme-mekanisme
ekonomi, sosial, politik dan kelembagaan, baik di sektor swasta maupun yang ada di sektor
publik.
Menurut ukuran ekonomi tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah
perekonomian nasional ---yang bersifat statis dalam kurun waktu lama---- untuk:
1.

Menciptakan dan mempertahankan kenaikan tahunan atas GDP atau GNP suatu negara.

2.

Tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita atau GNP per kapita masyarakat suatu
negara.

3.

Tingkat dan laju pertumbuhan GNP Riil.

4.

Kemajuan struktur produksi dan penyerapan sumber daya manusia (employment)

Kondisi-kondisi inilah yang mendorong pengabaian pada aspek utama, yakni soal kemiskinan,
pengangguran dan ketimpangan distribusi pendapatan.
Paling tidak terdapat beberapa hal dalam prinsip ekonomi pembangunan ini yang
menjunjung tinggi harkat dan penghidupan manusia secara utuh. Hal ini tercermin pada inti
pembangunan ekonomi yakni;

 Kecukupan (Sustenance) : Kemampuan untuk memenuhi Kebutuhan-Kebutuhan Dasar
 Jati Diri (Self-esteem) : Menjadi Manusia Seutuhnya

 Kebebasan (Freedom) : Kebebasan dari Sikap Menghamba = Kemampuan untuk Memilih
Secara derifatif prinsip di atas memberikan pemahaman lebih lanjut, bahwa:

1. Pembangunan ekonomi mengarah pada peningkatan ketersediaan serta perluasan
distribusi berbagai macam barang kebutuhan hidup yang pokok, seperti ; pangan,
sandang, papan, kesehatan, pendidikan dan perlindungan keamanan.
2. Peningkatan Standar hidup yang tidak hanya peningkatan berupa pendapatan,
penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan
perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan untuk menumbuhkan jati diri bangsa
yang bersangkutan.
3. Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara
keseluruhan, yakni dengan membebaskan mereka dari sikap menghamba dan
ketergantungan, bukan hanya terhadap orang atau negara, namun juga terhadap setiap
kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mereka.
Prinsip-prinsip diatas memberi pemaknaan bahwa masyarakat baik secara individu
maupun kolektif mempunyai hak utama untuk mendapat kemakmuran dan kesejahteraan secara
ekonomi dalam kehidupannya. Dukungan negara menjadi ―wajib kifayah‖ dalam mengupayakan
serta merealisasikan tujuan dari prinsip-prinsip tersebut.
Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan langkah negara sudah menetapkan acuan
bagaimana seharusnya negara ‗memperlakukan‘ kemakmuran untuk rakyatnya. Dalam pasal 33
UUD 1945 ayat 3, disebutkan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menjadi
persoalan dan tanda tanya besar selanjutnya adalah, sejauh mana rakyat makmur atas
pengelolaan sumber daya alam oleh Negara?. Rakyat bernama petani contohnya, dari masa ke
masa jauh dari kata makmur. Ekstrimnya, negara yang diamanatkan memakmurkan rakyat
dipandang telah gagal membawa petani kearah kemakmuran yang diinginkan konstitusi. Bahkan
negara semakin menghibahkan keterpurukan bagi kaum petani dengan semakin hilangnya
kepemilikan atas tanah bagi petani.
Dalam menguasai bumi, air dan kekayaan alam, keberpihakan negara lebih tertuju
terhadap para pemilik modal atau elit yang memiliki akses kepada kekuasaan, politik maupun
ekonomi. Negara lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi di balik selimut pembangunan,
dengan melupakan perekonomian pedesaan. Karakter agraris yang melekat dinegeri ini
diarahkan pada ekonomi yang berhaluan industrialisasi. Dampaknya pun menjadi sangat terasa
dimana petani harus termarjinalkan oleh industrialisasi yang terus berkembang dan dijadikan

konsentrasi ‗pembangunan‘. Lahan-lahan pertanian tergerus habis mengikuti sistem tersebut.
Padahal saat ini konsumerisme merupakan efek domino industrialisasi, telah merebak dan
menempati posisi sentral dalam kehidupan ekonomi. Sehingga tergeserlah para petani yang
masih memiliki etos kerja dan mentalitas yang baik.
Di Indonesia saat ini UUPA masih menjadi peraturan perundangan tentang pertanahan.
Dalam hal kepemilikan tanah, UUPA lebih banyak menekankan pada aspek kepemilikan tanah
individual. Hal ini penting untuk menjadikan status penguasaan tanah jelas ketika terjadi
pemindahan hak atas tanah. Pembebasan tanah misalnya dalam konteks pembangunan
infrastruktur yang akan dibangun oleh pemerintah dan ditujukan bagi kepentingan umum sering
dikonotasikan dengan pengambilalihan tanah. Konotasi ini yang kemudian cenderung ke arah
konotasi yang negatif. Penyebabnya adalah asal dari kata pengambilalihan tersebut, yaitu dari
kata ambil. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata tersebut antara lain memiliki atau
merebut. Dengan begitu jelas memberikan gambaran bahwa frase pengambilalihan tanah dapat
saja diartikan upaya (dalam hal ini pemerintah) untuk merebut tanah milik masyarakat atau tanah
yang sudah ada pemilik atau pemegang haknya.17
Tanah merupakan sumber yang sangat vital dan sebuah potensi besar bagi kelangsungan
hidup petani dan keberlanjutan pangan dinegeri ini. Karena tanah bagi mereka menjadi alat
produksi dan sandaran penghidupan. Dengan pertanian, mereka dapat menghasilkan bahan
makanan, bahan perdagangan dan kebutuhan lainnya, maka bisa dibayangkan signifikansi tanah
bagi masyarakat yang sebagian besar masih bersifat agraris. Tapi dalam sejarah Indonesia, petani
selalu banyak dicekam rasa cemas akan ketidakjelasan dan semakin diperparah oleh rasa
ketidakmenentuan. Kehidupan petani dari hari kehari semakin terpuruk, jauh dari membaik.
Justru semakin tertekan dan terperosok dalam jurang kemiskinan.
Tanah merupakan faktor produksi yang penting, sering disebut sebagai faktor produksi
asal atau asli (original factor of production). Tanah merupakan asal muasal dari segala kegiatan
produksi. Tanah juga merupakan faktor produksi unik, sebab ia tidak diciptakan oleh manusia
melainkan manusia tinggal memanfaatkannya. Keunikan tanah yang lain karena ketersediaannya
yang sangat terbatas, dalam arti ia telah tersedia dalam jumlah yang tetap dan tidak diciptakan

17 Abdul Haris, Pengaruh Penatagunaan Tanah Terhadap Keberhasilan Pembangunan Infrastruktur dan Ekonomi,
http://www.google.co.id/#hl=id&q=hak+atas+tanah+dalam+pembangunan+ekonomi&oq=hak+atas+tanah+dalam+pem
bangunan+ekonomi&aq=f&aqi=&aql=&gs_l=serp.3...4137.16033.0.16400.60.40.0.7.7.6.502.5032.14j18j4j1j0j1.40.0...0.0.t
prIjbnrlQA&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.,cf.osb&fp=74b385cc3e0e5646&biw=1024&bih=458.lihat juga di Arie Hutagalung.

lagi. Karena penting dan uniknya karakteristik dari tanah ini maka baik kapitalisme maupun
sosialisme memberikan perhatian yang sangat besar terhadapnya.Dalam pandangan ekonomi
konvensional, tanah merupakan faktor produksi yang bersifat tetap (fixed) dalam penawaran.
Total penawaran ditentukan oleh kekuatan-kekuatan non-ekonomi dan umumnya tanah tidak
dapat diperluas meskipun harga lebih tinggi atau dipersempit meskipun harga rendah. Para
ekonom klasik menyebut tanah sebagai ―hadiah alam yang orisinil dan tidak ada habishabisnya‖, yang menurut definisi penawaran totalnya tetap atau tidak elastis sempurna.18
Di Indonesia, permasalahan tanah (sumber agraria) sudah menjadi persoalan yang sangat
pelik sekaligus rawan. Hal itu tercermin dari timpangnya struktur pemilikan dan penguasaan
tanah, serta maraknya sengketa/konflik tanah yang terus terjadi di berbagai daerah. Diletakan
dalam konteks pembangunan, hal ini menimbulkan permasalahan tentang bagaimana mencari
solusi dari kondisi yang tidak menguntungkan itu, serta bagaimana mengupayakan agar
pembangunan bisa terus dilaksanakan di tengah-tengah kompleksitas permasalahan tanah yang
hingga kini belum menemukan muara pemecahannya.
Mengutip sepenggal dari sekian banyak pemikiran Bung Hatta, Tanah yang dipandang
sebagai faktor produksi utama itu, di luar tanah kediaman, hanya boleh dipandang sebagai
faktor produksi saja, dan mestinya tidak lagi menjadi objek perniagaan yang diperjualbelikan,
semata-mata untuk mencari keuntungan. Sebagai pendiri Republik ini, Bung Hatta sudah

menegaskan sejak dulu jika pemerintah sudah seharusnya mengeluarkan kebijakan pro rakyat
yang tidak lagi mengulang catatan pahit praktik-praktik kolonialisme. Dalam banyak catatan
sejarah, telah diungkapkan bagaimana eksploitasi yang dilakukan pemerintah kolonial terhadap
tanah dan tenaga kerja rakyat Indonesia. Dimulai dengan penerapan sistem sewa tanah,
cultuurstelsel, hingga diterapkannya Undang-Undang Agraria 1870, rakyat Indonesia telah

kehilangan hak atas tanah yang telah lama dikuasai oleh nenek moyangnya.19
Bahkan pemerintah kolonial memandang tanah sebagai alat pemikat bagi penanaman
modal asing perkebunan. Tanah telah dipandang sebagai komoditas strategis dalam upaya
menarik modal asing. Kenyataan pahit inilah yang melatarbelakangi pemikiran Bung Hatta

18 Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus, Makroekonomi (terj.), edisi ke-14, Jakarta: Erlangga,
1999, hlm. 312.
19

http://regional.kompasiana.com/2011/09/21/pincangnya-distribusi-penguasaan-tanah-maka-miskinlahpetani/ diunduh tgl 7 Februari 2012.

bahwa perlu segera diupayakan suatu kebijakan yang dapat mengembalikan hak-hak rakyat
Indonesia atas tanah.
Pokok-pokok pemikiran Bung Hatta itu kemudian terakomodasikan dalam Undangundang Pokok Agraria (UUPA), yang dikeluarkan dua belas tahun kemudian yaitu tahun 1960.
Baik Bung Hatta maupun UUPA sangat tidak setuju atau berupaya menghindari tanah dijadikan
objek pemerasan atau kekuasaan dan dianggap komoditas. Namun ironis, praktek-praktek
kolonialisme yang dibenci Bung Hatta itu, masih kerap terjadi hingga kini.
Memaksimalkan lahan pertanian sangat berpengaruh terhadap laju perekonomian secara
nasional. Mengutip seorang Ekonom terkemuka dari Bangladesh, Rahman Sobhan mengatakan
bahwa bila kita benar-benar ingin mewujudkan penghapusan kemiskinan di pedesaan serta
mengakselerasikan segala pembangunan ekonomi, maka tidak ada alternatif lain selain
melakukan pembaruan agraria yang radikal, yang akan mendistribusikan kembali tanah-tanah
secara merata bagi sebagian besar rakyat yang tak bertanah dan yang kekurangan tanah, dan
yang dengan sendirinya dapat menghapuskan secara total penghapusan tanah yang dominan.
E. Implementasi Konsep Ihya-u al-Mawat atau Lands Reform
Sering terdengar akhir-akhir ini terjadi krisis pangan hampir di separuh belahan dunia,
tak terkecuali dirasakan negeri kita yang sudah masuk dalam daftar negara krisis pangan.
Padahal, dulu Indonesia dikenal dengan negara agraris yang luas lahan pertaniannya melimpah
dan belum tentu dimiliki negara lain. Terdapat beberapa daerah yang menjadi andalan
pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pangan terutama daerah ibukota. Yang membentuk
sawah membentang luas hingga beratus-ratus kilo meter yang dikenal dengan istilah lumbung
padi.
Namun, saat ini sebagian lahan-lahan tersebut sudah berubah fungsi menjadi daerah
perumahan penduduk dan sebagian lahan lagi bahkan sebagian besar berpindah tangan menjadi
milik orang kota, sehingga para petani setempat hanya menjadi buruh garap yang keberadaanya
bergantung kebaikan pemilik lahan, karena memang tidak banyak yang mereka bisa lakukan
selain menggarap sawah. Padahal kita semua mengetahui, bahwa pangan merupakan kebutuhan
dasar manusia yang harus dipenuhi (basic human needs). Bahkan, Hak untuk Memperoleh
Pangan juga merupakan komponen Hak Asasi Manusia (Human Rights) , sebagaimana tercantum

di dalam ketentuan pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan “the supreme law of
the land”.

Pada umumnya, pengolahan tanah dapat mengambil dua bentuk dasar, yaitu: pertama ,
pemilik tanah mengolah sendiri tanah miliknya, dan kedua , pemilik tanah menyerahkan kepada
pihak lain untuk mengolahnya.
Bentuk pengolahan yang pertama relatif tidak menimbulkan perbedaan pendapat di
kalangan ulama. Mengolah sendiri di sini tidak berarti seluruh kegiatan pengolahan harus
dilakukan sendiri secara teknis dan fisik oleh pemilik tanah, tetapi ia dapat membayar para
pekerja untuk mengolah tanah ini. Sementara, bentuk pengolahan yang kedua, yaitu
menyerahkan kepada pihak lain, dapat dibagi lagi menjadi dua macam penyerahan, yaitu:
pertama , penyerahan secara cuma-cuma atau gratis dan kedua , penyerahan dengan imbalan.

Menyerahkan tanah kepada pihak lain secara cuma-cuma untuk menggarapnya merupakan sikap
mulia yang mencerminkan rasa persaudaraan dan kemurahan hati. Pada macam penyerahan yang
kedua, yaitu penyerahan dengan pengenaan sewa, telah menimbulkan perbedaan pendapat.
Perbedaan pandangan atas sewa tanah ini muncul terutama disebabkan karena adanya perbedaan
dalam memahami makna hadits-hadits yang relevan.
Dalam hal sewa tanah untuk pemanfaatan di luar pertanian, misalnya untuk industri,
perumahan atau perdagangan, maka jumhur ulama berpandangan boleh (mubah). Tetapi, sewa
tanah untuk pemanfaatan pertanian telah menimbulkan perbedaan pendapat. Pada dasarnya
perbedaan pendapat ini dapat dibagi dua, yaitu: (1) yang membolehkan sewa tanah, dan (2) yang
tidak membolehkan sewa tanah. Pandangan yang membolehkan sewa tanah dapat dipecah lagi
menjadi:
1. Pandangan pertama , yaitu sewa tanah lebih baik didasarkan atas sistem bagi hasil, bukan
sistem sewa tetap.
2. Pandangan kedua , yaitu sewa tanah lebih baik dilakukan dengan sewa tetap, sebab pada
dasarnya tanah dapat dianalogikan (qiyas) seperti kekayaan lainnya.
3. Pandangan ketiga , yaitu sewa tanah dapat dilakukan baik dengan sewa tetap ataupun
sistem bagi hasil. Sementara yang tidak membolehkan sewa tanah membawa implikasi
bahwa penyerahan tanah untuk digarap pihak lain harus bersifat cuma-cuma, jadi tidak
ada sewa dalam bentuk apapun. Jika tidak dapat mengolah sendiri tanah yang dimiliki

maka harus diserahkan kepada orang lain (yang dapat menggarapnya) dengan tanpa
perjanjian imbalan apapun, baik dengan imbalan bagi hasil maupun sewa tetap.
Seperti yang telah diungkapkan di atas, penguasaan tanah tanpa digarap atau tanah
kosong dalam Islam dibebankan membayar zakat. Ini menjadi motivator pemiliknya agar tanah
tersebut tidak diterlantarkan. Sebagaimana dalam diungkapkan dalam al-Hadis: ―Hendaklah
menanami (tanah) atau menyerahkannya untuk digarap. Barang siapa yang tidak melakukan
salah satu atau keduanya, maka tahanlah tanahnya ‖.

Terdapat beberapa akad dalam upaya memproduktifkan tanah menurut pandangan Islam,
tujuannya agar tanah tidak diam (unproduktif), di antaranya adalah;
1. Akad Muzara’ah ialah 'Anda menyerahkan sebidang tanah kepada orang lain untuk ditanami
tanaman, dengan perjanjian: hasil tanamannya dibagi antara Anda berdua dalam persentase
yang disepakati'. (Raudhatuth Thalibin oleh An-Nawawi, 5:168; Al-Mughnioleh Ibnu
Qudamah, 7:555; Mughni Al-Muhtaj oleh As-Sarbini, 2:323)
2. Akad Musaaqah ialah 'Anda menyerahkan perkebunan milik Anda kepada seseorang untuk ia
rawat, dengan perjanjian: hasil panen kebun tersebut dibagi antara Anda berdua dalam
persentase yang disepakati'. (Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, 7:527;Raudhatuth Thalibin,
5:150)
Rasulullah SAW pernah melakukan akad musaqah dengan penduduk Khaibar
sebagaimana dijelaskan dalam al-Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, yang artinya: “Dari
Ibnu Umar RA, “sesungguhnya Rasulullah SAW mempekerjakan penduduk Khaibar dengan
upah separuh dari hasil (lahan) yang diperoleh berupa buah-buahan atau tanaman”. (HR.

Muslim).
Syafi‘iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwasaanya akad musaaqah ini di
perbolehkan dikarenakan Rasulullah SAW pernah melakukan akad musaaqah dengan penduduk
Khaibar sebagaimana dijelaskan dalam al-Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar:
Artinya: “Dari Ibnu Umar RA, “sesungguhnya Rasulullah SAW mempekerjakan penduduk
Khaibar dengan upah separuh dari hasil (lahan) yang diperoleh berupa buah-buahan atau

tanaman”. (HR. Muslim).
Konsep di atas sesungguhnya menggunakan konsep Bagi Hasil. Sistem bagi hasil
merupakan kesepakatan antara pemilik dan penyewa tanah tentang porsi bagi hasil, akan tetapi
hasil yang diperoleh baru diketahui setelah panen dilakukan. Sistem bagi hasil yang dilakukan

atas tanah pertanian disebut muzara’ah dan apabila dilakukan atas perkebunan disebut
musaaqah.

Kebanyakan ulama yang mendukung sistem sewa tanah dengan bagi hasil, misalnya
madzhab Hanafi, Abu Yusuf, dan lain-lain, berpendapat bahwa sistem ini lebih dekat kepada
keadilan dibandingkan dengan sistem sewa tetap. Kerjasama muzara’ah atau musaaqah
dipandang lebih adil, mencerminkan sikap tolong menolong, dan lebih sehat bagi kegiatan
ekonomi karena antara pemilik dan penyewa tanah akan bersama-sama menikmati hasil dan
menanggung kerugian secara proporsional.
Akan tetapi juga banyak ulama yang tidak sependapat dengan sistem bagi hasil dalam
pengolahan tanah ini, termasuk Imam Malik, Imam Syafi‘i, dan Imam Abu Hanifah. Imam Abu
Hanifah berpendapat bahwa: pertama , Rasulullah SAW. dengan tegas melarang mukhabira ,
yang dalam bahasa daerah di Medinah dianggap memiliki makna yang sama dengan muzara’ah,
yaitu memadukan penggarapannya antara pemilik tanah dan penggarap yang menyepakati bahwa
apapun yang dihasilkan tanah tersebut keduanya akan mendapat bagian tertentu. Kedua ,
membuat perjanjian pengolahan dengan menyewa tenaga kerja terlarang i