PENDIDIKAN SEBAGAI UPAYA REKONSTRUKSI SO
PENDIDIKAN SEBAGAI UPAYA REKONSTRUKSI SOSIAL:
Perspektif Filsafat Rekontruksionisme
Oleh: Mukodi, M.S.I.
Dosen PBSI STKIP PGRI Pacitan
Email: [email protected]
Abstrak:
Artikel ini merupakan kajian kepustakaan (library research). Bersifat
deskriptif-analitik, yakni berusaha menggambarkan secara jelas dan
sistematis obyek kajian, lalu menganalisis bahasan riset. Data yang
terkumpul atau tersusun dianalisis, kemudian ditarik sebuah kesimpulan.
Kajian ini bertujuan untuk membedah historisitas aliran filsafat
rekonstruksionisme; pokok-pokok pemikiran filsafat rekonstruksionisme;
tujuan, metode dan kurikulum pendidikan rekonstruksionisme.
Hasil kajian ini menemukan bahwa; 1) kaum rekonstruksionism
melakukan rekonstruksi sosial melalui pendidikan dengan membentuk
aliran filsafat rekonstruksionisme; 2) metode pengajaran ala
rekonstruksionism didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis; 3)
kurikulum pendidikan rekonstruksionism menekankan pada penumbuhan
kesadaran kritis dan membangun kesadaran polyculture dengan
mengapresiasi keragaman budaya, adat istiadat suku tertentu untuk
menanamkan nilai-nilai pluralisme kultural peserta didik.
Kata
Kunci:
rekonstruksi
sosial,
pendidikan
dan
aliran
rekonstruksionisme.
Dewasa ini, moral keserakahan ekonomi, moral, kekuasaan otoriter politik,
dan moral ketikadilan hukum justru merajalela ketika pendidikan berada pada titik
puncak “kemajuan”. Fakta membuktikan bahwa teknologi dan industri sebagai
produk pendidikan berhasil mendorong dinamika kehidupan melaju begitu cepat.
Dahulu, seorang menjadi kaya harta setelah puluhan tahun sabar menunggu
ternaknya beranak pinak secara alami. Kini dengan teknologi produksi, dalam
waktu singkat jumlah ternaknya berlipat ganda. Apalagi, jika peralatan teknologi
dipergunakan secara amoral, dalam waktu sekejap dan dengan satu unit komputer,
seseorang bisa membobol bank dan mendapatkan triliunan rupiah (Suparlan,
2007: 27).
Faktor dominan munculnya kontradiksi ini diperkirakan karena pendidikan
tidak difungsikan untuk mengawal teknologi sampai pada tingkat
pemberdayaannya. Pendidikan tidak ditumbuhkembangkan dalam perilaku
keseharian. Manusia sengaja melepaskan pendidikan atau pendidikan dilepaskan
oleh manusia dari sistem pemberdayaan teknologi. Ketika terlepas dari bingkai
pendidikan, teknologi dan industri otomatis memberikan keleluasaan terhadap
perkembangan moral keserakahan (Suparlan, 2007: 27). Kondisi seperti ini
menjadi sangat rasional. Mengingat, dulu pendidikan berbasis moral, tapi
sekarang pendidikan berbasis pengetahuan. Praktis, sepanjang moral mendukung
1
pengetahuan, maka moral akan digunakan. Sebaliknya, jika moral tidak
mendukung pengetahuan pastilah moral akan disingkirkan (Suyata, 21/9/2011).
Pasar bebas dan efek domino dari globalisasi pun menyebabkan pendidikan
di Indonesia pun kini menjadi sangat mahal. Ibarat menara gading, di mana para
penikmat pendidikan hanyalah sekelompok orang kaya. Efek domino dari krisis
multidimensional, menimbulkan depresi ekonomi yang membuat lembaga
pendidikan menjadi badan otonom sekaligus menjadi lahan bisnis baru para
pemilik modal. Mirip dengan depresi ekonomi yang menimpa Amerika tahun
1930-an. Sebuah kelaparan di tengah kemakmuran.
Dalam konteks itu, pendidikan sebagai upaya rekonstruksi sosial yang
ditawarkan aliran rekonstruksianisme merupakan seperangkat gagasan dan
tawaran pemikiran alternatif yang bisa diadapsi oleh pemikir pendidikan untuk
membebaskan pendidikan dari jebakan “carut-marut” sosial budaya, politik dan
kepentingan pendidikan di Indonesia saat ini. Pendidikan seharusnya untuk
membebaskan manusia dari “kerangkeng” kebodohan, dan hadir dalam upaya
rekonstruksi sosial pada masyarakat secara menyeluruh.
Sejarah Filsafat Rekonstruksionisme
Rekontruksionisme sebagai sebuah sistem pendidikan, berawal dari
terbitnya buku John Dewey pada tahun 1920, yang berjudul Rekcontruction in
Philosophy. Buku ini lalu dijadikan gerakan oleh George Counts dan Harold Rugg
pada tahun 1930-an, melalui keinginan mereka untuk menjadikan lembaga
pendidikan sebagai media rekonstruksi terhadap masyarakat. Pada tahun 1932,
George Counts (1889-1974) mengkritik praktik-praktik sekolah yang telah
mengabdikan ketidaksamaan-ketidaksamaan yang mencolok berdasarkan ras,
kelas, dan etnik. Ia menegaskan bahwa skolah-sekolah menengah umum telah
menjadi milik orang-orang berkelas sosial tinggi dan keluarga yang
berkecukupan.
Melalui tulisannya yang berjudul, Dare the School Build a New Social
Order?, ia lalu mencoba mempertanyakan bagaimana sistem sosial dan ekonomi
masyarakat pada saat itu, telah menjadi persoalan yang cukup mendasar bagi
masyarakat. Maka pendidikan menurutnya, harus menjadi agen perubahan bagi
rekontruksi sosial. Ia juga menkritik model pendidikan progresifisme yang telah
gagal mengembangkan sebuah teori kesejahteraan sosial dan bahkan ia
menegaskan bahwa pendidikan yang berpusat pada anak (the child centered
approach) tidak menjamin bagi terciptanya ketrampilan-ketrampilan dan
pengetahuan yang diperlukan dalam menghadapi abad ke-20.
Aliran rekonstruksionalisme pada hakikatnya sepaham dengan aliran
perennialisme yang sama-sama ingin mengatasi krisis kehidupan modern. Hanya
saja jalan yang ditempuhnya berbeda dengan apa yang dipakai oleh perennialisme,
tetapi sesuai dengan istilah yang dikandungnya, yaitu berusaha membina suatu
konsensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan
tertinggi dalam kehidupan manusia (restore to the original form) (Zuhairini, dkk.,
2008: 29). Aliran filsafat ini mendasarkan gagasan rekonstruksinya pada para
filsuf terdahulu yang dianggap sebagai filsuf rekonstruksianis, di antaranya:
2
1) Plato menegaskan bahwa pendidikan menjadi pilar utama dari pembangunan
masyarakat baru dan masyarakat terbaik yang di dalamnya terjadi ekualitas
seksual, pembinaan pendidikan anak-anak secara komunal, dan diperintah oleh
pemimpin yang memiliki akreditasi filosofis.
2) Stoic seperti Marcus Aurelius, seorang raja sekaligus filsuf kerajaan Romawi,
mempromosikan “negara dunia” ideal yang terbebaskan dari sekat-sekat
nasionalisme dan chauvinisme.
3) St. Augustine juga menawarkan upaya rekonstruksi melalui negara Kristen
ideal (The City of God). Revolusi industri yang cenderung menjadikan
teknologi memperkaya segelintir pemilik modal. Muncul pemikir seperti
Comte de Saint Simon, Charles Fourier, Robert Owen, Francois Noel Babeuf,
dan Edward Bellamy.
4) Karl Marx, melihat penderitaan kaum proletar didehumanisasi oleh sistem
industri kapitalis, dan berupaya merekonstruksi masyarakat dunia, dengan
berdasarkan jaringan komunisme internasional.
Pendidikan sebagai instrumen utama dalam melakukan perubahan sosial,
contohnya Plato yang menegaskan bahwa pendidikan sebagai sine qua non dari
masyarakat terbaik; Marx melihat pendidikan sebagai jalan untuk membantu
kaum proletar dalam mengembangkan pandangan mengenai “kesadaran sosial”.
Di Amerika Serikat, sebut saja, Horace Mann, Henry Barnard, William Torrey
Harris, Francis Parker dan John Dewey. Dewey (tokoh aliran pragmatisme)
melihat pendidikan sebagai instrumen perubahan individu dan masyarakat.
Meskipun dibangun dari aliran pragmatisme, aliran rekonstruksianisme tidak
sekedar mempromosikan metode saintifik, problem solving, naturalisme dan
humanisme,
tapi bagaimana penerapan metode pragmatis dalam dunia
pendidikan. Tidak hanya “memperbaiki” masyarakat, tetapi juga ingin melakukan
perubahan sosial.
Aliran rekonstruksianisme sama dengan perennialisme dalam satu prinsip
bahwa ada kebutuhan mendesak untuk kepastian bagi kebudayaan zaman modern
yang simpang siur saat ini (Djumransjah, 2004: 188). Aliran rekonstruksianisme
mempunyai visi dan metode pemecahan masalah mengembalikan kebudayaan
yang serasi dengan kehidupan. Sedangkan perennialisme memilih untuk kembali
ke alam kebudayaan lama (regressive road culture) sebagai solusi yang paling
ideal (Barnaadib, 1994: 5). Mengapa aliran rekonstruksianisme muncul?
Jawabnya, tentunya sangat beragam di antaranya adalah sebagai berikut:
1) terjadi kesenjangan antara teori dan praktik dalam pendidikan dan kekecewaan
terhadap teori-teori umum (general theory) yang tidak dapat bersikap “kritis”.
Sehingga diperlukan teori yang membumi (grounded theory) yang mampu
mengapresiasi aspek sosial, budaya, dan politik secara maksimal. Serangan
terhadap teori umum dimulai oleh C. Wright Mills dan mengalami puncaknya
pada Habermas.
2) diperlukan suatu teori kritis yang substantif mengenai masyarakat yang
dikembangkan ke taraf metateoritis dalam kaitannya dengan upaya refleksi diri
terhadap teori dan metode.
3
3) kepedulian yang mendalam terhadap nasib umat manusia di mana individuindividu sebagai insan sosial dikontekstualisasikan dalam totalitas sosial yang
berupa kultur material dan spiritual.
4) melakukan emansipasi sosial dan berusaha menemukan teori sosial yang
mampu memikul tanggung jawab berupa perlawanan terhadap status quo.
5) upaya kritik yang lebih luas terhadap kenyataan bahwa kultur kapitalis adalah
bentuk manipulasi dan penguasaan, yang secara total meresapi struktur psikis
dan sosial (Muhammad N.S., 1978: 183).
Jelasnya, aliran rekonstruksianisme mensandarkan pada dua premis mayor.
Pertama, masyarakat membutuhkan rekonstruksi konstan atau perubahan.
Kedua, perubahan sosial juga adalah rekonstruksi pendidikan dan menggunakan
pendidikan sebagai wahana rekonstruksi masyarakat. Dengan demikian,
dibutuhkan adanya tatanan yang bisa mengubah, dan filsafat rekonstruksianisme
menjadi pijakan. Rekonstruksianisme pun bertujuan untuk mengkongkretisasi
kehidupan, dan perlu dibentuk institusi sosial yang diawasi masyarakat, anak,
sekolah dan pendidikan yang sesuai tuntutan masyarakat (Zuhairini, dkk.,
2008:29).
Pokok Pemikiran Pendidikan Rekonstruksionisme
Dunia sedang dilanda krisis kemanusiaan, jika praktik-praktik pendidikan
yang ada tidak segera direkonstruksi, maka peradaban dunia yang ada akan
mengalami kehancuran. Krisis yang dimaksud adalah problem-problem sosial
budaya yang timbul akibat semrawutnya persoalan pendudukan, sumber daya
alam yang kian menipis, berakibat pada melonjaknya harga minyak dunia,
kesenjangan global antara negara kaya dan miskin, kapitalisme global, proliferasi
nuklir, rasisme, nasionalisme sempit dan penyalahgunaan teknologi (George R.K.,
2007: 186). Seperti diketahui, teknologi saintifik adalah penyumbang terbesar
terjadinya peperangan dan bisa membunuh manusia secara efisien lebih dari
sebelumnya, tingginya tingkat kematian dari kecelakaan lalu-lintas dan industri
menjadi harga yang sangat mahal dari kehidupan yang serba mekanistik saat ini
(Djumransjah, 2004: 188).
Teknologi saintifik juga menciptakan budaya rokok dan alkohol serta
meningkatkan bahaya kimiawi yang terkandung pada makanan dan lahan
pertanian. Padahal, Albert Einstein pernah mengatakan bahwa “ilmu (saintifik)
seharusnya membebaskan kita dari pekerjaan yang melelahkan malah menjadikan
manusia budak-budak mesin....” (Suriasumantri, 1999: 243). Praktis, bangsabangsa dunia mempunyai hasrat yang sama untuk menciptakan satu dunia baru,
dengan satu kebudayaan baru di bawah satu kedaulatan dunia, dalam pengawasan
manusia (Zuhairini, dkk., 2008:29). Untuk mengatasi persoalan-persoalan global
tersebut, perlu sebuah tatanan sosial semesta yaitu kolaborasi menyeluruh dari
seluruh elemen bangsa dunia untuk bersatu menciptakan tata sosial baru yang
berasaskan keadilan dan kepentingan kemanusiaan seluruh umat manusia, dan
mengabaikan batasan-batasan primordial seperti ras, warna kulit, suku, bangsa
dan agama.
Pendidikan formal adalah agen utama dalam upaya rekonstruksi tatanan
sosial. Aliran rekonstruksianisme menilai sekolah-sekolah formal yang ada
4
merefleksikan nilai-nilai sosial dominan yang hanya akan mengalihkan patologi
sosial, politik, ekonomi dan budaya yang saat ini mendera umat manusia. Karena
nya sekolah-sekolah formal harus merekonstruksi secara mendasar peran
tradisionalnya dan menjadi sumber inovasi sosial. Bagi mereka pendidikan dapat
menjadi instrumen penting untuk membentuk keyakinan masyarakat dan
mengarahkan peralihannya ke masa depan (George R.K., 2007: 187).
Rekonstruksianisme menekankan pada kebutuhan akan perubahan, ini
adalah cita-cita dan tujuan utopis yang dihubungkan dengan kebudayaan dunia
dan peradaban. Baginya tujuan spesifik dari proses pendidikan adalah untuk
mengakomodir perubahan sosial dan aksi sosial. Tujuan pendidikan ini adalah
sejenis perkembangan evolusioner dari paradigma Hegelianisme yang
dihubungkan dengan pragmatisme Dewey. Rekonstruksianis ingin melibatkan
orang-orang untuk menjadi agen perubahan, dan menolak untuk mengabstraksi
filosofi pendidikan yang lebih menekankan pengetahuan (knowing) daripada
praktik (doing).
Praktis, kaum rekonstruksionis tidak memandang sekolah sebagai satu-satu
alat untuk melaksanakan perubahan secara tunggal. Tapi, institusi pendidikan
dapat menyatukan semua elemen masyarakat menuju perubahan yang lebih baik.
Hal ini didasari, karena sekolah telah bertahun-tahun bersentuhan dengan anak
didik (George R.K., 2007: 188). Dengan demikian, bagi rekonstruksionis sekolah
dijadikan alat atau media untuk mencapai tatanan yang lebih progresif dan
berkemakmuran.
Metode Pendidikan Ala Rekonstruksionisme
Metode pendidikan merupakan komponen yang tidak boleh diabaikan dalam
proses pendidikan, karena metode turut menentukan sukses atau tidaknya suatu
tujuan pendidikan. Tidak heran, jika sebagian kalangan berpendapat bahwa
metode itu lebih penting dari pada materi (Mukodi, 2011: 77). Bahkan, Imam
Barnadib pun mengingatkan bahwa metode pendidikan mempunyai kedudukan
yang sangat penting dan bila dapat dipilih secara cermat akan mempunyai
pengaruh yang signifikan. Hal ini didasarkan pada kodrat kemanusiaannya.
Manusia sebagai yang “kompleks” dan hidup dalam masyarakat yang penuh
“kompleksitas” ini dapat berkembang “melampui” subtansinya dengan “relasirelasi” yang memadai (Barnadib, 2002: 36). Lantas bagaimana metode pendidikan
rekonstruksionisme?
Menurut perspektif rekonstruksionis, bahwa metode pengajaran hakikatnya
harus didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis yang bertumpu pada kecerdasan
“asali” jumlah mayoritas untuk merenungkan dan menawarkan solusi yang valid
bagi persoalan-persoalan umat manusia. Adalah sebuah keharusan bahwa
prosedur-prosedur demokratis perlu digunakan di ruangan kelas setelah para
peserta didik diarahkan kepada kesempatan memilih diantara keragaman pilihanpilihan ekonomi, politik, sosial. Tak heran, jika Brameld dan kolega-koleganya
memberikan kepercayaan yang sangat besar terhadap kekuatan guru sebagai
instrumen utama dari perubahan sosial (George R.K., 2007: 187).
Kalangan rekonstruksionis, seperti aliran-aliran gerakan progresif lainnya,
tidaklah tunggal dalam pandangan mereka tentang demokrasi sebagai sistem
5
politik terbaik. Dari perspektif mereka, adalah sebuah keharusan bahwa prosedurprosedur demokratis perlu digunakan di ruangan kelas setelah peserta didik
diarahkan kepada kesempatan-kesempatan untuk memilih di antara keragaman
pilihan-pilihan ekonomi, politik dan sosial. (George R.K., 2007: 187).
Lebih penting lagi, menurut aliran ini meniscayakan adanya kemerdekaan
berfikir peserta didik. Hal ini sesuai dengan falsafah Ki Hadjar Dewantara yang
memberikan kemerdekaan seluas-luasnya kepada peserta didik. (Dewantara, 1977:
243). Brameld pun menggunakan istilah „pemihakan deferensif‟ untuk
mengungkapkan posisi (pendapat) guru dalam hubungannya dengan item-item
kurikuler yang kontroversial. Dalam menyikapi hal ini, guru membolehkan uji
pembuktian terbuka yang setuju dengan pendapatnya, dan ia menghadirkan
pendapat-pendapat alternatif sejujur mungkin. Di sisi lain, guru dituntut agar
terbuka dalam berpendapat dan mendialogkan kepada peserta didik. (George R.K.,
2007: 187).
Kurikulum Pendidikan Rekonstruksionisme
Tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan anak didik ke arah
kemasakan. Masak dalam arti hidup akalnya, maka akal inilah yang perlu
mendapat tuntunan ke arah kemasakan itu (Barnadib, 1994:78). Menyadari tugas
berat tersebut, rekonstruksianisme pun meracik dan mengorganisir kurikulumnya
sedemikian rupa. Racikan inilah oleh Brameld disebut sebagai “the wheel” (roda)
kurikulum; inti tujuan pendidikan versi rekonstruksianisme menjadi inti dari
kurikulum “roda” tersebut dan menjadi tema sentral pendidikan. Kurikulum ini
bersifat sentripetal sekaligus sentrifugal. Sentripetal karena akan membawa
masyarakat atau komunitas bersama kepada studi yang bersifat umum. Sentrifugal
karena akan meningkatkan proyeksi pendidikan di sekolah-sekolah formal ke
dalam komunitas yang lebih luas. Hal tersebut secara tidak langsung akan
menciptakan transformasi kultural di dalam hubungan yang dinamis antara
sekolah dan masyarakat.
Implikasi pemikiran filosofis rekonstruksianisme dalam kurikulum
diarahkan kepada penumbuhan kesadaran kritis peserta didik dengan model
keaksaraan kritis pada materi yang diajarkan. Selain itu, kurikulum ditekankan
pada upaya membangun kesadaran polyculture dengan mengapresiasi keragaman
budaya, adat istiadat suku tertentu utk menanamkan nilai-nilai pluralisme kultural.
Rekonstruksianisme mengajukan kurikulum semesta yang menekankan
pada kebenaran, persaudaraan dan keadilan. Mereka menolak kurikulum parokial
yang sempit dan hanya membawa kepentingan ideal komunitas lokal tertentu.
Contohnya, pengajaran sejarah dunia semestinya juga diarahkan pada kerja-kerja
kontemporer lembaga-lembaga internasional seperti PBB, ASEAN, OKI dan lainlain. Kurikulum juga diorientasikan pada aksi peserta didik, seperti gerakan
mengumpulkan dana amal, terlibat dalam petisi, protes atau demo bersama
masyarakat untuk merespons kebijakan negara yang menimbulkan problematika
sosial. Peserta didik tidak hanya belajar dari buku, tetapi juga belajar pada
fenomena sosial yang ada seperti kemiskinan, perusakan alam, polusi udara,
pemanasan global, pornografi dan lain-lain.
6
Oleh karena itu, rekonstruksianisme menjadikan aspek-aspek sosial, budaya
dan isu-isu kontemporer menjadi muatan inti kurikulum, agar peserta didik
memiliki kepekaan dan empati sosial. Kurikulum tersebut harus mulai
diimplementasikan sejak TK pada usia yang paling peka. Dengan demikian,
peserta didik dapat menjadi penggerak utama pencerahan problem-problem sosial
dan menjadi agitator utama perubahan sosial. Demikian pula proyeksi hubungan
kemanusiaan dan aspek politik harus ditekankan untuk menumbuhkan kesadaran
politik para peserta didik sehingga “nalar kritis” terhadaP berbagai ketimpangan
sosial politik yang diakibatkan oleh kesewenang-wenangan status quo, dapat
menjadi modal dasar untuk melahirkan agen-agen perubahan sosial dimasa
selanjutnya.
Kesimpulan
Aliran rekonstruksionisme memiliki persepsi bahwa masa depan suatu
bangsa merupakan suatu dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara
demokratis sehingga perubahan-perubahan untuk mencapai suatu tujuan yang
lebih baik akan selalu diadakan dan dijadikan realita, dan bukan dunia yang
dikuasai oleh golongan tertentu, sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan
potensi-potensi teknologi yang mampu meningkatkan kualitas pendidikan,
kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa
membedakan warna kulit, keturunan, agama dan masyarakat yang bersangkutan,
akan tetapi perubahan yang digunakan untuk kepentingan bersama.
Metode pendidikan merupakan komponen yang tidak boleh diabaikan dalam
proses pendidikan, karena metode turut menentukan sukses atau tidaknya suatu
tujuan pendidikan. Menurut perspektif rekonstruksionis, bahwa metode
pengajaran hakikatnya harus didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis yang
bertumpu pada kecerdasan “asali” jumlah mayoritas untuk merenungkan dan
menawarkan solusi yang valid bagi persoalan-persoalan umat manusia. Praktis,
inti tujuan pendidikan versi rekonstruksianisme menjadi inti dari kurikulum
“roda” tersebut dan menjadi tema sentral pendidikan itu sendiri.
7
Daftar Pustaka
Akinpelu, JA. (1988). An Introduction Philosophy of Education. London:
Macmillan Published Lid.
Barnadib, Imam. (2002). Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Adi Cipta.
--------------------. (1994). Filsafat Pendidikan; Pengantar Mengenal Sistem dan
Metode. Yogyakarta: ANDI OFFSET.
Counts, George S. (1932). Dare the School Build a New Social Order? New
York: John Day Co.
Djumransjah. (2006). Filsafat Pendidikan. Malang: Bayumedia Publishing.
Gazalba, Sidi. (1973). Sistematika Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang.
Illeris, Knud. (2002). The Three Dimension of Learning. Florida: Krieger
Publishing Company.
Mukodi. (2011). Pendidikan Islam Terpadu Reformulasi Pendidikan di Era
Global. Yogyakarta: Aura Pustaka.
Noorsjam, M. (1978). Pengantar Filsafat Pendidikan. Malang: FIP IKIP.
R. Knight, George. (2007). Filsafat Pendidikan. Penerjemah, Mahmud Arif.
Yogyakarta: Gama Media.
Suriasumantri, Jujun S. (1982). Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: PT. Gramedia.
Tim Taman Siswa. (1977). Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama.
Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Zuhairini, dkk. (2008). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
8
Perspektif Filsafat Rekontruksionisme
Oleh: Mukodi, M.S.I.
Dosen PBSI STKIP PGRI Pacitan
Email: [email protected]
Abstrak:
Artikel ini merupakan kajian kepustakaan (library research). Bersifat
deskriptif-analitik, yakni berusaha menggambarkan secara jelas dan
sistematis obyek kajian, lalu menganalisis bahasan riset. Data yang
terkumpul atau tersusun dianalisis, kemudian ditarik sebuah kesimpulan.
Kajian ini bertujuan untuk membedah historisitas aliran filsafat
rekonstruksionisme; pokok-pokok pemikiran filsafat rekonstruksionisme;
tujuan, metode dan kurikulum pendidikan rekonstruksionisme.
Hasil kajian ini menemukan bahwa; 1) kaum rekonstruksionism
melakukan rekonstruksi sosial melalui pendidikan dengan membentuk
aliran filsafat rekonstruksionisme; 2) metode pengajaran ala
rekonstruksionism didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis; 3)
kurikulum pendidikan rekonstruksionism menekankan pada penumbuhan
kesadaran kritis dan membangun kesadaran polyculture dengan
mengapresiasi keragaman budaya, adat istiadat suku tertentu untuk
menanamkan nilai-nilai pluralisme kultural peserta didik.
Kata
Kunci:
rekonstruksi
sosial,
pendidikan
dan
aliran
rekonstruksionisme.
Dewasa ini, moral keserakahan ekonomi, moral, kekuasaan otoriter politik,
dan moral ketikadilan hukum justru merajalela ketika pendidikan berada pada titik
puncak “kemajuan”. Fakta membuktikan bahwa teknologi dan industri sebagai
produk pendidikan berhasil mendorong dinamika kehidupan melaju begitu cepat.
Dahulu, seorang menjadi kaya harta setelah puluhan tahun sabar menunggu
ternaknya beranak pinak secara alami. Kini dengan teknologi produksi, dalam
waktu singkat jumlah ternaknya berlipat ganda. Apalagi, jika peralatan teknologi
dipergunakan secara amoral, dalam waktu sekejap dan dengan satu unit komputer,
seseorang bisa membobol bank dan mendapatkan triliunan rupiah (Suparlan,
2007: 27).
Faktor dominan munculnya kontradiksi ini diperkirakan karena pendidikan
tidak difungsikan untuk mengawal teknologi sampai pada tingkat
pemberdayaannya. Pendidikan tidak ditumbuhkembangkan dalam perilaku
keseharian. Manusia sengaja melepaskan pendidikan atau pendidikan dilepaskan
oleh manusia dari sistem pemberdayaan teknologi. Ketika terlepas dari bingkai
pendidikan, teknologi dan industri otomatis memberikan keleluasaan terhadap
perkembangan moral keserakahan (Suparlan, 2007: 27). Kondisi seperti ini
menjadi sangat rasional. Mengingat, dulu pendidikan berbasis moral, tapi
sekarang pendidikan berbasis pengetahuan. Praktis, sepanjang moral mendukung
1
pengetahuan, maka moral akan digunakan. Sebaliknya, jika moral tidak
mendukung pengetahuan pastilah moral akan disingkirkan (Suyata, 21/9/2011).
Pasar bebas dan efek domino dari globalisasi pun menyebabkan pendidikan
di Indonesia pun kini menjadi sangat mahal. Ibarat menara gading, di mana para
penikmat pendidikan hanyalah sekelompok orang kaya. Efek domino dari krisis
multidimensional, menimbulkan depresi ekonomi yang membuat lembaga
pendidikan menjadi badan otonom sekaligus menjadi lahan bisnis baru para
pemilik modal. Mirip dengan depresi ekonomi yang menimpa Amerika tahun
1930-an. Sebuah kelaparan di tengah kemakmuran.
Dalam konteks itu, pendidikan sebagai upaya rekonstruksi sosial yang
ditawarkan aliran rekonstruksianisme merupakan seperangkat gagasan dan
tawaran pemikiran alternatif yang bisa diadapsi oleh pemikir pendidikan untuk
membebaskan pendidikan dari jebakan “carut-marut” sosial budaya, politik dan
kepentingan pendidikan di Indonesia saat ini. Pendidikan seharusnya untuk
membebaskan manusia dari “kerangkeng” kebodohan, dan hadir dalam upaya
rekonstruksi sosial pada masyarakat secara menyeluruh.
Sejarah Filsafat Rekonstruksionisme
Rekontruksionisme sebagai sebuah sistem pendidikan, berawal dari
terbitnya buku John Dewey pada tahun 1920, yang berjudul Rekcontruction in
Philosophy. Buku ini lalu dijadikan gerakan oleh George Counts dan Harold Rugg
pada tahun 1930-an, melalui keinginan mereka untuk menjadikan lembaga
pendidikan sebagai media rekonstruksi terhadap masyarakat. Pada tahun 1932,
George Counts (1889-1974) mengkritik praktik-praktik sekolah yang telah
mengabdikan ketidaksamaan-ketidaksamaan yang mencolok berdasarkan ras,
kelas, dan etnik. Ia menegaskan bahwa skolah-sekolah menengah umum telah
menjadi milik orang-orang berkelas sosial tinggi dan keluarga yang
berkecukupan.
Melalui tulisannya yang berjudul, Dare the School Build a New Social
Order?, ia lalu mencoba mempertanyakan bagaimana sistem sosial dan ekonomi
masyarakat pada saat itu, telah menjadi persoalan yang cukup mendasar bagi
masyarakat. Maka pendidikan menurutnya, harus menjadi agen perubahan bagi
rekontruksi sosial. Ia juga menkritik model pendidikan progresifisme yang telah
gagal mengembangkan sebuah teori kesejahteraan sosial dan bahkan ia
menegaskan bahwa pendidikan yang berpusat pada anak (the child centered
approach) tidak menjamin bagi terciptanya ketrampilan-ketrampilan dan
pengetahuan yang diperlukan dalam menghadapi abad ke-20.
Aliran rekonstruksionalisme pada hakikatnya sepaham dengan aliran
perennialisme yang sama-sama ingin mengatasi krisis kehidupan modern. Hanya
saja jalan yang ditempuhnya berbeda dengan apa yang dipakai oleh perennialisme,
tetapi sesuai dengan istilah yang dikandungnya, yaitu berusaha membina suatu
konsensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan
tertinggi dalam kehidupan manusia (restore to the original form) (Zuhairini, dkk.,
2008: 29). Aliran filsafat ini mendasarkan gagasan rekonstruksinya pada para
filsuf terdahulu yang dianggap sebagai filsuf rekonstruksianis, di antaranya:
2
1) Plato menegaskan bahwa pendidikan menjadi pilar utama dari pembangunan
masyarakat baru dan masyarakat terbaik yang di dalamnya terjadi ekualitas
seksual, pembinaan pendidikan anak-anak secara komunal, dan diperintah oleh
pemimpin yang memiliki akreditasi filosofis.
2) Stoic seperti Marcus Aurelius, seorang raja sekaligus filsuf kerajaan Romawi,
mempromosikan “negara dunia” ideal yang terbebaskan dari sekat-sekat
nasionalisme dan chauvinisme.
3) St. Augustine juga menawarkan upaya rekonstruksi melalui negara Kristen
ideal (The City of God). Revolusi industri yang cenderung menjadikan
teknologi memperkaya segelintir pemilik modal. Muncul pemikir seperti
Comte de Saint Simon, Charles Fourier, Robert Owen, Francois Noel Babeuf,
dan Edward Bellamy.
4) Karl Marx, melihat penderitaan kaum proletar didehumanisasi oleh sistem
industri kapitalis, dan berupaya merekonstruksi masyarakat dunia, dengan
berdasarkan jaringan komunisme internasional.
Pendidikan sebagai instrumen utama dalam melakukan perubahan sosial,
contohnya Plato yang menegaskan bahwa pendidikan sebagai sine qua non dari
masyarakat terbaik; Marx melihat pendidikan sebagai jalan untuk membantu
kaum proletar dalam mengembangkan pandangan mengenai “kesadaran sosial”.
Di Amerika Serikat, sebut saja, Horace Mann, Henry Barnard, William Torrey
Harris, Francis Parker dan John Dewey. Dewey (tokoh aliran pragmatisme)
melihat pendidikan sebagai instrumen perubahan individu dan masyarakat.
Meskipun dibangun dari aliran pragmatisme, aliran rekonstruksianisme tidak
sekedar mempromosikan metode saintifik, problem solving, naturalisme dan
humanisme,
tapi bagaimana penerapan metode pragmatis dalam dunia
pendidikan. Tidak hanya “memperbaiki” masyarakat, tetapi juga ingin melakukan
perubahan sosial.
Aliran rekonstruksianisme sama dengan perennialisme dalam satu prinsip
bahwa ada kebutuhan mendesak untuk kepastian bagi kebudayaan zaman modern
yang simpang siur saat ini (Djumransjah, 2004: 188). Aliran rekonstruksianisme
mempunyai visi dan metode pemecahan masalah mengembalikan kebudayaan
yang serasi dengan kehidupan. Sedangkan perennialisme memilih untuk kembali
ke alam kebudayaan lama (regressive road culture) sebagai solusi yang paling
ideal (Barnaadib, 1994: 5). Mengapa aliran rekonstruksianisme muncul?
Jawabnya, tentunya sangat beragam di antaranya adalah sebagai berikut:
1) terjadi kesenjangan antara teori dan praktik dalam pendidikan dan kekecewaan
terhadap teori-teori umum (general theory) yang tidak dapat bersikap “kritis”.
Sehingga diperlukan teori yang membumi (grounded theory) yang mampu
mengapresiasi aspek sosial, budaya, dan politik secara maksimal. Serangan
terhadap teori umum dimulai oleh C. Wright Mills dan mengalami puncaknya
pada Habermas.
2) diperlukan suatu teori kritis yang substantif mengenai masyarakat yang
dikembangkan ke taraf metateoritis dalam kaitannya dengan upaya refleksi diri
terhadap teori dan metode.
3
3) kepedulian yang mendalam terhadap nasib umat manusia di mana individuindividu sebagai insan sosial dikontekstualisasikan dalam totalitas sosial yang
berupa kultur material dan spiritual.
4) melakukan emansipasi sosial dan berusaha menemukan teori sosial yang
mampu memikul tanggung jawab berupa perlawanan terhadap status quo.
5) upaya kritik yang lebih luas terhadap kenyataan bahwa kultur kapitalis adalah
bentuk manipulasi dan penguasaan, yang secara total meresapi struktur psikis
dan sosial (Muhammad N.S., 1978: 183).
Jelasnya, aliran rekonstruksianisme mensandarkan pada dua premis mayor.
Pertama, masyarakat membutuhkan rekonstruksi konstan atau perubahan.
Kedua, perubahan sosial juga adalah rekonstruksi pendidikan dan menggunakan
pendidikan sebagai wahana rekonstruksi masyarakat. Dengan demikian,
dibutuhkan adanya tatanan yang bisa mengubah, dan filsafat rekonstruksianisme
menjadi pijakan. Rekonstruksianisme pun bertujuan untuk mengkongkretisasi
kehidupan, dan perlu dibentuk institusi sosial yang diawasi masyarakat, anak,
sekolah dan pendidikan yang sesuai tuntutan masyarakat (Zuhairini, dkk.,
2008:29).
Pokok Pemikiran Pendidikan Rekonstruksionisme
Dunia sedang dilanda krisis kemanusiaan, jika praktik-praktik pendidikan
yang ada tidak segera direkonstruksi, maka peradaban dunia yang ada akan
mengalami kehancuran. Krisis yang dimaksud adalah problem-problem sosial
budaya yang timbul akibat semrawutnya persoalan pendudukan, sumber daya
alam yang kian menipis, berakibat pada melonjaknya harga minyak dunia,
kesenjangan global antara negara kaya dan miskin, kapitalisme global, proliferasi
nuklir, rasisme, nasionalisme sempit dan penyalahgunaan teknologi (George R.K.,
2007: 186). Seperti diketahui, teknologi saintifik adalah penyumbang terbesar
terjadinya peperangan dan bisa membunuh manusia secara efisien lebih dari
sebelumnya, tingginya tingkat kematian dari kecelakaan lalu-lintas dan industri
menjadi harga yang sangat mahal dari kehidupan yang serba mekanistik saat ini
(Djumransjah, 2004: 188).
Teknologi saintifik juga menciptakan budaya rokok dan alkohol serta
meningkatkan bahaya kimiawi yang terkandung pada makanan dan lahan
pertanian. Padahal, Albert Einstein pernah mengatakan bahwa “ilmu (saintifik)
seharusnya membebaskan kita dari pekerjaan yang melelahkan malah menjadikan
manusia budak-budak mesin....” (Suriasumantri, 1999: 243). Praktis, bangsabangsa dunia mempunyai hasrat yang sama untuk menciptakan satu dunia baru,
dengan satu kebudayaan baru di bawah satu kedaulatan dunia, dalam pengawasan
manusia (Zuhairini, dkk., 2008:29). Untuk mengatasi persoalan-persoalan global
tersebut, perlu sebuah tatanan sosial semesta yaitu kolaborasi menyeluruh dari
seluruh elemen bangsa dunia untuk bersatu menciptakan tata sosial baru yang
berasaskan keadilan dan kepentingan kemanusiaan seluruh umat manusia, dan
mengabaikan batasan-batasan primordial seperti ras, warna kulit, suku, bangsa
dan agama.
Pendidikan formal adalah agen utama dalam upaya rekonstruksi tatanan
sosial. Aliran rekonstruksianisme menilai sekolah-sekolah formal yang ada
4
merefleksikan nilai-nilai sosial dominan yang hanya akan mengalihkan patologi
sosial, politik, ekonomi dan budaya yang saat ini mendera umat manusia. Karena
nya sekolah-sekolah formal harus merekonstruksi secara mendasar peran
tradisionalnya dan menjadi sumber inovasi sosial. Bagi mereka pendidikan dapat
menjadi instrumen penting untuk membentuk keyakinan masyarakat dan
mengarahkan peralihannya ke masa depan (George R.K., 2007: 187).
Rekonstruksianisme menekankan pada kebutuhan akan perubahan, ini
adalah cita-cita dan tujuan utopis yang dihubungkan dengan kebudayaan dunia
dan peradaban. Baginya tujuan spesifik dari proses pendidikan adalah untuk
mengakomodir perubahan sosial dan aksi sosial. Tujuan pendidikan ini adalah
sejenis perkembangan evolusioner dari paradigma Hegelianisme yang
dihubungkan dengan pragmatisme Dewey. Rekonstruksianis ingin melibatkan
orang-orang untuk menjadi agen perubahan, dan menolak untuk mengabstraksi
filosofi pendidikan yang lebih menekankan pengetahuan (knowing) daripada
praktik (doing).
Praktis, kaum rekonstruksionis tidak memandang sekolah sebagai satu-satu
alat untuk melaksanakan perubahan secara tunggal. Tapi, institusi pendidikan
dapat menyatukan semua elemen masyarakat menuju perubahan yang lebih baik.
Hal ini didasari, karena sekolah telah bertahun-tahun bersentuhan dengan anak
didik (George R.K., 2007: 188). Dengan demikian, bagi rekonstruksionis sekolah
dijadikan alat atau media untuk mencapai tatanan yang lebih progresif dan
berkemakmuran.
Metode Pendidikan Ala Rekonstruksionisme
Metode pendidikan merupakan komponen yang tidak boleh diabaikan dalam
proses pendidikan, karena metode turut menentukan sukses atau tidaknya suatu
tujuan pendidikan. Tidak heran, jika sebagian kalangan berpendapat bahwa
metode itu lebih penting dari pada materi (Mukodi, 2011: 77). Bahkan, Imam
Barnadib pun mengingatkan bahwa metode pendidikan mempunyai kedudukan
yang sangat penting dan bila dapat dipilih secara cermat akan mempunyai
pengaruh yang signifikan. Hal ini didasarkan pada kodrat kemanusiaannya.
Manusia sebagai yang “kompleks” dan hidup dalam masyarakat yang penuh
“kompleksitas” ini dapat berkembang “melampui” subtansinya dengan “relasirelasi” yang memadai (Barnadib, 2002: 36). Lantas bagaimana metode pendidikan
rekonstruksionisme?
Menurut perspektif rekonstruksionis, bahwa metode pengajaran hakikatnya
harus didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis yang bertumpu pada kecerdasan
“asali” jumlah mayoritas untuk merenungkan dan menawarkan solusi yang valid
bagi persoalan-persoalan umat manusia. Adalah sebuah keharusan bahwa
prosedur-prosedur demokratis perlu digunakan di ruangan kelas setelah para
peserta didik diarahkan kepada kesempatan memilih diantara keragaman pilihanpilihan ekonomi, politik, sosial. Tak heran, jika Brameld dan kolega-koleganya
memberikan kepercayaan yang sangat besar terhadap kekuatan guru sebagai
instrumen utama dari perubahan sosial (George R.K., 2007: 187).
Kalangan rekonstruksionis, seperti aliran-aliran gerakan progresif lainnya,
tidaklah tunggal dalam pandangan mereka tentang demokrasi sebagai sistem
5
politik terbaik. Dari perspektif mereka, adalah sebuah keharusan bahwa prosedurprosedur demokratis perlu digunakan di ruangan kelas setelah peserta didik
diarahkan kepada kesempatan-kesempatan untuk memilih di antara keragaman
pilihan-pilihan ekonomi, politik dan sosial. (George R.K., 2007: 187).
Lebih penting lagi, menurut aliran ini meniscayakan adanya kemerdekaan
berfikir peserta didik. Hal ini sesuai dengan falsafah Ki Hadjar Dewantara yang
memberikan kemerdekaan seluas-luasnya kepada peserta didik. (Dewantara, 1977:
243). Brameld pun menggunakan istilah „pemihakan deferensif‟ untuk
mengungkapkan posisi (pendapat) guru dalam hubungannya dengan item-item
kurikuler yang kontroversial. Dalam menyikapi hal ini, guru membolehkan uji
pembuktian terbuka yang setuju dengan pendapatnya, dan ia menghadirkan
pendapat-pendapat alternatif sejujur mungkin. Di sisi lain, guru dituntut agar
terbuka dalam berpendapat dan mendialogkan kepada peserta didik. (George R.K.,
2007: 187).
Kurikulum Pendidikan Rekonstruksionisme
Tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan anak didik ke arah
kemasakan. Masak dalam arti hidup akalnya, maka akal inilah yang perlu
mendapat tuntunan ke arah kemasakan itu (Barnadib, 1994:78). Menyadari tugas
berat tersebut, rekonstruksianisme pun meracik dan mengorganisir kurikulumnya
sedemikian rupa. Racikan inilah oleh Brameld disebut sebagai “the wheel” (roda)
kurikulum; inti tujuan pendidikan versi rekonstruksianisme menjadi inti dari
kurikulum “roda” tersebut dan menjadi tema sentral pendidikan. Kurikulum ini
bersifat sentripetal sekaligus sentrifugal. Sentripetal karena akan membawa
masyarakat atau komunitas bersama kepada studi yang bersifat umum. Sentrifugal
karena akan meningkatkan proyeksi pendidikan di sekolah-sekolah formal ke
dalam komunitas yang lebih luas. Hal tersebut secara tidak langsung akan
menciptakan transformasi kultural di dalam hubungan yang dinamis antara
sekolah dan masyarakat.
Implikasi pemikiran filosofis rekonstruksianisme dalam kurikulum
diarahkan kepada penumbuhan kesadaran kritis peserta didik dengan model
keaksaraan kritis pada materi yang diajarkan. Selain itu, kurikulum ditekankan
pada upaya membangun kesadaran polyculture dengan mengapresiasi keragaman
budaya, adat istiadat suku tertentu utk menanamkan nilai-nilai pluralisme kultural.
Rekonstruksianisme mengajukan kurikulum semesta yang menekankan
pada kebenaran, persaudaraan dan keadilan. Mereka menolak kurikulum parokial
yang sempit dan hanya membawa kepentingan ideal komunitas lokal tertentu.
Contohnya, pengajaran sejarah dunia semestinya juga diarahkan pada kerja-kerja
kontemporer lembaga-lembaga internasional seperti PBB, ASEAN, OKI dan lainlain. Kurikulum juga diorientasikan pada aksi peserta didik, seperti gerakan
mengumpulkan dana amal, terlibat dalam petisi, protes atau demo bersama
masyarakat untuk merespons kebijakan negara yang menimbulkan problematika
sosial. Peserta didik tidak hanya belajar dari buku, tetapi juga belajar pada
fenomena sosial yang ada seperti kemiskinan, perusakan alam, polusi udara,
pemanasan global, pornografi dan lain-lain.
6
Oleh karena itu, rekonstruksianisme menjadikan aspek-aspek sosial, budaya
dan isu-isu kontemporer menjadi muatan inti kurikulum, agar peserta didik
memiliki kepekaan dan empati sosial. Kurikulum tersebut harus mulai
diimplementasikan sejak TK pada usia yang paling peka. Dengan demikian,
peserta didik dapat menjadi penggerak utama pencerahan problem-problem sosial
dan menjadi agitator utama perubahan sosial. Demikian pula proyeksi hubungan
kemanusiaan dan aspek politik harus ditekankan untuk menumbuhkan kesadaran
politik para peserta didik sehingga “nalar kritis” terhadaP berbagai ketimpangan
sosial politik yang diakibatkan oleh kesewenang-wenangan status quo, dapat
menjadi modal dasar untuk melahirkan agen-agen perubahan sosial dimasa
selanjutnya.
Kesimpulan
Aliran rekonstruksionisme memiliki persepsi bahwa masa depan suatu
bangsa merupakan suatu dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara
demokratis sehingga perubahan-perubahan untuk mencapai suatu tujuan yang
lebih baik akan selalu diadakan dan dijadikan realita, dan bukan dunia yang
dikuasai oleh golongan tertentu, sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan
potensi-potensi teknologi yang mampu meningkatkan kualitas pendidikan,
kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa
membedakan warna kulit, keturunan, agama dan masyarakat yang bersangkutan,
akan tetapi perubahan yang digunakan untuk kepentingan bersama.
Metode pendidikan merupakan komponen yang tidak boleh diabaikan dalam
proses pendidikan, karena metode turut menentukan sukses atau tidaknya suatu
tujuan pendidikan. Menurut perspektif rekonstruksionis, bahwa metode
pengajaran hakikatnya harus didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis yang
bertumpu pada kecerdasan “asali” jumlah mayoritas untuk merenungkan dan
menawarkan solusi yang valid bagi persoalan-persoalan umat manusia. Praktis,
inti tujuan pendidikan versi rekonstruksianisme menjadi inti dari kurikulum
“roda” tersebut dan menjadi tema sentral pendidikan itu sendiri.
7
Daftar Pustaka
Akinpelu, JA. (1988). An Introduction Philosophy of Education. London:
Macmillan Published Lid.
Barnadib, Imam. (2002). Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Adi Cipta.
--------------------. (1994). Filsafat Pendidikan; Pengantar Mengenal Sistem dan
Metode. Yogyakarta: ANDI OFFSET.
Counts, George S. (1932). Dare the School Build a New Social Order? New
York: John Day Co.
Djumransjah. (2006). Filsafat Pendidikan. Malang: Bayumedia Publishing.
Gazalba, Sidi. (1973). Sistematika Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang.
Illeris, Knud. (2002). The Three Dimension of Learning. Florida: Krieger
Publishing Company.
Mukodi. (2011). Pendidikan Islam Terpadu Reformulasi Pendidikan di Era
Global. Yogyakarta: Aura Pustaka.
Noorsjam, M. (1978). Pengantar Filsafat Pendidikan. Malang: FIP IKIP.
R. Knight, George. (2007). Filsafat Pendidikan. Penerjemah, Mahmud Arif.
Yogyakarta: Gama Media.
Suriasumantri, Jujun S. (1982). Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: PT. Gramedia.
Tim Taman Siswa. (1977). Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama.
Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Zuhairini, dkk. (2008). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
8