Akad akad dalam Perbankan Syariah (1)

Akad-akad dalam Perbankan Syari’ah
(Akad Pola Bagi Hasil dan Sewa)

Mata kuliah Bahasa Indonesia
Dosen : Zein Muttaqin, S.E.I, M.E.I

Disusun oleh :
Alifia Firyal Farhana Zuliyant : 14423193
Muhammad Irfan Maulana Pradipta

: 14423244

PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM
FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2016

Kata Pengantar
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji hanya bagi Allah Swt. Dzat yang menciptakan kita sebaik-baik makhluk
yang diberi akal berpotensi untuk berpikir secara mendalam. Syukur alhamdulillah kami

ucapan, karena dengan anugerah-Nya yang telah memberi kesempatan kepada kami untuk
menyelesaikan makalah tentang Ekonomi Islam ini dengan judul “Akad-akad dalam perbankan
syariah”. Tak lupa pula sholawat dan salam senantiasa kita junjungkan kepada Nabi besar
Muhammad Saw, yang telah membawa ummatnya dari zaman yang serba gelap hingga kepada
zaman yang terang benderang dan penuh ilmu pengetahuan seperti saat ini.
Kami ucapkan terimakasih juga kepada :
1. Bapak Zein Muttaqin, SEI.,MA selaku Dosen Pengampu mata kuliah Bahasa Indonesia
telah membimbing dan mencurahkan ilmunya kepada kami saat perkuliahan
2. Akademisi manajemen yang telah membagi ilmunya melalui buku-buku yang menjadi
refrensi penyusunan makalah ini
3. Rekan-rekan yang telah membantu melalui informasi refrensi buku lain untuk
penyususunan makalah ini.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia. Harapan
kami adalah dengan membaca makalah ini para pembaca dapat lebih membuka wawasan dalam
materi yang dibahas kali ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi yang tepat bagi kita semua sehinggan
memberikan dampak positif pada pemahaman serta pengertian kita dan bermanfaat untuk
pengembangan ilmu pengetahuan bersama.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Yogyakarta, 19 Desember 2016
Tim Penyusun

i

Daftar Isi

Kata Pengantar ...................................................................................................................... i
Daftar Isi ................................................................................................................................ ii
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................... 1
2.1 Rumusan Masalah ...................................................................................................... 1
3.1 Tujuan ......................................................................................................................... 1
BAB II Pembahasan
2.1 Pembagian Akad yang diterapkan di Perbankan Syariah ........................................... 2
2.2 Akad Pola Bagi Hasil.................................................................................................. 2
2.3 Akad Pola Sewa...........................................................................................................5
BAB III Penutup
3.1. Kesimpulan .................................................................................................................8
Daftar Pustaka


ii

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem ekonomi Islam merupakan system ekonomi yang bebas, tetapi kebebasannya ditunjukkan
lebih banyak dalam bentuk kerjasama daripada dalam bentuk kompetisi (persaingan).
Karena kerjasama meupakan tema umum dalam organisasi sosial Islam. Individualisme
dan kepedulian sosial begitu erat terjalin sehingga bekerja demi kesejahteraan orang lain
merupakan cara yang paling memberikan harapan bagi pengembangan daya guna
seseorang dan dalam rangka mendapatkan ridha Allah SWT. Jadi Islam mengajarkan
kepada para pemeluknyaagar memperhatikan bahwa perbuatan baik (amal sâlih) bagi
masyarakat merupakan ibadah kepada Allah dan menghimbau mereka untuk berbuat sebaik- baiknya
demi kebaikan orang lain. Ajaran ini bisa ditemukan disemua bagian Al-Quran dan
ditunjukkan secara nyata dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW sendiri.
Prinsip persaudaraan (ukhuwwah) sering sekali ditekankan dalam Al-Quran maupun
Sunnah, sehingga karena itu banyak sahabat menganggap harta pribadi merekasebagai hak
milik bersama dengan saudara-saudara mereka dalam Islam.Kesadaran dan rasa belas kasihan kepada
sanak keluarga dalam keluarga besar juga merupakan contoh orientasi sosial Islam yang

lain, karena berbuat baik (beramal salih) kepada sanak keluarga semacam itu tidak hanya
dihimbau tetapi juga diwajibkan dan diatur oleh hukum (Islam).

1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pembagian Akad yang diterapkan oleh Bank Syariah?
2. Apa Sajakah Jenis-jenis Akad Pola Bagi Hasil?
3. Apa Sajakah Jenis-jenis Akad Pola Sewa?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Bagaimana Pembagian Akad yang diterapkan oleh Bank Syariah.
2. Untuk Mengetahui Apa Sajakah Jenis-jenis Akad Pola Bagi Hasil.
3. Untuk Mengetahui Apa Sajakah Jenis-jenis Akad Pola Sewa.

1

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pembagian Akad yang diterapkan oleh Bank Syariah
Berbagai jenis akad yang diterapkan oleh bank syariah dapat dibagi ke dalam enam
kelompok pola, yaitu :

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Pola titipan, seperti wadi’ah yad amanah dan wadi’ah yad dhamamah.
Pola pinjaman, seperti qardh dan qardhul hasan.
Pola bagi hasil, seperti mudharabah dan musyarakah.
Pola sewa, seperti ijarah dan ijarah bittamlik.
Pola jual beli, seperti murabahah, salam dan istishna.
Pola lainnya, seperti wakalah, kafalah, hiwalah, ujr, sharf, dan rahn.

Tetapi yang kita bahas kali ini adalah atau hanya akad pola sewa dan akad pola bagi
hasil.
2.2 Akad pola bagi hasil
Akad bank syariah yang utama dan paling penting yang disepakati oleh para ulama
adalah akad dengan pola bagi hasil dengan prinsip mudharabah (trustee profit sharing) dan
musyarakah (joint venture profit sharing). Prinsipnya adalah al-ghunm bi’l-ghurm atau alkharaj bi’l-daman, yang berarti bahwa tidak ada bagian keuntungan tanpa ambil bagian

dalam risiko (Al-Omar dan Abdel-Haq, 1996), atau untuk setiap keuntungan ekonomi rill
harus ada biaya ekonomi rill (Khan, 1995)
Masalah bagi hasil dan partnership telah dibahas oleh Muhammad bin Hasan AlSyaibani yang hidup pada 132 - 189 AH/750 - 804 AD (MN Shiddiqi dalam Karim,2002)
dalam konteks perbankan Islam modern.
Konsep bagi hasil yang digambarkan dalam buku Fiqih pada umumnya diasumsikan
bahwa para pihak yang bekerja sama bermaksud untuk memulai atau mendirikan suatu
usaha patungan (joint venture) ketika semua mitra usaha turut berpartisipasi sejak awal
beroperasi dan tetap menjadi mitra usaha sampai usaha berakhir pada waktu semua aset
dilikuidasi. Jarang sekali ditemukan konsep usaha yang terus berjalan (running business)
ketika mitra usaha bisa datang dan pergi setiap saat tanpa mempengaruhi jalannya usaha.
Hal ini disebabkan buku-buku Fiqih Islam ditulis pada waktu usaha tidak sebesar dan
serumit usaha zaman sekarang, sehingga konsep “running business” tidak mendapat
perhatian.
Namun demikian, itu tidak berarti bahwa konsep bagi hasil tidak dapat diterapkan untuk
pembiayaan suatu usaha yang sedang berjalan. Konsep bagi hasil berlandaskan pada
beberapa prinsip dasar. Selama prinsiip-prinsip dasar ini dipenuhi, detail dari aplikasinya
akan bervariasi dari waktu ke waktu. Ciri utama pola bagi hasil adalah bahwa keuntungan
dan kerugian ditanggung bersama baik oleh pemilik dana maupun pengusaha. Beberapa
prinsip dasar konsep bagi hasil yang dikemukakkan oleh Usmani (1999), adalah sebagai
berikut:

1. Bagi hasil tidak berarti meminjamkan uang, tetapi merupakan partisipasi dalam
usaha. Dalam hal musyarakah, keikutsertaan aset dalam usaha hanya sebatas
proporsi pembiayaan masing-masing pihak.
2

2.

Investor atau pemilik dana harus ikut menanggung risiko kerugian usaha sebatas
proporsi pembiayaannya.
3. Para mitra usaha bebas menentukan, dengan persetujuan bersama, rasio keuntungan
untuk masing-masing pihak, yang dapat berbeda dari rasio pembiayaan yang
disertakan.
4. Kerugian yang ditanggung oleh masing-masing pihak harus sama dengan proporsi
investasi mereka.
a. Musyarakah
Musayarakah merupakan istilah yang sering dipakai dalam kontek skim pembiayaan
syariah. Istilah ini berkonotasi lebih terbatas dari pada istilah syirkah yang lebih umum
digunakan dalam fikih islam (Usmani, 1999). Syirkah berarti sharing ‘berbagi’, dan
didalam terminologi fikih Islam dibagi dalam dua jenis.
a. Syirkah al-milk atau syirkah amlak atau syirkah kepemilikan, yaitu kepemilikan

bersama dua pihak atau lebih dari suatu properti.
b. Syirkah al-‘aqd atau syirkah ‘ukud atau syirkah akad, yang berarti kemitraan yang
terjadi karena adanya kontrak bersama atau usaha komersial bersama. Syirkah al‘aqd sendiri ada empat (Madzhab Hambali memasukkan syirkah mudharabah
sebagai syirkah al-‘aqd yang kelima), satu yang disepakati dan tiga yang
diperselisihkan, yaitu:
 Syirkah al-amwal atau syirkah al-‘Inan, yaitu usaha komersial bersama ketika
semua mitra usaha ikut andil menyertakan modal dan kerja, yang tidak harus
sama porsinya, kedalam perusahaan. Para ulama sepakat membolehkan bentuk
syirkah ini.
 Syirkah al-mufawwadhah, yaitu usaha komersial bersama dengan syarat adanya
kesamaan pada penyertaan modal, pembagian keuntungan, pengelolaan modal,
dan orang. Madzhab Hanafi dan Maliki membolehkan bentuk syirkah ini.
Sementara itu madzhab Syafi’i dan Hambali melarangnya karena secara realita
sukar terjadi persamaan pada semua unsurnya, dan banyak mengandung unsur
gharar atau ketidakjelasan.
 Syirkah al-a’mal atau syirkah Abdan, yaitu usaha komersial bersama ketika
semua mitra usaha ambil bagian dalam memberikan jasa kepada pelanggan.
Jumhur (mayoritas) ulama, yaitu madzhab Hanafi, Maliki dan madzhab
Hambali, membolehkan bentuk syirkah ini. Sementara itu, madzhab Syafi’i
melarangnya karena madzhab ini hanya membolehkan syirkah modal dan tidak

boleh syirkah kerja.
 Syirkah al-wujuh adalah usaha komersial bersama ketika mitra tidak
mempunyai investasi sama sekali. Mereka membeli komoditas dengan
pembayaran tangguh dan menjualnya tunai. Madzhab Hanafi dan Hambali
membolehkan bentuk syirkah ini, sedangkan madzhab Maliki dan Syafi’i
melarangnya.
Istlah musyarakah tidak ada dalam fikih Islam, tetapi baru diperkenalkan belum lama
ini oleh mereka yang menulis skim-skim pembiayaan syariah yang biasanya terbatas
pada jenis syirkah tertentu, yaitu syirkah al-amwal yang dibolehkan oleh semua ulama.
Musyarakah merupakan akad bagi hasil ketika dua atau lebih pengusaha pemilik
dana/modal bekerja sama sebagai mitra usaha, membiayai investasi usaha baru atau yang
sudah berjalan. Mitra usaha pemilik modal berhak ikut serta dalam manajemen
perusahaan, tetapi itu tidak merupakan keharusan. Para pihak dapat membagi pekerjaan
3

mengelola usaha sesuai kesepakatan dan mereka juga dapat meminta gaji/upah untuk
tenaga dan keahlian yang mereka curahkan untuk usaha tersebut.
Proporsi keuntungan dibagi antara mereka menurut kesepkatan yang ditentukan
sebelumnya dalam akad sesuai dengan proporsi modal yang disertakan (pendapat Imam
Malik dan Imam Syafi’i), atau dapat pula berbeda dari proporsi modal yang mereka

sertakan (pendapat Imam Ahmad). Sementara itu, Imam Abu Hanifah berpendapat
bahwa proporsi keuntungan dapat berbeda dari proporsi modal pada kondisi normal.
Namun demikian, mitra yang memutuskan menjadi sleeping partner, proporsi
keuntungannya tidak boleh melebihi proporsi modalnya.
Sementara itu, apabila terjadi kerugian akan ditanggung bersama sesuai dengan
proporsi penyertaan modal masing-masing (semua ulama sepakat dalam hal ini). Dapat
diambil kesimpulan bahwa dalam musyarakah keuntungan dibagi berdasarkan
kesepakatan para pihak, sedangkan kerugian ditanggung bersama sesuai dengan
peyertaan proporsi modal masing-masing pihak.
Musyarakah pada umumnya merupakan perjanjian yang berjalan terus sepanjang
usaha yang dibiayai bersama terus beroperasi. Meskipun demikian, perjanjian
musyarakah dapat diakhiri dengan atau tanpa menutup usaha. Apabila usaha ditutup atau
dilikuidasi, maka masing-masing mitra usaha mendapat hasi likuidasi aset sesuai nisbah
penyertaannya. Apabila usaha terus berjalan, maka mitra usaha yang ingin mengakhiri
perjanjian dapat menjual sahamnya ke mitra usaha yang lain dengan harga yang
disepakati bersama.

Rukun dari akad musyarakah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa,
yaitu:
a. Pelaku akad, yaitu para mitra usaha

b. Objek akad, yaitu modal (mal), kerja (dharabah) dan keuntungan (ribh)
c. Shibghah, yaitu Ijab dan Qabul
Beberapa syarat pokok musyarakah menrut (Usmani 1998) antara lain:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Syarat akad
Pembagian proporsi keuntungan
Penentuan proporsi keuntungan
Pembagian kerugian
Sifat modal
Manajemen musyarakah
Penghentian musyarakah
Penghentian musyarakah tanpa menutup usaha

b. Mudharabah
Secara singkat mudharabah atau penanaman modal adalah penyerahan modal uang
kepada orang yang berniaga sehingga ia mendapatkan presentase keuntungan (Al- Mushlih
dan Ash-Shawi, 2004).
Sebagai suatu bentuk kontrak, mudharabah merupakan akad bagi hasil ketika pemilik
dana/modal (pemodal), biasa disebut shahibul mal, menyediakan modal (100 persen) kepada
pengusaha sebagai pengelola, biasa disebut mudharib, untuk melakukan aktivitas produktif
4

dengan syarat bahwa keuntungan yang dihasilkan akan dibagi diantara mereka menurut
kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad (yang besarnya juga dipengaruhi oleh
kekuatan pasar). Shahibul mal (pemodal) adalah pihak yang memiliki modal, tetapi tidak
bisa berbisnis, dan mudharib (pengelola atau entrepreneur) adalah pihak yang pandai
berbisnis, tetapi tidak memiliki modal.
Apabila terjadi kerugian karena proses normal dari usaha, dan bukan karena kelalaian
atau kecurangan pengelola, kerugian ditanggung sepenuhnya oleh si pemilik modal,
sedangkan pengelola kehilangan tenaga dan keahlian yang telah dicurahkannya. Apabila
terjadi kerugian karena kelalaian dan kecurangan pengelola, maka pengelola bertanggung
jawab sepenuhnya.
Pengelola tidak ikut menyertakan modal, tetapi menyertakan tenaga dan keahliannya,
dan juga tidak meminta gaji atau upah dalam menjalankan usahanya. Pemilik dana hanya
menyediakan modal dan tidak dibenarkan untuk ikut campur dalam manajemen usaha yang
dibiayainya. Kesediaan pemilik dana untuk menanggung risiko apabila terjadi kerugian
menjadi dasar untuk mendapat bagian dari keuntungan.
Syarat-syarat Mudharabah:
Modal:
a. Modal harus dinyatakan dengan jelas jumlahnya seandainya modal
berbentuk barang maka barang tersebut harus dihargakan dengan harga
semasa dalam uang yang beredar (atau sejenisnya).
b. Modal harus dalam bentuk tunai dan bukan piutang
c. Modal harus diserahkan kepada mudharib, untuk memungkinkannya
melakukan usaha.
Keuntungan:
a. Pembagian keuntungan harus dinayatakan dalam presentase dari
keuntungan yang mungkin dihasilkan nanti
b. Kesepakatan ratio presentase harus dicapai memalui negosiasi dan
dituangkan dalam kontrak
c. Pembagian keuntungan baru dapat dilakukan setelah mudharib
mengembalikan seluruh (atau sebagian) modal kepada Rab al’mal.
2.3 Akad Pola Sewa
a. Prinsip Ijarah
Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah
sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu. Dalam praktiknya
kegiatan ini dilakukan oleh perusahaan Leasing baik untuk kegiatan operating lease
maupun financial lease. (Muhammad Asro&Muhammad Kholid, 2011)
Ijarah merupakan kontrak antara bank syariah sebagai pihak yang menyewakan barang
dan nasabah sebagai penyewa, dengan menetukan biaya sewa yang disepakati oleh pihak
bank dan pihak penyewa. Barang-barang yang dapat disewakan pada umumnya, yaitu aset
tetap, seperti gedung, mesin dan peralatan, kendaraan dan aset tetap lainnya.
Dalam transaksi perbankan, bank membeli aset tetap dari supplier kemudian yang
disewakan kepada nasabah dengan biaya sewa yang tetap hingga jangka waktu tertentu.
5

Bank dapat membeli aset tetap dari supplier yang ditunjuk oleh bank syariah, kemudian
setelah aset siap dioperasionalkan, maka aset tetap tersebut disewakan kepada pihak
nasabah. (Ismail,2011)
Landasan syariah tentang ijarah terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 233, yang menjadi dalil
dari ayat tersebut adalah ungkapan “apabila kamu memberikan pembayaran yang patut”.
Ungkapan tersebut menunjukkan adanya jasa yang diberikan berkat kewajiban membayar
upah (fee) secara patut (Muhammad Rawas Qal’aji,1985). Dalam hal ini termasuk
didalamnya jasa penyewaan atau leasing. Dalam hukum islam terdapat dua jenis ijarah,
yaitu:
1. Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa, yaitu mempekerjakan jasa seseorang
dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa. Pihak yang mempekerjakan disebut
musta’jir, pihak pekerja disebut ajir dan upah yang dibayarkan disebut ujrah.
2. Ijarah yang berhubungan dengan sewa aset atau properti, yaitu memindahkan hak untuk
memakai dari aset atau properti tertentu kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa.
Bentuk ijarah ini mirip dengan leasing (sewa) pada bisnis konvensional. Pihak yang
menyewa (lessee) disebut musta’jir, pihak yang menyewakan (lessor) disebut
mu’jir/muajir dan biaya sewa disebut ujrah.
Ijarah bentuk pertama banyak diterapkan dalam pelayanan jasa perbankan syari’ah,
sementara ijarah bentuk kedua biasa dipakai sebagai bentuk investasi atau pembiayaan di
perbankan syari’ah.
Ijarah mempunyai kemiripan dengan leasing pada sistem keuangan konvensional
karena keduanya terdapat pengalihan sesuatu dari satu pihak kepada pihak lain atas dasar
manfaat. Namun demikian, karakter keduanya bebeda, yakni :
No.

Item

1.

Objek

2.

Metode
Pembayaran

3.

Alih
Kepemilikan

4.
5.

Sewa Beli
Sale and Lease
Back

Ijarah
Manfaat barang dan jasa
-tergantung pada kinerja objek sewa
-tidak tergantung pa da kinerja objek
sewa
Jelas :
-ijarah – tidak ada
-IMBT – ada

Leasing
Manfaat barang
saja
Tidak tergantung
pada kinerja objek
sewa
Tidak semuanya
jelas:
-Operating Lease tidak jelas
-Financial Lease –
ada pilihan untuk
membeli atau tidak
pada akhir periode

Tidak boleh karena ada unsur gharar
(tidak jelas) antara sewa dan beli
Boleh

Boleh

Bentuk pembiayaan ini merupakan salah satu teknik pembiayaan ketika kebutuhan
pembiayaan investor untuk membeli aset terpenuhi, dan investor hanya membayar sewa
6

pemakaian tanpa harus mengeluarkan modal yang cukup besar untuk membeli aset
tersebut. Adapun rukun dari akad ijarah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa,
yaitu :
1. Pelaku akad, yaitu musta’jir (penyewa) adalah pihak yang menyewa aset, dan
mu’jir/muajir (pemilik) adalah pihak pemilik yang menyewakan aset.
2. Objek akad, yaitu ma’jur (aset yang disewakan), dan ujrah (harga sewa)
3. Shighah, yaitu Ijab dan Qabul (ascarya,2007)
Ketentuan objek ijarah fatwa No: 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

h.
i.

Objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang/jasa.
Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
Manfaat barang atau jasa harus yang bersifat dibolehkan (tidak diharamkan).
Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah.
Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah
(ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa
juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
Sewa atau upah adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS
sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga (tsaman) dalam jual
beli dapat pula dijadikan sewa atau upah dalam ijarah.
Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama
dengan objek kontrak.
Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam
ukuran waktu, tempat dan jarak.

b. Prinsip Ijarah Muntahiya bittamlik
Ijarah muntahiya bittamlik (IMBT) adalah transaksi sewa dengan perjajian untuk
menjual dengan menjual atau menghibahkan obyek sewa diakhir periode sehingga
transaksi ini diakhiri dengan alih kepemilikan objek sewa. Berbagai bentuk alih
kepemilikan IMBT antara lain:
a. Hibah diakhir periode, yaitu ketika pada akhir periode sewa aset dihibahkan kepada
penyewa
b. Harga yang berlaku pada akhir periode, yaitu ketika pada akhir periode sewa aset
dibeli oleh penyewa dengan harga yang berlaku pada saat itu
c. Harga ekuivalen dalam periode sewa, yaitu ketika penyewa membeli aset dalam
periode sewa sebelum kontrak sewa berakhir dengan harga ekuivalen
d. Bertahap selama periode sewa, yaitu ketika alih kepemimpinan dilakukan bertahap
dengan pembayaran cicilan selama periode sewa.

7

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Berbagai jenis akad yang diterapkan oleh bank syariah dapat dibagi ke dalam enam
kelompok pola, yaitu :
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Pola titipan, seperti wadi’ah yad amanah dan wadi’ah yad dhamamah.
Pola pinjaman, seperti qardh dan qardhul hasan.
Pola bagi hasil, seperti mudharabah dan musyarakah.
Pola sewa, seperti ijarah dan ijarah bittamlik.
Pola jual beli, seperti murabahah, salam dan istishna.
Pola lainnya, seperti wakalah, kafalah, hiwalah, ujr, sharf, dan rahn.
Jenis-jenis pola akad bagi hasil ada dua, yaitu:
a. Musyarakah
Musayarakah merupakan istilah yang sering dipakai dalam kontek skim
pembiayaan syariah. Istilah ini berkonotasi lebih terbatas dari pada istilah syirkah
yang lebih umum digunakan dalam fikih islam (Usmani, 1999).
b. Mudharabah
Secara singkat mudharabah atau penanaman modal adalah penyerahan modal uang
kepada orang yang berniaga sehingga ia mendapatkan presentase keuntungan (AlMushlih dan Ash-Shawi, 2004).
Jenis-jenis akad pola sewa:

a. Ijarah
Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran
upah sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu. Dalam
praktiknya kegiatan ini dilakukan oleh perusahaan Leasing baik untuk kegiatan
operating lease maupun financial lease. (Muhammad Asro&Muhammad Kholid, 2011)
b. Ijarah muntahiya bittamlik (IMBT)
Ijarah muntahiya bittamlik (IMBT) adalah transaksi sewa dengan perjajian untuk
menjual dengan menjual atau menghibahkan obyek sewa diakhir periode sehingga
transaksi ini diakhiri dengan alih kepemilikan objek sewa. Berbagai bentuk alih
kepemilikan IMBT antara lain:

8

Daftar Pustaka
Ascarya. 2007. “Akad & produk bank syariah”. Jakarta: PT.RAJAGRAFINDO
PERSADA
Muhammad. 2008. “Sistem & Prosedur operasional bank syariah. Yogyakarta. UII Press
M. Sholahuddin. 2007. “Asas-asas ekobomi Islam”. Jakarta : PT.GRAFARINDO
PERSADA
Ismail. 2011. Perbankan syariah. Jakarta. Kencana
Andri Soemitra. 2009. Bank dan lembaga keuangan syariah. Jakarta : Kencana.
Syafi’i Antonio Muhammad. 2011. Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik Jakarta : Gema
Insani
Fatwa Dewan Syariah Nasional. fatwa No: 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan
Ijarah.
Fatwa Dewan Syariah Nasional. Fatwa No :07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan
Mudharabah.
Fatwa Dewan Syariah Nasional. Fatwa No :08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan
Musyarakah.
Fatwa Dewan Syariah Nasional. Fatwa No :90/DSN-MUI/XII/2013 tentang Pembiayaan
IMBT.
Muslich, Ahmad Wardi. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta : Amzah.

9