Asuransi Syariah dalam Konfigurasi Polit

ASURANSI SYARIAH DALAM KONFIGURASI POLITIK
HUKUM INDONESIA
Oleh
Dr. Ade Sofyan Mulazid, S.Ag.,M.H*
ABSTRAK
Politik hukum Indonesia tentang asuransi syariah sudah diinisiasi sejak dibukanya asuransi
syariah oleh PT. Syarikat Takaful Indonesia (STI) pada tahun 1994.Selanjutnya, upaya
pemerintah untuk menyiapkan RUU tentang Perasuransian telah masuk ke dalam Program
Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2009/2014.Hal ini menunjukkan bahwa politik hukum
pemerintah semakin kuat, agar usaha jasa asuransi termasuk asuransi syariah dapat dijalankan
di Indonesia.Sinergi antarlembaga terkait seperti : Industri Asuransi, MUI, dan Akademisi
Ekonomi Syariah, sangat dibutuhkan. Hal ini dimaksudkan agar lembaga yang terkait dengan
konsentrasi pada perkembangan asuransi syariah terus tetap melakukan sosialisasi dan
mendampingi secara terus-menerus pembahasan RUU Perasuransian,sehingga pengundangan
asuransi syariah bukan mustahil akan terwujud.Pelembagaan UU tentang Asuransi Syariah
akan lebih baik lagi, jika didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang unggul dan
berkualitas. Dengan demikian, keberadaan asuransi syariah dapat memberikan solusi bagi
kegelisahan umat Islam selama ini yang masih ditemukan adanya unsur riba dan gharar dalam
transaksi bisnis asuransi.
Kata Kunci : Legislasi, Asuransi Syariah, Politik Hukum, Sistem Hukum Nasional.


A. Pendahuluan
Perkembangan industri asuransi syariah dalam dasawarsa 2000-an ini semakin pesat,
khususnya di Indonesia.Hal ini ditunjukkan oleh semakin meningkat jumlah pertumbuhan aset
usaha asuransi syariahpada tahun 2006 mencapai Rp 614 Miliar dan tahun 2011 menjadi Rp
9,202 Triliun. Selain itu, asuransi syariah mulai awal berdirinya tahun 1994 berjumlah 37
perusahaan dan pada tahun 2013 ini asuransi syariah telah berjumlah 44 perusahaan yang
mengelola usahanya sesuai prinsip syariah.1 Jumlah premi asuransi syariah pada tahun 2012
telah memberikan kontribusi returnhingga 30% dari jumlah total premi asuransi nasional.
Berdasarkan data Bapepam-LK, penetrasi dana asuransi syariah pada tahun 2012 sudah

*Dosen Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
1
Lihat : http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-ekonomi/12/04/29/m37z3v-insya-allah-revisiuu-asuransi-bahas-syariah-selesai-tahun-ini. diakses pada tanggal 16 Oktober 2013.

mencapai 3,18%.2Dengan demikian, prospek dari pertumbuhan industri asuransi syariah di
masa mendatang diperkirakan akan terus meningkat.
Salah satu alasan, mengapa masyarakat Indonesia lebih memilih produk asuransi
syariah adalah karena penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam yang menginginkan
transaksi bisnisnya terhindardari hal-hal yang bersifat riba dan unsur gharar. Namun demikian,
bukan berarti industri asuransi syariah ini tidak memiliki kendala dalam pengembangannya.

Tantangan terbesar yang dihadapi oleh perusahaan asuransi syariah hingga saat ini adalah
masih lemahnya sumber daya manusia (SDM) dan pelayanan yang diberikan oleh asuransi
syariah kepada para pelanggannya.
Pengembangan produk asuransi syariah sesuai dengan kebutuhan masyarakat juga
masih menjadi persoalan. Menciptakan produk asuransi syariah yang diminati, bukanlah hal
yang mudah karena pemahaman masyarakat terhadap produk asuransi syariah masih terbatas
sehingga perusahaan masih kesulitan dalam menciptakan produk sesuai dengan keinginan
masyarakat. Ditambah lagi regulasi pemerintah terkait dengan bisnis asuransi syariah di
Indonesia hanya didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) No.81 Tahun 2008 tentang
Perubahan Ketiga Atas PP No.73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
Berdasarkan PP No.81 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian
inilah yang kemudian dijadikan sebagai dasar hukum pendirian unit usaha asuransi syariah di
Indonesia.3Selain dalam PP, keberadaan asuransi syariah juga telah diatur dalam Revisi
Rancangan Undang-Undang (RUU) No.2 Tahun 1992 tentang Perasuransian. Namun demikian,
pada kenyataannya hingga saat ini pelaksanaan operasional asuransi syariah tetap mengacu
pada Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.426 Tahun 2003 tentang Izin Usaha

2

Perkembangan dan pertumbuhan produk keuangan syariah di Asia Tenggara sendiri relatif stabil,

terutama di Malaysia. Kontribusi Asuransi Syariah di Malaysia sudah mencapai 1,06% dari pendapatan domestik
bruto dan di Indonesia baru mencapai 0,05% (E&Y:2009). Perkembangan perusahaan syariah di Malaysia dapat
berkembang pesat karena mereka lebih didukung oleh pemerintah. Lihat http://www.bisnis.com/articles/asuransisyariah-di-ri-kian-bergairah. diakses pada tanggal 16 Oktober 2013.
3
Pasal II ayat 1 berbunyi: Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, izin pembukaan kantor cabang
dengan prinsip syariah yang dimiliki Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang telah ada dinyatakan
berlaku sebagai izin untuk Unit Syariah.

Perasuransian,4 serta mengacu pada Fatwa DSN MUI No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang
Pedoman Umum Asuransi Syariah.5
Untuk menjalankan asuransi syariah secara optimal masih diperlukan regulasi
pendukung lainnya, sehinggaasuransi syariah bisa dikelola secara sehat serta sesuai dengan
prinsip syariah. Hal ini tidak lain dimaksudkan, agarperusahaan asuransi syariah dapat
mengatur lebih lanjut mengenai aspek kelembagaan, organisasi, instrumen keuangan,
operasional dan pengembangan SDM, serta pengawasan.
Pada dasarnya, politik hukum Indonesia tentang asuransi syariah sudah diinisiasi sejak
dibukanya asuransi syariah oleh PT. Syarikat Takaful Indonesia (STI) pada tahun
1994.Selanjutnya, upaya pemerintah untuk menyiapkan RUU tentang Perasuransian telah
masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2009/2014.Hal ini
menunjukkan bahwa politik hukum pemerintah semakin kuat, agar usaha jasa asuransi

termasuk asuransi syariah dapat dilakukan oleh masyarakat luas. Hanya saja sampai tahun
2013, RUU tersebut belum masuk ke dalam Prolegnas Prioritas di DPR. Padahal, adanya aturan
hukum yang pasti dalam penyelenggaraan usaha asuransi syariah akan mendorong laju
pertumbuhan industri asuransi syariah di Indonesia dan bukan mustahil akan meningkatnya
minat masyarakat terhadap asuransi syariah. Tentunya, hal ini akan terwujud apabila adanya
dukungan penuh dan partisipasi aktif dari masyarakat, ahli ekonomi syariah dan pemerintah
dalam membantu pelaku-pelaku usaha asuransi syariah untuk mengembangkan bisnisnya.Hal
ini sejalan dengan pandanganSunaryati Hartono (1991) yang mengemukakan bahwa hukum itu
bukan merupakan tujuan, akan tetapi hanya merupakan jembatan yang harus membawa kita
kepada ide-ide yang dicita-citakan.6
B. Peraturan Perundang-undangan Tentang Asuransi Syariah
Dari segi hukum positif, pendirian usaha asuransi syariah hingga saat ini legalitasnya
masih didasarkan pada Pasal 2 ayat a, UU No.2 Tahun 1992 tentang Perasuransian.7 Selain itu
juga peraturan yang dijadikan sebagai pijakan awal bagi perusahaan asuransi syariah adalah
4

Lihat http://salingmelindungi.com/2012/12/wacana-undang-undang-asuransi-syariah/ diakses pada
tanggal 16 Oktober 2013.
5
Fatwa No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.Lihat: Majelis Ulama

Indonesia (MUI), Himpunan Fatwa (Jakarta: MUI, 2002), 20.
6
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu sistem Hukum Nasional (Bandung : Alumni, 1991).
7
Lihat:http://www.bapepam.go.id/perasuransian/regulasi_asuransi/uu_asuransi/UU_No.2_Th.1992_Ttg_
Usaha_Perasuransian.pdf diakses pada tanggal 16 Oktober 2013.

Pasal 2 ayat 1, PP No.73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Kedua
peraturan tersebut, sebenarnya belum mengakomodasi asuransi syariah di Indonesia karena
tidak mengatur secara langsung mengenai keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syariah.
Dengan kata lain, baik UU No.2 Tahun 1992 maupun PP No.73 Tahun 1992 tidak dapat
dijadikan sebagai landasan hukum yang kuat bagi asuransi syariah di Indonesia karena tidak
mengatur secara jelas tentang asuransi syariah.
Lebih dari itu, perusahaan asuransi syariah dalam menjalankan usahanya harus
merujukpada Fatwa DSN MUI No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi
Syariah. Alasan diberlakukannya fatwa oleh DSN karena regulasi yang ada, dipandang belum
cukup untuk menjalankan bisnis asuransi syariah. Meskipun, Fatwa DSN MUI secara hierarki
perundang-undangan tidak mempunyai kekuatan hukum dalam tata hukum nasional di
Indonesia. Agar ketentuan Fatwa DSN memiliki kekuatan hukum, maka perlu diadopsi dalam
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi seperti Undang-undang sehingga kedudukan

hukumnya diakui oleh pemerintah.
Berikut ini adalah peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan oleh
pemerintah berkaitan dengan asuransi syariah di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.426/KMK.06/2003 tentang Perizinan
Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Peraturan inilah
yang dapat dijadikan dasar untuk mendirikan asuransi syariah sebagaimana ketentuan
dalam Pasal 3 yang menyebutkan bahwa “Setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi
atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip syariah…” Selain itu juga tercantum dalam
Pasal 4 tentang persyaratan dan tata cara memperoleh izin usaha perusahaan asuransi dan
perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah. Pasal 32 tentang pembukaan kantor cabang
dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi konvensional.
Pasal 33 tentang pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi
dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.
2. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.424/KMK.06/2003 tentang
Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Ketentuan yang
berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal 15 s.d 18 tentang kekayaan yang
diperkenankan harus dimiliki dan dikuasai oleh perusahaan asuransi dan perusahaan
reasuransi dengan prinsip syariah.

Munculnya peraturan perundang-undangan di atas, menambah lengkapnya perangkat

hukum yang dapat dijadikan landasan bagi operasional asuransi syariah di Indonesia. Namun
demikian, regulasi tersebut belum mengakomodasi seluruh kegiatan perasuransian syariah di
Indonesia bila dibandingkan dengan perbankan syariah yang perangkat pengaturannya jauh
lebih baik dan lengkap.
Berdasarkan kenyataan itulah, sehingga kedudukan asuransi syariah hanya diakui
sebagai bagian dari sistem asuransi nasional. Padahal, kontribusi asuransi syariah dalam
industri asuransi nasional cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari omzet yang dicapai setiap
tahunnya terus mengalami peningkatan, lebih lagi bila payung hukumnya berdasarkan Undangundang.
C. Urgensi Undang-Undang Asuransi Syariah
Sistem hukum Indonesia mengikuti tradisi civil law yang ciri utamanya adalah peraturan
perundang-undangan yang terkodifikasi. Sementara itu,Rifyal Ka’bah (2004) menyebutkan
bahwa hukum Islam walaupun mempunyai sumber-sumber tertulis pada al-Qur’an dan asSunnah, serta ijtihadulama pada umumnya tidak terkodifikasi dalam bentuk buku perundangundangan yang mudah dirujuk. Oleh karena itu, hukum Islam di Indonesia seperti halnya juga
hukum adat, sering dipandang sebagai hukum tidak tertulis dalam bentuk perundangundangan.8
Berdasarkan paparan di atas, menurut Sri Wahyuni(2003) umat Islam yang menghendaki
pemberlakuan Fatwa DSN sebagai pedoman asuransi syariah harus mengupayakan politik
hukum melalui proses legislasi dengan menyusun draft Rancangan Undang-Undang (RUU)
yang diajukan kepada badan legislatif untuk mendapatkan persetujuan DPR.9Menurut Jimly
Asshiddiqie(2003) berkenaan dengan proses legislasi, dapat dikatakan mencakup kegiatan

mengkaji, merancang, membahas dan mengesahkan undang-undang. Pengajuan RUU ini dapat

dilakukan melalui Presiden atau melalui inisiatif DPR.10

Rifyal Ka’bah, Kodifikasi Hukum Islam Melalui Perundang-Undangan Negara di Indonesia, Majalah
Hukum Suara Uldilag Vol.II No.5, Jakarta, September 2004, 50.
9
Sri Wahyuni, Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi Terhadap Legislasi Kompilasi Hukum Islam)
Jurnal Mimbar Hukum No. 59 Thn XIV, Al-Hikmah, 2003, 84.
10
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (Jakarta : Konstitusi Press, 2005),
29.
8

Menurut Rosjidi Ranggawidjaja (1998),mentransformasikan fatwa DSN dalam bentuk
peraturan perundang-undangan yang baik sekurang-kurangnya harus memenuhi empat landasan
yakni: (1) landasan filosofis, (2) sosiologis, (3) yuridis dan (4) politis.
Landasan filosofis,berisi nilai-nilai moral atau etika dari bangsa tersebut. Moral dan
etika pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik dan yang tidak baik, sedangkan nilai yang baik
merupakan pandangan dan cita-cita yang dijunjung tinggi yang di dalamnya ada nilai
kebenaran, keadilan dan kesusilaan, serta berbagai nilai lainnya yang dianggap baik.
Landasan sosiologis, ketentuan-ketentuannya harus sesuai dengan keyakinan umum

atau kesadaran hukum masyarakat. Hal ini penting agar perundang-undangan yang dibuat
ditaati oleh masyarakat, hukum yang dibentuk harus sesuai dengan “hukum yang hidup” (the
living law) dalam masyarakat.Produk perundang-undangan tidak sekedar merekam keadaan
seketika (moment opname), sebab jika masyarakat berubah, nilai-nilaipun berubah,
kecenderungan dan harapan masyarakat harus dapat diprediksi dan terakumulasi dalam
peraturan perundang-undangan yang berorientasi masa depan.
Landasan yuridis, merupakan landasan hukum (yurisdische gelding) yang menjadi
dasar kewenangan (bevoegdheid competentie). Kewenangan membentuk peraturan perundangundangan sangat diperlukan, tanpa disebutkan dalam peraturan perundang-undangan seorang
pejabat atau suatu badan adalah tidak berwenang (onbevoegdheid) mengeluarkan peraturan.
Landasan politis, merupakan garis kebijaksanaan politik yang menjadi dasar
selanjutnya bagi kebijaksanaan-kebijaksanaan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan
negara. Oleh karena pembentukan peraturan perundang-undangan tentang asuransi syariah,
hendaknya sejalan dengan program legislasi nasional di DPR.11
Kecenderungan model pengembangan ekonomi syariah di Indonesia selama ini
berlangsung melalui dua jalur, yaitu :(a) jalur legislasi (melalui perundang-undangan); (b) jalur
non legislasi (yang berkembang di luar undang-undang). Diantara kedua jalur tersebut,
kecenderungan pada jalur kedua nampaknya lebih banyak mewarnai praktek penerapan hukum
Islam di bidang ekonomi syariah. Hal ini dimaklumi karena proses legislasi hukum Islam di
Indonesia selalu menghadapi kendala struktural dan kultural, baik secara internal maupun
eksternal. Secara internal, para pendukung sistem hukum Islam belum tentu beranggapan

bahwa hukum Islam itu sebagai suatu sistem yang belum final, perlu dikembangkan dalam
11

Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan(Jakarta : Maju Mundur, 1998), 43-44.

konteks hukum nasional. Sedangkan kendala eksternal, yakni struktur politik yang ada belum
tentu mendukung proses legislasi hukum Islam.
Kendatipun dalam prakteknya legislasi bukan merupakan kecenderungan, namun
pengembangan hukum Islam melalui jalur legislasi terutama yang mengatur bidang ekonomi
syariah tetap diperlukan alasannya, yaitu :12
1. Pengaturan terhadap bidang ekonomi syariah sifatnya sudah mendesak terkait dengan
kewenangan baru Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa dalam bidang tersebut,
sebagaimana bunyi Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
2. Melihatkebutuhan hukum dewasa ini, legislasi merupakan tuntutan objektif dan urgen
karena akan mendukung implementasi hukum Islam secara pasti dan mengikat secara
yuridis formal.
3. Materi hukum ekonomi syariah adalah merupakan hukum privat Islam bukan hukum
publik, sehingga jika bidang ini diangkat ke jalur legislasi tidak akan memunculkan konflik
serius, baik ditingkat internal maupun eksternal karena sifatnya yang universal dan netral. 13
Pelembagaan hukum Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan merupakan

tuntutan dari kenyataan nilai-nilai dan fikrah (pemikiran) umat Islam dalam bidang hukum,
kesadaran berhukum pada syari’at Islam secara sosiologis dan kultural tidak pernah mati dan
selalu hidup dalam sistem politik manapun, baik masa kolonialisme Belanda, Jepang maupun
masa kemerdekaan dan masa pembangunan dewasa ini.
Berikut ini adalah faktor-faktor yang penulis anggap sebagai faktor penghambat
munculnya UU tentang Asuransi Syariah, yaitu: (a) UU tentang Asuransi Syariah ditunda
karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip dasar Indonesia yang berdasarkan Pancasila,
bukan berdasarkan agama tertentu.14 Secara historis, norma-norma yang bersumber dari hukum
Islam di bidang ekonomi ini telah lama memudar dari perangkat hukum yang ada sebagai
akibat politik hukum penjajah yang secara sistematis mengikis keberlakuan hukum Islam di
12

Lihat:http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/EKONOMI%20SYARIAH/PROSPEK%20LEGISLASI%
20FIKIH%20MUAMALAH.pdfdiakses pada tanggal 16 Oktober 2013.
13
Lilik Mulyadi, Politik Hukum dalam Kebijakan Legislasi Pembalikan Terhadap Beban Pembuktian
Terhadap Kesalahan dan Harta Kekayaan Pelaku Tindak Pidana Korupsi, Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun
XXVII No.302 Januari 2011, IKAHI.
14
Sebagaiamana penolakan dari Fraksi Partai Damai Sejahtera (F-PDS) terhadap pengesahan UU tentang
Perbankan Syariah yang memilih walkout dari persidangan di gedung DPR RI. Lihat: Zubairi Hasan, Undangundang Perbankan Syariah Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional (Jakarta: Rajawali Pers, 2009) Cet. Ke1, 11.

tanah jajahan Hindia Belanda. Akibatnya, asuransi dan lembaga-lembaga keuangan lainnya
sangat terbiasa menerapkan ketentuan hukum buatan Belanda yang sudah diterjemahkan; (b)
kurangnya political will pemerintah untuk memprivatisasi usaha perasuransian secara umum.
Hal ini terbukti dengan belum dimasukkannya RUU Perasuranasian sebagai prioritas sejak
tahun 2010/2014. Padahal RUU tentang Perasuransian apabila segera disahkan menjadi UU,
maka akan menjadi batu loncatan untuk menyusun RUU tentang Asuransi Syariah.Hal ini telah
terbukti dengan diundangkannya UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan,maka menjadi batu
loncatan bagi terciptanya UUNo.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Hanya dengan
cara seperti itulah, usaha asuransi syariah di Indonesia dapat tumbuh dengan baik dan sehat.15
D. Politik Hukum Ekonomi Syariah
Secara etimologis, politik hukum merupakan terjemahan dari bahasa Belanda
“rechtspolitiek.” Kata “rechts”dalam bahasa Indonesia berarti hukum (judgement, verdict,
decision).16 Sedangkan kata “politiek”dalam bahasa Indonesia berati kebijakan (policy).
Dengan demikian, politik hukum secara singkat adalah kebijakan hukum. Kebijakan dalam
kamus Besar Bahasa Indonesia berarti rangkaian, konsep dan asas yang menjadi garis besar dan
dasar rencana dalam melaksanakan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak. Dengan
kata lain, politik hukum adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar
rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak dalam bidang
hukum.17

Bill Rismon, “Arsitekur Strategik Perum Pegadaian,” Tesis S2, Program Studi Manajemen dan Bisnis
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor: 2010, ix.
16
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum (Jakarta :Raja Grafindo), 2008.
17
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum (Jakarta :Raja Grafindo), 2008.
15

Sedangkan secara terminologis, LJ. van Appeldoorn dalam bukunya Pengantar Ilmu
Hukum menyebut dengan istilah politik perundang-undangan.18Pengertian yang demikian dapat
dimengerti mengingat bahwa di Belanda hukum dianggap identik dengan undang-undang,
hukum kebiasaan tidak tertulis diakui juga akan tetapi hanya apabila diakui olehUndangundang.19Menurut David Kairsy (1990),politik hukum juga dikonsepsi sebagai kebijaksanaan
negara untuk menerapkan hukum.20
Padmo Wahjono (2008) mengatakan politik hukum adalah kebijakan penyelenggara
negara yang bersifat mendasar dalam menentukan arah, bentuk maupun dari isi hukum yang
akan dibentuk dan tentang apa yang menjadi kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dengan
demikian, politik hukum adalah berkaitan dengan hukum yang berlaku di masa mendatang (ius
constituendum).21
Teuku Muhammad Radhie (1973) mengkonsepsi politik hukum sebagai pernyataan
kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayah suatu negara dan
mengenai arah kemana hukum hendak dikembangkan.22Konsepsi lain tentang politik hukum
dikemukakan oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara (1988) yang menyatakan bahwa politik
hukum sama dengan politik pembangunan hukum.23Pendapat Abdul Hakim Garuda Nusantara
berikutnya diikuti oleh Moh. Mahfud MD yang menyebutkan bahwa politik hukum adalah
legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia.
Menurut Mahfud MD (1998), politik hukum juga mencakup pengertian tentang bagaimana politik
mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan
dan penegakan hukum.24

Berikut ini adalah daftar nomor urut RUU, khususnya di bidang ekonomi yang telah
dimasukan dalam Program Badan Legislasi Nasional Tahun 2010/2014. Pemberian nomor
judul RUU ini dimaksudkan, agar memudahkan bagi DPR untuk menentukan mana yang harus

18

L J. van Appeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum Terj. Supomo (Jakarta : Pradnya Paramitha), Cet. Ke-18,
1981, 390.
19
A.S.S. Tambunan, Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945 (Jakarta : Puporis Publishers, 2002), 9.
20
David Kairsy (ed). The Politics of Law, A Progressive Critique (New York: Pantheon Books,1990).
21
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum (Jakarta : Raja Grafindo), 2008.
22
Teuku Muhammad Radhie dalam Majalah PRISMA, No. 6 Tahun KeI-II, Desember 1973.
23
A.S.S. Tambunandikutip dari Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia (Jakarta:
YLBHI,) 1988.
24
Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia(Jakarta : LP3ES, 1998), 1-2.

diprioritaskan dan mana yang tidak sehingga para pengusul harus bersabar untuk menunggu
nomor antrean RUU yang diusulkan.
Tabel 5.1
Daftar RUU Bidang Ekonomi
Program Legislasi Nasional Tahun 2010/2014
No.
12
14
20
43
44

Judul RUU

Keterangan

RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang No.38 Tahun
DPR
1999 tentang Pengelolaan Zakat
RUU tentang Jaminan Produk Halal
DPR
RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan
DPR
RUU tentang Perdagangan
PEMERINTAH
RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang No.19 Tahun
PEMERINTAH
2003 tentang Badan Usaha Milik Negara

RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang No.25 Tahun
PEMERINTAH
1992 tentang Koperasi
RUU tentang Keuangan Mikro/Pembiayaan Usaha
74
DPR/PEMERINTAH
Mikro/Lembaga Keuangan Mikro
RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang No.2 Tahun
84
DPR/PEMERINTAH
1992 tentang Usaha Perasuransian
RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang No.8 Tahun
85
DPR/PEMERINTAH
1995 tentang Pasar Modal
RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.7
86
DPR/PEMERINTAH
Tahun 1992 tentang Perbankan
RUU tentang Badan Usaha di Luar Perseroan Terbatas dan
97
DPR/PEMERINTAH
Koperasi
103 RUU tentang Lembaga Pembiayaan
DPR/PEMERINTAH
106 RUU tentang Pegadaian Syariah
DPR/PEMERINTAH
Sumber: Badan Legislasi Nasional (Baleg) DPR RI 2012, telah dimodifikasi.
45

Berdasarkan pada daftar RUU Prolegnas 2010/2014 di atas, dapat terlihat bahwa posisi
RUU tentang Perasuransian meduduki nomor urut ke-84. Hal ini menunjukkan RUU tentang
Perasuransian masih jauh dari kemungkinan untuk disahkan pada tahun 2013. Sementara RUU
lain, terkait bidang ekonomi masih harus menunggu antrean panjang sehingga peluang
kemungkinan untuk dimasukkan ke dalam Prolegnas tahun 2013/2014 sangat sulit. Penyusunan
Prolegnas Prioritas ini merupakan langkah strategis. Hal ini, disebabkan Prolegnas Prioritas
tahun 2013 akan menjadi kerangka politik perundang-undangan yang akan dibangun oleh

pemerintah dan DPR RI pada tahun 2013. Dengan adanya Prolegnas Prioritas tahun 2013,
nantinya diharapkan rencana kerja pemerintah tahun 2013 akan dapat tercapai dalam
meningkatkan perekonomian nasional dan pemeliharaan kesejahteraan rakyat.
Berdasarkan Daftar RUU yang dikeluarkan dan ditetapkan oleh pemerintah dan DPR,
maka Badan Legislasi (Baleg) memproyeksikan untuk menjadwalkan 60 RUU dalam Prolegnas
Prioritas tahun 2013, dari evaluasi yang dilakukan pada Prolegnas Prioritas tahun 2012, masih
terdapat 14 RUU dari DPR dan 15 RUU dari pemerintah yang diproyeksikan perlu dijadwalkan
kembali pada tahun 2013. Dengan demikian, apabila dijumlahkan terdapat 29 RUU yang perlu
dijadwalkan kembali pada Prolegnas Prioritas tahun 2013. Apabila 29 RUU ini disepakati,
maka konsekuensinya pemerintah dan DPR hanya dapat menambahkan 31 RUU baru dalam
Prolegnas Prioritas tahun 2013. Adapun terhadap daftar judul RUU yang disampaikan, masih
merupakan proyeksi Baleg berdasarkan indikator di atas. Baleg masih akan melakukan rapat
koordinasi dengan Komisi, Fraksi dan melakukan rapat dengar pendapat umum (RDPU)
dengan masyarakat. Rencananya pada awal masa sidang ke-II pada bulan November Baleg
akan melakukan koordinasi di lingkungan DPR RI dan diharapkan akhir November atau paling
lambat awal bulan Desember ini Prolegnas Prioritas tahun 2013 telah ditetapkan dalam rapat
Paripurna DPR RI.
Prolegnas merupakan bagian dari pembangunan hukum nasional yang sangat penting
bagi kesinambungan pembangunan nasional dalam mencapai masyarakat yang adil, makmur,
dan sejahtera. Dengan demikian, Prolegnas diharapkan berisi rangkaian perundang-undangan
yang dapat menunjang program pelaksanaan pembangunan khususnya terhadap Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010/2014 demi terwujudnya masyarakat Indonesia
yang adil, makmur dan sejahtera.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konfigurasi politik tahun 2010/2014
cenderung mengedepankan politik hukum di bidang politik dan sosial budaya.25 Sedangkan,
politik hukum di bidang ekonomi syariah tidak terlalu menjadi prioritas. Hal ini terlihat, selama
tiga tahun terakhir belum ada RUU tentang Ekonomi Syariah yang disahkan oleh DPR. Sebagai
contoh RUU tentang Perubahan UU No.2 Tahun 1992 tentang Perasuransian sudah dimasukkan
ke dalam Prolegnas Prioritas tahun 2011. Namun demikian hingga saat ini, RUU tersebut
belum ada tanda-tanda akan disahkan oleh DPR. Apabila perjalanan konfigurasi politik dan
25

Tjuk Wirawan, Politik Hukum di Indonesia(Jember : UPT Unej, 2004), 8.

karakter produk hukum tersebut dihubungkan dengan Indonesia sebagai negara hukum
sebagaimana dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 serta dalam Batang Tubuh dan
Penjelasan UUD 1945, maka dapat dikatakan bahwa pemerintahan Indonesia dalam praktik
ketatanegaraannya belum bisa meletakkan hukum pada posisinya yang supreme, melainkan
lebih sering diintervensi oleh kekuasaan politik.26 Sehingga dalam pelaksanaan roda
pemerintahan sering mengabaikan hak-hak rakyat yang seharusnya menjadi cita dari sebuah
negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Pemerintah terlihat lebih mementingkan kelompok atau golongan tertentu tanpa
memperhatikan nasib rakyat, sehingga undang-undang yang responsif dibuat menjadi
konservatif sebagaimana halnya RUU tentang Perasuransian. Dengan demikian, dalam
pelaksanaannya sering terjadi permasalahan yang nyata-nyata tidak proporsional dan
merugikan rakyat. Apabila dilihat dari keseluruhan roda pemerintahan yang dilaksanakan pada
masa pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono, memang benar-benar telah melanggar asas dan
sendi negara hukum sebagaimana dituangkan dalam Pembukaan dan Penjelasan UUD 1945.
Padahal, keberadaan regulasi ini bisa menyelamatkan masyarakat dari bunga yang terlalu tinggi
yang ditetapkan oleh aktivitas usaha asuransi konvensional terutama asuransi kerugian. Selain
itu, regulasi ini akan mengatur secara resmi aktivitas asuransi syariah yang telah berlangsung
lama di masyarakat, termasuk masalah permodalan perusahaan.Yang jelas akan ada
pembatasan aktivitas asuransi syariah yang dijalankan oleh suatu perusahaan berdasarkan
tingkat permodalan.Jadi aktivitas yang dijalankan perusahaan tersebut harus disesuaikan
dengan modal yang dimiliki.
Untuk mengetahui posisi RUU tentang Perasuransian saat ini sudah berada di mana?
Penulis telah melakukan observasi langsung ke Gedung DPR RI, Senayan pada tanggal 30
Maret 2013. Namun, berdasarkan informasi yang didapat, ternyata keberadaan RUU tersebut
tidak banyak orang yang mengetahuinya terutama kalangan staf yang ada di Badan Legislasi
(Baleg) DPR RI. Ketika penulis menanyakan kepada salah seorang staf yang menangani RUU
yang masuk dalam daftar Prolegnas menyatakan bahwa dirinya tidak tahu akan adanya RUU
tentang Perasuransian, mereka menyarankan untuk melacak ke Komisi VI yang menangani
bidang Perdagangan, Perindustrian dan BUMN, Koperasi dan UKM, Penanaman Modal,
KPPU, BSNI, BPKN, dan Dekopin dan Komisi XI bidang Keuangan, Perencanaan
26

Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia(Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005), 9-10.

Pembangunan Nasional, Perbankan dan Lembaga Keuagan Bukan Bank. Staf di Komisi XI
merasa tidak pernah mendapatkan RUU tersebut. Mereka tidak mengetahui adanya RUU
tentang Perasuransian, kemungkinan RUU Perasuransian tersebut belum menjadi Naskah
Akademik, sehingga belum menjadi Prioritas Prolegnas sampai 2013/2014. Bahkan mereka
menyarankan agar ditanyakan ke BPHN untuk meminta konfirmasi mengenai Naskah
Akademik RUU Perasuransian.27
Berdasarkan hasil konfirmasi dari salah seorang staf di BPHN, akhirnya penulis
mendapatkan naskah tersebut dan dari situlah baru diketahui bahwa naskah sudah selesai dibuat
pada bulan Oktober 2012. Oleh karena itu, pantaslah pihak Baleg tidak mengetahuinya karena
ketika pengajuan RUU tentang Perasuransian ke DPR tidak disertai dengan Naskah
Akademiknya sehingga pihak Baleg tidak memproses untuk masuk ke dalam daftar RUU
Prolegnas tahun ini.
Di sinilah peranan Baleg sangat menentukan dalam pembentukan undang-undang.
Dalam pelaksanaan pembentukan undang-undang di DPR RI banyak ditentukan oleh berfungsi
tidaknya Baleg sebagai alat kelengkapan yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tersebut. Hal
ini sejalan dengan semangat yang muncul dalam ketentuan Tata Tertib DPR yang menegaskan
Baleg sebagai pusat pembentukan undang-undang. Salah satu tugas pokok Baleg sebagai pusat
pembentukan undang-undang adalah menyusun rencana pembentukan undang-undang. Pada
dasarnya, pembentukan undang-undang adalah bagian dari pembangunan hukum yang
mencakup pembangunan sistem hukum nasional dengan tujuan mewujudkan tujuan negara
yang dilakukan mulai dari perencanaan atau program secara rasional. Perencanaan atau
program secara rasional itulah yang akan dituangkan dalam Prolegnas. Baleg bersama dengan
pemerintah memiliki tugas dan tanggungjawab dalam menyusun Prolegnas setiap tahun yang
dalam kesempatan ini akan dibicarakan mengenai Arah Prolegnas Tahun 2013.
Berdasarkan uraian di atas, sudah saatnya bagi para penggiat ekonomi syariah, alim
ulama, dan cendikiawan Muslim Indonesia untuk mendesak DPR agar segera mengesahkan
RUU tentang Perasuransian. Selain itu juga dapat membuka mata dan mengubah cara pandang
pihak yang menolak disahkannya UU bahwa asuransi syariah merupakan sistem ekonomi

27

Wawancara dengan Diana, Staf Baleg DPR RI, Jakarta 30 Maret 2013.

alternatif yang cocok untuk ditumbuhkembangkan dalam dunia industri asuransi syariah
Indonesia saat ini.
Lambatnya pengesahan RUU Perasuransian terletak pada umat Islam itu sendiri. Masih
banyak umat Islam di Indonesia yang belum paham akan ekonomi syariah dan/atau
menjalankan sebagaimana mestinya, banyak di antaranya yang memandang bahwa ekonomi
syariah sama saja dengan ekonomi konvensional. Hal ini diungkapkan oleh Zainuddin Ali
dalam bukunya “Hukum Ekonomi Syariah.”28 Untuk itu, menurut pendapat penulis salah satu
cara yang harus ditempuh agar RUU tentang Perasuransian segera disahkan oleh DPR adalah
dengan melakukan sosialisasi, baik melalui media maupun lingkungan kampus, agar diketahui
masyarakat secara luas sehingga dengan adanya dukungan dari elemen-elemen masyarakat
akan memacu DPR untuk memasukkan RUU ke dalam Prolegnas Prioritas 2013/2014. Untuk
sosialisasi, peran Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) sangat penting, mengingat IAEI adalah
kumpulan para pakar ekonomi syariah Indonesia dari berbagai perguruan tinggi terkemuka.
E. Menuju Undang-Undang Asuransi Syariah
Sinergi antarlembaga terkait seperti : Industri Asuransi, MUI, dan Akademisi Ekonomi
Syariah, sangat dibutuhkan. Hal ini dimaksudkan agar lembaga yang terkait dengan konsentrasi
pada perkembangan asuransisyariah terus tetap melakukan sosialisasi dan mendampingi secara
terus-menerus pembahasan RUU Perasuransian sehingga pengundangan asuransisyariah bukan
mustahil akan terwujud. Terutama dalam memberikan pemahaman terhadap anggota dewan
mengenai konsep Islam terhadap ekonomi dan keuangan syariah, utamanya jasa asuransi
syariah. Jadi langkah antisipasi harus dilakukan, jangan sampai RUU Perasuransian
(asuransisyariah) nantinya terlalu lama disimpan di DPR. Yang akhirnya, akan menghambat
perkembangan asuransi pada umunya dan asuransisyariah pada khususnya.
1. Landasan Penyusunan UU Asuransi Syariah
Permasalahan yang krusial saat ini adalah banyaknya bermunculan lembaga-lembaga
keuangan dan sektor riil syariah, namun kemunculannya tidak dibarengi dengan adanya
regulasi yang mengatur kegiatan usaha tersebut. Hal ini apabila didiamkan, maka akan
mengancam kedudukan negara sebagai negara hukum. Seperti diketahui bersama, sejak
didirikan pada tanggal 17 Agustus 1945, NKRI melalui UUD 1945 menyatakan diri sebagai

28

Zainudin Ali, Hukum Ekonomi Syariah(Jakarta: Sinar Grafika, 2008), 29.

negara hukum.29 Sebelum UUD 1945 diamandemen, pencantuman Indonesia sebagai negara
hukum dijumpai dalam bagian penjelasan yang menyatakan bahwa: “Indonesia ialah negara
yang berdasar atas hukum.” Negara Indonesia berdasar atas hukum tidak berdasar atas
kekuasaan belaka. Setelah UUD 1945 diamandemen, pernyataan Indonesia sebagai negara
termaktub dalam Bab I Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa: Negara Indonesia adalah
negara hukum.
Permasalahannya sekarang adalah bagaimana keberadaan hukum ekonomi Islam
dipositivikasi ke dalam perundang-undangan, semisal UU tentang Asuransi Syariah yang
tengah diperbincangkan. Penyusunan UU tentang Asuransi Syariah secara legal formal melalui
Prolegnas, dewasa ini tampak telah menjadi kebutuhan mendesak yang harus segera ditangani.
Selain momentumnya yang benar-benar tepat karena kehadiran sistem ekonomi syariah
dipandang sebagai salah satu solusi terbaik dalam menata kembali ekonomi Indonesia yang
carut-marut. Di samping itu juga mengingat arah perkembangan hukum nasional Indonesia ke
depan tampak lebih mengacu kepada hukum tertulis atau lebih tepatnya lagi merujuk kepada
peraturan perundang-undangan.
Senafas dengan beberapa pemikiran di atas, Muhammad Amin Suma dalam “Arah
Pengembangan Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia,”30 megemukakan bahwa kedudukan dan
peran hukum ekonomi syariah di Indonesia semakin terasa penting manakala dihubungkan
dengan pembangunan ekonomi nasional Indonesia yang disebut-sebut berorientasi atau
berbasis kerakyatan. Urgensi dari kedudukan dan peran hukum ekonomi syariah dapat dilihat
dari berbagai sudut pandang misalnya sudut pandang sejarah, komunitas bangsa Indonesia,
kebutuhan masyarakat, dan bahkan dari sisi falsafah dan konstitusi negara sekalipun.
Dari sudut pandang kesejarahan, jauh sebelum NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia) dibentuk, bahkan lebih jauh sebelum para penjajah mengangkangi wilayah
Nusantara apapun sebutan atau namanya ketika itu, negeri ini telah dihuni oleh penduduk yang
jelas-jelas beragama, khususnya Islam yang kemudian keluar sebagai mayoritas tunggal sampai
kini.Erman Rajagukguk (2005) berpendapat bagi Indonesia tidak mungkin diciptakan atau
Muhammad Amin Suma dalam “Arah Pengembangan Hukum Ekonomi Islam/Syariah di Indonesia,”
Makalah, dalah seminar Nasional Reformulasi Sistem Ekonomi Syariah dan Legislasi Nasional di Grand Candi
Hotel, Semarang tanggal 6-8 Juni 2006, 14.
30
Muhammad Amin Suma dalam “Arah Pengembangan Hukum Ekonomi Islam/Syariah di Indonesia,”
Makalah, dalah seminar Nasional Reformulasi Sistem Ekonomi Syariah dan Legislasi Nasional di Grand Candi
Hotel, Semarang tanggal 6-8 Juni 2006, 14-16.
29

disusun satu ilmu hukum Indonesia yang uniform karena alasan sejarah, pluralisme masyarakat.
Indonesia dan Indonesia bagian dari masyarakat global.31
Dari sisi komunitas yang mendiami NKRI, bagian terbesarnya adalah pemeluk agama
Islam. Atas dasar ini, maka sungguh merupakan kewajiban bila hukum sebuah negara
dipengaruhi oleh hukum agama yang dianut oleh bagian terbesar penduduknya. Pemberlakuan
hukum ekonomi syariah di Indonesia sama sekali tidak terkait dengan apa yang lazim dikenal
dengan sebutan “diktator mayoritas” dan atau “tirani minoritas.” Alasanya, karena penerapan
hukum ekonomi syariah tidak dilakukan secara paksa apalagi dipaksakan. Sistem ekonomi
Islam termasuk sistem hukumnya berjalan sebanding dan sederajat dengan sistem ekonomi dan
sistem hukum ekonomi konvensional.
Dari sudut pandang kebutuhan masyarakat, kehadiran sistem ekonomi Islam di
Indonesia juga disebabkan kebutuhan masyarakat pada umumnya. Terbukti dengan keterlibatan
aktif lembaga-lembaga keuangan ekonomi lain yang juga menerima kehadiran sistem ekonomi
syariah. Atau, paling sedikit berkenaan dengan hal-hal ekonomi dan keuangan tertentu, ada
kemungkinan bersinergi antara lembaga ekonomi atau keuangan Islam. Demikian juga dengan
para pengguna jasa lembaga ekonomi dan atau keuangan Islam. Teramat banyak untuk
disebutkan satu persatu nama-nama lembaga keuangan khususnya bank32 di samping lembagalembaga keungan non bank lainya yang secara aktif dan terencana justru membuka atau
mendirikan lembaga-lembaga keuangan syariah.33
Di negara hukum Indonesia, kedudukan atau posisi hukum ekonomi Islam
sesungguhnya sangatlah kuat sebagaimana kedudukan atau posisi hukum Islam secara umum
dan keseluruhan. Demikian pula dengan signifikasi fungsi atau peran hukum ekonomi Islam
yang bisa digunakan, terutama dalam upaya penopang, melengkapi dan mengisi kekosongan
hukum ekonomi sebagaimana urgensi peran dan fungsi hukum Islam secara umum dan
keseluruhan dalam menopang, melengkapi dan atau mengisi kekosongan hukum nasional.

31

Erman Rajagukguk, Ilmu Hukum Indonesia : Pluralisme, Disampaikan pada Diskusi Panel dalam
rangka Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Djati Bandung Ke-37, 2 April 2005.
32
Secara industri pada akhir 2005 terdapat 3 Bank Umum Syariah (BUS), 19 Unit Usaha Syariah (UUS),
dan 92 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Lihat: Bank Indonesia, Laporan Perkembangan Perbankan
Syariah Tahun 2005, vii.
33
Lembaga-lembaga keuangan syariah yang dimaksudkan (di luar perbankan) ialah: Asuransi Syariah,
Pasar Modal Syariah, Reksadana Syariah dan Obligasi Syariah.

Kehadiran hukum ekonomi Islam dalam tata hukum Indonesia, dewasa ini
sesungguhnya tidak hanya sekedar karena tuntunan sejarah dan kependudukan (karena
mayoritas beragama Islam) seperti anggapan sebagai orang atau pihak; akan tetapi, lebih jauh
dari itu, juga disebabkan kebutuhan masyarakat luas setelah diketahui dan dirasakan benar
betapa adil dan meratanya sistem ekonomi syariah dalam mengawal kesejahteraan rakyat yang
dicita-citakan oleh bangsa dan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kedudukan hukum ekonomi syariah seperti dipaparkan sebelum ini, akan semakin kuat
manakala dihubungkan dengan falsafah dan konstitusi negara yaitu Pancasila dan UUD 1945.
Singkatnya, sistem ekonomi syariah sama sekali tidak bertentangan apalagi melanggar
Pancasila terutama”Sila Ketuhanan Yang Maha Esa,” juga sama sekali tidak bertentangan
apalagi melawan UUD baik bagian pembukaan34 yang di dalamnya antara lain termaktub
kalimat:”...dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” maupun
dengan bagian isinya terutama yang tertera dalam BAB XI (Agama) Pasal 29 ayat (1) dan (2),35
serta BAB XIV Pasal 33 dan 34 yang mengatur perihal perekonomian nasional dan
kesejahteraan sosial Indonesia.
2. Dukungan Para Ulama, Komunitas Ekonomi Syariah dan Pemerintah
Untuk memperkuat sistem ekonomi syariah, paling tidak terdapat tiga langkah strategis
yang harus dilakukan oleh warga masyarakat Islam, baik para alim ulama dan para tokoh, para
pakar, warga masyarakat Islam secara luas yang terdiri atas pengembangan sistem ekonomi
syariah dalam bentuk regulasi dan peraturan, pengembangan ilmu ekonomi syariah, serta
pengembangan ekonomi umat. Ketiga langkah dimaksud, diungkapkan sebagai berikut:
Pertama, pengembangan ilmu ekonomi syariah dapat dilakukan melalui dunia pendidikan
formal maupun nonformal, baik itu di kampus-kampus, lembaga penelitian ilmiah, kelompokAlinea Ketiga Pembukaan UUD 1945 menegaskan: “Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu
Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekasan
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusian yang adil dan beradap, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.”
35
Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.
34

kelompok kajian, media massa, pondok-pondok pesantren dan lainnya. Alhamdulillah kini
ekonomi syariah, secara formal telah menjadi kurikulum di beberapa perguruan tinggi,
sehingga dikaji dan dipelajari secara sistematis dan terorganisasi dengan baik. Kedua,
ditumbuhkembangkan regulasi-regulasi yang mendukung penguatan ekonomi syariah dalam
praktik, baik melalui institusi keuangan maupun melalui kegiatan bisnis dan usaha riil, harus
diakui, peran bank Indonesia (Direktorat Perbankan Syariah sangat besar yang selalu
bekerjasama dengan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dalam melahirkan
berbagai regulasi. DSN MUI pun sangat aktif di dalam menjawab (dalam bentuk fatwa)
berbagai permasalahan yang diajukan maupun yang ditemukan dalam praktik keseharian.
Kerjasama yang harmonis selama ini terus-menerus dijaga dan diperkuat, apalagi salah satu
agenda utama sekarang adalah mengusahakan RUU Asuransi Syariah menjadi sebuah undangundang yang memilki kekuatan hukum yang bersifat pasti. Ketiga,ketika ekonomi syariah
dikembangkan dan didukung oleh sebuah sistem yang baik, maka yang paling penting adalah
membangun perekonomian umat secara nyata, sehingga dapat dirasakan oleh masyarakat
secara luas dalam bentuk pengembangan sektor riil yang ditopang oleh lembaga keuangan yang
berbasis syariah. Pada akhirnya, diharapkan produktivitas dan kegiatan ekonomi masyarakat
akan lebih meningkat. Peserta Kongres Umat Islam Indonesia berharap sistem ekonomi syariah
(dengan langkah-langkah di atas) akan berkembang dari ekonomi alternatif menjadi satusatunya sistem ekonomi yang mampu mensejahterakan umat dan bangsa Indonesia saat inidan
dimasa mendatang.
Berdasarkan langkah-langkah dimaksud memerlukan dukungan dalam hal pelaksanaan
ekonomi syariah, baik dukungan dari pihak pemerintah dalam bentuk peraturan perundangundanganmaupun dukungan dari umat Islam dalam bentuk partisipasi untuk menjadikan
asuransisyariah sebagaisalah satu pilihan hidup.
Untuk itu, MUI dan para pemuka agama, serta para ahli ekonomi Islam diharapkan akan
mampu meyakinkan DPR untuk mengizinkan RUU tentang Perasuransian untuk disahkan.
Karena apabila RUU tentang Perasuransian sahkan, maka tidak menutup kemungkinan RUU
tentang Asuransi Syariah dapat diwujudkan sebagiamana UU tentang Perbankan Syariah yang
telah memiliki peraturan tersendiri. Oleh karena itu, diperlukan upaya lobi yang kuat kepada
DPR dan pemerintah agar bisa menggoalkan RUU tentang Perasurannsian termasuk
asuransisyariah.

3. Kesiapan Sumber Daya Manusia
Salah satu problematika yang mendasar dihadapi oleh para pakar maupun praktisi
ekonomi syariah di Indonesia adalah masih minimnya kualitas dan kuantitas sumber daya
manusia (SDM) yang memiliki penguasaan ilmu ekonomi syariah yang berbasis pada ekonomi
syariah. Jika pihak DPR mengesahkan RUU Perasuransian, maka persoalan berikut yang perlu
mendapat perhatian adalah masalah SDM yang mengerti tentang asuransi sekaligus tentang
ekonomi syariah. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan tersedianya tenaga-tenaga ahli
asuransisyariah secara memadai, perlu adanya lembaga sertifikasi ahli di bidang ini, sehingga
perkembangan asuransisyariah nantinya akan terus terjaga “syariahnya” tanpa menghambat
perkembagan asuransi itu sendiri. Bahkan jika perlu setiap karyawan (SDM) yang mau bekerja
di perusahaan asuransisyariah, terlebih dahulu mengikuti pendidikan dan pelatihan di pusat
lembaga pendidikan asuransisyariah.Pada akhirnya, kualitas SDM ini akan dapat diatasi.
Bagaimana pun tanpa ahli asuransisyariah, sebuah lembaga asuransisyariah akan sulit
berkembang. Sebab untuk membuka unit syariah, minimal ada satu ahli asuransisyariah.

Kesimpulan
Politik hukum Indonesia tentang asuransi syariah sudah diinisiasi sejak dibukanya
asuransi syariah oleh PT. Syarikat Takaful Indonesia (STI) pada tahun 1994.Selanjutnya, upaya
pemerintah untuk menyiapkan RUU tentang Perasuransian telah masuk ke dalam Program
Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2009/2014.Hal ini menunjukkan bahwa politik hukum
pemerintah semakin kuat, agar usaha jasa asuransi termasuk asuransi syariah dapat dijalankan
di Indonesia.
Sinergi antarlembaga terkait seperti : Industri Asuransi, MUI, dan Akademisi Ekonomi
Syariah, sangat dibutuhkan. Hal ini dimaksudkan agar lembaga yang terkait dengan konsentrasi
pada perkembangan asuransi syariah terus tetap melakukan sosialisasi dan mendampingi secara
terus-menerus pembahasan RUU Perasuransian,sehingga pengundangan asuransi syariah bukan
mustahil akan terwujud.
Pelembagaan UU tentang Asuransi Syariah akan lebih baik lagi, jika didukung oleh
sumber daya manusia (SDM) yang unggul dan berkualitas. Dengan demikian, keberadaan
asuransi syariah dapat memberikan solusi bagi kegelisahan umat Islam selama ini yang masih
ditemukan adanya unsur riba dan gharar dalam transaksi bisnis asuransi.

DAFTAR PUSTAKA
A.S.S. Tambunan, Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945 (Jakarta : Puporis Publishers, 2002).
Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia (Jakarta : YLBHI,) 1988.
Bank Indonesia, Laporan Perkembangan Perbankan Syariah Tahun 2005.
Bill Rismon, “Arsitekur Strategik Perum Pegadaian,” Tesis S2, Program Studi Manajemen dan
Bisnis Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor : 2010.
David Kairsy (ed). The Politics of Law, A Progressive Critique (New York : Pantheon
Books,1990).
Erman Rajagukguk, Ilmu Hukum Indonesia : Pluralisme, Disampaikan pada Diskusi Panel
dalam rangka Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Djati Bandung Ke-37, 2 April 2005.
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum (Jakarta : Raja Grafindo),
2008.
Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005).
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi (Jakarta : Konstitusi Press,
2005).
L J. van Appeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum Terj. Supomo (Jakarta : Pradnya Paramitha), Cet.
Ke-18, 1981.
Lilik Mulyadi, Politik Hukum dalam Kebijakan Legislasi Pembalikan Terhadap Beban
Pembuktian Terhadap Kesalahan dan Harta Kekayaan Pelaku Tindak Pidana Korupsi,
Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XXVII No.302 Januari 2011, IKAHI.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Himpunan Fatwa (Jakarta: MUI, 2002).
Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia (Jakarta : LP3ES, 1998).
Muhammad Amin Suma dalam “Arah Pengembangan Hukum Ekonomi Islam/Syariah di
Indonesia,” Makalah, dalah seminar Nasional Reformulasi Sistem Ekonomi Syariah dan
Legislasi Nasional di Grand Candi Hotel, Semarang tanggal 6-8 Juni 2006.
Rifyal Ka’bah, Kodifikasi Hukum Islam Melalui Perundang-Undangan Negara di Indonesia,
Majalah Hukum Suara Uldilag Vol.II No.5, Jakarta, September 2004.
Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan (Jakarta : Maju Mundur, 1998).
Sri Wahyuni, Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi Terhadap Legislasi Kompilasi Hukum
Islam) Jurnal Mimbar Hukum No. 59 Thn XIV, Al-Hikmah, 2003.
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu sistem Hukum Nasional (Bandung : Alumni,
1991).
Teuku Muhammad Radhie dalam Majalah PRISMA, No. 6 Tahun Ke I-II, Desember 1973.
Tjuk Wirawan, Politik Hukum di Indonesia (Jember : UPT Unej, 2004).
Wawancara dengan Diana, Staf Baleg DPR RI, Jakarta 30 Maret 2013.
Zainudin Ali, Hukum Ekonomi Syariah(Jakarta: Sinar Grafika, 2008).
Zubairi Hasan, Undang-undang Perbankan Syariah Titik Temu Hukum Islam dan Hukum
Nasional (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), Cet. Ke-1.
Internet :

http://salingmelindungi.com/2012/12/wacana-undang-undang-asuransi-syariah/diakses
pada
tanggal 16 Oktober 2013.
http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/EKONOMI%20SYARIAH/PROSPEK%20LEGISLAS
I%20FIKIH%20MUAMALAH.pdf diakses pada tanggal 16 Oktober 2013.

http://www.bapepam.go.id/perasuransian/regulasi_asuransi/uu_asuransi/UU_No.2_Th.1992_Tt
g_Usaha_Perasuransian.pdf diakses pada tanggal 16 Oktober 2013.
http://www.bisnis.com/articles/asuransi-syariah-di-ri-kian-bergairah. diakses pada tanggal 16
Oktober 2013
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-ekonomi/12/04/29/m37z3v-insya-allahrevisi-uu-asuransi-bahas-syariah-selesai-tahun-ini. diakses pada tanggal 16 Oktober
2013