BAB II DASAR TEORI (7)

BAB II
DASAR TEORI
2.1 Klasifikasi Jalan
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22 tahun 2009, jalan
adalah prasarana transportasi yang meliputi segala bagian jalan, termasuk
bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas,
yang berada pada permukaan tanah, diatas permukaan tanah, dibawah permukaan
tanah dan atau air. Berdasarkan pasal 19 ayat 2 undang-undang No. 22 tahun 2009
tentang lalu lintas dan angkutan jalan, Kelas jalan dibedakan menjadi :
1. Jalan kelas I yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui kendaraan
bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus)
milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 (delapan belas ribu)
milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan
muatan sumbu terberat 10 (sepuluh) ton;
2. Jalan kelas II yaitu jalan arteri, kolektor, lokal dan lingkungan yang dapat
dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua
ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 (dua belas
ribu) milimeter, ukuran paling tinnggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter,
dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton;
3. Jalan kelas III yaitu jalan arteri, kolektor, lokal dan lingkungan yang dapat
dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 (dua

ribu seratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 (sembilan ribu)
milimeter, ukuran paling tinnggi 3.500 (tiga ribu lima ratus) milimeter, dan
muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton; dan
4. Jalan kelas khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor
dengan ukuran lebar melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran
panjang melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinnggi
4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih dari
10 (sepuluh) ton.

4

Berdasarkan Undang-Undang no.38 tahun 2004 tentang Jalan serta Peraturan
Pemerintah no.34 tahun 2006 tentang Jalan, Jalan sesuai dengan peruntukannya
terdiri atas :
1.

Jalan Umum
a) Menurut Sistem, jaringan jalan terdiri atas sistem jaringan jalan primer dan
sistem jaringan jalan sekunder.
b) Menurut fungsinya dikelompokkan ke dalam jalan arteri, jalan kolektor,

jalan lokal, dan jalan lingkungan
c) Jalan umum menurut statusnya dikelompokkan ke dalam jalan nasional,
jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa
d) Pengaturan kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana jalan
dikelompokkan atas jalan bebas hambatan, jalan raya, jalan sedang, dan
jalan kecil.

2. Jalan Khusus
Jalan khusus bukan diperuntukkan bagi lalu lintas umum dalam rangka
distribusi barang dan jasa yang dibutuhkan.
2.2 Jaringan Jalan
Didalam pasal 6 dan pasal 9 peraturan pemerintah No 34 tahun 2006 tentang
jalan dijelaskan bahwa fungsi jalan terdapat pada sistem jaringan jalan primer dan
sistem jaringan jalan sekunder. Sistem jaringan jalan primer merupakan sistem
jaringan jalan yang menghubungkan antar kawasan perkotaan yang diatur secara
berjenjang sesuai dengan peran perkotaan yang dihubungkannya.Sistem jaringan
jalan sekunder merupakan sistem jaringan jalan yang menghubungkan antar
kawasan di dalam perkotaan yang diatur secara berjenjang sesuai dengan fungsi
kawasan yang dihubungkannya. Didalam pasal 9 ayat 1 peraturan pemerintah No
34 tahun 2006 Berdasarkan sifat dan pergerakan pada lalu lintas angkutan jalan

fungsi jalan dibedakan atas jalan arteri, kolektor, lokal dan lingkungan. Menurut
sukirman (1999) penjelasan dari masing-masing fungsi jalan tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Jalan arteri, adalah jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri
perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah jalan masuk
dibatasi secara efisien.

5

2. Jalan kolektor, adalah jalan yang melayani angkutan pengumpulan dan
pembagian atau pembagian dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan
rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.
3. Jalan lokal, adalah jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciriciri
perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk
tidak dibatasi.
Dengan demikian sistem jaringan jalan primer terdiri dari:
1) Jalan arteri primer, adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang pertama
yang terletak berdampingan atau menghubungkan kota jenjang pertama
dengan kota jenjang kedua. Berdasarkan pasal 13 UndangUndang No. 34
tahun 2006 Persyaratan yang harus dipenuhi oleh jalan arteri primer ini

adalah:
a) Kecepatan rencana ≥ 60 km/jam
b) Lebar badan jalan ≥ 11 m
c) Kapasitas jalan lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata
d) Jalan masuk dibatasi secara efisien sehingga kecepatan rencana dan
kapasitas jalan dapat tercapai
e) Tidak boleh terganggu oleh kegiatan lokal, lalu lintas lokal, dan lalu
lintas ulang alik
f) Jalan arteri primer tidak putus walaupun memasuki kota
g) Tingkat kenyamanan dan keamanan yang dinyatakan dengan indeks
permukaan tidak kurang dari 2
2) Jalan kolektor primer, adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang
kedua dengan kota jenjang kedua atau yang menghubungkan kota jenjang
kedua dengan kota jenjang ketiga. Berdasarkan pasal 14 Undang-Undang
No. 34 tahun 2006 Persyaratan yang harus dipenuhi oleh jalan kolektor
primer adalah:
a) Kecepatan rencana ≥ 40 km/jam
b) Lebar badan jalan ≥ 9 m
c) Kapasitas jalan lebih besar atau sama dengan volume lalu lintas ratarata
d) Jalan kolektor primer tidak terputus walaupun memasuki daerah kota.


6

e) Jalan masuk dibatasi sehingga kecepatan rencana dan kapasitas jalan
tidak terganggu
f) Indeks permukaan tidak kurang dari 2
3) Jalan lokal primer, adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang pertama
dengan persil, atau menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota
jenjang ketiga dengan kota jenjang dibawahnya, kota jenjang ketiga dengan
persil, atau kota dibawah jenjang ketiga sampai persil. Berdasarkan pasal
15 Undang-Undang No. 34 tahun 2006 Persyaratan jalan lokal primer
adalah:
a) Kecepatan rencana ≥ 20 km/jam
b) Lebar badan jalan ≥ 7,5 m
c) Jalan lokal primer tidak terputus walaupun memasuki desa
d) Indeks permukaan tidak kurang dari 2
4) Jalan lingkungan primer Berdasarkan pasal 16 Undang-Undang No. 34
tahun 2006, persyaratan jalan lingkungan primer adalah:
a) Kecepatan rencana paling rendah 15 km/jam
b) Lebar badan jalan minimal 6,5 m

c) Diperuntukkan bagi kendaraan bermotor roda tiga atau lebih
d) Jika tidak diperuntukkan bagi kendaraan bermotor roda tiga atau lebih,
harus mempunyai lebar paling sedikit 3,5 meter.
Sedangkan sistem jaringan jalan sekunder terdiri dari:
1) Jalan arteri sekunder adalah jalan yang menghubungkan kawasan primer
dengan kawasan sekunder pertama atau menghubungkan kawasan sekunder
pertama dengan kawasan sekunder pertama, atau mengubungkan kawasan
sekunder pertama dengan kawasan sekunder kedua. Berdasarkan pasal 17
Undang-Undang No. 34 tahun 2006, Persyaratan dari jalan arteri sekunder
adalah:
a) Kecepatan rencana ≥ 30 km/jam
b) Lebar badan jalan ≥ 11 m
c) Kapasitas jalan sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata
d) Tidak boleh diganggu oleh lalu lintas lambat
e) Indeks permukaan minimal 1,5

7

2) Jalan kolektor sekunder, adalah jalan yang menghubungkan kawasan
sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau menghubungkan

kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga. Berdasarkan
pasal 18 Undang-Undang No. 34 tahun 2006 Persyaratan yang harus
dipenuhi oleh jalan kolektor sekunder adalah:
a) Kecepatan rencana ≥ 20 km/jam
b) Lebar badan jalan ≥ 7 m
c) Indeks permukaan minimal 1,5
3) Jalan lokal sekunder, adalah jalan yang menghubungkan kawasan sekunder
pertama dengan perumahan, menghubungkan kawasan sekunder kedua
dengan perumahan, kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke
perumahan. Berdasarkan pasal 19 Undang-Undang No. 34 tahun 2006,
Persyaratan jalan lokal sekunder adalah:
a) Kecepatan rencana ≥ 10 km/jam
b) Lebar badan jalan ≥ 7,5 m
c) Indeks permukaan tidak kurang dari 1,0
4) Jalan lingkungan sekunder Berdasarkan pasal 20 Undang-Undang No. 34
tahun 2006, persyaratan jalan lingkungan sekunder adalah:
a) Jalan lingkungan sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana
paling rendah 10 (sepuluh) kilometer per jam dengan lebar badan jalan
paling sedikit 6,5 (enam koma lima) meter
b) Persyaratan teknis jalan lingkungan sekunder diperuntukkan bagi

kendaraan bermotor roda tiga atau lebih
c) Jika tidak diperuntukkan bagi kendaraan bermotor roda tiga atau lebih,
harus mempunyai lebar paling sedikit 3,5 meter.
2.3 Umur Rencana Jalan
Berdasarkan Petunjuk Perencanaan Perkerasan Lentur Jalan Raya dengan
Metode Lendutan dijelaskan bahwa umur rencana adalah jumlah waktu dan tahun
dihitung sejak jalan tersebut mulai dibuka sampai saat diperlukan perbaikan berat
atau dianggap perlu diberi lapis permukaan yang baru.
Umur rencana adalah jumlah tahun dari saat jalan tersebut dibuka untuk lalu
lintas

kendaraan

sampai

diperlukan

suatu
8


perbaikan

yang

bersifat

struktural.Selama umur rencana tersebut pemeliharaan perkerasan jalan tetap
harus dilakukan, seperti pelapisan non struktural yang berfungsi sebagai lapisan
aus dan kedap air.Umur rencana untuk perkerasan lentur jalan baru umumnya
diambil 20 tahun dan untuk peningkatan jalan 10 tahun.Umur rencana yang lebih
besar dari 20 tahun tidak lagi ekonomis karena perkembangan lalu lintas yang
terlalu besar dan sukar mendapatkan ketelitian yang memadai.
2.4 Jenis-Jenis Perkerasan Jalan Raya
Berdasarkan bahan pengikatnya, konstruksi perkerasan jalan dapat dibedakan atas:
1. Konstruksi Perkerasan Lentur (flexible pavement), yaitu: Perkerasan yang
menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Lapisan-lapisan perkerasannya
bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu-lintas ke tanah dasar.
2. Konstruksi Perkerasan Kaku (rigid pavement), yaitu : Perkerasan yang
menggunakan semen (portland cement) sebagai bahan pengikat.
3. Konstruksi Perkerasan Komposit (composite pavement), yaitu: perkerasan

kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur, dapat berupa perkerasan
lentur diatas perkerasan kaku, atau perkerasan kaku diatas perkerasan lentur.

9

Beban Lalu-Lintas

Tegangan Tekan

Regangan Tarik

Regangan Tarik

Lapisan Beraspal
Lapisan Pondasi Atas
Lapisan Pondasi Bawah
Tanah Dasar
Regangan Tekan

≥ yd


Gambar 2.1 Tipikal Beban, Regangan/Tegangan yang bekerja pada Perkerasan
Sumber: Anonim,2007

Konstruksi perkerasan jalan adalah satu atau beberapa lapis konstruksi yang
dibangun diatas tanah dasar yang merupakan bagian teratas (yang telah
dipersiapkan) dari badan jalan,dengan tugas menyebarkan beban yang diterima
dari roda lalu-lintas secara efektif sehingga tekanan yang timbul dipermukaan
tanah dasar dapat dipikul oleh tanah dasar sesuai dengan daya dukungnya
sedangkan badan jalan, secara umum dapat didefinisikan sebagai berikut:
Konstruksi badan jalan adalah bagian konstruksi jalan yang dapat

berupa

timbunan maupun galian yang dipersiapkan sedemikian rupah sehingga dapat
mencapai kondisi stabil (kokoh) baik dengan perkuatan, maupun tanpa perkuatan,

10

dan siap untuk menerima diletakkannya (dibangunnya) dengan stabil konstruksi
perkerasan diatasnya.
Selain bertugas sebagai penyebar beban secara efektif dari roda lalu-lintas
ketanah dasar, konstruksi perkerasan juga berfungsi sebagai permukaan yang akan
dilewati oleh roda lalu lintas dengan cepat, aman, dan nyaman sehingga
konstruksi perkerasan harus cukup rata, awet, dan tidak licin.
Untuk dapat mengemban tugas dan fungsi, konstruksi perkerasan tidak
boleh terganggu kestabilannya oleh konstruksi lain yang merupakan tempatnya
meletak, yaitu badan jalan.
Adanya gangguan dari badan jalan (misalnya lendutan atau konsolidasi)
akan mengganggu kestabilan konstruksi dan konstruksi perkerasan yang tertanggu
kestabilannya tidak dapat menyebarkan beban roda lalu-lintas secara efektif
sehingga tekanan yang sampai ketanah dasar akan “berlebih”, dan permukaan
perkerasan tidak akan bisa rata, awet, dan tidak licin karena gangguan tersebut.
Sebaliknya konstruksi perkerasan jalan yang karena sesuatu hal dapat menjadi
turun kemampuannya dalam menyebarkan roda lalu-lintas ketanah dasar sebagai
bagian teratas dari badan jalan.
Dalam keadaan seperti ini, tekanan yang terjadi pada permukaan badan jalan
(sebagai tanah dasar) akan tidak dapat dipikulnya karena melebihi daya dukung
tanah dasar atau permukaan badan jalan.Diperlukan adanya keharmonisan
pelaksanaan tugas dan fungsi antara konstruksi perkerasan dan badan jalan dalam
mewujudkan konstruksi jalan yang mantap, Komponen-komponen selain
konstruksi perkerasan dan badan jalan yang ikut menentukan kestabilan
konstruksi jalan, misalnya drainase, slope, dll.
Hal yang penting adalah kondisi daya dukung pada badan jalan ( misalnya
soft soil,expansive soil ) harus melalui perkuatan (pile, cerucuk, geotextile, dll)
atau stabilisasi jalan, dan sama sekali tidak pas atau tidak tepat sasaran bilamana
kita mengharapkan solusi dari konstruksi perkerasan yang ada diatasnya. Hal
tersebut disebabkan karena “ tupoksi” masing-masing berbeda
Perkerasan fleksibel (aspal atau interblok) relatif tidak peka ( tidak mudah
rusak ) terhadap kemungkinan terjadinya deformasi pada lapisan di bawahnya

11

yaitu badan jalan. Hal ini tidak seperti pada konstruksi perkerasan kaku/beton
semen.
Konstruksi Perkerasan

Tanah dasar

Badan jalan di daerahgalian

Badan jalan di daerahtimbunan

Gambar 2.2. Konstruksi Perkerasan Jalan
Sumber:Anonim, 2003
2.4.1 Karakteristik–karakteristik perkerasan lentur antara lain :
Bersifat elastis jika menerima beban sehingga dapat memberi kenyamanan
bagi pengguna jalan:
a. Pada umumnya menggunakan bahan pengikat aspal.
b. Seluruh lapisan ikut menanggung beban.
c. Penyebaran tegangan ke lapisan tanah dasar sedemikian sehingga tidak
merusak lapisan tanah dasar.
2.4.2 Susunan lapisan perkerasan lentur
Bagian perkerasan lentur umumnya meliputi: lapisan tanah dasar (sub grade),
lapisan pondasi bawah (sub base), lapisan pondasi atas (base), Lapisan permukaan
(surface).
1. Tanah Dasar (Sub Grade)
Lapisan tanah dasar (sub grade) adalah permukaan tanah semula atau
permukaan galian atau permukaan tanah timbunan, yang merupakan permukaan
dasar sebagai perletakan dari bagian–bagian perkerasan lainnya. Kekuatan dan
keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung dari sifat-sifat dan daya
dukung tanah dasar.
Perkerasan jalan diletakan diatas tanah dasar, dengan demikian secara
keseluruhan mutu dan daya tahan konstruksi perkerasan tidak lepas dari sifat
tanah dasar. Tanah yang baik untuk konstruksi perekerasan jalan adalah tanah
dasar yang berasal dari lokasi itu sendiri atau didekatnya (CBR >3%, 725)
yang telah dipadatkan sampai tingkat kepadatan tertentu sehingga, mempunyai
12

daya dukung yang baik serta berkemampuan mempertahankan perubahan volume
selama masa palayanan walaupun terdapat pelayanan kondisi lingkungan dan jenis
tanah setempat. Sifat masing-masing jenis tanah tergantung dari tekstur,
kepadatan, kadar air, kondisi lingkungan dan lain sebagainya.
Umumnya persoalan yang menyangkut tanah dasar adalah sebagai berikut :
a. Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) dari macam tanah tertentu
akibat beban lalu-lintas.
b. Sifat mengembang dan menyusut dari tanah tertentu akibat perubahan
kadar air.
c. Daya dukung tanah yang tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti
pada daerah dengan macam tanah yang sangat berbeda sifat dan
kedudukannya, atau akibat pelaksanaan.
d. Lendutan dan lendutan balik selama dan sesudah pembebanan lalu-lintas
dari macam tanah tertentu.
e. Kondisi geologist dari lokasi jalan perlu dipelajari dengan teliti, jika ada
kemungkinan lokasi jalan berada pda daerah patahan.
2. Lapisan Pondasi Bawah (Sub Base)
Lapis pondasi bawah (sub base) adalah lapisan perkerasan yang terletak
diantara lapisan pondasi atas (base) dengan lapisan tanah dasar (sub grade).
Fungsi lapisan pondasi bawah antara lain :
a. Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan
menyebarkan beban roda.
b. Mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar lapisanlapisan selebihnya dapat dikurangi tebalnya (penghematan biaya
konstruksi).
c. Untuk mencegah tanah dasar masuk kedalam lapisan pondasi.
d. Sebagai lapis pertama agar pelaksanaan dapat berjalan lancar.
Hal ini sehubungan dengan terlalu lemahnya daya dukung tanah dasar
terhadap roda-roda alat-alat besar atau karena kondisi lapangan yang memaksa
harus segera menutup tanah dasar dari pengaruh cuaca.
Bermacam–macam tipe tanah setempat (CBR ≥ 20%, PI ≤ 10%) yang relatif
lebih baik dari tanah dasar dapat digunakan sebagai bahan pondasi bawah.

13

Campuran–campuran tanah setempat dengan kapur atau semen portland dalam
beberapa hal sangat dianjurkan, agar dapat bantuan yang efektif terhadap
kestabilan konstruksi perkerasan.
3. Lapisan Pondasi Atas (Base)
Lapis pondasi atas (base) adalah lapisan perkerasan yang terletak diantara lapisan
pondasi bawah (sub base) dengan lapisan permukaan (surface).
Fungsi lapisan pondasi atas antara lain :
a. Sebagai bagian perkerasan yang menahan beban roda.
b. Sebagai perletakan terhadap lapisan permukaan.
Bahan–bahan untuk lapisan pondasi atas umumnya harus cukup kuat dan
awet sehingga dapat menahan beban–beban roda. Sebelum menentukan suatu
bahan untuk digunakan sebagai bahan pondasi, hendaknya dilakukan penyelidikan
dan pertimbangan sebaik–baiknya sehubungan dengan persyaratan teknik.
bermacam–macam bahan alam/bahan setempat (CBR ≥ 50%, PI ≤ 4%) dapat
digunakan sebagai bahan lapisan pondasi atas, antara lain: batu pecah, kerikil
pecah dan stabilisasi tanah dengan semen atau kapur.
Menurut Silvia Sukirman (1999) jenis lapisan pondasi bawah yang umum
dipergunakan di Indonesia, antara lain :
1) Agregat bergradasi baik, dibedakan atas :
a) Sirtu / Pitrun kelasA
b) Sirtu / Pitrun kelas B
c) Sirtu / Pitrun kelas C
Sirtu kelasA bergradasilebih halus dari kelas B, yang masing-masing dapat
dilihat pada spisifikasi yang diberikan.
2) Stabilisasi
a) Stabilisasi agregat dengan semen (cement treated subbase)
b) Stabilisasi agregat dengan kapur (lime treated subbase)
c) Stabilisasi agregat dengan aspal (asphalt treated subbase)
d) Stabilisasi tanah dengan semen (soil cement stabilization)
e) Stabilisasi tanah dengan kapur (soil limestabilization)
4. Lapisan Permukaan (Surface)

14

Lapisan permukaan (surface) adalah lapisan perkerasan yang paling atas dan
langsung menerima beban lalu-lintas serta mendistribusikan beban yang
diterimanya ke lapisan perkerasan di bawahnya. Fungsi lapisan permukaan
antara lain;
a. Sebagai bahan perkerasan untuk menahan beban roda.
b. Sebagai lapisan rapat air untuk melindungi badan jalan dari kerusakan
akibat cuaca.
c. Sebagai lapisan aus (wearing course).
Bahan untuk lapisan permukaan umumnya adalah sama dengan bahan untuk
lapisan pondasi atas, dengan persyaratan yang lebih tinggi. Penggunaan bahan
aspal diperlukan agar lapisan dapat bersifat kedap air, disamping itu bahan aspal
sendiri memberikan bantuan tegangan tarik, yang berarti mempertinggi daya
dukung lapisan terhadap beban roda lalu-lintas. Pemilihan bahan untuk lapis
permukaan perlu dipertimbangkan kegunaan, umur rencana, serta pentahapan
konstruksi agar dicapai manfaat yang sebesar-besarnya daripada biaya yang
dikeluarkan.

Gambar 2.3 Susunan Perkerasan Jalan
Sumber : Sukirman (1999).
2.5 Tebal Lapis Tambah (Overlay)
Di dalam Pedoman Perencanaan Tebal Lapis Tambah Perkerasan Lentur
dengan Metode Lendutan Pd.T-05-2005-B disebutkan pengertian tebal lapis
tambah (overlay) merupakan lapis perkerasan tambahan yang dipasang di atas
konstruksi perkerasan yang ada dengan tujuan untuk meningkatkan kekuatan
struktur

perkerasan

yang

ada

agar

dapat

melayani

lalu

lintas

yang

direncanakan selama kurun waktu yang akan datang. Tebal lapis tambah
(overlay) dibutuhkan apabila konstruksi perkerasan yang ada tidak dapat lagi
memikul

beban

lalu

lintas

yang

beroperasi
15

baik

karena

penurunan

kemampuan struktural atau karena mutu lapisan perkerasan yang sudah jelek.
Tebal Lapis tambah juga dibutuhkan apabila perkerasan harus diperkuat
untuk memikul beban yang lebih berat atau pengulangan beban yang lebih
banyak dari yang diperhitungkan dalam perencanaan awal.
Pekerjaan lapisan tambahan memerlukan beberapa pekerjaan persiapan yang
harus di lakukan idealnya kerusakan perkerasan harus di perbaiki terlebih dahulu
sebelum dilakukannya pekerjaan lapis tambahan sebelum di lakukan lapis ulang
atau tambahan perlu di lakukan dahulu survei-survei sebagai berikut :
1. Survei Kondisi Pemukaan
Survei ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kenyamanan perkerasan
survei ini bisah di lakukan secara visual ataupun dengan bantuan alat
mekanis.Survei yang di lakukan secara visual ini dilakukan untuk menilai
kondisi lapis permukaan apakah dalam kondisi baik atau dalam kondisi rusak,
kemudian pada survei ini di lakukan penelitian terhadap kenyamanan apakah
kondisi yang ada termasuk kondisi nyaman, kurang nyaman atau bahkan tidak
nyaman.penilaian terhadap tingkat kerusakan baik dan segi kualitas atau
kuantitas juga di lakukan secara visual terhadap keadaan retak (cracking),
lubang (potholes), alur (rutting), pelepasan butir (raveling), pengelupasan
lapisan ulang (strippping), keriting (corrugation), amblas (depression), jembul
(upheaval), kegemukan (bledding) atau sungkur (shoving).
Survei dengan alat rough meter yang ditempel pada sumbu belakang roda
dengan tujuan untuk mengukur gerakan vertikal sumbu pada kecepatan
tertentu. Hal ini akan di peroleh kerataan dari permukaan jalan yang diukur
dengan naik turunnya jarum.
2. Survei Kelayakan Struktural Kondisi Perkerasan
Survei tentang kelayakan struktur dari konstruksi perkerasan dapat di lakukan
dengan dua cara yaitu secara merusak (destruktif) dan tidak merusak (nondestruktif).
Salah satu cara survei kelayakan struktur perkerasan yang merusak yaitu
dengan mengambil sampel pada perkerasan lama dengan cara-cara membuat
test-pit. Hasil dari sampel perkerasan yang di ambil dari lapangan langsung di

16

uji dilaboratorium. namun cara ini tidak begitu disukai karena akan merusak
perkerasan jalan.
Cara yang lebih disukai karena tidak merusak permukaan jalan yaitu cara nondestruktif dengan menggunakan alat bankelman beam.alat tersebut di rangkai
bersama truk dengan berat total 8,2 alat di letakan dipermukaan jalan lalu di tarik
truk sehingga muncul data lendutan dari permukaan jalan tersebut.
2.6 Benkelman Beam (BB)
Benkelman Beam merupakan alat yang digunakan untuk mengukur lendutan
balik, lendutan langsung dan titik belok perkerasan yang menggambarkan
kekuatan struktur perkerasan jalan (Bina Marga, 2005).Penggunaan alat ini
sangat efektif untuk menentukan kekuatan struktur tanpa menyebabkan
kerusakan pada permukaan jalan.dari hasil pengujian akan diperoleh nilai
lendutan balik maksimum, lendutan balik titik belok dan cekung lendutan
(SNI 2416 2011).
Lendutan maksimum adalah besarnya lendutan balik pada kedudukan di titik
kontak batang Benkelman Beam setelah beban berpindah sejauh 6 meter,
Lendutan balik titik belok adalah besarnya lendutan balik pada kedudukan di
titik kontak batang benkelman beam setelah beban berpindah 0,4 meter, dan
cekung lendutan adalah kurva yang menggambarkan bentuk lendutan dari
suatu segmen jalan.
Data-data tersebut diatas kemudian dapat dijadikan sebagai data perencanaan
desain tebal lapis tambah (overlay).

Gambar 2.4 Alat Benkelmen Beam
Sumber: Pd.T-05-2005-B

17

2.7 Pengujian Lendutan Perkerasan Lentur Dengan Alat Benkelmen Beam
Batang bengkelman untuk mengukur lendutan perkerasan jalan pertama kali di
perkenalkan oleh A.C.Bengkelman pada awal 1950. Batang bengkelman yang di
gunakan di indonesia terbagi menjadi dua bagian dengan perbandingan 1:2 oleh
sumbuh O,seperti pada gambar 2.4 dengan panjang total batang adalah (366 ±
0,16) cm.
Untuk mengukur lendutan perkerasan jalan batang Bengkelman diletakan di
antara roda belakang truk yang memiliki sumbu belakang sama dengan jenis dan
beban sumbuh standar. Posisi ujung batang Bengkelman seperti pada Gambar 2.5

Sumber Pd.T-05-2005-B
Gambar 2.5 Posisi Bengkelman Beam
Karakteristik truk yang di gunakan sebagai penyebab beban pada titik yang di
yang hendak di ukur lendutannya adalah sebagai berikut:
1. Berat kosong truk ( 5 ± 0,1 ) ton
2. Sumbu belakang truk adalah sumbu tunggal roda ganda
3. Beban masing- masing roda belakang ban ganda = (4,08 ± 0,045 ton)
atau (9000 ± 100) pon. Beban sumbu belakang truk sama dengan
sumbu standar 18.000 pon.
Temperatur udara dan termperatur permukaan jalan di ukur bersamaan
dengan pengukuran lendutan dengan menggunakan alat seperti pada gambar 2.6

18

Gambar: 2.6 Alat pengukur temperatur permukaan
Alat bengkelman beam di gunakan untuk mengukur lendutan balik, lendutan
balik titik belok, lendutan maksimum, dan cekung lendutan. Namun, hanya
lendutan balik yang umum digunakan untuk merencanakan tebal lapis tambah.
Lendutan balik (rebound deflection) adalah besarnya lendutan balik vertikal akibat
beban pada titik pengamatan dihilangkan. Pengukuran dilakukan setelah truk
bergerak maju kedepan sejarak 6 m dari titik pengamatan dengan kecepatan 5 km/
jam. menunjukan posisi beban saat pengukuran lendutan balik.
Besarnya lendutan balik di pengaruhi oleh temperatur, beban dan muka air
tanah pada saat pengukuran. Prosedur pengukuran mengikuti Pd.T-05-2005-B
yaitu Metode Pengujian Lendutan Perkerasan Lentur dengan alat Bengkelman
Beam.

Sumber: Pd.T-05-2005-B
Gambar:2.7 Hubungan lendutan dengan pembacaan dial alat bengkelman beam
2.7.1 Lendutan Balik
Berdasarkan

pedoman

Pd.T-05-2005-B,

besarnya

lendutan

balik

ditentukan dengan menggunakan rumus 2.1
d = 2 x (d3 - d1) Ft x Ca x FKB-BB..........................................................(2.1)
dengan:

19

d = lendutan balik (mm)
d1 = lendutan pada saat beban tetap pada titik pengukuran
d3 = lendutan pada saat beban berada pada jarak 6 meter dari titik
pengukuran
Ft = faktor penyesuaian lendutan balik terhadap temperatur standar 35°C
sesuai Rumus 2.1 untuk tebal lapis beraspal (H L) < 10 cm dan
Rumus 2.1 untuk tebal lapis beraspal ≥ dengan 10 cm. Tabel 2.1
dan Gambar 2.8 menunjukkan nilai Ft untuk berbagai nilai TL.

Sumber: Pd.T-05-2005-B
Gambar 2.8 Faktor koreksi lendutan balik terhadap temperatur standar.

Tabel 2.1 Faktor Koreksi Lendutan Terhadap Temperatur Standar (Ft)

Sumber:Pd.T-05-2005-B
20

Ft

= 4,184 x TL -0,4025, untuk HL < 10 cm.......................................(2.2)

Ft

= 14,785 x TL -0,7573, untuk HL ≥ 10 cm.....................................(2.3)

TL

= temperatur lapis beraspal, diperoleh dari pengukuran langsung di
lapangan atau dapat diprediksi dari temperatur udara, yaitu:

TL

= 1/3 (Tp + Tt +Tb)...................................................................(2.4)

Tp

= temperatur permukaan beraspal

Tt

= temperatur tengah beraspal

Tb

= temperatur bawah beraspal

Ca

= faktor pengaruh muka air tanah (faktor musim)
= 1,2; jika pengujian dilakukan pada musim kemarau atau muka air
tanah rendah
= 0,9; jika pengujian dilakukan pada musim hujan atau muka air
tanah tinggi

FKB-BB = faktor koreksi beban uji Bengkelman Beam
FKB-BB = 77,343 x (beban uji dalam ton)(

2,0715

).......................................................(2.5)

Lendutan balik yang telah di koreksi akibat temperatur, muka air tanah, dan
beban uji digambarkan seperti contoh pada Gambar 2.7 Gambar ini
mempermudah melihat secara visual tingkat keseragaman lendutan untuk
penentuan batas segmen pada tahap perencanaan tebal lapis tamba
Tabel 2.1 Temperatur Tengah (Tt) dan Bawah (Tb) Lapis Beraspal

21

Tabel 2.2 Temperatur Tengah (Tt) dan Bawah (Tb) Lapis Beraspal

Sumber: Pd.T-05-2005-B

22

Sumber: Pd.T-05-2005-B
Gambar:2.9 Contoh hasil pengukuran lendutan balik.
2.7.2 Lendutan Balik Segmen
Segmen adalah bagian dari luas jalan yang memiliki tingkat keseragaman nilai
lendutan balik. Tingkat keseragamaan dikategorikan atas sangat baik, baik, dan
cukup baik yang di tentukan dengan menggunakan Faktor Keseragaman (FK)
seperti pada Rumus 7.6.
s
FK
= dR x 100% ............................................................................ (2.6)
dengan :
FK
dR

= faktor keseragaman
= lendutan balik rata- rata pada satu segmen jalan
ns

dR

=

∑1 d

.......................................................................................

ns

(2.7)
S

= Deviasi standar atau simpangan baku

S

= √ ns ¿ ¿ ¿

d

= lendutan balik

ns

= jumlah data lendutan balik dalam satu segmen.

FK ijin adalah FK yang di ijinkan untuk satu segmen jalan, atau nilai FK yang
dapat diterima untuk menunjukan keseragaman satu segmen jalan

23

Ada 3 kategori tingkat keseragaman yaitu:
1. 0 – 10% keseragaman sangat baik
2. 11 – 22%, keseragaman balik
3. 21 – 30%, keseragaman cukup baik
Dwakil adalah nilai lendutan balik yang digunakan untuk menunjukan lendutan
balik satu segmen jalan dan digunakan untuk perencanaan tebal lapis tambah.
Penentuan Dwakil dipengaruhi oleh fungsi jalan atau tingkat kepercayaan yang
digunakan. Rumus dasar adalah:
Dwakil = dr + K.S......................................................................................(2.8)
dengan :
Dwakil

= lendutan balik untuk mewakili satu segmen jalan

dr

= lendutan balik rata- rata dari satu segmen jalan

K

= konstanta tergantung dengan tingkat kepercayaan yang dipilih sesuai
fungi jalan

K

= 2, tingkat kepercayaan 98%, digunakan untuk jalan arteri atau tol

K

= 1,64, tingkat kepercayaan 95%, digunakan untuk jalan kolektor

K

= 1,28, tingkat kepercayaan 90%, digunakan untuk jalan lokal.

2.8 Parameter Perencanaan Tebal Lapis Tambah (Overlay)
1. Analisa Lalu Lintas
Di dalam metode Pd-T-05-2005-B ini, Austroads tahun 1992 dijadikan
sebagai

acuan

dalam

melakukan

analisa

lalu

lintas.Perhitungan

beban

lalu lintas didasarkan pada muatan sumbu standar kendaraan sebesar 80
Kilo Newton dengan satuan CESA (Commulative Equavalent Standard
Axle). Dalam menentukan akumulasi beban sumbu standar selama umur rencana
(CESA) digunakan rumus berikut.
.......................................................................... (2.9)
Keterangan:
CESA =Akumulasi ekivalen beban sumbu standar
m

= Jumlah masing-masing jenis kendaraan

365

= Jumlah hari dalam satu tahun
24

E

= Ekivalen beban sumbu

C

= Koefisien distribusi kendaraan

N

= Hubungan umur rencana dengan perkembangan lalu lintas (N)

Terdapat

beberapa

parameter

yang

mempengaruhi

dalam

melakukan

perhitungan nilai Commulative Equavalent Standard Axle yaitu:
a. Jumlah Lajur Koefisien distribusi kendaraan (C)
Lajur rencana merupakan salah satu lajur lalu lintas dari suatu ruas
jalan tertentu yang menampung lalu lintas terbesar.
Jika lokasi penelitian tidak memiliki tanda batas lajur, maka jumlah lajur
ditentukan dari lebar perkerasan dengan menggunakan tabel 1.Sedangkan nilai
koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat yang lewat
pada lajur rencana ditentukan dengan menggunakan tabel 2. (Pd T-05-2005-B)
Tabel 2.3 Jumlah Lajur Berdasarkan Lebar Perkerasan

Sumber : Dinas Pekerjaan Umum, Pd-T-05-2005-B
Tabel 2.4 koefisien distribusi kendaraan

Sumber: Dinas Pekerjaan Umum Pd-T-05-2005-B
Keterangan: *)Mobil Penumpang
**) Truk dan Bus
b. Ekivalen Beban Sumbu Kendaraan (E)
Angka ekivalen beban kendaraan (E) merupakan angka yang menyatakan
perbandingan tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh suatu lintasan beban

25

sumbu kendaraan terhadap tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh suatu lintasan
beban sumbu standar.
Di dalam pedoman perencanaan tebal lapis tambah perkerasan lentur
dengan metode lendutan (Pd T-05-2005-B) ini, Angka ekivalen masing-masing
golongan beban sumbu kendaraan ditentukan dengan menggunakan rumus 2.10
sebagai berikut.
.................................................................. (2.10)
Keterangan:
Es

= Standar Ekivalen

NilaiEs

= 5,40 untuk beban sumbu tunggal roda tunggal (STRG)

Nilai Es

= 8,6 untuk beban sumbu tunggal roda ganda (STRG)

Nilai Es

= 13,76 untuk beban sumbu dual roda ganda (SDRG)

Nilai Es

= 18,45 untuk beban sumbu triple roda ganda (STrRG)

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, untuk menentukan nilai ekivalen
masing-masing golongan beban sumbu kendaraan (E) dapat juga dilakukan
dengan menggunakan tabel Ekivalen sebagai berikut.
Tabel 2.5 Ekivalen Beban Sumbu Kendaraan

Sumber : Dinas Pekerjaan Umum, Pd-T-05-2005-B

26

c. Faktor umur rencana dan perkembangan lalu lintas (N)
Faktor hubungan umur rencana dan perkembangan lalu lintas ditentukan
menurut tabel 2.atau rumus dibawah ini:

............................................................... (2.11)
Tabel 2.6 Faktor hubungan antara umur rencana dengan perkembangan lalu lintas
(N)

Sumber: Dinas Pekerjaan Umum.Pd.T-05-2005-B
2. Analisa Lendutan
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan alat Benkelman Beam sehingga
analisa lendutan yang digunakan merupakan analisa dengan menggunakan
Benkelman Beam. Di dalam pedoman ini dijelaskan bahwa Pengukuran lendutan
pada perkerasan yang mengalami kerusakan berat dan deformasi plastis
disarankan dihindari. jika pengujian lendutan ditemukan data yang meragukan
maka di pindah pada lokasi sekitarnya.
a. Lendutan dengan alat Benkelman Beam (BB)
Perencanaan

ini

menggunakan

data

lendutan

balik

yang

diperoleh

dengan menggunakan alat Benkelman Beam (BB) serta telah dikoreksi dengan
faktor muka air tanah (faktor musim), faktor temperatur dan faktor beban uji (bila
27

beban uji tidak tepat sebesar 8,16 ton). Besarnya lendutan balik dapat dihitung
dengan rumus:
.......................................................................(2.12)
Keterangan:
dB

=lendutan balik (mm)

d1

=lendutan pada saat beban berada pada titik pengukuran (mm)

d3

= lendutan pada saat beban berada pada jarak 6 meter dari titik pengukuran
(mm)

Ft

= faktor penyesuain lendutan terhadap temperatur standar 35 C didapat
o

dari (kurva A HL < 10 cm dan kurva B untuk
HL ≥ 10 cm) ataupun dengan rumus:
.................................................... (2.13)
................................................... (2.14)
Keterangan :
TL = temperatur lapis beraspal, diperoleh dari hasil pengukuran
langsung dilapangan atau dapat diprediksi dari temperatur udara,
yaitu:
................................................................. (2.15)
Keterangan:
Tt =

temperetur tengah lapis beraspal

Tb = temperatur bawah lapis beraspal
TP = temperature permukaan lapis beraspal
Ca = faktor pengaruh muka air tanah (faktor musim)
= 1,2; jika pemeriksaan dilakukan pada musim kemarau atau
Muka air tanah rendah
= 0,9; jika pemeriksaan dilakukan pada musim hujan atau
muka air tinggi
FKB-BB = faktor koreksi beban uji Benkelman Beami (BB)

28

Gambar 2.10 Faktor Koreksi Lendutan Terhadap Temperatur Standar (Ft)
Sumber: Dinas Pekerjaan Umum Pd-T-05-2005-B

Tabel 2.7 Faktor koreksi lendutan terhadap temperatur standar (Ft)

Sumber: Dinas Pekerjaan Umum Pd.T-05-2005-B
Catatan:
Kurva A adalah faktor koreksi (Ft) untuk tebal lapis beraspal (H L) kurang dari 10
cm Kurva B adalah faktor koreksi (Ft) untuk tebal lapis beraspal (H L)
minimum 10 cm
Tabel 6. temperatur tengah (Tt) dan temperatur bawah (Tb) lapis beraspal
berdasarkan data temperatur udara (Tu) dan temperatur permukaan (Tp)

29

Sumber: Dinas Pekerjaan Umum Pd-T-05-2005-B

30

b.Keseragaman Lendutan
Perhitungan tebal lapis tambah yang dilakukan pada setiap titik pengujian
akan memberikan hasil desain yang lebih akurat, cara lain yang tetap sesuai
kaidah adalah dengan melakukan pembagian segmen yang didasarkan pada
pertimbangkan terhadap keseragaman lendutan.Penilaian keseragaman lendutan
ditentukan dengan rentang factor keseragaman, dimana Keseragaman yang
dipandang sangat baik mempunyai rentang antara 0 sampai dengan 10, antara 11
sampai dengan 20 keseragaman baik dan antara 21 sampai dengan 30
keseragaman cukup baik. Untuk menentukan faktor keseragaman lendutan adalah
dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
...................................................................................(2.16)
Keterangan:
FK

= faktor keseragaman (%)

FK ijin = faktor keseragaman yang diijinkan
= 0% - 10%; keseragaman sangat baik
= 11% - 20%; keseragaman baik
=21% -30%;keseragaman cukup baik
dR

= lendutan rata-rata pada suatu seksi jalan

....................................................................................(2.17)
S

= standar deviasi (simpangan baku)

............................................................................(2.18)
Keterangan:
d = nilai lendutan balik (dB) atau lendutan langsung (dL) tiap titik pemeriksaan
pada suatu seksi jalan
ns = jumlah titik pemeriksaan pada suatu seksi jalan
c. Lendutan Wakil
Didalam metode Pd T-05-2005-B ini, Besarnya nilai lendutan yang
mewakili suatu sub ruas atau seksi jalan disesuaikan dengan fungsi atau kelas
jalan dan ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut.
31

1) Untuk jalan arteri atau jalan tol (tingkat kepercayaan 98%)
......................................................................................(2.19)
2) Untuk jalan kolektor (tingkat kepercayaan 95%)
....................................................................................(2.20)
3) Untuk jalan lokal (tingkat kepercayaan 90%)
.....................................................................................(2.21)
Keterangan:
Dwakil = lendutan yang mewakili suatu seksi jalan
dR
s

=lendutan rata-rata pada suatu seksi jalan (Rumus 2.10)
= standar deviasi (simpangan baku)

3. Tebal Lapis Tambah
a . Faktor koreksi tebal lapis tambah (Fo)
Desain Tebal lapis tambah (overlay) dihitung berdasarkan temperature standar
35°C, karena setiap daerah di indonesia memiliki temperature perkerasan rata-rata
tahunan (TPRT) yang berbeda-beda, maka perlu dilakukan koreksi terhadap
temperatur standar.Di dalam metode Pd T-05-2005-B telah dilampirkan Data
temperature perkerasan rata-rata tahunan untuk setiap daerah atau kota
diindonesia. Sedangkan faktor koreksi tebal lapis tambah (Fo) dapat diperoleh
dengan Rumus
.......................................................................(2.22)
Keterangan:
Fo

=faktor koreksi tebal lapis tambah (overlay)

TPRT = temperatur perkerasan rata-rata tahunan untuk daerah atau kota tertentu.

32

Gambar 2.11faktor koreksi tebal lapis tambah (Fo)
Sumber: Dinas Pekerjaan Umum Pd-T-05-2005-B

b. Jenis Lapis Tambah
Metode Pd T-05-2005-B hanya berlaku untuk lapis tambah menggunakan
Laston dengan modulus resilien (MR) sebesar 2000 MPa dan Stabilitas Marshall
minimum 800 kg. Nilai modulus resilien (MR) mengacu pada hasil pengujian
UMATTA atau alat lain dengan temperatur 25°C. Apabila jenis campuran
beraspal untuk lapis tambah menggunakan Laston Modifikasi dan Lataston atau
campuran beraspal yang mempunyai sifat berbeda maka dapat menggunakan
factor

koreksi

tebal

lapis

tambah

penyesuaian

(FKTBL)

..............................................................................(2.23)
Keterangan:
FKTBL = faktor koreksi tebal lapis tambah penyesuaian
MR

= modulus resilien (MPa)

Gambar 2.12faktor koreksi tebal lapis tambah penyesuaian (FKTBL)

33

Sumber: dinas pekerjaan umum Pd-T-05-2005-B

Tabel 2.8 faktor koreksi tebal lapis tambah penyesuaian (FKTBL)

C.Prosedur Pengerjaan
Metode ini menjelaskan tahapan perhitungan desain tebal lapis tambah
dengan menggunakan alat Benkelman Beam (BB) dan alat FWD.Dikarenakan
penelitian ini menggunakan data lendutan balik yang diukur dengan menggunakan
alat Benkelman Beam (BB), maka Perhitungan tebal lapis tambah perkerasan
lentur dilakukan dengan menggunakan tahapan perhitungan berdasarkan alat
Benkelman Beam(BB). Tahapan perhitungan tersebut adalah sebagai berikut:
a.

Hitung repitisi beban lalu lintas (CESA) dalam ESA

b.

Hitung lendutan hasil pengujian dengan alat Benkelman Beam (BB) dan
koreksi dengan faktor muka air tanah (faktor musim, Ca) dan faktor
temperatur standar (Ft) serta faktor beban uji (FKB-BB) bila beban uji tidak
tepat sebesar 8,16 ton).

c.

tentukan panjang seksi yang memiliki keseragaman (FK) yang sesuai dengan
tingkat keseragaman yang diinginkan

d.

hitung

Lendutan

wakil

(Dwakil)

untuk

masing-masing

seksi

jalan

yang tergantung dari kelas jalan
e.

hitung lendutan rencana atau ijin (Drencana)
...................................................................(2.24)
Keterangan :
Drencana

= lendutan rencana, dalam satuan milimeter (mm).

CESA

= akumulasi ekivalen beban sumbu standar, dalam satuan ESA

lendutan rencana (Drencana) dapat juga ditentukan dengan memploting data lalu
lintas rencana (CESA) untuk lendutan balik dengan alat Benkelman Beam
(BB).
34

f.

Hitung tebal lapis tambah (overlay) (Ho) dengan menggunakan rumus:
......................................................(2.25)
Keterangan:
Ho = tebal lapis tambah sebelum dikoreksi temperatur rata rata tahunan
daerah tertentu (cm)
Dsblov=

lendutan sebelum lapis tambah atau Dwakil (mm)

Dstlov=lendutan setelah lapis tambah atau Drencana (mm)
g.

Hitung

tebal

lapis

tambah

(overlay)

terkoreksi

(Ht)

dengan

menggunakan rumus berikut:
...........................................................................................(2.26)
Keterangan:
Ht = tebal lapis tambah (overlay) laston setelah dikoreksi dengan temperatur
rata-rata tahunan daerah tertentu (cm).
Ho= tebal lapis tambah (overlay) laston sebelum dikoreksi dengan
temperature rata-rata tahunan daerah tertentu (cm).
Fo = faktor koreksi tebal lapis tambah (overlay)
h.

Bila jenis atau sifat campuran beraspal yang akan digunakan tidak

sesuai

dengan ketentuan di atas, maka tebal lapis tambah harus dikoreksi dengan
faktor tebal lapis tambah penyesuaian (FKTBL). gambar 2.13

Gambar 2.13 Hubungan Antara Lendutan Rencana Dan Lalu Lintas
Sumber: Dinas Pekerjaan Umum Pd-T-05-2005-B

35

Sumber :Pd.T-05-2005-B
2.9 Biaya
Biaya pelaksanaan fisik /Engineer Estimate (EE) dihitung berdasarkan volume
dan harga satuan dari masing–masing item pekerjaan. Volume masing–masing
item pekerjaan dihitung berdasarkan dari hasil perencanaan/desain. Adapun harga
satuan dihitung dengan menggunakan harga dasar bahan, upah/ tenaga dan alat,
yang berlaku di daerah tersebut.
Dalam pembuatan Engineer Estimate tersebut, sebagai acuan dasar dalam
penentuan harga bahan dan upah adalah parameter–parameter yang diterbitkan
oleh Dinas Pekerjaan Umum,berupa Buku Harga Satuan Bahan Bangunan dan
Upah. Dari harga dasar tersebut kemudian dianalisa harga satuan dasar bahan dan
upah yang akan dipergunakan untuk menghitung harga satuan pekerjaan. Harga
satuan dasar tersebut merupakan harga di lokasi pekerjaan.khusus untuk harga
dasar satuan upah harus tidak boleh di bawah UMR yang berlaku di daerah
tersebut.
Untuk menentukan harga satuan dasar peralatan, acuan dasarnya adalah
parameter/koefisien yang diterbitkan oleh perusahaan penjual alat tersebut,
sehingga dapat ditentukan biaya operasi alat perjam di lokasi pekerjaan.Harga
satuan pekerjaan diperoleh dari hasil analisa/perhitungan dengan menggunakan
argumen–argumen dari harga satuan dasar bahan, upah dan peralatan.
Besarnya biaya fisik yang diperlukan untuk pelaksanaan pekerjaan diperoleh
dengan cara perkalian antara volume pekerjaan berdasarkan desain yang telah
direncanakan dengan harga satuan dari masing–masing item pekerjaan tersebut).
36

DAFTAR HARGA
SATUAN BAHAN

DAFTAR HARGA
SATUAN UPAH

DAFTAR HARGA SATUAN UPAH &BAHAN

DAFTAR VOLUME DAN

HARGA SATUAN PEKERJAAN

REKAPITULASI

Gambar 2.14 Tahap penyusunan rencana anggaran biaya (RAB)
Sumber: Ervianto, 2007
2.9.1 Biaya Pelaksanaan
Dalam suatu pelaksanaan kegiatan ada 2 (dua) jenis biaya yang harus
perhitungkan yaitu :
1. Biaya langsung, terdiri dari : Alat,Bahan, Tenaga kerja.
2. Biaya tidak langsung, terdiri dari : Pajak, Overhead, Keuntungan.
Perhitungan biaya langsung dapat dibuat dengan cara mengalikan kwantitas suatu
pekerjaan dengan harga satuan pekerjaan.
Harga satuan pekerjaan didapat dari (3) tiga komponen, yaitu harga satuan upah,
bahan, dan peralatan.
Perkiraan biaya proyek dibuat jumlah dalam setiap bab mata pembayaran
yang itemnya sama dengan rincian item pada daftar kwantitas. Komponen biaya
tidak langsung, perhitungannya dapat dimasukan dalam perhitungan biaya
langsung secara bersamaan atau setelah perhitungan biaya langsung diperoleh.
2.9.2 Analisis Harga Satuan
Analisa harga satuan pekerjaan adalah jumlah harga bahan dan upah tenaga
kerja atau harga yang harus dibayar untuk menyelesaikan suatu pekerjaan
konstruksi berdasarkan perhitungan analisis.. Analisis disini adalah ketentuan
umum yang ditetapkan oleh Dinas Pekerjaan Umum. Dalam Analisis Satuan
Komponen, telah ditetapkan koefisien (indeks) jumlah tenaga kerja, bahan dan
alat untuk satu satuan pekerjaan.

37

1. Bahan
Bahan yang diperhitungkan ada 2 macam yaitu : Harga satuan bahan dasar dan
Harga satuan bahan olahan :
1) Harga satuan bahan dasar (batu, pasir, dan lain-lain)
Untuk bahan dasar, biasanya diberi keterangan sumber bahan tersebut misalnya
bahan diambil harga di quarry (batu kali, pasir, dan lain-lain) atau bahan
diambil di pabrik atau gudang grosir (semen, aspal, besi, dan sebagainya).
Data harga satuan bahan dasar yang digunakan dalam perhitungan analisa
harga satuan adalah sebagai berikut:
a) Harga pasar setempat pada waktu yang bersangkutan
b) Harga kontrak untuk barang/pekerjaan sejenis setempat yang pernah
dilaksanakan dengan mempertimbangkan faktor-faktor kenaikan harga yang
terjadi
c) Informasi harga satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh Biro Pusat
Statistik (BPS) dan media cetak lainnya
d) Daftar harga/tarif barang/jasa yang dikeluarkan oleh instansi yang
berwenang baik pusat maupun daerah.
e) Data lain yang dapat digunakan.
2) Harga satuan bahan olahan ( agregat kasar dan agregat halus)
Bahan olahan biasanya diberi keterangan tempat bahan tersebut diolah (di base
camp, di UPCA terdekat).
Analisa perhitungan bahan olahan ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Masukan
a) Jarak Quarry (bila bahan dasar diambil dari quarry)
Jarak yang diperhitungkan sebagai jarak angkut adalah dari sumber
bahan (quarry) ke lokasi dimana alat pemecah batu berada.
b) Harga satuan bahan dasarYaitu harga satuan dasar batu kali berupa
data otentik yang tersedia.
c) Harga satuan dasar alat yaitu Merupakan biaya sewa peralatan per
satu satuan waktu yang merupakan keluaran dari analisa Harga
Satuan Dasar Alat.

38

d) Harga satuan dasar tenaga kerjaYaitu Harga Satuan dasar tenaga
kerja berupa data otentik yang tersedia.
e) Kapasitas alat yaitu Merupakan kapasitas alat pemecah batu (stone
crusher) dan wheel Loader
f) Faktor efisiensi produksi alat Yaitu faktor efisiensi kerja dari alat
yang digunakan
g) Faktor Kehilangan Material Yaitu faktor untuk memperhitungkan
material yang tercecer saat diolah.
b. Proses
Perhitungan bahan olahan dilakukan meliputi :
a) Biaya kerja alat dalam memproduksi yang bersangkutan, berdasarkan
waktu yang dibuthkan alat tersebut dan biaya sewa alatnya.
b) Biaya kebutuhan bahan dasar (batu kali dan pasir) yang diperlukan
c) Perhitungan tenaga kerja yang diperlukan
d) Biaya kerja alat dalam proses pencampuran (blending)
c. Keluaran
Proses perhitungan di atas akan menghasilkan Harga Satuan Dasar
Bahan untuk agregat kasar dan halus.
Harga satuan dasar bahan ini merupakan masukan (input) dalam proses
perhitungan analisa harga satuan.
2. Alat
a) Masukan
Masukan yang diperlukan dalam perhitungan harga sewa alat (biaya sewa alat
per satuan waktu) antara lain:
1) Asumsi
a) Alat yang diperhitungkan merupakan alat baru
b) Biaya pemeliharaan alat baru adalah minimum
2) Jenis alat
Jenis alat yang dimaksud misalnya Wheel Loader, Track Loader, Asphalt
Mixing Plant, dan sebagainya.
3) Kapasitas alat

39

Kapasitas alat yang dimaksud misalnya kapasitas Bucket Wheel Loader
1,30 M3, AMP 50 Ton/Jam, dan sebagainya.
4) Umur ekonomis alat
Umur Ekonomis (Economic Life Years) alat dalam tahun yang lamanya
tergantung dari tingkat penggunaan dan standar dari pabrik pembuatnya.
5) Jam kerja alat per tahun
Adalah jumlah jam kerja alat dalam satu tahun
6) Harga pokok alat
Adalah pembelian alat setempat :
a) Bila pengadaan alat tidak melalui dealer, yang dimaksud harga setempat
adalah harga dari CIF ditambah handling cost (biaya masuk, biaya
incliring sewa gudang, ongkos angkut, dll) sampai ke gudang pembeli.
b) Bila membeli setempat artinya lewat dealer/agen adalah harga sampai ke
gudang pembeli.
7) Nilai sisa alat
Nilai sisa (salvage value) yaitu nilai/harga dari peralatan yang
bersangkutan setelah umur ekonomisnya berakhir. Biasanya nilai ini
diambil 10 % dari initial cost (harga pokok alat setempat).
8) Tingkat suku bunga pinjaman
Merupakan tingkat suku bunga Bank untuk investasi yang berlaku pada
tahun pembelian alat yang bersangkutan.
9) Tenaga mesin
Merupakan kapasitas mesin penggerak dalam Horse-Power (HP)
10) Harga satuan dasar tenaga kerja
Upah tenaga kerja di dalam biaya operasi biasanya dibedakan antara upah
untuk operator/driver dan upah pembantu operator.
11) Harga satuan dasar bahan
Harga satuan dasar bahan di dalam biaya operasi berupa bahan bakar dan
minyak pelumas.
b) Proses
Harga satuan dasar alat terdiri dari :
1) Biaya pasti ( Initial Cost atau Capital Cost )

40

2) Biaya operasi dan pemeliharaan ( Direct Operational and Maintenance
Cost )
c) Keluaran
Keluaran harga satuan dasar alat adalah Harga Satuan Dasar Alat yang meliputi
biaya pasti, biaya operasi & pemeliharaan dan biaya operatornya.Keluaran
Harga Satuan Dasar Alat ini selanjutnya merupakan masukan untuk proses
analisa harga satuan pekerjaan.
3. Tenaga Kerja
1) Hari orang standar (Standard Man Day)
Yang dimaksud dengan pekerja standar di sini adalah pekerja terampil
yang biasa mengerjakan satu macam pekerjaan seperti pekerja galian,
pekerja pengaspalan, pekerja pasangan batu, pekerja las dan lain
sebagainya.
Dalam sistem pengupahan digunakan satu satuan upah berupa orang hari
standar (Standard Man Day) yang disingkat dengan HO atau MD, yaitu
sama dengan upah pekerjaan dalam 1 hari kerja (8 jam kerja termasuk 1 jam
istirahat).
2) Orang Standar (S