TERAPI MULTIMODAL UNTUK KORBAN PEMERKOSAAN DENGAN GANGGUAN STRESS PASCA TRAUMA

TERAPI MULTIMODAL UNTUK KORBAN PEMERKOSAAN
DENGAN GANGGUAN STRESS PASCA TRAUMA
disusun untuk take home exam Ujian Tengah Semester mata kuliah Pengantar
Psikoterapi

disusun oleh:
UTAMI PURBORINI
15010110120062

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2013

BAB I
PENDAHULUAN

Dewasa ini, banyak sekali kasus-kasus pelecehan seksual yang dialami oleh
wanita. Pelecehan-pelecehan tersebut tidak hanya dialami oleh wanita dewasa, tetapi
remaja putri dan anak-anak ikut menjadi korban. Pelecehan seksual pada dasarnya
adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki muatan seksual yang dilakukan

seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan tidak diharapkan oleh orang
yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif, seperti: rasa malu,
tersinggung,terhina, marah, kehilangan harga diri, kehilangan kesucian, dan
sebagainya, pada diri orang yang menjadi korban (Supardi & Sadarjoen, 2006).
Bentuk-bentuk pelecehan seksual sangat beragam, mulai dari menatap secara tidak
wajar, bersiul,hingga kontak fisik seperti mencubit,mencolek, dan yang paling parah
adalah pemerkosaan. Data menurut catatan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan,
kasus perkosaan dari tahun 1998-2010 terdapat sebanyak 4.845 kasus perkosaan,
jenis kekerasan seksual mendominasi kasus seksual.
Pemerkosaan merupakan bentuk pelecehan seksual yang paling parah dan
keji. Korban paling banyak adalah anak-anak dan remaja. Korban tidak hanya
menderita secara fisik dan psikis, namun banyak korban yang kehilangan nyawa
akibat pemerkosaan. Pemerkosaan dapat berdampak buruk bagi korban, baik fisik
maupun psikis. Secara fisik, bisa terjadi kehamilan yang tidak diinginkan, rusaknya
alat reproduksi, menderita HIV/ADIS, juga luka fisik akibat perlawanan yang bisa
permanen. Secara psikologis, korban akan mengalami trauma yang mendalam, dan
kesedihan

yang


mendalam

pula.

tentu

saja,

ini

akan

mengakibatkan

ketidakseimbangan dalam kondisi psikologis korban, sehingga kita perlu melakukan
suatu terapi, supaya trauma yang dimiliki bisa sembuh, dan korban mampu
melanjutkan hidupnya.

BAB II
TEORI


Permerkosaan
pengertian pemerkosaan:
“…hubungan seksual yang dilakukan tanpa kehendak bersama, dipaksakan
satu pihak pada pihak lainnya. Korban dapat berada dibawah ancaman fisik
dan/atau psikologis,kekerasan, dalam keadaan tidak sadar atau tidak berdaya,
berada di bawah umur atau mengalami keterbelakangan mental dan kondisi
kecacatan lain sehingga tidak dapat bertanggung jawab atas apa yang terjadi
padanya. (Poerwandari dalam Luhulima,2000)
“…an individual who forces another person to submit to or commit a sexual
act against that person’s will thought intimidation, threat, or physical forces
without person’s consent” (Groth dalam Fausiah,2002)
Brownmiller (1975), mengatakan bahwa”.. rape is a tool of a patriarchal
system that serves to perpetuate gender inequality and the devaluation of
women.”
Menurut Warshaw (1994) yang mengatakan bahwa pelaku dan korban
dapat saja saling kenal melalui aktivitas yang sama, teman lama, tetangga,
teman sekelas, teman kerja, kencan buta, ataupun teman seperjalanan. Namun,
ada juga anggapan bahwa perkosaan hanya dilakukan oleh orang asing atau
orang yang tidak dikenal oleh korban (Tridiatno, dalam Hayati dkk., 2000).


Pengertian Post Traumatic Stres Disorder (PTSD)
Hikmat (2005) mengatakan PTSD adalah sebuah kondisi yang muncul
setelah pengalaman luar biasa yang mencekam, mengerikan dan mengancam
jiwa seseorang, misalnya peristiwa bencana alam, kecelakaan hebat, sexual
abuse (kekerasan seksual), atau perang. PTSD merupakan sindrom
kecemasan, labilitas autonomic, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik

dari pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosi yang
melampaui batas ketahanan orang biasa (Kaplan, 1997). Sedangkan menurut
National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan PTSD sebagai
gangguan berupa kecemasan yang timbul setelah seseorang mengalami
peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa trauma
ini bisa berupa serangan kekerasan, bencana alam yang menimpa manusia,
kecelakaan atau perang (Anonim,2005d)
Tiga tipe gajala yang sering terjadi pada PTSD adalah, pertama,
pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan selalu teringat akan
peristiwa yang menyedihkan yang telah dialami itu, flashback (merasa seolaholah peristiwa yang menyedihkan terulang kembali), nightmares (mimpi
buruk tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional
dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang

menyedihkan. Kedua, penghindaran dan emosional yang dangkal, ditunjukkan
dengan menghindari aktivitas, tempat, berpikir, merasakan, atau percakapan
yang berhubungan dengan trauma. Selain itu juga kehilangan minat terhadap
semua hal, perasaan terasing dari orang lain, dan emosi yang dangkal. Ketiga,
sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan susah tidur, mudah
marah/tidak dapat mengendalikan marah, susah berkonsentrasi, kewaspadaan
yang berlebih, respon yang berlebihan atas segala sesuatu (Anonim, 2005a;
Anonim, 2005b).
Menurut DSM-IV, ciri diagnostik pada gangguan PTSD yaitu,
Kriteria diagnosis PTSD menurut Diagnostic and Statistical Manual for
Mental Disorder IV Text Revision (DSM IV TR) yaitu:
A. Kejadian traumatik
1. Satu atau banyak pristiwa yang membuat seseorang mengalami,
menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian yang berupa ancaman
kematian, cidera yang serius atau ancaman terhadap integritas fisik dirinya
sendiri atau orang lain.

2. Tanggapan individu terhadap pengalaman tersebut dengan ketakutan,
kengerian, tau ketidakberdayaan yang sangat kuat.
B.


Mengalami kembali satu atau lebih gejala di bawah ini:

1. Teringat kembali akan kejadian trauma menyedihkan yang dialaminya
dan bersifat mengganggu (bisa berupa gambaran, pikiran, persepsi)
2. Mimpi buruk yang berulang tentang peristiwa trauma yang
dialaminya (yang mencemaskan).
3. Mengalami kilas balik trauma (merasa seakan kejadian trauma yang
dialaminya terjadi kembali, hal ini bisa terjadi karena ilusi, haluinasinya)
4.

Kecemasan psikologis dan fisik bersamaan dengan hal yang

mengingatkan terhadap kejadian trauma (kenangan akan peristiwa trauma)
C. Menghindari secara persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma
dan mematikan perasaan/ tidak berespon terhadap suatu hal (sebelum trauma
masih berespon). Gejala ini meliputi tiga atau lebih hal di bawah ini:
1.

Kemampuan untuk menghindari pikiran, perasaan, percakapan yang


berhubungan dengan kejadian trauma.
2.

Kemampuan menghindari aktivitas, tempat, orang yang dapat

membangkitkan kembali kenangan akan trauma yang dialaminya.
3.

Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa trauma

yang dialaminya
4.

Ketertarikan dan minat untuk berpartisipasi dalam peristiwa penting

berkurang
5.

Merasa terasing dari orang di sekitarnya


6.

Terbatasnya rentang emosi ( contoh: tidak dapa merasakan cinta)

7.

Perasaan bahwa masa depannya suram

D. Gejala hiperarousal/ sangat sensitif yang persisten meliputi dua atau
lebih gejala di bawah ini:
1.

Sulit untuk memulai tidur/ sulit mempeertahankannya

2.

Sulit berkonsentrasi

3.


Mudah kesal dan meledak-ledak emosinya

4.

Hypervigilance (kewaspadaan yang berlebihan)

5.

Reaksi kaget yang berlebihan

E.

Durasi dari gangguan ( gejala di kriteria B, C, D) lebih dari sebulan

F. Gangguan/ gejala di atas ini menyebabkan kecemasan dan gangguan
fungsional dalam berhubungan sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya
Selain itu, secara spesifikasi diagnosis PTSD dapat diidentifikasi sebagai:
1)


akut, bila gejala berlangsung satu sampai tiga bulan

2)

kronis, bila gejala berlangsung lebih dari tiga buan

3)

Awal gejala / onset yang tertunda bila gejala dimulai sedikitnya

enam bulan setelah kejadian traumatik/stressor.

Pengertian Multimodal Therapy

Terapi Multimodal merupakan pendekatan pada modifikasi perilaku yang
dikembangkan oleh Lazarus (1971,1986,1987,1989b,1989c,1995) yang
komprehensif, sistematik dan holistik. Terapi ini adalah suatu sistem yang
terbuka dan mendorong adanya eklektikisme teknis . Terapi multimodal
mempunyai pandangan bahwa penilaian tuntas dan program penanganan harus
memperhitungkan setiap modalitas dari BASIC ID. BASIC ID adalah peta

kognitif yang menjamin bahwa setiap aspek kepribadian mendapatkan
perhatian yang eksplisit dan sistematis (Lazarus,1989c).

 Behavior (perilaku). Yang dimaksud dengan modalitas ini adalah
perilaku yang terbuka, termasuk, perbuatan, kebiasaan, dan reaksi
yang bisa diamati dan diukur.
 Emotion(afeksi). Modalitas ini mengandung arti emosi, suasana
hati, dan perasaan yang kuat.
 Sensation(sensasi). Modalitas ini mengacu pada lima indera dasar,
yaitu sentuhan, citra rasa, bau, penglihatan dan pendengaran.
 Imagery (khayalan). Modalitas ini ada hubungannya dengan
bagaimana kita melihat diri kita sendiri, dan mencakup memori
dan mimpi.
 Cognition (kognisi). Modalitas ini berarti pemahaman,falsafah,
gagasan dan perkiraan yang membentuk nilai, sikap, serta
keyakinan fundamental.
 Interpersonal (hubungan interpersonal). Modalitas ini berarti
interaksi dengan orang lain.
 Drugs/biology (obat/biologi).Modalitas ini tidak hanya seputar
obat, tetapi memperhitungkan pula masalah kebiasaan nutrisi, pola
hidup, pola tidur dan pola olahraga.

Terapis multimodal haruslah efektif sebagai pribadi. Lalu mereka
memerlukan keterampilan dan teknik yang luas untuk menangani deretan
problema yang dikemukakan oleh klien. Selain itu, mereka harus memiliki
“elektikisme teknis”, yaitu mereka harus mampu menggunakan setiap teknik
yang telah terbukti efektif untuk dipakai menangani problema yang spesifik
(Roberts et al., 1980 dalam Corey, 1995). Jenis elektikisme teknis yang
menurut Lazarus (1987b) dianggap perlu adalah yang ilmiah dan memiliki tiga
kualifikasi; keluasan, kedalaman dan kespesifikan. Lazarus(1989b) juga
menyatakan bahwa semua terapi multimodal adalah eklektik.

BAB III
PEMBAHASAN

Pada korban pemerkosaan, ada dua terapi yang bisa dilakukan, yaitu melalui
farmakoterapi dan psikoterapi. Pengobatan farmakoterapi dapat berupa terapi obat
hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang sudah dikenal. Terapi anti
depresiva pada gangguan stres pasca traumatik ini masih kontroversial. Sedangkan
dengan psikoterapi, banyak terapi yang bisa digunakan dalam menangani korban
pemerkosaan yang mengalami PTSD, yaitu dengan terapi multimodal. terapi
multimodal ini didesain untuk menangani PTSD dengan :
 menyediakan edukasi mengenai PTSD dan gejala-gejala yang ditimbulkan
 Untuk memudahkan menceritakan kembali klien acara melalui teknik berbasis
eksposure
 Untuk menantang keyakinan maladaptif klien tentang perannya dalam acara
tersebut melalui restrukturisasi kognitif
 Untuk meningkatkan keterampilan mengatasi melalui teknik manajemen
kecemasan

Langkah pertama : psikoedukasi
Melalui psikoedukasi, klien dapat mengidentifikasi kekuatan yang dimana tidak
terganggu trauma, termasuk kecerdasan, ketekunan, dan mengatasi keterampilan
(Lubin & Johnson). Klien juga dapat diberdayakan melalui pendidikan mengenai
dampak proses sosiokultural tentang perkosaan yang dialami . Selanjutnya, mereka
bisa mendiskusikan dan menghilangkan mitos perkosaan secara umum termasuk
keyakinan bahwa korban entah bagaimana mengundang pemerkosaan dan
bertanggung jawab atas kejahatan itu. Segmen dapat disusun dalam bentuk miniceramah yang digunakan untuk memulai dan mengakhiri sesi untuk menyeimbangkan
intensitas setiap sesi (Williams & Sommer, 1994).

Langkah kedua : Terapi Terbuka (exposure therapy)
Tujuan dari fase ini adalah untuk membantu korban dalam bekerja melalui
kenangan menyakitkan dengan menghadapi situasi tertentu, emosi, dan pikiran yang
terkait dengan perkosaan dan yang saat ini menimbulkan kecemasan intens dan
ketakutan. Korban menceritakan pikiran, perasaan, dan kenangan seputar
pemerkosaan, yang sangat formal, pendekatan terstruktur diperlukan untuk membantu
mereka menghadapi materi ini secara emosional (Johnson & Lubin, 2000).
Terapi dapat berjalan dengan cara: exposure in the imagination, yaitu bertanya
pada penderita untuk mengulang cerita secara detail sampai tidak mengalami
hambatan untuk menceritakan; atau exposure in reality, yaitu membantu menghadapi
situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari karena menyebabkan ketakutan
yang sangat kuat (misal: kembali ke rumah setelah terjadi perampokan di rumah).
Ketakutan bertambah kuat jika kita berusaha mengingat situasi tersebut dibanding
berusaha melupakannya. Pengulangan situasi disertai penyadaran yang berulang akan
membantu menyadari situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan
dapat diatasi (Anonim, 2005b).

Langkah ketiga : Terapi Kognitif
Dalam terapi kognitif, klien diajarkan untuk mengidentifikasi pikiran atau
keyakinan yang mereka alami selama emosi negatif. Konselor dan klien kemudian
bersama-sama mengevaluasi validitas dan tantangan menolong ide-ide dan kemudian
mengganti keyakinan irasional dengan rasional atau pikiran menguntungkan
(Meadows & Foa).
Berikut ini adalah teknik terapi kognitif dari Aaron Beck:
1.

Mengisi

kekosongan: Prosedur

dasar

untuk

membantu

pasien

mengidentifikasikan pikiran otomatisnya, ia melatihnya mengobservasi urutan
peristiwa ekstrem dan reaksinya terhadap peristiwa tersebut. Pasien dapat melaporkan
sejumlah lingkungan di mana ia merasakan kegelisahan. Biasanya ada gap (jarak)
antara situmul (rangsangan) dengan respon (tanggapan) emosional. Kegelisahan

emosional menjadi dapat dipahami, jika ia mengumpulkan kembali pikirannya yang
timbul selama gap tersebut.
2.

Distancing dan Decentering: Proses yang mengarahkan pikiran secara obyektif

disebut distancing (menempatkan jarak). Seorang dapat memeriksa pikiran
otomatisnya sebagai fenomena psikologi ketimbang identik terhadap realita, berarti ia
berkapasitas atas distancing. Misalnya, saja seorang pasien karena tak ada alasan
yang dapat dibenarkan, mempunyai pikiran bahwa ”orang itu musuhku” Jika ia secara
otomatis menyamakan pikiran tersebut dengan realita, distancignya jelek. Kalau ia
bisa menganggap ide tersebut sebagai hipotesa dari pada menerimanya sebagai fakta,
maka distancingnya baik. Kemampuan membedakan hal demikian sangat penting
dalam sector tersebut dari reaksi pasien yang terkena distorsi. Tekni membuka
dengan paksa guna mengendurkan pola dari anggapan dirinya sebagai titik vocal dari
semua peristiwa, disebut decentering.
3.

Pembuktian kesimpulan: Setelah pasien mampu memperjelas pembedaan antara

proses mental intern dengan dunia luar yang merangsangnya, masih penting untuk
mendidik sehubungan dengan prosedur guna memperoleh pengatuhan yang akurat.
Teknik yang dapat dilakukan adalah dengan penjelajahan kesimpulan dan mengetes
terhadap realita. Ahli terapi bekerja dengan pasien guna menerapkan peraturan dari
bukti terhadap kesimpulannya. Ini terdiri dari pengecekan observasi, lalu rute menuju
kepada kesimpulan.
4.

Perubahan peraturan: Kita tahu bahwa orang menerapkan peraturan (rumusan,

persamaan, dasar pikiran) dalam mengatur kehidupannya sendiri dan dalam mencoba
mengubah tingkah laku orang lain. Mereka menamakan, menafsirkan dan
mengevaluasi menurut peraturan mereka sendiri. Peraturan perlu di ubah bentuknya,
sehingga menjadi lebih singkat dan akurat, kurang egosentris serta lebih elastis. Jika
peraturan salah maka ahli dan pasien bekerja sama untuk mengganti dengan peraturan
yang lebih realities dan adaptif.
5.

Strategi secara keseluruhan: Prinsip membentuk kerangka bagi terapi kognitif

yaitu: menjelaskan distorsi pasien, perintah sendiri, dan pendekatan sendiri yang

membawa kepada ketidakmampuan atau kesukaran, dan membantu pasien
mengadakan perubahan peraturan yang menghasilkan sinyal kesalahan sendiri. Ahli
terapi harus menggunakan strategi secara keseluruhan agar tidak mengalami proses
yang tidak menentu.
Langkah keempat : Manajemen Kecemasan (anxiety management)
Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan
untuk membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui: 1) relaxation
training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan
merelaksasikan kelompok otot-otot utama, 2) breathing retraining, yaitu belajar
bernafas dengan perut secara perlahan -lahan, santai dan menghindari bernafas
dengan tergesa -gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik
yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala, 3) positive thinking dan
self-talk, yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan
pikiran positif ketika menghadapi hal –hal yang membuat stress (stresor), 4) assertiveness training, yaitu belajar bagaimanamengekspresikan harapan, opini dan emosi
tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain, 5)thought stopping, yaitu belajar
bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang
membuat kita stress(Anonim, 2005b).

BAB IV
PENUTUP
 KESIMPULAN
Pemerkosaan adalah hubungan seksual yang dilakukan tanpa kehendak
bersama, dipaksakan satu pihak pada pihak lainnya. Korban dapat berada
dibawah ancaman fisik dan/atau psikologis,kekerasan, dalam keadaan tidak
sadar atau tidak berdaya, berada di bawah umur atau mengalami
keterbelakangan mental dan kondisi kecacatan lain sehingga tidak dapat
bertanggung jawab atas apa yang terjadi padanya. (Poerwandari dalam
Luhulima,2000). Pemerkosaan tidak hanya dilakukan oleh orang asing atau
orang yang tidak dikenal, namun bisa dilakukan pula oleh orang-orang terdekat
korban.
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan sindrom kecemasan,
labilitas autonomic, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari
pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosi yang
melampaui batas ketahanan orang biasa (Kaplan, 1997). tipe gangguan ini
adalah selalu adanya pengulangan peristiwa yang dialami, baik dengan
flashback ataupun nightmares. kemudian adanya penghindaran untuk
bersosialisasi atau berinteraksi dengan orang sekitar yang berhubungan dengan
trauma. Lalu sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan susah tidur,
mudah marah/tidak dapat mengendalikan marah, susah berkonsentrasi,
kewaspadaan yang berlebih, respon yang berlebihan atas segala sesuatu.
Terapi Multimodal merupakan pendekatan pada modifikasi perilaku yang
dikembangkan oleh Lazarus (1971,1986,1987,1989b,1989c,1995) yang
komprehensif, sistematik dan holistik. Terapi multimodal mempunyai
pandangan bahwa penilaian tuntas dan program penanganan harus
memperhitungkan setiap modalitas dari BASIC ID. BASIC ID adalah peta

kognitif yang menjamin bahwa setiap aspek kepribadian mendapatkan
perhatian yang eksplisit dan sistematis (Lazarus,1989c). BASIC ID yaitu
Behaviour ,Affect (emotions) ,Sensation (touch, smell, sight, hearing, taste),
Imagery (thinking in pictures, self-image) ,Cognition (thinking in words,
beliefs, attitudes, opinions, thinking styles) ,Interpersonal (how we relate to
others) ,Drugs & biology (medications, substances, diet, exercise, general
health, sleep).
Langkah-langkah terapi multimodal yang dapat dilakukan untuk korban
perkosaan yang mengalami PTSD adalah dengan psikoedukasi, exposure
therapy, terapi kognitif dan anxiety management.
 SARAN
Kita tidak bisa memungkiri adanya banyak kasus perkosaan yang sangat
merugikan korban, terutama pada aspek psikologisnya. hal ini akan
menghambat korban untuk bertumbuh dan menyesuaikan diri. Program terapi
multimodal ini cukup potensial untuk dilakukan, sehingga diharapkan mampu
memberikan perubahan agar korban bisa sembuh dari trauma, dan bisa
kembali berkontribusi ke dalam lingkungannya.
Untuk penelitian selanjutnya, semoga mampu lebih menggali lagi tentang
terapi multimodal, juga mengenai penanganan secara psikologis terhadap
korban perkosaan yang lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Gerald Corey. Teori dan Praktek dari Konseling dan Psikoterapi. 1995. IKIP
Semarang Press: Semarang.
Laura G. Hensley. Treatment for survivors of rape: issues and interventions.2002. :
Journal of Mental Health Counseling. Volume: 24. Issue: 4.
Yurika Fauzia Wardhani & Weny Lestari. Gangguan Stres Pasca Trauma pada Korban

Pelecehan Seksual dan Perkosaan.2006.
Ekandari,Mustaqfirin,Faturochman. Perkosaan, Dampak, dan Alternatif

Penyembuhannya.2001. Jurnal Psikologi Universitas Gadjah Mada no.1 hal. 1-18
http://www.tribunnews.com/2012/03/04/komnas-4.845-kasus-perkosaan-terjadi-diindonesia
http://primaverdapsi.blogspot.com/2010/01/multimodal-therapy.html
http://theserven.blogspot.com/2010/09/terapi-kognitif.html