BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Asuh Anak 2.1.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua - Pola Asuh Orang Tua Anak Korban Perceraian Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara (KPAID-SU)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pola Asuh Anak

2.1.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua

  Keluarga yang utuh adalah impian setiap anak dalam menjalani kehidupannya. Keluarga tetap merupakan bagian yang paling penting dari jaringan sosial bagi anak, sebab anggota keluarga merupakan lingkungan pertama anak dan orang yang paling penting dalam bersosialisasi. Tetapi ketika keluarga mengalami pecah akibat perceraian, maka yang dibutuhkan dalam mengembalikan kepercayaan anak terhadap orang tua ialah pengaruh sikap orang tua pada hubungan keluarga. Pada dasarnya hubungan orang tua terhadap anak akan menjadikan perilaku anak menjadi positif. Begitu juga dalam mengasuh anak, sikap orang tua di tuntut agar anak dapat memiliki hubungan yang baik terhadap lingkungannya (Hurlock, 2009:202-205).

  Pengasuhan anak adalah sebuah interaksi yang terjadi antara pengasuh (orangtua, orang dewasa) dengan anak-anak yang diasuh. Pengasuhan merupakan usaha yang diarahkan untuk mengubah tingkah laku sesuai dengan keinginan pengasuh . Menurut Abrahi (1998) pengasuh anak menjadi sangat penting dalam perkembangan anak karena melalui proses pengasuhan itulah anak tumbuh dan berkembang menjadi sebuah sosok individu dengan seperangkat karakteristik sejalan dengan yang ia terima selama proses pengasuhan berlangsung (Okvina.wordpress.com).

  Apabila terjadi perceraian antara suami dan isteri sedang mereka mempunyai anak kecil, maka ibu yang berhak dari ayah untuk mengasuh anak tersebut selama tidak terdapat halangan.

  Peningkatan perhatian masyarakat banyak terdapat masalah kehidupan keluarga dan pengasuhan anak menunjukkan kecemasan orang banyak terhadap permasalahan perilaku anak yang semakin meluas. Jarang sekali generasi orang dewasa menunjukkan kesungguhan perhatian yang disertai keprihatinan yang mendalam terhadap generasi muda (Singgih, 2011:18 ).

  Perceraian yang terjadi ditengah-tengah keluarga membuat sebagian anak menjadi kehilangan peran sesungguhnya dari orangtua laki-laki maupun perempuan. Walaupun salah satunya dapat memberikan peran ganda terhadap anak demi perkembangan psikologisnya. Tetapi tidak sedikit dampak yang dialami oleh anak ketika salah satu orangtua biologisnya untuk bertemu mengalami kesulitan. Terkadang anak menjadi seperti barang hidup yang bisa dipindah- pindahkan demi dapat bertemu dan berkumpul bersama sang buah hati.

  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kekuasaan orangtua bersifat tunggal, tidak dapat dihapus karena perceraian. Selama perkawinan berlangsung dengan baik, maka kewajiban pengasuhan anak oleh orang tuanya tidak terdapat masalah. Pengasuhan yang dilakukan oleh suami isteri yang telah bercerai, dapat secara bersama-sama dan saling membantu serta dengan penuh kasih sayang melaksanakan kewajiban mengasuh anak mereka. Ketika berlangsungnya suatu perkawinan, anak merupakan hal yang yang dinanti-nantikan oleh orangtua dalam memberikan kebahagiaan di dalam keluarga. Tetapi jika suatu saat timbul masalah tentang siapa yang paling berhak mengasuh anak pasca perceraian, maka orang tua, dapat memohon kepada Pengadilan agar hak kuasa asuh jatuh di salah satu pihak.

  Pola asuh orang tua merupakan pola perilaku yang paling menonjol atau paling dominan dalam menangani anaknya sehari-hari. Pola asuh orang tua tersebut seperti dalam mendisiplinkan anak, dalam menanamkan nilai-nilai hidup, dan mengajarkan keterampilan hidup, dan mengelola emosi. Dari beberapa cara penilaian gaya pengasuhan, yang paling sensitif adalah mengukur kesan anak tentang pola perlakuan orang tua terhadapnya. Kesan yang mendalam dari seorang anak mengenai bagaimana ia diperlakukan oleh orang tuanya, itulah gaya pengasuhan (Sunarti, 2004:93).

  Anak adalah penerus keturunan dan tumpuan harapan dari orang tuanya agar anak menjadi sukses di kemudian hari. Sehingga, ketika anak mengalami suatu kondisi yang tidak nyaman karena perceraian maka harus tetap diusahakan agar hak pengasuhan dan pembinaan anak pasca perceraian orang tua harus berada di tangan orang yang paling tepat dan dapat melakukan pengasuhan yang terbaik bagi anak. Tidak ada kriteria khusus tentang umur seorang anak yang berada di bawah pengasuhan ibunya atau bapaknya. Hanya saja pada umumnya anak- anak yang masih sangat kecil dan sangat membutuhkan kasih sayang ibunya akan diserahkan kepada ibunya. Untuk hal ini dapat disebut didalam yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 25 Juni 1974, Nomor 906 K/Sip/1973 yang berbunyi: “Kepentingan si anaklah yang harus dipergunakan selaku patokan untuk menentukan siapa dari orang tuanya yang diserahkan pengasuhan si anak.”

  Ada beberapa hal untuk menentukan siapa yang paling tepat di antara ayah dan ibu dalam mendapatkan hak asuh, seperti tidak hanya dengan mempertimbangkan kemampuan finansial, tetapi harus dengan mempertimbangkan sifat, perilaku dan kebiasaan, keadaan jasmani dan rohani serta spiritual. Selain itu juga dapat melihat kesalahan siapa yang menjadi penyebab terjadinya perceraian. Harus selalu disadari bahwa penetapan pihak yang melakukan pengasuhan anak pasca perceraian bukanlah suatu kompetisi untuk mencari pemenang di antara ayah dan ibu.

  Selanjutnya harus dilakukan evaluasi dan monitoring atas pengasuhan yang dilakukan oleh pihak yang telah ditentukan tersebut.

2.1.2 Jenis-jenis Pola Asuh

  Menurut Balson ada 2 dimensi secara garis besar dalam pengasuhan anak yang membentuk empat bentuk dasar pengasuhan yaitu saling memberi dan saling menerima.

  Memberi dalam artian mendukung anak dan responsif terhadap pemenuhan kebutuhan, keinginan dan harapan anak. Sementara menerima dalam artian menuntut adanya kedisiplinan dari anak untuk mengikuti segala bentuk aturan dan batasan yang diberikan/ditentukan orang tua.

  Balson membagikan 4 bentuk pola asuh dari dimensi arahan atau disiplin di dalam keluarga, yaitu pola asuh authoritarian (otoritatif), pola asuh authoritative (demokratis), pola asuh permisif (serba membolehkan), dan pola asuh cuek (penelantar).

  a) Pola asuh otoritatif

  Pola ini merupakan pola pengasuhan yang memberikan banyak hal tetapi menuntut banyak hal pula dari si anak. Pola pengasuhan ini merupakan pola pengasuhan yang didasarkan kepada tuntutan dan nilai-nilai yang bersifat absolute. Orang tua dengan pengasuhan ini sangat sensitif dengan apa yang diperintahkan tidak menghiraukan dan tidak menghormati perintah orang tua. Hal ini dapat menyebabkan sianak akan kehilangan kepercayaan diri dan tidak mampu untuk mengambil keputusan serta cenderung sulit untuk mempercayai orang-orang disekitarnya.

  Adapun ciri-ciri dari pengasuhan otoritatif ini seperti cenderung akan menetapkan peraturan dan tata tertib yang kaku dan dibuat hanya sepihak orang tua, memperlakukan anak dengan kasar, komunikasi dengan anak serta anggota keluarga yang bersifat searah, menjaga jarak dengan anak dan tidak adanya keramahan dalam keluarga. Sehingga anak-anak tidak mampu dalam proses pemupukan/pembentukan pengekspresian dan kepercayaan diri si anak dalam lingkungan keluarga.

  b) Pola asuh demokrasi

  Pola pengasuhan ini lebih memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola pengasuhan ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua dengan tipe ini akan lebih bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak, dan akan menghargai hak-hak anak seperti pendidikan, mendapatkan kasih sayang dan kebutuhan dasarnya. Orang tua yang mendidik anak dengan pola pengasuhan ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.

  c) Pola asuh permisif

  Pola pengasuhan permisif ini sangat bertolakbelakang sekali dengan pola pengasuhan otoritatif (authoritarian). Dalam pola pengasuhan permisif, anak diberikan kebebasan sepenuhnya untuk melakukan apapun yang dia inginkan dimana orang tua cenderung untuk mendukung tindakan si anak serta memanjakannya secara berlebihan. Orang tua dengan pola pengasuhan ini cenderung takut menasehati anak jika melakukan kesalahan sehingga membentuk anak menjadi pribadi yang manja, tidak disiplin, malas dan egois.

  d) Pola asuh cuek (penelantar)

  Pola pengasuhan ini mempunyai indikator bahwasanya orang tua cenderung kurang memberikan perhatian kepada anaknya, sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan menganggap anak sebagai beban dalam hidupnya. Pola pengasuhan ini lebih mengarahkan kepada tidak mempedulikan anak sama sekali, dimana orangtua sudah pada taraf apatis terhadap tanggung jawabnya sebagai orangtua. Pola pengasuhan orangtua pada anak akan sangat menentukan bentuk kepribadian si anak. Namun, ada masa dimana lingkungan pergaulan anak akan sangat mempengaruhi diri si anak secara signifikan. Pada saat itulah pengawasan terhadap lingkungan pergaulan anak dan pendekatan pada anak secara intensif serta bersahabat sangatlah diperlukan agar anak tetap bisa terbuka pada orang tua dan tidak terbawa arus pergaulan terutama dalam hal penyalahgunaan narkoba. Adanya keterbukaan dan hubungan yang lebih bersifat bersahabat antara anak dan orangtua akan memudahkan bagi orangtua untuk dapat berkomunikasi dengan anak terutama pada anak usia remaja muda secara terbuka.

  Orangtua yang telah telah berpisah secara putusan pengadilan memberikan dampak yang negatif ketika menjalani pengasuhan terhadap anak. Tidak sedikit orang tua tunggal dalam mengasuh anaknya dengan cara menganggap bahwa anak-anaknya belum mampu untuk menyelesaikan masalah dengan sendiri. Sehingga orang tua tunggal memperlakukan anaknya dengan keinginannya agar mereka tidak mengalami seperti orang tuanya. Ada beberapa kesalahan orang tua tunggal di keluarga yang telah bercerai dalam cara mengasuh anak.

  Kesalahan itu salah satunya adalah menganggap masa anak-anak sebagai sebuah jembatan semua orang melewatinya dengan perilaku buruk mereka merupakan gejala yang akan segera lenyap ketika mereka telah dewasa dan menganggap anak yang semakin dewasa sebagai ancaman yang harus diselesaikan melalui pengendalian dan dominasi yang makin kuat sekaligus memperlihatkan bahwa mereka oang tua yang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya.

  Orang tua tunggal yang sudah bercerai dalam memberikan pola pengasuhan yang salah untuk mengasuh anak-anaknya, Balson menyebutkan ada beberapa pola pengasuhan yang salah di terapkan orang tua tunggal dalam mengasuh anak-anaknya, seperti: 1.

  Pola Pengasuhan Permisif Membiasakan anak dengan pola ini bertindak tanpa kendali orang tua. Orang tua yang terlalu permisif bertindak menghindari konflik ketika mereka merasa tak berdaya untuk mempengaruhi anak mereka. Akibatnya, mereka membiarkan perbuatan-perbuatan yang salah di kalangan anak-anak. Sehingga anak menafsirkan bahwa pola pengasuhan permisif ini memiliki sikap yang cenderung memanjakan anak sehingga orang tuanya merupakan undangan terbuka untuk berbuat menurut keinginan mereka.

2. Pola Pengasuhan Otokratik

  Sikap orang tua yang permisif merupakan metode mengasuh anak yang tidak efektif untuk membina anak, karena sikap orang tua yang keras akan merusaknya. Pendekatan yang keras/kejam didukung dengan anggapan bahwa orang tua harus bertanggung jawab penuh terhadap perilaku anak-anaknya, dan menjadi orang tua yang efektif menjadi jaminan untuk berperilaku baik. Jika orang tua berusaha memaksakan anak-anak agar berbuat dengan cara mereka, maka anak akan memberikan reaksi yang sesuai dengan keinginan mereka. Peningkatan usaha orang tua untuk mengendalikan anak mereka dengan cara yang keras hanya akan mengundang timbulnya daya menentang dan pembangkangan dari anak-anaknya (Balson, 1999:24).

2.1.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh

  Menurut Darling (1999) dalam bukunya berjudul Pareting Style and Corelates mengatakan bahwa ada 3 faktor yang mempengaruhi pola asuh dalam keluarga, yaitu:

1. Jenis kelamin anak

  Jenis kelamin anak mempengaruhi bagaimana orang tua mengambil tindakan pada anak dalam pengasuhannya. Umumnya orang tua bersikap lebih ketat kepada anak perempuan dan memberi kebebasan yang lebih pada anak laki-laki. Namun tanggung jawab yang besar akan diberikan kepada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.

  2. Kebudayaan Latar belakang budaya menciptakan perbedaan dalam pola asuh anak. Hal ini juga berkaitan dengan perbedaan peran dan tuntutan pada laki-laki dan perempuan dalam suatu budaya.

  3. Kelas sosial ekonomi Orang tua dari kelas sosial ekonomi menengah keatas cenderung lebih permissive dibanding dengan orang tua dari kelas sosial ekonomi bawah yang cenderung authoritarian.

2.2 Pengertian Anak

  Secara umum dikatakan anak adalah seorang yang dilahirkan dari perkawinan antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki. Buah dari perkawinan dengan tidak menyangkut bahwa seseorang yang dilahirkan oleh wanita meskipun tidak pernah melakukan pernikahan tetap dikatakan anak. Anak juga merupakan cikal bakal lahirnya suatu generasi baru yang merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional.

  Anak adalah aset bangsa. Masa depan bangsa dan negara dimasa yang akan datang berada ditangan anak sekarang. Semakin baik keperibadian anak sekarang maka semakin baik pula kehidupan masa depan bangsa. Begitu juga sebaliknya, apabila keperibadian anak tersebut buruk maka akan bobrok pula kehidupan bangsa yang akan datang. Pada umumnya orang berpendapat bahwa masa kanak-kanak merupakan masa yang panjang dalam rentang kehidupan. Bagi kehidupan anak, masa kanak-kanak seringkali dianggap tidak ada akhirnya, sehingga mereka tidak sabar menunggu saat yang didambakan yaitu pengakuan dari masyarakat bahwa mereka bukan lagi anak-anak tapi orang dewasa.

  Anak bukan orang dewasa yang berukuran kecil. Anak itu sendiri mempunyai dunianya sendiri dan berbeda dengan orang dewasa. Dilihat dari sisi perkembangan jiwanya, pertumbuhan fisik atau sosial, sifat-sifatnya, maupun tabiat-tabiatan dari seorang anak sangat jelas perbedaan yang terdapat dari dalam diri anak-anak. Sama halnya dalam memperlakukan anak, tidak sama dengan memperlakukan orang dewasa. Kebutuhan anak jauh lebih banyak daripada kebutuhan orang dewasa. Anak memerlukan ayah atau ibu yang dapat memahami pola pikirnya dan segala kebutuhannya. Karena anak bukan hanya sekedar diberi makan atau minum melainkan anak merupakan sosok yang perlu diperhatikan segala perkembangannya (Nadesul, 1999:1-2).

  Menurut Hurlock (1980), manusia berkembang melalui beberapa tahapan yang berlangsung secara berurutan, terus menerus dan dalam tempo perkembangan yang tertentu, terus menerus dan dalam tempo perkembangan yang tertentu dan bias berlaku umum. Untuk lebih jelasnya tahapan perkembangan tersebut dapat dilihat pada uraian tersebut:

1. Masa pra-lahir : dimulai sejak terjadinya konsepsi lahir 2.

  Masa jabang bayi : satu hari-dua minggu 3. Masa Bayi : dua minggu-satu tahun 4. Masa anak terdiri dari beberapa tahap yaitu : a. masa anak-anak awal : 1 tahun-6 bulan b.

  Anak-anak lahir : 6 tahun-12/13 tahun c. Masa remaja : 12/13 tahun-21 tahun d.

  Masa dewasa : 21 tahun-40 tahun e. Masa tengah baya : 40 tahun-60 tahun f. Masa tua : 60 tahun-meninggal .

  Terhadap anak itu sendiri terdapat berbagai pengertian dan pemahaman tentang anak, yang mana masing-masing dapat dilihat dari sudut pandang hukum yang antara lain adalah sebagai berikut: a.

  Menurut Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat 1 yang dimaksud dengan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

  b.

  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 Ayat 1 menyatakan bahwa yang dikatakan sebagai Anak adalah individu yang belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun.

  c.

  Konvensi ILO No. 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Untuk Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak Pasal 2, dikatakan bahwa yang dikatakan sebagai Anak adalah semua orang yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.

  d.

  Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun.

  e.

  Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 6 ayat 2 (dua) yang memuat ketentuan syarat perkawinan bagi orang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun mendapati izin kedua orang tua. Pasal 7 ayat (1) UU memuat batasan minimum usia untuk dapat kawin bagi pria adalah 19 (sembilan belas) tahun dan wanita 16 (enam belas) tahun.

  f.

  Undang-Undang RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 1 ayat 5 (lima) disebutkan bahwa Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tesebut adalah demi kepentingan.

  g.

  Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak pasal 1 ayat 1 (satu)

  disebutkan Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.

2.3 Perceraian

2.3.1 Pengertian Perceraian

  Kata cerai menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai dua arti sebagai pisah dan putusnya hubungan sebagai suami isteri. Kemudian kata perceraian mengandung arti perpisahan dan perihal bercerai (antara suami isteri) atau sebagai suatu perpecahan yang mengakibatkan hubungan suami isteri berpisah. Perihal bercerai atau perpecahan yang terjadi antara suami isteri didalam suatu keluarga. Perceraian juga dapat memicu terpisahnya keintensan antara anak dengan orangtua yang sudah bercerai sehingga hubungan keduanya tidak serat dulu (Syaifuddin., dkk, 2013:15,18).

  Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perceraian berarti berakhirnya perkawinan yang telah dibina oleh pasangan suami isteri yang disebabkan oleh beberapa hal seperti kematian, perceraian, atas keputusan sendiri dan atas putusan Pengadilan. Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan, dimana pasangan suami isteri kemudian hidup terpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku. Istilah perceraian dilihat secara yuridis berarti putusnya perkawinan, yang mengakibatkan putusnya hubungan sebagai suami isteri sebagaimana diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang memberikan pengertian akan perceraian.

  Ajaran agama apapun tidak menganjurkan untuk melakukan perceraian di tengah-tengah keluarga. Namun, dalam kenyataan ada beberapa alasan yang dijadikan sebagai bukti kuat untuk melakukan perceraian tersebut. Perceraian ini tidak pantas untuk dijadikan pilihan utama dalam menyikapi ketidakharmonisan suatu perkawinan. Putusnya suatu ikatan dalam hubungan suami isteri berarti putusnya hubungan hukum perkawinan, sehingga keduanya tidak lagi berkedudukan sebagai suami dan isteri dan tidak lagi menjalani kehidupan bersama dalam suatu rumah tangga.

  Namun, putusnya perkawinan tersebut tidak membuat putusnya hubungan silahturahmi. Antara mantan suami isteri yang telah mempunyai anak-anak selama berumah tangga memerlukan hubungan yang terjalin dalam urusan anak demi perkembangan psikis dengan berjalannya waktu (Syaifuddin., dkk, 2013:18).

2.3.2 Alasan dan Penyebab Perceraian

  Berdasarkan survey yang dilakukan oleh National Fatherhood dengan menanyakan orang-orang, alasan paling umum yang menjadi penyebab dari pernikahan mereka tidak bisa dipertahankan adalah :

  a) Karena kurangnya komitmen

  Ikatan perkawinan sangat perlu dijaga. Menjaga komitmen yang telah ditetapkan bersama merupakan salah satu kunci dari berhasilnya suatu pernikahan. Disaat satu pihak tidak bisa menjaga komitmen yang telah disepakati bersama maka akan mengakibatkan terjadinya perpisahan.

  b) Terlalu banyak pertengkaran

  Membina rumah tangga dalam ikatan perkawinan, tidak terlepas dari kerikil-kerikil pertengkaran. Survey yang dilakukan dapat menyatakan bahwa pertengkaran sering juga mengakibatkan pertengkaran. Sering bertengkar dan tidak ada yang mau mengalah tidak akan menemukan titik temu dan solusi yang baik. Dalam membina hubungan yang sehat, diperlukan komunikasi yang baik antar kedua belah pihak. Pertengkaran akan membuat kedua belah pihak menjadi capek dan lelah dalam melanjutkan hubungan pernikahan.

  c) Perselingkuhan

  Menjalani sebuah ikatan tidak ada orang yang suka diduakan. Sama halnya dalam satu hubungan terlebih lagi dalam pernikahan. Hal ini akan berdampak buruk pada hubungan berdua. Tidak mengherankan bila perselingkuhan memainkan peran penting dalam perceraian.

  d) Menikah terlalu dini

  Usia yang matang merupakan syarat terpenting dalam memulai perkawinan. Usia ideal untuk melakukan suatu pernikahan adalah di usia 19 tahun keatas, karena dalam usia ini tidak lagi dikatakan sebagai anak-anak melainkan dewasa dini. Sehingga seseorang itu dapat bertanggungjawab dengan apa yang ia lakukan dan psikologi emosionalnya sudah terkendali. Dengan usia terlalu dini dapat dikatakan sebagai faktor dalam bubarnya perkawinan. Menurut Centers for Disease Control dan pencegahan, hampir setengah dari perkawinan remaja gagal dalam lima belas tahun pertama. Jumlah itu turun menjadi 35 persen untuk pasangan yang menikah di usia pertengahan dua puluhan.

  e) Tidak sesuai dengan harapan

  Konflik dalam berumah tangga yang terjadi membuat pasangan suami isteri jatuh dalam masalah. Banyak pasangan yang tidak mengantisipasi berbagai konflik yang dapat muncul dalam perkawinan. Terkadang kehidupan dalam perkawinan tidak sesuai dengan ekspektasi mereka dan inilah yang tidak bisa diterima dengan baik. Harapan yang tidak realistis akhirnya mengakibatkan perceraian mereka. f) Ketidakseimbangan ataupun ketidaksetaraan menjadi pemicu lainnya yang membuat orang melakukan perceraian. Kesenjangan dari tanggung jawab untuk faktor ekonomi pun dapat termasuk dalam ketidaksetaraan. Apabila hal ini tidak bisa dengan segera ditemukan solusinya, maka hubungan bisa berada dalam bahaya.

  g) Kurangnya persiapan

  Zaman yang semakin modern banyak anak-anak muda sekarang yang sudah melakukan suatu perkawinan. Mereka menganggap bahwa dengan melakukan perkawinan dengan usia dini tanpa memikirkan kedepannya, bisa lebih menikmati masa mudanya dengan pasangan hidupnya. Padahal dengan kurangnya persiapan dapat menyebabkan sebagian yang sebelum melakukan perkawinan sebaiknya harus dipersiapkan dahulu dengan matang-matang karena dengan kurangnya persiapan tidak bisa hanya dikelompokkan dari segi materi saja. Persiapan mental dan pikiran pun perlu dilakukan ketika memutuskan ingin menikah. Kesiapan diri untuk menerima pasangan apa pun kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya sangatlah penting.

  h) Adanya kekerasan dalam rumah tangga

  Faktor perceraian yang dialami oleh sebahagian pasangan suami isteri, mempunyai beberapa alasan. Salah satu alasannya dalam rumah tangga adalah terjadi kekerasan. Dapat dipastikan ini menjadi sumber pemicu perceraian. Yang paling penting adalah untuk memastikan bahwa kita dalam keadaan aman sebelum menyatakan ingin berpisah atau ingin melakukan perceraian (http://www. IndoTopInfo.com/H:\Alasan Umum Penyebab Perceraian.htm diakses pada hari Kamis tanggal 6 Februari 2014, pukul 14.30).

  Melakukan suatu perceraian harus ada beberapa alasan yang kuat, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-isteri. Undang-undang Perkawinan mempersulit terjadinya perceraian dengan menetapkan syarat-syarat dan harus dilakukan didepan persidangan. Bukan sedikit pasangan suami isteri memberikan alasan-alasan yang dapat dijadikan sebagai dasar terjadinya perceraian menurut pasal 39 ayat 2 (dua) Undang-undang No.

  1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah : 1.

  Salah satu pihak melakukan perzinahan, menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

  2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun secara berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya.

  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang dapat membahayakan terhadap pihak yang lain.

  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

  6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi pertengkaran dan perselisihan dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Oleh karena itu, perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya perkawinan karena perceraian harus benar-benar dipertimbangkan dan dipikirkan baik-baik (Latief, 1999:108).

  Tingginya angka perceraian berdasarkan data Pengadilan Tinggi Agama Medan tahun 2012 yang mencapai hingga angka 12.000, maka timbul berbagai pertanyaan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara (KPAID-SU) tentang apa yang menjadi pasangan suami-isteri dalam rumah tangga bercerai terutama pada pasangan muda? Faktor-faktor penyebab perceraian di Pengadilan Agama Medan, dari Januari sampai dengan 27 November 2013 sebagai berikut :

   Tabel

  9. Kekejaman Mental

  c) Face to face

  b) Kooperatif

  Mempunyai hubungan yang lebih intim, yang mengarah pada keintensan anatara orangtua dengan anak.

  Secara pengertian ilmu psikologis, keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan dan saling menyerahkan diri (Soelaeman, dalam Shochib, 2003:17). Pada umumnya keluarga mempunyai ciri-ciri kelompok primer yang cukup penting dalam menjalani keluarga, antara lain : a)

  Jumlah Total 1289 Perkara Sumber : Data Sekunder Pengadilan Tinggi Agama Medan

  14. Tidak ada Keharmonisan 297 Perkara

  13. Gangguan Pihak Ketiga 164 Perkara

  7 Perkara

  12. Politis

  1 Perkara

  11. Cacat Biologis

  81 Perkara

  8. Kekejaman Jasmani 210 Perkara

  2.1 No Penyebab Perceraian Jumlah Perkara

  4 Perkara

  7. Kawin di Bawah Umur

  6. Tidak Ada Tanggungjawab 395 Perkara

  99 Perkara

  5. Ekonomi

  3 Perkara

  4. Kawin Paksa

  1 Perkara

  3. Cemburu

  25 Perkara

  2. Krisis Akhlak

  2 Perkara

  1. Poligami Tidak Sehat

2.3.3 Akibat-akibat Perceraian

d) Masing-masing anggota memperlakukan anggota lainnya sebagai tujuan.

  Terjalinnya keluarga sebagai suatu organisasi yang mempunyai arti mendalam dari organisasi-organisasi yang lain. Terlihat dari sistem jaringan interaksi yang bersifat hubungan interpersonal. Hubungan ini memungkinkan akan memberikan keharmonisan ditengah-tengah keluarga antara ayah, ibu dan anak atau sebaliknya. Sangat bahagia jika suatu keluarga itu saling bekerjasama dengan baik demi mempertahankan suatu hubungan dan untuk membuat pernikahan berhasil. Tidak hanya dibutuhkan kerja sama saja tetapi juga membutuhkan penyesuaian, saling menghormati satu sama lain, menghargai dan saling mencintai. Jika semua itu sudah tidak ada lagi maka bisa saja orang memilih untuk bercerai.

  Keutuhan orang tua (ayah dan ibu) dalam sebuah keluarga sangat dibutuhkan dalam membantu anak untuk memiliki dan mengembangkan dasar-dasar disiplin diri. Kepercayaan dari orang tua yang dirasakan oleh anak akan menghasilkan arahan, bimbingan dan bantuan orangtua yang diberikan kepada anak akan menyatu dan memudahkan anak untuk menangkap makna dari upaya yang dilakukan. Keluarga dikatakan utuh apabila disamping lengkap anggotanya juga dirasakan lengkap oleh anggotanya terutama anak-anaknya. Jika dalam keluarga terjadi kesenjangan hubungan perlu diimbangi dengan kualitas dan intensitas hubungan sehingga dengan ketidakadaan ayah atau ibu di rumah tetap dirasakan kehadirannya secara psikologis (Khairuddin, 2007:48).

  Usaha saling melengkapi dan saling menyempurnakan diri terkandung perealisasian peran dan fungsi sebagai orangtua. Tetapi dengan terjadinya perceraian ditengah-tengah keluarga yang utuh dapat menyebabkan terganggunya beberapa fungsi keluarga. Beberapa fungsi keluarga yang dimaksud menurut Jalaluddin Rakhmat adalah sebagai berikut: a) Fungsi Ekonomis

  Keluarga merupakan satuan sosial yang mandiri, yang dimana anggota keluarga mengkonsumsi barang-barang yang diproduksinya. Fungsi ini dilakukan dengan cara mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, pengaturan penggunaan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dan menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga di masa datang.

  b) Fungsi Sosial

  Keluarga memberikan prestasi dan status kepada anggota-anggotanya. Ini dilakukan agar dapat membina sosialisasi pada anak, membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan anak.

  c) Fungsi Edukatif

  Memberikan pendidikan kepada anak-anaknya. Fungsi ini dilakukan agar dapat menjadi pegangan hidup pada anak kelak ketika sudah beranjak dewasa dengan pendidikan dasar.

  d) Fungsi Protektif

  Keluarga melindungi anggota-anggonya dari berbagai ancaman fisik, ekonomis dan psikososial yang bertujuan untuk melindungi anak dari tindakan-tindakan yang tidak baik, sehingga anggota keluarga merasa terlindung dan merasa aman.

  e) Fungsi Religius

  Pengalaman keagamaan dalam keluarga perlu di terapkan kepada anak-anak dalam keluarga. Pengalaman keagamaan merupakan dasar pengetahuan. Fungsi ini diberikan kepada anak dan bertujuan dengan memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga yang lain dalam kehidupan beragama, dan tugas kepala keluarga untuk menanamkan bahwa ada kekuatan lain yang mengatur kehidupan ini dan ada kehidupan lain setelah di dunia ini.

  f) Fungsi Rekreatif Keluarga merupakan pusat rekreasi bagi anggotanya. Fungsi ini dilakukan agar anggota keluarga dapat lebih meluangkan waktunya untuk bermain, bercengkrama, dan berlibur bersama dengan keluarga.

  g) Fungsi Afektif

  Keluarga memberikan kasih sayang dan melahirkan keturunan. Fungsi diberikan dalam bentuk memberikan kasih sayang dan rasa aman, serta memberikan perhatian di antara anggota keluarga. Melahirkan keturunan merupakan fungsi yang bertujuan untuk meneruskan keturunan, memelihara dan membesarkan anak, memelihara dan merawat anggota keluarga.

  Ikatan yang mempertalikan suami dan isteri dalam perkawinan kadangkala rapuh dan bahkan putus sehingga terjadi perpisahan atau bahkan perceraian. Dengan terjadinya perceraian maka dengan sendirinya fungsi keluarga mengalami gangguan dan pihak bercerai maupun anak- anak harus dapat menyesuaikan diri dengan situasi baru. Dengan demikian peningkatan angka perceraian dalam masyarakat pun membawa peningkatan gaya hidup khas keluarga bercerai, seperti hidup sendiri menjanda atau menduda, adanya anak yang harus hidup dengan salah satu orangtua saja, dan bahkan terpisah dengan saudara kandung lain (Sunarto, 2000: 64).

  Terjadinya perceraian memberikan dampak terhadap perubahan fungsi keluarga tersebut. Secara historis keluarga telah menghilangkan berbagai fungsi-fungsi karakteristik yang telah melayani anggota keluarganya dan masyarakat. Anak yang berada di keluarga yang kurang utuh mencoba untuk merasakan kembali masa-masa indah saat bersama dengan kedua orangtuanya sehingga orangtua harus senantiasa memahami keinginan anak-anak walaupun dalam kondisi yang berbeda.

  Ketidakutuhan yang terjadi di dalam keluarga, maka salah satu dari orangtua harus dapat menjadi sosok yang dapat memerankan dua fungsi dalam keluarga yang telah hilang akibat perceraian. Sangat disayangkan jika anak akan kehilangan peran salah satu orang tua yang tidak berada di kehidupan sosialnya karena dapat membahayakan perkembangan anak di kemudian hari. Keretakan dalam suatu perkawinan mengakibatkan keluarga utuh yang semestinya didiami oleh adanya ayah, ibu dan anggota kandung menjadi terpisah. Tetapi dengan terjadinya perceraian yang dialami sebuah keluarga, akan mengubah menjadi keluarga yang berorang tua tunggal.

  Adapun sifat-sifat yang harus di perankan oleh salah satu orang tua yang mengalami perceraian, yakni :

  1. Sifat Kebapakan Sifat ini di perankan oleh seorang Ibu dalam mengasuh anak yang kehilangan peran bapak di dalam keluarga. Dalam hal seorang Ibu harus dapat memberikan perlindungan kepada anak, seperti mengawasi, melindungi dan memberikan penghargaan jika anak mendapat prestasi.

  2. Sifat ke-ibu-an Sifat ini di perankan oleh seorang Bapak yang mempunyai hak dalam mengasuh anak.

  Didalam sifat ini, seorang Bapak harus dapat mengimbangi apa yang biasanya dilakukan oleh seorang Ibu kepada anak. Seperti mendidik anak, merawat, memelihara, menyanyangi serta berusaha menjadi seseorang yang dapat peka terhadap perasaan anak.

  3. Sifat kebapak-ibuan

  Sifat kebapak-ibuan ini biasanya di temukan pada salah satu wali yang mendapat kepercayaan untuk mengasuh anak dan biasanya ini anak-anak berada di Yayasan atau Panti Asuhan yang memiliki Ibu atau kakak pengasuh. Sifat ini akan membantu si anak dalam proses perkembangan psikologis dan sosial daripada sianak (Shochib, 2003:17-18).

2.3.4 Dampak Perceraian Terhadap Anak Apapun alasannya, tidak ada perceraian yang ideal dialami oleh pasangan suami isteri.

  Begitu juga dengan harapan anak yang tidak menginginkan adanya perpisahan antara kedua orangtuanya. Jika saja orang tua bersedia mencari penasihat sebelum bercerai, bukannya setelah bercerai sebagian masalah tentang anak-anak praktis akan tertangani. Anak-anak tidak mempunyai pikiran bahwa orang tuanya akan bercerai, walaupun mereka sering menyaksikan pertengkaran. Mereka akan terkejut, marah, merasa bersalah dan bingung jika diberitahukan bahwa orang tuanya akan bercerai (Balson, 1999:18).

  Perceraian pasti membawa dampak negatif yang dapat mengganggu psikologis pada tumbuh kembang anak. Perceraian tak hanya mengakibatkan penurunan prestasi belajar anak melainkan juga menyebabkan anak mengalami kesulitan beradaptasi terhadap lingkungan yang baru sehingga menimbulkan pemberontakan dalam skala kecil dan besar yang diwujudkan dalam perilaku anak dalam lingkungan sekolah maupun rumah. Adapun dampak perceraian terhadap anak dilihat dari perspektif Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak : a.

  Anak akan merasa terbuang dan tidak diperhatikan Jika Ibu dan Ayah berpisah atau bersiap-siap untuk berpisah, maka biasanya anak akan disergap rasa takut kehilangan salah satu dari orangtuanya. Anak akan berpikir bahwa ia akan menjadi seorang yang sendiri di dunia ini.

  b.

  Anak akan merasa kehilangan kasih sayang

  Tak hanya dari orangtuanya tapi juga dari keluarga besar lainnya yang membuat sianak akan merasa kurang diperhatikan dari sebelum kedua orangtuanya berpisah. Sebab dalam pikiran anak akan terbentuk pola pikir yang mengarah bahwa jika kedua orangtuanya bercerai maka ia juga akan kehilangan sebahagian dari keluarga besar lainnya.

  c.

  Merasa bersalah Banyak anak korban perceraian yang menganggap bahwa salah satu penyebab perceraian orangtuanya adalah karena kesalahannya. Misalnya, karena sianak malas belajar, nakal, dan suka berbohong jadi ayah dan ibu bercerai.

  d.

  Anak akan berubah menjadi tidak kooperatif Biasanya ditandai dengan kenakalan-kenakalan yang tidak wajar seperti merusak barang, anak menjadi pemberang dan mudah tersinggung. Anak-anak yang menjadi korban perceraian dari orangtuanya, dapat juga menimbulkan anak tidak peduli dengan keadaan sekelilingnya, karena ia merasa cemburu dengan teman-teman sebaya atau anak-anak yang lainnya yang masih mempunyai keluarga lengkap.

  e.

  Anak terlihat depresi dan selalu menyendiri Tanda yang paling terlihat dari dampak ini adalah anak jadi sulit makan, sering membicarakan hal-hal yang menyedihkan bahkan cenderung melakukan hal-hal yang membahayakan dan selalu memikirkan orangtuanya yang bercerai.

  f.

  Pemberontakan terhadap ajaran agama Pemberontakan disini dimaksudkan bahwa anak akan melakukan perlawanan terhadap ajaran agama yang ia yakini, sekan-akan Tuhan tidak melindungi keluarganya dari malapetaka tersebut sehingga anak mengalami penurunan terhadap kegiatan kerohaniannya.

  Saat ini baik di Indonesia maupun di negara-negara lain sering kita lihat, dengar dan baca dari media elektronik dan media cetak anak-anak yang dianiaya, ditelantarkan bahkan dibunuh hak-haknya oleh orangtuanya sendiri maupun oleh kerasnya kehidupan. Hak asasi mereka seakan-akan tidak ada lagi dan tercabut begitu saja oleh orang-orang yang kurang bertanggungjawab. Sebagaimana halnya dengan orang dewasa, anak-anak juga memiliki hak. Hak-hak untuk anak-anak ini diakui dalam Konvensi Hak Anak yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1989. Menurut konvensi tersebut, semua anak tanpa membedakan ras, suku bangsa, agama, jenis kelamin, asal-usul keturunan maupun bahasa memiliki 4 hak dasar yaitu : a.

  Hak Atas Kelangsungan Hidup Termasuk di dalamnya adalah hak atas tingkat kehidupan yang layak, dan pelayanan kesehatan. Artinya anak-anak berhak mendapatkan gizi yang baik, tempat tinggal yang layak dan perawatan kesehatan yang baik bila anak jatuh sakit.

  b.

  Hak Untuk Berkembang Termasuk di dalamnya adalah hak untuk mendapatkan pendidikan, informasi, waktu luang, berkreasi seni dan budaya, juga hak asasi untuk anak-anak cacat, dimana mereka berhak mendapatkan perlakuan dan pendidikan khusus.

  c.

  Hak Partisipasi Termasuk di dalamnya adalah hak kebebasan menyatakan pendapat, berserikat dan berkumpul serta ikut serta dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dirinya. Jadi, seharusnya orang-orang dewasa khususnya orangtua tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada anak karena bisa jadi pemaksaan kehendak dapat mengakibatkan beban psikologis terhadap diri anak. d.

  Hak Perlindungan Termasuk di dalamnya adalah perlindungan dari segala bentuk eksploitasi, perlakuan kejam dan sewenang-wenang dalam proses peradilan pidana maupun dalam hal lainnya.

  Contoh eksploitasi yang paling sering kita lihat adalah mempekerjakan anak-anak di bawah umur.Untuk itu ada baiknya para orangtua, lembaga-lembaga pendidikan maupun lembaga lain yang terkait dengan anak mengevaluasi kembali, apakah semua hak-hak asasi anak telah dipenuhi/terpenuhi.

  Dari hak-hak anak tersebut di atas, saat ini sudah banyak anak-anak yang tidak terpenuhi haknya, dan anak-anak tersebut kehilangan masa-masa yang mana dapat menunjang tumbuh kembang anak.

2.4 Kesejahteraan Anak

  Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dikatakan sejahtera adalah ketika hak-hak dan kewajiban anak terpenuhi. Didalam pasal 13 ayat 1 (satu) dikatakan “Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan Diskriminasi, Eksploitasi, Penelantaran, Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, Ketidakadilan, dan Perlakuan yang salah”.

  Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 9 bahwa “Orangtua adalah yang pertama-tama bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani, maupun sosial”.

  Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 ayat 2, ditentukan bahwa “anak adalah seseorang yang belum mencapai 21 tahun dan belum kawin:, junto 1 a “Kesejahteraan Anak adalah suatu tata cara kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial”.

  Prof Dr. Singgih D Gunarsa menyatakan bahwa ”anak membutuhkan orang lain bagi perkembangannya dan orang lain yang paling pertama dan utama bertanggungjawab adalah oarangtuanya sendiri”, orangtualah yang bertanggung jawab memperkembangkan keseluruhan eksistensi si anak. Pendapat tersebut memperkuat pernyataan tentang hak-hak anak dan ketentuan yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak seperti tercantum dalam Bab III megenai tanggung jawab orang tua terhadap kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial.

  Menurut Undang-Uundang Perkawinan sangat jelas hak dan kewajiban orangtua terhadap anak demi kesejahteraan anak. Ada beberapa unsur yang perlu diperhatikan mengenai hak dan kewajiban orangtua terhadap anak antara lain : 1.

  Tentang usia belum dewasa bagi seorang anak Setiap anak yang belum dikatakan dewasa berada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Misalnya anak tersebut ingin melangsungkan perkawinan, maka anak tersebut harus mendapat ijin dari kedua orang tuanya karena anak yang dibawah umur masih dalam pengawasan orang tua.

2. Kewajiban dan kekuasaan orangtua

  Pada Pasal 45 ayat 1 dikatakan bahwa “Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya”. Menurut Prof.H.R.Sardjono, memelihara disini berarti member nafkah hidup bagi sang anak, baik berupa sandang maupun pangan. Mendidik artinya member pendidikan kepada anak seperti menyekolahkan anak dengan membiayai sekolah anak (Malik, 2009:78). Pendapat tersebut semakin memperkuatkan pernyataan pada Undang-Undang Perlindungan Anak pada Bab IV yang mengenai tentang kewajiban dan hak orangtua.

  3. Kewajiban anak terhadap orangtua Kewajiban anak sudah sepantasnya untuk menghormati dan menaati kehendak orangtua mereka. Segala yang ditaati oleh sianak tidaklah semua kehendak orangtua saja melainkan segala kehendak yang baik.

  Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 (dalam Soerjono Soekanto. 1992:127) yang mengatur kesejahteraan anak Pasal 2, menyebutkan hak-hak anak sebagai berikut :

  1. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang di dalam keluarga maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh kembang secara wajar.

  2. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna.

  3. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.

  4. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar.

2.5 KPAID-SU (Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara)

  Beberapa tahun terakhir ini, tindak kekerasan, pemaksaan, eksploitasi bahkan perdagangan anak semakin banyak terjadi. Tindakan tersebut dilakukan oleh perorangan atau kelompok sindikat dengan berbagai modus operandi seperti tindak pidana penjualan bayi/ balita, penculikan anak, perkosaan/ sodomi anak, tenaga kerja anak dan sebagainya. Praktek penjualan bayi sering dilakukan dengan dalih adopsi.

  Kondisi ekonomi keluarga yang miskin, tidak harmonis, pengangguran ikut pula menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Harapan orangtua yang terlalu tinggi dalam mendidik anak serta tanpa melihat potensi tumbuh kembang anak, minat dan bakat dan keinginan anak dapat dikategorikan sebagai kekerasan terhadap anak. Di sisi lain perlindungan terhadap anak semakin bervariasi dan beragam bentuk dan tempatnya, mulai dari lingkungan rumah tangga, yayasan/ panti asuhan, pondok pesantren, lembaga swdaya masyarakat (LSM), yayasan pemerintah dan sebagainya.

  Berdasarkan pengalaman tidak diketahuinya kasus-kasus tersebut di tengah-tengah masyarakat, karena tidak tersedianya sarana dan informasi yang mudah di akses kemana mereka memberikan pengaduan atau rujukan atas kasus yang dialami. Pada sisi lain tidak semua aparat penegak hukum (Kepolisian, kejaksaan, hakim, pengacara/ advokat) mengerti tentang ketentuan- ketentuan yang ada di dalam Undang-undang Perlindungan Anak. Ada ketentuan hukum tersebut yang belum dilakukan sinkronisasi dan hormonisasi oleh masyarakat karena apabila masyarakat mengadukan permasalahan kekerasan terhadap anak kepada pihak kepolisian dapat menimbulkan citra buruk dalam keluarga.

  Sesuai dengan amanat Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa setiap daerah baik provinsi maupun kabupaten/ kota dapat membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID). Pembentukan KPAID bukan merupakan kewajiban atau keharusan tetapi merupakan kebutuhan daerah masing-masing. Karena itu, KPAID-SU merupakan refleksi dari kedudukan KPAI seperti tercantum pada pasal 9 ayat (1) Keppres No. 77 tahun 2003 tentang KPAI berbunyi ” Apabila dipandang perlu dalam menunjang pelaksanaan tugasnya Komisi Perlindungan Anak dapat membentuk perwakilan di daerah”. Kata perwakilan dalam rumusan tersebut merupakan perwakilan lembaga pusat di daerah, demi kepentingan terbaik bagi anak, sesuai dan semangat UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah. Hubungan kerja KPAI dan KPAID-SU bukan bersifat hirarkis tetapi bersifat koordinatif fungsional. Dengan demikian sifat independensi KPAID-SU tetap terjamin sejalan dengan visi, misi dan strategi KPAI.

  Sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Gubernur Provinsi Sumatera Utara No.463/026.K/2006, maka dibentuklah Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara (KPAID-SU) yang terletak di Kantor Gubernur Sumatera Utara Jl. Dipnegoro No. 30 Medan Sumatera Utara.

  KPAID-SU bersifat independen yang dibentuk untuk mendorong dan memfasilitasi dan mengawasi penyelenggaraan perlindungan hak-hak anak baik hak hidup, hak sipil, hak tumbuh kembang, hak berpartisipasi sesuai dengan keinginan, minat, bakat dan kebutuhannya. Pemenuhan hak-hak tersebut dilakukan dengan tujuan ”demi kepentingan terbaik bagi anak” sebagai generasi penerus sekaligus pemilik dan pengelola masa depan bangsa dan negara.

  Adapun dasar hukum yang menguatkan lembaga Negara ini, yakni UUD 1945 dan Pasal 28, dan adapun dasar hukum lainnya yang seperti : a. Undang-undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak b. KEPRES No. 39 tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak-hak Anak tahun 1989 c. KEPRES No. 77 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak Indonesia d. SK. Gubernur Sumatera Utara No. 463/026.K/2006 tanggal 23 Januari 2006 tentang

  Pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara e.

  SK. Gubernur Sumatera Utara No. 463/1682/K/Tahun 2009 tanggal 19 Mei 2009 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia.