BAB II PENGATURAN HUKUM ATAS KARYA CIPTA DI INDONESIA A. Hak Cipta Secara Umum - Perlindungan Hukum Hak Cipta Terhadap Karya Cipta Lagu dan Musik Dalam Bentuk Ringtone Pada Telepon Seluler

BAB II PENGATURAN HUKUM ATAS KARYA CIPTA DI INDONESIA A. Hak Cipta Secara Umum Hak cipta merupakan istilah yang populer di dalam masyarakat, walaupun

  demikian pemahaman tentang ruang lingkup pengertiannya tidaklah sama pada setiap orang karena berbedanya tingkat pemahaman tentang istilah tersebut.

  Sebagai contoh sering orang awam menginterprestasikan hak cipta sama dengan hak kekayaan intelektual. Lainnya adalah pemahaman masyarakat terhadap perlindungan hak cipta ini, sebagai contoh misalnya karena pemahaman yang kurang sehingga sering muncul pemikiran dan perkataan yang keluar yaitu hak cipta dipatenkan atau merek dipatenkan sehingga seolah-olah pengertian hak cipta itu cukup luas meliputi keseluruhan ciptaan manusia padahal, pengertian hak cipta itu cukup luas meliputi keseluruhan ciptaan manusia di bidang tertentu saja.

  Hak cipta sendiri secara harfiah berasal dari dua kata yaitu hak dan cipta, kata “Hak” yang sering dikaitkan dengan kewajiban adalah suatu kewenangan yang diberikan kepada pihak tertentu yang sifatnya bebas untuk digunakan atau

  10 tidak.

10 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. , hlm. 323.

  

17 Sedangkan kata “Cipta” atau ciptaan tertuju pada hasil karya manusia dengan menggunakan akal pikiran, perasaan, pengetahuan, imajinasi dan pengalaman. Sehingga dapat diartikan bahwa hak cipta berkaitan erat dengan

  11 intelektual manusia.

  Dalam hal ini ada beberapa pendapat sarjana mengenai pengertian hak

  12

  cipta, antara lain: 1.

  WIPO ( World Intelektual Property Organization ) “Copy Right is legal from describing right given to creator

  

for their literary and artistic works ” yang artinya hak cipta

  adalah terminology hukum yang menggambarkan hak-hak yang diberikan kepada pencipta untuk karya-karya mereka dalam bidang seni dan sastra.

  2. J. S. T Simorangkir Berpendapat bahwa hak cipta adalah hak tunggal dari pencipta, atau hak dari pada yang mendapat hak tersebut atas hasil ciptaannya dalam lapangan kasusasteraan, pengetahuan, dan kesenian. Untuk mengumumkan dan memperbanyaknya, dengan mengingat pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang.

  3. Imam Trijono Berpendapat bahwa hak cipta mempunyai arti tidak saja si pencipta dan hasil ciptaannya yang mendapat perlindungan hukum, akan tetapi juga perluasan ini memberikan perlindungan kepada yang diberi kepada yang diberi kuasapun kepada pihak yang menerbitkan terjemah daripada karya yang dilindungi oleh perjanjian ini.

  Hak cipta pada dasarnya telah dikenal sejak dahulu kala, tetapi konsep hukum hak cipta baru dikenal di Indonesia pada awal tahun 80-an. Bila dilihat dari sejarahnya ada dua konsep besar tentang hak cipta yang pada akhirnya saling mempengaruhi yaitu: konsep Copyrights yang berkembang di Inggris dan negara- 11 12 Ibid., hlm. 210.

  Sujud Margono, Op.Cit., hlm. 15.

  

17 negara yang menganut sistem Hukum Common Law dan Konsep Droit d’Auteur yang berkembang di Prancis dan negara-negara yang menganut Sistem Hukum Civil Law.

  Konsep Copyrights yang lebih menekankan perlindungan hak-hak penerbit dari tindakan penggandaan buku yang tidak sah dapat ditelusuri dari berlakunya dekrit Star Chamber pada Tahun 1556 yang isinya menentukan ijin pencetakan buku dan tidak setiap orang dapat mencetak buku. Aturan hukum yang lain yang secara tegas melindungi hak penerbit dari tindakan penggandaan yang tidak sah adalah Act of Anne 1709 yang dianggap sebagai peletak dasar konsep modern hak

  13 cipta.

  Sedangkan konsep droit d’ auteur lebih ditekankan pada perlindungan atas hak-hak pengarang dari tindakan yang dapat merusak reputasinya. Konsep ini didasarkan pada aliran hukum alam yang menyatakan bahwa suatu karya cipta adalah perwujudan tertinggi (alter ego) dari pencipta dan pencipta mempunyai hak alamiah untuk memanfaatkan ciptaannya. Konsep ini berkembang pesat setelah revolusi Perancis pada Tahun 1789, konsep ini meletakkan dasar

  14 pengakuan tidak saja hak ekonomi dari pencipta akan tetapi juga hak moral.

  Pengertian konsep hak cipta yang berkembang pada masa sekarang adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan ijin untuk itu dengan tidak mengurangi ketentuan dalam undang-undang yang berlaku. 13 Yuliati, Efektivitas Penerapan Undang-Undang 19/2002 Tentang Hak Cipta terhadap

  Karya Musik Indilabel , Skripsi, Semarang: Fakultas Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2004, hlm. 16. 14 Ibid., hlm. 17.

  Hak cipta merupakan hak kebendaan atau sub sistem dari hukum benda. Mariam Daus berpendapat bahwa hal kebendaan terbagi atas dua bagian yaitu: Hak kebendaanyang sempurna dan hak kebendaan yang terbatas. Hak kebendaan yang sempurna adalah hak kebendaan yang memberikan kenikmatan yang sempurna (penuh) bagi si pemilik. Selanjutnya untuk hak yang demikian disebut dengan hak kemilikan. Hak kebendaan terbatas adalah hak yang memberikan kenimatan yang tidak penuh atas suatu benda. Jika dibandingkan dengan hak milik artinya hak kebendaan terbatas itu tidak penuh atau kurang sempurna jika

  15

  dibandingkan dengan hak milik. Dengan demikian hak cipta menurut rumusan ini dapat dijadikan objek hak milik. Hal ini dapat disimpulkan dari rumusan Pasal

  2 UUHC, yang berbunyi: hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  Pengertian hak cipta terdapat pada Pasal 1 ayat (2) UUHC yang isinya dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Pencipta adalah a.

  seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan fikiran, imajinasi kecepatan, keterampilan atau keahlian yang di tuangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.

15 Ibid., hlm. 44.

  b.

  Orang yang merancang suatu ciptaan, tetapi diwujudkan oleh orang lain dibawah pimpinan atau pengawasan orang yang merancang ciptaan tersebut.

  c.

  Orang yang membuat suatu karya cipta dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan.

  d.

  Badan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 UUHC.

  2. Pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilih hak cipta, atau orang yang menerima hak tersebut dari pencipta, atau orang lain yang menerima lebih lanjut hak dari orang tersebut diatas.

  3. Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta dalam bentuk yang khas dan menunjukkan keasliannya dalam lapangan pengetahuan, seni dan sastra. Yang dimaksud dengan hak-hak yang berkaitan dengan hak cipta adalah pelaku, produser rekaman suara dan lembaga penyiaran. Pelaku adalah aktor, penyanyi, pemusik, penari atau mereka menampilkan, memperagakan atau mempertunjukkan, menyanyikan, menyampaikan, mendeklamasikan, atau mempermainkan suatu karya musik, drama, tari, sastra dan karya seni lainnya.

  4. Produser rekaman suara adalah orang atau badan hukum yang pertama kali merekam atau memiliki prakarsa untuk membiayai kegiatan perekaman suara atau' bunyi baik dari suatu pertunjukkan maupun suara atau bunyi lainnya.

  Seseorang yang telah mencurahkan segala daya upayanya untuk menciptakan atau menentukan sesuatu, dia mempunyai hak alamiah atau hak dasar untuk memiliki dan mengawasi apa yang telah diciptakannya. Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau Universal/Declaration of Human

  

Rights , menyebutkan bahwa “Everyone has the right to the protection of the

moral und material interest resulting form any scientific, literary, or artistic

production of which he or she is the author” . Setiap orang mempunyai hak untuk

  mendapat perlindungan bagi kepentingan moral dan material yang berasal dari ciptaan ilmiah, sastra atau hasil seni yang mana dia merupakan penciptanya.

  Hak Kekayaan Intelektual, secara substantif dapat diartikan sebagai Hak atas kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia. Hak atas Kekayaan Intelektual atau Intelektual Property Right dikelompokan dalam hak yang dimiliki secara perorangan yang tidak dalam wujud kebendaan. Hak tersebut secara khusus diberikan kapada pemilik dan pemegang hak dalam hal mengumumkan, memperbanyak dan mengedarkannya, atau memberikan ijin kepada orang lain atas ciptaannya bersifat immaterial yang melindungai hubungan kepentingan antara pencipta dengan keasliannya ciptaannya.

  Keberadaan UUHC memang diperuntukkan khusus untuk melindungi hak bagi mereka yang telah menghasilkan karya-karya yang berasal dari pcngungkapan (ekspresi) intelaktualitas (intangible), dan bukannya yang bersifat kebendaan (tangible), apabila yang belum berwujud apa-apa seperti ide-ide informasi dan lain sebagainya tersebut dengan batasan waktu tertentu.

  Pengaturan hak cipta pertama kali melalui perjanjian multilateral diwujudkan dalam Berne Convention pada Tahun 1886 sebagaimana telah direvisi di Paris 1971, merupakan perjanjian multilateral yang pertama dan utama tentang hak cipta. Berne Convention ini lah yang meletakkan dasar aturan tentang lingkup perlindungan hak cipta, kepemilikan hak cipta, hak-hak pencipta, jangka waktu perlindungan hak cipta dan pengecualiaan hak cipta.

  16 Berne Convention juga meletakkan tiga prinsip dasar yaitu: 1.

  National Treatment artinya Perlindungan yang sama bagi karya cipta warga negara sendiri maupun warga negara lain peserta konvensi.

2. Automatically Protection artinya pemberian perlindungan hak cipta dapat dilakukan tanpa adanya pendaftaran secara formal.

  3. Independent Protection artinya pemanfaatan dan perlindungan ciptaan di negara lain tidak bergantung pada perlindungan di negara asal ciptaan. Awalnya, Indonesia mengadopsi Konvensi Bern dalam pengaturan Hak

  Cipta di Indonesia. Konvensi Bern semenjak ditanda tangani sampai dengan 1 Januari 1996 telah 117 negara yang meratifikasinya. Belanda yang menjajah Indonesia pada 1 November 1912 juga memberlakukan keikutsertaannya pada Konvensi Bern berdasarkan asas konkordansi bagi lndonesia dengan kata lain, Indonesia semenjak tahun 1912 telah mempunyai undang-undang hak cipta (Auteuresvlet 1912) berdasarkan Undang-Undang Belanda tanggal 29 Juni 1911 (Staatblad Belanda Nomor 197) yang memberi wewenang pada Ratu belanda untuk memberlakukannya bagi Negara Belanda sendiri dan negara-negara jajahannya Konvensi Bern 1886 berikut revisi yang dilakukan pada 13 november 1908 di Berlin.

  Namun demikian, semenjak 15 Maret 1958 indonesia menyatakan berhenti menjadi anggota Konvensi Bern berdasarakan surat NO.15.140 XII tanggal 15 Maret 1958. Menteri Luar Negeri Soebandrio waktu itu menyatakan pada Direktur Biro Berne Convention rnenyatakan tidak menjadi anggota The 16 Ibid., hlm. 18. Bern Convention. Dalam kurun waktu hampir 100 (seratus) tahun keberadaan konvensi Bern, tercatat lima negara anggota yang menyatakan berhenti menjadi anggota konvensi, yaitu: Haiti (1887-1943), Montenegro (1893-1900), Liberia (1908-1930), lndonesia (1913-1960), Syiria (1924-1962). Tiga puluh tujuh tahun.

  Kemudian, tepatnya 7 Mei 1997, lndonesia rnenyatakan ikut serta kembali menjadi anggota Konvensi Bern dengan rnelakukan ratifikasi dengan Keppres Rl NO.16 tahun 1997, hal ini sebagai konsekwensi keikutsertaan Indonesia dalam

  17 forum WTO, yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994.

  Sejak zaman Belanda hak cipta diatur pada Auteurswet Tahun 1912 Stb. No. 600 aturan tentang hak cipta ini tampaknya sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat serta cita-cita hukum nasional, sehingga pada tahun 1982, Pemerintah Indonesia mencabut pengaturan tentang hak cipta berdasarkan

  Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 tahun 1912 dan menetapkan Undang-

  Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang merupakan undang- undang hak cipta yang pertama di Indonesia. Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997, dan pada akhirnya dengan UUHC yang kini berlaku.

  Undang-Undang ini dikeluarkan untuk merealisasi amanah Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam rangka pembangunan dibidang Hukum, dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi pencipta dan hasil karya ciptaanya diharapkan penyebarluasan hasil kebudayaan dibidang karya ilmu seni

17 Uning Kesuma Hidayah, Penanggulangan Pelanggaran Hak Cipta Terhadap Pembajakan CD/VCD (Studi Kasus di Jawa Tengah) , (Semarang: 2008), hlm.53.

  dan sastra dapat dilindungi secara yuridis yang pada gilirannya dapat

  18 mempercepat proses pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa.

  Perubahan undang-undang tersebut juga tak lepas dari peran Indonesia dalam pergaulan antar negara. Pada tahun 1994, pemerintah meratifikasi pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization–WTO), yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual

  Propertyrights - TRIPs (Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan

  Intelektual). Ratifikasi tersebut diwujudkan dalam bentuk Undang-undang Nomor

  7 Tahun 1994. Pada Tahun 1997, pemerintah meratifikasi kembali Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan juga meratifikasi World

  

Intellectual Property Organization Copyrights Treaty 22 (Perjanjian Hak Cipta

WIPO) melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997.

  Hal baru yang diatur dalam UUHC ini adalah diaturnya hak Persewaan atau rental rights yang memang belum pernah diatur dalam undang-undang hak cipta terdahulu. Selain itu, UUHC juga menempatkan pelanggaran terhadap hak cipta sebagai tindak pidana biasa, bukan delik aduan sebagaimana dianut dalam undang-undang hak cipta terdahulu serta memberikan kesempatan bagi pencipta dan pemilik hak cipta untuk mempertahankan haknya melalui gugatan perdata maupun pidana.

  Menurut ketentuan Pasal 11 ayat UUHC, ciptaan yang dilindungi oleh UUHC adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang meliputi bebagai jenis karya berikut ini: 18 Ibid., hlm. 49.

  1. Buku, program komputer, Famflet, susunan perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya;

  2. Ceramah, kuliah, pidato, clan eiptaan lainnya yang diwujudkan dengan cara diucapkan;

  3. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; 4.

  Ciptaan lagu atau musik dengan atau tanpa teks, termasuk karawitan, dan rekaman suara;

  5. Drama, tari (koregrati), pewayangan, pantomin; 6.

  Karya pertunjukan; 7. Karya siaran; 8. Seni rupa dalam bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrali, seni pabat, seni patung, kolase, seni terapan yang berupa seni kerajinan tangan; 9. Arsitektur; 10.

  Peta; 11. Seni batik; 12. Fotografi; 13. Sinematografi; 14. Terjemahan, tafsiran, saduran, bunga rampai dan karya lainnya dari hasil pengalihwujudan.

B. Pengertian Karya Cipta Lagu dan Musik

  Istilah lagu dan musik dalam kehidupan sehari-hari cenderung digunakan untuk maksud yang sama. Secara etimologi lagu merupakan satu kesatuan musik yang terdiri atas susunan berbagai nada yang berurutan. Setiap lagu ditentukan oleh panjang-pendek dan tinggi-rendahnya nada-nada tersebut, di samping itu, irama juga memberi corak tertentu pada suatu lagu. Sebuah lagu terdiri dari

  19

  beberapa unsur, yaitu: 1.

  Melodi Melodi adalah suatu deretan nada yang karena kekhususan dalam penyusunan menurut jarak dan tinggi nada, memperoleh suatu watak tersendiri dan menurut kaidah musik yang berlaku membulat jadi suatu kesatuan organik.

  2. Lirik Lirik adalah syair atau kata-kata yang disuarakan mengiringi melodi.

  3. Aransemen Aransemen adalah penataan terhadap melodi.

  4. Notasi Notasi adalah penulisan melodi dalam bentuk not balok atau not angka.

  Pengertian musik menurut Ensiklopedia Indonesia adalah seni menyusun

  20

  suara atau bunyi . Musik tidak bisa dibatasi dengan seni menyusun bunyi atau suara indah semata-mata, suara atau bunyi sumbang telah lama digunakan, dan banyak komponis modern bereksperimen dengan suara atau bunyi semacam itu.

  Musik dan lagu memiliki pengertian yang berbeda, namun di dalam Konvensi bern menyebutkan istilah yang digunakan untuk menyebutkan lagu atau

  21

  musik adalah musical work . Salah satu work (karya) yang dilindungi adalah komposisi musik atau lagu (music compositions) dengan atau tanpa kata-kata (with or without words). Konvensi Bern tidak menjelaskan uraian yang tegas 19 20 Van Hoeve, Ensiklopedia Indonesia Buku 4, (Jakarta: Ichtiar Baru), hlm. 1940. 21 Ibid.

  Ibid. mengenai musical work, namun dari ketentuan yang dapat disimpulkan bahwa ada dua jenis ciptaan lagu atau musik yang dilindungi hak cipta, yaitu lagu atau musik

  22

  dengan kata-kata dan lagu atau musik tanpa kata-kata . Musik dengan kata-kata adalah lagu yang unsurnya terdiri dari melodi, lirik, aransemen dan notasi, sedangkan musik tanpa kata-kata adalah musik yang hanya terdiri dari unsur

  23 melodi, aransemen dan notasi .

  Penjelasan Pasal 12 ayat (1) huruf d UUHC terdapat rumusan pengertian lagu atau musik sebagai berikut: “Lagu atau musik dalam undang-undang ini diartikan sebagai karya yang bersifat utuh sekalipun terdiri atas unsur lagu atau melodi, syair atau lirik, dan aransemennya termasuk notasi. Yang dimaksud dengan utuh adalah bahwa lagu atau musik tersebut merupakan satu kesatuan karya cipta”.

  24 Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa : 1.

  Lagu atau musik dianggap sama pengertiannya; 2. Lagu atau musik bisa dengan teks, bisa juga tanpa teks; 3. Lagu atau musik merupakan suatu karya cipta yang utuh, jadi unsur melodi, lirik, aransemen, notasi dan bukan merupakan ciptaan yang berdiri sendiri.

C. Hak Ekonomi dan Hak Ekslusif dalam Karya Cipta Lagu dan Musik

  Hak cipta menurut UUHC yang terdapat dalam Pasal 1 adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau 22 23 Ibid. 24 Ibid.

  Ibid., hlm. 141. memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan

  25 yang berlaku.

  Hak cipta merupakan istilah yang populer di dalam masyarakat. Walaupun demikian, pemahaman mengenai ruang lingkup pengertiannya tidaklah sama pada setiap orang karena berbedanya tingkat pemahaman tentang istilah hak cipta ini. Akibatnya, di dalam masyarakat sering terjadi kesalahpahaman dalam pemberian arti hak cipta sehingga sering menimbulkan kerancuan dalam penggunaan bahasa yang baik dan benar. Pada kenyataannya, di dalam masyarakat istilah hak cipta ini sering dicampur adukan dengan hak-hak atas kekayaan intelektual lainnya seperti paten dan merek. Seolah-olah pengertian hak cipta itu cukup luas meliputi keseluruhan ciptaan manusia. Padahal, pengertian hak cipta itu dibatasi, hanya meliputi hasil ciptaan manusia dalam bidang tertentu saja, yang selebihnya akan dikategorikan dalam bidang lain, yaitu paten, merek, dan lain-lain.

  Hak cipta adalah bagian dari sekumpulan hak yang dinamakan HAKI yang pengaturannya terdapat dalam ilmu hukum dan dinamakan hukum HAKI. Yang dinamakan hukum HAKI meliputi suatu bidang hukum yang membidangi hak-hak yuridis atas karya-karya atau ciptaan-ciptaan hasil olah piker manusia bertautan dengan kepentingan-kepentingan bersifat ekonomi dan moral.

  Bidang yang dicakup dalam HAKI sangat luas, karena termasuk di dalamnya semua HAKI, misalnya terdiri dari: ciptaan sastra seni, ilmu

  25 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Pasal 1 pengetahuan, invensi, desain industri, merek, desain tata letak sirkuit terpadu, dan lain-lain.

  Hukum HAKI melarang dilakukannya tindakan penjiplakan atau plagiat, plagiat yaitu suatu tindakan dengan maksud untuk menarik keuntungan dari ciptaan-ciptaan yang merupakan kekayaan intelektual orang lain, dan menetapkan kaedah-kaedah hukum yang mengatur ganti rugi yang harus dipikul oleh orang

  26 yang melanggarnya dengan melakukan tindakan penjiplakan.

  Dalam kurun waktu dua dekade terakhir, HAKI mulai memasuki tahapan baru dalam perkembangan hukum di Indonesia, HAKI menjadi mengemuka tidak hanya karena berdasarkan hukum, tetapi juga karena bertautan erat dengan bidang-bidang lain secara sekaligus, seperti bidang-bidang teknologi, ekonomi, social budaya, kesenian, komunikasi dan lain sebagainya.

  Hal ini menjadikan HAKI mendorong timbulnya kesadaran baru tentang arti penting dan adanya fungsi ekonomi HAKI, sehingga dalam memandang persoalan HAKI ini mau tidak mau harus dilihat dengan mempergunakan kacamata yang berdimensi luas, disamping masalah teknis yuridisnya.

  Secara substantif, pada dasarnya pengertian HAKI dapat dideskripsikan sebagai hak-hak atas harta kekayaan yang merupakan produk olah piker manusia, dengan perkataanlain HAKI adalah hak atas harta kekayaan yang timbul dari kemampuan intelektual manusia. Kekayaan semacam ini bersifat pribadi dan

26 Eddy Damian, Op.Cit., hlm. 32.

  berbeda dari kekayaan-kekayaan yang timbul bukan dari kemampuan intelektual manusia, seperti hak atas

  27

  : 1. Harta kekayaan yang diperoleh dari alam terdiri dari: a. tanah: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak penambangan, hak sewa, dan lain-lain.

  b. air: hak mengelola sumber air, hak lintas damai di perairan pedalaman, hak perikanan, dan lain-lain c. udara: hak lintas udara bagi pesawat-pesawat udara maskapai udara asing, hak siaran, dan sebagainya

  2. Harta kekayaan yang diperoleh dari benda-benda tidak bergerak dan bergerak seperti: a. hak milik atas tanah, gedung, bangunan, dan rumah susun b. hak milik atas mesin-mesin c. hak milik atas mobil, pesawat udara, surat-surat berharga

  Beberapa hak eksklusif yang umumnya diberikan kepada pemegang hak cipta adalah hak untuk

  28

  : 1. membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut (termasuk, pada umumnya, salinan elektronik)

  2. mengimpor dan mengekspor ciptaan 3. menciptakan karya turunan atau derivatif atas ciptaan

  (mengadaptasi ciptaan) 4. menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum.

  5. menjual atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada orang atau pihak lain

  Hak eksklusif adalah bahwa hanya pemegang hak ciptalah yang bebas melaksanakan hak cipta tersebut, sementara orang atau pihak lain dilarang melaksanakan hak cipta tersebut tanpa persetujuan pemegang hak cipta.

  29 Konsep

  tersebut juga berlaku di Indonesia. Di Indonesia, hak eksklusif pemegang hak cipta termasuk kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, 27 Ibid., hlm. 34. 28 Anonim, Hak Cipta Cipta.html, diakses tanggal 1 Juli 2012. 29 Ibid. memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan

  30 mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun.

  Selain itu, dalam hukum yang berlaku di Indonesia diatur pula “hak terkait”, yang berkaitan dengan hak cipta dan juga merupakan hak eksklusif, yang dimiliki oleh pelaku karya seni (yaitu pemusik, aktor, penari, dan sebagainya), produser rekaman suara, dan lembaga penyiaran untuk mengatur pemanfaatan hasil dokumentasi kegiatan seni yang dilakukan, direkam, atau disiarkan oleh

  31

  mereka masing-masing. Dari penjelasan di atas, hak eksklusif yang terkandung dalam suatu karya cipta juga dimiliki oleh karya cipta lagu dan musik. Sebagai contoh, seorang penyanyi berhak melarang pihak lain memperbanyak rekaman suara nyanyiannya. Hak-hak eksklusif yang tercakup dalam hak cipta tersebut

  32

  dapat dialihkan, misalnya dengan pewarisan atau perjanjian tertulis. Pemilik hak cipta dapat pula mengizinkan pihak lain melakukan hak eksklusifnya tersebut dengan lisensi dengan persyaratan tertentu.

  Suatu karya cipta menimbulkan hak ekonomi (economy right) dan hak moral (moral right). Banyak negara mengakui adanya hak moral yang dimiliki pencipta suatu ciptaan, sesuai penggunaan Persetujuan TRIPs WTO (yang secara

inter alia juga mensyaratkan penerapan bagian-bagian relevan Konvensi Bern).

  Secara umum, hak moral mencakup hak agar ciptaan tidak diubah atau dirusak tanpa persetujuan, dan hak untuk diakui sebagai pencipta ciptaan tersebut. Hak moral (moral rights) adalah hak pencipta untuk mengklaim sebagai pencipta suatu 30 Anonim, Seputar Hak Kekayaan Internasional, tanggal 1 Juli 2012. 31 32 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Pasal 1 Butir 9-12.

  Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Pasal 3-4. ciptaan dan hak pencipta untuk mengajukan keberatan terhadap setiap perbuatan yang bermaksud mengubah, mengurangi atau menambah keaslian ciptaannya (any

  

mutilation or deformation or other modification or other derogatory action ) yang

  dapat meragukan kehormatan dan reputasi (auther's honoror reputation) hak-hak moral (moral rights) yang diberikan kepada seorang pencipta mempunyai kedudukan yang sejajar dengan hak-hak ekonomi (economic rights) yang dimiliki

  33 pencipta atas ciptaannya.

  Menurut desbois dalam bukunya Le Droit D Auteur (1966) berpendapat bahwa sebagai suatu elektrin, hak moral seorang pencipta mengadung empat

  34

  makna, yaitu : 1.

  Droit Depublication : hak untuk melakukan atau tidak melakukan pengumuman ciptaanya;

  2. Droit De Repentier :hak untuk melakukan perubahan- perubahan yang dianggap perlu atas ciptaannya dan hak untuk menarik dari peredaran atas ciptaan yang telah diumumkan; 3. Droit Au Respect : hak untuk tidak menyetujui dilakukannya perubahan - perubahan atas ciptaannya oleh pihak lain

  4. Droit A La Patemite: hak untuk mencantumkan nama pencipta: hak untuk tidak menyetujui perubahan atas nama pencipta yang akan d1icantuinkan : dan hak untuk mengumumkan sebagai pencipta setiap waktu yang diinginkan.

  Hak Ekonomi (Economy Right) adalah hak yang di miliki oleh seorang pencipta untuk mendapatkan keuntungan atas ciptaannya. Hal ekonomi ini merupakan hak khusus bagi pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya dan memberi ijin untuk itu. Hak ekonomi ini dapat di alihkan kepada

  35

  pihak lain. Hak ekonomi tersebut di antaranya adalah : 1. 33 Hak Pengadaan Atas Ciptaan 34 Uning Kusuma Hidayah, Op. Cit., hlm. 20. 35 Ibid., hlm. 21.

  Ibid., hlm. 19-20.

  Bentuk penggandaan atau perbanyakan ini bisa di lakukan secara tradisional maupun melalui peralatan modern Hak penggandakan ini juga mencakup perubahan bentuk ciptaan satu keciptaan lainnya misalnya: karya tulis, rekaman musik, pertunjukan drama dan film.

  2. Hak Adaptasi Hak untuk mengadakan adaptasi, dapat berupa penerjemahan dari bahasa satu ke bahasa lainnya, aransemen musik, dramatisasi dari non dramatik, merubah menjadi cerita fiksi dari karangan non fiksi atau sebaliknya Hak ini diatur baik dalam konvensi berne maupun konfensi universal. Karya cetak berupa buku, misalnya novel,mempunyai hak turunan (derivative) yaitu diantaranya hak film (film rights ), hak dramatisasi (dramatitation), hak menyimpan dalam media elektronik (electronic rights). Hak film dan hak-hak dramatisasi adalah hak yang timbul bila si novel tersebut dirubah menjadi isi sekenario film, atau sekenario darama yang bias berupa opera, balet maupun drama musikal.

  3. Hak Distribusi Hak distribusi adalah hak dimiliki pencipta untuk menyebarkan kepada masyarakat setiap hasil ciptaannya. Penyebaran tersebut dapat berupa bentuk penjualan, penyewaan, atau bentuk lain yang maksudnya agar ciptaan tersebut dikenal oleh masyarakat.

  Dalam ak ini termasuk pula bentuk dalam UU hak cipta 2002, disebut dengan pengumuman yaitu pembacaan penyuaraan, penyiaran atau penyebaran sesuatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun dan dengan cara sedemikian rupa sehingga ciptaan dapat dibaca, didengar atau di lihat oleh orang lain.

  4. Hak Penampilan Hak ini dimiliki para pemusik, dramawan, maupun seniman lainnya yang karyanya dapat terungkap dalam bentuk pertunjukan. Pengaturan tentang hak pertunjukan ini dikenal dalam konvensi Berne maupun konvensi universal bahkan diatur dalam sebuah konvensi yaitu konvensi roma.

  Hak cipta di Indonesia juga mengenal konsep “hak ekonomi” dan “hak moral”. Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan.

  Negara Indonesia dalam UUHC juga melindungi hak ekonomi dan hak moral dari suatu karya cipta lagu dan musik. Sebagai contoh, pelaksanaan hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada ciptaan yang berupa lagu dan musik, walaupun misalnya hak cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual untuk dimanfaatkan pihak lain, sedangkan hak ekonomi dalam suatu karya cipta juga diatur dalam UUHC, yaitu dengan mewajibkan setiap orang yang mengeksploitasi suatu karya cipta lagu dan musik untuk memberikan royalti sebagai hak ekonomi dari si pencipa karya cipta lagu dan musik tersebut.

D. Tata Cara Pendaftaran Karya Cipta Lagu dan Musik

  Agar dapat menciptakan ketertiban dan keteraturan masyarakat di bidang Hak Cipta terutama dari segi administrasinya, pendaftaran mengenai ciptaan di atur di dalam UUHC. Sebagaimana diketahui diatas bahwa pendaftaran suatu ciptaan bukan suatu kewajiban karena bukan untuk memperoleh Hak Cipta, sehingga penyelenggara pendaftaran ciptaan tidak bertanggung jawab atas isi, arti, maksud, atau bentuk ciptaan yang telah terdaftar. Hal ini diatur dalam Pasal 36 UUHC.

  Tujuan pendaftaran ciptaan dari segi pemerintahan sebenarnya untuk memberikan dokumen atau surat-surat yang menyangkut pendaftaran tersebut yang bentuknya bukan berupa sertifikat, melainkan seperti surat tanda penerimaan dan petikan daftar umum ciptaan.dengan pendaftaran tersebut memberikan akibat kepada orang yang mendaftarkan ciptaan dianggap sebagai penciptanya. Dari segi pihak yang mendaftar tujuannya adalah untuk kepentingan pembuktian apabila

  36 dikemudian hari terjadi sengketa atas ciptaannya.

  Pencipta yang ciptaannya terdaftar cenderung lebih mudah untuk membuktikan hak ciptaannya daripada ciptaan yang tidak terdaftar. Surat-surat yang berkaitan dengan pendaftaran ciptaan dapat digunakan sebagai salah satu alat bukti yaitu bukti tulisan yang dapat ditunjukkan dalam persidangan atau pengadilan. Alat bukti tulis tersebut merupakan bukti yang diutamakan dalam perkara perdata dibandingkan dengan alat-alat bukti lainnya. Pada prinsipnya sebuah surat dibuat untuk kepentingan pembuktian sebagai peristiwa yang telah terjadi sebelumnya.

  Untuk bidang Hak Cipta, pendaftaran merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah, karena pemerintah memiliki kewenangan untuk mengatur penyelenggaraan pendaftaran tersebut. Penyelenggaraan dalam hal ini adalah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktorat Hak Cipta.

  Proses pendaftaran ciptaan awalnya dimulai dengan cara mengajukan permohonan pendaftaran. Permohonan yang diajukan harus memuat:

  1. Nama, kewarganegaraan, alamat pencipta; 2.

  Nama, kewarganegaraan, dan alamat pemegang Hak Cipta; 3. Nama, kewarganegaraan, dan alamat kuasa (apabila permohonan tersebut diajukan melalui kuasa);

  4. Jenis dan judul ciptaan; 36 Supramono Gatot, Hak Cipta dan Aspek-Aspek Hukumnya, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2010), hlm. 16.

5. Tanggal dan tempat Ciptaan diumumkan untuk pertama kali; 6.

  Uraian ciptaan dalam rangkap 3 (tiga).

  Pencipta untuk mendaftarkan ciptannya diwajibkan membuat suatu permohonan melalui Direktorat Hak Cipta, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkut Terpadu, dan Rahasia Dagang yang ditujukan kepada Menteri Kehakiman yang ditulis dalam Bahasa Indonesia dan disertai contoh dari ciptaan. Dalam surat permohonan tersebut berisi nama, kewarganegaraan, alamat pemegang Hak Cipta, tanggal dan tempat ciptaan diumumkan pertama kali, dan uraian ciptaan yang dibuat rangkap 3 (tiga). Apabila pemohon tidak bertempat tinggal di dalam wilayah Republik Indonesia, maka untuk keperluan permohonan pendaftaran ciptaan tersebut, ia dapat memilih tempat tinggal dan menunjuk seorang kuasa di dalam wilayah Republik Indonesia. Permohonan yang dikuasakan tersebut harus disertai dengan surat kuasa yang sah, serta melampirkan bukti tentang kewarganegaraan yang diberi kuasa. Setelah melengkapi permohonan yang diajukan kepada Dirjen HAKI, dilakukan pemeriksaan administratif, pemeriksaan tersebut dilakukan untuk menentukan lengkap atau tidaknya persyaratan yang ditentukan.

  Apabila dari pemeriksaan administratif hasilnya menunjukkan surat permohonan pendaftaran telah lengkap dan sesuai dengan yang dipersyaratkan, maka pada saat itu pendaftaran ciptaan dianggap telah dilakukan. Tetapi UUHC tidak mengatur lebih lanjut mengenai permohonan-permohonan yang persyaratan atau pra syaratnya masih belum lengkap.

  Tidak dijelaskan mengenai permohonan tersebut dianggap ditarik kembali ataukah harus dilengkapi. Jadi, meskipun belum dilakukan pencatatan namun pendaftaran ciptaan dianggap telah terjadi pada waktu diterimanya permohonan pemohon oleh Dirjen HAKI secara lengkap. Tanggal diterimanya permohonan tersebut disebut dengan filling date.

  Setelah dilakukan filling date, pencatatan dirumuskan kedalam sebuah daftar yang disebut daftar umum ciptaan. Dalam daftar umum ciptaan menurut Pasal 39 UUHC yang isinya memuat antara lain:

  1 Nama pencipta dan pemegang hak cipta;

  2 Tanggal penerimaan surat permohonan;

  3 Tanggal lengkapnya persyaratan menurut Pasal 37;

  4 Nomor pendaftaran ciptaan.

  Dalam daftar umum diatas tampak isinya tidak diatur tentang contoh ciptaan, hal ini sejalan dengan maksud pendaftaran yang tidak bertujuan untuk memperoleh hak cipta. Daftar umum ciptaan isinya lebih mengutamakan administratif pendaftaran ciptaan. Meskipun demikian bukan berarti isi daftar umum tidak dapat ditambah dengan selain yang disebut dalam Pasal 37 UUHC seperti alamat atau tempat tinggal pencipta dan pemegang hak cipta, dan contoh ciptaan.

  Setelah dilakukannya proses diatas, maka permohonan yang telah kita ajukan akan diumumkan, pengumumannya dilakukan dengan cara menempatkan kedalam berita resmi. Dengan pengumuman dalam media tersebut dianggap semua orang telah mengetahui adanya pendaftaran. Tahap tersebut dapat dikatakan sebagai tahap akhir dalam prosesi pendaftaran suatu ciptaan.

E. Perjanjian Lisensi Karya Cipta Lagu dan Musik

  Dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) dikatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Pengertian perjanjian ini mengandung unsur :

  1. Perbuatan Penggunaan kata “perbuatan” pada perumusan tentang perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan 2.

  Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.

  3. Mengikatkan dirinya Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.

  Pasal 1320 KUHPerdata berisi syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu: 1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

  Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 KUHPerdata) adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 KUHPerdata). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.

  2. cakap untuk membuat perikatan

  Pasal 1330 KUHPerdata menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan : a.

  Orang-orang yang belum dewasa b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan c. Orang-orang perempuan

  Dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undangundang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun, berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 KUHPerdata).

  3. suatu hal tertentu

  Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 KUHPerdata menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi objek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 KUHPerdata barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.

  4. suatu sebab atau causa yang halal.

  Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

  Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari Pasal ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak, akan tetapi kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang membuat perjanjian harus menaati hukum yang sifatnya memaksa. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang- undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan kebiasaan atau undang- undang. Suatu perjanjian tidak diperbolehkan membawa kerugian kepada pihak ketiga.

  Suatu perjanjian dapat berakhir dikarenakan hal-hal sebagai berikut, yaitu :

1. Ditentukan oleh para pihak berlaku untuk waktu tertentu 2.

  Undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian 3. Para pihak atau undang-undang menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka persetujuan akan hapus. Peristiwa tertentu yang dimaksud adalah keadaan memaksa (overmacht) yang diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan dimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya, misalnya karena adanya gempa bumi, banjir, lahar dan lain-lain. Keadaan memaksa dapat dibagi menjadi dua macam yaitu : a.

  Keadaan memaksa absolut adalah suatu keadaan di mana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar (force majeur). Akibat keadaan memaksa absolut (force majeur) : 1)

  Debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUHPerdata) 2)

  Kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUHPerdata.

  b.

  Keadaan memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya, tetapi pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban besar yang tidak seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Keadaan memaksa ini tidak mengakibatkan beban resiko apapun, hanya masalah waktu pelaksanaan hak dan kewajiban kreditur dan debitur.

  4. Pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging) yang dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak pada perjanjian yang bersifat sementara misalnya perjanjian kerja 5. Putusan hakim 6. Tujuan perjanjian telah tercapai 7. Dengan persetujuan para pihak (herroeping)

  Pengertian lisensi menurut UUHC Pasal 1 angka 14 adalah izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemegang hak terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya dengan persyaratan tertentu. Jadi, lisensi adalah kontrak yang memungkinkan pihak lain selain pemilik hak kekayaan intelektual untuk membuat, menggunakan, menjual atau mengimpor produk atau jasa berdasarkan kekayaan intelektual yang dimiliki oleh seseorang.

  Pasal 47 UUHC menyatakan bahwa:

  1. Perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  2. Agar dapat mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga, perjanjian lisensi wajib dicatatkan di direktorat jendral.

  3. Direktorat Jendral wajib menolak pencatatan perjanjian lisensi yang memuat ketentuan sebagimana dimaksud pada ayat (1).

  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan perjanjian lisensi diatur dengan Keputusan Presiden.

  Berdasarkan isi pasal di atas bahwa terhadap penggunaan hak yang ada dalam sertifikat lisensi diberikan keabsahan dan kepastian hukum, karena itu para pihak akan memperoleh perlindungan hukum. Ada beberapa jenis lisensi yang harus didapat, terkait dengan penggunaannya:

  37 1.

   Synchronization license 2. Master recording license 3.

  Mechanical license (untuk CD, kaset, dan album rekaman) 4.

   Videogram license (untuk kaset video, optical laser disc, home video product)

  5. Print license (sheet music, music folios) 6.

   Grand rights license (permission to perform a song dramatically)

  7. New media license (computer software, Internet) 8.

   Performance license (permission to perform a work publicly)