BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Manajemen Sumber Daya Manusia 2.1.1 Definisi Manajemen Sumber Daya Manusia - Pengaruh Kompensasi Langsung dan Tidak Langsung Terhadap Kinerja Dokter Di Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat II Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manajemen Sumber Daya Manusia

  2.1.1 Definisi Manajemen Sumber Daya Manusia

  Menurut Flippo (2000), manajemen sumber daya manusia adalah perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian atas pengadaan tenaga kerja, pengembangan, kompensasi, integrasi, pemeliharaan, dan pemutusan hubungan kerja dengan sumber daya manusia untuk mencapai sasaran perorangan, organisasi dan masyarakat.

  Manajemen sumber daya manusia juga bisa dilihat secara mendalam menurut Gomes (2000), manajemen sumber daya manusia berasal dari dua pengertian utama yaitu (1) manajemen dan (2) sumber daya manusia. Manajemen berasal dari kata to

  

manage yang artinya mengatur, mengurus, melaksanakan, dan mengelola. Sedangkan

  sumber daya manusia merupakan salah satu sumber daya yang terdapat di organisasi, meliputi semua orang yang melakukan aktivitas.

  2.1.2 Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia

  Arep dan Tanjung (2003), membagi fungsi manajemen sumber daya manusia menjadi dua bagian, yaitu :

  1. Fungsi manajerial, yaitu fungsi manajemen yang berkaitan langsung dengan aspek- aspek manajerial seperti fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian. a. Fungsi perencanaan, yaitu melaksanakan tugas dalam hal merencanakan kebutuhan, pengadaan pengembangan dan pemeliharaan SDM. Termasuk dalam hal ini adalah merencanakan karir bagi para karyawan.

  b. Fungsi pengorganisasian, yaitu menyusun suatu organisasi dengan membentuk struktur dan hubungan antara tugas yang harus dikerjakan oleh tenaga kerja yang dipersiapkan. Struktur dan hubungan yang dibentuk, harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi organisasi yang bersangkutan.

  c. Fungsi pengarahan, yaitu memberikan dorongan untuk menciptakan kemauan kerja yang dilaksanakan secara efektif dan efisien.

  d. Fungsi pengendalian, yaitu melakukan pengukuran antara kegiatan yang telah dilakukan dengan standar yang telah ditetapkan, khususnya di bidang tenaga kerja.

  2. Fungsi operasional, yaitu fungsi yang berkaitan langsung dengan aspek-aspek operasional sumber daya manusia di organisasi atau perusahaan meliputi rekruitmen, seleksi, penempatan, pengangkatan, pelatihan dan pengembangan, kompensasi, pemeliharaan dan pemutusan hubungan kerja. Fungsi operasional ini merupakan tindakan pengoperasian yang harus dipertanggungjawabkan oleh manajer personalia kepada manajemen puncak.

2.2 Teori tentang Kinerja

2.2.1 Pengertian Kinerja

  Kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2002). Secara umum dapat dikatakan bahwa kinerja (performance) merupakan wujud atau keberhasilan pekerjaan seseorang atau organisasi dalam mencapai tujuannya.

  Suatu organisasi dapat berkembang merupakan keinginan setiap individu yang ada di dalam organisasi tersebut, sehingga diharapkan dengan perkembangan tersebut organisasi mampu bersaing dan mengikuti kemajuan zaman. Kemajuan organisasi dipengaruhi faktor-faktor lingkungan yang bersifat eksternal dan internal. Salah satu faktor internal yang memengaruhi kemajuan organisasi adalah kinerja pegawai di dalam organisasi tersebut.

  Menurut Robbins (2006), ada tiga kriteria kinerja yang paling umum, yaitu: hasil kerja perorangan, perilaku dan sifat. Jika mengutamakan hasil akhir, lebih dari sekedar alat, maka pihak manajemen harus mengevaluasi hasil kerja dari seorang pekerja. Dengan menggunakan hasil kerja, seorang manajer perencana dapat menentukan kriteria untuk kuantitas yang diproduksi, sisa yang dihasilkan, dan biaya per unit produksi.

  Dalam kebanyakan kasus, tidak mudah untuk mengidentifikasi hasil tertentu sebagai hasil langsung dari kegiatan seorang pekerja. Hal ini terutama sekali terlihat pada staf personalia dan perorangan yang memiliki tugas kerja intrinsik sebagai bagian kelompok. Pada kasus selanjutnya kinerja kelompok dapat dievaluasi dengan segera, akan tetapi kontribusi dari setiap anggota kelompok, sulit atau tidak mungkin diidentifikasikan dengan jelas. Dalam hal ini, manajemen perlu mengevaluasi perilaku para pekerja.

2.2.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja

  Menurut Anoraga dan Suryati (2005), faktor-faktor yang memengaruhi kinerja pegawai/karyawan adalah sebagai berikut: a. Motivasi, pimpinan organisasi perlu mengetahui motivasi kerja dari anggota organisasi. Untuk mengetahui motivasi itu maka pemimpin mendorong karyawan untuk bekerja secara optimal.

  b. Pendidikan, pada umumnya pendidikan seseorang yang mempunyai pendidikan yang lebih tinggi akan mempunyai potensi kerja yang baik pula, dengan demikian pendidikan merupakan syarat penting dalam peningkatan kinerja.

  c. Disiplin kerja, yaitu kedisiplinan dilakukan melalui sesuatu latihan antara lain dengan menghargai waktu dan biaya.

  d. Ketrampilan, yaitu ketrampilan karyawan dalam suatu organisasi dapat ditingkatkan melalui kursus/pelatihan.

  e. Sikap dan etika, yaitu tercapainya hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antara perilaku dalam proses produksi dan meningkatkan kinerja.

  f. Tingkat penghasilan, yaitu penghasilan yang cukup berdasarkan prestasi kerja akan meningkatkan kinerja. g. Lingkungan kerja, yang dimaksud dalam hal ini termasuk hubungan antara karyawan, hubungan dengan pimpinan, lingkungan fisik dan lain sebagainya.

  h. Teknologi, yaitu dengan semakin majunya teknologi maka pegawai yang berkinerja tinggi yang dapat mengikuti perkembangan teknologi ini.

  Menurut Gibson et al. (1996), ada tiga perangkat variabel yang memengaruhi kinerja seseorang, yaitu:

  1. Variabel Individual, terdiri dari:

  a) Kemampuan dan Keterampilan Kondisi mental dan fisik seseorang dalam menjalankan suatu aktivitas atau pekerjaan.

  b) Latar belakang Kondisi dimasa lalu yang memengaruhi karakteristik dan sikap mental seseorang, biasanya dipengaruhi oleh faktor keturunan serta pengalaman dimasa lalu.

  c) Demografis Kondisi kependudukan yang berlaku pada individu atau karyawan, dimana lingkungan sekitarnya akan membentuk pola tingkah laku individu tersebut berdasarkan adat atau norma sosial yang berlaku.

  2. Variabel Organisasional, terdiri dari:

  a) Sumber Daya Sekumpulan potensi atau kemampuan organisasi yang dapat diukur dan dinilai, seperti sumber daya alam, sumber daya manusia. b) Kepemimpinan Suatu seni mengkoordinasi yang dilakukan oleh pimpinan dalam memotivasi pihak lain untuk meraih tujuan yang diinginkan oleh organisasi.

  c) Imbalan Balas jasa yang diterima oleh pegawai atau usaha yang telah dilakukan di dalam proses aktivitas organisasi dalam jangka waktu tertentu secara intrinsik maupun ekstrinsik.

  d) Struktur Hubungan wewenang dan tanggungjawab antar individu di dalam organisasi, dengan karakteristik tertentu dan kebutuhan organisasi.

  e) Desain Pekerjaan

  Job Description yang diberikan kepada pegawai, apakah pegawai dapat melakukan pekerjaan sesuai dengan job description.

  3. Variabel Psikologis, terdiri dari:

  a) Persepsi Suatu proses kognitif yang digunakan oleh seseorang untuk menafsirkan dan memahami dunia sekitarnya.

  b) Sikap Kesiapsiagaan mental yang dipelajari dan diorganisir melalui pengalaman dan mempunyai pengaruh tertentu atas cara tanggap seseorang terhadap orang lain.

  c) Kepribadian Pola perilaku dan proses mental yang unik, mencirikan seseorang. d) Belajar Proses yang dijalani seseorang dari tahap tidak tahu menjadi tahu dan memahami akan sesuatu terutama yang berhubungan dengan organisasi dan pekerjaan.

  e) Motivasi Motivasi merupakan keinginan yang terdpat pada seseorang individu yang merangsangnya untuk melakukan tindakan atau sesuatu yang menjadi dasar atau alasan seseorang berperilaku.

2.2.3 Penilaian Kinerja

  Penilaian kinerja (performance appraisal) adalah proses evaluasi seberapa baik karyawan mengerjakan, ketika dibandingkan dengan satu set standar dan kemudian mengkomunikasikannya dengan para karyawan (Mathis dan Jackson, 2002). Penilaian kinerja disebut juga sebagai penilaian karyawan, evaluasi karyawan, tinjauan kinerja, evaluasi kinerja dan penilaian hasil pedoman. Penilaian kinerja menurut Armstrong (1999) adalah sebagai berikut: a.

  Ukuran dihubungkan dengan hasil.

  b.

  Hasil harus dapat dikontrol oleh pemilik pekerjaan.

  c.

  Ukuran obyektif dan observabel.

  d.

  Data harus dapat diukur.

  e.

  Ukuran dapat digunakan di manapun.

  Penilaian kinerja merupakan landasan penilaian kegiatan manajemen sumber daya manusia seperti perekrutan, seleksi, penempatan, pelatihan, penggajian, dan pengembangan karir. Kegiatan penilaian kinerja sangat erat kaitannya dengan kelangsungan organisasi. Penilaian kinerja dapat terjadi dalam dua cara, secara informal dan secara sistimatis (Mathis dan Jackson, 2002). Penilaian informal dapat dilaksanakan setiap waktu di mana pihak atasan merasa perlu. Hubungan sehari-hari antara manajer dan karyawan memberikan kesempatan bagi kinerja karyawan untuk dinilai. Penilaian sistimatis digunakan ketika kontak antara manajer dan karyawan bersifat formal, dan sistemnya digunakan secara benar dengan melaporkan kesan dan observasi manajerial terhadap kinerja karyawan.

  Penilaian kinerja digunakan perusahaan untuk menilai kinerja karyawannya atau mengevaluasi hasil pekerjaan karyawan. Instrumen penilaian kinerja dapat digunakan untuk mereview kinerja, peringkat kerja, penilaian kinerja, penilaian karyawan dan sekaligus evaluasi karyawan sehingga dapat diketahui mana karyawan yang mampu melaksanakan pekerjaan secara baik, efisien dan produktif sesuai dengan tujuan perusahaan (Rivai, 2005).

  Oleh karena itu menurut Rivai (2005), suatu perusahaan melakukan penilaian kinerja didasarkan pada dua alasan pokok, yaitu: a. Manajer memerlukan evaluasi yang objektif terhadap kinerja karyawan pada masa lalu yang digunakan untuk membuat keputusan di bidang SDM di masa yang akan datang.

  b. Manajer memerlukan alat yang memungkinkan untuk membantu karyawan memperbaiki kinerja, merencanakan pekerjaan, mengembangkan kemampuan dan keterampilan untuk pengembangan karier dan memperkuat kualitas hubungan antar manajer yang bersangkutan dengan karyawannya.

2.2.4 Tujuan Penilaian Kinerja

  Penilaian kinerja merupakan suatu proses organisasi untuk menilai kinerja pegawainya. Tujuan dilakukannya penilaian kinerja secara umum adalah untuk memberikan umpan balik kepada karyawan dalam upaya memperbaiki kinerjanya dan meningkatkan produktivitas organisasi, khususnya yang berkaitan dengan kebijaksanaan terhadap karyawan seperti untuk tujuan promosi, kenaikan gaji, pendidikan dan latihan.

  Penilaian kinerja memiliki sejumlah tujuan dalam berorganisasi. Menurut Robbins (2006), ada lima tujuan penilaian kinerja, yaitu:

  1. Manajemen menggunakan penilaian untuk mengambil keputusan personalia secara umum. Penilaian memberikan informasi yang berhubungan dengan pengambilan keputusan yang penting dalam hal promosi, transfer ataupun pemberhentian.

  2. Penilaian memberikan penjelasan tentang pelatihan dan pengembangan yang dibutuhkan. Dalam hal ini, penilaian menjelaskan keterampilan dan daya saing para pekerja yang belum cukup tetapi dapat diperbaiki jika suatu program yang memadai dikembangkan.

  3. Penilaian kinerja dapat dijadikan sebagai kriteria untuk progam seleksi dan pengembangan yang disahkan.

  4. Penilaian kinerja juga untuk memenuhi tujuan umpan balik yang ada terhadap para pekerja tentang bagaimana organisasi memandang kinerja mereka.

  5. Penilaian kinerja digunakan sebagai dasar untuk mengalokasikan atau menentukan penghargaan.

  Penilaian kinerja menurut Werther dan Davis (1996) mempunyai beberapa tujuan dan manfaat bagi organisasi dan pegawai yang dinilai, yaitu:

  1. Performance improvement Yaitu memungkinkan pegawai dan manajer untuk mengambil tindakan yang berhubungan dengan peningkatan kinerja.

  2 Compensation adjustment Membantu para pengambil keputusan untuk menentukan siapa saja yang berhak menerima kenaikan gaji atau sebaliknya.

  3. Placement decision Menentukan promosi, transfer dan demotion.

  4. Training and development needs Mengevaluasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan bagi pegawai agar kinerja mereka lebih optimal.

  5. Carrer planning and development Memandu untuk menentukan jenis karir dan potensi karir yang dapat dicapai.

  6. Staffing process deficiencies Memengaruhi prosedur perekrutan pegawai.

  7. Informational inaccuracies and job-design errors Membantu menjelaskan apa saja kesalahan yang telah terjadi dalam manajemen sumber daya manusia terutama di bidang informasi job-analysis, job-design, dan sistem informasi manajemen sumber daya manusia.

  8. Equal employment opportunity Menunjukkan bahwa placement decision tidak diskriminatif.

  9. External challenges Kadang-kadang kinerja pegawai dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti keluarga, keuangan pribadi, kesehatan dan lain-lainnya.

  Biasanya faktor ini tidak terlalu kelihatan, namun dengan melakukan penilaian kinerja, faktor-faktor eksternal ini akan kelihatan sehingga membantu departemen sumber daya manusia untuk memberikan bantuan bagi peningkatan kinerja pegawai.

  10. Feedback Memberikan umpan balik bagi urusan kepegawaian maupun bagi pegawai itu sendiri.

  Menurut Rivai (2005), aspek atau indikator penilaian kinerja pegawai adalah: pengetahuan tentang pekerjaannya, kepemimpinan, insiatif, kualitas pekerjaan, kerja sama, pengambilan keputusan, kreativitas, dapat diandalkan, perencanaan, komunikasi, inteligensia (kecerdasan), pemecahan masalah, pendelegasian, sikap, usaha, motivasi dan organisasi.

2.2.5 Manfaat Penilaian Kinerja

  Menurut Alewine (2002), adapun kegunaan atau manfaat dari penilaian pelaksanaan pekerjaan adalah sebagai berikut:

  1. Untuk memperbaiki pelaksanaan pekerjaan yang keliru oleh para pegawai/ karyawan dan sebagai masukan bagi para pimpinan dalam membantu dan mengarahkan pegawai/karyawan dalam memperbaiki pelaksanaan pekerjaannya di masa depan.

  2. Berguna untuk melaksanakan perbaikan dan penyempurnaan kegiatan manajemen SDM lainnya seperti:

  a. Menyelaraskan upah/gaji atau insentif lainnya bagi para pegawai/ karyawan terutama untuk yang berprestasi dalam bekerja.

  b. Memperbaiki kegiatan penempatan, promosi, pindah dan demosi jabatan sesuai dengan prestasi atau kegagalan pegawai/karyawan yang dinilai.

  c. Membantu memperbaiki kegiatan pelatihan, baik dalam menyusun kurikulumnya maupun memilih pegawai/karyawan yang akan diikut sertakan dalam kegiatan pelatihan. Hasil penilaian pelaksanaan pekerjaan dapat memberikan informasi mengenai kondisi keterampilan/keahlian yang kurang/tidak dikuasai oleh pegawai/karyawan sehingga berpengaruh pada efisiensi, efektivitas dan produktivitas serta kualitas kerja dan hasil-hasilnya. Hasil tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan masukan dalam melakukan analisis kebutuhan pelatihan, baik pada tingkat organisasi, tingkat unit kerja maupun dalam analisis individual.

  d. Memberikan informasi bagi pegawai/karyawan dalam menyusun perencanaan karir. Sedang bagi organisasi non profit dapat digunakan dalam membantu karyawan melakukan perbaikan kelemahannya dalam bekerja, bahkan untuk menyusun program dan kegiatan pengembangannya dalam mengantisipasi tantangan baru di masa depan. e. Dapat dipergunakan sebagai informasi untuk memperbaiki validitas dan reliabilitas tes yang rendah/buruk, bila ternyata calon pegawai/karyawan yang diprediksi memiliki kemampuan tinggi, setelah bekerja hasilnya menunjukkan kemampuan sebenarnya rendah.

  f. Hasil penilaian pelaksanaan pekerjaan dapat digunakan untuk mendiagnosa atau mengidentifikasi masalah-masalah organisasi non profit, yang harus dicarikan cara penyelesaiannya.

  Selanjutnya Handoko (2001), mengemukakan manfaat penilaian kinerja sebagai berikut:

  1. Perbaikan prestasi kerja atau kinerja.

  Umpan balik pelaksanaan kerja memungkinkan karyawan, manajer dan departemen personalia dapat memperbaiki kegiatan-kegiatan mereka untuk meningkatkan prestasi.

  2. Penyesuaian-penyesuaian kompensasi.

  Evaluasi prestasi keja membantu para pengambil keputusan dalam menentukan kenaikan upah, pemberian bonus dan bentuk kompensasi lainnya.

  3. Keputusan-keputusan penempatan.

  Promosi dan transfer biasanya didasarkan atas prestasi kerja atau kinerja masa lalu atau antisipasinya.

  4. Perencanaan kebutuhan latihan dan pengembangan.

  Prestasi kerja atau kinerja yang jelek mungkin menunjukkan perlunya latihan. Demikian pula sebaliknya, kinerja yang baik mungkin mencerminkan potensi yang harus dikembangkan.

  5. Perencanaan dan pengembangan karir Umpan balik prestasi mengarahkan keputusan-keputusan karir, yaitu tentang jalur karir tertentu yang harus diteliti.

  6. Mendeteksi penyimpangan proses staffing Prestasi kerja yang baik atau buruk adalah mencerminkan kekuatan atau kelemahan prosedur staffing departemen personalia.

  7. Melihat ketidakakuratan informasional Prestasi kerja yang jelek mungkin menunjukkan kesalahan-kesalahan dalam informasi analisis jabatan, rencana sumberdaya manusia, atau komponen- komponen lain sistem informasi manajemen personalia. Menggantungkan pada informasi yang tidakakurat dapat rnenyebabkan keputusan-keputusan personalia tidak tepat.

  8. Mendeteksi kesalahan-kesalahan desain pekerjaan Prestasi kerja yang jelek mungkin merupakan tanda kesalahan dalam desain pekerjaan. Penilaian prestasi membantu diagnosa kesalahan-kesalahan tersebut.

  9. Menjamin kesempatan kerja yang adil Penilaian prestasi kerja yang akurat akan menjamin keputusan-keputusan penempatan internal diambil tanpa diskriminasi.

  10. Melihat tantangan-tantangan eksternal Kadang-kadang prestasi seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar lingkungan kerja, seperti keluarga, kesehatan dan masalah-masalah pribadi lainnya.

2.3 Kompensasi

  Salah satu cara untuk meningkatkan kinerja, motivasi, dan kepuasan kerja karyawan adalah melalui kompensasi. Pada dasarnya manusia bekerja juga ingin memeroleh uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itulah seorang karyawan mulai menghargai kerja keras dan semakin menunjukkan loyalitas terhadap organisasi dan karena itulah manajemen organisasi memberikan penghargaan terhadap kinerja karyawan melalui kompensasi (Mathis dan Jackson, 2000).

2.3.1 Pengertian Kompensasi

  Kompensasi adalah pemberian imbalan yang menguntungkan, dapat berupa gaji, honorarium, tunjangan tetap, insentif, bonus atau prestasi, pesangon dan atau pensiun, ada beberapa pengertian kompensasi menurut beberapa ahli:

  Menurut Nitisemito (2004), kompensasi merupakan balasa jasa yang diberikan oleh perusahaan kepada karyawan yang dapat diberikan dengan uang dan mempunyai kecenderungan diberikan secara tetap. Sedangkan menurut Handoko (2001), kompensasi adalah segala sesuatu yang diterima karyawan sebagai balas jasa untuk kerja mereka.

  Menurut Rivai (2005) kompensasi merupakan sesuatu yang diterima karyawan sebagai pengganti kontribusi jasa mereka pada perusahaan. Pemberian kompensasi merupakan salah satu pelaksanaan fungsi MSDM yang berhubungan dengan semua jenis pemberian penghargaan individual sebagai pertukaran dalam melakukan tugas keorganisasian. Kompensasi merupakan biaya utama atas keahlian atau pekerjaan dan kesetiaan dalam organisasi perusahaan. Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa selain berupa upah atau juga berupa tunjangan atau fasilitas yang dinilai dengan uang dan diberikan secara tetap kepada karyawannya.

  Kompensasi finansial terdiri dari kompensasi tidak langsung dan langsung. Kompensasi langsung terdiri dari pembayaran kepada karyawan dalam bentuk upah, gaji, bonus, atau komisi. Kompensasi tidak langsung, atau benefit, terdiri dari semua pembayaran yang tidak tercakup dalam kompensasi finansial langsung meliputi; liburan, berbagai macam asuransi, jasa seperti perawatan anak atau kepedulian keagamaan, dan sebagainya. Penghargaan nonfinansial seperti pujian, menghargai diri sendiri, dan pengakuan yang dapat memengaruhi kinerja karyawan..

  Menurut Sjafri (2009), keterkaitan kompensasi dengan kinerja karyawan sangatlah siginifikan. Semakin tinggi kompensasi semakin meningkat kinerja karyawan; cateris paribus. Jika dikelola dengan baik, kompensasi membantu perusahaan untuk mencapai tujuan dalam memperoleh, memelihara, dan menjaga karyawan dengan optimum.

2.3.2 Bentuk-Bentuk Kompensasi

  Bentuk kompensasi yang biasa dijumpai di perusahaan menurut Rivai (2005): a. Gaji adalah balas jasa dalam bentuk uang yang diterima karyawan sebagai konsekuensi dari kedudukannya sebagai seorang karyawan yang memberikan sumbangan tenaga dan pikiran dalam mencapai tujuan perusahaan. Atau, dapat juga dikatakan sebagai bayaran tetap yang diterima seseorang dari keanggotaannya dalam sebuah perusahaan.

  b.

  Upah merupakan imbalan finansial langsung yang dibayarkan kepada karyawan berdasarkan jam kerja, jumlah barang yang dihasilkan atau banyaknya pelayanan yang diberikan. Jadi tidak seperti gaji yang jumlahnya relatif tetap, besarnya upah dapat berubah-ubah tergantung pada keluaran yang dihasilkan.

  c.

  Insentif merupakan imbalan langsung yang dibayarkan kepada karyawan karena kinerjanya melebihi standar yang ditentukan. Insentif merupakan bentuk lain dari upah langsung di luar upah dan gaji yang merupakan kompensasi tetap, yang biasa disebut kompensasi berdasarkan kinerja (pay for performance plan).

  d.

  Kompensasi tidak langsung (Fringe Benefit) merupakan kompensasi tambahan yang diberikan berdasarkan kebijakan perusahaan terhadap semua karyawan sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan para karyawan. Contohnya, berupa fasilitas-fasilitas, seperti: asuransi, tunjangan, uang pensiun, dan lain-lain.

  Hal senada juga dikemukan oleh Robbins (2006) bahwa untuk memotivasi karyawan hendaknya memperhatikan tentang kompensasi. Upah atau gaji adalah merupakan kompensasi yang penting untuk memotivasi karyawan. Kompensasi yang diberikan kepada karyawan adalah berupa basic salary, komisi atau berbagai macam motivator lainnya.

2.3.3 Tujuan Pemberian Kompensasi

  Menurut Hasibuan (2005), tujuan pemberian kompensasi (balas jasa) antara lain adalah:

  1. Ikatan Kerja Sama Dengan pemberian kompensasi terjalinlah ikatan kerja sama formal antara majikan dengan karyawan. Karyawan harus mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik, sedangkan pengusaha/majikan wajib membayar kompensasi sesuai dengan perjanjian yang disepakati.

  2. Kepuasan Kerja Dengan balas jasa, karyawan akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik, status sosial, dan egoistiknya sehingga memperoleh kepuasan kerja dari jabatannya.

  3. Pengadaan Efektif Jika program kompensasi ditetapkan cukup besar, pengadaan karyawan yang qualified untuk perusahaan akan lebih mudah.

  4. Motivasi Jika balas jasa yang diberikan cukup besar, manajer akan mudah memotivasi bawahannya.

  5. Stabilitas Karyawan Dengan program kompensasi atas prinsip adil dan layak serta eksternal konsistensi yang kompentitif maka stabilitas karyawan lebih terjamin karena turn-

  over relatif kecil.

  6. Disiplin Dengan pemberian balas jasa yang cukup besar maka disiplin karyawan semakin baik. Mereka akan menyadari serta mentaati peraturan-peraturan yang berlaku.

  7. Pengaruh Serikat Buruh Dengan program kompensasi yang baik pengaruh serikat buruh dapat dihindarkan dan karyawan akan berkonsentrasi pada pekerjaannya.

  8. Pengaruh Pemerintah Jika program kompensasi sesuai dengan undang-undang perburuhan yang berlaku (seperti batas upah minimum) maka intervensi pemerintah dapat dihindarkan.

2.3.4 Sistem Kompensasi

  Sistem pembayaran kompensasi yang umum diterapkan adalah:

  1. Sistem Waktu Dalam sistem waktu, besarnya kompensasi (gaji, upah) ditetapkan berdasarkan standar waktu seperti jam, minggu, atau bulan.

  2. Sistem Hasil (Output) Dalam sistem hasil, besarnya kompensasi/upah ditetapkan atas kesatuan unit yang dihasilkan pekerja, seperti per potong, meter, liter, dan kilogram.

  3. Sistem Borongan Sistem borongan adalah suatu cara pengupahan yang penetapan besarnya jasa didasarkan atas volume pekerjaan dan lama mengerjakannya.

2.3.5 Pengertian Sistem Kompensasi

  Sistem kompensasi berpotensi sebagai salah satu sarana terpenting dalam membentuk perilaku dan memengaruhi kinerja. Namun demikian banyak organisasi mengabaikan potensi tersebut dengan suatu persepsi bahwa penggajian tidak lebih dari a cost yang harus diminimalisasi. Tanpa disadari beberapa organisasi yang mengabaikan potensi penting dan berpersepsi keliru telah menempatkan sistem tersebut sebagai sarana meningkatkan perilaku yang tidak produktif atau counter

  

productive . Akibatnya muncul sejumlah persoalan personal misalnya low employee

motivatio n, poor job performance, high turn over, irresponsible behavior, dan bahkan

employee dishonesty yang diyakini berakar dari sistem kompensasi yang tidak

proporsional.

  Secara umum kompensasi merupakan sebagian kunci pemecahan bagaimana membuat anggota berbuat sesuai dengan keinginan organisasi. Namun demikian kompensasi yang diberikan juga mempertimbangkan kemampuan perusahaan untuk memberikan kompensasi wajar sesuai dengan kontribusi yang diberikan karyawan atau pekerjanya sehingga kedua belah pihak sama-sama diuntungkan.

  Sistem kompensasi ini akan membantu menciptakan kemauan di antara orang- orang yang berkualitas untuk bergabung dengan organisasi dan melakukan tindakan yang diperlukan organisasi. Yang secara umum berarti karyawan harus merasa bahwa dengan melakukannya, mereka akan mendapatkan kebutuhan penting yang mereka perlukan.

  Menurut Long (1998) dalam bukunya Compensation in canada mendefinisikan sistem kompensasi adalah bagian (parsial) dari sistem reward yang hanya berkaitan dengan bagian ekonomi/monetary, namun demikian sejak adanya keyakinan bahwa perilaku individual dipengaruhi oleh sistem dalam spektrum yang lebih luas maka sistem kompensasi tidak dapat terpisah (integral) dari keseluruhan sistem reward yang disediakan oleh organisasi. Sedangkan reward sendiri adalah semua hal yang disediakan organisasi untuk memenuhi satu atau lebih kebutuhan individual. Reward terbagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu: a.

  Ekstrinsik reward, yang memuaskan kebutuhan dasar (basic needs) untuk survival dan security, dan juga kebutuhan-kebutuhan sosial dan pengakuan.

  Pemuasan ini diperoleh dari faktor-faktor yang ada di sekeliling para karyawan di sekitar pekerjaannya (job content), misalnya: upah (pay), pengawasan tingkah laku (supervisor behavior), co workers dan keadaan kerja secara umum (general working condition).

  b.

  Intrinsik reward, yang memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi tingkatannya (higher level needs), misalnya untuk kebanggaan diri (self esteem), penghargaan atas pencapaain kerja (achievement), serta pertumbuhan dan perkembangan (growth and development) yang dapat diperoleh (merupakan derivasi) dari faktor-faktor yang melekat (inheren) dalam pekerjaan karyawan itu, seperti: tantangan karyawan atau interest suatu pekerjaan yang diberikan, tingkatan keragaman/variasi dalam pekerjaan, adanya umpan balik, dan otoritas pengambilan keputusan dalam pekerjaan.

  Oleh karena itu sebelum sistem kompensasi dijalankan maka lebih dahulu ketetapan strategi reward dijalankan, dimana merupakan rencana untuk penggabungan dua jenis reward, ekstrinsik dan intrinsik oleh organisasi kepada anggotanya dengan maksud untuk membuat organisasi tersebut lebih maju. Strategi

  

reward dapat pula dipahami sebagai blue print dalam membuat sistem reward yang

akan ditetapkan.

  Sementara itu dalam perkembangannya sistem kompensasi sendiri mempunyai 3 (tiga) komponen pokok, yaitu: a. Upah dasar (based-pay), merupakan komponen upah dasar bagi kebanyakan karyawan, dan pada umumnya berdasarkan hitungan waktu, seperti jam, hari, minggu, bulan atau per tahun.

  b. Upah berdasar kinerja (performance related-pay), berkaitan dengan monetary

  

rewards dengan basis ukuran/merupakan upah yang didasarkan pada ukuran

kinerja individu, kelompok atau organisasi.

  c. Upah tidak langsung (indirect pay) dikenal sebagai employee benefit ’keuntungan bagi karyawan’, terdiri dari barang-barang jasa non-cash item atau services yang secara langsung memuaskan sejumlah kebutuhan spesifik karyawan, seperti jaminan keamanan pendapatan (income security) termasuk asuransi jiwa, perlindungan kesehatan (health protection) termasuk medical & dental plan, dan dana pensiun (retirement income).

  Menurut Long (1998), agar sistem kompensasi dapat berjalan dengan efektif, perlu dilakukan langkah-langkah (road map) yang tepat sebagai berikut:

  1. Memahami situasi intern organisasi dan personil yang ada.

  2. Memahami berbagai pilihan sistem kompensasi yang ada.

  3. Merumuskan strategi reward dan strategi kompensasi.

  4. Mengerjakan detail teknis, yaitu membuat rincian sistem kompensasi yang dipretensikan.

  5. Pelaksanaan (implementation), pengelolaan (management), evaluasi (evaluation), dan adaptasi sistem kompensasi.

  Sistem kompensasi yang paling efektif tidak didasari pada anggapan apa yang paling anda sukai melainkan apa yang sekiranya paling sesuai. Sehingga sistem kompensasi akan disebut efektif bila dapat memberi nilai tambah bagi organisasi setelah mempertimbangkan segi dana yang tersedia. Hal ini memberikan pengertian bahwa sistem kompensasi yang dijalankan pada suatu perusahaan tidak sama dengan perusahaan lain tergantung pada situasi dan kondisi perusahaan yang bersangkutan.

  Oleh karena itu besaran kompensasi untuk masing-masing perusahaan kadang-kadang berbeda satu dengan yang lainnya.

  Menurut Simamora (2003), pemberian kompensasi dalam suatu organisasi harus diatur sedemikian rupa sehingga merupakan sistim yang baik dalam organisasi.

  Dengan sistim yang baik ini akan dicapai tujuan-tujuan, antara lain:

  1. Menghargai prestasi kerja Dengan pemberian kompensasi yang memadai adalah suatu penghargaan organisasi terhadap prestasi kerja para karyawannya. Selanjutnya akan mendorong perilaku-perilaku atau performance karyawan sesuai yang diinginkan organisasi.

  2. Menjamin keadilan Dengan adanya sistim kompensasi yang baik akan menjamin terjadinya keadilan diantara karyawan dalam organisasi. Masing-masing karyawan akan memperoleh imbalan yang sesuai dengan tugas, fungsi, jabatan, dan prestasi kerjanya.

  3. Mempertahankan karyawan Dengan sistim kompensasi yang baik, para karyawan akan betah atau bertahan bekerja pada organisasi itu. Hal ini berarti mencegah keluarnya karyawan dari organisasi itu untuk mencari pekerjaan yang lebih baik.

  4. Memperoleh karyawan yang bermutu Dengan memperoleh kompensasi yang baik akan menarik lebih banyak calon karyawan. Dengan banyaknya pelamar atau calon karyawan akan lebih banyak mempunyai peluang untuk memilih karyawan yang bermutu tinggi.

  5. Pengendalian biaya Dengan sistim pemberian kompensasi yang baik, akan mengurangi seringnya melakukan recruitment, sebagai akibat dari makin seringnya karyawan yang keluar mencari pekerjaan yang lebih menguntungkan. Hal ini berarti penghematan biaya untuk recruitment dan seleksi calon karyawan baru.

  6. Memenuhi peraturan-peraturan Sistim administrasi kompensasi yang baik merupakan tuntutan dari pemerintah (hukum). Suatu organisasi yang baik dituntut adanya sistim administrasi kompensasi yang baik pula.

  Sistim pemberian kompensasi oleh organisasi kepada karyawannya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor ini merupakan tantangan setiap organisasi untuk menentukan kebijaksanaan kompensasi untuk karyawannya. Faktor- faktor tersebut antara lain sebagai berikut:

  1. Produktivitas Organisasi apapun berkeinginan untuk memperoleh keuntungan. Keuntungan ini dapat berupa material, maupun keuntungan non material. Dengan mempertimbangkan produktivitas karyawannya dalam kontribusinya terhadap keuntungan organisasi tersebut maka organisasi tidak akan membayar atau memberikan kompensasi melebihi kontribusi kepada organisasi melalui produktivitas mereka.

  2. Kemampuan untuk membayar Pemberian kompensasi akan bergantung kepada kemampuan organisasi itu untuk membayar.

  3. Kesediaan untuk membayar Kesediaan untuk membayar akan berpengaruh terhadap kebijaksanaan pemberian kompensasi kepada karyawannya. Banyak organisasi yang mampu memberikan kompensasi yang tinggi, tetapi belum tentu mereka mau atau bersedia untuk memberikan kompensasi yang memadai.

  4. Suplai dan permintaan tenaga kerja Banyak sedikitnya tenaga kerja di pasaran tenaga kerja akan memengaruhi sistim pemberian kompensasi. Bagi karyawan yang kemampuannya sangat banyak terdapat di pasaran kerja, mereka akan diberikan kompensasi lebih rendah daripada karyawan yang kemampuannya langka dipasaran kerja.

  5. Organisasi karyawan Dengan adanya organisasi-organisasi karyawan akan memengaruhi kebijakan pemberian kompensasi. Organisasi karyawan ini biasanya memperjuangkan para anggotanya untuk memperoleh kompensasi yang sepadan.

  6. Berbagai peraturan dan perundang-undangan Dengan semikian baik sistim pemerintahan, maka makin baik pula sistim perundang-undangan, termasuk di bidang perburuhan (karyawan). Berbagai peraturan dan perundangan ini jelas akan memengaruhi sistim pemberian kompensasi karyawan oleh setiap organisasi, baik pemerintah maupun swasta.

a. Pengertian Kompensasi Langsung

  Kompensasi langsung dapat berupa upah, premi, dan insentif. Upah adalah suatu bentuk pemberian kompensasi yang bersifat finansial dan merupakan yang utama dalam kompensasi yang ada. Upah dibagi menjadi 4 bagian yakni upah menurut prestasi kerja, upah menurut lama kerja, upah menurut senioritas, dan upah menurut kebutuhan. Insentif adalah suatu sarana motivasi yang diberikan kepada seseorang sebagai perangsang atau pendorong yang diberikan secara sengaja kepada karyawan agar mendapat semangat yang lebih untuk berprestasi. Premi adalah uang tarif sebagai balas jasa atas pekerjaan yang telah dilakukannya.

b. Pengertian Kompensasi Tidak Langsung

  Kompensasi tidak langsung berupa tunjangan-tunjangan. Tunjangan karyawan adalah pembayaran dan jasa yang melindungi dan melengkapi gaji pokok, dan perusahaan membayar semua atau sebagian dari tunjangan (Simamora, 2004). Efek utama dari tunjangan kompensasi adalah untuk menahan para karyawan di dalam organisasi dalam jangka panjang.

2.4 Pengaruh Kompensasi terhadap Kinerja

  Salah satu cara manajemen untuk meningkatkan prestasi kerja, memotivasi dan meningkatkan kepuasan kerja para karyawan adalah melalui kompensasi (Mathis dan Jackson, 2002). Secara sederhana kompensasi merupakan sesuatu yang diterima karyawan untuk balas jasa kerja mereka.

  Simamora (2004) mengatakan bahwa kompensasi dalam bentuk finansial adalah penting bagi karyawan, sebab dengan kompensasi ini mereka dapat memenuhi kebutuhannya secara langsung, terutama kebutuhan fisiologisnya. Namun demikian, tentunya pegawai juga berharap agar kompensasi yang diterimanya sesuai dengan pengorbanan yang telah diberikan dalam bentuk non finansial juga sangat penting bagi pegawai terutama untuk pengembangan karir mereka.

2.5 Dokter

  Pengertian dokter sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun diluar negeri yang diakui Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

  Menurut Iswandari (2006), strategi WHO yang dikenal dengan sebutan Five

  Stars Doctor dimana setiap dokter diharapkan dapat berperan: a.

  Sebagai health care provider yang bermutu, berkesinambungan dan komprehensif dengan mempertimbangkan keunikan individu, berdasarkan kepercayaan dalam jangka panjang, b. Sebagai decision maker yang mampu memilih teknologi yang tepat dengan pertimbangan etika dan biaya, c.

  Sebagai communicator, yang mampu mempromosikan gaya hidup sehat melalui Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) serta memberdayakan masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal, d.

  Sebagai community leader, yang mampu memperoleh kepercayaan, membangun kesepakatan tentang kesehatan serta berinisiatif meningkatkan kesehatan bersama, e.

  Sebagai manager, yang mampu menggerakkan individu dan lingkungan demi kesehatan bersama dengan menggunakan data yang akurat.

  Hak dan kewajiban yang timbul dalam hubungan pasien dengan dokter meliputi 1) penyampaian informasi dan 2) penentuan tindakan. Pasien wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan keluhannya dan berhak menerima informasi yang cukup dari dokter (right to information) serta berhak mengambil keputusan untuk dirinya sendiri (right to self determination). Di sisi lain dokter berhak mendapatkan informasi yang cukup dari pasien dan wajib memberikan informasi yang cukup pula sehubungan dengan kondisi serta akibat yang akan terjadi. Selanjutnya dokter berhak mengusulkan yang terbaik sesuai kemampuan dan penilaian profesionalnya (ability and judgement) dan berhak menolak bila permintaan pasien dirasa tidak sesuai dengan norma, etika serta kemampuan profesionalnya. Selain itu, dokter wajib melakukan pencatatan (rekam medik) dengan baik dan benar (Iswandari, 2006).

  Menurut Budiarso (2007), pada beberapa dekade tahun yang lalu hubungan antara rumah sakit selaku produsen jasa layanan kesehatan dan penderita selaku konsumen belum harmonis. Pada waktu memerlukan layanan kesehatan pada sebuah rumah sakit, seorang pasien hanya mempunyai hak untuk menentukan ke rumah sakit mana pasien tersebut akan pergi. Setelah itu pasien harus menurut tentang semua hal kepada dokter dan rumah sakit tempat pasien dirawat, pemeriksaan dan pengobatan apa saja yang harus dijalaninya tanpa didengar pendapatnya. Namun saat ini sudah banyak dicapai kemajuan hubungan antara rumah sakit dan pasien, sudah merupakan kejadian yang biasa bahwa seorang pasien menuntut rumah sakit atas layanan yang dia terima. Akibat dari hal itu, dokter dan rumah sakit sudah lebih hati-hati dalam melaksanakan kegiatan profesinya. Dalam hal ini rumah sakit berusaha benar untuk dapat diakreditasi disamping ini merupakan pengakuan atas kualitas produk jasa layanan kesehatan yang dihasilkan. Kegiatan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan ditanggung rumah sakit, di lain pihak pasien akan menikmati layanan kesehatan yang lebih meningkat mutunya.

2.6 Rumah Sakit

  Rumah sakit merupakan suatu institusi yang fungsi utamanya memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Tugas rumah sakit adalah melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan. Untuk dapat menyelenggarakan upaya–upaya tersebut dan mengelola rumah sakit agar tetap dapat memenuhi kebutuhan pasien dan masyarakat yang dinamis, maka setiap komponen yang ada di rumah sakit harus terintegrasi dalam satu sistem

  Pelayanan kesehatan di rumah sakit terdiri dari : 1. Pelayanan medis, merupakan pelayanan yang diberikan oleh tenaga medis yang profesional dalam bidangnya baik dokter umum maupun dokter spesialis.

  2. Pelayanan keperawatan, merupakan pelayanan yang bukan tindakan medis terhadap pasien, tetapi merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan oleh perawat sesuai aturan keperawatan.

  3. Pelayanan penunjang medik ialah pelayanan penunjang yang diberikan terhadap pasien, seperti : pelayanan gizi, laboratorium, farmasi, rehabilitasi medik, dan lain-lain.

  4. Pelayanan administrasi dan keuangan, pelayanan administrasi antara lain salah satunya adalah bidang ketatausahaan seperti pendaftaran, rekam medis, dan kerumahtanggaan, sedangkan bidang keuangan seperti proses pembayaran biaya rawat jalan dan rawat inap pasien.

  Sesuai dengan Undang-Undang No. 44 tahun 2009, pembedaan tingkatan menurut kemampuan unsur pelayanan kesehatan yang dapat disediakan, ketenagaan, fisik dan peralatan, maka rumah sakit umum pemerintah pusat dan daerah diklasifikasikan menjadi :

  1. Rumah Sakit Umum Klas A adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis spesialistik luas dan subspesialistik luas.

  2. Rumah Sakit Umum Klas B adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis sekurang-kurangnya 11 spesialistik luas dan subspesialistik terbatas.

  3. Rumah Sakit Umum Klas C adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis spesialistik dasar.

  4. Rumah Sakit Umum Klas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis dasar.

  Berdasarkan klasifikasi rumah sakit yang diukur dari kemampuan unsur pelayanan kesehatan yang dapat disediakan, ketenagaan, fisik dan peralatan, maka Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat II. Medan termasuk dalam Rumah Sakit Umum Klas B.

2.7 Landasan Teori Kinerja secara teoritis dalam penelitian ini mengacu kepada teori Gibson et al.

  (1996), menyatakan kinerja seseorang dipengaruhi oleh variabel individual, variabel organisasi dan psikologis. Variabel organisasi indikator imbalan (kompensasi) merupakan salah satu faktor yang memengaruhi kinerja seseorang dalam suatu organisasi. Kinerja dokter diukur secara kulaitas dan kuantitas mengacu kepada tupoksi dokter dalam memberikan pelayanan kepada pasien.

  Konsep kompensasi mengacu kepada teori Long (1998), yaitu kompensasi langsung berupa (a) gaji (b) tunjangan kinerja (c) insentif. Kompensasi tidak langsung merupakan kompensasi tambahan yang diberikan berdasarkan kebijakan organisasi berupa (a) THR, (b) pakaian dinas dan (c) penghargaan masa kerja.

  Kompensasi Kompensasi langsung (X ) 1

  a. Gaji

  b. Insentif Kinerja Dokter

  c. Tunjangan kinerja

  a.Kualitas b.Kuantitas

  Kompensasi tidak langsung (X ) 2

  a. THR

  b. Pakaian dinas

  c. Penghargaan masa kerja

Gambar 2.1 Landasan Teori

  Sumber: Long (1998) dan Gibson et al. (1996)

2.8 Kerangka Konsep Penelitian

  Mengacu kepada landasan teori yang telah diuraikan di atas, maka dapat disusun kerangka konsep sebagai berikut : Variabel independen Variabel dependen

  Kompensasi langsung (X 1 )

  Kinerja Dokter

  Kompensasi tidak langsung (X 2 ) Sumber: Long (1998) dan Gibson et al. (1996)