Wajah Sebuah Vagina karya Naning Pranoto : Ketidakadilan dan Kekerasan Terhadap Perempuan

(1)

WAJAH SEBUAH VAGINA KARYA NANING PRANOTO:

KETIDAKADILAN DAN KEKERASAN TERHADAP

PEREMPUAN

SKRIPSI

OLEH

MARLINA BR TARIGAN

060701010

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi yang ditentukan.

Medan, Juli 2010

Marlina Br Tarigan 060701010


(3)

ABSTRAK

WAJAH SEBUAH VAGINA KARYA NANING PRANOTO : KETIDAKADILAN DAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

Oleh: Marlina Br Tarigan

Karya ilmiah ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk ketidakadilan dan jenis-jenis kekerasan yang dialami oleh tokoh utama Mira dalam novel Wajah Sebuah Vagina. Dalam penelitian ini, telah dikumpulkan data dengan menggunakan metode membaca heuristik dan hermeneutik dengan teknik simak dan catat. Setelah data terkumpul, kemudian dianalisis dengan menggunakan teori struktural dan teori feminisme, yaiti feminisme radikal. Dari analisis diperoleh hasil bahwa cerita dalam novel ini disusun ke dalam bentuk alur campuran (progresif-regresif), latar dalam cerita ini berupa latar fisik, latar waktu, dan latar sosial. Tokoh yang dianalisis dalam karya ilmiah ini terdiri dari tokoh utama (protagonis dan antagonis) dan tokoh tambahan yang digolongkan pada tokoh statis dan tokoh dinamis. Adapun tema dalam novel ini adalah ketidakadilan gender yang berujung pada tindak kekerasan. Sedangkan hasil analisis dari bentuk-bentuk ketidakadilan yang dialami tokoh Mira adalah ketidakadilan dalam bentuk stereotipe, marginalisasi, kekerasan, dan subordinasi dalam pekerjaan sedangkan jenis-jenis kekerasan yang dialami Mira adalah kekerasan pada arena domestik yang terdiri dari kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan emosional, dan kekersan dalam bentuk pelacuran serta kekerasan dalam arena publik yang terdiri dari kekerasan seksual dan kekerasan fisik.


(4)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini berjudul “Wajah Sebuah Vagina karya Naning Pranoto : Ketidakadilan dan Kekerasan Terhadap Perempuan”. skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memeperoleh gelar sarjana bidang ilmu Sastra Indonesia di Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini dibuat berdasarkan data yang dikumpulkan dari novel Wajah Sebuah Vagina karya Naning Pranoto.

Dari awal sampai akhir penyelesaian skripsi ini, penulis banyak mengalami kesulitan dan hambatan, tetapi karena kuatnya dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas kasih dan anugerah-Nya penulis mampu mengerjakan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. D. Syahrial Isa, S.U. sebagai pembimbing I dan Ibu Dra. Keristiana, M.Hum sebagai pembimbing II, yang telah menyediakan waktu dan pikiran serta dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Dalam kesempatan ini juga penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A selaku Dekan Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum, dan ibu Dra. Mascahaya, M.Hum sebagai ketua dan sekretaris Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Isma Tantawi, M.A sebagai dosen Pembimbing Akademik penulis yang banyak memberi motivasi dan masukan kepada penulis.


(5)

4. Seluruh dosen di Sastra Indonesia yang telah mencurahkan ilmu dan motivasinya untuk penulis.

5. Keluarga terkasih, ayahanda M.Tarigan dan ibunda R.Silalahi, terima kasih untuk semangat, kasih sayang, serta bantuan materi yang diberikan pada penulis. Terima kasih sudah mengajarkan penulis untuk mengerti arti dari kehidupan. Terima kasih juga pada kakak terkasih, Quita Tarigan yang tak henti-hentinya memeberi motivasi dan tak segan-segan memarahi penulis kala tengah jenuh mengerjakan skripsi ini. Adik terkasih Dami A Tarigan, untuk semangat yang diberikan kepada penulis. Terima kasih untuk setiap untain do’a tulus yang tak pernah putus dari mulut manis kalian buat ananda. Sungguh kalian adalah anugerah terindah yang pernah ku miliki.

6. Keluarga tulang dan nangtulang Juwita Silalahi di Surabaya. Ternyata jarak tidak menghalangi kalian untuk selalu mengingatkan penulis semangat mengerjakan skripsi ini dan terima kasih untuk nasehat serta do’a tulus kalian bagi penulis.

7. Kakak, abang, serta adik sepupu penulis, kak Juwi Silalahi, kak Lena Simbolon, bang Bima Simbolon, bang Mion Sembiring, bang Joni Tarigan, bang Sam Butar-butar, Jojo Silalahi, Ray Simbolon, Jimmy F Sembiring, Ray Simbolon, Maria Simbolon, Alfi Ginting terima kasih untuk do’a, semangat, serta kebaikan kalian kepada penulis.

8. Teman-teman pelayanan di KMBI-GKPS yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya, terima kasih untuk untaian do’a dan semangat yang diberikan kepada penulis.


(6)

9. Kelompok kecil penulis ”Sola Gratia” kak Roni dan Vero Naibaho, terima kasih untuk motivasi serta do’anya.

10.Sahabat-sahabat penulis yang sudah begitu baik membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Vani, Vita, Imel, Hanna, Eva, Nova, Ade, Yessa, Itana, Tumpal, Dewi, Lidia, Vera, Monic, Triana, Merry. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk bertukar pikiran dan mendengar keluh- kesah penulis.

11.Teman-teman Sasindo, khususnya stambuk 2006 yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, serta stambuk 2005, khususnya kepada bang David, bang Wira, dan kak Wika. Terima kasih untuk motivasi dan sumbangan pikiran serta waktu yang diluangkan untuk berdiskusi dengan penulis selama penulisan skripsi ini.

12.Teman-teman kost 106 kak Nienie, Yanna, Henni, Lidia, Dewi, Debora, Lensi, Rohana, dan Adi. Terima kasih untuk kebersamaan kita selama ini di 106 berbagi suka dan duka serta saling memberi semangat dan do’a.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran senantiasa penulis harapkan. Semoga skripsi sederhana ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Medan, Juli 2010

Marlina Br Tarigan 060701010


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1Latar Belakang dan Masalah...1

1.1.1 Latar Belakang………...1

1.1.2Masalah………..5

1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian………..5

1.2.1 Tujuan Penelitian………...5

1.2.2 Manfaat Penelitian……….6

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA ...7

2.1 Konsep ...7

2.2 Landasan Teori ...8

2.3 Tinjauan Pustaka ... 12

BAB III METODE PENELITIAN ... 15

3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 15

3.1.1 Bahan Analisis ... 16

3.1.2 Sinopsis Novel Wajah Sebuah Vagina ... 17

3.2 Metode Analisis Data ... 19

BAB IV ANALISIS STRUKTURAL SERTA KETIDAKADILAN DAN KEKERASAN PADA TOKOH UTAMA TERHADAP NOVEL WAJAH SEBUAH VAGINA KARYA NANING PRANOTO ... 20

4.1 Analisis Struktural ... 20


(8)

4.1.3 Penokohan ... 29

4.1.4 Tema ... 41

4.2 Ketidakadilan dan Kekerasan pada Tokoh Utama dalam Novel Wajah Sebuah Vagina ... 45

4.2.1 Bentuk-bentuk Ketidakadilan Gender pada Tokoh Utama ... 45

4.2.2 Jenis-jenis Kekerasan pada Tokoh Utama ... 56

4.2.2.1 Kekerasan Domestik ... 56

4.2.2.2 Kekerasan Publik ... 61

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 66

5.1 Simpulan ... 66

5.2 Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA...68


(9)

ABSTRAK

WAJAH SEBUAH VAGINA KARYA NANING PRANOTO : KETIDAKADILAN DAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

Oleh: Marlina Br Tarigan

Karya ilmiah ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk ketidakadilan dan jenis-jenis kekerasan yang dialami oleh tokoh utama Mira dalam novel Wajah Sebuah Vagina. Dalam penelitian ini, telah dikumpulkan data dengan menggunakan metode membaca heuristik dan hermeneutik dengan teknik simak dan catat. Setelah data terkumpul, kemudian dianalisis dengan menggunakan teori struktural dan teori feminisme, yaiti feminisme radikal. Dari analisis diperoleh hasil bahwa cerita dalam novel ini disusun ke dalam bentuk alur campuran (progresif-regresif), latar dalam cerita ini berupa latar fisik, latar waktu, dan latar sosial. Tokoh yang dianalisis dalam karya ilmiah ini terdiri dari tokoh utama (protagonis dan antagonis) dan tokoh tambahan yang digolongkan pada tokoh statis dan tokoh dinamis. Adapun tema dalam novel ini adalah ketidakadilan gender yang berujung pada tindak kekerasan. Sedangkan hasil analisis dari bentuk-bentuk ketidakadilan yang dialami tokoh Mira adalah ketidakadilan dalam bentuk stereotipe, marginalisasi, kekerasan, dan subordinasi dalam pekerjaan sedangkan jenis-jenis kekerasan yang dialami Mira adalah kekerasan pada arena domestik yang terdiri dari kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan emosional, dan kekersan dalam bentuk pelacuran serta kekerasan dalam arena publik yang terdiri dari kekerasan seksual dan kekerasan fisik.


(10)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang dan Masalah

1.1.1 Latar Belakang

Penciptaan sebuah karya sastra pada umumnya bersumber dari kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Lebih lanjut Jabrohim (2001:167) mengatakan bahwa:

Karya sastra adalah hasil pikiran pengarang yang menceritakan segala permasalahan yang ada di masyarakat pada kehidupan sehari-hari. Pengarang mengungkapkan permasalahan itu karena pengarang berada dalam ruang dan waktu. Di dalam ruang dan waktu tersebut pengarang senantiasa terlibat dengan beraneka ragam permasalahan. Dalam bentuknya yang paling nyata, ruang dan waktu tertentu itu adalah masyarakat atau sebuah kondisi sosial, tempat berbagai pranata di dalamnya berinteraksi.

Dalam karya sastra hal-hal yang digambarkan tentang masyarakat dapat berupa struktur sosial masyarakat, fungsi, dan peran masing-masing anggota masyarakat, maupun interaksi yang terjalin diantara seluruh anggotanya. Secara lebih sederhana dapat dikatakan bahwa karya sastra menggambarkan unsur-unsur masyarakat yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Interaksi yang terjalin diantara keduanya merupakan hal yang menarik untuk dikaji sebab menyangkut hubungan antara dua jenis kelamin yang berbeda yang membentuk tatanan kehidupan masyarakat, baik secara sosial maupun budaya. Hubungan antara laki-laki dan perempuan dimanifestasikan dalam berbagai bentuk dan pola perilaku yang memcerminkan penerimaan dari pihak laki-laki atau perempuan terhadap kedudukan tiap-tiap jenis kelamin. Proses ini dikuatkan oleh banyak kebudayaan bahwa posisi laki-laki berada lebih tinggi secara struktural dibandingkan dengan perempuan. Hal ini membuktikan bahwa interaksi yang terjalin menuntun adanya satu jenis kelamin yang lebih unggul dibandingkan dengan yang lain. Pihak laki-laki merupakan


(11)

pemenang, memiliki kekuasaan yang lebih besar dan peran yang lebih menentukan dalam berbagai proses sosial dibandingkan dengan perempuan, bahkan pada lingkup pergaulan sosial yang lebih luas seperti kelompok masyarakat. Proses pengambilan keputusan dalam sebuah keluarga dengan demikian juga tidak terlepas dari kontrol kekuasan laki-laki yang dianggap lebih berwenang. Hal ini terjadi dan seolah-olah dilegalkan oleh konstruksi kebudayaan.

Proses yang berulang akhirnya banyak membentuk pandangan negatif tentang kaum perempuan yang diantaranya meliputi fungsi, peran, dan kedudukan mereka dalam kehidupan bernasyarakat. Salah satunya ialah pandangan bahwa perempuan merupakan kaum yang lemah sedangkan laki-laki ialah kaum yang kuat. Berdasarkan hal ini, perempuan memiliki kecenderungan yang kuat untuk bergantung kepada laki-laki. Sebaliknya laki-laki memiliki kekuasaan untuk mengontrol perempuan dalam berbagai hal seperti reproduksi, seksualitas, dan sistem pembagian kerja sehingga yang terjadi kemudian adalah bahwa laki-laki lebih berkuasa atas perempuan. dampak dari hal ini salah satunya ialah perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan.

Ketika membahas masalah perempuan, satu konsep penting yang tidak boleh dilupakan ialah konsep gender. Hal ini menjadi masalah yang penting karena stereotip yang dibentuk oleh gender dalam aplikasinya memiliki kecenderungan menguntungkan jenis kelamin tertentu yaitu laki-laki. Keuntungan tersebut dilihat dari berbagai bentuk tatanan sosial dan budaya yang berlaku pada masyarakat yang menganut budaya patriarki, namun di lain pihak yaitu perempuan stereotip yang dibentuk tersebut malah sangat merugikan dan menimbulkan berbagai macam ketidakadilan. Menurut Fakih (2004:12) :

Perbedaan gender menyebabkan ketidakadilan gender, dapat dilihat melalui pelbagai manifestasi ketidakadilan yang ada, yakni marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam


(12)

kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak, serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.

Definisi perlakuan tidak adil terhadap perempuan dapat bermacam-macam. Hal yang paling didasarkan atas bentuk perlakuan tidak adil tersebut misalnya kekerasan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:550) kata kekerasan adalah “perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain”. Perbuatan tersebut merupakan sebuah pola atau bentuk kejahatan tingkah laku yang diarahkan pada penindasan dan mempertahankan kekuatan terhadap seseorang. Hampir pada semua kasus, seorang pelaku tindak kekerasan bertujuan untuk mengerahkan tenaga dan mengontrol atas seorang korban yang biasanya atau sering kali adalah orang yang kurang mendapat pertolongan atau orang yang lemah, sehingga dapat menyebabkan kerusakan fisik, mental, bahkan kematian bagi si korban, dalam hal ini adalah perempuan.

Novel karya Naning Pranoto ini merupakan salah satu novel yang mengangkat tema mengenai ketimpangan gender yang berakhir pada kekerasan pada objeknya khususnya perempuan. Cerita ini diangkat dari pengakuan langsung dari seorang perempuan kepada Naning. Perempuan tersebut mengutarakan niatnya untuk hidup tanpa vagina karena vagina hanya membuat hidupnya hancur. Berangkat dari pengakuan perempuan tersebut, Naning pun menuangkan cerita mengenai nasib perempuan yang kerap mengalami kekerasan maupun penyiksaan yang dilakukan oleh kaum pria. Seperti yang dialami tokoh utama Mira yang mendapat ketidakadilan yang berujung pada kekerasan yang dilakukan oleh teman hidupnya Mulder, sehingga Mira


(13)

kehilangan haknya sebagai manusia yang memiliki martabat dan memiliki nilai kemanusiaan yang harus dihargai dan dihormati.

Novel Wajah Sebuah Vagina karya Naning Pranoto adalah sebuah novel yang mengangkat tema tentang ketimpangan gender akibat dominasi kaum lelaki. Novel ini bukanlah sebuah novel picisan yang hanya ingin menjual cerita vulgar untuk menarik perhatian para konsumen, seperti anggapan banyak orang yang hanya membaca judulnya sudah mengkategorikan bahwa novel tersebut adalah novel vulgar. Oleh karena itu, novel karya Naning ini pernah menuai kritikan keras karena dianggap sebagai novel ‘lendir’ yang hanya mengumbar nafsu syahwat para pembaca atau dengan kata lain novel Naning ini hanyalah novel vulgar yang tak layak edar. Gugatan yang dialamatkan pada Naning ini terjadi saat salah seorang mahasiswa yang menjadi peserta dalam acara bedah buku Naning yang mempertanyakan tujuan Naning mengarang novelnya tersebut. Masih dalam kasus yang sama menurut laporan dari Galang Press selaku penerbitnya, sebagian toko buku menolak untuk memasarkannya sebab novel Naning tersebut dinilai terlalu vulgar untuk khalayak. Namun jika ditelusuri lebih jauh sebenarnya novel ini jauh dari kesan vulgar. Teks-teks yang ada dalam novel ini tidak menjual teks-teks yang mengundang libido pembacanya. Naning menggunakan kata vagina pada judul novelnya hanya sebatas simbolis dari fenomena tentang kekerasan yang terus-menerus dilakonkan laki-laki terhadap kaum perempuan. Dalam novelnya tersebut, Naning ingin memberi gambaran bagaimana tak berdayanya kaum perempuan terhadap kaum pria dimana perempuan selalu dianggap sebagai kaum yang lemah, miskin, bodoh, tertindas, dan termarginalkan sehingga para lelaki dengan seenaknya menjadikan perempuan sebagai objek kekerasan mereka, baik secara fisik, psikologis, maupun seksualitas. Dan perempuan pun semakin kehilangan hak atas tubuh dan hidupnya.


(14)

Analisis terhadap novel Wajah Sebuah Vagina sangat menarik karena novel ini membahas ketimpangan gender pada pria dan wanita yang menyebabkan adanya tindakan kekerasan dari pria yang menganggap bahwa mereka adalah kaum yang lebih kuat dan berkuasa daripada wanita, seperti yang dialami tokoh Mira. Atas dasar inilah, novel Wajah Sebuah Vagina menjadi objek penelitian penulis.

1.1.2 Masalah

Adapun masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

a. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender apakah yang dialami tokoh utama dalam novel Wajah Sebuah Vagina?

b. Jenis-jenis kekerasan apakah yang dialami tokoh utama dalam novel Wajah Sebuah Vagina?

1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.2.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

a. Mendeskripsikan bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang dialami tokoh utama dalam novel Wajah Sebuah Vagina,

b. Mendeskripsikan jenis-jenis kekerasan yang dialami tokoh utama dalam novel Wajah Sebuah Vagina.


(15)

1.2.2 Manfaat Penelitian

Sebuah penelitian dikatakan berhasil apabila bermanfaat bagi peneliti, ilmu pengetahuan, dan, masyarakat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat.

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

a. Menambah pengapresiasian terhadap karya sastra.

b. Memberikan informasi kepada pembaca tentang bentuk-bentuk ketidakadilan dan kekerasan yang dialami perempuan.


(16)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional ( 2005:588), konsep didefenisikan sebagai berikut, “konsep /konsep/ n 1 rancangan atau buram surat dsb; 2 ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret: satu istilah dapat mengandung dua—yang berbeda; 3 gambaran mental dari objek , proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain.

Defenisi ke-3 adalah yang tepat untuk memberi gambaran wujud dan guna konsep. Jadi, konsep adalah unsur penelitian yang amat mendasar dan menentukan arah pemikiran si peneliti, karena menentukan penetapan variabel. Dengan kata lain, konsep digunakan sebagai kerangka atau pijakan untuk menjelaskan, mengungkapkan, menggambarkan, atau pun memaparkan suatu objek atau topik pembahasan. Dalam hal ini, konsep yang dimaksud adalah gambaran dari objek berupa novel berjudul Wajah Sebuah Vagina yang akan dibahas dalam tulisan ilmiah yang berjudul Wajah Sebuah Vagina Karya Naning Pranoto : Ketidakadilan dan Kekerasan Terhadap Perempuan.

Dari pengertian di atas maka tulisan ilmiah ini akan melibatkan beberapa konsep yang akan menjadi dasar pembahasan pada bab selanjutnya, yaitu :

1. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender, antara lain : a. Stereotipe

b. Marginalisasi c. Kekerasan


(17)

d. Subordinasi dalam pekerjaan

Dari ketidakadilan gender tersebut, maka muncullah berbagai jenis kekerasan terhadap perempuan.

2. Berdasarkan situs terjadinya, kekerasan terhadap perempuan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

A. Kekerasan yang terjadi pada arena domestik atau hubungan intim personal yaitu bentuk kekerasan yang pelaku dan korbannya memiliki hubungan keluarga atau hubungan kedekatan yang lain, misalnya penganiayaan yang dilakukan suami terhadap istri dan penganiayaan terhadap pacar.

Jenis-jenis kekerasan tersebut antara lain : a. Kekerasan seksual

b. Kekerasan fisik c. Kekerasan emosional

d. Kekerasan dalam bentuk pelacuran

B. Kekerasan dalam arena publik yaitu bentuk kekerasan yang terjadi di luar hubungan keluarga atau hubungan personal lain.

Jenis-jenis kekerasan tersebut antara lain : a. Kekerasan seksual

b. Kekerasan fisik

2.2 Landasan Teori

Penelitian ini didasarkan pada dua teori sekaligus, yaitu struktural dan feminis. Karya sastra adalah sebuah struktur yang kompleks. Oleh karena itu, untuk memahaminya maka sebuah karya sastra tersebut perlu dianalisis dan dalam menganalisis sebuah karya sastra tidak terlepas dari pendekatan struktural.


(18)

Lebih lanjut Teeuw (dalam Pradopo 2001 : 55) mengatakan bahwa “pendekatan struktural digunakan karena dalam memenuhi sebuah cerita diperlukan analisis struktural sebab pendekatan struktural merupakan tugas prioritas dalam penelitian karya sastra”.

Selanjutnya Teeuw (1984 : 50) mengemukakan ada empat pendekatan terhadap karya sastra, yaitu :

(1) Pendekatan mimetik yang menganggap karya sastra sebagai tiruan alam (kehidupan); (2) pendekatan pragmatik yang menganggap karya sastra itu adalah alat untuk mencapai tujuan tertentu; (3) pendekatan ekspresif yang menganggap karya sastra sebagai ekspresi perasaan, pikiran, dan pengalaman sastrawan (penyair); (4) pendekatan objektif yang menganggap karya sastra sebagai suatu yang otonom terlepas dari alam sekitarnya, pembaca, dan pengarang. Maka, yang penting dalam kritik ini adalah karya sastra itu sendiri, yang dianalisis khusus unsur intrinsiknya.

Sesuai dengan pendapat-pendapat di atas, analisis struktural dijadikan sebagai tugas pokok dalam pengkajian sebuah karya sastra. Oleh karena itu, dalam penelitian ini diterapkan pendekatan objektif (pendekatan struktural) yang menganggap karya sastra sebagai suatu yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalin.

Salah satu hasil karya sastra yang di dalamnya terdapat unsur-unsur yang saling memiliki hubungan dalam membentuk jalinan cerita secara koheren adalah novel. Dalam menganalisis novel berdasarkan analisis struktural yang dianalisis adalah segi struktural penceritaannya. Analisis struktural karya sastra, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan bagaimana keadaan


(19)

peristiwa-peristiwa, plot, penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Dengan demikian akan dapat diketahui bagaimana fungsi-fungsi setiap unsur-unsur tersebut dalam menunjang makna keseluruhannya dan bagaimana hubungan antar unsur tersebut sehingga secara bersama membentuk sebuah totalitas kemaknaan yang padu. Dari uraian tersebut, maka analisis yang dilakukan pada novel Wajah Sebuah Vagina adalah analisis terhadap alur, latar, penokohan, dan tema.

Pada dasarnya unsur-unsur intrinsik dalam teori struktural dapat memberikan gambaran mengenai cerita pada sebuah karya sastra dalam hal ini adalah novel, namun model analisis yang hanya berdasarkan struktur mengandung kelemahan, yaitu (1) melepaskan karya sastra dari latar belakang sejarahnya, dan (2) mengasingkan karya sastra dari relevansi sosial budayanya. Bagaimanapun juga, sebuah karya sastra tidak mungkin dipisahkan sama sekali dari latar belakang sosial budaya dan latar belakang kesejarahannya. Melepaskan karya sastra dari latar belakang sosial budaya dan kesejarahannya, akan menyebabkan karya itu menjadi kurang bermakna atau paling tidak maknanya menjadi amat terbatas, atau bahkan makna menjadi sulit ditafsirkan. Hal itu berarti karya sastra akan menjadi kurang bermanfaat bagi kehidupan. Oleh karena itu, analisis struktural sebaiknya dilengkapi dengan analisis yang lain, yang dalam hal ini adalah feminisme.

Sebelum membahas mengenai masalah feminisme, terlebih dahulu harus dipahami konsep seks dan konsep gender.

Menurut Fakih (1997 7-9):

Konsep seks atau jenis kelamin merupakan pensyifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu, sedangkan konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.

Misalnya bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, irasional, jantan, perkasa.


(20)

Ciri-ciri atau sifat dari perempuan dan laki-laki tersebut sesungguhnya dapat dipertukarkan dari waktu ke waktu dan dari temat ke tempat yang lain. Namun melalui proses yang panjang perbedaan gender ini dianggap masyarakat sebagai ketentuan Tuhan dan tidak dapat diubah lagi. Padahal gender dan seks berbeda, jika seks merupakan ketentuan dari Tuhan yang tidak dapat diubah lagi maka gender dibentuk dan dikonstruksikan secara sosial atau kultural, melalui ajaran agama maupun negara. Oleh karena perbedaan gender tersebutlah maka ketidakadilan pada perempuan pun muncul salah satunya adalah ketidakadilan dalam bentuk kekerasan.

Dari penjelasan tersebut maka feminisme muncul sebagai sebuah upaya perlawanan atas berbagai upaya kontrol laki-laki, seperti pemilihan jenis pekerjaan yang oleh laki-laki dianggap cocok dengan perempuan, mengontrol daya produktif perempuan, mengontrol atas seksualitas perempuan, mengontrol gerak perempuan untuk mengendalikan seksualitas, produksi, dan reproduksi para lelaki, mengontrol harta milik dan sumber daya ekonomi lain dengan sistem pewarisan dari laki-laki ke laki-laki.

Secara etimologis feminis berasal dari kata ‘femme’ (woman) yang berarti perempuan (tunggal) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Feminisme menurut Goefe (dalam Sugihastuti dan Itsna 2000 : 37) ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan.

Akibat banyaknya ketimpangan ataupun ketidakadilan yang diarahkan pada perempuan, maka semakin banyak pulalah aliran dari feminisme yang muncul, antara lain feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme sosialis, dan feminisme marxis. Dalam menganalisis karya sastra Wajah Sebuah Vagina karya Naning Pranoto ini,


(21)

maka analisis aliran feminisme yang dipandang tepat dikaitkan dengan permasalahan yang akan dibahas adalah feminisme radikal.

Bhasin (dalan Sugihastuti dan Itsna 2007 : 97) “feminisme radikal menganggap bahwa perbedaan gender bisa dijelaskan melalui perbedaan biologis atau psikologis antara laki-laki dan perempuan”. Menurut aliran ini, kekuasaan laki-laki atas kaum perempuan, yang didasarkan pada pemilikan dan kontrol kaum laki-laki atas kapasitas reproduktif perempuan telah menyebabkan penindasan pada perempuan. hal ini mengakibatkan ketergantungan perempuan secara fisik maupun psikologis kepada laki-laki. Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Dengan kata lain, bahwa penindasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh laki-laki berakar pada jenis kelmin dari laki-laki itu sendiri beserta ideologi patriarkinya. Dengan demikian, kaum laki-laki secara biologis maupun politis adalah bagian dari permasalahan kekerasan terhadap perempuan. Dari hal tersebut, aliran ini menganggap bahwa penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki, seperti hubungan seksual adalah bentuk penindasan terhadap perempuan.

2.3 Tinjauan Pustaka

Novel Wajah Sebuah Vagina merupakan novel yang memiliki kelebihan dan cukup kontroversi sehingga novel ini menarik untuk diresensi serta diulas dalam forum diskusi. Sepanjang penelusuran penulis, novel Wajah Sebuah Vagina belum pernah diteliti oleh mahasiswa di Departemen Sastra Indonesia, Universitas Sumatera Utara.


(22)

Namun penelitian dengan menggunakan Teori Feminisme, pada objek yang berbeda pernah dilakukan oleh mahasiswi Departemen Sastra Indonesia, Universitas Sumatera Utara, dengan judul Novel Memburu Matahari Karya Nadjib Kartapat: Analisis Feminisme. Skripsi tersebut disusun oleh Tety Warliani yang membahas tentang emansipasi perempuan dengan menggunakan teori feminis –sosialis atau teori feminis Marxis. Teori ini meneliti tentang tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat. Feminis Marxis ini menganggap bahwa ketertinggalan yang dialami oleh perempuan disebabkan karena struktur sosial, politik, dan ekonomi. Aliran ini ingin menganjurkan pada perempuan untuk mengembangkan potensi atau kemampuan yang dimiliki demi kemajuan dirinya.

Sedangkan di lain tempat novel ini sudah pernah dibahas oleh Esai Arie MP Tamba dalam forum diskusi di internet. Dalam forum tersebut Esai membahas mengenai hubungan intertekstual antara kesadaran feminisme Helena Cixous dengan teks-teks novel Wajah Sebuah Vagina karya Naning Pranoto yang secara tendensius ingin memperjuangkan keadilan atau nilai kesejajaran gender bagi wanita. Perjuangan ini menurut Esai, sangat unik dipresentasikan oleh Naning dan tidak sebagaimana lazimnya ditingkat ketimpangan sosial atau ketidaksemena-menaan psikologis melainkan disoroti melalui tataran biologis filosofis dengan mengedarkan dan juga membenturkan berbagai pemaknaan atas keberadaan organ wanita, yaitu vagina

Novel Wajah Sebuah Vagina juga pernah diteliti oleh Heri Aprilianto mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang dengan judul penelitian Tokoh Utama Wanita dalam Pandangan Gender pada Novel Wajah Sebuah Vagina Karya Naning Pranoto.


(23)

Heri meneliti novel tersebut dengan menggunakan teori struktural yaitu menganalisis perwatakan tokoh utama wanita yaitu Mira, dari perwatakan tokoh tersebut Heri kemudian menganalisis jenis-jenis gender yang ada pada tokoh utama tersebut

Sedangkan penulis sendiri meneliti novel Wajah Sebuah Vagina karya Naning Pranoto dengan judul Wajah Sebuah Vagina Karya Naning Pranoto : Ketidakadilan dan Kekerasan Terhadap Perempuan. Penulis meneliti novel tersebut dengan menggunakan teori struktural dan teori feminisme radikal yakni teori yang membahas tentang perbedaan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan perbedaan biologis atau psikologis serta sistem patriarki yang dibentuk oleh masyarakat.


(24)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam sebuah penelitian dibutuhkan metode. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini dalah metode pembacaan heuristik dan hermeneutik. Menurut Pradopo (2001 : 84) :

Pembacaan heuristik adalah metode pembacaan berdasarkan struktur kebahasaannya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi tingkat pertama. Pembacaan heuristik adalah pembacaan tata bahasa ceritanya yaitu pembacaan dari awal sampai akhir secara berurutan. Hasilnya adalah sinopsis cerita. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang atau retroaktif sesudah pembacaan heuristik dengan memberi konvensi sastranya. Konvensi sastra yang dimaksud adalah memeberikan makna dari cerita.

Selanjutnya Pradopo (2001 : 84) juga menjelaskan, “Metode membaca heuristik pada cerita rekaan atau novel merupakan metode pembacaan berdasarkan tata bahasa ceritanya yaitu pembacaan novel dari awal sampai akhir dengan cara berurutan”. Cerita yang memiliki alur sorot balik dapat dibaca secara alur lurus. Hal ini dipermudah dengan dibuatnya sinopsis cerita dari novel yang dibaca tersebut. Pembacaan heuristik itu adalah penerangan kepada bagian-bagian cerita secara berurutan.

Selanjutnya dilakukanlah pengumpulan data dengan cara menggunakan teknik pustaka, simak, dan catat. Teknik pustaka dilakukan dengan menggunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data. Teknik simak dan catat yakni dilakukan dengan menyimak secara cermat, terarah, dan teliti terhadap sumber data primer yang


(25)

merupakan karya sastra berupa novel yaitu Wajah Sebuah Vagina untuk memperoleh data yang diinginkan, dan terhadap sumber data sekunder yang sasarannya berupa artikel di internet, seperti http: //www.sastra.indonesia.com/2009/12/melirik buku-buku berbasis lendir sastra-perempuan.html.

Hasil penyimakan terhadap sumber data primer dan sekunder tersebut kemudian dirangkum dan dicatat untuk digunakan dalam penyusunan laporan penelitian sesuai dengan maksud dan tujuan yang hendak dicapai.

3.1.1 Bahan Analisis

Adapun yang menjadi sumber data yang akan dianalisis adalah: Judul : Wajah Sebuah Vagina

Pengarang : Naning Pranoto Penerbit : Galang Press Tebal Buku : 254

Ukuran : 18 cm x 10,5 cm

Cetakan : Pertama

Tahun : 2004

Warna Sampul : Perpaduan warna hitam, abu-abu, merah

Gambar Sampul : Terdapat gambar setengah wajah seorang wanita yang hanya memperlihatkan bagian hidung, bibir, dan lidah yang

menjulur. Desain Sampul : Sri Kuncara


(26)

3.1.2 Sinopsis Wajah Sebuah Vagina

Novel Wajah Sebuah Vagina meliputi kisahan Oktober 1982 s/d Januari 1983, tersebutlah seorang perempuan bernama Mira dari Desa Mijil, Pulau Jawa, yang merupakan tokoh utama dalam novel ini. Dalam novel ini diceritakan bahwa ayah dan ibu Mira telah dibunuh tahun 1965 oleh ‘petugas keamanan negara’ karena ayah Mira adalah seorang anggota Barisan Tani Indonesia yang merupakan bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Mira kemudian diasuh oleh neneknya. Sebagai seorang anak keturunan PKI, Mira mendapat bermacam hinaan dalam masa sekolahnya dan yang paling menyakitkan adalah ketika Mira lulus SD dan baru pertama kali mendapat haid, dia malah diperkosa oleh lurah desanya yaitu Lurah Prakosa yang senang hidup berfoya-foya dan merusak gadis-gadis muda.

Setelah memperkosa Mira, Prakosa malah menyuruh Mira untuk meninggalkan desa mereka karena lurah tersebut takut aibnya akan tersebar dan jika Mira tidak meninggalkan desa tersebut maka Mira diancam oleh Lurah Prakosa. Lurah tersebut akan menyebarkan isu bahwa Mira sedang berusaha untuk mengaktifkan kembali partai komunis di Desa Mijil. Akhirnya Mira memutuskan untuk mengunjungi tetangganya yang katanya bekerja di restoran di Surabaya. Tapi bukannya malah menolong, tetangga Mira yang bernama Dinah itu malah menjual Mira dan menjadikannya sebagai pelacur, ternyata Dinah adalah seorang mucikari.

Mira terbebas dari dunia pelacuran ketika dia menikah dengan Suhar yang seorang supir taksi namun hidup mereka serba kekurangan, terlebih lagi karena uang tabungan Mira habis untuk biaya pengobatan dan operasi tumor yang bersarang di perut nenek Mira. Ekonomi rumah tangga Mira menjadi lebih baik ketika ia ikut menambah penghasilan dengan berjualan bir kepada seorang penumpang langganan


(27)

Suhar yang bernama Mulder seorang warga asing yang kerap menginap di hotel tempat Suhar sering mangkal dan mencari penumpang.

Mulder mengaku kepada Mira bahwa dia merupakan orang yang kaya raya dan memiliki bisnis berlian dan emas. Mira kemudian tergoda , bukan hanya pada janji-janji manis Mulder yang akan menjadikannya istri dan memberi kekayaan dan kesenangan tapi Mira awalnya tersanjung atas sikap Mulder yang romantis, baik, dan selalu menyanjungnya.

Akhirnya Mira pun meninggalkan Suhar dan ikut bersama Mulder ke Afrika. Melalui pelayaran berbulan-bulan, Mira mulai melihat kejahatan di balik wajah ramah dan kemesraan Mulder. Dikapal yang mereka tumpangi, Mulder malah menjual Mira kepada salah seorang temannya dan sesampainya di Durban, Afrika Selatan, Mira dijadikan palacur dan Mulder mucikarinya. Selama menjadi pelacur, Mira kerap mendapat perlakuan kasar dari para lelaki hidung belang. Vagina Mira seperti tidak ada harganya lagi, tak jarang lelaki tersebut menyulut vagina Mira dengan rokok atau menggunakan benda tajam serta menyiksa tubuh Mira. Kali ini vagina kembali menghancurkan Mira. Mimpi-mimpi indah tentang kehidupan mewah di bumi Afrika pun pupus sudah. Mira mulai sakit-sakitan dan sering mendapat penyiksaan dari Mulder. Puncaknya adalah ketika suatu hari Mira tak sanggup memenuhi permintaan seorang pelanggan karena dia sedang ‘datang bulan’, Mira malah dipukul dan perutnya ditendang. Setelah itu Mulder memperkosanya dan Mira pun tak berdaya dan akhirnya pingsan. Mulder mengira Mira sudah mati dan dengan dalih ingin membawa Mira berobat ke dokter, Mulder malah mengubur Mira hidup-hidup di semak-semak wilayah Mpeseo dan aksinya ini dibantu oleh kekasih barunya yang bernama Wendy.


(28)

Beruntung ada seorang penduduk asli bernama Mbeko melihat penguburan itu. Mbeko dan keluarganya yaitu Ibu Sofia atau Ibu Sepuh dan juga adik Mbeko yang bernama Totti dibantu oleh penduduk desanya kemudian menolong Mira. Dalam masa pemulihan yang dilakukan Ibu Sepuh terhadap Mira, Mira lebih banayak diam dalam lamunannya terkadang dia menangis dan yang paling parah adalah ketika Julia yang merupakan istri Ian Camarro seorang pengusaha terkenal di Afrika yang ingin membela hak-hak Mira datang mengunjunginya, Mira malah pergi berlari dan bersembunyi di atas pohon karena takut. Tidak sampai disitu saja ketika mereka membujuk Mira untuk turun Mira malah menangis histeris dan berteriak dia tidak ingin dikubur lagi hidup-hidup. Ternyata penyiksaan yang dilakukan Mulder padanya membuat Mira mengalami trauma yang begitu dalam. Selain mengalami trauma, vagina Mira juga mengalami luka akibat kekerasan yang dia terima selama hidup bersama Mulder. Puncak dari derita Mira adalah maut, karena tekanan psikis serta fisik Mira yang semakin hari semakin membuatnya lemah.

3.2 Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dalam mengkaji data. Dalam analisis deskriptif ini, data yang diperoleh dicatat dan dipilih berdasarkan masalh yang akan dibahas.

Penganalisisan data penelitian ini dilakukan dengan cara:

1. Membaca data yang dikumpulkan untuk memahaminya secara keseluruhan. 2. Mengidentifikasi data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

3. Peneliti kembali menafsirkan seluruh data untuk menemukan kepaduan dan hubungan antardata, sehingga diperoleh pengetahuan secar utuh tentang makna karya sastra tersebut.


(29)

BAB IV

ANALISIS STRUKTURAL SERTA KETIDAKADILAN DAN KEKERASAN PADA TOKOH UTAMA TERHADAP NOVEL WAJAH SEBUAH VAGINA

KARYA NANING PRANOTO 4.1 Analisis Struktural

4.1.1 Alur

Alur merupakan penuntun bagi pembaca untuk memahami sebuah cerita dengan baik. Alur yang baik harus memiliki kejelasan dan kesederhanaan.

Nurgiyantoro (1995 :110) menjelaskan bahwa “kejelasan alur dapat berarti kejelasan cerita dan kesederhanaan alur berarti kemudahan cerita untuk dipahami”.

Aminuddin (1987 : 83) mengatakan “Alur dalam karya fiksi pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.

Abram (dalam Nurgiyantoro, 1995 : 113) mengemukakan “plot sebuah karya fiksi merupakan struktur peristiwa-peristiwa yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek artistik”.

Pendapat Aminuddin hampir senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Keraf (1991 : 148) :

Alur merupakan kerangka dasar yang sangat penting dalam kisah. Alur merupakan kerangka dasar yang sangat penting dalam kisah. Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain, sebagaimana suatu insiden mempunyai hubungan dengan insiden lain, bagaimana tokoh-tokoh harus digambarkan dan berperan dalam tindakan-tindakan itu dan bagaimana situasi dan perasaan karakter (tokoh) yang terlibat dalam tindakan-tindakan itu yang terikat dalam suatu kesatuan waktu.

Dari beberapa pengertian di atas, semakin jelas bahwa alur sebuah cerita sangat penting dalam sebuah karya sastra dalam hal ini prosa, karena alur menjelaskan


(30)

rentetan peristiwa-peristiwa yang saling bertautan dalam cerita sehingga pembaca dapat memahami cerita yang ditampilkan dalam sebuah karya sastra tersebut dalam hal ini adalah novel.

Berdasarkan kriteria urutan waktunya, novel Wajah Sebuah Vagina memiliki alur campuran (progresif-regresif). Hal tersebut dikarenakan adanya peristiwa-peristiwa yang diceritakan secara kronologis (progresif) dan pada tahap selanjutnya ada penceritaan peristiwa-peristiwa secara sorot-balik/flash-back (regresif).

Pada tahap awal dikisahkan mengenai tokoh utama, Mira yang mengalami luka disekujur tubuhnya dan tidak sadarkan diri di daerah Zulu, Afrika. Ketika sadar Mira telah berada di rumah salah satu penduduk desa tersebut yang bernama Mbeko. Mira dirawat serta diobati oleh Bu Sepuh, nenek Mbeko, yang merupakan tabib di daerah tersebut. Setelah siuman Mira berkenalan dengan cucu perempuan Bu Sepuh bernama Totti, adik dari Mbeko. Dari perkenalan tersebut terjadi percakapan antara Mira dengan Totti, dari percakapan mereka tersebut diceritakan mengenai Mira yang tidak sadarkan diri akibat penyiksan yang dialaminya yang dilakukan oleh kekasihnya Mulder yang kemudian diselamatkan oleh seorang pemuda Afrika yang bernama Mbeko yang kemudian meminta bantuan muda-mudi lain untuk membantunya menolong nyawa tokoh utama yaitu Mira yang dikubur hidup-hidup di tengah hutan yang kemudian dirawat dan diobati oleh Bu Sepuh. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut:

“ Yebo, memang Bang Mbeko yang menolong kakak pertama kali. Yaitu ketika Bang Mbeko pulang dari gereja, melihat kakak tergeletak di semak-semak dengan kondisi mengenaskan. Lalu Bang Mbeko memanggil muda-mudi sini untuk menolong kakak…,”

“Abangmu membawaku ke gubuk di tengah ladang itu…,” sela Mira dengan pedih.

“Yebo…, untuk dibersihkan dari roh-roh jahat…” tegas Totti. “Bu Sepuh bilang, Saya pingsan dua hari?” tanya Mira.

“Kakak pingsan selama dua hari, tiga malam…,” Totti meluruskan. “Makanya, aku disangka sudah mati…, tukas Mira dengan suara parau.


(31)

“Bang Mbeko menunggui kakak selama kakak pingsan.Granny berdoa sambil mencari songoma yang sakti, agar kakak selamat. Aku dan muda-mudi desa ini, teman-temanku di gereja, ditugasi Granny mencari ramuan jamu dan aneka bunga untuk mengobati kakak (WSV : 37).

Selanjutnya dari pembicaraan antara Mira dengan Totti terjadi pembicaraan mengenai kisah masa remaja Mira di kampung halamannya Desa Mijil, Jawa Tengah dan sebab mengapa Mira sampai ke Benua Afrika dengan luka-luka disekujur tubuhnya. Ternyata dari remaja Mira sudah mendapat kekerasan khususnya kekerasan seksual dari lurah di desanya yang pada akhirnya memaksa Mira menjadi pelacur lalu bertemu dengan Suhar yang menjadi suaminya yang juga mengenalkannya pada Mulder yang membawa Mira ke Benua Afrika dan diceritakan juga mengenai penyiksaan-penyiksaan yang dialami oleh Mira yang dilakukan oleh Mulder yang merupakan pembawa malapetaka dalam hidupnya. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut:

“Kakak jadi korban lurah gila itu? Oh…Tixo…! Tixo…!” Totti menjerit, “Terlalu!”

“Ya, ya, memang terlalu,” tiba-tiba Mira menggegat. Ia merenggut kegadisanku ketika saya berusia empat belas tahun, pas lulus Sekolah Dasar (WSV: 47).

“Setelah lurah edan itu merenggut kehormatan saya, saya minggat dari desa, karena kalau saya tidak pergi diancam akan dibunuh Pak Lurah…”(WSV : 49). “Karena Pak Lurah terus mengancam-ancam saya, saya lalu pergi ke Surabaya menemui seorang tetangga saya yang katanya kerja di sebuah restoran. Namanya Mbak Dinah. Ternyata Mbak Dinah menjadi mucikari. Dia tega menjual saya…”(WSV : 49).

“Saya menjual vagina sekitar lima tahun, sampai akhirnya saya berhenti karena dilamar Kang Suhar” (WSV : 50).

“Ternyata menjadi istri Kang Suhar tidak bisa mengantongi uang sebanyak yang saya dapatkan ketika saya bekerja di Wisma-Sumringah, bordil yang dikelola Mbak Dinah. Apa lagi pada waktu itu nenek saya memerlukan uang banyak untuk biaya pengobatan dan operasi tumor yang bersarang di perutnya…”(WSV : 50).


(32)

“Kang Suhar sangat sabar terhadap saya. Maka, saya lalu dicarikan obyekan, yaitu menjual bir pada Mister Mulder dan teman-temannya. Tadi sudah saya ceritakan, ekonomi kami membaik karena obyekan ini. Bahkan, saya juga merasa menemukan dunia baru yang menyenangkan…”

“Dunia baru? Apa itu?” Totti bertanya penuh semangat (WSV : 50).

“Mister Mulder sering membawa saya oleh-oleh berupa pakaian bagus-bagus, parfum, sepatu, tas semua bermerk, buatan luar negeri. Bahkan ketika Mister Mulder pulang dari Afrika, saya diberi oleh-oleh kalung emas dan subang berlian. Indah sekali. Benda terindah yang pernah saya miliki. Maka, ketika ia melamar saya, saya langsung mau dan Kang Suhar, saya tinggalkan begitu saja…”(WSV:51)

“ Mulder ketika belum edan, sangat menghormati saya saat-saat bercinta…” Apa yang dilakukan Mulder setelah kakak anggap edan?” Totti memandangi Mira yang tampak marah.

“Mulder menjual vagina saya kepada teman-temannya!” mata Mira berair, bibirnya gemetar pucat.

“Kapan itu terjadi? Dimana?” kejar Totti, matanya membelalak sangat lebar. “Pertama-tama terjadi di atas kapal, ketika saya berlayar menuju kemari—ke Afrika. Kali lain, Mulder menjual saya lagi, beberapa hari sebelum ia mengubur saya hidup-hidup di wilayah ini. Transaksi yang kali ini berlangsung di sebuh hotel bintang lima di Durban…” kalimat Mira patah (WSV : 55-56).

Ternyata Mulder bukan hanya menjual Mira tetapi Mira juga kerap mendapat kekerasan khususnya kekerasan fisik dan seksual dari Mulder. Hingga puncak dari penyiksaan Mulder adalah ketika Mira dipaksa melayani laki-laki yang menjadi langganan Mira dan Mira menolaknya karena sedang haid, lalu Mulder marah dan menyiksa Mira dan menyetubuhi Mira hingga pingsan. Mulder mengira Mira telah meninggal lalu mengubur Mira hidup-hidup dibantu kekasih barunya Wendy. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut :

“ Mira, apa malam ini you tidak kerja? Tuan Lulumban menantimu di Paradise Motel!

“O, Mulder…Mister Mulder…saya, saya ternyata tadi sore haid. Jadi, jadi saya tidak bisa bekerja melayani Tuan Lulumban!”

Perut Saya mules”. Tegasnya dengan suara gemetar, karena dilanda katakutan. “Haid!Haid!Haid! You bohong. You sok suci. Heh!” Dicky menendang perut Mira.

“You kasih tahu Tuan Lulumban tidak, kalau you sedang merah?”tanya Dicky sambil memegangi leher Mira yang seolah-olah siap dicekiknya.

Mira menggeleng perlahan-lahan dan Dicky lalu menempelengnya sambil berteriak, “Stupid! Tolol! Goblok! Bodoh! Dungu! Perempuan kampungan!”


(33)

“Ampun! Ampun, Tuan Mulder! Ampuun…!” Mira meratap-ratap, sambil menciumi kaki Dicky. Darah segar pun menetes-netes dari bibir Mira yang baru saja ditempeleng Dicky.

“Kalau you masih mau hidup, you harus menurut apa yang ik perintahkan. You tahu, ik sekarang lagi perlu uang banyak, maka you harus rajin bekerja…,”

“Saya, Tuan Mulder. Saya mengerti!” sahut Mira dengan tubuh gemetar dan darah yang mengalir dari bibirnya makin deras.

Mira yang sedang berdarah-darah itu menjadi sasaran nafsu buasnya. Ketika Mira menolak, Dicky memaksanya, memerkosanya, membuat Mira tak berdaya. Ia pingsan. Dicky mengira Mira sudah mati dan mengubur Mira di semak-semak wilayah Mpeseo (WSV : 161-164).

Pada tahap selanjutnya, diceritakan mengenai kehidupan Mira yang diceritakan secara kronologis atau berurutan. Pada tahap ini diceritakan mengenai usaha-usaha yang dilakukan oleh orang-orang yang prihatin terhadap nasib Mira yang masih terus dikejar oleh Mulder dan mereka berusaha untuk memperjuangkan keadilan yang seharusnya didapat oleh Mira, yang pada akhirnya meninggal akibat luka pada tubuhnya khususnya vaginanya yang semakin hari semakin parah. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut :

“Mbeko” seru Bu Sepuh. “Apa pendapatmu mengenai nasib Mira selanjutnya?”

“Ya, Saya belum bisa menjawab sekarang. Granny bijaksana menemui Tuan Camarro dan Nicholas untuk ikut memecahkan kasus Mira. Tuan Camarro bisa kita harapkan memberi bantuan untuk memulangkan Mira ke Java. Nicholas bisa kita mintai bantuan dari segi hukumnya. Lelaki yang membuang Mira itu tidak boleh dibiarkan. Ia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya.” Mbeko berbicara dengan hati-hati (WSV : 115).

Saat menjerit ia merasakan yang nyeri bukan saja perasaannya, tetapi juga raganya, khususnya di perutnya bagian bawah, yang tak lain adalah alat reproduksinya luar dalam : rahim dan vaginanya. Nyeri sekali. Dan darah itu pun mengalir semakin deras. Darah segar. Merah. Merah sekali. Mengerikan (WSV : 181).

“O…Granny, mengapa Kak Mira tidak mau membuka matanya? tapi Granny…lihat detak jantungnya cukup bagus!” Totti menunjuk alat pendeteksi jantung yang mengontrol kondisi tubuh Mira.

“Dia tidur. Biarkan dia tidur Nak. Kalau dia bisa tidur, berarti bebas dari kesakitan,” sahut Bu Sepuh sambil menyembunyikan kegelisahannya dalam menghadapi kondisi Mira yang kritis (WSV : 225).


(34)

Mira yang sedang diocehkan Mulder, sedang menyambut hadirnya sang maut yang mula-mula berupa cahaya berwarna kuning keemasan, kemudian berubah menjadi cahaya putih bersinar-sinar. Cahaya itu membebaskan Mira dari semua penderitaan yang menyiksanya (WSV : 249).

Dengan demikian urutan cerita yang diceritakan dalam novel Wajah Sebuah Vagina menunjukkan bahwa novel ini memiliki alur campuran (progresif-regresif).

4.1.2 Latar

Suatu peristiwa tidak mungkin terjadi bila tidak ada latar. Dengan kata lain, semua karya fiksi mempunyai latar atau setting.

Latar atau setting merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam karya fiksi. Latar dapat mewarnai cerita, karena merupakan pijakan yang jelas mengenai cerita. Latar menggambarkan realitas berupa tempat kejadian sehingga tempat atau suasana itu seperti benar dan nyata.

Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995:216), latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Unsur latar mengacu pada tempat, waktu, dan sosial. Latar memberikan pijakan secara konkret dan jelas.

Aminuddin (2000: 67) mengatakan “Setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal.”

Selanjutnya Hudson (dalam Sudjiman 1987: 44) membedakan latar sosial dan latar fisik/material. “Latar sosial mencakup keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa dan lain-lain yang melatari peristiwa. Adapun yang dimaksud dengan latar fisik adalah tempat dalam wujud fisiknya, yaitu bangunan, daerah, dan sebagainya.”

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan latar adalah suatu pijakan pada cerita secara konkret dan jelas sehingga memberikan kesan realistis kepada pembaca melalui penggambaran tempat, waktu, dan keadaan suatu kelompok atau masyarakat


(35)

tertentu yang diciptakan pengarang sehingga cerita dapat dipahami secara lebih mendalam.

Dalam novel Wajah Sebuah Vagina karya Naning Pranoto terdapat latar fisik, yang berupa tempat, latar waktu yang berhubungan dengan kapan terjadinya peristiwa, dan latar sosial yaitu penggambaran mengenai masyarakat dalam cerita ini.

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan. Hampir keseluruhan dari novel ini berlatarkan Benua Afrika tepatnya di Afrika Selatan di Desa Mpeseo, Kwa-Zulu Natal, di Durban. Hal tersebut tampak pada awal cerita hingga akhir cerita dan terlihat pada kutipan cerita berikut ini :

“Afrika? Afrika? Bumi Afrika? Jadi, aku masih berada di Afrika. Oh…ohhh…Simbok…Bapak…Siiimmboookkk…tolong bawa aku pulang ke Mijil…”(WSV : 13).

“Saya tidak bisa membandingkannya, karena saya tidak tahu keadaan desa ini, selain di rumahmu. O iya, Mpeseo ini dimana letaknya?”

“Di Afrika Selatan—wilayah Kwa-Zulu Natal…” (WSV : 39).

Malam itu, bulan purnama juga menghiasi hamparan langit Durban yang biru. Bahkan pancarannya lebih indah dibandingkan dengan bulan purnama yang tampil di Mpeseo, yang baru saja dinikmati Mira dan Totti. Sebab bulan purnama di Durban, bayangannya terpantul indah di permukaan air laut bak wajah seorang perempuan anggun elok (WSV : 113).

“Dia tidur. Biarkan dia tidur, Nak. Kalau dia bisa tidur, berarti bebas dari kesakitan, sahut Bu Sepuh, sambil menyembunyikan kegelisahannya dalam mengahadapi kondisi Mira yang kritis. Bu Sepuh sedang memikirkan, bagaimana seandainya Mira meninggal di Bumi Afrika? Siapa yang akan membawa jenazahnya ke Java? (WSV : 225).

Selain di Afrika Selatan, latar tempat pada novel ini juga terjadi di Indonesia tepatnya di Jakarta, Surabaya, dan Jawa Tengah. Hal tersebut tampak pada kutipan cerita berikut ini :

“ Tidak. Begitu Mulder melamar saya, saya tidak langsung dinikahi. Kami hidup bersama. Mulder menyewa rumah mewah Kebayoran-Baru—wilayah elit di Jakarta Selatan. Saya tinggal di rumah mewah itu…”( WSV : 52).


(36)

restoran. Namanya Mbak Dinah. Ternyata, Mbak Dinah menjadi mucikari. Dia tega menjaual saya,…” (WSV : 49).

Saya menjual vagina sekitar lima tahun, sampai akhirnya saya berhenti karena dilamar Kang Suhar”. Mira berbisik, “Ternyata, menjadi istri Kang Suhar tidak bisa mengantongi uang sebanyak yang saya dapatkan ketika kerja di Wisma—Sumringah, bordil yang dikelola Mbak Dinah (WSV :50).

“Namanya Desa Mijil—di Jawa Tengah, tanahnya kering berkapur. Tanaman pangan enggan tumbuh di sana. Kami tidak bisa menanam padi, kecuali jagung, singkong dan gadung. Itu semua makanan bergizi rendah bukan? Selain itu, Mijil juga ee…anu…anu…,” tiba-tiba kalimat Mira tersendat…” “E…saya punya kenangan pahit, sangat pahit di Mijil. Maka, saya meninggalkan Mijil”. Mira seperti tercekik (WSV : 45).

Selain latar tempat, novel ini juga diperkuat dengan latar waktu. Latar waktu berhubungan dengan “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu dalam novel Wajah Sebuah Vagina terdapat pada kutipan berikut “

Latar waktu pertama kali pada Oktober 1982, ketika Mira ditemukan masyarakat Zulu, Afrika dalam keadaan tubuh yang penuh luka. Latar tersebut dapat dilihat pada sub judul dari novel tersebut, yaitu :

BAB I Belaian Tixo-Roh Besar, Oktober 1982 (WSV : 9). Latar waktu tersebut juga diperkuat dengan kutipan berikut:

“Kakak jadi WTS?” Totti mengeja pertanyaanya.

“Ya, karena tidak ada jalan lain yang bisa saya lakukan pada waktu itu, selain menjadi WTS, tanggap Mira geram (WSV : 49).

Kata WTS pada kutipan cerita tersebut menunjukkan bahwa kejadian pada novel tersebut bukan terjadi pada masa kini, tetapi terjadi pada tahun 80-an, karena penggunaan kata WTS pada saat itu digunakan untuk menyebut istilah pelacur berbeda dengan zaman sekarang yang lebih menghaluskan pemakaian kata untuk menyebut istilah pelacur dengan istilah tunasusila. Atau dengan kata lain pemakaian kata sekarang lebih halus dibandingkan dengan pemakaian kata dahulu.


(37)

Latar waktu pada novel tersebut juga terjadi pada Desember 1982. Hal tersebut terlihat pada sub judul novel tersebut, yaitu :

BAB VIII Tarian Angin, Natal 1982 (WSV : 191).

Latar tersebut diperkuat pada kutipan cerita berikut :

Perayaan Natal masih kurang dua minggu lagi, tetapi suasananya telah menggema dan menceriakan Durban dan kota-kota lainnya di Afrika Selatan, sejak awal Desember (WSV : 191).

Latar waktu selanjutnya terjadi pada Januari 1983. Hal tersebut terlihat pada sub judul novel tersebut, yaitu :

Matahari Kuning, Akhir Januari 1983 (WSV : 224).

Latar waktu yang telah dipaparkan dalam novel ini seolah-olah meyakinkan pembaca bahwa kisah dalam novel ini benar-benar terjadi pada waktu tersebut. Latar tempat dan waktu dalam novel tersebut akan diperkuat dengan latar sosial.

Latar sosial mencakup hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat. Latar sosial dalam novel ini ditunjukkan pada penggunaan beberapa bahasa Zulu, Afrika dimana latar tempat yang paling dominan dalam novel ini.

Misalnya Tixo yang berarti roh besar, sawubona yang berarti selamat pagi, granny untuk menyebut nenek, yebo yang artinya iya. Selain bahasa Zulu tersebut, dalam novel ini juga ada penggunaan bahasa Belanda yang dipakai oleh tokoh Mulder yang merupakan orang Belanda, seperti pemakaian kata ik yang berarti saya dan you yang berarti kamu. Selain kedua bahasa tersebut, bahasa Jawa juga dipergunakan dalam novel ini yang kerap dipakai oleh tokoh Mira yang memang merupakan gadis keturunan Jawa. Misalnya simbok yang berarti ibu, edan yang berarti gila, matur nuwun yang berarti terima kasih, Gusti yang berarti Tuhan, telo pendem yang berarti ubi jalar.


(38)

Penggunaan jenis-jenis bahasa tersebut terlihat pada kutipan berikut :

“Ya, ada. Tapi namanya berbeda. Kami menyebutnya telo pendem—itu dalam bahasa Jawa. Dalam bahasa Indonesia disebut ubi jalar atau ubi manis”.

“Yebo…, bahasa Jawa. Maksud kakak bahasa yang dipergunakan di Java Island, tempat asal kakak seperti kemarin yang kakak ceritakan pada Granny…”(WSV : 34).

“No, no… no… cukup. Cukup. Jangan paksa ik kalau you mau aman” (WSV : 139).

4.1.3 Penokohan

Karya satra yang baik dalam hal ini adalah fiksi, akan memperhatikan masalah inter-relasi antara tokoh-tokohnya dan tindak-tanduk mereka. Kebanyakan dari karya fiksi yang ada selalu berbicara mengenai manusia karena kejadian atau peristiwa selalu berlangsung pada manusia dan manusialah yang menyebabkan terjadinya peristiwa. Oleh karena itu, tokoh merupakan unsur intrinsik yang penting dalam sebuah karya fiksi. Dengan adanya tokoh, pengarang dapat menyampaikan idenya kepada pembaca.

Istilah “tokoh” sendiri merujuk pada orangnya, pelaku cerita, sedangkan penggunaan istilah “karakter” (character) berarti pelaku cerita dan dapat pula berarti perwatakan. Oleh karena itu, menurut Nurgiyantoro ( 1995 : 166) istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya dari pada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca”.

Pendapat Nurgiyantoro tersebut hampir sama dengan pendapat yang dikemukakan Aminuddin ( 1987 : 79) “pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh. Sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut dengan penokohan”.


(39)

Dari pendapat para ahli tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penokohan oleh pengarang dalam karyanya dapat memberi gambaran yang lebih jelas mengenai karakter yang dimiliki setiap tokoh cerita yang dapat membedakannya dari tokoh-tokoh yang lain.

Para tokoh yang terdapat dalam sebuah cerita memiliki peranan yang berbeda-beda. Aminuddin (1987 : 79-80) memaparkan lebih lanjut bahwa, “Seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam sebuah cerita disebut dengan tokoh inti atau tokoh utama. Sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu”.

Dalam menentukan siapa tokoh utama dan siapa tokoh tambahan dalam sebuah karya fiksi dalam hal ini adalah novel, dapat juga ditentukan dengan melihat intensitas munculnya tokoh tersebut dalam cerita. Selain lewat memahami peranan dan intensitas munculnya seorang tokoh, dalam menentukan tokoh utama serta tokoh tambahan dapat juga ditentukan lewat petunjuk yang diberikan oleh pengarang. Misalnya tokoh utama merupakan tokoh yang sering diberi komentar dan dibicarakan pengarangnya sedangkan tokoh tambahan hanya dibicarakan sekedarnya saja.

Tokoh dalam cerita seperti halnya manusia dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kita, selalu memiliki watak-watak tertentu. Sehubungan dengan watak tersebut, maka dikenal adanya tokoh protagonis dan tokoh antagonis. “ Tokoh protagonis adalah pelaku yang memiliki watak yang baik sehingga disenangi pembaca dan tokoh antagonis adalah pelaku yang tidak disenangi pembaca karena memiliki watak yang tidak sesuai dengan apa yang diidamkan oleh pembaca” (Aminuddin, 1987 : 80).


(40)

dan tokoh statis dalam karya fiksi. Tokoh dinamis adalah pelaku yang memiliki perubahan dan perkembangan batin dalam keseluruhan penampilannya, sedangkan tokoh statis adalah pelaku yang tidak menunjukkan adanya perubahan atau perkembangan sejak pelaku itu muncul sampai cerita berakhir”.

Dari uraian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa setiap tokoh yang digambarkan oleh pengarang dalam suatu cerita mempunyai ciri-ciri lahir, sifat, serta sikap batin sehingga wataknya dapat diketahui pembaca. Pengarang melalui cerita, dapat memaparkan secara langsung watak tokohnya, yakni mengisahkan sifat-sifat tokoh, hasrat, ciri-ciri fisik, perasaan, dan pikirannya. Tetapi ada juga sebagaian pengarang yang lebih suka memaparkan watak tokoh secara implisit, baik dari pikiran, cakapan, maupun lakuan tokoh. Dengan kata lain, pembacalah yang menafsirkan watak dari tokoh tersebut.

Dari keterangan-keterangan yang sudah dipaparkan tersebut, dapatlah dianalisis mengenai penokohan dalam novel Wajah Sebuah Vagina karya Naning Pranoto. Namun, dalam pembahasan mengenai penokohan ini, hanya tokoh-tokoh yang memegang peranan penting saja yang akan dianalisis.

1. Mira

Mira merupakan tokoh protagonis yang memiliki kedudukan sebagai tokoh utama. Tokoh Mira diceritakan sebagai gadis desa dari Mijil, Jawa Tengah, suatu daerah yang gersang, tandus, dan miskin. Hal tersebut terdapat pada kutipan cerita berikut :

“Namanya Desa Mijil di Jawa Tengah, tanahnya kering berkapur. Tanaman pangan enggan tumbuh di sana. Kami tidak bisa menanam padi kecuali jagung, singkong, dan gadung. Itu semua makanan bergizi rendah bukan? Selain itu, Mijil juga e…anu…,” tiba-tiba kalimat Mira tersendat (WSV : 45). Secara fisik, Mira digambarkan sebagai perempuan yang cantik. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut :

“Sawubona! Hai, perempuan jelita yang terlentang di balai-balai, siapa namamu dan dari mana asalmu?” sapa matahari bundar, melalui media berkas-berkas sinar jiwanya (WSV : 11).


(41)

Mira juga digambarkan sebagai sosok yang suka bekerja keras. Dia ikut membantu perekonomian keluarganya dengan berjualan bir ke hotel tempat Mulder yang menjadi langganan suaminya menginap. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut :

“Teman-teman Mulder juga begitu. Antara lain Mister Pieter, Mister Ben, dan Mister Coen. Mulder kemana-mana selalu bersama mereka dan semuanya doyan bir. Kang Suhar melihat ini peluang dagang yang bagus. Saya disuruh melayani mereka bila dia sedang ke Jakarta, tiap malam mengantar bir untuk mereka. Ya, saya mondar-mandir keluar-masuk hotel melalui pintu belakang. Itu saya lakukan dengan mulus karena saya menyogok penjaga hotel” (WSV : 43).

Sifat tokoh Mira ini sendiri adalah mudah tergoda dan dirayu. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut :

“ Ya, Cuma begini. Jiwa dan raga hancur lebur…, Dik”. Mira menggeleng-geleng sambil tersenyum pahit. “Saya benar-benar ditipu mentah-mentah sama Londo edan itu. Padahal, waktu saya baru mengenalnya, Mulder itu orangnya baik sekali. Baaaiikkkk…makanya saya kepencut ya… terpikat, sampai saya meninggalkan Kang Suhar, suami saya…,” sambung Mira lirih. “Makanya saya kualat…jadi sengsara begini (WSV : 42).

Kutipan tersebut menunjukkan Mira merasa menyesal setelah ditipu oleh Mulder, sampai ia harus meninggalkan Kang Suhar. Mira menyesal mengapa ia dulu mau dirayu dan percaya akan janji-janji Mulder.

Mira dalam novel ini juga memiliki sifat yang tidak lupa membalas budi serta menghargai orang lain. Hal ini terlihat pada kutipan berikut :

“Mira terharu, matanya berlinang-linang. Ingin rasanya ia mengucapkan terima kasih kepada perempuan sepuh yang baik hati itu, dengan sembah sujud, tetapi tubuhnya belum bisa digerakkan (WSV : 23).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Mira memiliki sifat yang tidak melupakan balas budi orang lain yang ditunjukkan ketika Mira ditolong serta dirawat oleh seorang perempuan tua ketika Mira terluka dan pingsan Mira. Mira ingin sekali


(42)

mengucapkan terima kasih serta menyembah perempuan tersebut atas pertolongannya, namun tubuhnya masih terlalu lemah untuk digerakkan.

Sifat Mira yang menghargai orang lain, telihat pada kutipan berikut :

“O bukan main jauhnya,” Mira menggeleng-geleng, “Sungguh berhati emas kalian semua. Dengan apa saya bisa membalas kebaikan kalian semua? Sungguh, saya berhutang budi pada kalian dan hutang itu tidak akan pernah terbayar sampai dipanggil Gusti Allah,” sambung Mira dengan membentangkan kedua tanganny yang masih terasa lunglai. “ Apa yang mesti saya lakukan Dik Totti?” (WSV : 38).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Mira sangat kagum atas sikap penduduk kampung Zulu. Penduduk kampung mencarikan obat dari dalam hutan yang jauh, sehingga membuat hati Mira sangat terharu, ia merasa tidak akan bisa membalas kebaikan penduduk kampung Zulu, sampai mati sekalipun, hingga Mira bingung apa yang harus ia perbuat.

Sifat mengahargai orang lain ditunjukkan Mira pada kutipan berikut :

“Nah. Ini masakan saya…!” seru Totti setelah meletakkan masakannya di atas meja makan yang terbuat dari bonggol pohon yang berdiameter hampir dua meter.

“O…ulat? Pepes ulat?” Mira terkejut, tetapi ia berusaha menyembunyikan keterkejutannya itu agar Totti tidak merasa diremehkan

“O, luar biasa,” seru Mira untuk menyenangkan Totti, karena sebetulnya ia merasa jijik melihat ulat-ulat yang dibakar itu. Tapi, dengan sekuat tenaga ia berusaha untuk tidak merasa jijik. Apalagi setelah Totti menyendokkannya ke dalam piring yang diperuntukkan Mira (WSV : 104).

Dari kutipan tersebut terlihat bahwa Mira terkejut kaget dan jijik dengan apa yang disuguhkan Totti, tetapi ia berusaha menyembunyikan keterkejutannya agar Totti tidak merasa diremehkan setelah ia bersusah payah memasak untuk Mira.

Tokoh Mira juga memiliki sifat yang takut menyingging perasaan orang lain, seperti terlihat pada kutipan berikut :

“Ke kota? Kota mana? Menjenguk inkosana Eddy? Siapa dia itu? Boleh saya tahu?” tanya Mira dengan hati-hati. Ia khawatir pertanyaannya yang beruntun itu tidak menyenangkan Totti (WSV : 32).


(43)

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Mira mempunyai sifat takut untuk menyinggung perasaan orang lain, saat Mira bertanya kepada Totti dengan hati-hati. Dia takut jika pertanyaannya membuat Totti tersinggung dan tidak senang.

2. Dicky Mulder

Mulder merupakan tokoh antagonis dengan kedudukan sebagai tokoh utama. Mulder adalah seorang laki-laki keturunan Belanda yang berdomisili di Afrika karena bisnisnya, yaitu bisnis emas dan berlian berpusat di benua tersebut. Mulder merupakan sosok laki-laki bertubuh jangkung dan tambun. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut :

Dari benaknya itu kemudian muncul sosok Mulder begitu utuh. Ya, lelaki itu bertubuh jangkung, tingginya sekitar 180 cm, berlemak, perutnya buncit karena kegemarannya minum bir. Sedangkan dada, kaki, dan tangannya berbulu lebat. Kulitnya merah jambu bercak-bercak hitam, rambutnya ikal tipis, giginya kecoklatan karena tergarang asap cerutu, bola matanya kecil tajam, warnanya abu-abu.

Ya, ya…Mulder memang lelaki yang bertubuh tinggi, besar, bak raksasa…(WSV : 91-92).

Watak Mulder digambarkan pengarang memiliki sifat yang kasar serta tidak berperikemanusiaan, pintar merayu dan menipu.

Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut :

“Mira, apa malam ini you tidak kerja? Tuan Lulumban menantimu di Paradise Motel!” tanya Dicky dengan nada menghardik.

“O, Mulder… Mister Mulder… saya, saya ternyata tadi sore haid. Jadi, jadi, saya tidak bisa bekerja melayani Tuan Lulumban!

“Haid! Haid! Haid! You bohong. You sok suci. Heh!” Dicky menendang perut Mira, hingga perempuan itu jatuh terpelanting dari tempat tidur kayu yang sempit itu.

Tentu saja sakit. Tetapi Mira tidak berani menangis. Sebab, kalau ia berani menangis, Dicky akan menendangnya lebih keras lagi, bahkan ditambah pukulan bertubi-tubi.

“You sekarang memang kurang ajar. Ngelunjak. Tidak tahu diuntung. Dari kere sudah ik jadikan nyonya gedongan. Tapi, you membalas apa pada ik?” Dicky melotot, lalu meludahi wajah Mira yang pucat (WSV : 161-162).


(44)

Dari kutipan tersebut terlihat bahwa Mulder memiliki sifat yang kasar dan tidak berperikemanusiaan dimana Mulder telah menyiksa Mira dengan tindak kekerasan seperti menendang, memukul, dan meludahi Mira.

Disamping sifatnya yang kasar ternyata Mulder memiliki keahlian menyenangkan serta memanjakan perempuan. Seperti yang dialami Mira pada kutipan berikut :

“ Mister Mulder sering memberi saya oleh-oleh berupa pakaian bagus-bagus, parfum, sepatu, tas—semua bermerk, buatan luar negeri. Bahkan, ketika Mister Mulder pulang dari Afrika, saya diberi oleh-oleh kalung emas dan subang berlian. Indah sekali. Benda terindah yang pernah saya miliki…” (WSV : 51).

“Ya, pada mulanya ia sangat romantis. Saya sering diberi bunga mawar merah dan kado-kado yang membuat saya bahagia…(WSV : 55).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa awal berkenalan dengan Mira, Mulder menunjukkan sikap romantisnya agar dapat menaklukkan hati Mira, namun ternyata Mulder memiliki niat yang tidak baik, hal tersebut terdapat pada kutipan berikut:

Mulder ketika belum edan, sangat menghormati saya saat-saat bercinta…!” “Apa yang dilakukan Mulder setelah kakak anggap edan?” Totti memandangi Mira yang tampak marah.

“Mulder menjual vagina saya kepada tema-temannya!” mata Mira berair, bibirnya gemetar pucat (WSV : 55).

3. Bu Sepuh

Bu Sepuh atau Mama Sofia merupakan tokoh protagonis dengan kedudukan sebagai tokoh utama. Bu Sepuh digambarkan sebagai seorang inyanga-dokter tradisional Zulu yang ternama. Ia merupakan keturunan Inyanga kepercayaan Raja Shaka. Bu Sepuh digambarkan sebagai perempuan yang memiliki sifat yang penuh kasih dan tulus yang ditunjukkan dengan kepeduliannya dengan orang-orang disekelilingnya, hal tersebut terlihat pada kutipan berikut :

“ Semoga lekas sembuh, Nak!” kata Bu Sepuh dengan kelembutan yang tulus, menggunakan bahasa Zulu. Mira memahami kalimat itu dengan jiwanya, diekspresikan melalui sorot matanya yang mulai membinar. Bu Sepuh mengusap mata itu dengan air mawar yang diambilnya dari kendi sambil berbisik, “Nak, sebentar lagi kekuatanmu akan kembali”. Bu Sepuh


(45)

memandangi Mira dengan sorot matanya yang teduh. Mira terharu, matanya berlinang-linang. Ingin rasanya ia mengucapkan terima kasih kepada perempuan sepuh yang baik hati itu, dengan sembah sujud, tetapi tubuhnya belum bisa digerakkan (WSV : 23).

Dari kutipan tersebut terlihat bahwa Bu Sepuh walaupun baru mengenal Mira tetapi dia mau merawat Mira dari luka-luka akibat kekerasan yang dialami Mira, bukan hanya sekedar mrawat luka Mira, Bu Sepuh juga ikut terlibat jauh dalam mencari keadilan untuk Mira. Hal ini menunjukkan Bu Sepuh juga memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut :

“Mbeko” seru Bu Sepuh. “Apa pendapatmu mengenai nasib Mira selanjutnya?”

“Ya, Saya belum bisa menjawab sekarang. Granny bijaksana menemui Tuan Camarro dan Nicholas untuk ikut memecahkan kasus Mira. Tuan Camarro bisa kita harapkan memberi bantuan untuk memulangkan Mira ke Java. Nicholas bisa kita mintai bantuan dari segi hukumnya. Lelaki yang membuang Mira itu tidak boeh dibiarkan. Ia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya.” Mbeko berbicara dengan hati-hati.

“ Benar katamu, Mbeko. Lelaki itu harus mempertanggung-jawabkan perbutannya. Kalau dibiarkan, dia akan terus bertindak brutal begitu, membuang-buang perempuan seenaknya setelah menikmati vagina perempuan yang dibuangnya. Hem…terlalu! Dasar binatang…!” Gigi Bu Sepuh menggegat (WSV : 115).

4. Mbeko

Mbeko merupakan tokoh protagonis dengan kedudukan sebagi tokoh tambahan, karena kemunculannya pun hanya sedikit. Tokoh Mbeko ini juga digolongkan pada tokoh statis, karena tokoh Mbeko tidak menunjukkan adanya perubahan atau perkembangan sejak muncul sampai cerita berakhir. Mbeko merupakan cucu laki-laki dari Bu Sepuh. Pengarang menggambarkan sosok Mbeko, sebagai berikut :

… wajah Mbeko mirip Totti : kulitnya tembaga terang, alisnya tebal—setebal rambutnya yang hitam berombak, matanya jernih tajam—tetapi membiaskan kelembutan. Ia gagah karena bertubuh tinggi, atletis, dan dadanya bidang. Mbeko seorang lelaki tampan dan berwibawa…(WSV : 36-37).

Sifat Mbeko ternyata tidak jauh dari neneknya Bu Sepuh, Mbeko merupakan laki-laki yang memiliki sifat perhatian hal ini ditunjukkannya ketika menolong Mira yang


(46)

pingsan dengan luka ditubuhnya dan membawanya ke rumahnya. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut :

“ Yebo, memang Bang Mbeko yang menolong kakak pertama kali. Yaitu, ketika Bang Mbeko pulang dari gereja, melihat kakak tergeletak di semak-semak dengan kondisi yang mengenaskan. Lalu, Bang Mbeko memanggil muda-mudi sini untuk menolong kakak…,” (WSV : 37).

Selain itu, Mbeko merupakan pemuda yang giat bekerja serta jujur. Dia bekerja di perusahaan minuman sari buah milik Ian Camarro. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut :

Untunglah Ian Camarro mendapat orang-orang yang tepat untuk mengelola usahanya. Salah satunya adalah cucu Bu Sepuh, Mbeko. Meskipun, Mbeko bukanlah pemuda yang brilian, tetapi ia pekerja keras dan jujur. Bagi Ian Camarro, kondisi Mbeko seperti itu lebih dari cukup. Buktinya, kehadiran Mbeko di perusahaannya dapat menjadi salah satu roda penggeraknya (WSV : 194).

5. Totti

Totti merupakan tokoh protagonis dengan kedudukan sebagai tokoh tambahan. Totti merupakan adik Mbeko. Totti digambarkan sebagai gadis remaja yang masih memiliki rasa ingin tahu yang besar, hal tersebut terdapat pada kutipan berikut :

“…Mulder suka ngasih B.H dan celana dalam warna merah jambu, berenda-renda. Celananya, bagian bawahnya, pas vagina…ada jendelanya… ya ada lubangnya, jadi… Mulder dapat dengan mudah menyentuh-nyrntuh vagina maupun clitoris saya… kapan saja ia mau.

“ Woww… hem… hiii… God!” seru Totti melotot, lalu pipinya memerah dan darahnya mendesir disertai getaran pada syaraf-syaraf vaginanya.

“Maaf, apa cerita saya tidak usah saya lanjutkan?” tanya Mira serius, karena melihat reaksi Totti yang tampaknya shock mendengar apa yang ia ceritakan.” Truskan saja. Lanjut! Aku perlu mendengar pengalaman kakak,” tegas Totti (WSV : 54).

Selain ingin tahu, Totti juga masih bersifat kekanak-kanakan yang cenderung pada sifat manja. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut :

“ O… Granny, aku cha… cha… tidak mau kelihatan kampungan di depan Nyonya Julia dan Inkosana Edy Nicholas…,” rengek Totti, “Ayolah bantu aku memilih baju-baju ini,” kaki Totti menghentak-hentak…” (WSV : 169).


(47)

Sifat yang dimiliki Totti juga tidak jauh dari sifat yang dimiliki kakak serta neneknya. Adapun sifat yang dimiliki Totti adalah perhatian hal ini ditunjukkannya dengan keramahannya kepada Mira, perempuan yang baru saja ditolong oleh nenek dan kakaknya. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut :

“Kak Mira! Kak Mira!” seru gadis manis itu sambil menyentuh lagi bahu Mira.

“O, Totti. Good morning! How are you, toh Dik? Good ya?” tanggap Mira, berbahasa Inggris pasar dengan aksen Jawa kental.

“Kakak makin sehat bukan?” tanya Totti kemudian.

“Ya, terima kasih, Dik Totti. Itu atas kebaikan nenekmu dan kamu,”…(WSV : 30-31).

Selain perhatian, Totti juga suka menghibur. Hal ini terlihat pada kutipan berikut:

Totti tersenyum, “O iya. Aku yakin itu,”—ia lalu memeluk Mira sambil berbisik, “Makanya, kakak tidak usah mengingat-ingat lagi hal-hal yang membuat kaka sedih, karena Bapa telah menyelamatkan kakak. Okey? Sekarang kita ngobrol soal lain saja ( WSV : 38-39).

6. Julia

Julia merupakan tokoh protagonis dengan kedudukan sebagai tokoh tambahan. Julia adalah istri dari Ian Camarro, Julia digambarkan sebagai sosok perempuan yang jelita dan anggun. Hal tersebut digambarkan pada kutipan berikut :

“ Contoh itu Nyonya Julia yang tampil alami, toh tampak jelita dan anggun, “ Bu Sepuh menyebut keanggunan Julia, istri Ian Camarro ( WSV : 171).

Selain memiliki fisik yang cantik, Julia juga memiliki hati yang mulia hal tersebut terlihat dari kepedulian sosialnya yang tinggi terhadap orang lain khususnya buat Mira. Hal ini terlihat pada kutipan berikut :

“ Kalau boleh, aku mau kok ikut menangani kasus ini. Perempuan Java itu dipulangkan ke Java setelah lelaki yang menyiksa ditangkap dan dihukum gantung!” (WSV : 131).


(48)

7. Ian Camarro

Ian Camarro merupakan tokoh antagonis dengan kedudukan sebagai tokoh tambahan. Tokoh Ian Camarro juga digolongkan pada tokoh dinamis, karena Ian Camarro pada dasarnya merupakan tokoh yang memiliki sifat yang baik yang ditunjukkan melalui kepeduliannya terhadap orang-orang yang susah, namun tokoh ini kemudian mengalami perubahan watak karena kehadiran Mira, gadis Jawa dari Indonesia yang menyita perhatian istri dan anaknya. Hal ini membuat Ian Camarro menjadi sosok yang kasar, emosional, dan kehilangan kepedulian sosial.

Ian Camarro adalah suami dari Julia. Ian merupakan sosok suami dan ayah yang sangat memperhatikan keluarganya dan pekerja keras. Hal ini terlihat ketika Ian melarang istrinya Julia dan anaknya Nichko yang ingin terlibat jauh pada kasus yang dihadapi Mira. Sebenarnya larangan tersebut merupakan bentuk dari perhatian Ian karena dia takut istri dan anaknya ikut terlibat dalam masalah hukum. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut :

“Hem, aku kan sudah berkali-kali bilang, keluarkan segera perempuan yang bernama Mira dari rumah kita,” Ian Camarro tegas, suaranya menggelegar. “Dengar? Paham?”

Julia terisak-isak. Ian Camarro menyambung kalimatnya dengan kasar, “ You tidak usah menangis begitu. You tidak usah bercengeng-cengeng, serahkan saja urusan Mira itu kepada Mama Sofia. Dan, bilang sama Nicho, dia tidak usah lagi mengurusi kasus Mira. Kalau dia keras kepala, terus mau mengurusi Mira, aku tidak akan mendanai lagi lembaganya. Biar dia mencari dana dari pihak-pihak lain” (WSV : 217).

Dari kutipan tersebut juga telihat bahwa Ian yang tadinya sosok ayah dan suami yang baik berubah menjadi ayah dan suami yang kasar sejak Mira hadir ditengah-tengah kehidupan keluarganya. Ian Camarro sebenarnya memiliki jiwa sosial seperti istri dan anaknya, namun dia enggan mengurus kasus Mira terlalu jauh karena kasus Mira tersebut melibatkan dua negara yang berbeda dan Ian tidak memahami hukum di negara Mira, yaitu Indonesia. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut :


(49)

“Tumben, kau bersikap begitu. Ada apa?” Julia tampak tidak suka. “Tidak apa-apa,” sahut Ian Camarro datar.

“Memangnya kenapa?”

“Biasanya kau care terhadap mereka yang tertindas dan Nicho kau dukung membela mereka yang tertindas, “ papar Julia.

“Ya, tapi untuk orang kita, orang Zulu yang aku tahu hukum adatnya, hukum sipilnya, dan lain-lainnya. Sedangkan kasus perempuan Java ini, aku buta sama sekali. Terus terang, aku tidak mau keluargaku repot mengurusi kasus ini…,” (WSV : 133).

8. Nicho

Nicho merupakan tokoh protagonis dengan kedudukan sebagai tokoh tambahan. Nicho juga digolongkan pada tokoh statis. Nicho adalah anak tunggal dari pasangan Ian Camarro dan Julia. Nicho berprofesi sebagai pengacara dari profesinya ini dia mengabdikan diri untuk membela kaum yang tertindas. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut :

… anak tunggalnya, Eddy Nicholas Camarro tidak tertarik bisnis ayahnya ini, ia lebih tertarik sebagai lawyer, membela kaum lemah (WSV : 193).

Ketertarikannya membela kaum lemah tersebut terlihat ketika Nicho terlibat dalam kasus Mira, walaupun mendapat tentangan dari ayahnya, Nicho tetap membela Mira.

Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut :

“… Tapi, tadi pagi aku mendengar, yang diurus Nicho itu justru lain. Ia mencari lelaki yang menganiaya Mira itu. Padahal aku sudah bilang, itu tidak penting. Bikin repot. Bikin susah…” (WSV : 200).

“ Ya, Mulder sudah mencium usaha kami untuk membekuknya. Jadi, dia ber-action begitu. Dia cukup kreatif untuk menyelamatkan dirinya, karena memang bandit”.

“Papa, kami telah menemukan klik Mulder. Ternyata, dia tidak hanya melakukan kejahatan terhadap Mira, tetapi juga serangkaian penipuan dengan modus operandi memalsukan emas batangan, permata, pembobolan bank, dan penjualan perempuan…” (WSV : 212).

Dari kutipan tersebut terlihat bahwa Nicho berusaha mencari sosok Mulder dan mencari tahu kegiatannya sehingga memudahkan Nicho untuk melaporkan


(50)

4.1.4 TEMA

Mempertanyakan makna sebuah karya sastra berarti memepertanyakan tema. Setiap karya fiksi tentulah mengandung atau menawarkan tema.

Tema merupakan gagasan dasar atau ide pokok yang mendasari seorang pengarang dalam menciptakan karyanya. Suatu kreasi atau suatu karya sastra tidak akan tercipta tapa adanya gagasan yang mendahuluinya. Pengarang memiliki ide dan mengangkat permasalahan kehidupan menjadi tema yang diungkapkan kembali dengan daya imajinasi yang tinggi ke dalam bentuk cerita rekaan ataua fiksi.

Seperti yang dikemukakan oleh Nurgiyantoro (1995 : 25) ‘tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai penglaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu takut, maut, religius, dan sebagainya’.

Jadi, melalui tema tersebut dapat diketahui apa yang menjadi gagasan dasar yang ingin disampaikan seorang pengarang kepada pembacanya yang terdapat dalam sebuah karya fiksi sesuai pengalaman dan pengamatan dengan lingkungan.

Pada dasarnya untuk mengetahui tema dari sebuah karya fiksi tidaklah mudah. Ia haruslah dipahami dan ditafsirkan melalui cerita dan unsur-unsur pembangun cerita (unsur-unsur intrinsik) yang lain karena tema terkadang juga didukung oleh pelukisan latar, dapat tersirat dalam kelakuan tokoh atau penokohan atau bahkan tema dapat pula menjadi faktor pengikat peristiwa-peristiwa dalam suatu latar dan adakalanya tema mampu mempersatukan berbagai unsur yang bersama-sama membangun karya fiksi.

Hal ini senada dengan pendapat Stanton (dalam Nurgiyantoro, 1995 : 70) ‘Tema adalah makna sebuah cerita yang khusus menerangkan sebagian besar


(1)

“kekerasan fisik melibatkan penggunaan alat atau anggota tubuh seperti memukul, menampar, meludahi, menjambak, menendang, menyulut dengan rokok, serta melukai dengan barang atau senjata”.

Kristi (dalam Achie 2000 : 11) menyatakan bahwa “kekerasan fisik merupakan tindakan memukul, menampar, mencekik, menendang, melempar barang ke tubuh korban, menginjak, melukai dengan tangan kosong atau alat/senjata, membunuh”.

Kekerasan fisik dalam ranah domestik dan publik cenderung sama yang membedakan hanya pelakunya saja, jika dalam ranah domestik pelakunya memiliki hubungan dengan korban, maka dalam ranah publik pelaku dan korbannya tidak memiliki hunungan apa-apa.

Kekerasan fisik yang dialami dalam ranah publik terlihat ketika Mira menjadi pelacur, Mira kerap mendapat kekerasan fisik dari laki-laki yang dilayaninya.

Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut :

“…Anu, saya juga pernah dapat laki-laki edan, waktu hubungan intim memukuli saya dan vagina saya disulut rokok segala (WSV : 55).


(2)

Gadis-gadis yang menyaksikan tubuh Mira yang setengah rusak itu tidak bisa berkomentar apa-apa selain menarik nafas berat diiringi cucuran airmata. Apalagi, ketika mereka melihat vagina Mira : wajah vagina yang penuh darah kering maupun darah segar, yang terdiri dari darah merah dan darah putih (WSV : 24-25).


(3)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan

Setelah menganalisis novel Wajah Sebuah Vagina dari berbagai aspek yang mendominasinya, maka pada bab, ini dapat ditarik kesimpulan yang merupakan hasil dari analisis secara keseluruhan. Meskipun analisis yang dilakukan hanya dari

beberapa aspek, namun analisis dari aspek lain masih dapat dilakukan mengingat analisis di bidang Sastra Indonesia masih begitu luas.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari pendekatan struktural terhadap novel Wajah Sebuah Vagina adalah unsur-unsur intrinsik yang membangun novel Wajah Sebuah Vagina karya Naning Pranto meliputi alur, latar, penokohan, dan tema. Keempat unsur intrinsik ini merupakan satu struktur yang terjalin dan berhubungan satu dengan yang lainnya, sehingga dapat membentuk satu kesatuan yang utuh dan tercipta makna karya sastra secara keseluruhan.

Dengan batasan feminisme, yaitu feminisme radikal dapat diketahui bentuk-bentuk ketidakadilan gender terhadap perempuan yaitu, 1) ketidakadilan gender dalam bentuk stereotipe 2) ketidakadilan gender dalam bentuk marginalisasi 3) ketidakadilan gender dalam bentuk kekerasan (violence) 4) ketidakadilan gender dalam bentuk subordinasi dalam pekerjaan, selain bentuk-bentuk ketidakadilan tersebut dalam hal


(4)

5.2 Saran

Setelah membahas dan mendeskripsikan novel Wajah Sebuah Vagina dengan pendekatan struktural, maka semakin jelas bahwa analisis struktural adalah langkah dasar yang harus dilakukan dalam meneliti sebuah karya sastra sebelum meneliti pada wilayah penelitian yang lain.

Membahas novel ini dengan pendekatan feminisme, khususnya feminisme radikal akan memperjelas mengenai bentuk-bentuk ketidakadilan dan jenis-jenis kekerasan yang kerap dialami perempuan di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, diharapkan agar ilmu mengenai feminisme baik feminisme radikal, sosialis, marxis, liberal, dan lainnya dapat lebih didalami, dikembangkan, dan disebarluaskan agar menambah pengetahuan individu khususnya mahasiswa sastra.

Selain dari pendekatan feminisme, novel Wajah Sebuah Vagina ini juga dapat dikaji melalui pendekatan psikologi, yaitu psikologi pada tokoh utama. Namun, karena keterbatasan penulis maka novel tersebut hanya dkaji melalui pendekatan feminisme. Oleh karena itu, disarankan kepada mahasiswa sastra yang mampu mengkaji novel tersebut melalui pendekatan ilmu psikologi atau pendekatan ilmu-ilmu sastra lainnya kiranya dapat membahas novel tersebut melalui bidang ilmu-ilmu psikologi ataupun bidang ilmu sastra lainnya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin, 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru Algensindo.

Fakih, Mansour. 2004. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2008. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang : Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang.

Jabrohim. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta : Hanindita

Grahawidya.

Keraf, Gorys. 1991. Argumentasi dan Narasi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Pusat Bahasa, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Cetakan Ketiga.

Jakarta : Balai Pustaka.

Luhulima, Achie Sudiarti (Ed.). 2000. Pehaman Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya. Bandung : Alumni.

Luxemburg, Jan Van, dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra, terjemahan Dick Hartoko. Jakarta : Gramedia.

Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


(6)

Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan. 2007. Gender dan Inferioritas Perempuan, Praktik Kritik Sastra Feminis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta : Pustaka Jaya.