Analisis Yuridis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Positif Indonesia Sebagai Wujud Hukum Berkeadilan Gender

(1)

ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA

KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM RUMAH

TANGGA MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA

SEBAGAI WUJUD HUKUM BERKEADILAN GENDER

(Studi Putusan Register Nomor. 532/ Pid.B/ 2011/ PN. KBJ)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

THERESIA DELIANA BR TARIGAN

NIM: 080200177

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM RUMAH TANGGA MENURUT HUKUM POSITIF

INDONESIA SEBAGAI WUJUD HUKUM BERKEADILAN GENDER (Studi Putusan Register Nomor : 532/ Pid.B/ 2011/ PN. KBJ)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

THERESIA DELIANA BR TARIGAN NIM: 080200177

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

DR. M. HAMDAN, S.H.,M.H. NIP : 195703261986011001

Pembimbing I Pembimbing II

LIZA ERWINA, S.H.,M.Hum. NURMALAWATY, SH.,M.Hum.

NIP : 196110241989032002 NIP: 19620907198812001 FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmatnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang dilakukan dalam memenuhi syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Sumatera Utara.yang berjudul “ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM RUMAH TANGGA MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA SEBAGAI WUJUD HUKUM BERKEADILAN GENDER (Studi Putusan Register Nomor. 532/ Pid.B/ 2011/ PN. KBJ)”.

Dalam proses penulisan skripsi ini penulis begitu banyak dukungan, bimbingan, bantuan, arahan dan petunjuk dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Unversitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., D.F.M, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum., selaku Pembatu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Muhammad Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen


(4)

Pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan dan memberikan masukan dan pandangan yang berguna kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Ibu Nurmalawaty, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan dan memberikan masukan dan pandangan yang berguna kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Seluruh Staf Tata Usaha dan Staf Administrasi Perpustakaan serta para pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Terkhusus dan teristimewa skripsi ini dipersembahkan untuk kedua orang tua penulis yang tercinta, J. TARIGAN dan B. BR GINTING. Terimakasih untuk doa, semangat, dukungan, kasih sayang yang tak pernah henti-hentinya kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan. Terima kasih juga untuk adikku tercinta DAVID TARIGAN atas semangat dan dukunganmu kepada kakakmu yang bawel ini.

8. Sahabat-sahabatku tercinta “FIVE ANGELS”, Disa Rut Lia Colia, Sri Novita Sebayang, Herry Ardyan, & Tommy Alprianta. Terima kasih untuk dukungan, doa dan semangat kalian. Terimakasih juga untuk segala keceriaan yang kalian bagikan untukku.


(5)

9. Teman-teman Stambuk 2008 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; Bastanta, Minstyn, Ade, Putrinita, Devi Gustina, Eva, Fauzan, Juni, Arif, Efni, Asihot, Yohana, PU, Christy, James, Kufner, dan teman-teman yang lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih sudah menjadi bagian dari sekelumit cerita hidupku di bangku kuliah. Kalian teman-teman yang luar biasa. Terus semangat teman-teman. Perjuangan kita masih panjang.Tak lupa juga teman-teman di kost Komp. Pamen I-14, Okta, Ka monik, Ka Flora, dan teman-teman yang datang dan pergi. Terimakasih sudah menjadi keluarga keduaku disini dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa pembuatan skripsi ini masih jauh dari sempurna oleh karena keterbatasan penulis dalam pengerjaan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran, masukan mupun kritik dari pembaca.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi kita semua. Dan ilmu yang diperoleh oleh penulis dapat penulis terapkan demi kemajuan nusa dan bangsa.

Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Mei 2012 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……… i

DAFTAR ISI……….…... iv

ABSTRAKSI………... vi

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang……… 1

B. Perumusan Masalah……… 3

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan………... 4

D.Keaslian Penulisan……….… 5

E. Tinjauan Pustaka……….….. 5

1. Pengertian Tindak Pidana………... 5

2. Pengertian Kekerasan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga……….….. 10

3. Tinjauan tentang Gender dan Keadilan Gender……….... 13

F. Metode Penulisan……….. 20

G.Sistematika Penulisan……….... 22

BAB II ANALISIS TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DIKAITKAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA DAN KONVENSI PENGHAPUSAN DISKRIMINASI TERHADAP WANITA A.Analisis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan Dikaitkan Dengan Hak Asasi Manusia……….………... 24

B.Analisis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan Dikaitkan Dengan Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita………..………..………. 33

BAB III ANALISIS YURIDIS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA SEBAGAI WUJUD HUKUM YANG BERKEADILAN GENDER A.Analisis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga……… 44


(7)

B. Hak-Hak Bagi Perempuan……….. 56 C. Fakta Kekerasan Dalam Rumah Tangga…..……….61

D. Kebijakan Pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga…...75

BAB IV IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG REPUBLIK

INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

A. Putusan Register Nomor. 532/ Pid.B/ 2011/ PN.KBJ……….……… 87 B. Analisis Kasus Putusan Register Nomor. 532/ Pid.B/ 2011/ PN.

KBJ………113

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………. 120 B. Saran……….. 123


(8)

ABSTRAKSI

Liza Erwina, S.H., M. Hum.* Nurmalawaty, S.H., M. Hum.* * Theresia Deliana Br Tarigan* * *

Kekerasan dalam rumah tangga menjadi isu yang sangat menarik akhir-akhir ini baik di dalam masyarakat, maupun dalam dunia global. Isu ini semakin menarik karena kebanyakan atau sebagian besar korbannya adalah perempuan.hal ini semakin menunjukkan bahwa perempuan semakin sulit untuk mendapatkan persamaan hak dengan pria, khususnya dalam bidang hukum. Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga seakan membawa angin segar bagi perempuan yang rentan dengan kekerasan. Masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kini tidak lagi menjadi masalah privat melainkan masalah publik. Permasalahan yang diambil dalam penelitian ini adalah bagaimana tinjauan tentang tindak pidana kekerasan terhadap perempuan dikaitkan dengan hak asasi manusia dan Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita. Selain itu penelitian ini juga akan menilik bagaimana analisa yuridis tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dalam rangka penegakan hukum yang berkeadilan gender menurut hukum pidana Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan menggunakan data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research), yaitu Peraturan Perundang-undangan, buku-buku, makalah-makalah dan dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa baik deklarasi umum hak asasi manusia maupun Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan telah mengatur bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk tindak pidana dan konvensi tersebut telah membuat suatu rekomendasi sebagai acuan untuk negara-negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut untuk membuat perundang-undangan yang yang berkeadilan gender. Perempuan wajib mendapat perlindungan karena perempuan sangat rentan dengan kekerasan. Oleh karena itu diperlukan penghormatan hak-hak perempuan di seluruh ranah kehidupan agar terhindar dari berbagai bentuk kekerasan termasuk KDRT. Tetapi kenyataan sosial yang terjadi dalam masyarakat bahwa hukum belum dapat melindungi perempuan korban kekerasan terlebih kekerasan dalam rumah tangga karena sarat dengan nilai patriarkal sehingga menciptakan struktur hukum yang tidak berkeadilan gender. Dengan adanya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan putusan pengadilan yang menggunakan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, diharapkan mampu memberikan perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga dalam perwujudan hukum yang berkeadilan gender.

*

Dosen Pembimbing I

* *

Dosen Pembimbing II

* * *


(9)

ABSTRAKSI

Liza Erwina, S.H., M. Hum.* Nurmalawaty, S.H., M. Hum.* * Theresia Deliana Br Tarigan* * *

Kekerasan dalam rumah tangga menjadi isu yang sangat menarik akhir-akhir ini baik di dalam masyarakat, maupun dalam dunia global. Isu ini semakin menarik karena kebanyakan atau sebagian besar korbannya adalah perempuan.hal ini semakin menunjukkan bahwa perempuan semakin sulit untuk mendapatkan persamaan hak dengan pria, khususnya dalam bidang hukum. Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga seakan membawa angin segar bagi perempuan yang rentan dengan kekerasan. Masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kini tidak lagi menjadi masalah privat melainkan masalah publik. Permasalahan yang diambil dalam penelitian ini adalah bagaimana tinjauan tentang tindak pidana kekerasan terhadap perempuan dikaitkan dengan hak asasi manusia dan Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita. Selain itu penelitian ini juga akan menilik bagaimana analisa yuridis tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dalam rangka penegakan hukum yang berkeadilan gender menurut hukum pidana Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan menggunakan data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research), yaitu Peraturan Perundang-undangan, buku-buku, makalah-makalah dan dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa baik deklarasi umum hak asasi manusia maupun Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan telah mengatur bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk tindak pidana dan konvensi tersebut telah membuat suatu rekomendasi sebagai acuan untuk negara-negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut untuk membuat perundang-undangan yang yang berkeadilan gender. Perempuan wajib mendapat perlindungan karena perempuan sangat rentan dengan kekerasan. Oleh karena itu diperlukan penghormatan hak-hak perempuan di seluruh ranah kehidupan agar terhindar dari berbagai bentuk kekerasan termasuk KDRT. Tetapi kenyataan sosial yang terjadi dalam masyarakat bahwa hukum belum dapat melindungi perempuan korban kekerasan terlebih kekerasan dalam rumah tangga karena sarat dengan nilai patriarkal sehingga menciptakan struktur hukum yang tidak berkeadilan gender. Dengan adanya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan putusan pengadilan yang menggunakan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, diharapkan mampu memberikan perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga dalam perwujudan hukum yang berkeadilan gender.

*

Dosen Pembimbing I

* *

Dosen Pembimbing II

* * *


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan, sejak lahir telah diberikan hak yang sudah melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dilindungi oleh Negara, hukum dan Pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia . Salah satu hak yang didapat manusia itu adalah hak untuk mendapat rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan dalam rumah tangga, dimana hal tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang sudah selayaknya harus dihapus.1

Dewasa ini banyak kasus tentang kekerasan dalam rumah tangga yang dapat kita lihat. Sebagai contoh, seorang suami dilaporkan oleh isterinya ke Polisi karena sang suami acap kali memukul dirinya, atau karena kesal terhadap sang suami, seorang isteri akhirnya melampiaskan kemarahannya dengan memukuli anaknya hingga babak belur.

Perempuan dan anak perempuan rentan terhadap perlakuan diskriminatif dan kekerasan. Bila bicara tentang kekerasan dalam rumah tangga, perempuan bahkan mengalami tindak kekerasan dalam rumahnya sendiri. Hampir sulit dipercaya bahwa pelaku kekerasan adalah orang yang justru dicintainya dan

1

Konsiderans Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Rumah Tangga.


(11)

dipercaya untuk menjaganya seperti ayah, suami, kerabat dan orang-orang di dalam rumahnya sendiri.

Oleh karena kebanyakan korban adalah perempuan, maka perempuan sudah selayaknya harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. Perempuan adalah mahluk yang halus perasaannya sehingga sangat rentan untuk menjadi korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini diperkuat lagi dengan sistem kekerabatan yang dianut oleh sebagian besar suku di Indonesia yaitu patrilineal yang mengharuskan perempuan untuk selalu tunduk kepada laki-laki. Ketentuan hukum mengenai penghapusan segala bentuk kekerasan dan perlindungan akan korban sudah dapat dikatakan cukup untuk menjerat pelaku ke ranah hukum namun keengganan korban untuk melaporkan kekerasan rumah tangga yang terjadi karena dianggap mempertontonkan aibnya sendiri mengangkat masalah pribadi ke ranah publik sehingga masalah keluarga dapat diketahui oleh orang banyak membuat kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga ini seolah-olah seperti bongkahan es yang tidak pernah mencair.

Kepekaan terhadap permasalahan KDRT termasuk kepekaan gender terhadap diri korban masih belum dihayati secara proporsional. Sehingga, harapan besar korban menjadi pupus dan harus menanggung kekecewaan yang cukup berat manakala kasus yang dilaporkannya tidak mendapatkan kepastian hukum dalam prosesnya, hanya karena aparat penegak hukum meyakini bahwa persoalan KDRT adalah bukan permasalahan publik melainkan sebagai permasalahan


(12)

internal keluarga. Kenyataan bahwa perempuan selalu saja menjadi korban utama membuat seolah-olah tidak ada keadilan gender bagi perempuan.

Hal inilah yang mendasari penulis, untuk mengangkat permasalahan ini ke dalam skripsi ini sebagai bentuk perlindungan kepada wanita mengingat bahwa wanita selalu saja berada di pihak yang lemah dan selalu saja menjadi korban. Selain itu, hal ini merupakan bentuk perlindungan terhadap hak asasi manusia mengingat semua orang memiliki hak untuk merdeka dan bebas dari kekerasan baik secara psikis dan fisik.

Hal-hal tersebut diatas merupakan alasan penulis mengangkat judul ”Analisis Yuridis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Positif Indonesia Sebagai Wujud Hukum Berkeadilan Gender (Studi Putusan Nomor. 532/ Pid.B/ 2011/ PN. KBJ) ”.

B. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini adalah :

1. Bagaimana analisis tindak pidana kekerasan terhadap perempuan dikaitkan dengan hak asasi manusia dan konvensi penghapusan diskriminasi terhadap wanita?

2. Bagaimana analisis yuridis Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai wujud hukum yang berkeadilan gender?

3. Bagaimana implementasi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Putusan Register Nomor 532/Pid.B/2011/PN KBJ?


(13)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui analisis tindak pidana kekerasan terhadap perempuan dikaitkan dengan hak asasi manusia dan konvensi penghapusan diskriminasi terhadap wanita.

2. Untuk mengetahui analisis yuridis Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai wujud hukum yang berkeadilan gender.

3. Untuk mengetahui implementasi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Putusan Register Nomor 532/Pid.B/2011/PN KBJ

Disamping tujuan yang akan dicapai sebagaimana yang dikemukakan diatas, maka penulisan skripsi ini juga bermanfaat untuk:

1. Manfaat Secara Teoritis

Yaitu untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum, khususnya hukum pidana. Selain itu, memberikan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai peraturan perundang-undangan yang ada yang dimaksudkan untuk melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga dimana sebagian besar korbannya adalah perempuan.

2. Manfaat Secara Praktis

Yaitu untuk mengetahui tindak nyata apa yang dilakukan oleh pemerintah, aparat terkait dan masyarakat untuk melindungi hak-hak wanita dalam


(14)

penegakan hak asasi manusia sebagai wujud hukum yang berkeadilan gender.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan Skripsi yang berjudul ” Analisa Yuridis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Positif Indonesia Sebagai Wujud Hukum Berkeadilan Gender (Studi Putusan Nomor. 532/ Pid.B/ 2011/ PN. KBJ)” adalah hasil pemikiran penulis sendiri. Skripsi ini menurut sepengetahuan penulis belum pernah ada yang membuat. Kalaupun ada, penulis yakin bahwa substansi pembahasannya berbeda. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Tindak Pidana (Strafbaarfeit)

Sebelum penulis memaparkan apa yang dimaksud dengan tindak pidana, maka terlebih dahulu kita melihat beberapa istilah yang sering digunakan dalam hukum pidana adalah “Tindak Pidana”. Istilah tersebut merupakan terjemahan Bahasa Belanda, yaitu Delict, atau Straftbaar feit. Disamping itu dalam Bahasa Indonesia sebagai terjemahannya telah dipakai istilah lain, baik dalam buku ataupun di dalam aturan tertulis, misalnya peristiwa pidana, perbuatan pidana, pelanggaran pidana, perkataan yang dapat dihukum. Jadi dalam bahasa Indonesia, untuk terjemahan Delict adalah keenam peristiwa diatas, termasuk tindak pidana.

Menurut M. Sudrajat, yang paling tepat digunakan adalah istilah “tindak pidana” karena gaya bahasa tersebut selain mengandung istilah yang tepat dan jelas sebagai istilah hukum, juga sangat praktis diucapkan. Selain itu, pemerintah


(15)

dalam berbagai peraturan perundang-undangan memakai istilah “tindak pidana”, contohnya Tindak Pidana Khusus.2

Menurut Moeljatno, di dalam mengkaji penerapan dan perkembangan teori dualistis, yakni teori yang memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Teori ini berpangkal tolak dari pemidanaan bahwa unsur pembentuk tindak pidana hanyalah perbuatan. Dengan demikian dilihat dari istilahnya, hanya sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana. Sedangkan sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana tersebut menjadi bagian dari persoalan lain yaitu pertanggungjawaban pidana.3

Menurut Moeljatno (dalam hal ini Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana), perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.4 Moeljatno menambahkan bahwa perbuatan pidana dapat juga dikatakan adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pidana itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh perbuatan seseorang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Menurut Moeljatno5

2

Sudrajat.1986. Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP. Jakarta: Remadja Karya, Hal 1.

, antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena itu ada hubungan yang erat pula. Antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkan

3

Moeljatno. 1983. Perbuatan Pertanggungjawaban dan Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara, Hal 10.

4

Ibid.

5


(16)

(subjeknya) bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana apabila ia tidak melakukan suatu perbuatan atau kejadian yang diancam oleh hukum. Moeljatno berpendapat bahwa untuk menyatakan hubungan yang erat itu maka dipakailah kata “perbuatan’, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan konkrit, yaitu : pertama, adanya kejadian yang tertentu dan yang kedua, orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.6

Pembentuk Undang-undang menggunakan perkataan “strafbaarfeit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” di dalam Kitab Undang-Undang Hukum pidana (KUHP) tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan ‘strafbaarfeit’ tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari terdapat banyak istilah untuk menyatakan tindak pidana. Diantaranya delik, criminal act, peristiwa pidana, dan sebagainya.

Perkataan ”feit” itu sendiri dalam Bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” sedangkan “strafbaarfeit” berarti “sesuatu yang dapat dihukum”. Hal ini dapat dinyatakan merupakan hal yang kurang tepat karena seperti yang kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi, bukan kenyataan, perbuatan, ataupun tindakan.

Seperti yang telah diutarakan diatas, maka pembentuk undang-undang tidak memberikan penjelasan tentang apa itu sebenarnya tindak pidana. Oleh karena itu timbullah beberapa doktrin tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan tindak pidana (strafbaarfeit) itu.

6


(17)

Menurut HAZEWINKEL- SURINGA, “strafbaarfeit” sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya. Berbeda dengan Profesor van HAMEL yang merumuskan “strafbaarfeit” sebagai suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain yang oleh HAZEWINKEL-SURINGA telah dianggap kurang tepat.7

Menurut POMPE, perkataan “strafbaarfeit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. Selanjutnya POMPE menyatakan bahwa menurut hukum pidana, suatu “strafbaarfeit” itu sebenarnya tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.8

SIMONS telah merumuskan “strafbaarfeit” itu sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. SIMONS merumuskan “strafbaarfeit” seperti pengertian diatas karena :

7

, P.A.F Lamintang. 1997. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, hal 181-182.

8


(18)

a. Untuk adanya suatu “strafbaarfeit” itu disyaratkan bahwa disitu harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang-undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum;

b. Agar suatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan di dalam undang-undang, dan;

c. Setiap “strafbaarfeit” sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu pada hakikatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu “onrechtmatige handeling”.9

Untuk pengertian tindak pidana ini merupakan masalah yang pokok dalam ilmu hukum pidana yang telah banyak dibicarakan oleh para sarjana, antara lain:

a. VOS: Peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang di dapat dipidana oleh Undang-undang.

b. Wirjono Prodjodikoro: Tindak pidana adalahsuatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana.10

c. Chairul Huda: Tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya akan dilekatkan sanksi pidana.

9

Ibid, hal 185. 10

Adami Chazawi.2008. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Stelsel Pidana, tindaka Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Hlm 75.


(19)

d. H.J. van Schravendijk, merumuskan perbuatan yang boleh dihukum adalah kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh seorang yang karena itu dapat dipersalahkan.

e. J.E. Jonkers, yang merumuskan peristiwa pidana ialah perbutan yang melawan hukum yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.11

Bahwa menurut wujud dan sifat-sifat perbuatan pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum masyarakat, bertentangan atau menghambat tata dalam pergauan masyarakat yang dianggap baik dan adil.

2. Pengertian Kekerasan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Sebelum menguraikan pengertian tentang kekerasan dalam rumah tangga, terlebih dahulu dijelaskan beberapa defenisi tentang kekerasan. Kata “kekerasan” bukan merupakan hal yang asing lagi di telinga kita dan kadang orang hanya memandang bahwa kekerasan itu hanya terbatas pada tindakan fisik saja. Sejarah mencatat bahwa sejak adanya manusia di muka bumi ini, kekerasan sudah ada. Kata “kekerasan” merupakan terjemahan dari Bahasa Latin, yaitu

violentia, yang berarti kekerasan; keganasan: kehebatan; kesengitan; kebengisan; kedahsyatan; kegarangan; aniaya. Dalam literatur Amerika ada beberapa kata untuk pengertian “kekerasan” misalnya tort, battery, dan assault. Tort is a wrongful injury to a person’s property. Tort yang dilakukan dengan sengaja

11 Ibid.


(20)

disebut dengan “assault” sedangkan tort yang dilakukan karena suatu kelalaian disebut dengan “battery”.

Black’s Law Dictionary memberikan pengertian kekerasan sebagai berikut :

Assalut are any willful attempt or threat ato inflict injury upon the person of another, any intentional display of force such as would give the victim reason to fear or expect immediate bodily harm; an assault may be commited without actnally touching or stringking or doing bodily harm to person or another.12

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti “kekerasan” adalah:

(Kesengajaan yang mengakibatkan penderitaan bagi orang lain atau pihak lain; kesengajaan yang menunjukkan suatu kekuatan misalnya membuat korban ketakutan dan merasa akan mendapat kerusakan tubuh; kesengajaan ini dapat dilakukan tanpa kontak fisik atau melakukan suatu perbuatan yang merusak bagian tubuh kepada orang lain atau pihak lain).

1) Perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.

2) Paksaan13

Menurut Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, kekerasan adalah perihal atau sifat keras, paksaan, perbuatan yang menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Sedangkan menurut Kamus Webster mendefinisikan kekerasan sebagai penggunaan kekuatan fisik untuk melukai atau menganiaya, perlakuan atau prosedur yang kasar serta keras. Dilukai oleh orang atau terluka dikarenakan penyimpangan, pelanggaran atau perkataan tidak senonoh/kejam. Sesuatu yang kuat, bergejolak atau hebat dan cenderung menghancurkan attau memaksa.

12

Henry Campbell Black. Black’s Law Dictionary, with pronounciation, fifth edition,1983, St Paul Minn West Publishing Co.,USA.

13

W.J.S. Poerwadarminta. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. PN Balai Pustaka: Jakarta.


(21)

Perasaan atau ekspresi yang berapi-api, juga termasuk hal-hal yang timbul dari aksi atau perassaan tersebut suatu bentrokan atau kerusuhan.

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan Dalam Rumah Tangga, bahwa yang dimaksud dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah Kekerasan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Menurut Nettler, bahwa kejahatan kekerasan (violent crime) adalah suatu peristiwa seseorang dengan sengaja melukai fisik atau mengancam untuk melaukan tindakan kekerasan kepada orang lain, baik dalam bentuk penganiayaan, perampokan, perkosaan, pembunuhan maupun intimidasi lainnya.14

Soerjono Soekanto mendefenisikan kejahatan kekerasan (violence)

sebagai istilah yang dipergunakan bagi terjadinya cedera mental atau fisik, yang merupakann bagian dari proses kekerasan yang kadang-kadang diperbolehkan, sehingga jarang disebut sebagai kekerasan. Masyarakat biasanya membuat kategori-kategori tertentu mengenai tingkah laku yang dianggap keras atau tidak. Semakin sedikit terjadinya kekerasan dalam suatu masyarakat, semakin besar kekhawatiran yang ada bila itu terjadi.15

14

Soerdjono, Soekanto dan Pudji Santoso. 1985. Kamus Kriminlogi. Ghalia Indonesia:Jakarta, hal 104.

15 Ibid.


(22)

Dalam literatur Barat pada umumnya istilah kekerasan dalam rumah tangga dipergunakan secara bervariasi, misalnya domestic violence, family violence, wife abuse, marital violence, namun intinya menyamakan bahwa tindak pidana kekerasan selalu dialami oleh perempuan sebagai korban, seperti tindakan pemukulan, penamparan, penyiksaan, penganiayaan, ataupun pelemparan barang-barang kepada korban.

3. Tinjauan Tentang Gender dan Keadilan Gender

Kesamaan perempuan dan laki-laki di Indonesia mulai dengan dikumandangkannya gerakan emansipasi wanita oleh R.A Kartini pada masa penjajahan Belanda, dimana ia menginginkan agar tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam mengeyam pendidikan. Hal ini semakin terlihat dengan tulisannya yang terkenal dengan Habis Gelap Terbitlah Terang.

Gender dibangun oleh masyarakat untuk mengatur hubungan laki-laki dan perempuan dalam wujud peran hak, tanggung jawab, dan kewajiban-kewajiban yang disosialisasikan atau diajarkan kepada laki-laki dan perempuan sejak lahir, melalui keluarga, masyarakat bahkan negara.

Nilai-nilai sosial, aspek budaya dan faktor struktural akan mempengaruhi sosialisasi gender yang dibangun oleh masyarakat. Nilai-nilai sosial yang merupakan suatu penilaian terhadap tingkah laku sosial laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, misalnya perempuan dinilai sebagai sosok yang lembut dan cenderung mengalah. Setelah dewasa tujuan akhirnya mempunyai suami, mengasuh anak dan melayani suami. Keadaan ini tidak saja berpengaruh pada perkembangan emosi, tetapi juga mempengaruhi perkembangan fisik. Selain itu,


(23)

perempuan dilukiskan sebagai sosok mahluk yang lemah, sehingga menempatkannya sebagai objek untuk suatu tindak kekerasan.

Sementara itu, konstruksi gender laki-laki harus bersifat paling kuat, paling diutamakan dalam keluarga dan sosok yang tidak mampu membendung nafsu seksualitasnya. Perbedaan inilah yang menimbulkan kerugian dan ketidak adilan yang dialami perempuan.

Pembahasan mengenai gender, tidak terlepas dari seks dan kodrat. Seks, kodrat dan gender mempunyai kaitan yang erat tetapi mempunyai pengertian yang berbeda. Dalam kaitannya dengan peranan pria dan wanita dalam masyarakat, pengertian dari ketiga konsep tersebut sering disalahartikan. Untuk itu kita perlu memahami satu persatu mengenai hal tersebut.

Istilah seks dapat diartikan kelamin secara biologis, yakni alat kelamin pria (penis) dan alat kelamin wanita (vagina). Sejak lahir sampai meninggal dunia, pria akan tetap berjenis kelamin pria dan wanita akan tetap berjenis kelamin wanita (kecuali dioperasi untuk berganti jenis kelamin). Jenis kelamin tidak dapat ditukarkan antara pria dan wanita.

Kodrat merupakan sifat bawaan biologis sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak dapat berubah sepanjang masa dan tidak dapat ditukarkan yang melekat pada pria dan wanita. Konsekuensi dari anugerah itu, manusia yang berjenis kelamin wanita diberikan peran kodrati yang berbeda dengan manusia yang berjenis kelamin pria. Wanita diberikan kodrati seperti: menstruasi, mengandung, melahirkan, menyusui dengan air susu ibu, dan mengalami


(24)

menopause. Sedangkan pria diberi peran kodrati untuk membuahi sel telur wanita. Jadi, peran kodrati pria dan wanita berkaitan erat dengan jenis kelamin.

Gender berasal dari “gender” (bahasa Inggris) yang diartikan sebagai jenis kelamin. Namun jenis kelamin disini bukan diartikan seks secara biologis, melainkan sosial budaya dan psikologis. Pada prinsipnya konsep gender memfokuskan perbedaan antara pria dengan wanita yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan norma sosial dan nilai sosial budaya masyarakat yang bersangkutan. Peran gender adalah peran sosial yang tidak ditentukan oleh jenis kelamin seperti halnya peran kodrati. Oleh karena itu pembagian peranan antara peran pria dan wanita dapat berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain sesuai dengan lingkungan.16

Contoh peran gender berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain sebagai berikut :

Peran gender juga dapat berubah masa ke masa karena pengaruh perkembangan zaman, kemajuan pendidikan teknologi, ekonomi, dan lain-lain. Hal itu berarti peran gender dapat ditukarkan antara pria dengan wanita.

1. Masyarakat Bali, Masyarakat Batak misalnya menganut sistem kekerabatan patrilineal, yang berarti hubungan keluarga dengan garis pria (ayah) lebih penting atau diutamakan daripada hubungan keluarga dengan garis keibuannya.

16

Maria Kaban.2011. Kesetaraan Perempuan dalam Pengambilan Keputusan. Medan: Pustaka Bangsa Press, hal 15-16.


(25)

2. Masyarakat Sumatera Barat menganut sistem kekerabatan matrilineal yang berarti hubungan keluarga dengan garis wanita ( ibu) lebih penting daripada hubungan keluarga dengan garis ayah.

3. Masyarakat Jawa yang menganut sistem kekerabatan parental/ bilateral, dimana hubungan keluarga dengan garis pria dan wanita adalah sama pentingnya.

Kata gender memang semakin populer di kalangan masyarakat saat ini. Hal ini semakin terlihat dengan banyaknya para aktivis perempuan yang semakin mendengung-dengungkan adanya kesetaraan gender antara laiki-laki dan perempuan.

Gender dipahami dengan cukup bervariasi. Bisa dikatakan demikian karena dalam realitas sosial memang kata gender ini banyak yang lari dari konsep. Sebagai contoh adalah ketika orang menyebutkan gender, maka konotasi yang muncul adalah perempuan. Ada juga yang memahami gender itu sebagai jenis kelamin sebagaimana yang dimaknai dalam kamus Bahasa Inggris.

Sebenarnya gender bukanlah perempuan dan bukan pula jenis kelamin, tetapi yang dimaksud dengan gender adalah sebuah konstruksi budaya yang dibangun oleh masyarakat. Gender dapat berubah dalam kurun waktu dan tempat. Gender bukan kodrat yang berlangsung secara lahir.17

17

Ibid, hal 22.

Definisi gender dapat dilihat secara lugas di dalam Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender, dimana dikatakan bahwa gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasilkonstruksi sosial


(26)

budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.

Kosakata gender pertama sekali disinggung oleh Ann Oakley (1972) untuk membedakan seks (jenis kelamin) secara biologis dan realitas konstruksi sosial budaya atau seks laki-laki dan perempuan. Menurut Oakley, dalam “Sex, Gender and Society”merumuskan gender adalah “pembedaan jenis kelamin yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan, juga merupakan tingkah laku (behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh masyarakat (social constructed) melalui proses sosial budaya yang panjang.18

Menurut Brett, gender adalah sekumpulan nilai atau ketentuan yang membedakan identitas sosial laki- laki dan perempuan, serta apa yang harus dilakukan oleh perempuan dan apa yang harus dilakukan oleh laki- laki dalam hal ekonomi, politik, sosial dan budaya baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan bangsa.19

Dalam pandangan Julia Cleves Mosse, gender adalah seperangkat peran yang seperti halnya kostum dan topeng di teater yang menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminim dan maskulin. Perangkat khusus ini yang mencakup penampilan, pakaian, sikap dan kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggungjawab keluarga secara bersama-sama

18

Fakih Mansour. 1999. Analisa Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar: Yogyakarta, hal 71.

19


(27)

memoles “peran gender” kita.20 Caplan dalam The Construction of Sexualitas,

menegaskan bahwa “perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan tidaklah sekedar biologis namun melalui proses sosial kultural”.21

Gender adalah pembagian peran, kedudukan dan tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas menurut norma-norma, adat istiadat, kepercayaan atau kebiasaan masyarakat, misalnya tugas utama laki-laki mengelola kebun, tugas perempuan hanya membantu.22

Masyarakatlah yang menciptakan perbedaan peran dan tanggung jawab, misalnya di suku Batak ada perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Jadi hal ini dibuat oleh manusia, tidak bersifat kodrati, artinya bahwa di dalam gender biasa terjadi yang namanya bertukar peran dan tanggungjawab.

Gender merupakan perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat serta tanggungjawab laki-laki dan perempuan sehingga gender belum tentu sama di tempat yang berbeda dan dapat berubah dari waktu ke waktu. Perlu ditegaskan kembali bahwa gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan. Oleh karena itu, gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka berada.

20

Julian Cleves Mosse. 1996. Gender dan Pembangunan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta, hal 3.

21

Fakih Mansour.1999. Op.Cit,hal 72. 22

Rianingsih Djohani. 1996. Dimensi Gender dalam Pembangunan Program secara Partisipatif. Studio Driya Media : Bandung, hal 7.


(28)

Berkaitan dengan gender, dikenal ada tiga jenis peran gender sebagai berikut:

1. Peran produktif adalah peran yang dilakukan oleh seseorang menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa, baik untuk dikonsumsi maupun diperdagangkan. Peran ini sering disebut dengan peran di sektor publik.

2. Peran reproduktif adalah peran yang dijalankan oleh seseorang untuk kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan sumberdaya manusia dan pekerjaan urusan rumah tangga, seperti mengasuh anak, memasak, mencuci, dan lain-lain. Peran reproduktif ini disebut juga peran di sektor domestik.

3. Peran sosial adalah peran yang dilaksanakan oleh seseorang untuk berpartisipasi di dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti gotong royong dalam menyelesaikan beragam pekerjaan yang menyangkut kepentingan bersama.23

Berbicara mengenai gender, maka bahan pembicaraan tidak akan lepas dari pokok permasalahan kesetaraan dan keadilan gender. Namun, sampai saat ini belum ditemukan pengertian yang lugas mengenai kesetraan dan keadilan gender dikarenakan mengandung pengertian yang masih abstrak. Namun hal tersebut tidak menyurutkan keinginan untuk membuat peraturan perundang-undangan demi perwujudan kesetraan dan keadilan gender. Hal ini ditandai dengan lahirnya suatu peraturan perundang-undangan yang berbasis gender sebagai bentuk

23


(29)

perlindungan akan perempuan.Namun walaupun demikian, Rancangan Undang-Undang ini digodok oleh DPR dan belum resmi menjadi peraturan yang mengikat. Selain itu, masih banyak ditemukannya pertentangan tentang RUU ini karena dianggap membuat posisi perempuan menjadi tidak tunduk pada laki-laki (yang menurut anggapan sebagian pihak yang menolak begitu). Menurut Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender, kesetraan gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan. Sementara itu, keadilan gender adalah suatu keadaan dan perlakuan yang menggambarkan adanya persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat dan warga Negara.

F. Metode Penulisan

Metode penulisan merupakan cara untuk mencapai suatu tujuan. Sehubungan dengan itu, dalam penerapannya ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian skripsi ini menggunakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum dan sinkronisasi hukum dengan cara meneliti aturan, norma-norma hukum yang berkaitan dengan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pengahapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.


(30)

Sumber data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder, yakni data yang tidak diperoleh secara langsung dari lapangan namun diperoleh dari studi pustaka yang meliputi bahan dokumentasi, tulisan ilmiah dan berbagai sumber tulisan yang lainnya. Data Sekunder dibagi menjadi tiga, yaitu :

a. Bahan Hukum Primer

Yaitu data-data berupa dokumen peraturan yang bersifat mengikat, asli dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Bahan hukum primer penulisan skripsi ini diantaranya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pengahapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, dan lain sebagainya.

b. Bahan HukumSekunder

Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian mengenai masalah penghapusan kekerasan dalam rumah tangga seperti makalah, seminar, jurnal, karya ilmiah, koran, karya tulis dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan diatas.

c. Bahan HukumTertier

Yaitu semua dokumen yang berisikan konsep-konsep ddan keterangan-keterangan otentik yang bersifat mendukung data primer dan data sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.


(31)

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah Library Research (penelitian kepustakaan), yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan, yakni buku-buku, pendapat sarjana, artikel, surat kabar/koran, internet dan media massa yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.

4. Analisis Data

Dalam penulisan ini, analisis data yang digunakan adalah dengan cara kualitatif, karena dalam melakukan analisis data ini berpedoman pada tipe dan tujuan yang akan dilakukan. Prosedur logika dimulai dari pengumpulan hukum positif yang relevan dengan sasaran penelitian. Selanjutnya dilakukan proses abstraksi dari kaidah-kaidah hukum positif tersebut sehinnga ditemukan sebuah pemikiran yang lebih umum, luas dan abstrak.

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah maka pembahasannya harus dilakukan secara sistematis. Untuk memudahkan penulisan skripsi ini maka diperlukan adanya sistem penulisan sistematika yang terartur, yang terbagi dalam bab per bab yang saling berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika penuliisan skripsi ini adalahh sebagai berikut :

BAB I : Bab ini berisikan Pendahuluan dimana penulis menguraikan latar belakang penulis memilih judul, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.


(32)

BAB II : Bab ini berisikan analisis tindak pidana kekerasan terhadap perempuan dikaitkan dengan hak asasi manusia dan tinjauan tentang tindak pidana kekerasan terhadap perempuan dikaitkan konvensi penghapusan diskriminasi terhadap wanita, dimana kemudian akan dibahas satu per satu.

BAB III : Bab ini akan membahas tentang analisis yuridis Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai wujud hukum yang berkeadilan gender. Dalam bab ini akan dibahas mengenai perempuan yang rentan dengan kekerasan, hak-hak perempuan, dan kebijakan pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.

BAB IV : Bab ini akan membahas tentang implementasi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam bab ini akan dibahas mengenai fakta kekerasan terhadap rumah tangga, serta analisa putusan Register Nomor. 532/ Pid.B/ 2011/ PN. KBJ.

BAB V : Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dari bab-bab terdahulu serta berisi saran akan realita kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi saat ini.


(33)

BAB II

ANALISIS TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP

PEREMPUAN DIKAITKAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA

DAN KONVENSI PENGHAPUSAN DISKRIMINASI

TERHADAP WANITA

A. Analisis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan Dikaitkan Dengan Hak Asasi Manusia

Sesungguhnya Hak Asasi Manusia lahir bersama-sama dengan manusia itu sendiri, artinya bahwa sejak kelahiran seorang manusia maka muncul juga permasalahan tentang Hak Asasi Manusia.24

terkutuklah engkau terbuang jauh dari tanah yang mengangakan mulutnya untuk menerima darah adikmu itu dari tanganmu. Jika engkau mengusahakan tanah itu, maka tanah itu tidak akan memberikan hasil sepenuhnya lagi kepadamu. Engkau akan menjadi seorang pelarian dari pengembara di bumi” (Kejadian 4: 9-14).

Kitab Perjanjian Lama (Genesis)

menceritakan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia pertama ketika Kain membunuh adiknya Habil karena rasa cemburu. Disebabkan perbuatannya itu,Tuhan lalu mengutuk kain dan mengatakan:

Pengertian dasar Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu kodrati, melekat, universal, tidak dapat dibagi, tidak dapat dicabut. Manusia di hadapan Tuhan Yang Maha Esa adalah sama, sederajat, tidak dibedakan asal usul keturunan, bangsa, warna kulit, jenis kelamin, dan kedudukannya di masyarakat.

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum,

24

Darwin Prints. 2001. Sosialisasi & Diseminasi Penegakan Hak Asasi Manusia. PT Citra Aditya Bakti: Bandung, Hal 1.


(34)

pemerintah dan setiap orang demi kehornatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Menurut Jan Materson seperti yang dikutip oleh Lopa25 , mengartikan Hak Asasi Manusia sebagai hak yang melekat pada manusia, yang tanpa dengannya manusia mustahil hidup sebagai manusia (“Human right which are inheren in our nature without which we can not live as a human being”). Sementara itu, menurut Lopa, manusia disamping memiliki hak, juga harus bertanggungjawab atas segala yang dilakukannya.26

Manusia memiliki hak-hak yang sama. Setiap hak melahirkan kewajiban. Dengan demikian, setiap melaksanakan kewajiban, manusia memperoleh haknya. Pelaksanaan hak dan kewajiban yang seimbang akan melahirkan manusia yang saling menghargai dan menghormati.

Hak Asasi adalah hak dasar atau hak pokok yang dimiliki manusia sejak lahir sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia yang dinikmati sekarang ini, mempunyai rangkaian sejarah perjuangan yang panjang dan lama dari sudut usaha manusia untuk menikmati kebebasan. Secara historis didapatkan data-data perjuangan yang bersumber dari Eropa Barat dan Inggris Raya, karena di Negara-Negara itulah mula-mula orang merasakan harga diri sebagai manusia, karena hebatnya pengekangan dan penghinaan yang merendahkan martabat manusia oleh kekuasaan yang sewenang-wenang dari raja-raja yang absolut.27

25

Abdul Rahman dan Rosmi Hasibuan. 2009. Diktat Hukum Hak Asasi Manusia.

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. 26

Ibid.

27


(35)

Hak Asasi perlu ditegakkan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam kehidupan bernegara. Tegak runtuhnya hak asasi manusia berawal dari si pembawa hak. Selain itu harus dimengerti bahwa hakikat harga diri manusia secara kodrat adalah sama, yaitu sebagai mahluk Tuhan yang Maha Esa.

Hak Asasi Manusia merupakan anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dihormati dan dijunjung tinggi demi harkat dan martabat manusia. Hak Asasi Manusia bukan hal yang asing lagi bagi bangsa Indonesia. Perjuangan melepaskan diri dari belenggu penjajahan selama berabad-abad lamanya adalah perjuangan untuk meraih kemerdekaan sebagai perwujudan Hak Asasi Manusia yang paling mendasar. Komitmen Indonesia dalam penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia di seluruh wilayah Indonesia bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dirumuskan sebelum dicanangkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1958. Disamping itu keanekaragaman nilai-nilai agama dan budaya bangsa Indonesia menjadi pertimbangan dalam upaya penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia.

Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari diri manusia, yang harus dilindungi, dihormati, ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan dan kecerdasan serta keadilan. Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dengan sederajat serta dikarunia akal dan hati nurani


(36)

untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraan. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tanpa diskriminasi.

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan dalam keadaan apapun.

Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum Internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima Negara Republik Indonesia menjadi hukum nasional karena perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia menjadi tanggung jawab pemerintah.

Sebelum terbentuknya DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia), secara historis sudah ada beberapa ketentuan yang mengatur mengenai HAM, antara lain :

a. Piagam Madina (622 SM)

Berisi tentang fundamental HAM dalam Islam yang telah dirumuskan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam Piagam Madina, nilai yang hidup dalam versi Islam sebagaimana ditegaskan dalam Piagam Madina tersebut adalah :


(37)

a. Pengakuan adanya hak hidup b. Hak kemerdekaan

c. Hak persamaan d. Hak keadilan

e. Hak perlindungan hukum

f. Hak perlindungan dari kezaliman penguasa g. Hak perlindungan dari penyiksaan

h. Hak untuk berlindung

i. Hak untuk melaksanakan kerjasama dalam kehidupan sosial j. Hak minoritas

k. Hak kebebasan berpikir dan berbicara l. Hak ekonomi

b. Magna Charta, Inggris (1215 M)

Tonggak pertama kemenangan kebangkitan penegakan Hak Asasi Manusia dalam pandangan Barat, mengatur hal-hal :

a. Kekuasaan raja harus dibatasi dalam hal ini artinya bahwa raja tidak kebal hukum dan harus bertanggung jawab pada rakyat.

b. Hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja.

c. Tidak ada seorangpun warga Negara yang merdeka dapat ditekan atau dirampas kekayaannya, diperkosa, diasingkan, atau dengan cara apapun haknya diperkosa, kecuali berdasarkan kepentingan umum.


(38)

c. Bill Of Right (Undang-Undang Hak) Inggris (1689 M)

Bill Of Right ini merupakan suatu undang-undang yang diterima oleh Parlemen Inggris sesudah berhasil dalam tahun sebelumnya mengadakan perlawanan terhadap Raja James II dalam suatu revolusi tak berdarah (The Glorious Revolution, 1688 M). Undang-undang tersebut merupakan sebuah keberhasilan rakyat Inggris melawan Raja John yang kemudian menghasilkan suatu adagium berisi “manusia sama si muka hukum” (equality before the law). Dengan adanya adagium tersebut, menimbulkan hukum dan demokrasi yang mengakui dan menjamin asas persamaan dan kebebasan sebagai warga Negara.

d. The French Declaraion (Declaration Des Droits De L’homme et du Citoyen, 1789 M)

Deklarasi ini berisikan pernyataan hak-hak manusia dan warga Negara. Deklarasi ini merupakan hasil revolusi besar di Prancis yang hanya bertujuan untuk menumbangkan kekuasaan aristokrasi feodal dan kekuasaan golongan agama, kemudian menjadi dasar dari demokrasi barat. Deklarasi tersebut merupakan suatu naskah yang dicetuskan pada permulaan Revolusi Prancis sebagai perlawanan terhadap kewenangan rezim lama.

Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM) lahir pada tanggal 10 Desember 1948 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Asas Hak Asasi Manusia dinyatakan dalam Mukadimah, yaitu:

a. Pengakuan bahwa martabat dan hak yang sama dan mutlak umat manusia adalah dasar dari kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia.


(39)

b. Bahwa aspirasi tertinggi rakyat biasa adalah penikmatan kebebasan mengeluarkan pendapat dan kepercayaan dan bebas dari rasa takut dan kekurangan.

c. Bahwa hak manusia harus dilindungi melalui penegakan hukum. d. Menegaskan kembali kepercayaan pada hak dasar manusia, pada

martabat dan nilai seorang manusia, dan persamaan hak laki-laki dan perempuan.

e. Menegaskan kembali penghargaan dan penghormatan hak asasi manusia dan kebebasan yang asasi.

DUHAM merupakan standar umum mengenai pemajuan dan mendorong penghormatan terhadap hak dan kebebasan manusia sebagai landasan dari keadilan, kebebasan dan kedamaian.

DUHAM telah melampaui dua tonggak sejarah, yaitu : (1) adopsi Kovenan Internasional tentang Hak ekonomi, Sosial dan Budaya oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 16 Desembaer 1966 dan dinyatakan berlaku pada tanggal 3 Januari 1967, setelah 35 negara meratifikasi atau aksesi pada kovenan tersebut, dan (2) adopsi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 16 Desember1966 dan dinyatakan berlaku pada tanggal 23 Maret 1976 setelah 35 negara meratifikasi atau aksesi pada kovenan tersebut.

DUHAM 1948 , Kovenan Internasional tentang Hak ekonomi, Sosial dan Budaya, Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik, Protokol opsional pada Kovenan Internasional Hak ekonomi, Sosial dan Budaya adalah instrumen-instrumen


(40)

internasional utama mengenai HAM dan lazim disebut sebagai Intenational Bill Of Human Rights (Prasasti Internasional tentang Hak Asasi Manusia), merupakan instrumen-instrumen inti mengenai HAM.

Deklarasi Wina yang dihasilkan oleh Konfrensi Dunia HAM tahun 1993 menyatakan antara lain ;

a. Semua HAM adalah universal, tidak dapat dipisah-pisahkan, saling tergantung dan saling terkait.

b. Hak asasi manusia dari perempuan adalah bagian dari hak asasi manusia yang tidak dapat dicabut, integral, dan tidak dapat dipisah-pisahkan.

c. Hak atas pembangunan adalah HAM.

Deklarasi Wina mengakui adanya perbedaan-perbedaan diantara Negara satu dengan Negara lain yang disebabkan oleh ciri-ciri sejarah, budaya, dan agama masing-masing harus dihormati, sehingga bisa saja terjadi perbedaan dalam pelaksanaan HAM. Namun perbedaan itu tidak boleh dipakai sebagai alasan untuk tidak melaksanakan HAM. Deklarasi Wina juga menetapkan bahwa pemajuan dan perlindungan HAM tidak boleh dijadikan persyaratan dalam menentukan kerjasama antarnegara, termasuk kerjasama teknik atau bantuan dari Negara-negara maju kepada Negara-Negara-negara berkembang.

Dalam Deklarasi Wina juga dinyatakan bahwa kejahatan/kekerasan berdasarkan jenis kelamin, dan semua bentuk pelanggaran dan pelecehan seksual, termasuk yang terjadi karena prasangka budaya dan perdagangan internasional, tidak sesuai dengan martabat dan harga diri seorang manusia, dan harus


(41)

dihapuskan. Hak asasi manusia dari perempuan harus merupakan bagian integral dari kegiatan hak asasi manusia PBB, termasuk pemajuan semua instrument hak asasi manusia yang berkaitan dengan perempuan.

Walaupun DUHAM tahun 1948 sudah meliputi persamaan hak perempuan dan laki-laki, namun sejak awal berdirinya PBB pada tahun 1945, disadari oleh masyarakat dunia bahwa HAM perempuan memerlukan pengaturan khusus. Sikap ini didasarkan atas kenyataan bahwa yang pertama, hampir semua masyarakat dunia masih ditandai sikap yang menganggap bahwa perempuan lebih rendah kedudukan dan nilainya daripada laki-laki. Sumbangan perempuan bagi kehidupan keluarga, masyarakat, dan kepada dunia kerja atau pertumbuhan ekonomi masih sangat kurang diakui dan dihargai. Hal ini menyebabkan bahwa perempuan pada umumnya kurang atau sama sekali tidak berperan dalam proses pengambilan keputusan dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Akses pada pendidikan lebih kurang daripada laki-laki, sehingga pilihan lapangan kerja bagi perempuan juga sangat terbatas dan pendapatan perempuan sering lebih rendah daripada laki-laki untuk pekerjaan yang sama atau yang sama nilainya. Yang kedua, sangat banyak jumlah perempuan miskin, pekerja perempuan yang tidak memiliki keterampilan dan yang menjadi korban kekerasan, penganiayaan, dan perdagangan dibandingkan dengan laki-laki. Dan yang ketiga adalah sumber pelanggaran HAM perempuan dan anak-anak perempuan sering ditemukan di dalam keluarga sendiri, yaitu tempat dimana mereka pertama mengetahui dan


(42)

mengalami hidup sebagai warga kelas dua dan laki-laki sebagai warga kelas satu.28

B. Analisis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan Dikaitkan Dengan Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita

1. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan)

Pada tanggal 18 Desember 1979, Majelis Umum PBB mengadopsi

Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan). Diantara perjanjian HAM Internasional, Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan merupakan konvensi tentang perlindungan dan penegakan hak perempuan yang paling komprehensif, dan sangat penting karena menjadikan segi kemanusiaan perempuan, yang merupakan lebih dari sebagian penduduk dunia sebagai fokus dari keprihatinan HAM. Jiwa dari konvensi ini berakar dari Piagam PBB, yaitu penegasan kembali kepercayaan HAM, harkat dan martabat setiap diri manusia dan persamaan hak laki-laki dan perempuan. Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan secara komprehensif memberikan rincian mengenai arti persamaan hak perempuan dan laki-laki, dan langkah tindak yang diperlukan untuk mewujudkannya.29

Tindak Kekerasan terhadap perempuan sesuai dengan defenisi kerja tentang arti diskriminasi terhadap perempuan seperti yang ditentukan dalam pasal

28

Achie Sudiarti Luhulima (Ed). 2007. Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan UU No 7 Tahun 1984 Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Yayasan Obor Indonesia: Yogyakarta, Hal 38-40.

29


(43)

1 Konvensi Perempuan/ Konvensi Wanita.30

a. setiap pembedaan, pengucilan dan pembatasan,

Pasal 1 Konvensi Wanita menentukan arti diskriminasi terhadap perempuan sebagai:

b. yang dibuat atas perbedaan jenis kelamin,

c. yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan,

d. pengakuan, penikamatan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok,

e. di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau apa pun lainnya oleh wanita,

f. terlepas dari status perkawinan mereka, g. atas dasar persamaan antara pria dan wanita.

2. Rekomendasi Umum No. 19 tentang Kekerasan terhadap Perempuan

Dalam definisi tersebut belum dicantumkan kata kekerasan, dan arti kekerasan terhadap perempuan. Di dalam Rekomendasi Umum No. 19 tentang kekerasan terhadap perempuan yang merupakan hasil sidang ke-11 CEDAW31

30

Semula disebut Konvensi Wanita (Women’s Convention), sekarang Konvensi Perempuan. Secara Internasional atau kebanyakan menyebutnya CEDAW. Sebenarnya CEDAW adalah singkatan dari Committee on the Elemination of Discrimination Againts Women, suatu komite PBB yang mempunyai fungsi memantau pelaksanaan Konvensi di Negara peratifikasi Konvensi. Komite tersebut juga mempunyai fungsi mengawasi kepatuhan Negara peratifikasi dalam melaksanakan Konvensi. Disebut Konvensi Perempuan dan bukan Konvensi CEDAW, disebabkan berdasarkan pengalaman dalam seminar-seminar, lokakarya, pelatihan, terdapat resistensi terhadap “Konvensi CEDAW”, dan menganggap bahwa konvensi dengan istilah asing dan tidak sesuai dengan budaya Indonesia, sebelum dimulainya penjelasan mengenai arti serta makna konvensi bagi perlindungan dan penegakan hak perempuan serta pemajuan perempuan.

pada tahun 1992.

31

CEDAW adalah singkatan dari Committee on the Elemination of Discrimination Againts Women atau Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan , merupakan Komite PBB sebagai pelaksanaan dari pasal 17 Konvensi Wanita.


(44)

3. Deklarasi Wina dan Program Aksi (The Vienna Declaration And Programme Of Action)

Dalam Mukadimah dari deklarasi tersebut dinyatakan antara lain : “Sangat prihatin akan berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan yang terus menerus dialami perempuan di seluruh dunia”. Deklarasi Wina dan Program Aksi menyatakan beberapa hal tentang hak asasi perempuan antara lain:

a. Hak asasi perempuan (the human rights of women) adalah bagian hak asasi manusia yang tidak dapat dicabut, integral dan tidak dapat dipisahkan. b. Kejahatan berbasis gender dan semua bentuk pelanggaran dan pelecehan

seksual, termasuk yang terjadi karena prasangka budaya dan trafikking internasional tidak sesuai dengan martabat dan harga diri seorang manusia dan harus dihapuskan.

c. Pentingnya usaha penghapusan kekerasan terhadap perempuan dalam kehidupan privat dan pnlik, penghapusan semua bentuk pelecehan seksual, eksploitasi, dan trafiking perempuan, penghapusan prasangka atas dasar jenis kelamin dalam pelaksanaan hukum, serta penghapusan konflik apapun yang dapat terjadi antara hak perempuan dan efek buruk dari praktek-praktek tardisional atau kebiasaan tertentu, prasangka budaya serta ekstremisme agama.

d. Pelanggaran hak asasi perempuan dalam situasi konflik bersenjata adalahh pelanggaran prinsip-prinsip fundamental hak asasi manusia Internasional dan hukum kemanusiaan. Semua pelanggaran jenis ini termasuk pembunuhan, pemerkosaan sistematis, perbudakan seksual dan kehamilan secara paksa, menuntut tanggapan yang efektif.


(45)

e. Mendesak agar dilakukan penghapusan semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan, baik yang tersembunyi maupun yang terbuka.

f. Mengakui pentingnya bagi perempuan untuk dapat menikmati kesehatan fisik dan mental dengan standar tertinggi selama hidup. Ditegaskan kembali, bahwa atas dasar persamaan hak antara perempuan dan laki-laki, perempuan mempunyai hak untuk mendapatkan akses pada perawatan kesehatan yang memadai dan pelayanan keluarga berencana yang seluas-luasnya, dan hak yang sama untuk menikmati pendidikan pada semua tingkat.

g. Mendesak pada pemerintah serta organisasi regional maupun Internasional untuk mendukung akses perempuan pada jabatan-jabatan pembuat keputusan dan partisipasi mereka yang lebih besar dalam proses pembuatan keputusan.

Sebagai tindak lanjut dari Konfrensi Dunia tentang HAM 1993, maka Majelis Umum PBB mengadopsi Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, tanggal 20 Desember 1993. Selain itu dibentuk pula Pelapor Khusus (Special Rapporteur) tentang kekerasan terhadap perempuan.

4. Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (Declaration on the Elemination of Violence Againts Women) diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 Desember 1993


(46)

a. Mendesak pelaksanaan universal hak dan prinsip-prinsip tentang persamaan, keamanan, kebebasan, integritas dan martabat manusia pada perempuan.

b. Efektivitas pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan akan mendukung penghapusan kekerasan terhadap perempuan, dan bahwa Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan memperkuat dan melengkapi proses tersebut.

c. Kekerasan terhadap perempuan melanggar dan menghalangi atau meniadakan kemungkinan bagi perempuan untuk menikmati hak asasi manusia dan kebebasan pokok, dan prihatin atas kegagalan yang berkepanjangan dalam memberikan perlindungan dan meningkatkan hak dan kebebasan itu dalam hubungannya dengan kekerasan terhadap perempuan.

d. Kekerasan terhadap perempuan adalah perwujudan dari ketimpangan hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan sepanjang sejarah, yang mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan oleh laki-laki dan menghambat kemajuan mereka, dan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu mekanisme sosial yang krusial, yang memaksa perempuan ada dalam posisi subordinasi dibandingkan dengan laki-laki.

e. Beberapa kelompok perempuan seperti perempuan dalam kelompok minoritas, perempuan masyarakat adat, perempuan pengungsi, perempuan


(47)

migrant, perempuan yang hidup di pedesaan dan pedalaman, perempuan miskin, perempuan dalam lembaga-lembaga pemasyarakatan atau tahana, anak-anak perempuan, perempuan cacat, perempuan lanjut usia, dan perempuan dalam situasi konflik bersenjata, adalah kelompok yang paling rentan terhadap kekerasan.

f. Terbatasnya peluang perempuan untuk mencapai persamaan hukum, sosial, politik dan ekonomi dalam masyarakat antara lain karena berlanjutnya dan endemiknya kekerasan.

Dengan adanya pertimbangan seperti yang disebutkan diatas, maka di dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tahun 1993, mempertimbangkan akan perlunya sebuah defenisi yang jelas mengenai kekerasan mengingat bahwa dalam beberapa Konferensi sebelumnya belum ada dibahas secara tegas dan menyeluruh tentang definisi kekerasan terhadap perempuan. Diperlukan suatu pernyataan yang tegas tentang hak yang harus dipenuhi untuk menjamin penghapusan kekerasan terhadap perempuan dalam segala bentuk, komitmen Negara sehubungan dengan tanggungjawabnya dan komitmen masyarakat Internasional secara luas pada penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Pasal 1 menentukan definisi kekerasan terhadap perempuan adalah: a. Setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin,

b. yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan dan penderitaan perempuan,


(48)

d. termasuk ancaman tindakan tertentu,

e. pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, f. baik yang terjadi di ranah publik atau dalam kehidupan pribadi..

Dalam pasal 2 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan ini dikatakan juga bahwa kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup, tetapi tidak hanya terbatas pada, hal-hal sebagai berikut:

1. Tindak kekerasan secara fisik, seksual, dan psikologis yang terjadi dalam keluarga, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas atas anak-anak perempuan dalam keluarga.

a. Kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, b. Perkosaan dalam perkawinan,

c. Perusakan alat kelamin perempuan,

d. Dan praktek-praktek kekejaman tradisional terhadap perempuan, e. Kekerasan di luar hubungan suami-istri,

f. Dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi.

2. Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas, termasuk:

a. Perkosaan,

b. Penyalahgunaan seksual,

c. Pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, di lembaga-lembaga pendidikan dan dimana pun,


(49)

3. Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau diabaikan oleh Negara, dimana pun terjadinya.

Selanjutnya dalam pasal 4 Deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan dinyatakan bahwa Negara yang meratifikasi Deklarasi ini harus mengutuk kekerasan terhadap perempuan dan tidak berlindung di balik pertimbangan adat, tradisi dan keagamaan untuk menghindari tanggung jawab untuk menghapuskannya. Negara harus meneruskan dengan cara-cara yang tepat dan tidak menunda-nunda kebijakan untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan, dan untuk tujuan itu Negara-negara yang telah meratifikasi Deklarasi ini harus:

a. Mempertimbangkan, bagi yang belum melakukan, meratifikasi atau aksesi pada Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, atau menarik kembali keberatan-keberatan terhadap konvensi tersebut.

b. Menghentikan kebiasaan melakukan kekerasan terhadap perempuan. c. Melakukan usaha-usaha terus menerus untuk mencegah, mengusut, dan

sesuai dengan perundang-undangan nasional, menghukum para pelaku kekerasan terhadap perempuan, baik yang dilakukan oleh Negara maupun perorangan.

d. Mengembangkan sanksi-sanksi pidana, perdata ketenagakerjaan dan administratif dalam perundang-undangan nasional.

Untuk menghukum dan mengkoreksi kesalahan-kesalahan yang telah menyebabkan perempuan menjadi korban kekerasan. Perempuan yang


(50)

mengalami kekerasan harus diberi akses kepada mekanisme peradilan dan dijamin oleh perundang-undangan nasional untuk memperoleh kompensasi yang adil dan efektif atas kerugian yang mereka derita. Negara juga harus memberikan informasi kepada perempuan tentang hak mereka dalam rangka memperjuangkan tuntutan melalui mekanisme tersebut.

e. Mempertimbangkan untuk mengembangkan rencana aksi nasional untuk meningkatkan perlindungan perempuan dari segala bentuk kekerasan, atau untuk memasukkan hal ini ke dalam rencana-rencana yang telah ada; memperhitungkan sebaik-baiknya kerjasama yang dapat disumbangkan organisasi-organisasi non pemerintah, terutama yang mempunyai kepedulian terhadap masalah ini.

f. Mengembangkan secara menyeluruh pendekatan-pendekatan preventif dengan segala perangkat hukum, politik, administratif dan budaya guna meningkatkan perlindungan terhadap perempuan dari segala bentuk kekeresan, dan menjamin tidak terjadinya lagi pengorbanan perempuan akibat hukum yang tidak peka-gender, praktek-praktek pemaksaan atau campur tangan lainnya.

g. Berupaya menjamin, semaksimal mungkin sesuai dengan sumber daya yang tersedia, dan bila dipandang perlu memasukkannya ke dalam kerangka kerjasama internasional, sehingga perempuan yang menjadi korban kekerasan dan bila dimungkinkan, anak-anak mereka mendapat bantuan khusus, seperti rehabilitasi, bantuan pengasuhan dan pemeliharaan nak, pengobatan, bimbingan, konseling, pelayanan kesehatan dan sosial,


(51)

fasilitas dan program-program, termasuk perangkat pendukung dan harus melakukan semua usaha dan upaya yang layak untuk meningkatkan keamanan serta rehabilitasi fisik maupun psikologi mereka.

h. Memasukkan dalam anggaran pemerintah sumbar daya yang cukup untuk membiayai kegiatan yang berhubungam dengan penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

i. Menetapkan perangkat peraturan yang menjamin bahwa para penegak hukum dan pejabat pemerintah yang bertanggungjawab menerapkan kebijakan-kebijakan dalam rangka mencegah, mengusut dan menghukum pelaku kekerasan terhadap perempuan, mendapatpelatihan-pelatihan agar mereka peka tentang arti pentingnya perempuan.

j. Mengadopsi perangkat peraturan yang layak, khususnya dalam bidang pendidikan, untuk memodifikasi pola-pola perilaku sosial dan budaya laki-laki dan perempuan, menghilangkan prasangka, paktek-praktek adat dan praktek-praktek lain atas dasar inferioritas dan superioritas dan steriotip peran laki-laki dan perempuan.

k. Mengembangkan penelitian, mengumpulkan data dan mengkompilasi statistik, khususnya mengenai kekerasan dalam rumah tangga, sehubungan dengan luasnya perbedaan bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan. Mendorong penelitian tentang sebab-sebab, sifat, kegawatan, dan akibat-akibat dari kekerasan terhadap perempuan. Serta efektifitas penerapan langkah-langkah untuk mencegah dan mengatasi kekerasan terhadap perempuan.


(52)

l. Mengadopsi langkah-tindak yang bertujuan menghapus kekerasan terhadap perempuan, khususnya mereka yang rentan terhadap kekerasan. m.Memasukkan dalam laporan-laporan, sebagaiman ditetapkan oleh

perangkat hak asasi manusia yyang relevan yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, informasi yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan, dan langkah-langkah yang diambil untuk melaksanakan deklarasi ini.

n. Mendorong pengembangan panduan-panduan untuk membantu pelaksanaan prinsip-prinsip yang terkandung dalam deklarasi ini.

o. Memperhatikan pentingnya peran gerakan perempuan dan organisasi-organisasi non pemerintah di seluruh dunia dalam rangka meningkatkan kesadaran dan mengurangi kekerasan terhadap perempaun.

p. Memfasilitasi dan meningkatkan kinerja gerakan perempuan dan organisasi non-pemerintah serta menjalin kerjasama pada tingkat lokal, nasional, maupun regional.

q. Mendorong organisasi-organisasi regional antarpemerintah, dimana mereka menjadi anggota agar benar-benar memasukkan penghapusan kekerasan terhadap perempuan ke dalam program-progaram mereka.


(53)

BAB III

ANALISIS YURIDIS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG

PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

SEBAGAI WUJUD HUKUM YANG BERKEADILAN GENDER

A. Analisis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga

Perempuan hampir selalu menjadi korban kekerasan karena budaya dan nilai-nilai masyarakat kita dibentuk oleh kekuatan patriarkal, dimana laki-laki secara kultural telah dipersilahkan menjadi penentu kehidupan. Menurut Foucault, laki-laki telah terbentuk menjadi pemilik ‘kuasa’ yang menentukan arah ‘wacana pengetahuan masyarakat. Kekerasan terhadap perempuan secara garis besar (pada umumnya) terjadi melalui konsep adanya kontrol atas diri perempuan, baik terhadap pribadinya, kelembagaan, simbolik dan materi. Dengan demikian, ketika hubungan antar jenis kelamin dikonstruksikan melalui hubungan dominasi-subordinasi, maka perempuan berposisi sebagai pihak yang diatur oleh laki-laki. Bangunan relasi ini bekerja melalui seluruh sistem sosial tadi yang kemudian melahirkan identitas gender yang membedakan laki-laki dan perempuan.32

Secara sosio-kultural, hubungan laki-laki – perempuan (relasi gender) di Indonesia secara kompleks terbangun melalui beberapa alasan, antara lain:

1. Laki-laki secara fisik lebih kuat dari pada perempuan dan ada kemungkinan tingkat agresivitas yang tinggi memiliki dasar biologis pula. Dalam masyarakat laki-laki juga dibiasakan untuk melatih menggunakan

32


(54)

fisiknya sekaligus berkelahi, menggunakan senjata dan menggunakan intimidasi kekuatan sejak masa kanak-kanak.

2. Di dalam masyarakat ada tradisi panjang mengenai dominasi laki-laki terhadap perempuan, dan toleransi penggunaan kekuatan oleh laki-laki. Tradisi tersebut tertampilkan melalui film, pornografi, musik rok, dan media pada umumnya.

3. Realitas ekonomi memaksa perempuan untuk menerima penganiayaan dari orang pada siapa dia bergantung.

4. Pada tingkat individual, faktor psikologis berinteraksi dengan hal-hal yang disebutkan di atas, untuk menjelaskan bahwa sebagian laki-laki melakukan kekerasan dan sebagian perempuan menjadi korban kekerasan; sementara sebagian laki-laki lain tidak melakukan kekerasan tersabut dan sebagian perempuan juga tidak menjadi sasaran kekerasan.

5. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan kekuatan dan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki dalam arti perbedaan yang dipersepsikan sebagai hak dan kemampuan untuk melakukan pengendalian terhadap satu sama lain.33

Maka ketika relasi kuasa tidak seimbang, kekerasan dan ketidakadilan menjadi suatu kemungkinan yang sangat besar muncul. Tetapi dalam kasus tertentu, bisa jadi kenyataan itu terbalik, dan laki-lakilah yang menjadi korban. Di dalam berbagai penelitian telah ditemukan bahwa tindak kekerasan terhadap

33 Ibid.


(55)

perempuan itu dapat terjadi di sepanjang siklus kehidupan perempuan. Hal ini dapat dilihat di bagan34

Fase Kehidupan :

Bentuk Tindak Kekerasan

a. Sebelum Lahir Pengguguran kandungan karena seleksi seks

Siksaan selama kehamilan Kehamilan paksaan b. Bayi Infanticide

Penyalahgunaan fisik-emosi

Perbedaan perlakuan anak perempuan c. Masa Anak Perkawinan usia dini

Penyalahgunaan seksual Pelacuran anak-anak d. Masa Remaja Kekerasan masa pacaran

Perkosaan

Pelacuran dan perdagangan perempuan Penyalahgunaan seksual

e. Usia Reproduktif Penyalahgunaan seksual

Perkosaan seksual dalam perkawinan Pembunuhan

Penyalahgunaan psikologis

Bentuk kekerasan terhadap perempuan telah tertera pada pasal 2 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 1993, namun secara khusus dapat digambarkan sebagai berikut:

a. Kekerasan dalam area domestik/ hubungan intim personal. Berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di dalam hubungan keluarga, antara pelaku dan korbannya memiliki kedekatan tertentu. Tercakup disini penganiayaan terhadap istri, pacar, bekas istri, tunangan, anak kandung dan anak tiri, penganiayaan terhadap orang tua, serangan seksual atau perkosaan oleh anggota keluarga.

34

Aroma Elmina Martha. 2003. Perempuan, Kekerasan dan Hukum. Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, Hal 23-24.


(1)

2. KDRT merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam ranah domestik yang kemudian menjadi persoalan publik. KDRT ini tidak hanya sekedar kekerasan secara fisik, seksual, psikologis, namun juga penelantaran terhadap rumah tangga juga dapat dikategorikan sebagai KDRT sebagaimana yang diatur dalam UU PKDRT. Jadi tidak selamanya KDRT itu hanya kekerasan fisik seperti halnya penganiayaan dalam KUHP atau kekerasan seksual semata, tetapi juga kekerasan dalam rumah tangga yang bersifat pasif, yakni penelantaran rumah tangga. Dengan dikeluarkannya UU PKDRT No. 23 Tahun 2004, masalah KDRT sudah menjadi masalah publik. Hal ini dibuktikan dengan kecenderungan meningkatnya kasus KDRT yang dilaporkan menunjukkan adanya bangunan kesadaran masyarakat tentang kekerasan khususnya kekerasan yang terjadi di ranah rumah tangga pada umumnya dan kesadaran serta keberanian perempuan korban untuk melaporkan KDRT yang dialaminya pada khususnya. Peningkatan angka KDRT yang dilaporkan tersebut merupakan salah satu perubahan cara pandang masyarakat Indonesia yang tidak lagi menganggap KDRT merupakan masalah pribadi yang orang lain tidak boleh ketahui. Dengan adanya UU PKDRT ini memunculkan harapan besar untuk menghentikan budaya kekerasan yang ada dalam masyarakat yang dimulai dari wilayah domestik masing-masing.

3. Dari berbagai vonis hakim yang dijatuhkan kepada pelaku kekerasan dalam rumah tangga, nampak jelas bahwa masih ada ketimpangan. Mulai dari vonis hakim yang ringan, vonis yang hanya berupa pidana bersyarat,


(2)

bahkan ada pula vonis yang membebaskan terdakwa. Selain itu, adanaya kecenderungan penegak hukum masih menggunakan ketentuan dari KUHP karena para penegak hukum mungkin sulit memahami konsepsi pidana ”penelantaran rumah tangga” karena unsur delik ”ketergantungan ekonomi” yang disebut dalam Pasal 9 ayat (2) bersifat kualitatif, sehingga hakim pidana mungkin kembali akan menerapkan konsep pidana penganiayaan. Dapat terlihat bahwa hakim akan lebih mudah menerapkan pidana penganiayaan, dibandingkan dengan pidana KDRT, meskipun tuntutan jaksa penuntut umum mendakwa terdakwa dengan pidana KDRT. B. Saran

1. Perempuan juga merupakan manusia sama halnya seperti laki-laki yang memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam semua bidang. Namun seringkali perempuan dijadikan sebagai golongan kedua dan laki-laki harus lebih didahulukan daripada perempuan. Pengaruh soaial budaya dan anggapan masyarakat masih mendominasi ketimpangan gender yang terjadi saat ini. Untuk itu diperlukan peraturan perundang-undangan yang bersifat netral yang mengatur kehidupan masyarakat supaya tidak terjadi ketimpangan gender dan adanya kesadaran dari masyarakat itu sendiri bahwa laki-laki dan perempuan itu sama saja.

2. Perempuan terlahir sebagai mahluk yang rentan dengan kekerasan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga.. UU PKDRT dan peraturan perundang-undangan yang lain memang sudah mengatur mengenai perlindungan terhadap korban KDRT dan mengatur adanya fasilitator


(3)

dalam melaporkan kekerasan yang ia alami. Namun hal ini kurang berjalan efektif karena keengganan perempuan untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga yang ia alami . untuk itu diperlukan banyak sosialisasi tentang upaya hukum yang dapat diambil korban KDRT. Untuk itu diperlukan koordinasi antara pemerintah dan LSM serta LBH yang menangani masalah perempuan untuk mensosialisasikan hal tersebut. 3. Agar pelaku KDRT tidak dapat lari dari jerat hukum, biasanya di dalam

praktek Jaksa Penuntut Umum membuat dakwaan kepada pelaku, baik dengan UU PKDRT maupun KUHP baik secara alternatif, subsidair atau kumulasi. Namun dalam kenyataannya, ada kecenderungan bahwa hakim memutus perkara KDRT tidak menggunakan UU PKDRT, tetapi menggunakan KUHP. Namun sudah selayaknya perkara KDRT diputus juga dengan UU PKDRT sebagaimana yang telah dirumuskan lex specialis derogate lex generalis (pasal 103 KUHP) karena masalah KDRT sudah secara khusus diatur dalam UU PKDRT. Selain itu juga bahwa pelaku KDRT sudah selayaknya diberi putusan yang setimpal atas perbuatannya atau pelaku diberikan hukuman tambahan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang agar ada efek jera bagi masyarakat. Paling tidak hal ini bisa meminimalisir kasus KDRT sebagai wujud hukum yang berkeadilan gender.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Chazawi, Adami.2008. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Djohani, Rianingsih. 1996. Dimensi Gender dalam Pembangunan Program secara Partisipatif. Studio Driya Media : Bandung.

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, with pronounciation, fifth edition,1983, St Paul Minn West Publishing Co.,USA.

Ihromi, Tapi Omas, Dkk (Ed). 2006. Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita.Bandung: PT Alumni.

Irianto, Sulistyowati (Ed). 2006. Perempuan & Hukum: Menuju Hukum yang Berpersfektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Kaban, Maria.2011. Kesetaraan Perempuan dalam Pengambilan Keputusan.

Medan: Pustaka Bangsa Press.

Lamintang, P.A.F.1997. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: PT Citra Aditya Bakti.

Luhulima, Achie Sudiarti (Ed). 2007. Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan UU No 7 Tahun 1984 Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Yayasan Obor Indonesia: Yogyakarta.

Mansour, Fakih. 1999. Analisa Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.


(5)

Martha, Aroma Elmina. 2003. Perempuan, Kekerasan dan Hukum. Yogyakarta: UII Press Yogyakarta.

Moeljatno. 1983. Perbuatan Pertanggungjawaban dan Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara.

Moeljatno. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta. Mosse, Julian Cleves. 1996. Gender dan Pembangunan. Pustaka Pelajar:

Yogyakarta.

Prints, Darwin. 2001. Sosialisasi & Diseminasi Penegakan Hak Asasi Manusia. PT Citra Aditya Bakti: Bandung.

Rahman, Abdul dan Rosmi Hasibuan. 2009. Diktat Hukum Hak Asasi Manusia. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Medan.

Soerdjono, Soekanto dan Pudji Santoso. 1985. Kamus Kriminologi. Ghalia Indonesia:Jakarta.

Soesilo, R. 1993. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia

Sudrajat.1986. Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP. Jakarta: Remadja Karya. W.J.S. Poerwadarminta. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. PN Balai

Pustaka: Jakarta.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women).


(6)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Homepage Internet