BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Kurikulum Berbasis Kompetensi - Pengalaman Mahasiswa Fakultas Keperawatan dalam Mengikuti Kurikulum Berbasis Kompetensi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Konsep Kurikulum Berbasis Kompetensi

  1.1 Defenisi Kurikulum Berbasis Kompetensi Kurikulum berbasis kompetensi ialah perangkat rencana dan peraturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai oleh siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar dan pemberdayaan sumber daya pendidikan. Selain itu kurikulum berbasis kompetensi ialah kurikulum yang dikembangkan berdasarkan pada kemampuan atau tingkat kecerdasan penuh tanggung jawab dari profesi tertentu dalam menjalankan tugasnya di tempat kerjanya (standar kompetensi) (Dikti, 2008). Kurikulum berbasis kompetensi juga merupakan kurikulum yang berorientasi pada hasil yang berupa kompetensi atau kemampuan yang dimiliki peserta didik setelah dilaksanakan sejumlah pengalaman belajar tertentu sehingga mampu bersaing didunia kerja (Purnomo, 2005).

  1.2 Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi Hal-hal yang mendasari pengembangan kurikulum berbasis kompetensi adalah The Four Pillars of UNESCO yaitu seseorang yang memiliki kompeten harus dapat memenuhi persyaratan sebagai berikut : (a) landasan kemampuan pengembangan kepribadian, (b) kemampuan penguasaan ilmu dan keterampilan (know how and know why), dan kemampuan berkarya (know to do), (c) kemampuan mensikapi dan berperilaku dalam berkarya sehingga dapat mandiri, menilai, dan mengambil keputusan secara bertanggung jawab (to be), (d) dapat

  6 hidup bermasyarakat dengan berkerjasama, saling menghormati, dan menghargai nilai-nilai pluralism, dan kedamaian (to live together)(Dikti, 2008).

  1.3 Alasan Perubahan Kurikulum Beberapa hal yang melatar belakangi konsep kurikulum yang tercantum dalam Kepmendiknas No. 232/U/2000 dan No. 045/U/2002 yaitu lebih bnyak di dorong oleh masalah-masalah global atau eksternal. Masalah tersebut antara lainnya adalah sebagai berikut : (a) persaingan dunia global, yang berakibat juga terhadap persaingan perguruan tinggi di dalam maupun di luar negeri, sehingga perguruan tinggi dituntut untuk menghasilkan lulusan yang dapat bersaing secara global, (b) adanya perubahan orientasi pendidikan tinggi yang tidak lagi hanya menghasilkan manusia cerdas berilmu tetapi juga mampu menerapkan keilmuannya dalam kehidupan di masyarakat (kompeten dan relevan), yang lebih berbudaya, (c) adanya perubahan kebutuhan di dunia kerja yang terwujud dalam perubahan persyaratan dalam penerimaan tenaga kerja, yaitu adanya persyaratan softskills yang dominan disamping hardskillsnya. Konsep kurikulum ini didasarkan pada rumusan kompetensi yang harus dicapai atau dimiliki oleh lulusan perguruan tinggi yang sesuai atau mendekati kompetensi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Selain itu ada perubahan ini juga di dorong oleh adanya perubahan otonomi perguruan tinggi yang di jamin oleh Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yang memberi kemudahan kepada perguruan tinggi untuk menentukan dan mengembangkan kurikulumnya sendiri (Dikti, 2008).

  Beberapa perubahan konsep dari kurikulum berbasis isi (Kepmendikbud No. 056/U/1994 ke kurikulum berbasis kompetensi (Kepmendiknas No.

  232/U/2000 dan 045/U/2002) dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :

PERUBAHAN KONSEP KURIKULUM

  Kurikulum Berbasis Isi Kurikulum Berbasis No Tinjauan

  (KURNAS 1994) Kompetensi (2000) Latar belakang

  1 Masalah internal Masalah global Perubahan

  Berbasis kompetensi Berbasis isi(Content Based

  2 Basis kurikulum (Competency Based

  Curricullum) Curricullum)

  Kemampuan minimal Kompetensi yang dianggap

  3 Luaran PT sesuaisasaran mampu oleh masyarakat. kurikulumnya

  Perguruan Tinggi dan Penilai kualitas

  4 Perguruan tinggi sendiri pengguna lulusan/ Lulusan

  stakeholders

  Mulai dari penetapan profil

  5 Cara menyusun Mulai dari isi keilmuannya lulusan dan kompetensi Outcome, keseimbangan

  Output , lebih banyak

  6 Penekanan hardskill menekankan hard skill dan softskill

  Student centered learning

  Teacher centered learning (SCL), diarahkan pada

  7 Pembelajaran (TCL), dengan titik berat pembekalan method of pada transfer of knowledge

  inquiry and discovery

  Tabel 1. Perubahan Konsep Kurikulum (Dikti, 2008)

  1.4 Metode Pembelajaran Kurikulum Berbasis Kompetensi di Perguruan Tinggi

  Dikti (2008) menjelaskan bahwa ada beragam metode pembelajaran untuk SCL, di antaranya adalah: (1) Small Group Discussion; (2) Role-Play & Simulation; (3) Case Study; (4) Discovery Learning (DL); (5) Self-Directed Learning (SDL); (6) Cooperative Learning (CL); (7) Collaborative Learning (CbL); (8) Contextual Instruction (CI); (9) Project Based Learning (PjBL); dan (10) Problem Based Learning and Inquiry (PBL/I). Dibawah ini akan dijelaskan satu persatu bagaimana kesepuluh model pembelajaran Student Center Learning (SCL) dalam kurikulum berbasis kompetensi, yaitu :

  1.4.1 Small Group Discussion Diskusi adalah pembelajaran dengan cara mahasiswa membuat kelompok kecil yang beranggotakan 5-10 orang, kemudian yang akan mendiskusikan bahan yang berikan oleh dosen atau diperoleh sendiri oleh kelompok tersebut. Dengan diskusi kelompok kecil ini, mahasiswa diharapkan akan belajar: (a) menjadi pendengar yang baik; (b) bekerjasama untuk tugas bersama; (c) memberikan dan menerima umpan balik yang konstruktif; (d) menghormati perbedaan pendapat; (e) mendukung pendapat dengan bukti; dan (f) menghargai sudut pandang yang bervariasi (gender, budaya, dan lain-lain).

  1.4.2 Simulasi/Demonstrasi Simulasi adalah model yang membawa situasi yang mirip dengan sesungguhnya ke dalam kelas. Simulasi dapat berbentuk: (a) permainan peran (role playing). Contohnya dalam pembelajaran manajemen keperawatan tiap mahasiswa diberi peran seperti kepala ruangan, katim, atau perawat pelaksana, (b) Simulation exercices and Simulation games, dan (c) model komputer. Simulasi dapat mengubah cara pandang (mindset) mahasiswa, dengan catatan mahasiswa harus menerapkannya sesering mungkin dalam kehidupan bermasyarakat.

1.4.3 Discovery Learning

  Discovery Learning (DL) adalah metode belajar yang difokuskan pada pemanfaatan informasi yang tersedia, baik yang diberikan dosen maupun yang dicari sendiri oleh mahasiswa, untuk membangun pengetahuan dengan cara belajar mandiri. Metode ini juga menekankan pada seberapa besar keinginan seorang mahasiswa untuk memperkaya ilmunya.

1.4.4 Self-Directed Learning

  Self-Directed Learning (SDL) adalah proses belajar yang dilakukan atas inisiatif individu mahasiswa sendiri. Dalam hal ini, perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian terhadap pengalaman belajar yang telah dijalani, dilakukan semuanya oleh individu yang bersangkutan. Sementara dosen hanya bertindak sebagai fasilitator, yang memberi arahan, bimbingan, dan konfirmasi terhadap kemajuan belajar yang telah dilakukan individu mahasiswatersebut. Metode belajar ini bermanfaat untuk menyadarkan dan memberdayakan mahasiswa, bahwa belajar adalah tanggung jawab mereka sendiri. Dengan kata lain, individu mahasiswa didorong untuk bertanggung jawab terhadap semua fikiran dan tindakan yang dilakukannya.

  1.4.5 Cooperative Learning

  Cooperative Learning (CL) adalah metode belajar berkelompok yang

  dirancang oleh dosen untuk memecahkan suatu masalah/kasus atau mengerjakan suatu tugas. Kelompok ini terdiri atas beberapa orang mahasiswa, yang memiliki kemampuan akademik yang beragam. CL bermanfaat untuk membantu menumbuhkan dan mengasah: (a) kebiasaan belajar aktif pada diri mahasiswa (b) rasa tanggung jawab individu dan kelompok mahasiswa, (c) kemampuan dan keterampilan bekerjasama antar mahasiswa, dan (d) keterampilan sosial mahasiswa.

  1.4.6 Collaborative Learning

  Collaborative Learning (CbL) adalah metode belajar yang

  menitikberatkan pada kerjasama antar mahasiswa yang didasarkan pada kesepakatan yang dibangun sendiri oleh anggota kelompok. Masalah/tugas/kasus memang berasal dari dosen dan bersifat open ended, tetapi pembentukan kelompok yang didasarkan pada minat, prosedur kerja kelompok, penentuan waktu dan tempat diskusi/kerja kelompok, sampai dengan bagaimana hasil diskusi/kerja kelompok ingin dinilai oleh dosen, semuanya ditentukan melalui keputusan bersama antar anggota kelompok.

  1.4.7 Contextual Instruction

  Contextual Instruction (CI) adalah konsep belajar yang membantu dosen

  mengaitkan isi matakuliah dengann situasi nyata dalam kehidupan sehari-hari dan memotivasi mahasiswa untuk membuat keterhubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari sebagai anggota masyarakat. Pada intinya dengan CI, dosen dan mahasiswa memanfaatkan pengetahuan secara bersama-sama, untuk mencapai kompetensi yang dituntut oleh matakuliah, serta memberikan kesempatan pada semua orang yang terlibat dalam pembelajaran untuk belajar satu sama lain.

  1.4.8 Project-Based Learning

  Project-Based Learning (PjBl) adalah metode belajar yang sistematis,

  yang melibatkan mahasiswa dalam belajar pengetahuan dan keterampilan melalui proses pencarian/penggalian (inquiry) yang panjang dan terstruktur terhadap pertanyaan yang otentik dan kompleks serta tugas dan produk yang dirancang dengan sangat hati-hati.

  1.4.9 Problem-Based Learning/Inquiry (PBL/I)

  Problem-Based Learning/Inquiry(PBL/I) adalah belajar dengan

  memanfaatkan masalah dan mahasiswa harus melakukan pencarian/penggalian informasi (inquiry) untuk dapat memecahkan masalah tersebut. Secara umum ada empat langkah yang perlu dilakukan mahasiswa dalam PBL/I, yaitu: (a) menerima masalah yang relevan dengan salah satu/beberapa kompetensi yang dituntut matakuliah, dari dosennya, (b) melakukan pencarian data dan informasi yang relevan untuk memecahkan masalah, (c) menata data dan mengaitkan data dengan masalah, dan (d) menganalis strategi pemecahan masalah. PBL/I adalah belajar dengan memanfaatkan masalah dan mahasiswa harus melakukan pencarian/penggalian informasi (inquiry) untuk dapat memecahkan masalah tersebut.

  1.5 Penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Perguruan Tinggi

  1.5.1 Kondisi Pembelajaran di Perguruan Tinggi Saat ini belum banyak perguruan tinggi yang menerapkan sistem kurikulum berbasis kompetensi. Proses pembelajaran perguruan tinggi saat ini kebanyakan masih berbentuk lecturing (tatap muka), pembelajaran searah dengan dosen sebagai pemberi ilmu (teacher center learning). Proses belajar seperti ini hanya akan membuat mahasiswa menjadi lebih banyak diam dan kurang aktif dalam pembelajaran. Sudah banyak upaya yang dilakukan untuk memperbaiki proses pembelajaran ini, misalnya kombinasi lecturing, tanya-jawab, pemberian tugas yang semuanya itu diberdasarkan dari pengalaman mengajar dosen yang bersangkutan bersifat trial error. Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan materi dan proses pembelajaran di perguruan tinggi dengan tidak lagi berbentuk

  teacher center learning tetapi berganti prinsip menjadi student center learning yang di sesuaikan dengan keadaan perguruan tingginya (Dikti, 2008).

  1.5.2 Perubahan dari TCL (Teacher Center Learning) kearah SCL (Student Center

  Learning)

  Proses pembelajaran dengan mengunakan paradigma lama dengan dosen sebagai penyedia pendidikan, saat ini tidak akan mampu mengatasi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang sangat pesat. Hal ini sejalan dengan alasan lahirnya kurikulum berbasis kompetensi, yaitu semakin pesatnya kemajuan dunia kerja secara global menuntut tersedianya tenaga kerja memiliki kompetensi yang mampu bersaing di di pasar dunia. Oleh karena itu SCL sebagai paradigma baru diharapkan mampu menjadi solusi untuk mencapai kompetensi tersebut. Paradigma baru inimenempatkan dosen hanya sebagai fasilitator dan motivator dengan menyediakan beberapa strategi belajar yang memungkinkan mahasiswa (bersama dosen) memilih, menemukan dan menyusun pengetahuan serta cara mengembangkan keterampilannya (method of inquiry and discovery). Dengan paradigma inilah proses pembelajaran (learning process) dilakukan (Dikti, 2008).

  Secara lebih rinci perbedaan antara metode pembelajaran berpusat pada guru (teacher centered learning )dan student centered learning antara lain seperti berikut:

  Teacher Center Learning Student Center Learning A Pengetahuan ditransfer dari dosen ke mahasiswa

  Mahasiswa secara aktif mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajarinya B

  Mahasiswa menerima pengetahuansecara pasif Mahasiswa secara aktif terlibat di dalammengelola pengetahuan

  C Lebih menekankan pada penguasaanmateri Tidak hanya menekankan pada penguasaan materi tetapi juga dalam mengembangkan karakter mahasiswa (life-long learning) D

  Biasanya memanfaatkan media tunggal Memanfaatkan banyak media

(multimedia)

  E Fungsi dosen atau pengajar sebagai pemberi informasi utama dan evaluator

  Fungsi dosen sebagai fasilitator dan evaluasi dilakukan bersama dengan mahasiswa. F Proses pembelajaran dan penilaian dilakukan secara terpisah Proses pembelajaran dan penilaian dilakukan saling berkesinambungan dan terintegrasi

  G Menekankan pada jawaban yang benar saja Penekanan pada proses pengembangan pengetahuan.

  Kesalahan dinilai dapat menjadi salah satu sumber belajar H Sesuai untuk mengembangkan ilmu dalam satu disiplin saja Sesuai untuk pengembangan ilmu dengan cara pendekatan

interdisipliner

  I Iklim belajar lebih individualis dan Kompetitif Iklim yang dikembangkan lebih bersifat kolaboratif, suportif dan kooperatif J

  Hanya mahasiswa yang dianggap melakukan proses pembelajaran Mahasiswa dan dosen belajar bersama didalam mengembangkan pengetahuan, konsep dan

keterampilan.

  K Perkuliahan merupakan bagian terbesar dalam proses pembelajaran

  Mahasiswa dapat belajar tidak hanya dari perkuliahan saja tetapi dapat menggunakan berbagai cara

dan kegiatan

  L Penekanan pada tuntasnya materi Pembelajaran Penekanan pada pencapaian kompetensi peserta didik dan bukan tuntasnya materi.

  M Penekanan pada bagaimana cara dosen melakukan pembelajaran Penekanan pada bagaimana cara mahasiswa dapat belajar dengan menggunakan berbagai bahan pelajaran, metode interdisipliner, penekanan pada problem based learning dan skill competency.

  Tabel 2. Rangkuman Perbedaan TCL dan SCL (Dikti, 2008)

  1.6 Penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi dalam Keperawatan Kurikulum berbasis kompetensi dalam keperawatan bisa dikatakan menjadi solusi terbaru untuk memajukan profesi keperawatan agar mampu bersaing dengan secara global. Hal ini sesuai dengan tema pertemuaan AIPNI pada Oktober 2003 s.d November 2007. Di dasari oleh Kepmendiknas No.

  232/U/2000, 045/U/2002 dan UU No. 20 Tahun 2003 serta untuk mengantisipasi perkembangan global, AIPNI merasa perlu untuk melakukan perubahan pada kurikulum Keperawatan. Pengembangan kurikulum keperawatan didasarkan pada pengembangan masalah yang berorientasi pada hal diberikut : (1) sehat-sakit, (2) etika keperawatan, (3) keberagaman budaya, (4) hubungan perawat-pasien, (5) pengasuhan (Caring)(AIPNI, 2008). Berikut ini penjelasan mengenai pemgembangan kurikulum keperawatan berdasarkan masalah adalah sebagai berikut :

  1.6.1 Sehat-sakit Sehat adalah suatu keadaan yang dinamis dalam rentang sehat sakit yang dapat diartikan sebagai suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan. Sehat adalah tanggung jawab individu yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia seperti yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu harus dipertahankan dan ditingkatkan melalui upaya-upaya promotif, preventif, rehabilitatif dan kuratif. Selain itu sehat ditentukan oleh kemampuan individu, keluarga, kelompok atau komunitas untuk membuat tujuan yang realistik, serta kemampuan untuk menggerakkan energi dan sumber-sumber yang tersedia untuk mencapaitujuan tersebut secara efektif dan efisien.

  1.6.2 Etika Keperawatan Etika adalah suatu prinsip dan metode yang sistematik untuk membedakan antara yang benar dari yang salah, antara yang baik dari yang buruk. Budaya, teknologi, agama/kepercayaan, dan perbedaan status ekonomi menjadi dasar untuk penetapan keputusan terkait dengan masalah etika. Konsep etika keperawatan meliputi praktek keperawatan yang berdasarkan pada pemikiran inovatif dan antisipatif tentang tanggung jawab dan kewajiban ners terhadap pasien.

  1.6.3 Keragaman Budaya Asuhan keperawatan kepada pasien, ners harus diberikan dengan memperhatikan aspek keberagaman budaya. Hal ini menjadi dasar pemikiran bahwa setiap pasien itu adalah individu yang unik. Pengembangan asuhan keperawatan mengacu pada keberagaman budaya, perbedaan gaya hidup, kepercayaan yang dianut, simbol dan pola budaya pasien.

  1.6.4 Hubungan Perawat-Pasien Hubungan perawat-pasien adalah suatu hubungan interpersonal yang profesional dan terapeutik. Tujuan dari hubungan ini adalah untuk memenuhi kebutuhan pasien, bukan kebutuhan tim kesehatan. Hubungan profesional perawat dan pasien didasarkan pada pemahaman bahwa pasien adalah orang yang paling tepat untuk membuat keputusan. Peran utama tim kesehatan dalam membantu pasien membuat keputusan adalah memfasilitasi dan memberdayakan potensi internal pasien. Dengan demikian, hubungan yang terjadi haruslah menguntungkan pasien dan tidak memiliki efek yang negatif bagi pasien.

  1.6.5 Pengasuhan/Kepedulian (Caring) Caring adalah proses interpersonal yang menunjukkan perilaku yang berhubungan dengan orang lain dalam memfasilitasi perkembangan seseorang.

  Tema konseptual caring ini mengandung tingkat pemahaman peserta didik selama proses pendidikan terhadap keberadaan pasien yang sedang mengalami satu atau beberapa masalah kesehatan (AIPNI, 2008).

  Pendekatan utama dalam pengembangan pembelajaran keperawatan yang sesuai dengan kurikulum berbasis kompetensi meliputi : (a) menyelesaikan masalah secara ilmiah yaitu kemampuan menyelesaikan masalah secara ilmiah ditumbuhkan sejak dini dan dibina melalui berbagai bentuk pengalaman belajar terintegrasi. Metode ini merupakan landasan utama untuk menumbuhkan dan membina kemampuan memahami dan menerapkan proses keperawatan dalam melaksanakan asuhan keperawatan, (b) pembelajaran berfokus pada peserta didik,maksudnya ialah peserta didik diarahkan untuk belajar aktif dan mandiri melalui metode pembelajaran berfokus pada peserta didik dengan mengoptimalkan sumber-sumber pembelajaran untuk mencapai kompetensi ners, (c) berorientasi ke masa depan, ialah peserta didik selalu diorientasikan pada perkembangan ke masa depan, sehingga mereka tidak tertinggal didalam perkembangan global (AIPNI, 2008).

2. Studi Fenomenologi

  Menurut Fenomenologi dikembangkan Husserl dan Heidegger yang bersumber dari sebuah tradisi filsafat yang merupakan sebuah pendekatan mengenai pengalaman hidup manusia. Seorang fenomenolog memiliki keyakinan bahwa kebenaran utama tentang realitas didasarkan pada pengalaman hidup seseorang (Polit & Beck, 2004).

  Pendekatan fenomenologi digunakan ketika sedikit sekali defenisi atau konsep terhadap suatu fenomena yang akan diteliti (Polit, Beck, 2001).

  Fenomenologi berfokus pada apa yang di alami manusia pada beberapa fenomena dan bagaimana mereka menafsirkan pengalaman tersebut. Fenomenologis percaya bahwa pengalaman hidup memberi arti penting terhadap persepsi masing-masing orang dari fenomena tertentu. Selain itu, seorang fenomenolog meyakini bahwa keberadaaan manusia memilik makna dan menarik karena kesadaran masyarakat terhadap keberadaannya. Tujuan penelitian fenomenologi sepenuhnya adalah untuk menggambarkan pengalaman hidup dan persepsi yang muncul (Polit & Hungler, 1997).

  Berdasarkan dari cara pengambilan kesimpulan dari fenomena yang ada dari subyek penelitian, ada dua jenis penelitian fenomenologi, yaitu fenomenologi deskriptif dan fenomenologi interpretatif. Fenomenologi deskriptif berfokus pada penyelidikan fenomena, kemudian pengalaman yang seperti apakah yang terlihat dalam fenomena (fenomena deskriptif), sedangkan fenomenologi interpretatif lebih kepada penafsiran dari pengalaman atau fenomena yang dialami subyek penelitian (Polit, Beck & Hungler, 2001).

  Dalam fenomenologi deskriptif ada tiga fenomenoligist dalam proses analisa data. Dimana ketiga tokoh ini berpedoman pada filosof Husserl yang fokus utamanya adalah mengetahui gambaran sebuah fenomena. Ketiga tokoh tersebut adalah Collaizzi (1978), Giorgi (1985), dan Van Kaam (1959) (Polit, Beck & Hungler, 2001).

  Kehidupan seseorang bagi fenomenologis adalah sesuatu yang sangat berharga dan menarik. Selain pada penelitian fenomenologi komunikasi merupakan suatu sumber data utama, percakapan yang mendalam antara peneliti dan partisipan sebagai subyeknya. Seorang fenomenologis berusaha untuk membantu partisipan mengambarkan pengalaman hidupnya tanpa harus memimpin diskusi. Selain itu, dalam wawancara yang mendalam, peneliti berusaha untuk merasakan apa yang pernah dialami oleh informan untuk mendapatkan informasi penuh tentang pengalaman hidup mereka (Polit, Beck & Hungler, 2001).

3. Keabsahan Data

  Ada empat kriteria untuk memperoleh keabsahan data (twustworthiness) menurut Lincoln dan Guba (1985) yaitu : kredibilitas, transferalitas, defentabilitas, dan konfirmabilitas.

  3.1 Kredibilitas (Credibility) Kredibilitas adalah suatu kriteria untuk memenuhi nilai kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan. Hal ini menentukan apakah hasil penelitian ini dapat di percaya oleh semua pembaca secara kritis dan informan sebagai partisipannya. Adapun cara untuk memperoleh tingkat kredibilitas meliputi : a. Prolonged Engagement yaitu adanya hubungan yang relatif lama yang memungkinkan peningkatan derajat kepercayaan data yang di kumpulkan, serta membangun kepercayaan antara partisipan dengan peneliti, dan dapat menjadi tolak ukur informasi yang di dapatkan.

  b. Persistent observation atau pengamatan yang berkelanjutan, sehingga peneliti dapat memperhatikan secara cermat, teliti, mendalam dan terperinci.

  c. Triangulation (triangulasi), yaitu memanfaatkan sesuatu yang di luar data untuk mengecek atau membandingkan data yang diperoleh.

  d. Peer Debriefing, yaitu mendiskusikan dengan orang lain dengan menunjukan hasil sementara dalam bentuk diskusi analitik dengan rekan sejawat. Usahakan diskusikan dengan orang yang tidak terlibat dalam penelitian, agak lebih objektif dan netral dengan catatan harus memilik pengetahuan tentang pokok dan metode penelitian.

  e. Member Checking adalah memvalidasi analisis yang peneliti telah buat secara langsung kepada partisipan. Hal ini merupakan cara yang paling penting dilakukan agar partisipan bisa memperbaiki bila ada kesalahan yang dibuat peneliti selama wawancara berlangsung atau melengkapi hal-hal yang diperlukan.

  f. Analysis Case Negative, yaitu berusaha untuk menghindari kasus yang tidak sesuai dengan hasil penelitian dalam waktu tertentu.

  g. Refencial Adequacy Check, yaitu pengecekan bahan dokumentasi seperti hasil rekaman tape atau video-tape sebagai bahan refensi untuk meningkatkan kepercayaan atas keabsahan data.

  3.2 Tranferabilitas (Transferability) Tranferabilitas adalah suatu kriteria untuk memenuhi bahwa hasil penelitian yang dilakukan dalam konteks tertentu dapat di transfer ke subyek lain yang memiliki topologi yang sama. Tranferabilitas bertujuan agar hasil penelitian dapat diaplikasikan dalam situasi lain.

  3.3 Dependabilitas (Defendability) Defendabilitas adalah suatu kriteria untuk menilai apakah proses penelitian kualitatif bermutu atau tidak. Teknik yang sering digunakan adalah defendability

  audit yaitu meminta dependen atau independen auditor untuk memeriksa aktifitas

  peneliti. Dependabilitas sering juga dikenal dengan reliabilitas atau syarat validitas.

  3.4 Konfirmabilitas (Confirmability) Konfirmabilitas adalah suatu kriteria yang digunakan untuk membuktikan kebenaran atau menilai kualitas dari hasil penelitian sesuai dengan data yang dikumpulkan dan dicantumkan dalam laporan lapangan. Hal ini dilakukan dengan membicarakan hasil penelitiaan dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam penelitian sehingga bisa lebih netral dan objektif.