Sistem Adat Perkawinan Nias Salah Satu P

Sistem Adat Perkawinan Nias: Salah Satu Penyebab
Kemiskinan Masyarakat Nias?
Posted by niasbaru on February 23, 2011

Pengantar
Böwö adalah sebutan mahar dalam sistem adat perkawinan di Nias. Tetapi Böwö ini telah melahirkan
problem baru yang tidak selalu disadari oleh masyarakat Nias sendiri. Keganjilan penerapan Böwö ini
juga dirasakan oleh mereka yang pernah tinggal (berkunjung) di Pulau Nias. Dan tidak heran jika
kebanyakan orang dari luar Nias yang pernah ke Pulau Nias selalu memiliki kesan: mahar, jujuran
(böwö, gogoila) perkawinan Nias mahal! Oleh karenanya ketika mereka mau (baca: akan) menikah
dengan gadis Nias ada semacam ketakutan, keengganan, keragu-raguan. Dan, tentu hal ini adalah
kesan buruk! Ada apa dengan sistem adat perkawinan Nias? Yang salah “sistemnya” atau “masyarakat
Niasnya”?
Arti Böwö
Etimologi böwö adalah hadiah, pemberian yang cuma-cuma. Sama halnya kalau kita memiliki hajatan,
entah karena ada tamu atau ada pesta keluarga, dsb., lalu kita beri fegero kepada tetangga kita
(makanan, baik nasi maupun lauk-pauk yang kita makan saat hajatan itu kita beri juga kepada
tetangga kita secara cuma-cuma). Ini adalah aktualisasi kepekaan untuk selalu memperhitungkan
orang lain di sekitar kita, juga untuk mempererat persaudaraan. Oleh karenanya tak heran jika
masyarakat Nias menyebut orang yang ringan tangan sebagai niha soböwö sibai. Jadi, arti
sejati böwö mengandung dimensi aktualisasi kasih sayang orangtua kepada anaknya: bukti perhatian

orangtua kepada anaknya!
Lantas kenapa böwö itu kayak dikomersialkan? Indikasi pengomersialan böwö sebenarnya gampang
kita lihat. Misalnya, istilah böwö bergeser menjadi gogoila (goi-goila: ketentuan). Malah kata gogoila
yang lebih familiar dikalangan tokoh adat Nias saat ini. Untuk mencapai “ketentuan” tentu ditempuh

cara “musyawarah”(yang dimediasi oleh siso bahuhuo) dan sepengetahuan saya, dalam musyawah itu
terjadi “tawar-menawar” berapa gogoila yang harus dibayar oleh pihak mempelai laki-laki. Jadi, böwö
semakin direduksi maknanya: lebih dekat pada konotasi ekonomis (ibarat aktivitas jual-beli) dan bukan
pada konotasi budaya. Dan saya percaya, jika pernyataan ini kita lemparkan ke orangtua kita atau ke
“orang zaman dahulu”, pasti salah satu jawabannya adalah: da’ana hada Nono Niha (ini adalah adat
Nias). Pernyataan semacam itu tentu mengokohkan dimensi statis budaya Nias juga mereduksi nilainilai sakral budaya Nias! Padahal seharusnya, budaya itu dinamis sesuai perkembangan zaman.
Bahkan dalam pernyataan itu seolah adat yang terpenting dan bukan manusianya. Saudaraku, adat
dibuat untuk manusia dan bukan manusia untuk adat. Ariflah menerapkan adat yang tidak
membangun. Dulu böwö itu masih masuk akal. Mengapa? Karena sistem perekonomian Nias masih
barter. Artinya böwö dihitung berdasarkan jumlah babi dan bukan uang. Sekarang kalau böwö itu diuangkan, maka akan menjadi beban kehidupan berlapis generasi, karena babi tidak murah (misalnya,
seekor babi yang diameternya 8 alisi harganya bisa mencapai Rp 900. 000 – Rp 1 Juta).
Nah, kalau dalam gogoila (böwö) terdapat 25 ekor babi, coba Anda bayangkan berapa juta. Belum lagi
beras, dan emas (balaki, firö famokai danga, misalnya). Padahal mencari uang di Nias sangat susah.
Mata pencaharian mayoritas masyarakat Nias adalah bersawah/berladang dan menyadap karet (dari
pohon havea). Seperti kita tahu bahwa sawah di Nias tidak seperti Di Pulau Jawa yang sawahnya

dikelola dengan baik: ada irigasi, lengkap pestisida pembasmi hama padi. Setahu saya, rata-rata
sawah di Nias tidak ada irigasi yang dibangun oleh pemerintah atau yang dibangun oleh swasta.
Pengairan sawah di Nias cuma mengandalkan hujan! Sedangkan menyadap karet, juga ada masalah.
Karet bisa diharapkan menjadi duit jika tidak ada hujan. Coba kita bayangkan jika musim hujan, mau
makan apa masyarakat Nias? Singkatnya, mengumpulkan dan mencari uang di Nias yang puluhan
juta, bisa bertahun-tahun.
Kebiasaan masyarakat Nias jika pesta perkawinan banyak sekali yang harus di-folaya (dihormati
dengan cara memberi babi). Selain itu, babi pun banyak yang harus disembelih dengan berbagai
macam fungsional adatnya, misalnya: tiga ekor bawi wangowalu (babi pernikahan), seekor babi khusus
untuk fabanuasa (babi yang disembelih untuk dibagikan ke warga kampung dari pihak mempelai
perempuan) , seekor untuk kaum ibu-ibu (ö ndra’alawe) yang memberikan nasehat kepada kedua
mempelai, seekor untuk solu’i (yang menghantar mempelai wanita ke rumah mempelai laki-laki), dan
masih banyak lagi babi-babi yang disembelih.
Selain yang disembelih, ada juga babi yang dipergunakan untuk “famolaya sitenga bö’ö“. Di sini saya
sebut beberapa saja: sekurang-kurangnya seekor untuk “nga’ötö nuwu” (paman dari ibu mempelai
perempuan), sekurang-kurangnya seekor sampai tiga ekor untuk “uwu” (paman mempelai

perempuan), seekor untuk talifusö sia’a (anak sulung dari keluarga mempelai perempuan), seekor
untuk “sirege” (saudara dari orangtua mempelai perempuan), seekor untuk “mbolo’mbolo” (masyakat
kampung dari pihak mempelai perempuan, biasanya babi ini di-uang-kan dan uang itu dibagikan

kepada masyarakat kampung), seekor untuk ono siakhi (saudara bungsu mempelai perempuan),
seekor untuk balö ndela yang diberikan kepada siso bahuhuo, dsb (dan jika pas hari “H” perkawinan,
ibu atau ayah atau paman, atau sirege dari pihak saudara perempuan menghadiri pesta perkawinan,
maka mereka-mereka ini juga harus difolaya, biasanya seekor hingga tiga ekor babi). Dan masih ada
pernik lain, yakni fame’e balaki atau ana’a (ritual memberi berlian atau emas), berupa famokai danga
kepada nenek dan ibu mempelai perempuan; juga fame’e laeduru ana’a khö ni’owalu (pemberian
cincin kepada mempelai perempuan, cincin itu diharuskan emas). Singkatnya, jika adat itu diterapkan
pada zaman sekarang, maka Anda harus menyediakan uang puluhan hingga ratusan juta rupiah hanya
untuk membeli babi dan emas belum lagi biaya pas hari “H” perkawiannya. Kalau kita melihat uraian
di atas, böwö itu dibagi-bagi. Dan, kadangkala dalam pembagian semacam ini muncul berbagai
macam perseteruan, permasalahan.
Akibat Böwö yang Mahal
a. Akibat Negatif
Ada berbagai macam problem sosial dan juga ekonomi yang disebabkan oleh mahalnya böwö di Nias.
Di bawah ini saya akan menguraikan beberapa argumen berdasarkan fakta yang memang saya dengar
dan alami (terutama di Kecamatan Mandrehe).
Pertama, akibat negatif dari böwö yang mahal adalah kemiskinan dan pemiskinan. Alasannya boleh
dilihat dalam uraian akibat negatif berikutnya.
Kedua, akibat mahalnya böwö, orangtua si anak bukan lagi bekerja untuk memenuhi kebutuhan
keluarga dan anaknya, tapi mereka bekerja untuk membayar utangnya, membayar böwö yang

dibebankan kepadanya. Bahkan utang böwö yang belum sempat terbayarkan oleh orangtua si anak
mesti si anak harus bersedia membayarnya. Mahalnya böwö semakin diperparah sejak masyarakat
Nias mengenal uang, karena böwö juga diuangkan. Mempelai laki-laki yang tidak mampu mencukupi
nilai böwö yang harus ia bayar, tidak ada pilihan lain baginya selain meminjam. Anda tahu yang
namanya pinjaman pasti ada bunganya perbulan. Dan, lingkaran semacam inilah yang menyebabkan
banyak keluarga Nias hanya bekerja untuk membayar bunga utangnya.
Ketiga, mungkin kita pernah mendengar cerita Nono Niha yang berani melakukan pembunuhan hanya
karena tidak dibayarkan kepadanya böwö yang sudah dijanjikan. Ini adalah akibat sosial yang sangat

fatal dari böwö yang mahal. Hanya demi seekor babi atau berapalah itu, ia berani menghabiskan
nyawa orang lain dan harus mendekam di penjara. Ini sungguh memilukan sekaligus memalukan.
Keempat, akibat keempat ini masih ada kaitannya dengan akibat kedua di atas tadi. Kerapkali
mempelai laki-laki jika menikah, apalagi dari keluarga yang pas-pasan (tidak mampu), terpaksa
menjual tanahnya, menjual sawah-ladangnya, bahkan bila kepepet ia juga meminjam sejumlah uang
atau menyusun kongsi (kalau di Mandrehe, pas acara femanga ladegö, pihak dari mempelai laki-laki
mengajak semua pihak untuk membantunya dan pada saat itu babi mesti disembelih sebagai tanda
pemberitahuan kepada orang-orang yang akan menolongnya/yang mau memberikan kongsi). Jangan
salah, jika meminjam uang, bunga bukan main bung. Dan, itu tradisi buruk Nias selama ini. Masyarakat
Nias seolah melingkarkan tali di lehernya sendiri. Atau seperti seorang yang menggali lobang, ia
sendiri yang jatuh ke dalamnya. Coba kita bayangkan, tanah habis dijual, masih ngutang lagi. Lalu di

mana keluarga baru ini mengadu nasib, mencari nafkah sehari-hari? Mungkin ada yang masih rendah
hati : menjadi kuli kepada orang lain. Dan, hal ini adalah «perbudakan» yang disengaja, yang kita buat
sendiri walaupun sebenarnya bisa kita hilangkan, bisa kita atasi dengan tidak menerapkan sistem
böwö yang mahal.
Kelima, jika orangtua masih berada dalam lingkaran «utang» sudah bisa dipastikan bahwa para
orangtua tidak mungkin bisa menyekolahkan anaknya. Lantas kapan pola pikir Nias bisa ber-evolusi,
berkembang, dinamis jika terjadi ke-vakum-an seperti ini, hanya karena böwö yang mahal itu. Melihat
penerapan böwö yang tidak menguntungkan itu, sebaiknya para orangtua yang berasal dari Nias
(apalagi mereka yang masih menerapkan böwö yang mahal) mesti menyadari apa tugas pokok jika
sudah membentuk keluarga. Selain itu, mesti disadari: apa arti böwö yang sebenarnya. Saya rasa ada
benarnya jika böwö adalah salah satu faktor utama kemiskinan di Nias secara turun-temurun. Boroboro si orangtua menyekolahkan anaknya, utang böwönya saja belum lunas. Hal ini menjadi kendala
bagi orang Nias sendiri untuk mencetak generasi penerus yang berpendidikan. Dan, jika demikian,
jangan kaget jika berapa puluh tahun lagi Nias tidak akan mungkin membenahi kekurangan sumber
daya manusianya.
Keenam, apakah Anda bahagia jika memiliki utang ? pasti tidak. Bagaimana suasana hati Anda jika
memiliki utang? Pasti tidak tenteram, apalagi kalau setiap minggu, bulan ditagih. Ini suatu ancaman.
Jika demikian, orang yang memiliki utang, juga pasti selalu tenggelam dalam kegelapan, bukan lagi
kebahagiaan (tenga fa’owua-wua dödö ni rasoira ero ma’ökhö bahiza fa’ogömi-gömi dödö). Ketidaktenteraman hati seperti ini bisa merembes ke sasaran lain: suami-istri sering bertengkar, suami
menyalahkan istrinya yang memang pihak penuntut böwö; orangtua dan anak saling bertengkar,
berkelahi; orangtua sering memarahi anaknya. Maka jangan heran jika banyak keluarga di Nias yang


“makanan” sehari-harinya adalah “broken home”, perseteruan. Lalu kapan sebuah keluarga
mempraktekkan cinta sebagai suami-istri, jika situasinya seperti ini? Marilah kita menjawabnya sendirisendiri!
Ketujuh, böwö identik dengan pemberian sejumlah harta benda, sejumlah uang, sejumlah babi yang
harus ditanggung oleh pihak mempelai laki-laki. Nah, jika demikian, apa bedanya sistem böwö Nias ini
dengan perdagangan perempuan dan perdagangan anak? Menurut saya, jika para orangtua memiliki
motif bahwa böwö (gogoila) dijadikan sebagai modalnya, maka pada saat itu mereka termasuk dalam
lingkaran perdagangan anak mereka sendiri. Dan hal ini bertentangan dengan hak azasi manusia!
Tendensi perdagangan anak dalam system perkawinan Nias sebenarnya sudah mulai kelihatan.
Misalnya, mempelai perempuan sering disebut sebagai böli gana’a (pengganti emas). Jadi seolah-olah
perempuan itu sama dengan barang!
b. Akibat Positif
Pihak mempelai laki-laki, sebelum hari “H” perkawinan selalu mengumpulkan semua kerabatnya
(seperti fadono, sirege, fabanuasa). Tentu dengan tujuan agar mereka-mereka ini bisa menolongnya,
bahu-membahu menanggung böwö. Dari sisi ini ada juga beberapa hal positif.
Pertama, kekerabatan, fambambatösa, fasitenga bö’ösa semakin terjalin, semakin harmoni. Dan,
menurut kepercayaan Nias, semua “fadono” yang taat kepada matua nia (mertua) akan diberkati
(tefahowu’ö) dan mendapat rezeki.
Kedua, fadono selalu diingatkan akan kewajibannya. Hal ini bisa jadi menumbuhkan kesadaran akan
“tanggung jawab” yang sejati dari para fadono. Dalam sistem adat perkawianan Nias, fasitengabö’ösa,

fadonosa atau fambambatösa terjadi selama 3 generasi. Dalam sistem adat Nias (khususnya di
Mandrehe) mempelai laki-laki memiliki kewajiban untuk selalau menjadi soko guru (tiang) bagi saudara
mempelai perempuan (saudara dari istrinya yang dalam bahasa Nias disebut la’o). Misalnya, jika salah
seorang saudara dari mempelai perempuan menikah, si mempelai laki-laki mesti membantunya. Di
satu sisi ini baik. Tetapi di sisi lain, hal ini membebankan.
Ketiga, dengan böwö yang mahal, setahu saya para orangtua di Nias tidak mudah cerai (tetapi janganjangan karena orang Nias sendiri memang tidak biasa bercerai).
Melihat ambivalensi (negatif dan positif) böwö seperti yang terurai di atas, maka sebanarnya
penerapan böwö yang mahal lebih banyak sisi buruknya, sisi negatifnya. Oleh karena itu, di bawah ini
saya menguraikan bagaimana “problem solving”-nya.

Problem Solving
Pada bagian terakhir ini, saya juga mencoba mencari solusi yang perlu direfleksikan (baca:
diinternalisasikan) oleh semua masyarakat Nias, niha khöda.
Tesis Pertama, lalu bagaimana adat ini, apakah harus tetap diterapkan? Kalau menurut saya secara
ritual adat Nias tidak boleh ditinggalkan begitu saja, karena ini warisan berharga dari leluhur Nias.
Ritual dalam arti: penghormatan kepada paman, kepada saudara, kepada ibu mertua, kepada nenek,
kepada penatua adat, dst.. Jadi, dimensi kultik dan etis budaya Nias tidak boleh ditinggalkan begitu
saja, malah seharusnya kita dilestarikan.
Namun yang perlu diperhatikan adalah bentuk penghormatan itu bukan dengan material, bukan
dengan pemberian babi yang sekarang tergolong mahal di Nias (tetapi jika ada keluarga yang mampu

dengan penghormatan secara material, silahkan saja yang penting jangan sampai pemberian itu
adalah hasil pinjaman yang justru menjadi utang berlapis generasi). Bentuk penghormatan itu bisa
melalui perhatian, menolong kerabat, mertua dikala mengalami situasi yang memang memerlukan
bantuan tenaga manusia. Jadi, penghormatan itu lebih pada hal spiritual, afeksional, sosial dan bukan
material-ekonomis. Dan, yang harus selalu dilestarikan oleh orang Nias adalah budaya, seperti:
maena, tarian (tarian baluse, tari moyo, hoho, dst.), fame’e afo, ni’oköli’ö manu, dst. Sangat
disayangkan, akhir-akhir ini justru tarian maena semakin hari semakin tidak dikenal lagi oleh generasi
muda Nias. Padahal, tarian maena adalah salah satu tarian rakyat Nias yang kalau dilestarikan secara
benar menjadi ciri khas dan kebanggaan Nias.
Setiap orangtua pasti bahagia jika anaknya menjadi “orang”. Namun, jika para orangtua Nias belum
menyadari bahwa böwö itu sangat membebankan maka saya kurang tahu sampai kapan masyarakat
Nias akan menyadari bahwa pola pikir semacam itu justru menenggelamkan orang ke lembah
kemiskinan. Pengalaman saya sendiri, kadang-kadang böwö itu diperebutkan antara pihak paman,
talifuso, dan juga so’ono (dari pihak saudara dan juga orangtua mempelai perempuan). Ironisnya
(masih terjadi) babi-babi yang mereka terima itu dijadikan sebagai modal. Ini komersial bung dan apa
bedanya dengan “perdagangan anak”? ini bukan melebih-lebihkan, hal ini sungguh terjadi pada zaman
dahulu kala (dan mungkin sampai sekarang, walaupun tidak sebanyak dulu).
Tesis kedua, setiap orangtua yang berpendidikan mencoba menjadi pilar untuk mengubah tradisi Nias
yang justru membebankan. Mula-mula para orangtua itu mesti melakukan penyuluhan kepada
anaknya dan oleh karena itu juga jangan mereka terapkan böwö yang mahal kepada anak mereka

sendiri. Tidak selamanya bahwa budaya itu positif dan manusiawi. Misalnya, budaya orang-orang
Eskimo yang menyembelih orangtua mereka jika sudah tua. Menurut masyarakat Eskimo, tindakan

mereka ini memiliki nilai yang tinggi: mencoba menyelamatkan orangtua mereka dari penyakit tua
yang bisa membawa pada penderitaan. Bahkan tindakan itu adalah salah satu bentuk perwujudan
penghormatan kepada orangtua. Budaya Mangayau di Kalimantan (tradisi memenggal kepala orang,
dan ternyata hal ini terjadi di Nias pada zaman dahulu). Seperti kita tahu bahwa menghilangkan nyawa
orang lain, bertentangan dengan hukum kodrat yang dikenal oleh orang Kristen, terutama dalam
gagasan Santo Thomas Aquinas: Hukum kodrat adalah pemberian dari surga, anugrah tertinggi dari
Allah yang tidak bisa diciptakan oleh manusia. Manusia lahir dan mati, itu adalah hak Allah.
Tesis ketiga, tokoh agama harus terlibat dalam memberikan penyuluhan kepada masyarakat Nias yang
masih menerapkan böwö yang mahal. Sebagai orang Nias, saya berterima kasih (juga salut) kepada
Pastor Mathias Kuppens, OSC (misionaris Ordo Sanctae Crucis, berkewarganegaraan Belanda), yang
cukup antusias untuk memberikan pemahaman kepada orang Nias (terutama di Kecamatan Sirombu
dan Mandrehe) bahwa böwö yang mahal tidak membangun. Beliau adalah salah satu tokoh agama
Katolik yang cukup berhasil “menekan” jumlah besarnya böwö dengan cara-cara yang persuasif.
Namun, perjuangan beliau bukan tanpa hambatan. Ada beberapa orang Nias yang pernah melontarkan
kata-kata pedas, mencoba menentang kebijakan Pastor Mathias, sang pencinta Nias itu. Tetapi Pastor
Mathias menanggapi dengan tindakan yang diwarnai kerendahan hati: ia tidak pernah berprasangka
negatif (tidak su’udzon) walau ia dicerca. Ini luar biasa!

Tesis keempat, Dinas Pendidikan Kabupaten Nias dan Nias Selatan, seharusnya memikirkan bagaimana
jika penyuluhan tentang böwö diajarkan di sekolah sebagai pelajaran “muatan lokal” atau semacam
pelajaran “ektra kurikuler”. Menurut saya, böwö dan juga adat Nias yang lain perlu dijelaskan kepada
generasi muda agar mereka kelak mengerti dampak ambivelensi adat Nias itu sendiri. Dan oleh karena
itu, mereka kelak bisa menegasi hal-hal yang tidak membangun dari adat Nias itu sendiri; sehingga
budaya Nias tidak mandeg pada ke-statis-an melainkan berkembang (dinamis). Dan, tugas ini tentu
didelegasikan kepada para guru yang mengajar: mulai dari tingkat SD hingga perguruan tinggi.
(Postinus Gulö)
Semoga!

Related

Sistem Adat Perkawinan Nias: Salah Satu Penyebab Kemiskinan Masyarakat
Nias?In "Berita Aktual Nias"
Nias Baru: Antara Data, Fakta dan Cita-citaIn "Berita Aktual Nias"
Budaya Nias di Tengah Perkembangan ZamanIn "Budaya"

This entry was posted on February 23, 2011 at 12:48 pm and is filed under Berita Aktual Nias, Budaya. You can
follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can skip to the end and leave a response. Pinging
is currently not allowed.


49 Responses to “Sistem Adat Perkawinan Nias: Salah Satu
Penyebab Kemiskinan Masyarakat Nias?”

1.

BUALA S LOMBU said
February 26, 2011 at 3:32 pm

problem yg sgt berat utk mengubah adat nias karena azas ,dasar,aturan,kebiasaan yg tlah
melekat ribuan tahun yg lalu, oleh karena tu saya sgat bersyukur jika ada gagasan dlm
memperbaharui sistem adat nias, namun