MANAJEMEN KEPEMIMPINAN PESANTREN dalam (1)

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pesantren sebagai sebuah institusi pendidikan maupun lembaga
keagamaan cukup menarik dicermati dari berbagai sisi. Terlebih saat muncul
istilah-istilah era tinggal landas, modernitas, globalisasi, pasar bebas, dan lain
sebagainya. Fokus perbincangan adalah bagaimana peran atau posisi
pesantren sebagai sebuah institusi pendidikan di tengah arus modernisasi atau
globalisasi, apakah pesantren akan tetap teguh mempertahankan posisinya
sebagai lembaga “tafaqquh fi al-din” yang bercorak tradisional atau pesantren
ikut-ikutan melakukan proses “pemodernisasian” sistem, mulai dari
perombakan kurikulum sampai pada manajemen pengelolaan.
Hal

itu

tentu

tergantung

dengan


model

manajemen

dan

kepemimpinan seorang Kyai yang diterapkan di sebuah pondok pesantren
dalam merespons perubahan tersebut. Secara umum, dari segi kepemimpinan,
pesantren masih terpola secara sentralistik dan hierarkis, terpusat pada
seorang Kyai. Kyai sebagai salah satu unsur dominan dalam kehidupan
sebuah pesantren. Ia mengatur irama pekembangan dan keberlangsungan
kehidupan suatu pesantren dengan keahlian, kedalaman ilmu, karisma, dan
keterampilannya. Tidak jarang sebuah pesantren tidak memiliki manajemen
pendidikan yang rapi, sebab segala sesuatu terletak pada kebijaksanaan dan
keputusan Kyai.1
Seorang Kyai dalam budaya pesantren memiliki berbagai macam
peran, termasuk sebagai ulama, pendidik dan pengasuh, penghubung
masyarakat, pemimpin, dan pengelola pesantren. Peran yang begitu kompleks
tersebut menuntut Kyai untuk bisa memposisikan diri dalam berbagai situasi

yang dijalani. Dengan demikian, dibutuhkan sosok Kyai yang mempunyai
kemampuan, dedikasi, dan komitmen yang tinggi untuk bisa menjalankan
peran-peran tersebut.
B. RUMUSAN MASALAH
1

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 49.

1

Berdasarkan latar belakang diatas adapun rumusan masalahnya
adalah:
1. Bagaimana model kepemimpinan pesantren?
2. Bagaimana regenerasi dan kaderisasi di pesantren?
C. SISTEMATIKA PENULISAN
Bab I Pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, dan sistematika penulisan.
Bab II Pembahasan, berisi tentang pengertian manajemen,
pengertian


kepemimpinan,

kepemimpinan

persfektif

Islam,

model

kepemimpinan di pesantren dan regenerasi dan kaderisasi di pondok
pesantren.
Bab III Penutup, berisi tentang kesimpulan untuk memberikan
jawaban atas rumusan masalah mengenai manajemen kepemimpinan
pesantren.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Manajemen

2

Mary Parker Follent mendefinisikan manajemen sebagai seni dalam
menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Definisi ini mengandung arti
bahwa para manajer mencapai tujuan-tujuan organisasi melalui pengaturan
orang-orang lain untuk melaksanakan berbagai tugas yang mungkin
diperlukan atau berarti dengan tidak melakukan tugas-tugas itu sendiri.
Manajemen memang bisa berarti itu, tetapi juga bisa mempunyai
pengertian lebih daripada itu. Pengertian manajemen begitu luas, sehingga
dalam kenyataannya tidak ada definisi yang digunakan secara konsiten oleh
semua orang. Definisi yang lebih kompleks

dan mencakup aspek-aspek

pengelolaan seperti yang dikemukakan oleh Stoner sebagai berikut:
“Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan
dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan
sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan
organisasi yang telah ditetapkan.”
Dari definisi diatas terlihat bahwa Stoner telah menggunakan kata

proses bukan seni. Mengartikan manajemen sebagai seni mengandung arti
bahwa hal itu adalah kemampuan atau keterampilan pribadi. Suatu proses
adalah cara sistematis untuk melakukan pekerjaan. Manajemen didefinisikan
sebagai proses karena semua manajer, tanpa mempedulikan kecakapan atau
keterampilan khusus mereka, harus melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu
yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan-tujuan yang mereka inginkan.
Proses tersebut terdiri dari kegiatan-kegiatan manajemen, yaitu
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan. Perencanaan
berarti bahwa para manajer memikirkan kegiatan-kegiatan mereka sebelum
dilaksanakan. Berbagai kegiatan ini biasanya didasarkan pada berbagai
metoda, rencana atau logika, bukan hanya atas dasar dugaan atau firasat.
Pengorganisasian berarti bahwa para manajer mengkoordinasikan sumber
daya-sumber daya manusia dan material organisasi. Kekuatan suatu
organisasi terletak pada kemampuannya untuk menyusun sumber dayanya
dalam mencapai suatu tujuan. Semakin terkoordinasi dan terintegrasi kerja
organisasi,

semakin

efektif


pencapaian

tujuan-tujuan

organisasi.

Pengkoordinasian merupakan bagian vital pekerjaan manajer. Selanjutnya,
pengarahan berarti bahwa para manajer mengarahkan, memimpin, dan
mempengaruhi para bawahan. Manajer tidak melakukan semua kegiatan
3

sendiri, tetapi menyelesaikan tugas-tugas esensial melalui orang-orang lain.
Mereka juga tidak sekedar memberikan perintah, tetapi menciptakan iklim
yang dapat membantu para bawahan melakukan pekerjaan secara paling baik.
Pengawasan berarti para manajer berupaya untuk menjamin bahwa organisasi
bergerak ke arah tujuan-tujuannya. Bila beberapa bagian organisasi ada pada
jalur yang salah, manajer harus membetulkannya. 2
B. Pengertian Kepemimpinan
Secara etimologis “pemimpin” dan “kepemimpinan” berasal dari kata

“pimpin” (Inggris: to lead), maka konjungasi berubah menjadi “pemimpin”
(leader) dan kepemimpinan (leadership). Kalimat kepemimpinan berasal dari
kata “pemimpin “ mendapat awalan ke dan ahiran an yang mengandung kerja.
Dalam kamus Bahasa Indonesia kata “pimpin” mengandung arti erat yang
kaitannya dengan pengertian memelopori berjalan di muka, menuntun,
membimbing, mendorong, mengambil langkah, prakarsa pertama, bergerak
lebih awal, berbuat lebih dahulu, memberi contoh, menggerakan orang lain
melalui pengaruh (Fajri Em dan Aprilia, 1980:645).3
Secara bahasa, makna kepemimpinan adalah kekuatan atau kualitas
seseorang pemimpin dalam mengerahkan apa yang dipimpinnya untuk
mencapai tujuan. Seperti halnya manajemen, kepemimpinan atau leadership
telah didefinisikan oleh para ahli diantaranya adalah Stoner mengemukakan
bahwa kepemimpinan manajerial dapat didefinisikan sebagai salah satu
proses mengarahkan pemberian pengaruh pada kegiatan-kegiatan dari
sekelompok anggota yang selain berhubungan dengan tugasnya.4
D.E Mc Farland mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah suatu
proses dimana pimpinan dilukiskan akan memberi perintah atau pengaruh,
bimbingan atau proses mempengaruhi pekerjaan orang lain dalam memilih
dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan.5


2

T. Hani Handoko, Manajemen, (Yogyakarta: BPFE, 2015), hlm. 9-10
Kompri. Manajemen Sekolah Orientasi Kemandirian Kepala Sekolah, (Yogyakarta:
Pustaka Belajar, 2015), hlm. 45
4
Agustinus Hermino. Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: Alfabeta, 2017), hlm. 174
5
Sudarwan Danim. Kepemimpinan Pendidikan, (Bandung, Alfabeta, 2012), hlm. 6
3

4

Beberapa

pendapat

diatas

maka


dapat

disimpulkan

bahwa,

kepemimpinan adalah setiap tindakan yang dilakukan oleh individu atau
kelompok untuk mengkoordinasi dan memberi arah kepada individu atau
kelompok tertentu untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya.
C. Kepemimpinan dalam Persfektif Islam
Allah SWT menciptakan manusia sebagai masterpiece dari seluruh
ciptaannya. Manusia dianugerahi gelar sebagai ahsanu takwim, sebaikbaiknya ciptaan, sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an surat At-Tin ayat 4:

‫ت‬
َ‫ن ِ ت ت ق‬
َ‫خ ل ت ق‬
‫لت ت‬
‫د ِ ت‬

َ‫ن ِ وفيِ ِ أ ق‬
‫ساَ ت‬
َ‫ق ق‬
‫ح ت‬
‫ق تناَ ِا قَل و ن قَ ت‬
‫ق و‬
‫ويِ م م‬
‫س و‬
“Telah Kami ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya”(QS At-Tin: 4)
Kesempurnaan manusia sebagai ciptaan Allah sejalan dengan beratnya
beban yang harus ditanggung di dunia ini. Allah menciptakan manusia beserta
kesempurnaanya untuk menjadi khalifah di muka bumi. Sebagaimana firman
Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 30:6

‫قَ ت‬
‫ل ِ تر ب ب ت‬
‫ع ل‬
‫وت إ وذ قَ ِ تقاَ ت‬
‫ض‬
‫جاَ و‬

‫م تل ئ وك ت و‬
‫ة ِ إ ون ن يِ ِ ت‬
‫ك ِ ل ول قَ ت‬
‫ل ِ وفيِ ِا ل قَر و‬
‫ت‬
‫ف ك‬
‫ج عت ك‬
‫ك‬
َ‫ن ِ يِ ك ق‬
‫خ ولي ت‬
‫ت‬
‫ف ة‬
‫س و‬
‫ف و‬
‫س ك‬
َ‫ة ِ تقاَ كلوا ِ أ ت ت ق‬
َ‫د ِ وفي تهاَ ِ وت يِ ت ق‬
‫ل ِ وفي تهاَ ِ ت‬
َ‫م ق‬
‫س ِ ل ت ت‬
‫م دو ت‬
‫ك ِ تقاَ ت‬
ِ‫ل ِ إ ون ني‬
‫ك ِ وت ن ك ت‬
‫ح ِ ب و ت‬
‫سبن ك‬
َ‫ماَ تء ِ وت ن ت ق‬
‫ن ِ ن ك ت‬
َ‫ح ق‬
‫ال د ن ت‬
‫ق دن ك‬
‫ح ك‬
‫ت‬
‫ن‬
‫مو ت‬
‫ماَ ِ تل ِ ت تعقَ ل ت ك‬
‫م ِ ت‬
‫أ ع قَ ل ت ك‬
“Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat:
Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. Berkata
mereka: Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di
dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji
Engkau dan memuliakan Engkau? Dia berkata: Sesungguhnya Aku lebih
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”(QS Al-Baqarah: 30)
6

Saiful Falah, Pesantren, Kyai dan Masa Depan: Upaya Mencari Model Kaderisasi
Ideal di Pesantren, (Bogor: Santrinulis Publishing), hlm. 36

5

M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menjelaskan makna
khalifah sebagai yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang
datang sebelumnya. Atas dasar ini, ada yang memahami kata khalifah berarti
yang menggantikan Allah dalam menegakan kehendak-Nya dan menerapkan
ketetapan-ketetapan-Nya, tetapi bukan karena Allah tidak mampu atau
menjadikan manusia berkedudukan sebagai Tuhan, namun karena Allah
bermaksud menguji manusia dan memberinya penghormatan.7
Karena manusia terlahir sebagai khalifah fil ardh, tugas selanjutnya
adalah menggali potensi kepemimpinannya yang bertujuan memberikan
pelayanan serta pengabdian yang diniatkan semata-mata karena amanah
Allah, yaitu dengan cara memainkan perannya sebagai pembawa rahmat bagi
semesta alam semesta. Kepemimpinan bagi semua manusia bukanlah pilihan,
melainkan adalah kemestian. Setiap manusia dengan takdirnya telah diberikan
amanah sebagai pemimpin.8
Kepemimpinan

dalam

Islam

adalah

amanah

yang

kelak

dipertanggungjawabkan. Seorang pemimpin tidak bisa berbuat semena-mena.
Dia harus ingat bahwa dunia akan berakhir. Di hari perhitungan kualitas
kepemimpinannya akan dipertanyakan. Saat dia bertindak menuruti hawa
nafsu maka azab yang berat menunggu. Sebaliknya apabila kepemimpinan
dia jalankan sebagai amanah untuk menyebar keadilan bagi masyarakat,
pahala berbentuk surga menjadi miliknya.

D. Model Kepemimpinan Kyai
1. Kepemimpinan Individual
Eksistensi Kyai sebagai pemimpin pesantren, ditinjau dari tugas
dan fungsinya, dapat dipandang sebagai sebuah fenomena yang unik.
Dikatakan unik karena kiai sebagai pemimpin sebuah lembaga pendidikan
Islam tidak sekadar bertugas menyusun kurikulum, membuat peraturan
atau tata tertib, merancang sistem evaluasi, sekaligus melaksanakan proses
7
8

Ibid, hlm. 37
Ibid, hlm. 37-38

6

belajar-mengajar yang berkaitan dengan ilmu-ilmu agama di lembaga yang
diasuhnya, melainkan pula scbagai pembina dan pendidik umat serta
menjadi pemimpin masyarakat
Peran yang begitu sentral yang dilaksanakan oleh Kyai seorang diri
menjadikan pesantren sulit berkembang. Perkembangan atau besar
tidaknya pesantren semacam ini sangat ditentukan oleh kekarismaan Kyai
pengasuh. Dengan kata lain, semakin karismatik Kyai (pengasuh), semakin
banyak masyarakat yang akan berduyun-duyun untuk belajar bahkan hanya
untuk mencari barakah dari Kyai tersebut dan pesantren tersebut akan lebih
besar dan berkembang pesat.
Kepemimpinan

individual

Kyai

inilah

yang

sesungguhnya

mewarnai pola relasi di kalangan pesantren dan telah berlangsung dalam
rentang waktu yang lama, sejak pesantren berdiri pertama hingga sekarang
dalam kebanyakan kasus. Lantaran kepemimpinan individual Kyai itu
pula, kokoh kesan bahwa pesantren adalah milik pribadi Kyai. Karena
pesantren tersebut milik pribadi Kyai, kepemimpinan yang dijalankan
adalah kepemimpinan individual.
Dengan kepemimpinan semacam itu, pesantren terkesan eksklusif.
Tidak ada celah yang longgar bagi masuknya pemikiran atau usulan dari
luar walaupun untuk kebaikan dan pengembangan pesantren karena hal itu
wewenang mutlak Kyai. Hal seperti itu biasanya masih berlangsung di
pesantren salaf.
Model kepemimpinan tersebut mempengaruhi eksistensi pesantren.
Bahkan belakangan ada pesantren yang dilanda masalah kepemimpinan
ketika ditinggal oleh Kyai pendirinya. Hal itu disebabkan tidak adanya
anak Kyai yang mampu meneruskan kepemimpinan pesantren yang
ditinggalkan ayahnya baik dari segi penguasaan ilmu keislaman maupun
pengelolaan kelembagaan. Karena itu, kesinambungan pesantren menjadi
terancam.
Krisis kepemimpinan juga bisa terjadi ketika Kyai terjun ke dalam
partai politik praktis. Kesibukannya di politik akan menurunkan
perhatiannya terhadap pesantren dan tugas utamanya sebagai pembimbing
7

santri terabaikan, sehingga kelangsungan aktivitas pesantren menjadi
terbengkalai.
Adapun pergantian kepemimpinan di pesantren dilaksanakan
apabila Kyai yang menjadi pengasuh utama meninggal dunia. Jadi Kyai
adalah pemimpin pesantren seumur hidup. Apabila Kyai sudah meninggal,
estafet kepemimpinan biasanya dilanjutkan oleh adik tertua dan kalau tidak
mempunyai adik atau saudara, biasanya kepemimpinan langsung
digantikan oleh putra Kyai. Biasanya Kyai mengkader putra-putranya
untuk meneruskan kepemimpinannya. Namun, jika kaderisasi itu gagal,
biasanya yang melanjutkan adalah menantu yang paling pandai atau
menjodohkan putrinya dengan putra Kyai lain. Jadi tidak ada peluang
masuknya orang luar menjadi pemimpin pesantren tanpa memasuki jalur
feodalisme Kyai.
Dengan demikian, jelas bahwa posisi kepemimpinan Kyai adalah
posisi yang sangat menentukan kebijaksanaan di semua segi kehidupan
pesantren, sehingga cenderung menumbuhkan otoritas mutlak, yang pada
hakikatnya justru berakibat fatal. Namun profil Kyai di atas pada
umumnya hanyalah terbatas pada Kyai pengasuh pesantren tradisional
yang memegang wewenang (otoritas) mutlak dan tidak boleh diganggu
gugat oleh pihak mana pun. Sedangkan Kyai-kyai di pesantren khalaf
ataupun modern tidaklah sedemikian otoriter.
2. Kepemimpinan Kolektif
Sebagaimana disebutkan di atas, kepemimpinan Kyai yang
karismatik cenderung individual dan memunculkan timbulnya sikap
otoriter mutlak Kyai. Otoritas mutlak tersebut kurang baik bagi
kelangsungan hidup pesantren, terutama dalam hal suksesi kepemimpinan.
Kaderisasi hanya terbatas keturunan dan saudara, menyebabkan tidak
adanya kesiapan menerima tongkat estafet kepemimpinan ayahnya. Oleh
karena itu, tidak semua putra Kyai mempunyai kemampuan, orientasi, dan
kecenderungan yang sama dengan ayahnya. Selain itu, pihak luar sulit
sekali untuk bisa menembus kalangan elite kepemimpinan pesantren,
8

maksimal mereka hanya bisa menjadi menantu Kyai. Padahal, menantu
kebanyakan tidak berani untuk maju memimpin pesantren kalau masih ada
anak atau saudara Kyai, walaupun dia lebih siap dari segi kompetensi
maupun kepribadiannya. Akhirnya sering terjadi pesantren yang semula
maju dan tersohor, tiba-tiba kehilangan pamor bahkan mati lantaran
Kyainya meninggal.
Akibat fatal dari kepemimpinan individual tersebut menyadarkan
sebagian pengasuh pesantren, Kementerian Agama, di samping masyarakat
sekitar. Mereka berusaha menawarkan solusi terbaik guna menanggulangi
musibah kematian pesantren. Kementerian Agama pernah mengintroduksi
bentuk yayasan sebagai badan hukum pesantren, meskipun jauh sebelum
dilontarkan, beberapa pesantren sudah menerapkannya. Pelembagaan
semacam itu mendorong pesantren menjadi organisasi impersonal.
Pembagian wewenang dalam tata laksana kepengurusan diatur secara
fungsional, sehingga akhirnya semua itu harus diwadahi dan digerakkan
menurut tata aturan manajemen modern.
Kepemimpinan
kepemimpinan

kolektif

kolaborasi

yang

dapat

diartikan

saling

sebagai

menguntungkan,

proses
yang

memungkinkan seluruh elemen sebuah institusi turut ambil bagian dalam
membangun sebuah kesepakatan yang mengakomodasi tujuan semua.
Kolaborasi dimaksud bukan hanya berarti “setiap orang” dapat
menyelesaikan tugasnya, melainkan yang terpenting adalah semua
dilakukan dalam suasana kebersamaan dan saling mendukung (al-jam’iyah
al murassalah atau collegiality and supportiveness).
Model kepemimpinan kolektif atau yayasan tersebut menjadi solusi
strategis. Beban Kyai menjadi lebih ringan karena ditangani bersama
sesuai dengan tugas masing-masing. Kyai juga tidak terlalu menanggung
beban moral tentang kelanjutan pesantren di masa depan.
Namun demikian, tidak semua Kyai pesantren merespons positif
solusi tersebut. Mereka lebih mampu mengungkapkan kelemahankelemahan yang mungkin timbul dibanding kelebihannya. Keberadaan
yayasan dipahami sebagai upaya menggoyahkan kepemimpinan Kyai.
9

Padahal, keberadaan yayasan justru ingin meringankan beban baik
akademik maupun moral. Kecenderungan untuk membentuk yayasan
ternyata hanya diminati pesantren-pesantren yang tergolong modern,
belum berhasil memikat pesantren tradisional. Kyai pesantren tradisional
cenderung lebih otoriter daripada Kyai pesantren modern.
Pesantren memang sedang melakukan konsolidasi organisasi
kelembagaan, khususnya pada aspek kepemimpinan dan manajemen.
Secara tradisional, kepemimpinan pesantren dipegang oleh satu atau dua
Kyai, yang biasanya merupakan pendiri pesantren bersangkutan. Tetapi
karena diversifikasi pendidikan yang diselenggarakan, kepemimpinan
tunggal Kyai

tidak memadai

lagi. Banyak

pesantren kemudian

mengembangkan kelembagaan yayasan yang pada dasarnya merupakan
kepemimpinan kolektif.
Konsekuensi dan pelembagaan yayasan itu adalah perubahan
otoritas Kyai yang semula bersifat mutlak menjadi tidak mutlak lagi,
melainkan bersifat kolektif ditangani bersama menurut pembagian tugas
masing-masing individu, kendati peran Kyai masih dominan. Ketentuan
yang menyangkut kebijaksanaan-kebijaksanaan pendidikan merupakan
konsensus semua pihak. Yayasan memiliki peran yang cukup besar dalam
pembagian tugas yang terkait dengan kelangsungan pendidikan pesantren.
Perubahan dan kepemimpinan individual menuju kepemimpinan
kolektif akan sangat berpengaruh terhadap hubungan pesantren dan
masyarakat. Semula hubungan semula bersifat patronklien, yakni seorang
Kyai dengan karisma besar berhubungan dengan masyarakat luas yang
menghormatinya. Sekarang hubungan semacam itu semakin menipis.
Justru yang berkembang adalah hubungan kelembagaan antara pesantren
dengan masyarakat.
E. Regenerasi dan Kaderisasi di Pondok Pesantren
1. Pengertian regenarasi dan kaderisasi
Kata regenerasi berasal dari generation bentuk kata benda yang
dalam kamus oxford berarti, all the people who were born at about the
same time. Sedangkan bentuk kata kerjanya generate yang berarti to
10

produce or create something. Kemudian ditambahkan kata re ke dalam
generate, menjadi regenerate; to make an area, institution, etc. develop
and grow strong again. Bentuk kata benda dari regenerate adalah
regeneration.9
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata generasi;
sekalian orang yang kira-kira sama waktu hidupnya; angkatan; turunan.
Sedangkan kata regenerasi diartikan penggantian generasi tua kepada
generasi muda; peremajaan.10
Regenerasi dapat diartikan sebagai sebuah proses pergantian di
dalam sebuah organisasi, lembaga atau institusi dimana yang muda
menggantikan yang tua. Regenerasi dalam kepemimpinan berarti
pergantian tampuk kepemimpinan dari yang tua kepada yang muda.
Regenerasi tersebut bisa terjadi saat pemimpin tua masih hidup atau
setelah kematiannya.11
Kaderisasi berasal dari kata kader. Dalam KBBI, kader diartikan
orang yang diharapkan akan memegang peran yang penting dalam
pemerintahan, partai dan sebagainya. Kaderisasi atau pengaderan berarti
proses, cara, perbuatan mendidik atau membentuk seseorang menjadi
kader.12
2. Model regenerasi di pondok pesantren
Sebagai lembaga pendidikan Islam yang asli Indonesia, pesantren
memiliki aturan tersendiri dalam regenerasi. Kepemimpinan pesantren
tidak seperti kepemimpinan sekolah bukan jabatan yang diperebutkan oleh
banyak orang. Kepemimpinan pesantren berbeda di tangan Kyai dan
regenerasinya pun tergantung Kyai. Hal ini terjadi karena Kyai di
pesantren adalah pendiri sekaligus pemilik.
Kelangsungan pesantren salah satunya tergantung kemampuan
Kyai dalam memilih calon pengganti. Regenerasi merupakan suatu hal
yang niscaya. Kyai sebagai manusia bbiasa tentu akan menghadapi
kematian. Setelah Kyai wafat pesantren diteruskan oleh generasi
9

Saiful Falah, Pesantren, Kyai dan Masa Depan: Upaya Mencari Model Kaderisasi
Ideal di Pesantren, hlm. 42-43.
10
Ibid, hlm. 43
11
Ibid, hlm. 43
12
Ibid, hlm. 44

11

setelahnya. Terkadang regenerasi tidak berjalan dengan baik. Minimnya
kemampuan generasi penerus berdampak kepada kemerosotan nilai
pesantren. Hal ini terjadi di banyak pesantren.
Hal tersebut disadari oleh para Kyai. Mereka menganggap
regenerasi merupakan perkara alami yang harus diperhatikan. Para Kyai
selalu memikirkan kelangsungan hidup pesantren setelah mereka
meninggal. Sarana utama yang dijalankan para Kyai untuk melestarikan
pesantren ialah dengan membangun solidaritas dan kerja sama antar
mereka. Ada tiga cara yang mereka lakukan untuk membangun solidaritas:
a. Membangun suatu tradisi bahwa keluarga yang terdekat harus menjadi
calon kuat pengganti kepemimpinan pesantren.
b. Mengembangkan suatu jaringan aliansi perkawinan endogamous
antara keluarga Kyai.
c. Mengembangkan tradisi transmisi pengetahuan dan rantai transmisi
intelektual antara sesama Kyai dan keluarganya.
Estafet pergantian kepemimpinan pesantren yang dimiliki oleh
pribadi Kyai terjadi di dalam keluarga terdekat; pendiri-anak-menantucucu-santri senior. Zamakhsyari Dhofier menyebut ini sebagai geneologi
sosial pemimpin pesantren. Regenerasi kepemimpinan terjadi di dalam
keluarga terdekat Kyai. Anak laki-laki pertama menjadi putra mahkota, dia
diberi privillage sebagai penerus utama. Apabila Kyai tidak memiliki
putra, maka pilihan akan jatuh kepada menantunya. Seterusnya estafet
kepemimpinan diteruskan oleh cucu Kyai pendiri. Ada saatnya santri
senior diangkat menjadi pimpinan. Hal ini terjadi ketika generasi penerus
Kyai tidak memiliki kualitas yang mumpuni untuk memimpin pesantren.
3. Model kaderisasi di pondok pesantren
Dalam rangka mensukseskan

regenerasi

kepemimpinan

di

pesantren, Kyai melakukan program kaderisasi. Kelestarian pesantren akan
dipertaruhkan bila regenerasi dilakukan tanpa melalui tahapan kaderisasi.
Seorang putra Kyai tidak bisa langsung menjadi Kyai. Darah Kyai yang
mengalir di dalam tubuh tidak menjamin keberhasilan suksesi. Banyak
contoh pesantren yang redup karena generasi penerus Kyai tidak cukup
kompeten untuk meneruskan perjuangan pendahulunya.

12

Imam Zarkasyi membedah model kaderisasi pemimpin yang
dilaksanakan di Gontor dalam buku Bekal Untuk Pemimpin. Berikut
adalah tujuh metode kaderisasi pemimpin yang beliau tulis:
a. Pengarahan
Dalam pembentukan karakter pemimpin, pemberian pengarahan
sebelum melaksanakan kegiatan bersifat mutlak dan sangat penting.
Pengarahan berfungsi sebagai petunjuk agar calon pemimpin itu tahu
dan paham tujuan kegiatan, isi kegiatan, bagaimana melaksanakannya
dan filosofi yang terkandung di dalamnya.
b. Pelatihan
Pengarahan saja tidak cukup, para calon pemimpin harus dibekali
dengan pelatihan. Calon pemimpin harus dilatih agar bisa hidup
bermasyarakat dan berorganisasi. Bekal pelatihan sangat dibutuhkan
oleh calon pemimpin agar siap terjun menghadapi tantangan.
c. Penugasan
Penugasan merupakan sarana pendidikan yang sangat efektif. Dengan
diberi tugas, calon pemimpin akan terlatih, terkendali dan termotivasi.
Penugasan adalah proses penguatan dan pengembangan diri. Siapa
saja yang banyak mendapat tugas atau melibatkan diri dalam berbagai
tugas, dia akan tumbuh kuat, terampil dan terbiasa menyelesaikan
berbagai problematika hidup.
d. Pembiasaan
Pembiasaan merupakan unsur penting dalam pengembangan mental
dan karakter calon pemimpin. Pendidikan adalah pembiasaan.
Membiasakan para calon pemimpin melakukan kegiatan positif dan
berfikir solutif harus dilakukan di setiap kesempatan. Pembiasaan
tumbuh dari tuntutan dan aturan. Setelah aturan dilakukan terusmenerus maka hal itu akan menjadi kebiasaan.
e. Pengawalan
Pengawalan yang dimaksud disini, setiap kegiatan yang dilakukan
oleh calon pemimpin harus selalu mendapat bimbingan dan
pendampingan. Fungsi pengawalan sebagai kontrol dan evaluator di
setiap kegiatan.
f. Uswah Hasanah
Uswah hasanah adalah usaha memberikan dan menjadi contoh yang
baik bagi orang lain. Uswah hasanah sangata urgen dalam pendidikan
13

kaderisasi. Keberhasilan mencetak kader yang baik tentu bermula dari
pemberian contoh dan teladan yang baik.
g. Pendekatan
Ada tiga model pendekatan yang dilakukan kepada calon pemimpin.
Pertama pendekatan manusiawi, secara fisik kader harus didekati.
Kedekatan bisa menjadi wasilah pengetahuan kepribadian kader.
Dengan kedekatan pola pikir, sikap dan perilaku kader bisa diketahui
secara jelas. Kedua pendekatan program, kader harus bersentuhan
langsung dengan tugas yang akan diemban kelak setelah dia menjadi
pemimpin. Seorang kader imam tentu harus diberi tugas menjadi
imam meski dalam skala yang lebih kecil. Ketiga pendekatan
idealisme, ini adalah pendekatan isi, nilai, filsafat dan ruh. Calon
pemimpin harus tahu filosofi setiap apa yang dia kerjakan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarakan pembahasan keseluruhan dalam kajian makalah ini
dapat dikemukakan kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut:
1. Eksistensi Kyai sebagai pemimpin pesantren, ditinjau dari tugas dan
fungsinya, dapat dipandang sebagai sebuah fenomena yang unik. Karena
Perkembangan atau besar tidaknya pesantren semacam ini sangat
ditentukan oleh kekarismaan Kyai pengasuh. Dengan kata lain, semakin
karismatik Kyai (pengasuh), semakin banyak masyarakat yang akan
berduyun-duyun untuk belajar bahkan hanya untuk mencari barakah dari
Kyai tersebut dan pesantren tersebut akan lebih besar dan berkembang
pesat.
2. Sangat jelas bahwa kepemimpinan Kyai adalah posisi yang sangat
menentukan kebijaksanaan di semua segi kehidupan pesantren, sehingga
cenderung menumbuhkan otoritas mutlak, yang pada hakikatnya justru
berakibat fatal. Namun profil Kyai di atas pada umumnya hanyalah
terbatas pada Kyai pengasuh pesantren tradisional yang memegang
wewenang (otoritas) mutlak dan tidak boleh diganggu gugat oleh pihak
mana pun.

14

3. Model kepemimpinan kolektif atau yayasan tersebut menjadikan strategis.
Beban Kyai menjadi lebih ringan karena ditangani bersama sesuai dengan
tugas masing-masing. Kyai juga tidak terlalu menanggung beban moral
tentang kelanjutan pesantren di masa depan.
4. Sebagai lembaga pendidikan islam yang asli Indonesia, pesantren memiliki
aturan tersendiri dalam regenerasi.tidak sama seperti kepemimpina sekolah
bukan seperti kepemimpinan yang diinginkan kebanyakan orang. Dalam
pergantian kepemimpinan pesantren, niscaya setelah pimpinan wafat
kemudian akan diteruskan oleh generasi setelahnya yaitu putranya atau
dengan model-model yang telah di tentukan.
5. Dan untuk melestarikan dan menjalankan pesantren agar tetap terjaga
dengan cara kerja sama antar mereka agar tidak ada kesalahan dalam
menjalankan aturan-aturan pesantren dan menentukan regenerasi yang
lebih baik sesuai dengan model-model kepemimpinan kiai.

DAFTAR PUSTAKA
15

Anwar, Kasful. .Kontekstualita, Vol. 25, No. 2, 2010. Kepemimpinan Kiai
Pesantren: Studi terhadap Pondok Pesantren di Kota Jambi.
Danim, Sudarwan. 2012. Kepemimpinan Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Falah, Saiful. 2016. Pesantren, Kyai dan Masa Depan: Upaya Mencari Model
Kaderisasi Ideal di Pesantren. Bogor: Santrinulis Publishing.
Handoko, Hani. 2015. Manajemen. Yogyakarta: BPFE.
Hasbullah. 2001. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hermino, Agustinus. 2017. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: Alfabeta.
Kompri. 2015. Manajemen Sekolah Orientasi Kemandirian Kepala Sekolah.
Yogyakarta: Pustaka Belajar.

16