BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN - Estimasi Pangsa Pasar Dari Berbagai Jenis Merek Produk Mie Instan Dengan Menggunakan Rantai Markov

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Tinjuan Pustaka

2.1.1 Mie Instan

  Mie instan merupakan salah satu makanan yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Mie instan sering dikonsumsi sebagai makanan alternatif pengganti makanan pokok (Anonimous, 2011). Mie instan di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh PT Lima Satu Sankyu yang berdiri pada bulan April 1968. Pada 1977 perusahaan ini merubah namanya menjadi PT Lima Satu Sankyu Indonesia yang lantas dirubah lagi menjadi PT Supermie Indonesia sesuai dengan merk dagang utamanya Supermie (Anonimous, 2011).

  Permintaan mie instan dari segmen menengah atas tidak mengalami perubahan, sehingga industri mie instan segmen menengah atas tetap bersaing ketat. Namun demikian, persaingan di segmen menengah atas tersebut sekarang berlangsung secara lebih sehat. Semua produsen mie instan segmen menengah atas tersebut serentak menaikkan harga jual produknya menyesuaikan dengan kenaikan biaya produksi yang tinggi (Anonimous,2011).

  Demikian juga halnya dengan masalah mie instan yang sering masuk dalam berita di media dan menjadi isu hangat dengan ditariknya peredaran beberapa produk seluruh dunia Indonesia menempati nomor urut ke 2 dalam konsumsi mie instan. Jika dilihat dari kandungan nutrisi yang ada pada mie instan, meski kaya akan karbohidrat, sebenarnya sangat miskin protein. Masalahnya adalah, sebagian masyakat Indonesia ada yang menggunakan mie instan ini sebagai lauk ataupun sayur berkuah yang digunakan sebagai teman nasi dalam kehidupan konsumsi sehari-hari. Sungguh suatu kondisi yang mengenaskan, sudah banyak makan nasi dengan karbohidrat tinggi, masih juga makan mie instan yang juga mengandung karbohidrat tinggi (Anonimous,2011).

  Masalah kedaulatan pangan ini berkait dengan industri mie instan di Indonesia. Pertanyaan pokoknya adalah sejauh mana produsen mie instan dapat menggunakan sumber bahan baku dari jenis pangan yang ada di dalam negeri, seperti yang disebutkan di atas. Dalam logika yang sederhana, menggunakan sumber bahan baku dalam negeri akan berdampak positif terhadap pertanian, karena permintaan terhadap hasil pertanian dalam negeri akan meningkat—yang berarti meningkatkan pula harga jualnya. Meski masih dalam skala kecil, kami mengapresiasi upaya sejumlah kalangan yang membuat terobosan dengan memproduksi mie instan dari bahan baku sagu dan umbi-umbian (Anonimous,2011).

2.1.2 Konsumsi Mie Instan

  Mie instan merupakan salah satu pilihan makanan pengganti nasi bagi sebagian (atau sebagian besar) rakyat Indonesia. Selain murah dan cepat saji—sesuai namanya, campuran bumbu dan zat kimia menghasilkan perpaduan rasa yang rata-rata konsumsi mie instan di Indonesia termasuk yang tertinggi yaitu 65,2 bungkus per kapita per tahun, atau sebanyak 14,99 miliar bungkus. Data ini dilansir tahun 2007, yang artinya sangat mungkin telah terjadi penambahan sampai tahun ini (Anonimous,2011).

  Meningkatnya jumlah konsumsi mie instan juga berarti meningkatnya konsumsi pangan impor, mengingat mayoritas produk mie instan saat ini menggunakan gandum sebagai bahan baku pokok. Akibatnya terjadi pula pergeseran konsumsi dari jenis pangan yang lebih dikenal sebelumnya seperti beras, sagu, umbi- umbian, dan jagung. Pergeseran pola konsumsi (atau pola makan) ini, yang dimulai sejak tahun 1970-an, telah menciptakan ketergantungan terhadap pangan impor, karena gandum tidak dapat dihasilkan di Indonesia. Dalam kaitan dengan kedaulatan pangan, hal yang sama terjadi pada jenis pangan yang lain seperti beras, jagung, dan kedelai. Perlahan-lahan masyarakat di negeri ini, yang dianugerahi tanah subur dan beragam potensi pangan, tidak lagi menjadi penghasil melainkan menjadi konsumen pangan (Anonimous,2011). Sementara persoalan lain yang juga mendesak adalah pengawasan terhadap hasil produk mie instan. Lembaga seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) seharusnya telah aktif sejak awal mengenakan standar yang aman dan sehat dalam periksaan terhadap produk mie instan ini. Jenis makanan yang murah dan praktis seperti ini perlu mendapat perhatian khusus dari BPOM karena kandungan kimia pengawet yang nyaris tak terhindarkan dan luasnya konsumen yang menggemarinya saat ini (Anonimous,2011).

2.1.3 Pengertian dan Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen

  Istilah perilaku erat hubungannya dengan objek yang studinya diarahkan pada permasalahan manusia. Di bidang studi pemasaran, konsep perilaku konsumen secara terus-menerus dikembangkan dengan berbagai pendekatan. Menurut Sumarwan (2004) menyatakan bahwa perilaku konsumen (consumer behavior) diartikan sebagai perilaku yang diperlihatkan konsumen untuk mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan menghabiskan produk dan jasa yang mereka harapkan akan memuaskan kebutuhan mereka.

  Menurut Engel, Blackwell dan Miniard (1990), perilaku konsumen diartikan “Those actions directly involved in obtaining, consuming, and disposing of

  products and services, including the decision processes that precede and follow this action ”. Perilaku konsumen merupakan tindakan–tindakan yang terlibat

  secara langsung dalam memperoleh, mengkonsumsi, dan membuang suatermasuk proses keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan – tindakan tersebut. Perilaku konsumen berhubungan dengan alasan dan tekanan yang mempengaruhi pemilihan, pembelian, penggunaan, dan pembuangan barang dan jasa yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan pribadi. Perilaku konsumen menitikberatkan pada aktivitas yang berhubungan dengan konsumsi dari individu (Hanna & Wozniak, 2001). Menurut Kotler (2001), Keputusan pembelian dari pembeli merupakan hasil suatu hubungan yang saling mempengaruhi dan yang rumit antara faktor-faktor internal

  1) faktor budaya (kebudayaan, subbudaya, dan kelas sosial), 2) faktor sosial (kelompok acuan, keluarga, peran dan status), 3) faktor pribadi (umur, pekerjaan, situasi ekonomi, gaya hidup, dan kepribadian), dan

  4) faktor psikologis (pengetahuan, motivasi, keyakinan, dan sikap). Selain faktor internal juga terdapat faktor eksternal yang menimbulkan persepsi konsumen yaitu faktor stimulus pemasaran yang terdiri atas produk, harga, distribusi, dan promosi. Faktor internal dan faktor eksternal ini kemudian menimbulkan dua persepsi konsumen yaitu persepsi internal konsumen dan persepsi stimulus konsumen. Kedua persepsi ini sangat mempengaruhi konsumen dalam membuat keputusan membeli produk berdasarkan selera mereka (Umar, 2000). Kotler (2001) juga menjelaskan bagaimana seseorang dalam mengambil keputusan dalam pembelian suatu produk. Keputusan membeli yang dilakukan oleh konsumen melalui beberapa tahap yaitu: tahap pengenalan kebutuhan, tahap pencarian informasi, tahap evaluasi alternatif, keputusan pembelian dan terakhir tahap perilaku setelah pembelian.

  Pengenalan Pencarian Evaluasi Keputusan Perilaku setelah Kebutuhan Informasi Alternatif Pembelian Pembelian

  Gambar 1. Proses pengambilan keputusan pembelian Perilaku konsumen menggambarkan bagaimana konsumen membuat keputusan- pembelian barang atau jasa. Keputusan ini didasarkan atas persepsi mereka yang dipengaruhi oleh berbagai faktor.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Permintaan dan Penawaran Permintaan

  Menurut Rahardja, P. (2006) Permintaan adalah keinginan konsumen membeli suatu barang pada berbagai tingkat harga selama periode waktu tertentu, dan Menurut Sukirno, S (2005) Teori permintaan menerangkan tentang ciri hubungan antara jumlah permintaan dan harga.

  Faktor yang mempengaruhi permintaan

  Salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan adalah selera konsumen terhadap barang dan jasa yang dapat memengaruhi jumlah barang yang diminta.

  Jika selera konsumen terhadap barang tertentu meningkat maka permintaan terhadap barang tersebut akan meningkat pula (Sukirno, 2005).

  Fungsi dan Kurva Permintaan

  Fungsi Permintaan adalah permintaan yang dinyatakan dalam hubungan matematis dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dimana dalam fungsi permintaan, kita dapat mengetahui hubungan antara variabel tidak bebas (dependent variable) dan variabel-variabel bebas (independent variables).

  Dx = f (Px, Py, Y / cap, sel, pen, Pp, Ydist, prom) Dimana : Dx = permintaan barang X

  Px = harga X

  Y/ cap = pendapatan perkapita Sel = selera atau kebiasaan Pen = jumlah penduduk Pp = perkiraan harga X periode mendatang Y dist = distribusi pendapatan Prom = upaya produsen meningkatkan penjualan (promosi) (Rahardja, 2006).

  Berdasarkan penjelasan teori permintaan, faktor serta fungsi permintaan, maka dapat digambarkan ciri hubungan permintaan dan harga dalam kurva permintaan sebagai berikut. P D

   Q (Rahardja, 2006).

  Penawaran

  Menurut Rahardja, (2006) Penawaran adalah jumlah barang yang produsen ingin tawarkan (jual) pada berbagai tingkat harga selama satu periode tertentu, dan menurut Sukirno, (2005) Penawaran adalah keinginan para penjual dalam menawarkan barangnya pada berbagai tingkat harga.

  Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penawaran suatu barang, diantaranya sebagai berikut.

  • Apabila harga barang yang ditawarkan mengalami kenaikan, maka jumlah barang yang ditawarkan juga akan meningkat. Sebaliknya jika barang yang ditawarkan turun jumlah barang yang ditawarkan penjual juga akan turun.

  Harga Barang itu Sendiri.

  • Apabila harga barang pengganti meningkat maka penjual akan meningkatkan jumlah barang yang ditawarkan. Penjual berharap, konsumen akan beralih dari barang pengganti ke barang lain yang ditawarkan, karena harganya lebih rendah (Sukirno, 2005).

  Harga Barang Pengganti.

  Fungsi dan Kurva Penawaran

  Fungsi Penawaran adalah penawaran yang dinyatakan dalam hubungan matematis dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

  Sx = f (Px, Py, Pi, C, Tek, Ped, Tuj, Kebij) Dimana : Sx = penawaran barang X

  Px = harga X Py = harga Y (barang substitusi atau komplement) Pi = harga input C = biaya produksi Tek = teknologi produksi Ped = jumlah pedagang atau penjual

  Kebij = kebijakan pemerintah (Rahardja, 2006).

  Berdasarkan penjelasan teori penawaran, faktor serta fungsi penawaran, maka dapat digambarkan ciri hubungan penawaran dan harga dalam kurva penawaran sebagai berikut. P S

  

Q

(Rahardja, 2006).

2.2.2 Pangsa Pasar (Market Share)

  Pangsa pasar (Market Share) dapat diartikan sebagai bagian pasar yang dikuasai oleh suatu perusahaan, atau persentase penjualan suatu perusahaan terhadap total penjualan para pesaing terbesarnya pada waktu dan tempat tertentu. Jika suatu perusahaan dengan produk tertentu mempunyai pangsa pasar 35%, maka dapat diartikan bahwa jika penjualan total produk-produk sejenis dalam periode tertentu adalah sebesar 1000 unit, maka perusahaan tersebut melalui produknya akan memperoleh penjualan sebesar 350 unit. Besarnya pangsa pasar setiap saat akan berubah sesuai dengan perubahan selera konsumen, atau berpindahnya minat konsumen dari suatu produk ke produk lain (Durianto dan Sitinjak, 2001).

  Dalam tulisan Lubis (2004) strategi pemasaran bisa digolongkan atas dasar pangsa pasar yang diperoleh suatu perusahaan, maka terbagi atas 4 kelompok, yaitu:

  1. Market Leader, disebut pimpinan pasar apabila pangsa pasar yang dikuasai berada pada kisaran 40% atau lebih.

  2. Market Chalengger, disebut penantang pasar apabila pangsa pasar yang dikuasai berada pada kisaran 30%.

  3. Market Follower, disebut pengikut pasar apabila pangsa pasar yang dikuasai berada pada kisaran 20%.

  4. Market Nitcher, disebut juga penggarap relung pasar apabila pangsa pasar yang dikuasai berada pada kisaran 10% atau kurang.

2.2.3 Ekuitas Merek (Brand Equity)

  Merek adalah nama simbol yang diberikan produsen yang bersifat membedakan barang atau jasa yang dihasilkan produsen lain. Aaker (1997) mengatakan bahwa ekuitas merek merupakan satu set Brand Asset dan Liability yang berhubungan dengan sebuah merek dan simbol yang disediakan sebuah produk atau servis bagi pengguna. Ekuitas merek mempunyai lima kategori, yaitu: 1.

   Loyalitas merek (Brand Loyality) 2. Kesadaran akan merek (Brand Awareness) 3. Asosiasi merek (Brand Association) 4. Kesan kualitas (Perceived Quality) 5. Aset-aset merek lainnya (Other Propriertary Brand Asset)

  Loyalitas merek merupakan inti dari ekuitas merek. Suatu produk dapat

  

brand association yang cukup banyak, tetapi belum tentu mempunyai loyalitas

  merek. Sebaliknya, produk yang memiliki loyalitas merek dapat dipastikan memiliki kesadaran merek yang tinggi, kualitas yang baik, dan asosiasi yang cukup dikenal (Aaker, 1997). Adapun komponen dari ekuitas merek menurut Aaker (1997) adalah: 1.

  Brand Loyality (Loyalitas merek)

  

Brand Loyality merupakan satu ukuran keterkaitan antara pengguna kepada

  sebuah merek. Ukuran ini dapat memberikan gambaran tentang mungkin tidaknya seorang pelanggan beralih ke merek produk lain, terutama jika pada merek tersebut didapati adanya perubahan, baik menyangkut harga maupun unsur-unsur produk. Dalam kaitannya dengan loyalitas merek suatu produk, didapati adanya beberapa tingkatan loyalitas merek. Setiap tingkat mewakili tantangan pemasaran yang berbeda, dan mewakili juga tipe aset yang berbeda dalam mengelola dan mengeksploitasinya. Semuanya mungkin tidak mewakili kelas produk atau pasar yang spesifik.

2. Brand Awareness (Kesadaran akan merek)

  

Brand awareness adalah kesanggupan seorang pengguna untuk mengenali dan

mengingat kembali suatu merek sebagai bagian dari suatu produk tertentu.

  Pengukuran Brand awareness, menurut Aaker (1997), didasarkan pada pengertian-pengertian yang mencakup tindakan dalam kesadaran akan merek yaitu: a.

  Top of Mind, menggambarkan merek yang pertama kali diingat atau disebut b.

  Brand Recall, atau pengingatan kembali merek, mencerminkam merek-merek apa saja yang diingat responden setelah menyebut merek pertama.

  c.

  Brand Recognition, atau merek yang diingat konsumen setelah diberi bantuan.

  d.

  Unware of Brand, merupakan tingkatan yang paling rendah dimana responden tidak mengenal merek suatu produk meskipun sudah diberi bantuan.

  3. Brand Association (Asosiasi merek)

  

Brand association adalah segala sesuatu yang dapat dihubungkan dalam memori

  responden terhadap suatu produk. Berbagai asosiasi merek saling berhubungan akan membentuk brand image. Pada umumnya asosiasi merek, terutama yang membentuk merek, akan menjadi pijakan bagi pengguna dalam keputusan pembelian dan loyalitas pada merek tersebut.

  4. Perceived Quality (Kesan kualitas)

  

Perceived quality merupakan persepsi pengguna terhadap kualitas suatu merek

  produk. Kesan kualitas ini akan membentuk persepsi kualitas dari suatu produk dimata pengguna. Dimensi perceived quality dibagi menjadi: a.

  Kinerja, melibatkan berbagai karakteristik operasional utama.

  b.

  Pelayanan, mencerminkan kemampuan suatu produk dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan.

  c.

  Ketahanan, mencerminkan umur ekonomis dari produk tersebut.

  d.

  Keandalan, konsistensi dari kinerja yang dihasilkan dari suatu pembelian ke pembelian berikutnya.

  e.

  Karakteristik produk, bagian-bgian tambahan dari suatu produk. f.

  Hasil, mengarah kepada kualitas yang dirasakan melibatkan dimensi sebelumnya.

2.2.4 Perpindahan Merek (Brand Switching)

  Brand switching adalah kegiatan seorang pengguna yang melakukan perpindahan merek dari suatu produk yang satu ke produk yang lainnya karena alasan tertentu.

  Brand switching ini merupakan bagian dari loyalitas merek dimana seorang pengguna yang setia menggunakan merek tertentu.

  Loyalitas merek (Brand Loyality) adalah suatu ukuran keterkaitan pengguna terhadap sebuah merek. Loyalitas merek adalah kondisi pasar dengan tingkat pertumbuhan yang sangat rendah namun tingkat persaingan yang sangat ketat saat ini. Keberadaan pengguna sangat loyal pada merek suatu produk sangat dibutuhkan agar perusahaan dapat bertahan hidup dan upaya mempertahankan pengguna ini sering menjadi strategi yang jauh lebih efektif dari pada menarik pengguna baru untuk mengkonsumsi produk mereka (Durianto dan Sitinjak, 2001).

  Dalam kaitannya dengan loyalitas suatu produk, terdapat tingkatan loyalitas merek. Adapun tingkatan tersebut menurut Durianto dan Sitinjak (2001) adalah sebagai berikut: 1.

  Switcher (Pengguna yang berpindah-pindah) Pengguna pada tingkat ini dikatakan sebagai pengguna yang berada pada tingkat paling dasar. Semakin tinggi frekuensi pengguna untuk berpindah dari merek suatu produk ke produk lainnya mengindikasikan mereka sebagai pengguna yang mereka anggap memadai serta memegang peranan yang sangat kecil dalam keputusan pembelian. Ciri dari pengguna ini adalah mereka membeli suatu produk karena harganya murah.

  2. Habitual Buyer (Pengguna yang bersifat kebiasaan) Pada tingkatan ini pengguna dapat dikategorikan sebagai pengguna yang puas dengan merek yamg dipakainya. Pengguna ini membeli merek suatu produk didasarkan atas kebiasaan mereka selama ini.

  3. Satisfied Buyer with Switching Cost (Pengguna yang puas dengan biaya peralihan).

  Pengguna yang berada pada tingkatan ini termasuk dalam kategori puas bila mereka mengkonsumsi merek tersebut, meskipun demikian mungkin saja mereka berpindah ke merek produk lainnya dengan menggunakan switching cost (biaya peralihan) yang terkait dengan waktu, uang, atau resiko kinerja yang melekat dengan tindakan mereka berpindah merek.

  4. Likes the Brand (Pengguna yang menyukai merek tertentu) Pengguna yang masuk dalam kategori ini merupakan pembeli yang bersungguh- sungguh menyukai merek tersebut. Rasa suka pengguna bisa saja didasari oleh asosiasi yang terkait dengan simbol, rangkaian pengalaman dalam menggunakan merek produk yang sebelumnya baik yang digunakan pribadi maupun kerabatnya.

  5. Committed Buyer (Pengguna yang setia) Pada tingkatan ini pengguna merupakan pembeli yang setia. Mereka memiliki kebanggaan terhadap merek suatu produk bahkan merek tersebut menjadi sangat penting bagi mereka dipandang dari segi fungsi maupun sebagai ekspresi diri mereka. Salah satu aktualisasi dari pelanggan ini ditunjukkan oleh tindakan merekomendasikan dan mempromosikan merek tersebut kepada orang lain.

  Loyalitas merek pengguna terhadap suatu merek dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut Supranto (2006), terdapat lima faktor pengguna loyal terhadap merek yang digunakan, antara lain:

  1. Customer Value

  

Customer value merupakan persepsi pengguna yang membandingkan antara biaya

atau harga atau beban yang harus ditanggung dan manfaat yang diterimanya.

  Manfaat ini bisa tangibel, yaitu menyangkut kegunaan secara fisik, bisa juga manfaat intangibel, yaitu yang bersifat psikologis atau emosional pengguna.

  2. Switching Barrier

  

Switching barrier adalah hambatan atau beban atau biaya yang harus ditanggung

  pengguna bila dia akan berpindah dari satu merek ke merek lain. Hambatan ini tidak selalu karena nilai ekonomi saja, tetapi bisa juga berkaitan dengan fungsi psikologis, sosial, bahkan ritual.

  3. Customer Characteristic

  

Customer characteristic adalah karakter pengguna dalam menggunakan merek

  suatu produk. Pada kenyataannya setiap individu memiliki karakteristik yang berbeda dengan individu lainnya.

  4. Customer Satisfaction

  

Customer satisfaction merupakan pengalaman pengguna ketika menggunakan

merek yang digunakan.

  5. Competitive Environment

  

Competitive Environment menyangkut sejauh mana kompetisi atau persaingan

yang terjadi antar merek dalam satu kategori produk.

2.2.5 Konsep Perpindahan Merek

  Menurut Swastha (2002), perilaku perpindahan merek pada pelanggan merupakan suatu fenomena yang kompleks yang dipengaruhi banyak faktor. Seperti ketidakpuasan konsumen, perilaku, persaingan, dan harga. Perpindahan merek yang dilakukan oleh konsumen juga dapat disebabkan oleh pencarian variasi (variety seeking) yang dipengaruhi oleh promosi penjualan maupun iklan yang dilakukan oleh produsen dalam strategi memasarkan dan mempertahankan produk mereka dari kompetitor. Sedangkan dalam bukunya Durianto (2001) mengatakan bahwa ada 4 faktor yang menyebabkan konsumen berpindah merek yaitu ketidakpuasan konsumen, kebutuhan mencari variasi lain (variety seeking), harga, dan iklan. Seorang konsumen yang mengalami ketidakpuasan mempunyai kemungkinan akan merubah perilaku keputusan membelinya dengan mencari alternatif merek lain pada konsumsi berikutnya untuk meningkatkan kepuasannya.

  Kebutuhan mencari variasi lain (variety seeking) adalah sebuah komitmen kognitif untuk membeli merek yang berbeda karena berbagai alasan yang berbeda, keinginan baru atau timbul rasa bosan pada sesuatu yang telah lama dikonsumsi. Karena konsumen diperhadapkan dengan berbagai macam variasi produk dengan berbagai jenis merek, keadaan ini dapat mempengaruhi konsumen untuk mencoba berbagai macam produk dan merek sehingga konsumen tidak sepenuhnya setia pada satu produk.

  Harga merupakan salah satu variable penting dalan pemasaran dimana harga dapat mempengaruhi konsumen dalam mengambil keputusan untuk membeli suatu produk. Harga secara sederhana diartikan sebagai sejumlah uang yang dibutuhkan untuk mendapatkan sejumlah kombinasi dari barang beserta pelayanannya. Harga suatu merek yang terlalu mahal dengan karakteristik yang ditawarkan sama dengan merek produsen lain dapat menyebabkan konsumen berpindah merek.

  Konsumen akan loyal pada merek berkualitas tinggi dengan harga yang wajar. Iklan dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya keputusan perpindahan merek. Iklan dan promosi dapat mengubah probabilitas seorang konsumen dalam membeli sebuah produk dengan merek tertentu pada suatu kategori yang sama di masa yang akan datang. Iklan memberikan rangsangan dan dorongan pada konsumen untuk berpindah merek karena menimbulkan ingatan akan pesan promosi yang disampaikan. Konsumen dengan tingkat persepsi yang berbeda

2.2.6 Rantai Markov (Markov Chain)

  Dalam bukunya, Siagian (2006), menyatakan bahwa analisis Rantai Markov adalah suatu metode yang mempelajari sifat-sifat suatu variabel pada masa sekarang yang didasarkan pada sifat-sifatnya di masa lalu dalam usaha menaksir sifat-sifat variabel tersebut di masa yang akan datang. Dalam analisis Markov yang dihasilkan adalah suatu informasi probabilistik yang dapat digunakan untuk membantu pembuatan keputusan, jadi analisis ini bukan suatu teknik optimisasi melainkan suatu teknik deskriptif. Menurut Husein Umar (2003), Rantai markov adalah salah satu model riset operasi yang banyak dipakai dalam manajemen operasional. Model ini dapat dikembangkan untuk aplikasi dalam pemasaran. Pada eksibit ini, model ini tidak dapat dipaparkan lagi, tetapi langsung diaplikasikan untuk peramalan market –

  share dengan dukungan kuisoner sebagai alat pengumpul datanya.

  Rantai Markov sebenarnya merupakan bentuk khusus dari model probabilitas yang melibatkan waktu dan lebih dikenal sebagai proses stokastik. Rantai Markov merupakan proses stokastik dari variable-variabel acak {X t ;t = 0,1,2,3,…} yang membentuk suatu deret dan memenuhi sifat Markov.

  Dalam sifat Markov, jika diberikan kejadian-kejadian yang telah berlalu (past states) X ,X ,X ,….,X , artinya kejadian yang akan datang (future state)

  1 2 t-1

  X t+1 bersifat bebas (independen) dari kejadian-kejadian yang telah berlalu (past

  state ) X ,X 1 ,X 2 ,….,X t-1, dan kejadian yang akan datang (future state) X t+1 hanya bergantung pada kejadian yang sedang berlangsung (present state) X t .

  Untuk suatu pengamatan yang prosesnya sampai waktu ke t, maka distribusi nilai proses dari waktu ke t+1 hanya bergantung pada nilai dari proses pada waktu t.

  Secara umum dituliskan: P(X = i = j ,X = j ,…,X = j ,X = j ) = P(X = i = j)

  t+1

  1

1 t-1 t-1 t t t+1 t

  │X │X

  Pengguna Rantai Markov terhadap suatu masalah memerlukan pemahaman tentang tiga keadaan yaitu keadaan awal, keadaan transisi, dan keadaan setimbang. Dari tiga keadaan di atas, keadaan transisi merupakan yang terpenting. Oleh karena itulah asumsi-asumsi dalam Rantai Markov hanya berhubungan dengan keadaan transisi. Asumsi-asumsi dalam Rantai Markov adalah sebagai berikut: a.

  Jumlah probabilitas transisi keadaan adalah 1 b. Probabilitas transisi tidak berubah selamanya c. Probabilitas transisi hanya tergantung pada status sekarang, bukan periode sebelumnya.

  Probabilitas mempunyai banyak persamaan seperti kemungkinan, kesempatan dan kecendrungan. Probabilitas menunjukkan kemungkinan terjadinya suatu peristiwa yang bersifat acak. Suatu peristiwa disebut acak jika terjadinya peristiwa tersebut tidak diketahui sebelumnya. Oleh karena itu, probabilitas dapat digunakan sebagai alat ukur terjadinya peristiwa di masa yang akan datang. Nilai probabilitas yang paling kecil adalah 0 yang berarti bahwa peristiwa tersebut pasti tidak akan terjadi. Sedangkan nilai probabilitas yang terbesar adalah 1 yang berarti bahwa peristiwa tersebut pasti akan terjadi.

  Secara umum, nilai probabilitas suatu peristiwa X adalah: ≤ P(X) ≤ 1

  Analisis ini sangat sering digunakan untuk membantu pembuatan keputusan dalam bisnis dan industri, misalnya dalam masalah ganti merek, masalah hutang- piutang, masalah operasi mesin, analisis pengawasan, dan lain-lain. Sedangkan di bidang pertanian paling banyak digunakan di bagian sosial ekonomi. Sebagai statenya antara lain adalah banyaknya jumlah produksi industri pertanian, lokasi industri pertanian, pertumbuhan ekonomi, pembangunan pertanian, struktur pasar, dan berbagai jenis merek suatu produk pertanian.

2.3 Kerangka Pemikiran

  Setiap perusahaan memiliki tujuan pemasaran agar dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Oleh karena itu, para pemasar seharusnya senantiasa mempelajari perilaku konsumen dalam membeli kebutuhan mereka sebagai pelanggan sasaran mereka. Pemahaman pengambilan keputusan konsumen sangat penting bagi suatu organisasi, karena berhasil atau tidaknya produk tergantung pada persepsi konsumen terhadap produk tersebut. Memahami tingkat keterlibatan konsumen terhadap produk berarti berusaha mengidentifikasikan hal- hal yang menyebabkan seseorang terlibat dalam pembelian.

  Perilaku konsumen menggambarkan bagaimana konsumen membuat keputusan- keputusan pembelian dan bagaimana mereka menggunakan dan mengatur pembelian barang atau jasa. Keputusan ini didasarkan atas persepsi mereka yang dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal.

  Yang termasuk kedalam faktor internal adalah kebudayaan (kebiasaan), faktor sosial (kelompok acuan, keluarga, status), faktor pribadi (umur, pekerjaan, situasi ekonomi/keuangan), dan faktor psikologis (motivasi dan keyakinan). Sedangkan yang termasuk kedalam faktor eksternal adalah stimulus pemasaran yang terdiri dari produk (merek, kemasan, label, warna, bau, rasa), harga (diskon), dan promosi (iklan).

  Kedua faktor tersebut yaitu faktor internal dan faktor eksternal akan membentuk persepsi konsumen yaitu persepsi internal dan faktor stimulus konsumen yang akan mempengaruhi konsumen dalam mengambil keputusan membeli produk mie instan. Suatu keputusan adalah pemilihan suatu tindakan dari dua atau lebih pemilihan alternatif. Dengan demikian, konsumen harus mengambil keputusan merek mie instan apa saja yang dibelinya, atau dia harus memilih satu dan beberapa pilihan merek mie instan dengan berbagai pertimbangan tertentu untuk memilih produk mie instan yang paling sesuai (best fit) bagi mereka.

  Dengan memperhatikan perilaku konsumen yang berbeda-beda dalam membuat keputusan membeli produk mie instan maka produsen harus tanggap dengan keinginan konsumen terhadap produk mie instan yang dipasarkan dengan berbagai karakteristik yang dapat menyebabkan konsumen berpindah merek dari satu merek mie instan ke mie instan lainnya. Sehingga produsen perlu melakukan analisis pola perpindahan yang dilakukan konsumen untuk mendapatkan informasi mengenai persepsi konsumen terhadap produk mie instan yang dikonsumsinya sehingga produsen dapat membuat produk mie yang sesuai dengan

  27

  Faktor Internal Faktor Eksternal Stimulus Pemasaran Persepsi Internal Konsumen

Keputusan Membeli

Mie Instan

  

Analisis Konsumen dan

Produk Mie Instan

Persepsi Stimulus Konsumen

  

Peramalan Keinginan

Produk Mie instan di

Masa Mendatang

  Keterangan: Menyatakan Hubungan Gambar 2. Skema kerangka pemikiran