BAB I PENDAHULUAN - Perilaku Perempuan Islam Pemilih Pada Pemilukada Putaran II Kota Medan 2010 (Studi Kasus: Kemenangan Rahudman Harahap dan Dzulmi Eldin di Kelurahan Perintis, Kecamatan Medan Timur)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses

  pembuatan kebijakan dan pelaksanaan keputusan politik. Dimana terdapat interaksi antara pemerintah dan masyarakat, antar lembaga pemerintah dan antara kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik. Perilaku politik merupakan salah satu aspek dari perilaku secara umum karena disamping perilaku politik masih ada perilaku yang lain seperti perilaku ekonomi, perilaku budaya, perilaku keagamaan dan sebagainya. Dalam hal ini dapat dikatakan perilaku

   politik merupakan perilaku yang menyangkut persoalan politik.

  Pembahasan mengenai perilaku bisa saja terbatas pada perilaku perorangan saja, tetapi disisi lain dapat juga mencakup kesatuan-kesatuan yang lebih besar seperti organisasi kemasyarakatan, kelompok elit, gerakan nasional, atau suatu masyarakat politik. Pendekatan perilaku tidak menganggap lembaga-lembaga formal sebagai kerangka bagi kegiatan manusia. Jika penganut pendekatan perilaku mempelajari parlemen, maka yang dibahas antara lain perilaku anggota parlemen seperti pola pemberian suaranya (voting behavior) terhadap rancangan undang-undang tertentu (apakah pro atau anti, dan mengapa demikian), pidato-pidatonya, cara berinteraksi

   dengan teman sejawat, kegiatan lobbying, dan latar belakang sosialnya.

  Dalam perilaku politik ketika ruang bertarung dibuka, maka bagaimana cara menarik perhatian dan mendapatkan suara pemilih menjadi suatu hal yang signifikan. Karenanya mengenal perilaku dan sosio kultur pemilih adalah hal yang pasti dan 1 harus dilakukan jika ingin memenangkan pertarungan. Perilaku politik dirumuskan 2 Sudijono Sastroatmodjo, Perilaku Politik, Semarang : IKIP Semarang Press, 1995, hlm. 2.

  

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Umum, 2008, hlm.75. sebagai kegiatan yang berkenan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan kekuasaan politik. Keikutsertaan seseorang dalam hal ini sebagai warga negara biasa

   maupun sebagai pengambil keputusan.

  Dilihat dari kegiatannya, partisipasi politik dapat dibedakan menjadi partisipasi politik aktif dan partisipasi politik pasif. Partisipasi politik aktif dapat dilakukan melalui pengajuan alternatif mengenai kebijakan umum menyangkut kritik, membayar pajak, dan sebagainya. Partisipasi politik pasif ditunjukkan melalui kegiatan yang mencerminkan ketaatan dan penerimaan atas hal-hal yang telah menjadi keputusan pemerintah. Partisipasi aktif lebih berorientasi pada segi masukan dan keluaran dari suatu sistem politik. Sedangkan, orientasi partisipasi pasif hanya pada aspek keluaran dari sistem politik. Di samping itu, terdapat sejumlah warga negara tidak menunjukkan partisipasinya baik aktif maupun pasif karena beranggapan bahwa sistem politik yang ada tidak memenuhi harapan mereka. Kelompok itu biasa disebut sebagai golongan putih (golput).

  Dalam struktur kehidupan bernegara, perempuan sebagai warga negara biasa dalam hal ini ikut berpartisipasi dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Partisipasi perempuan sangatlah penting karena teori demokrasi menyebutkan bahwa perlunya partisipasi politik masyarakat pada dasarnya disebabkan bahwa

  

  masyarakat tersebut sangat mengetahui apa yang mereka kehendaki. Secara nasional perempuan sebenarnya adalah bagian masyarakat yang lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki, namun perhatian dan pembicaraan tentang masalah-masalah perempuan masih sedikit atau terbatas. Persoalan politik dipahami sangat sempit yaitu masalah-masalah yang berhubungan dengan kekuasaan publik, terutama kekuasaan di tingkat elit dan cenderung mengesampingkan persoalan perempuan.

  Berdasarkan fakta keikutsertaan perempuan dalam pemilihan umum tahun 1955, pada masa Orde Lama, jumlah perempuan di DPR mencapai 17 orang, empat 3 diantaranya dari organisasi Gerwani dan lima dari Muslimat NU. Pemilihan umum 4 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Widya Saran, 1992, hlm. 131.

  Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik, Jakarta : Gramedia, 1982, hlm. 2. pertama dinilai sebagai demokratis, dengan partisipasi perempuan dalam politik didasarkan pada kemampuan mereka sebagai pemimpin dari unit-unit yang ada dalam

   organisasi-organisasi partai.

  Berbeda dengan periode Orde Lama (Era Soekarno), pada masa Orde Baru (era Soeharto) dengan konsep partai mayoritas tunggal, representasi perempuan dalam lembaga legislatif dan dalam institusi-institusi kenegaraan, ditetapkan oleh para pemimpin partai di tingkat pusat. Akibatnya, sebagian perempuan yang menempati posisi penting memiliki hubungan keluarga/kekerabatan dengan para pejabat dan pemegang kekuasaan di tingkat pusat. Hal ini dimungkinkan karena dalam sistem pemilu proporsional pemilih tidak memilih kandidat (orang), tetapi simbol partai, untuk berbagai tingkatan pemerintahan, yaitu tingkat kabupaten, propinsi dan nasional. Akibatnya, sebagian dari mereka tidak melewati tahapan dalam proses pencalonan/pemilihan, dan mungkin tidak memiliki kemampuan mengartikulasikan kepentingan konstituennya.

  Dalam konteks ketidakadilan gender, maka secara terstruktur, perempuan akan selalu menjadi korban. Ideologi patriarkhi sangat melekat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Kata patriarkhi secara haraffiah berarti aturan (rule) bapak atau “patriarkh” dan pada mulanya digunakan untuk menunjukkan jenis tertentu rumah tangga besar (large household). Patriarkhi yang meliputi perempuan, laki-laki muda, anak-anak, budak dan pembantu rumah tangga yang kesemuanya berada di bawah aturan laki-laki yang dominan ini. Patriarkhi adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan sistem sosial dimana kaum laki-laki sebagai kelompok dominan

  

  yang mengendalikan kaum perempuan. Pada akhirnya, sistem yang cenderung patriarkhi menempatkan laki-laki dalam posisi dominan, dan juga mempengaruhi pandangan negara dan masyarakat bahwa arena politik tidak sesuai dengan stereotipe 5 perempuan yang halus, lemah lembut, penyabar, dan jauh dari kompetisi.

  

diakses pada hari Minggu

6 tanggal 17 Juni 2012, pukul. 17:30 Wib.

  Beilharz Peter, Teori-Teori Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 18.

  Dalam pandangan Islam, perempuan ditempatkan sejajar dengan laki-laki. Dimana perempuan dan laki-laki memiliki nilai manusiawi dan nilai amal yang sama dengan hak dan kewajiban yang seimbang sesuai fitrah dan kodratnya masing- masing. Dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, keduanya bagai sayap kanan dan sayap kiri yang bisa terbang bersama sesuai dengan fungsi dan posisi

  

  masing-masing dengan dibatasi oleh hukum dan ketentuan syariat Islam. Perempuan Islam harus memiliki kesadaran dan pengertian politik agar aktif terlibat dalam kehidupan politik, salah satu caranya adalah dengan ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah, dan pemilihan presiden. Allah Swt berfirman:

  

“Wahai manusia, Sungguhnya kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-

laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa

dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di

antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah

  

Maha Mengetahui, Maha Penyayang.”

  Dalam skripsi ini saya lebih memfokuskan penelitian terhadap perilaku pemilih perempuan terkhusus perempuan Islam karena menurut saya perempuan Islam memiliki keunikan tersendiri dimana ajaran agama Islam pada dasarnya menempatkan posisi mereka dengan sangat baik yaitu mereka memiliki kesetaraan dengan laki-laki. Namun disisi lain, sistem sosial yang cenderung patriarkhi mengikis kesempatan perempuan untuk terlibat aktif dalam kegiatan politik. Dimana seringkali pilihan perempuan dipengaruhi oleh suami maupun pihak keluarga.

  Dalam penelitian ini, peneliti memilih Kelurahan Perintis, Kecamatan Medan Timur Kota Medan karena sangat relevan dengan penelitian yang dilakukan. Secara umum daftar pemilih yang terdaftar di Kecamatan Medan Timur Kota Medan

   7 berjumlah 140.633 orang. Terdiri dari 70.512 laki-laki dan 70.121 perempuan.

  

St. Rogayah Buchorie, Wanita Islam: Sejarah Perjuangan dan Peranannya, Bandung: Baitul

8 Hikmah, 2006, hlm. 4. 9 QS. Al-Hujarat [49]: 13.

  Data diperoleh dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Medan Kecamatan ini memiliki 11 Kelurahan, dimana salah satu kelurahan yang saya teliti adalah Kelurahan Perintis dengan jumlah penduduk di kelurahan tersebut 5.768 orang yang terdiri dari laki-laki berjumlah 2.672 orang dan perempuan berjumlah 3.096 orang. Kelurahan Perintis memiliki 9 tempat pemungutan suara (TPS). Karena penelitian ini berfokus pada pemilih perempuan Islam maka berdasarkan data yang peneliti peroleh di Kelurahan Perintis terdapat 1.557 perempuan Islam yang terdaftar dalam DPT Kota Medan. Dan angka inilah yang akan digunakan peneliti untuk mencari sampel dalam melengkapi penelitian ini.

  B. Perumusan Masalah

  Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana perilaku

  

perempuan islam pemilih di Kelurahan Perintis, Kecamatan Medan Timur dalam

menetapkan pilihannya terhadap pasangan calon Rahudman Harahap-Dzulmi

Eldin pada Pemilukada Kota Medan 2010 ?”

  C. Pembatasan Masalah

  Dalam melakukan penelitian penulis perlu membuat pembatasan masalah tehadap masalah yang akan dibahas, agar hasil yang diperoleh tidak menyimpang dari tujuan yang diinginkan, dan agar penelitian ini mencapai tujuan dan tidak mempengaruhi kefokusan peneliti dalam melakukan penelitian dilapangan. Pada penelitian ini penulis hanya membahas masalah : 1.

  Bagaimana fenomena perilaku perempuan Islam pemilih di Kelurahan Perintis dalam Pemilihan Walikota Medan putaran kedua tahun 2010 ?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pilihan perempuan Islam, di

  Kelurahan Perintis Kecamatan Medan Timur pada Pemilukada Putaran II Kota Medan 2010 ?

  D. Tujuan Penelitian 1.

  Untuk mengetahui bagaimana perilaku perempuan Islam pemilih di Kelurahan Perintis dalam Pemilihan Walikota Medan putaran kedua 2010.

  2. Untuk mengetahui serta menganalisis apakah faktor yang paling dominan yang mempengaruhi perempuan Islam dalam memberikan suaranya pada calon Walikota Kota Medan pada Pemilihan Kepala Daerah putaran kedua di Kelurahan Perintis Kota Medan 2010.

  E. Manfaat Penelitian 1.

  Bagi pribadi, penelitian ini bermanfaat untuk mengasah kemampuan berpikir, menulis, dan menganalisa fenomena politik yang terjadi di masyarakat.

  2. Bagi lembaga, penelitian ini dapat menambah referensi ilmu pengetahuan dan karya ilmiah di Departemen Ilmu Politik, khususnya mengenai perilaku pemilih.

  3. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat menjadi sarana pendidikan politik dan menjadi sarana pembelajaran dalam memberikan pilihan pada pemilukada.

  F. Kerangka Teori F.1. Pendekatan Perilaku

  Pendekatan perilaku sesungguhnya telah berkembang sejak awal di Negara adikuasa seperti Amerika Serikat seusai Perang Dunia II. Adapun hal yang menyebabkan pendekatan perilaku ini muncul karena pertama, sifat deskriptif dari ilmu politik dianggap tidak memuaskan, karena tidak relaistis dan sangat-sangat berbeda dengan kenyataan sehari-hari. Kedua, ada kekhawatiran bahwa ilmu politik jika tidak berkembang dengan pesat akan ketinggalan dengan ilmu-ilmu lainnya, karena itu pendekatan perilaku perlu diperdalam sebagai suatu hal yang dapat menjawab keraguan mengenai kemampuan para sarjana ilmu politik dalam

   menerangkan fenomena ilmu politik.

  Secara teori pendekatan perilaku ini dipelopori oleh begitu banyak para ahli politik dari negara Barat seperti David Easton, Heinz Eulou, Gabriel Almond, Robert Dahl, dan David Apter. Akan tetapi dalam penelitian ini peneliti hanya menggunakan teori-teori dari 3 (tiga) ahli seperti David Easteon, Heinz Eulou dan Gabriel Almond karena ketiga ahli ini dirasa peneliti sudah cukup untuk memenuhi argumentasi dalam penelitiannya.

  Dalam sejarahnya David Easton merupakan pemikir politik yang tidak terpisahkan dari teorinya tentang pendekatan perilaku. Dapat dikatakan bahwa pemikir seperti David Easton mengemukakan bahwa pendekatan perilaku adalah dalam sistem politik terdapat input (masukkan) yang berasal dari permintaan dan dorongan (support) yang dipengaruhi oleh lingkungan (environment)

  (demand)

  sehingga sistem politik tersebut menghasilkan sebuah keputusan (decision) dan aksi- aksi (actions) tetapi tetap ada pengaruh lingkungan didalamnya, sehingga secara nyata dikatakan bahwa dalam pendeketan perilaku sistem politi terbentuk tanpa harus ada lembaga formal didalamnya tetapi yang terpenting ialah bagaimana membangun dan membuata keputusan yang dapat menjadi suatu titik tolak dalam mempelajari

   pola perilaku.

  Menurut Heinz Eulou pendekatan Perilaku Politik merupakan ilmu modern yang sesungguhnya bukan hanya memenuhi kebutuhan dengan tindakan manusia tetapi juga dengan proses-prosesnya seperti proses kognitif, efektif dan evealuasi. Perilaku dalam bidang politik merujuk bukan hanya untuk aksi politik langsung atau tidak langsung yang hanya diamati, tetapi juga kepada mereka komponen persepsi, motivasi dan sikap perilaku yang membuat untuk identifikasi politik manusia, permintaan dan sistem nya manfaat politik dan manfaat sistem politiknya serta nilai 10 dan tujuan. 11 Miriam, Budiardjo, Jakarta. Loc. Cit hlm. 74.

  Ibid. hlm. 75.

  Heinz Eulou juga mengemukakam empat karakteristik pendekatan perilaku seperti yang diberikan di bawah ini:

  1. Berkonsentrasi pada analisis teoritis dan empiris dari perilaku orang dan kelompok sosial tentang asal-usul serta, fungsi institusi pemerintah dan politik seperti tradisional 2. Mengintegrasikan teori dan penelitian dalam kaitannya dengan sosiologi-psikologi sosial dan antropologi budaya

  3. Menekankan ketergantungan dari teori dan penelitian. Pertanyaan teoritis harus dipelajari dari sudut pandang pengalaman dan penelitian empiris harus diterapkan pada pertanyaan teoritis.

  4. Mencoba untuk mengembangkan metodologi penelitian empiris dan diberlakukannya metodologi ini untuk masalah politik yang

   muncul dari perilaku individu.

  Begitupun menurut Gabriel Almond bahwa secara teori pendekatan perilaku merupakan pandangan bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai suatu sistem sosial, dan engara sebagai suatu sisem politik yang menjadi subsistem dari suatu sistem sosial dalam suatu sistem, bagian-bagiannya saling berinteraksi, saling bergantungan, dan semua bagian bekerja sama untuk menunjang terselenggaranya sistem itu. Sistem mengalami stress dari lingkungan, tetapi berusaha mengatasinya dengan memelihara keseimbangan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Gabriel Almond mengungkapkan bahwa seuma sistem mempunyai struktur (institusi atau lembaga), dan unsur-unsur dari struktur ini menyelenggarakan beberapa fungsi. Funtsi ini bergantung pada sistem dan juga bergantung pada fungsi-fungs lainnya, dan Gabriel

   mengatakan bahwa pandangan ini disebut sebagai structural-functional.

  Salah satu pemikiran pokok dari pendekatan perilaku ialah bahwa tidak ada 12 gunanya membahas lembaga-lembaga formal, karena pembahasan seperti itu tidak

  R.C.Agarwal, Political Theory (Principles of Political Science), 2002, Rajendar Ravindra Printers 13 (Pvt) : India. hlm. 37.

  Miriam, Budiarjo, Op.Cit, hlm. 76. banyak memberi informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya, lebih bermanfaat untuk mempelajari perilaku (behavior) manusia karena merupakan gejala yang benar-benar dapat diamati. Pembahasan mengenai perilaku bisa saja terbatas pada perilaku perorangan saja, tetapi dapat juga mencakup kesatuan-kesatuan yang lebih besar seperti organisasi kemasyarakatan, kelompok elit, gerakan nasional, atau suatu masyarakat politik.

  Pendekatan perilaku tidak menganggap lembaga-lembaga formal sebagai titik sentral atau sebagai aktor yang independen, tetapi hanya sebagai kerangka bagi kegiatan manusia. Jika penganut Pendekatan Perilaku mempelajari parlemen, maka yang dibahas antara lain perilaku anggota parlemen seperti pola pemberian suaranya (voting behavior) terhadap rancangan undang-undang tertentu (apakah pro atau anti, dan mengapa demikian), pidato-pidatonya, giat tidaknya memprakarsai rancangan undang-undang, cara berinteraksi dengan teman sejawat, kegiatan lobbying, dan latar belakang sosialnya.

  Para ahli pada umumnya meneliti tidak hanya perilaku dan kegiatan menusia, melainkan juga orientasi terhadap kegiatan tertentu seperti sikap, motivasi, persepsi, evaluasi, tuntutan, harapan, dan sebagainya. Berdasarkan anggapan bahwa perilaku politik hanya salah satu dari keseluruhan perilaku, maka pendekatan ini cenderung untuk bersifat interdisipliner. Ia tidak saja mempelajari faktor pribadi, tetapi juga faktor-faktor lainnya seperti sosiologis, psikologis, rasional.

  Para penganut pendekatan ini tidak hanya mempelajari institusi-institusi, tetapi juga manusia di dalamnya, seperti perilaku presiden dan anggota parlemen, bagaimana mereka menjalankan tugas, dan bagaimana mereka memandang perilaku mereka sendiri. Dalam rangka itu pula muncul penelitian mengenai rekrutmen politik, kepemimpinan, masalah keterwakilan, sosialisasi politik, struktur kekuasaan dalam suatu komunitas, kebudayaan politik, konsensus dan konflik, komposisi sosial dan elite politik. Salah satu ciri khas pendekatan perilaku ini ialah pandangan bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai suatu sistem sosial, dan negara sebagai suatu sistem politik yang menjadi subsistem dari sistem sosial. Dalam suatu sistem, bagian- bagiannya saling berinteraksi, saling bergantungan, dan semua bagian bekerja sama

   untuk menunjang terselenggaranya sistem itu.

  F.1.1. Perilaku Politik

15 Menurut Jack C. Plato dkk:

  “Perilaku politik adalah tindakan manusia yang berkaitan dengan proses memerintah. Yang termasuk perilaku politik adalah tanggapan-tanggapan internal (pikiran, persepsi, sikap dan keyakinan) dan juga tindakan-tindakan yang nampak (pemungutan suara, gerak protes, lobbying, kampanye dan demokrasi)”.

  Yang dimaksud dengan perilaku politik adalah tindakan atau kegiatan seseorang atau kelompok dalam kegiatan politik. Ramlan Surbakti mengemukakan bahwa perilaku politik adalah sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan keputusan politik. Perilaku politik merupakan salah unsur atau aspek perilaku secara umum, disamping perilaku politik, masih terdapat perilaku-perilaku lain seperti perilaku organisasi, perilaku budaya, perilaku konsumen/ekonomi,

  

  Perilaku politik meliputi tanggapan internal seperti persepsi, sikap, orientasi dan keyakinan serta tindakan-tindakan nyata seperti pemberian suara, protes, lobi dan sebagainya. Persepsi politik berkaitan dengan gambaran suatu obyek tertentu, baik mengenai keterangan, informasi dari sesuatu hal, maupun gambaran tentang obyek atau situasi politik dengan cara tertentu Sedangkan sikap politik yang dikemukan oleh Fadillah Putra adalah merupakan hubungan atau pertalian diantara keyakinan yang telah melekat dan mendorong seseorang untuk menanggapi suatu obyek atau situasi 14 politik dengan cara tertentu. Sikap dan perilaku masyarakat dipengaruhi oleh proses 15 Miriam Budirardjo, Op.Cit, hlm. 74-76.

  Jack C. Plato dkk, dalam Moh. Ridwan,1997 (skripsi Maria Bellina Silitonga,2011,USU), Perilaku 16 Politik NU Pasca Pernyataan Kembali Ke Khittah1992, Ramlan Surbakti, Memamahi Ilmu Politik, 2001. Grasindo : Jakarta, hlm. 187.

   dan peristiwa historis masa lalu dan merupakan kesinambungan yang dinamis.

  Peristiwa atau kejadian politik secara umum maupun yang menimpa pada individu atau kelompok masyarakat, baik yang menyangkut sistem politik atau ketidak- stabilan politik, janji politik dari calon pemimpin atau calon wakil rakyat yang tidak pernah ditepati dapat mempengaruhi perilaku politik masyarakat.

  Secara bebas perilaku politik dapat diartikan sebagai keseluruhan tingkah laku politik para aktor politik dan warga negara yang dalam manifestasi konkritnya telah saling memiliki hubungan dengan kultur politik. Sebagaimana dijelaskan bahwa lingkup budaya politik meliputi pola orientasi individu yang diperoleh dari pengetahuan yang luas dan sempitnya orientasinya dipengaruhi oleh perasaan keterlibatan, keterlekatan maupun penolakan, serta orientasinya yang bersifat menilai

   terhadap obyek dan peristiwa politik.

  Jika dikaitkan dengan Pemilu, warga negara biasa memiliki andil dalam proses pembuatan keputusan yang berpengaruh terhadap masa depan negaranya dan warga negara lainnya. Perilaku politik dalam pemilu selanjutnya disebut perilaku memilih. Karena warga negara biasa memiliki hak untuk memilih dan hak untuk tidak menjatuhkan pilihan politiknya.

  Dalam melakukan kajian terhadap perilaku politik dapat dipilih tiga kemungkinan unit analisis, yakni individu aktor politik, agregasi politik, dan tipologi

  

  kepribadian politik. Warga negara biasa, aktifis politik elit politik, dan aktor politik itu sendiri merupakan model perilaku dengan unit analisis individu aktor politik. Agregasi adalah individu aktor politik secara kolektif, seperti kelompok kepentingan dan lembaga-lembaga pemerintahan dan tipologi kepribadian politik adalah tipe-tipe kepribadian pemimpin politik yang bersifat otoriter dan demokrasi.

  17 18 Diakses pada hari Kamis tanggal 08 November 2012. Pukul, 14.30 Wib. 19 Arifin Rahman , Sistem Politik Indonesia, Surabaya : Penerbit SIC, 1998, hlm. 50.

  Ibid, hlm, 132.

  Terdapat empat faktor yang mempengaruhi perilaku politik yakni :

  Pertama, Lingkungan sosial politik tak langsung, seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya, dan media massa. Kedua, Lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan

  membentuk kepribadian aktor, seperti keluarga, agama, sekolah, dan kelompok pergaulan. Dari sini aktor mengalami sosialisasi dan internalisasi nilai dan norma masyarakat, termasuk nilai dan norma kehidupan bernegara dan pengalaman- pengalaman hidup pada umumnya.

  Ketiga, Struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. Dalam hal

  ini terdapat tiga basis fungsional sikap, yaitu kepentingan, penyesuaian diri, eksternalisasi dan pertahanan diri. Basis pertama merupakan sikap yang menjadi fungsi kepentingan. Artinya, penilaian seseorang terhadap suatu obyek ditentukan oleh minat dan kebutuhan atas obyek tertentu. Basis kedua merupakan sikap yang menjadi fungsi penyesuaian diri. Artinya, penilaian terhadap suatu obyek dipengaruhi oleh keinginan untuk sesuai dan selaras dengan obyek tersebut. Basis yang ketiga merupakan sikap yang menjadi fungsi eksternalisasi diri dan pertahanan diri. Artinya, penilaian seseorang terhadap suatu obyek dipengaruhi oleh keinginan untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis yang berwujud mekanisme pertahanan diri dan eksternalisasi diri, seperti proyeksi, idealisasi, rasionalisasi, dan identifikasi dengan aggressor.

  Keempat, Faktor lingkungan sosial politik langsung berupa situasi, yaitu

  keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika hendak melakukan sesuatu kegiatan, seperti cuaca, keadaan keluarga, keadaan ruangan, kehadiran orang lain, suasana kelompok, dan ancaman dengan segala bentuknya. Faktor sosial politik tak langsung mempengaruhi lingkungan sosial politik langsung yang berupa sosialisasi, internalisasi dan politisasi. Selain itu, mempengaruhi lingkungan sosial politik langsung berupa situasi. Perilaku seorang aktor akan dipengaruhi secara langsung oleh salah satu dari kedua faktor yang mencakup struktur kepribadian atau sikapnya terhadap objek kegiatan itu, dan situasi ketika kegiatan itu hendak dilakukan. Hubungan kedua aktor ini terhadap perilaku akan bersifat zero sum, apabila faktor sikap yang menonjol maka faktor situasi kurang mengedepan, sebaliknya sikap

   kurang menonjol.

  Berbicara tentang perilaku politik, satu hal yang perlu dibahas adalah apa yang disebut dengan sikap politik. Walaupun antara sikap dan perilaku terdapat kaitan yang sangat erat, keduanya perlu dibedakan. Sikap merupakan kesiapan untuk beraksi terhadap objek lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek

  

  tersebut. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi baru merupakan kecenderungan. Dari suatu sikap tertentu dapat diperkirakan tindakan apa yang akan dilakukan berkenaan dengan objek yang dimaksud.

  Berangkat dari pemahaman sifat seperti yang telah diuraikan diatas, sikap politik dapat dinyatakan sebagai kesiapan untuk beraksi terhadap objek tertentu yang bersifat politik. Dengan munculnya sikap tertentu, akan dapat diperkirakan perilaku politik apa yang sekiranya akan muncul. Ketidaksetujuan terhadap kebijakan pemerintah misalnya menaikkan pajak pendapatan, merupakan suatu sikap politik. Dengan adanya ketidaksetujuan tersebut, perilaku yang diperkirakan akan muncul adalah peninjauan pernyataan keberatan, protes, atau unjuk rasa. Walaupun dalam kenyataan, bisa saja perilaku semacam itu muncul, akan tetapi sekurang-kurangnya ada kecenderungan menuju kearah tersebut dan merupakan suatu alasan yang tepat dalam faktor-faktor dalam menggunakan hak pilih dalam suatu pemilihan faktor- faktor diatas akan menjadi alasan yang tepat jika seseorang akan melakukan suatu perbuatan yang memang harus diletarbelakangi oleh sesuatu yang membuat seseorang dalam berprilaku.

  Bentuk keikutsertaan merupakan proses yang melibatkan seluruh warga 20 negara baik laki-laki maupun perempuan termasuk melibatkan pihak-pihak dari 21 Arifin Rahman, Op. Cit, hlm. 124-125.

  

Mar’at, Sikap Manusia: Perubahan Serta Pengukurannya, Jakarta: Gramedia Media Sarana, 1992, hal. 131. kelompok sosial manapun. Dalam kelompok-kelompok sosial tersebut terdapat seperangkat norma dan nilai yang berlaku dan tersosialisasikan melalui proses yang panjang. Hal inilah yang nantinya berpengaruh terhadap preferansi dan perilaku politik.

  F.2 Perilaku Pemilih

  Dalam mengetahui tingkah laku pemilih harus dilakukan beberapa pendekatan terkait dengan perilaku politik seseorang dalam menggunakan hak pilihnya karena pendekatan tersebut akan menentukan bagaimana seseorang dalam menentukan pilihannya yang dirasa paling disukai atau paling cocok. Secara umum teori tentang perilaku memilih dikategorikan kedalam dua kubu yaitu ; Mazhab Colombia dan

  

Mazhab Michigan . Mazhab Colombia menekankan pada faktor sosiologis dalam

  membentuk perilaku masyarakat dalam menentukan pilihan di pemilu. Model ini melihat masyarakat sebagai satu kesatuan kelompok yang bersifat vertikal dari tingkat yang terbawah hingga yang teratas. Dalam kegiatannya Affan Gafar yang merupakan penganut pendekatan ini mengungkapkan bahwa masyarakat terstruktur oleh norma-norma dasar sosial yang berdasarkan atas pengelompokan sosiologis seperti agama, kelas (status sosial), pekerjaan, umur, jenis kelamin dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk perilaku memilih. Oleh karena itu preferensi pilihan terhadap suatu partai politik merupakan suatu

  

  produk dari karakteristik sosial individu yang bersangkutan Para ahli ilmu politik menyebutkan bahwa tingkah laku individu dalam pemugutan suara pada kegiatan pemilu disebut dengan konsep perilaku pemilih pada kegiatan pemilu disebut dengan konsep perilaku pemilih (Voting Behavior). Menurut

  

Harold F. Gosnell, Pemungutan suara adalah proses dimana seorang anggota

  masyarakat dari suatu kelompok menyatakan pendapatnya dan dengan demikian ikut 22 serta dalam menentukan konsensus diantara anggota-anggota kelompok itu dalam Affan Gafar, Politik Indonesia Transisi menuju Demokrasi. 1996, Grafindo : Jakarta, hlm. 67-68.

  

  pemilihan seorang pejabat maupun keputusan yang diusulkan. Dengan demikian, konsep voting berkaitan dengan pemberian suara dari seorang individu dalam rangka ikut berpartisipasi politik.

  Perilaku pemilih dan partisipasi politik merupakan dua hal tidak dapat dipisahkan. Partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk. Salah satu wujud dari partisipasi politik ialah kegiatan pemilihan yang mencakup suara, sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon atau setiap tindakan yang bertujuan untuk

   mempengaruhi hasil proses pemilihan.

  Dalam menganalisis perilaku pemilih dan untuk menjelaskan pertimbangan- pertimbangan yang digunakan sebagai alasan oleh para pemilih dalam menjatuhkan pilihannya, dikenal dua macam pendekatan yaitu, Mahzab Columbia yang menggunakan pendekatan sosiologis dan Mahzab Michigan yang dikenal dengan

  

  pendekatan Psikologis. Selain itu terdapat pendekatan rational choice yang melihat

   perilaku seseorang melalui kalkulasi untung rugi yang dilihat oleh individu tersebut.

1. Pendekatan Sosiologis

  Pendekatan ini biasa juga disebut dengan mazhab Colombia. Cikal bakalnya berasal dari Eropa, model ini kemudian dikembangkan oleh para sosiolog Amerika Serikat yang mempunyai latar belakang Eropa. Menurut mazhab ini, pendekatan sosiologis pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan usia, jenis kelamin, agama, pekerjaan, latar belakang keluarga, kegiatan-kegiatan

  23 Harol. F. Gosnell, dalam Edwin R.A Salignan dan Alvin Johnson, Encyclopedia of Social Science. 24 Vol. 15. New York The Macmillan Co 1934, hlm. 287.

  

Jack C. plano, Robert E. Ringgs dan Helenan S. Robin, Kamus Analisa Politik, Jakarta. C.V.

25 Rajawali Press, 1985, hlm. 280.

  

Afan Gaffar, Javanese Voters: A Case Study of Election under a Hegemonic Party System.

26 Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1992, hlm. 4-9.

  Ramlan Surbakti, Op. Cit, hlm. 187. dalam kegiatan formal dan informal lainnya memberikan pengaruh yang signifikan

   terhadap pembentukan pilihan-pilihan politik.

  Interaksi yang terjadi di dalam kelompok-kelompok sosial seperti usia, jenis kelamin, agama, pekerjaan dan sebagainya akan menjadi pengetahuan yang akan membangun preferensi dan perilaku memilih seseorang sehingga kemudian akan mempengaruhi pilihan politiknya.

  Bonne dan Ranney membagi tipe utama pengelompokkan sosial seperti

  

  berikut:

  

1. Kelompok Kategorial yang terdiri dari orang-orang yang memiliki satu atau

  beberapa karakter khas, tapi tidak mengorganisasikan aktifitas politik dan tidak menyadari identifikasi dan tujuan kelompoknya. Pengelompokan kategorial terbentuk berdasarkan perbedaan jenis kelamin, perbedaan usia, dan perbedaan pendidikan.

  

2. Kelompok Sekunder yang terdiri dari orang-orang yang memiliki ciri yang

  sama yang menyadari tujuan dan identifikasi kelompoknya dan bahkan sebagian membentuk organisasi untuk memajukan kepentingan kelompoknya. Kelompok skunder mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan kelompok kategorial. Kelompok sekunder dapat diklasifikasikan seperti : pekerjaan, status sosial, ekonomi, dan kelas sosial, dan kelompok-kelompok etnis yang meliputi ras, agama, dan daerah asal.

  

3. Kelompok Primer yang terdiri dari orang-orang yang sering dan secara teratur

  melakukan kontak dan interaksi langsung. Kelompok primer memiliki pengaruh yang paling kuat dan langsung terhadap perilaku politik seseorang. Yang termasuk kelompok primer adalah pasangan suami-istri, orang tua dan anak-anak, dan kelompok bermain.

2. Pendekatan Psikologis

  Pendekatan ini juga disebut sebagai mazhab Michigan dan pelopor utama mazhab ini adalah August Cambell. Munculnya pendekatan ini merupakan reaksi atas

   27 ketidakpuasan terhadap pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis dianggap

Adman Nursal, Political Marketing : Strategi Memenangkan Pemilu, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka

28 Umum, 2004, hlm. 55. 29 Ibid, hlm. 56.

  Moh. Asfar, Pemilu dan Perilaku Pemilih, Surabaya : Pustaka Eureka 1995, hlm. 141. sangat sulit diukur, tidak jelasnya indikator kelas sosial, tingkat pendidikan, agama dan sebagainya merupakan sesuatu hal yang sangat sulit diukur. Disamping itu secara materi diungkapkan bahwa variabel-variabel sosiologis seperti kelompok primer dan sekunder memberikan pengaruh pada perilaku pemilih dan pilihan politik. Tidaklah variabel-variabel itu dapat dihubungkan dengan perilaku pemilih dan pilihan politik jika ada proses sosialisasi. Oleh sebab itu pada pendekatan ini, sosialisasilah yang menentukan perilaku memilih dan orientasi pada pilihan-pilihan politik seseorang

   bukan karakter sosiologis.

  Dalam pendekatan ini, sikaplah yang paling menentukan dan hal itu berawal dari informasi-informasi yang diterima seseorang. Menurut Asfar, sikap tidaklah terjadi secara begitu saja melainkan melalui proses yang panjang, yang dimulai dari kanak-kanak saat seseorang pertama kali mendapat pengaruh politik dari orangtua

   atau kerabat dekat.

  Seperti yang telah diungkapkan oleh Nursal dan Asfar sebelumnya, bahwa proses sosialisasi yang panjang akan membuat seseorang untuk membentuk ikatan yang kuat dengan kelompok sosial ataupun organisasi kemasyarakatan. Sehingga hal ini menjadi sesuatu yang sangat berpengaruh terhadap pilihan-pilihan politiknya kelak. Pemilih perempuan yang berada dalam suatu kelompok sosial tertentu akan menerima proses internalisasi berdasarkan nilai-nilai yang ada dalam kelompok sosial tersebut. Perilakunya secara umum akan berkaitan dengan nilai dan kebiasaan yang secara psikologi sangat mempengaruhi perempuan.

4. Pendekatan Rasional

   Dalam pendekatan rasional terdapat dua orientasi yang menjadi daya tarik

  pemilih, yaitu orientasi isu dan orientasi kandidat. Orientasi isu berpusat pada 30 pertanyaan : apa yang seharusnya dilakukan dalam memecahkan persoalan-persoalan 31 Ibid, hlm. 141.

  Adman Nursal, Op. Cit, hlm. 60. yang sedang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara ? Sementara orientasi kandidat mengacu kepada sikap seseorang terhadap pribadi kandidat tanpa memperdulikan label partainya. Meski demikian, katertarikan para pemilih terhadap isu-isu yang

   ditawarkan oleh partai ataupun kandidat bersifat situasional.

  Pendekatan rasional mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa para pemilih benar-benar rasional. Para pemilih melakukan penilaian yang valid terhadap visi, misi program kerja partai dan kandidat. Pemilih rasional memiliki motivasi, perinsip, pengetahuan dan informasi yang cukup.

  F.2.1. Konfigurasi Pemilih

  Perilaku pemilih merupakan sebuah studi yang memusatkan pemilih sebagai

   objek dari masalah yang diteliti. Berikut ini merupakan empat konfigurasi pemilih.

1. Pemilih Rasional

  Pemilih rasional adalah pemilih yang lebih mengutamakan kemampuan partai politik atau calon kontestan dalam program kerjanya. Program kerja atau flatform partai bisa dianalisis dalam dua hal: (1) kinerja partai dimasa lampau dan tawaran program untuk menyelesaikan permasalahan nasional yang ada. Pemilih tidak hanya melihat program kerja partai yang berorientasi ke masa depan tetapi juga menganalisis apa saja yang telah dilakukan oleh partai tersebut dimasa lampau. (2) kinerja partai atau calon kontestan biasanya termanisfestasikan pada reputasi dan citra (image) yang berkembang di masyarakat.

  Pemilih rasional memiliki ciri khas yaitu tidak begitu mementingkan ikatan 32 ideologi suatu partai politik atau calon yang diusungnya. Hal yang penting bagi

  

Asep Ridwan, Memahami Perilaku Pemilih Pada Pemilu 2004 di Indonesia, Jurnal Demokrasi dan

33 Ham. Volume 4 No 1. Jakarta 2004, hlm. 38-39.

  

Firmanzah, Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007, hlm. 134-138. pemilih jenis ini adalah apa yang bisa dan telah dilakukan oleh suatu partai maupun calon yang diusungnya.

  2. Pemilih Kritis

  Untuk menjadi pemilih kritis, seseorang melalui dua hal yaitu: Pertama, Jenis pemilih ini menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk menentukan kepada partai politik mana mereka akan berpihak dan selanjutnya akan mengkritisi kebijakan yang akan atau yang telah dilakukan. Kedua, bisa juga terjadi sebaliknya, pemilih tertarik dulu dengan program kerja yang ditawarkan sebuah partai/kontestan baru kemudian mencoba untuk memahami nilai-nilai yang melatarbelakangi pembuatan sebuah kebijakan. Pemilih jenis ini adalah pemilih kritis artinya mereka akan selalu menganalisis kaitan antara ideologi partai dengan kebijakan yang akan dibuat.

  3. Pemilih Tradisional

  Jenis pemilih ini memiliki orientasi ideologi yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai suatu yang penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih tradisional sangat mengutamakan kedekatan sosial-budayanya, nilai, asal-usul, paham, dan agama sebagai ukuran untuk memilih suatu partai politik maupun seorang kontestan. Biasanya pemilih jenis ini lebih mengutamakan figur dan kepribadian pemimpin, mitos dan nilai historis sebuah partai politik atau seorang kontestan. Salah satu karakteristik mendasar jenis pemilih ini adalah tingkat pendidikan yang rendah dan sangat konservatif dalam memegang nilai serta paham yang dianut. Pemilih jenis ini sangat mudah untuk dimobilisasi selama masa kampanye dan mereka memiliki loyalitas yang sangat tinggi.

4. Pemilih Skeptis

  Pemilih jenis ini tidak memiliki orientasi ideologi yang cukup tinggi terhadap sebuah partai politik atau seorang kontestan. Pemilih ini juga tidak menjadikan sebuah kebijakan menjadi suatu hal yang penting. Kalaupun mereka berpartisipasi dalam pemilu, mereka berkeyakinan bahwa siapapun yang memenangkan pemilu, hasilnya akan sama saja dan tidak ada perubahan yang berarti yang dapat terjadi bagi daerah, masyarakat, maupun negara.

  Pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya. Konstituen adalah kelompok masyarakat yang merasa diwakili oleh suatu ideologi tertentu yang kemudian termanifestasi dalam institusi politik seperti partai politik. Di samping itu, pemilih merupakan bagian masyarakat luas yang bisa saja tidak menjadi konsituen partai politik tertentu. Masyarakat terdiri dari beragam kelompok, terdapat kelompok masyarakat yang memang non-partisan dimana ideologi dan tujuan politik mereka tidak dikatakan kepada suatu partai politik tertentu. Mereka menunggu sampai ada suatu partai politik yang bisa menawarkan program kerja terbaik menurut mereka,

   sehingga partai tersebutlah yang akan mereka pilih.

  Selain penjelasan diatas Firmanzah juga membagi 3 kelompok yang dianggap sebagai faktor-faktor determinan pemilih yang menggunakan hak pilih dalam menentukan pasangan calon yaitu : 1.

  Kondisi awal yang meliputi : keadaan sosial budaya pemilih, nilai tradisional pemilih, level pendidikan, serta ekonomi pemilih. . Seperti pada awal yang merupakan tolak ukur pemilih menggunakan hak pilihnya yaitu dimulai dari kondisi awal, dalam hal ini yang akan berkaitan dengan 34 kondisi sosial budaya yaitu bagaimana pemilih tersebut dilihat dari Firmanzah, Op. Cit, 2007, hlm. 102. kondisi sekitar lingkungannya seperti tingkat pendidikan, kondisi lingkungan sekitar, dan nilai-nilai dalam budaya pemilih dalam menjatuhkan pilihannya terhadap kandidat yang mencalonkan ataupun yang dicalonkan. Ekonomi juga dilihat sebagai kondisi awal pemilih dalam menentukan pilihannya karena faktor ekonomi juga merupakan salah satu alasan apa yang melaterbelakangi seorang pemilih menjatuhkan pilihannya kepada calon tersebut. Dalam terjun kelapangan peneliti harus melihat beberapa kondisi awal yang terkait dengan kuisioner yang akan dibagikan.

  2. Massa yang meliputi : data, informasi dan berita dari media masa, ulasan ahli, permasalahan kini, serta perkembangan media dan trend situasi.

  Setelah pada kondisi awal lalu peneliti menggunakan indikator media massa dalam mengumpulkan data untuk dimasukkan kedalam kuisioner, tidak dapat ditepiskan bahwa media massa juga mengambil alih dalam memobilisasi suara pemilih, yang meliputi data, ataupun informasi yang diperoleh pemilih seputar pemilihan kepala daerah dilingkungannya, begitupun media juga terlibat dalam mobilisasi pemilih karena media juga mengulas pendapat para ahli dalam mengemukakan pendapatnya terkait dengan kondisi politik saat ini, bukan hanya itu saja media massa juga merupakan indikator dalam melihat situasi dan permasalahan yang ada di masyarakat yang di angkat kekondisi publik sehingga masyarakat juga dapat dipengaruhi oleh pemberitaan oleh media massa baik media cetak, elektronik ataupun media sosial lainnya.

  3. Serta bagian terakhir yaitu partai politik/kontestan yang meliputi

  

performance record dan reputasi, marketing politik, serta program kerja

  dari kandidat yang mengikuti pemilihan calon kepala daerah. Dalam melihat kondisi untuk menentukan determinasi pemilih partai politik yang mengusung calon juga tidak dapat terpisahkan dalam menentukan pilihan pemilih, hal tersebut terlihat dari kondisi kontestan dalam mencalonkan diri yaitu penampilannya, trek record (reputasi serta pengalamannya) dibidang politik, bagaimana proses marketing politik dalam hal ini untuk dapat memperoleh suara dan mobilisasi diperlukan merketing politik, yaitu manajemen untuk dapat memperoleh suara dari pemilih sebanyak- banyaknya serta program kerja yang dapat diterima oleh semua masyarakat tidak yang berlebihan dan yang dapat terjadi secara nyata tanpa harus ada yang berlebihan dalam penyusunan program kerja. Hal tersebut dapat mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihannya terlihat dari iklan, baliho, ataupun spanduk yang dipasang dimana saja sehingga masyarakat lebih mengenal calon yang ingin dipilih dalam pemilihan kepala daerah. Ketika pemilih menilai partai atau seorang kontestan dari kaca mata policy

  

problem-solving maka yang terpenting bagi mereka adalah sejauh mana para

  kontestan mampu menawarkan program kerja atau solusi suatu permasalahan yang ada. Sementara pemilih yang lebih mementingkan ikatan ideologi suatu partai atau seorang kontestan akan lebih menekankan pada aspek-aspek subjektifitas seperti kedekatan nilai, budaya, agama, moralitas, norma, emosi, dan psikografis. Semakin dekat kesamaan partai politik atau calon kontestan, maka pemilih akan cenderung memberikan suaranya ke partai dan kontestan tersebut.

  Penjelasan bagian faktor-faktor determinan tersebut tergambar dalam bagan

  

  dibawah ini :

35 Firmansyah, Menyoal Rasionalitas Pemilih : Antara Orientasi Ideologi dan Policy Problem-Solving dalam Usahawan No.7 tahun XXXIV Juli 2005.

  Bagan 1 Faktor Determinan Pemilih

  Kondisi awal 1. Sosial budaya pemilih

  2. Nilai tradisional Pemilih 3. Level pendidikan 4. Ekonomi pemilih 5. Dll

  Media masa 1. Data, informasi dan berita media masa

  2. Ulasan ahli 3.

  Permasalahan terkini

  4. Perkembangan dan trend situasi Partai politik/kontestan 1.

  Performance record dan reputasi 2. Marketing politik

  3. Program kerja

  F.2.2. Pola Pengelompokan Pemilih

  Meskipun tampak relatif, pola pengelompokkan pemilih mencerminkan kecenderungan saling terkait dan mempengaruhi. Lingkup pengelompokkan atau segmentasi itu dapat didasarkan pada :

  

  Pemilih

  Ideologi Policy-problem-solving

  Partai politik/kontestan

36 Agung Wibawanto,dkk. Memenangkan Hati dan Pikiran Rakyat. Yogyakarta : Pembaruan 2005, hlm. 24-26.

  1. Lingkup agama (keluarga) Diantara beberapa jenis pengelompokan sosial lainnya, lingkup agama merupakan salah satu faktor pembentukan perilaku memilih. Setiap orang yang mengaku beragama akan mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari kelompok agamanya dan pilihan politiknya biasanya disejalankan dengan agama yang dianutnya. Misalnya pemilih yang beragama Islam akan memiliki kecenderungan memilih kontestan beragama Islam juga.

  2. Lingkup gender Lingkup gender mengidentifikasikan bahwa perbedaan jenis kelamin antara perempuan dan laki-laki turut mempengaruhi perbedaan perilaku politik yang dilakukan.

  3. Lingkup kelas sosial Individu yang berasal dari kelas sosial yang berbeda biasanya memiliki perilaku yang berbeda, hal ini disebabkan karena faktor ekonomi dan pendidikan.

  4. Lingkup geografi Lingkup geografi berkaitan dengan pengelompokan pemilih berdasarkan aspek geografi atau lingkungan.

  5. Lingkup usia Lingkup usia pada dasarnya mampu mengelompokkan individu. Dimana usia seringkali mempengaruhi pilihan atau tindakan yang diambil oleh seseorang dalam menjatuhkan pilihannya terhadap calon-calon kandidat yang ikut dalam pemilihan. Ruang lingkup usia yang berdasarkan pada individu juga dapat menjadi faktor penentu dalam rasionalisasi pemilih.

  6. Lingkup demografi Lingkup demografi mengelompokkan masyarakat terkait dinamika kependudukan meliputi ukuran, struktur, dan distribusi penduduk.

  7. Lingkup psikografis Lingkup psikografis dapat diartikan sebagai segmentasi pemilih berdasarkan gaya hidup yaitu bagaimana pola hidup seseorang yang diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya.

Dokumen yang terkait

Perilaku Perempuan Islam Pemilih Pada Pemilukada Putaran II Kota Medan 2010 (Studi Kasus: Kemenangan Rahudman Harahap dan Dzulmi Eldin di Kelurahan Perintis, Kecamatan Medan Timur)

1 62 105

Perilaku Pemilih pada Pemilukada Medan 2010 Putaran II Studi Kasus: Jemaat HKBP Resort Cinta Damai di Kec Medan Helvetia)

3 60 79

Partisipasi Politik Masyarakat Karo Pada Pemilihan Kepala Daerah Kota Medan Tahun 2010 (Studi Kasus: Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan)

2 71 90

Perilaku Pemilih Dalam Pemilukada (Studi Kasus: Etnis Karo Di Desa Ketaren, Kecamatan Kabanjahe, Kabupaten Karo 2010).

1 37 112

Partisipasi Politik Pemilih Pada Tingkat Pendidikan Formal Rendah Terhadap Pemilukada Kota Medan 2010 (Studi Kasus : Pemilihan Putaran Kedua di Lingkungan IV Kelurahan Titi Papan Kecamatan Medan Deli)

0 30 70

Perilaku Pemilih Dalam Pemilihan Kepala Daerah (Studi : Perilaku Pemilih Masyarakat di Kelurahan Mangga Kecamatan Medan Tuntungan dalam Pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2008)

0 39 77

Pengetahuan dan Sikap Pasangan Usia Subur Tentang Infertilitas di Lingkungan I Kelurahan Kemenangan Tani Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2010

1 54 54

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh Game-Online Terhadap Perilaku Remaja Di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru Kota Medan

0 1 13

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Persepsi dan Respon Masyarakat Terhadap Eksistensi Lembaga-Lembaga Zakat Di Kota Medan (Studi Kasus: Masyarakat Kelurahan Pulo Brayan Darat II Medan)

0 0 8

BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN - Perilaku Perempuan Islam Pemilih Pada Pemilukada Putaran II Kota Medan 2010 (Studi Kasus: Kemenangan Rahudman Harahap dan Dzulmi Eldin di Kelurahan Perintis, Kecamatan Medan Timur)

0 0 25