BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Formulasi Pasta Gigi Dari Ekstrak Etanol Rimpang Temulawak (Curcuma Xanthorriza Roxb) Dan Uji Aktivitas Antimikroba Terhadap Streptococcus Mutan Dan Candida Albicans

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Umum

  Suatu konstruksi tersusun atas bagian-bagian tunggal yang digabung membentuk satu kesatuan dengan menggunakan berbagai macam teknik penyambungan.

  Sambungan tersebut berfungsi untuk memindahkan gaya-gaya yang bekerja pada titik penyambungan ke elemen-elemen struktur yang disambung.

  Pada konstruksi baja, selain memindahkan gaya-gaya yang terjadi, fungsi/tujuan lain dilakukannya penyambungan yaitu : menggabungkan beberapa batang baja membentuk kesatuan konstruksi

   sesuai kebutuhan.

   mendapatkan ukuran baja sesuai kebutuhan (panjang, lebar, tebal, dan sebagainya). memudahkan dalam penyetelan konstruksi baja di lapangan.

   memudahkan penggantian bila suatu bagian/batang konstruksi mengalami

   rusak. memberikan kemungkinan adanya bagian/batang konstruksi yang dapat

   bergerak, misal peristiwa muai-susut baja akibat perubahan suhu.

  2.2 Material Baja

  Baja terbuat dari biji besi dan logam besi tua yang dicampur dengan bahan tambahan yang sesuai, kemudian dilelehkan dalam tungku bertemperatur tinggi untuk menghasilkan massa-massa besi yang besar yang dinamakan blok tuangan mentah (pigs) atau besi kasar (pigiron). Besi kasar tersebut selanjutnya dicampur logam lain untuk menghasilkan kekuatan, keliatan, pengelasan dan karakteristik ketahanan terhadap korosi (karat) yang diinginkan (Joseph E.Bowles, 1985).

  Sifat baja yang penting sebagai bahan konstruksi adalah kekuatannya yang tinggi, keseragaman bahan-bahan penyusunnya, kestabilan dimensional, daktilitas yang tinggi, kemudahan pembuatan dan cepatnya pelaksanaan. Namun, baja memiliki kekurangan seperti biaya perawatan yang besar, biaya pengadaan anti api yang besar (fire proofing cost), ketahanan terhadap perlawanan tekuk kecil, dan kekuatannya akan berkurang jika dibebani secara berulang/periodik (kondisi leleh atau fatigue).

  Berdasarkan persentase zat arang yang dikandung, baja dapat dikategorikan sebagai berikut (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997) :

  1. Baja dengan persentase zat arang rendah (low carbon steel), dimana kandungan arangnya lebih kecil dari 0,15%.

  2. Baja persentase zat arang ringan (mild carbon steel), 0,15% - 0,29%.

  3. Baja persentase zat arang sedang (medium carbon steel), 0,30% - 0,59%.

  4. Baja dengan persentase zat arang tinggi (high carbon steel), 0,60% - 1,7%.

  Baja untuk bahan struktur termasuk ke dalam baja yang persentase zat arangnya ringan (mild carbon steel). Semakin tinggi kadar zat arang yang terkandung di dalamnya, maka semakin tinggi nilai tegangan lelehnya.

  Sifat mekanis baja struktural yang digunakan dalam perencanaan antara lain : Modulus elastisitas (E) = 200.000 MPa

  

  • 6

  y

Gambar 2.1. Hubungan tegangan - regangan secara umum

  13 Sumber : Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1729-2002 Untuk mengetahui hubungan antara tegangan dan regangan pada baja, dapat dilakukan dengan uji tarik di laboratorium. Sebagian besar percobaan atas baja akan menghasilkan bentuk hubungan antara tegangan dan regangan seperti tergambar di bawah ini.

  16 BJ 55 550 410

  18 BJ 50 500 290

  20 BJ 41 410 250

  22 BJ 37 370 240

  (%) BJ 34 340 210

  (MPa) Peregangan minimum

  (MPa) Tegangan leleh minimum f

   Nisbah poisson (μ) = 0,3

  u

  Jenis Baja Tegangan putus minimum f

Tabel 2.1. Sifat mekanis baja struktural

   Serta persyaratan minimum pada tabel berikut :

  C

  o

  per

   Koefisien pemuaian (α) = 12 x 10

  (Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997)

2.3 Sambungan Konstruksi Baja

  Sambungan merupakan sesuatu hal yang tidak dapat dihindarkan dalam perencanaan struktur baja. Hal ini dikarenakan bentuk struktur bangunan yang begitu kompleks, salah satunya sambungan antara balok dan kolom.

  Pada umumnya, sambungan antara balok dan kolom terdiri dari tiga elemen yaitu : balok, kolom, dan alat penyambung. Ketiga elemen tersebut harus direncanakan dengan matang agar struktur bangunan tersebut bertahan sesuai dengan fungsinya.

  Kegagalan dalam sambungan dapat mengakibatkan perubahan fungsi struktur bangunan, dan yang paling berbahaya adalah keruntuhan pada struktur tersebut. Untuk mencegah hal tersebut, maka kekakuan sambungan antara balok dan kolom tersebut harus memenuhi persyaratan.

  Ada beberapa kriteria dasar yang umum dalam merencanakan sambungan, antara lain (Ervina Sari, 2003) :

  1. Kekuatan (strength) Dari segi kekuatan, sambungan harus dapat menahan momen, gaya geser, dan gaya aksial yang dipindahkan dari batang yang satu ke batang yang lain.

  2. Kekakuan (stiffness) Kekakuan sambungan secara menyeluruh berguna untuk menjaga posisi komponen struktur agar tidak bergerak atau berubah antara satu dengan lainnya.

  3. Kapasitas rotasi Pada sambungan yang direncanakan untuk menahan momen plastis, titik simpulnya dapat dibuat tidak terlalu kaku (rigid). Namun demikian, derajat kekakuannya harus cukup untuk memungkinkan redistribusi momen yang sesuai dengan asumsi analisis. Oleh sebab itu, sambungan perlu direncanakan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan kapasitas rotasi yang cukup selama menyokong momen plastis.

  4. Cukup ekonomis Sambungan harus cukup sederhana agar biaya fabrikasinya murah, namun tetap memenuhi syarat kekuatan dan kemudahan dalam pelaksanaannya.

  Ditinjau dari segi kekakuannya, sambungan dapat dibagi menjadi (Ervina Sari,

  2003) : 1.

  Sambungan defenitif, artinya tidak dapat dibuka lagi tanpa merusak alat- alat penyambungnya (menggunakan paku keling atau pengelasan).

  2. Sambungan tetap, dimana bagian yang disambung tidak dapat bergerak lagi (menggunakan paku keling atau pengelasan).

  3. Sambungan sementara, dapat dibuka lagi tanpa merusak alat-alat penyambungnya (menggunakan baut).

  4. Sambungan bergerak, sambungan ini memungkinkan pergerakan yang dibutuhkan menurut perhitungan statis pada bagian-bagian yang akan disambung (menggunakan engsel/sendi dan landasan/tumpuan). Sambungan juga dapat digolongkan menurut (Ervina Sari, 2003) : 1.

  Metode alat penyambung, seperti : las, pin, baut, baut mutu tinggi, dan paku keeling.

2. Kekuatan geser sambungan (connection, rigidity) : a.

  Sambungan Kaku, dimana kapasitas momen disalurkan secara penuh ke komponen yang disambung dan sudut yang terjadi antara sambungan dipertahankan agar relatif konstan.

  b.

  Kerangka Sederhana, dimana tidak terjadi perpindahan momen diantara bagian-bagian yang disambung (momen yang terjadi kecil, sehingga dapat diabaikan).

  c.

  Sambungan Semi-kaku, kapasitas momen yang dipindahkan kurang dari kapasitas momen penuh dari bagian-bagian konstruksi yang disambung.

2.3.1 Sambungan Momen (Moment Connections)

  Karakteristik sambungan dapat dipahami berdasarkan gambaran rotasi akibat adanya gaya yang diberikan. Rotasi yang terjadi membuat perubahan sudut antara sambungan seperti yang terlihat pada gambar berikut.

Gambar 2.2. Momen-rotasi pada sambungan Berdasarkan kurva momen-rotasi (M-Ø), sambungan dapat diklasifikasikan dalam tiga karakteristik seperti yang diilustrasikan pada

Gambar 2.3 . Tiga karakteristik tersebut adalah (Joints in Steel Construction, Moment Connections, 1995) :

  1. Momen tahanan (moment resistance), yaitu berupa sambungan full

  strength , partial strength, atau nominally pinned (tidak ada momen penahan).

  2. Rotasi kekakuan (rotational stiffnes), dimana sambungan berifat rigid, semi-rigid , atau nominally pinned (dimana tidak ada rotasi kekakuan).

  3. Kapasitas rotasi (rotational capacity), dimana sambungan perlu berdeformasi dan memerlukan rotasi plastis dari suatu tahapan gaya tanpa mengalami keruntuhan.

  Kurva momen-rotasi adalah grafik hubungan antara momen (sumbu y) dan rotasi (sumbu x) dari suatu sambungan. Momen (M) dalam hal ini diakibatkan oleh beban yang bekerja pada bidang balok terhadap sambungan dalam jarak tertentu. Rotasi (Ø) adalah perpindahan balok terhadap kolom dalam arah dan sudut tertentu.

Gambar 2.3. Klasifikasi sambungan momen

  

(Sumber : Joints in Steel Construction, Moment Connections, 1995)

  Pada umumnya, kurva momen-rotasi dari sebuah sambungan dapat memberikan beberapa sifat atau karakteristik sebagai berikut (Joints in Steel

  Construction, Moment Connections, 1995) : 1.

  Kekakuan dari sebuah sambungan diidentifikasi dari kemiringan kurva.

2. Perilaku sambungan pada umumnya adalah non linier, dimana kekakuan menurun sedangkan rotasi meningkat.

  3. Pada Gambar 2.3c, daktilitas meningkat seiring meningkatnya rotasi.

  Sebuah sambungan dapat dinyatakan ductile (elastis) jika memenuhi syarat bahwa rotasi yang terjadi lebih besar dari 0,03 radians.

  Pada Gambar 2.3a, sehubungan dengan kekuatan (strength), sambungan diklasifikasikan menjadi full strength, partial strength, dan

  nominally pinned :

   moment resistance/tahanan M sama atau lebih besar dari moment capacity/kapasitasnya (M ≥ Mcx). Kurva 1, 2, dan 4 menunjukkan sambungan full strength.

  Sambungan full strength didefinisikan sebagai sambungan dengan

   resistance/tahanan M sama atau kurang dari moment capacity/kapasitasnya (M ≤ Mcx). Kurva 3 dan 5 termasuk ke dalam klasifikasi partial strength.

  Sambungan partial strength didefinisikan sebagai sambungan moment

   dengan momen resistance/tahanan tidak lebih 25% dari moment capacity/kapasitasnya. Kurva 6 menggambarkan sambungan tipe nominally pinned.

  Sedangkan nominally pinned adalah sambungan yang cukup fleksibel

  Pada Gambar 2.3b, kekakuan (rigidity) sama dengan kekakuan rotasi dimana kurva 1, 2, 3, dan 4 menunjukkan sambungan rigid. Sedangkan kurva 5 termasuk dalam klasifikasi sambungan semi-rigid. Dalam peraturan BS5950 dijelaskan bahwa garis putus-putus antara rigid dengan semi-rigid diperoleh dari rumus 2EI/L.

  Pada Gambar 2.3c, kurva 2, 4, dan 5 adalah sambungan ductile (elastis). Kurva 1 tidak elastis dan kurva 3 berada antara elastis dan tidak elastis. Kurva 6 merupakan jenis sambungan nominally pinned, sehingga merupakan sambungan sederhana.

  Pedoman mengenai sifat yang diperlukan untuk perencanaan sambungan pada rangka bangunan dari beberapa metode yang sedang populer pada saat sekarang ini, dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.2. Metode perencanaan rangka bangunan

  Perencanaan Sambungan Catatan Analisa Contoh Tipe Rangka Sifat Metode

  Gambar 2.3 Global

  Metode ekonomi untuk Sambungan perkuatan rangka pada

  Simple / Nominally bertingkat. Perencanaan Sendi

  6 Konstruksi Sederhana pinned sambungan dibuat Sederhana untuk kekuatan geser

  (Catatan 2) saja.

  Analisa elastis secara Elastis Rigid 1,2,3,4

  Bagian 2 konvensional. Plastis Full strength 1,2,4 Bagian 2 Sendi plastis terbentuk Continuous / pada komponen Menerus penyusun yang (Catatan 1) berdekatan, bukan pada Full strength

  Elastis-Plastis 1,2,4

  Bagian 2 sambungan. Terkenal dan rigid untuk perencanaan rangka portal.

  Sambungan dimodelkan sebagai rotasi pegas. Tidak Elastis Semi-rigid 5,6 Asumsi kekakuan tercakup sambungan sulit ditampilkan.

  Perencanaan momen- Semi- Partial strength

  Plastis 5,6

Bagian 3 angin merupakan

  continuous / dan ductile variasi dari metode ini.

  Semi-menerus (Catatan 2) Sambungan bersifat penuh dimodelkan pada

  Partial strength Tidak analisis ini. Merupakan Elastis-Plastis dan/atau semi- Lainnya tercakup alat penelitian bukannya rigid metode perencanan praktis.

  BS 5950 mengacu pada metode perencanaan masing- masing sebagai “Kaku” dan “Semi-kaku” Catatan 1 tetapi hal ini dapat membingungkan karena mencakup sifat-sifat selain kekakuan. Lihat pada referensi The Steel Construction Institute, and British Constructional Steelwork Catatan 2 Association Ltd (Joints in Simple Construction) Sumber : Joints in Steel Construction, Moment Connections, 1995 Dimana : Full strength connection (sambungan kuat sepenuhnya), yaitu

   sambungan dimana momen tahanannya setidaknya sama dengan komponen yang disambung.

   sambungan dimana momen tahanannya lebih kecil dari komponen yang disambung.

  Partial strength connection (sambungan kuat sebagian), yaitu

   kekakuannya cukup untuk menahan sifat fleksibel rangka bangunan akibat adanya momen lentur sehingga dapat diabaikan.

  Rigid connection (sambungan kaku), yaitu sambungan yang

   yang sangat fleksibel untuk dianggap bersifat kaku namun juga bukan bersifat sendi.

  Semi-rigid connection (sambungan semi-kaku), merupakan sambungan

   yang cukup fleksibel dianggap sebagai sendi untuk tujuan analisis. Sambungan ini, secara defenisi, bukan merupakan sambungan momen melainkan sambungan partial strength yang mampu melawan kurang dari 25% M , sehingga dianggap sebagai sambungan sendi.

  Nominally pinned connection (sambungan sendi), yaitu sambungan

  cx

   kapasitas rotasinya dianggap sebagai sendi plastis.

  Ductile connection (sambungan elastis), merupakan sambungan yang

   rangka yang sambungannya diasumsikan tidak terjadi momen yang mempengaruhi, baik sambungan itu sendiri maupun struktur secara keseluruhan.

  Simple design (desain sederhana), merupakan metode pendesainan

   rangka yang sifat sambungannya tidak dimodelkan dalam analisa rangkanya. Hal ini mencakup analisa elastis dimana sambungannya bersifat rigid, atau analisa plastis dimana sambungannya full strength.

  Continuous design (desain menerus), merupakan metode pendesainan

   pendesainan rangka yang sifat sambungannya dimodelkan dalam analisa rangkanya. Hal ini mencakup analisa elastis dimana sambungan semi-kakunya dimodelkan sebagai rotasi pegas, atau analisa plastis dimana sambungannya kuat sebagian dan dimodelkan sebagai sendi plastis.

  Semi-continuous design (desain semi-menerus), merupakan metode

2.3.2 Sambungan Berdasarkan Karakteristik Kekakuan (Rigidity)

  Selain Sambungan Momen di atas, menurut AISC-1.2 tentang perencanaan tegangan kerja (working stress) dan AISC-2.1 tentang perencanaan plastis, konstruksi baja dibedakan atas tiga kategori sesuai dengan jenis sambungan yang dipakai. Ketiga jenis ini adalah sebagai berikut (Charles G. Salmon dan

  John E. Johnson, 1995) : 1.

  Jenis 1 AISC. Sambungan portal kaku (rigid connection), 2. Jenis 2 AISC. Sambungan kerangka sederhana (simple framing), 3. Jenis 3 AISC. Sambungan kerangka semi-kaku (semi-rigid connection ).

Gambar 2.4 memperlihatkan grafik persamaan garis balok dan

  kelakuan momen-rotasi dari sambungan Jenis 1, 2, dan 3. Sambungan kaku umumnya harus memikul momen ujung M

  1

  , yang sekitar 90% dari M

  Fa

  atau lebih; jadi derajat pengekangannya dapat dikatakan 90%. Sambungan sederhana (Jenis 2) hanya dapat menahan 20% dari momen M

  Fa

  atau kurang, seperti yang ditunjukkan oleh momen M

  2

  , sedangkan sambungan semi-kaku diperkirakan menahan momen sebesar M

  3

  , yang mungkin sekitar 50% dari momen primer M

  Fa .

Gambar 2.4. Karakteristik momen-rotasi ketiga jenis sambungan AISC

  

(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1995)

2.3.2.1 Sambungan Kaku (Rigid Connection)

  Sambungan ini memiliki kontinuitas penuh sehingga sudut pertemuan antara batang-batang tidak berubah, yakni pengekangan (restraint) rotasi sekitar 90% atau lebih dari yang diperlukan untuk mencegah perubahan sudut. Sambungan ini dipakai baik pada metode perencanaan tegangan kerja maupun perencanaan plastis (Charles G. Salmon dan John E.

  Johnson, 1995).

  Ø ≈ θ θ1 = θ2

Gambar 2.5. Distribusi momen tahanan terhadap momen jepit sempurna pada sambungan kaku

  (Sumber : Ervina Sari, 2003)

  Dalam LRFD-A2.2, sambungan ini disebut “Tipe FR” (Fully terkekang penuh) dan dalam ASD-A2.2

  Restrained/

  dikenal sebagai “Tipe 1”. Biasanya, sambungan jenis ini digunakan pada bangunan yang strukturnya direncanakan tahan terhadap angin dan gempa (Jack C.

  McCormac, 2008) .

  Flange Plates T - Sections Seated connection with stiffener angles

Gambar 2.6. Sambungan rigid connection

  

(Sumber : Jack C. McCormac, 2008, dan Dian Sukma Arifwan, 2007)

  Menurut SNI 03-1729-2002, sambungan ini dianggap memiliki kekakuan yang cukup untuk mempertahankan sudut-sudut diantara

2.3.2.2 Sambungan Sederhana (Simple Framing)

  Pengekangan rotasi di ujung-ujung batang pada sambungan ini dibuat sekecil mungkin. Suatu kerangka dapat dianggap sederhana jika sudut semula antara batang-batang yang berpotongan dapat berubah sampai 80% dari besarnya perubahan teoritis yang diperoleh dengan menggunakan sambungan sendi tanpa gesekan (frictionless). Kerangka sederhana tidak digunakan dalam perencanaan plastis, kecuali pada sambungan batang-batang tegak lurus bidang portal yang harus mencapai kekuatan plastis (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1995).

  Ø ≈ 0 θ relative lebih besar θ1 = 0

Gambar 2.7. Distribusi momen tahanan terhadap momen jepit sempurna pada sambungan sederhana

  

(Sumber : Ervina Sari, 2003)

  Dalam LRFD-A2.2 , sambungan ini disebut “Tipe PR” (Partially

  

Restrained/ terkekang sebagian) dan dalam ASD-A2.2 dikenal sebagai

“Tipe 2” (Jack C. McCormac, 2008).

  Web Ls bolt Erection End return Top L Framed Simple Connection Seat L location of top L Alternative Field bolts

Seated Simple Connection Single-plate or

shear tab simple connection

Gambar 2.8. Sambungan simple connection

  (Sumber : Jack C. McCormac, 2008)

  Menurut SNI 03-1729-2002, jenis sambungan ini dipakai untuk menyambung suatu balok ke balok lainnya atau ke sayap kolom. Pada sambungan ini, siku penyambung dibuat sefleksibel mungkin dan sambungan pada kedua ujung komponen struktur dianggap bebas momen.

2.3.2.3 Sambungan Semi-kaku (Semi-rigid Connection)

  Pengekangan rotasi sambungan berkisar antara 20% - 90% dari yang diperlukan untuk mencegah perubahan sudut. Sambungan semi-kaku tidak dipakai dalam perencanaan plastis dan jarang sekali digunakan pada metode tegangan kerja, terutama karena derajat pengekangannya sukar ditentukan (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1995).

  0 < Ø < θ θ1 ≠ θ2

Gambar 2.9. Distribusi momen tahanan terhadap momen jepit sempurna pada sambungan semi-kaku

  

(Sumber : Ervina Sari, 2003)

  Dalam LRFD-A2.2, sambungan ini juga termasuk ke dalam “Tipe

  PR” (Partially Restrained/terkekang sebagian), dimana penggunaanya tergantung pada proporsi tertentu dari kekangan penuh. Dalam ASD-

  

A2.2 , desain sambungan semi-rigid menghendaki kapasitas momen pada

  derajat pertengahan antara rigiditas “Tipe 1” dan fleksibilitas “Tipe 2” (Jack C. McCormac, 2008) .

  

(a) single web angle (b) single plate (c) double web angle

(d) header plate (e) top and seat angle (f) top and seat angle with double web angle (g) extended end plate (h) flush end plate (i) T - stub

Gambar 2.10. Sambungan semi-rigid connection Menurut SNI 03-1729-2002, sambungan ini tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mempertahankan sudut-sudut diantara komponen-komponen yang disambung.

2.4 Alat Sambung Konstruksi Baja

2.4.1 Baut

  Pada suatu struktur yang terbuat dari konstruksi baja, baut merupakan suatu elemen yang paling vital untuk diperhitungkan, karena merupakan alat sambung yang paling sering digunakan.

2.4.1.1 Jenis Baut

  Ada beberapa jenis baut yang digunakan dalam perencanaan sambungan, antara lain (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997) : a. dan A )

  325 490

  Baut Mutu Tinggi (ASTM A Baut ini berkekuatan leleh minimal 372 MPa dan mampu mengatasi slip antara dua elemen baja yang disambung pada struktur rangka batang memikul gaya aksial.

  Baut A terbuat dari baja karbon sedang yang diberi perlakuan

  325

  panas sekitar 558 sampai 634 MPa yang tergantung pada diameter. Baut A juga diberi perlakuan panas tetapi dibuat dari baja paduan (alloy)

  490

  dengan kekuatan leleh sekitar 793 sampai 896 MPa yang tergantung pada diameter baut.

  Alat sambung ini memiliki kepala segi enam yang tebal dan digunakan dengan mur segi enam yang setengah halus dan tebal seperti diperlihatkan pada gambar berikut.

Gambar 2.11. Alat sambung baut

  (Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson,1997)

  Bagian ulirnya lebih pendek daripada bagian baut yang tidak struktural, dan dapat dipotong atau digiling. Diameter baut kekuatan tinggi berkisar antara ½ dan 1 ½ inchi. Diameter yang paling sering

  7

  digunakan pada konstruksi gedung adalah ¾ sampai / inchi, sedang

  8

  ukuran yang paling umum digunakan dalam perencanaan jembatan

  7 adalah / dan 1 inchi.

  8

  Pemasangan baut mutu tinggi

  Kekuatan alat sambung baut mutu tinggi ditentukan oleh dimensinya, tipe bautnya, kekuatan leleh (tensile strength), panjang ulir di dalam elemen pelat, dan putaran untuk tarik awal. Pada pemasangannya, baut mutu tinggi memerlukan pemberian gaya pratarik yang memadai. Gaya pratarik harus sebesar mungkin tanpa mengakibatkan deformasi permanen dan kehancuran dari baut. Sebagai ganti tegangan leleh, digunakan istilah proof load, dimana beban diperoleh dengan mengalikan luas tegangan tarik dengan tegangan leleh yang ditetapkan berdasarkan regangan tetap 0,2% atau perpanjangan 0,5% akibat beban (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997).

  Gaya pratarik yang ditetapkan AISC sama dengan 70% dari minimum tensile strength seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.3 dan tarikan ini sama dengan proof load.

Tabel 2.3. Tarikan baut minimum

  Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson,1997 AISC menetapkan 3 (tiga) macam teknik umum untuk mencapai besarnya pretension, yaitu (Charles G. Salmon dan John E. Johnson,

  1997) :

   Menggunakan kunci puntir manual (manual torque wrenches) dan kunci otomatis (power wrenches) yang diatur agar berhenti pada nilai puntir yang ditentukan, untuk menimbulkan tarikan baut sedikitnya 5% di atas nilai yang ditunjukan dalam Tabel 2.3.

  Metode calibrated wrench (kunci yang dikalibrasi)

  Metode turn of the nut (putaran mur)

   Gaya tarikan awal baut diperoleh dengan menetapkan rotasi mur pada awal snug tig position (titik erat) yang menimbulkan besarnya regangan tertentu pada baut. Mur dipandang berada pada “titik erat” setelah “beberapa kejutan dari kunci kejut atau seluruh kemampuan manusia dengan kunci mekanik biasa tidak dapat memutarnya lagi”.

   Metode ini menggunakan alat berupa cincin pengeras (cincin indicator) dengan sejumlah tonjolan keluar pada salah satu mukanya. Cincin indicator dipasang antara kepala baut dan bahan yang disambung dengan tonjolan keluar menumpu pada sisi bawah kepala baut atau menumpu pada pelat nut face washer yang diletakkan antara cincin indicator dan mur, sehingga terdapat gap akibat cincin indicator tersebut. Tarikan baut ditentukan dari pengukuran gap yang tersisa dengan menggunakan feeler gage.

  Metode direct tension indication

  Sambungan baut mutu tinggi dapat didesain sebagai sambungan tipe friksi (jika dikehendaki tak ada slip) atau juga sebagai sambungan tipe tumpu.

  a.

  Sambungan Tipe Tumpu Adalah sambungan yang dibuat dengan menggunakan baut yang dikencangkan dengan tangan atau baut mutu tinggi yang dikencangkan untuk menimbulkan gaya tarik minimum yang disyaratkan, yang kuat rencananya disalurkan oleh gaya geser pada baut dan tumpuan pada bagian-bagian yang disambungkan. Sambungan ini digunakan apabila kelebihan beban tidak penting walaupun menyebabkan tangkai baut mendesak sisi lubang.

  Untuk pembebanan lainnya, beban dipindahkan oleh gesekan bersama dengan desakan pelat. Gelinciran hanya akan terjadi sekali asalkan pembebanan bersifat statis dan tak berubah arah dan setelah itu baut akan bertumpu pada bahan di sisi lubang.

  2 Gambar 2.12. Mekanisme sambungan tumpu

2 Dody B., 2012, Desain Konstruksi Baja, diunduh dari http://dodybrahmantyo.dosen.narotama .

  b.

  Sambungan Tipe Friksi Adalah sambungan yang dibuat dengan menggunakan baut mutu tinggi yang dikencangkan untuk menimbulkan tarikan baut minimum yang disayaratkan sedemikian rupa sehingga gaya-gaya geser rencana disalurkan melalui jepitan yang bekerja dalam bidang kontak dan gesekan yang ditimbulkan antara bidang- bidang kontak. Tipe ini digunakan apabila gelinciran pada beban kerja tidak dikehendaki. Pada tipe ini daya tahan gelincir memadai pada kondisi beban kerja harus disediakan di samping kekuatan sambungan yang memadai.

  2 Gambar 2.13. Mekanisme sambungan friksi

  Apabila dikehendaki sambungan tanpa slip (tipe friksi), maka satu baut yang hanya memikul gaya geser terfaktor Vu dalam bidang permukaan friksi harus memenuhi (Agus Setiawan, 2008) :

  Vu <

  φVn

  Vu <

  φ . 1,13 μ . m . proof load Dimana :

  φ = 1,0 untuk lubang standar

  μ = koefisien gesek (0,35) m = jumlah bidang geser

  

Proof load adalah gaya tarik awal yang diperoleh dari pengencangan

  awal, memberikan friksi sehingga cukup kuat untuk memikul beban yang bekerja.

  Menurut Spesifikasi AISC setiap baut kekuatan tinggi harus dipasang dengan cara yang sama hingga tarikan awalnya sama tanpa memandang tipe sambungan apakah tipe geser atau tipe tumpu. Penampilan pada beban kerja pada umumnya identik yaitu beban kerja disalurkan melalui gesekan antara potongan yang disambung. Perbedaan penampilan hanyalah akibat perbedaan faktor keamanan terhadap gelincir.

  b. )

  307

  Baut Hitam (ASTM A Baut ini terbuat dari baja karbon rendah dan merupakan jenis baut paling murah. Namun, baut ini belum tentu menghasilkan sambungan yang paling murah karena banyaknya jumlah baut yang dibutuhkan pada suatu sambungan. Pemakaiannya terutama pada struktur ringan, batang sekunder atau pengaku, anjungan (platform), jalan haluan (cat walk), gording, rusuk dinding, rangka batang yang kecil dan lain-lain yang bebannya kecil dan bersifat statis. Baut ini juga dipakai sebagai alat penyambung sementara pada sambungan yang menggunakan baut kekuatan tinggi, paku keling atau las. c.

  Baut Sekrup (Turned Bolt) Dibuat dengan mesin, berbentuk segi enam dengan toleransi yang lebih kecil (sekitar 1/50 inchi) bila dibandingkan dengan baut hitam.

  Digunakan bila sambungan memerlukan baut yang pas dengan lubang yang dibor.

  d.

  Baut Bersirip (Ribbed Bolt) Terbuat dari baja paku keling biasa, berkepala bundar dengan tonjolan sirip-sirip yang sejajar tangkainya. Bermanfaat pada sambungan tumpu (bearing) dan sambungan yang mengalami tegangan berganti (bolak-balik).

Tabel 2.4. Sifat-sifat baut

  Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson,1997

  Perbandingan Baut Mutu Tinggi dan Baut Biasa

  Pada sambungan antara balok dan kolom dengan menggunakan baut mutu tinggi akan menambah kapasitas daya dukung sambungan itu, bukan saja karena kekuatan bautnya, tapi juga karena pengaruh tarik minimum dengan cara pemutaran mur oleh kunci momen yang telah ditentukan standarnya berdasarkan baut yang digunakan. Pengaruh adanya pratarik ini menyebabkan terjadinya gaya gesekan antara dua elemen pelat yang disambung.

  Untuk baut mutu biasa/hitam yang tidak mampu memikul pratarik atau baut mutu tinggi yang tidak diberi pratarik (pretension) dimodelkan menjadi suatu tampang kontinu dengan cara mengkonversi luasan baut dan luasan pelat dimana masing-masing menerima tarik pada daerah atas dan menerima tekan pada daerah bawah garis netral (tampang berbentuk T terbalik).

  Baut mutu tinggi tidak lagi seperti permodelan baut mutu biasa akibat baut terlebih dahulu telah mengalami tarik minimum (gaya pratarik). Artinya, semua baut mengalami tarik dan semua bidang kontak mengalami tekan. Ketika beban luar bekerja (momen luar), garis netral berada di tengah-tengah kumpulan alat sambung (Sanci Barus dan .

  Robert Panjaitan, 2010)

Gambar 2.14. Permodelan sambungan baut dalam kondisi tidak diberi pratarik dan diberi pratarik

  

(Sumber : Sanci Barus dan Robert Panjaitan, 2010)

  Dimana dapat dihitung besarnya luasan pengganti baut

  3

  : Kemudian, tegangan pada serat paling atas dapat diperoleh dengan menghitung inersia tampang luasan pengganti

  3

  :

  • , maka

  √ ⁄

  3 Kolom Baut s

  Hub. Balok-Kolom PL h x b x tp d Baut T er tari k Pelat Tertekan b x h-x a f M f i Kondisi tidak diberi Pratarik (Baut Mutu Biasa) f M 0,5 h Pratar ik Kondisi diberi Pratarik (Baut Mutu Tinggi) f M f N Bila f M > f N f M f i δ Dibandingkan dengan perilaku sambungan menggunakan alat sambung baut mutu tinggi yang diberi pratarik, permodelan tampang luasan pengganti tidak lagi digunakan. Hal ini dikarenakan seluruh baut telah terlebih dahulu diberi gaya pratarik (pretension) sebesar T. Akibat pemberian gaya awal tersebut, maka seluruh baut mengalami tarikan dan seluruh pelat mengalami gaya tekan.

  Dengan demikian, perilaku penggunaan baut mutu tinggi berbeda dengan baut mutu biasa yang tidak diberikan perilaku pratarik. Akibat penguncian atau pemberian gaya pratarik pada baut mutu tinggi, timbul gaya perlawanan geser yang akan memberikan faktor keamanan yang lebih besar dibanding perilaku baut mutu biasa (Sanci Barus dan Robert Panjaitan, 2010) .

2.4.1.2 Kekuatan Baut

  Sebelum memutuskan sambungan apa yang akan digunakan pada suatu konstruksi, kita harus mengetahui kekuatan sambungan tersebut. Dalam hal menentukan kekuatan sambungan baut, yang ditinjau adalah ketahanan dari aspek geser, tarik, dan desak (tumpu), baik terhadap alat sambungnya maupun material yang disambungkan.

  Suatu baut yang memikul gaya terfaktor Ru, sesuai persyaratan

LRFD harus memenuhi persyaratan (Charles G. Salmon dan John E.

  Johnson, 1997) :

  R

  u ≤ φ R n R = tahanan nominal baut, dimana nilai setiap tipe

  n

  sambungan berbeda-beda Nilai tahanan nominal baut tersebut diperoleh berdasarkan tahanan-tahanan yang direncanakan dalam menghitung kekuatan baut, yaitu (Dian S. Arifwan, 2007) : 1.

  Tahanan geser rencana : Hampir semua hubungan struktural baut harus dapat mencegah terjadinya gerakan material yang disambung dalam arah tegak lurus terhadap panjang baut seperti terlihat pada Gambar 2.15.

  

bidang geser

Gambar 2.15. Baut yang mengalami geser tunggal

  

(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997)

  Pada kasus seperti ini, baut mengalami geser. Pada hubungan tumpang tindih (lap joint) seperti ini, baut mempunyai kecenderungan untuk mengalami geser di sepanjang bidang kontak tunggal antara kedua pelat yang disambung. Karena baut menahan kecenderungan pelat-pelat saling menggelincir pada bidang kontak dan karena baut mengalami geser pada satu bidang saja, maka baut tersebut mengalami geser tunggal.

  Pada hubungan lurus (butt joints) seperti terlihat pada Gambar

  

2.16 , ada dua bidang kontak sehingga baut memberikan tahanannya di sepanjang dua bidang tersebut dan disebut geser rangkap.

  

bidang geser

Gambar 2.16. Baut yang mengalami geser rangkap

  

(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997)

  Kapasitas pikul beban atau kekuatan desain sebuah baut yang mengalami geser tunggal maupun rangkap sama dengan hasil kali antara jumlah bidang geser dengan tegangan geser putus di seluruh luas bruto penampang melintangnya, sehingga (SNI 03-1729-2002) : Dimana : m = jumlah bidang geser r = 0,5 ; untuk baut tanpa ulir pada bidang geser

  1

  r = 0,4 ; untuk baut dengan ulir pada bidang geser

  1

  = kuat tarik baut (MPa) A = luas bruto penampang baut pada daerah tak berulir

  b 2.

  Tahanan tarik rencana : Sesuai dengan keadaan batas retak dalam tarik dan bentuk kegagalan yang terlihat dalam Gambar 2.17, kekuatan nominal Rn pada suatu penyambung dalam tarik adalah (SNI 03-1729-2002) :

Gambar 2.17. Kegagalan tarik

  

(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997)

  Jarak antar baut S yang biasa menurut arah transmisi gaya paling tidak harus sebesar 3 kali diameter dan tidak boleh kurang dari 2

  2

  /

  3

  diameter baut. Karena Rn merupakan kekuatan nominal yang disyaratkan, yang sama dengan beban terfaktor P yang bekerja pada satu baut dibagi dengan faktor resistansi

  φ, maka :

  Dimana : P = beban terfaktor yang bekerja pada satu baut φ = 0,75 F

  u

  = kuat tarik pelat t = tebal pelat d

  b

  = diameter baut Persyaratan untuk jarak ujung S

  1 pada arah gaya baut sedemikian

  rupa sehingga tidak terjadi patahan adalah :

  kegagalan tarik pelat kegagalan tarik baut Dimana : P = beban terfaktor per baut φ = 0,75 F = kuat tarik pelat

  u

  t = tebal pelat 3.

  Tahanan tumpu (desak) rencana Kekuatan batas tumpu berkaitan dengan deformasi di sekitar lobang baut, seperti yang terlihat pada Gambar 2.18. Kekuatan tumpu Rn merupakan gaya yang bekerja terhadap sisi lobang yang akan memecah atau merobek pelat. Semakin besar jarak ujung L diukur dari pusat lobang ke pinggiran, semakin kecil kemungkinan terjadinya robekan.

  kegagalan tumpu pelat kegagalan tumpu baut

Gambar 2.18. Kegagalan tumpu

  

(Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997)

  Meskipun baut dalam suatu hubungan telah memadai dalam meneruskan beban yang bekerja dengan mengalami geser, namun masih dapat gagal kecuali apabila material yang disambung dapat meneruskan tumpu pada material di sekeliling lobang tidak diketahui sehingga luas kontak yang diambil adalah diameter nominal dikalikan dengan tebal material yang disambung. Ini diambil dengan anggapan bahwa tekanan merata terjadi pada luas segiempat.

  Nilainya tergantung pada kondisi terlemah dari baut atau komponen pelat yang disambung, dimana (SNI 03-1729-2002) : Dimana : d = diameter baut pada daerah tak berulir

  b

  t = tebal pelat

  p

  f = kuat tarik putus terendah dari baut atau pelat

  u

2.4.1.3 Kriteria Perencanaan Baut

  Dalam perencanaan baut, ada beberapa ketentuan mengenai tata letak/susunan baut pada suatu sambungan, yaitu (SNI 03-1729-2002) : a.

  Jarak antar pusat lubang baut tidak boleh kurang dari 3 kali diameter nominal baut.

  b.

  Jarak minimum dari pusat lubang baut tepi ke ujung pelat harus memenuhi tabel berikut :

Tabel 2.5. Jarak tepi minimum baut

  Tepi dipotong Tepi dipotong Tepi profil bukan dengan tangan dengan tangan hasil potongan 1,75 d 1,50 d 1,25 d

  b b b

dimana d adalah diameter nominal baut pada daerah tak berulir. b Sumber : Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1729-2002 c. atau 200

  Jarak antara pusat lubang baut tidak boleh melebihi 15 t p mm (t p adalah tebal pelat lapis tertipis pada sambungan).

  d.

  Jarak dari pusat tiap lubang baut ke tepi terdekat suatu bagian yang berhubungan dengan tepi yang lain tidak boleh lebih dari 12 t atau 150 mm.

  p 1 S S 1 1 1 S

S S S S

3 d < S < 15 t atau 200 mm b p 1,5 d < S < 12 t atau 150 mm b 1 p

Gambar 2.19. Tata letak baut

  

(Sumber : Agus Setiawan, 2008)

  

2.4.1.4 Sambungan Kombinasi Geser dan Tarik Menggunakan

Baut

  Pada umumnya, sambungan yang ada merupakan kombinasi geser dan tarik. Contoh sambungan yang merupakan kombinasi geser dan tarik terlihat pada Gambar 2.20. Pada sambungan (a), akibat adanya momen maka baut tepi atas akan mengalami tarik yang sebanding dengan momen yang bekerja. Sambungan ini digunakan bila momen tidak terlalu besar, dan untuk momen yang besar biasanya digunakan sambungan (b), dimana momen disalurkan melalui sayap dan diterima oleh baut-baut pada sayap tersebut (Charles G. Salmon dan John E. Johnson,1997).

Gambar 2.20. Sambungan kombinasi geser dan tarik

  (Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997) a.

  Sambungan Tipe Tumpu Dalam perencanaan sambungan yang memikul kombinasi geser dan tarik, ada dua persyaratan yang harus dipenuhi (Agus

  Setiawan, 2008) : b

  1. tanpa ulir di bidang geser

  f = . m

  uv ≤ 0,5 . φ . f u b dengan ulir di bidang geser

  . m ≤ 0,4 . φ . f u

  2. = . A >

  nt φ . f t b

  φ . R b.

  Sambungan Tipe Friksi Untuk sambungan tipe friksi, berlaku hubungan (Agus Setiawan,

  2008) :

  ( )

  Dimana :

  Proof load = 0,75 . A . proof stress

  b

  A = luas bruto baut

  b

  T = beban tarik terfaktor

  u

  n = jumlah baut

2.4.2 Las

2.4.2.1 Jenis Las

  Dalam pekerjaan konstruksi, ada empat tipe pengelasan, yaitu (Charles

G. Salmon dan John E. Johnson,1997) : a.

  Las Tumpul (Groove Weld) Berguna untuk menghubungkan batang-batang struktur yang dipaskan pada bidang yang sama. Karena las tersebut harus menyalurkan beban penuh batang-batang yang dihubungkannya, maka las tersebut harus memiliki kekuatan yang sama dengan batang-batang yang digabungkan.

  b.

  Las Sudut (Fillet Weld) Merupakan jenis las yang paling banyak digunakan karena hemat, mudah dipabrikasi, dan adaptibilitasnya baik, serta tidak membutuhkan presisi pada pengepasannya karena cukup ditumpang-tindihkan.

  c.

  Las Baji (Slot) dan Pasak (Plug) Las baji dan pasak dapat digunakan secara tersendiri pada sambungan atau dikombinasikan dengan las sudut. Manfaat utamanya adalah menyalurkan gaya geser pada sambungan lewatan bila ukuran sambungan membatasi panjang yang tersedia untuk las sudut atau las sisi lainnya, serta mencegah terjadinya tekuk pada bagian-bagian yang saling tumpang tindih.

  Las tumpul (a) Las tumpul (b) Las sudut

  

(c) Las baji (d) Las pasak

Gambar 2.21. Jenis-jenis las

  (Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997)

2.4.2.2 Jenis Sambungan Las

  Beberapa jenis sambungan yang sering ditemui dalam sambungan las adalah (Charles G. Salmon dan John E. Johnson,1997) : a.

  Sambungan sebidang (butt joint), dipakai untuk pelat-pelat datar dengan ketebalan sama atau hampir sama, dan tidak memiliki eksentrisitas.

  b.

  Sambungan lewatan (lap joint), untuk pelat dengan tebal yang berlainan, mudah dibuat dan disesuaikan di lapangan. c.

  Sambungan tegak (tee joint), untuk membuat penampang tersusun seperti bentuk I, pelat girder, dan stiffner.

  d.

  Sambungan sudut (corner joint), untuk penampang tersusun berbentuk kotak pada kolom atau balok yang menerima gaya torsi yang besar.

  e.

  Sambungan sisi (edge joint), bukan jenis sambungan struktural dan digunakan untuk menjaga agar dua atau lebih pelat tidak bergeser satu dengan lainnya.

  (a) butt joint (b) lap joint (c) tee joint (d) corner joint (e) edge joint

Gambar 2.22. Jenis-jenis sambungan las

  (Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1997)

2.4.2.3 Kekuatan Las

  Filosofi umum dari LRFD terhadap persyaratan keamanan suatu struktur untuk las adalah sebagai berikut (SNI 03-1729-2002) : R

  u ≤ φ R nw

  Dimana : R = beban terfaktor per satuan panjang las

  u

  φ = faktor reduksi tahanan R = tahanan nominal per satuan panjang las

  nw Nilai kuat rencana per satuan panjang masing-masing jenis las diperoleh berdasarkan (SNI 03-1729-2002) : a.

  Kuat las tumpul Bila sambungan dibebani gaya tarik atau gaya tekan aksial

   terhadap luas efektif :

  nw = 0,9 . t e . f y (bahan dasar)

  φ R

   = 0,9 . t . f (las)

  φ R nw e yw Bila sambungan dibebani gaya geser terhadap luas efektif :

   nw = 0,9 . t e (0,6 . f y ) (bahan dasar)

  φ R

   = 0,8 . t (0,6 . f ) (las)

  φ R nw e uw Dimana : f , f = tegangan leleh dan tegangan tarik putus

  y u b.

  Kuat las sudut

Dokumen yang terkait

Perbandingan Aktivitas Antijamur Antara Ekstrak Etanol Dari Serbuk Dan Serbuk Nano Daun Sirih Merah (Piper Crocatum Ruiz & Pav.) Terhadap Jamur Candida Albicans

2 60 57

Formulasi Tablet Effervesen Ekstrak Temulawak (Curcuma Zanthorrhizaroxb.)

5 108 64

Ekstraksi Multi Tahap Kurkumin Dari Temulawak (Curcuma Xanthorriza Roxb.) Menggunakan Pelarut Etanol

9 86 80

Formulasi Pasta Gigi Dari Ekstrak Etanol Rimpang Temulawak (Curcuma Xanthorriza Roxb) Dan Uji Aktivitas Antimikroba Terhadap Streptococcus Mutan Dan Candida Albicans

14 165 113

Isolasi Dan Analisis Kimia Minyak Atsiri Dari Temulawak (Curcuma xanthoriza Roxb) Dengan Gas Kromatografi - Spektrometer Massa (GC–MS) Dan Uji Aktivitas Anti Bakteri

30 208 138

Uji Aktivitas Anti Bakteri Dan Formulasi Dalam Sediaan Kapsul Dari Ekstrak Etanol Rimpang Tumbuhan Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza, Roxb) Terhadap Beberapa Bakteri

4 78 77

Perbandingan Aktivitas Antijamur Antara Ekstrak Etanol Dari Serbuk Dan Serbuk Nano Daun Sirih Merah (Piper Crocatum Ruiz & Pav.) Terhadap Jamur Candida Albicans

0 0 10

DAFTAR ISI - Perbandingan Aktivitas Antijamur Antara Ekstrak Etanol Dari Serbuk Dan Serbuk Nano Daun Sirih Merah (Piper Crocatum Ruiz & Pav.) Terhadap Jamur Candida Albicans

0 0 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Aktivitas Antioksidan Komponen Minyak Atsiri Bahan Segar Dan Ekstrak Etanol Dari Ampas Rimpang Jahe Gajah Serta Aplikasi Terhadap Daging Ikan Nila

0 0 28

Ekstraksi Multi Tahap Kurkumin Dari Temulawak (Curcuma Xanthorriza Roxb.) Menggunakan Pelarut Etanol

0 0 18