Analisis Pengembangan Potensi Wisata Sumber Daya Alam Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat di Pantai Talugawu Desa Banuagea Kabupaten Nias Utara

TINJAUAN PUSTAKA Kawasan Pesisir dan Pantai

  Defenisi wilayah pesisir menurut Soegiarto (1976) yang diacu oleh Dahuri, dkk. (2004) adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Definisi wilayah pesisir tersebut memberikan suatu pengertian bahwa ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam baik di darat maupun dilaut serta saling berinteraksi antara habitat tersebut.

  Bagian kawasan pesisir yang paling produktif adalah wilayah muka pesisir atau pantai. Daerah pantai adalah suatu kawasan pesisir beserta perairannya dimana daerah tersebut masih terpengaruh baik oleh aktivitas darat maupun laut (Pratikto, dkk., 1997). Garis pantai merupakan suatu garis batas pertemuan (kontak) antara daratan dengan air laut. Posisinya bersifat tidak tetap, dan dapat berpindah sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang terjadi. Pantai terletak antara garis surut terendah dan air pasang tertinggi (Bengen, 2001).

  Tipe pantai dapat dibedakan berdasarkan tipe substrat yang membentuk hamparan pantainya yaitu pantai berpasir, pantai berlumpur dan pantai berbatu.

  Pantai berpasir umumnya terdiri dari batu kuarsa dan feldspar, bagian yang paling banyak dan paling keras sisa-sisa pelapukan batu di gunung. Pantai yang berpasir dibatasi hanya di daerah dimana gerakan air yang kuat mengangkut partikel yang halus dan ringan dan juga terendap pada daratan pantai yang landai. Pantai berlumpur merupakan daerah pantai yang paling subur dibandingkan daerah pantai lainnya. Pantai berlumpur dicirikan dengan kandungan lumpur yang berlimpah dan terendapkan di daerah pantai. Pantai berlumpur dapat berkembang dengan baik jika ada suatu sumber partikel sedimen yang butirannya halus. Pantai berbatu merupakan pantai yang berbatu-batu memanjang ke laut dan terbenam di air. Pantai berbatu yang tersusun dari bahan yang keras merupakan daerah yang paling padat mikroorganismenya dan mempunyai keragaman terbesar baik untuk spesies hewan maupun tumbuhan. Keadaan ini berlawanan dengan pantai berpasir dan berlumpur yang hampir tandus (Nybakken, 1992).

  Pariwisata dan Ekowisata

  Dalam arti luas pariwisata adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk melepaskan diri dari pekerjaan rutin atau mencari suasana lain (Damanik dan Weber, 2006). Pariwisata juga merupakan kegiatan perpindahan/perjalanan orang secara temporer dari tempat mereka biasa bekerja dan menetap ke tempat luar, guna mendapatkan kenikmatan dalam perjalanan atau di tempat tujuan (Holloway dan Plant, 1989). Wisata merupakan suatu bentuk pemanfaatan sumberdaya alam yang mengandalkan jasa alam untuk kepuasan manusia. Kegiatan manusia untuk kepentingan wisata dikenal juga dengan pariwisata (Yulianda, 2007).

  Istilah kepariwisataan (tourism) mencakup orang-orang yang melakukan perjalanan pergi dari rumahnya dan perusahaan-perusahaan yang melayani mereka dengan cara memperlancar atau mempermudah perjalanan mereka atau membuatnya lebih menyenangkan. Seorang wisatawan didefinisikan sebagai seseorang yang berada jauh dari tempat tinggalnya dimana jarak jauhnya ini berbeda-beda (Lunberg, dkk., 1997). Pariwisata pesisir adalah kegiatan rekreasi yang dilakukan di sekitar pantai seperti : berenang, berselancar, berjemur, berdayung, menyelam, snorkling, beachombing/reef walking, berjalan-jalan atau berlari sepanjang pantai, menikmati keindahan suasana pesisir dan bermeditasi (Dahuri, dkk., 2004 diacu oleh Rahmawati, 2009).

  Ekowisata pertama kali dikenalkan pada tahun 1990 oleh organisasi The

  Ecotourism Society , sebagai perjalanan ke daerah-daerah yang masih alami yang

  dapat mengkonservasi lingkungan dan memelihara kesejahteraan masyarakat setempat (Linberg dan Hawkins, 1993). Ekowisata merupakan wisata berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam dan industri kepariwisataan (META, 2002). Semula ekowisata dilakukan oleh wisatawan pecinta alam yang menginginkan daerah tujuan wisata tetap utuh dan lestari, disamping budaya dan kesejahteraan masyarakatnya tetap terjaga.

  Selanjutnya kegiatan wisata berkembang di daerah-daerah konservasi atau daerah- daerah yang masih memiliki sumberdaya alami dengan tetap mempertahankan keseimbangan alam. Fenomena ini memberikan manfaat positif bagi kelestarian alam dan keberadaan kawasan konservasi. Dengan demikian, ekowisata juga dapat dikatakan merupakan suatu konsep pemanfaatan sumberdaya alam dengan pendekatan konservasi untuk pengembangan wisata.

  Ekowisata kemudian didefinisikan sebagai bentuk baru dari perjalanan bertanggung jawab ke area alami dan berpetualang yang dapat menciptakan industri pariwisata (Wood, 1999 diacu oleh Fandeli dan Muchlison, 2000). Ekowisata merupakan wisata yang lebih mengandalkan karakter sumberdaya alam dari pada sumberdaya lainnya. Sumberdaya ekowisata terdiri dari sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dapat diintegrasikan menjadi komponen terpadu bagi pemanfaatan wisata. Berdasarkan konsep pemanfaatan, wisata dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu (Fandeli dan Muchlison, 2000; META, 2002 diacu oleh Yulianda, 2007) : a.

  Wisata alam (nature tourism), merupakan aktivitas wisata yang ditujukan pada pengalaman terhadap kondisi alam atau daya tarik panoramanya.

  b.

  Wisata budaya (cultural tourism), merupakan wisata dengan kekayaan budaya sebagai obyek wisata dengan penekanan pada aspek pendidikan.

  c.

Ekowisata (Ecotourism, green tourism atau alternative tourism), merupakan wisata berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani

  kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan.

  Kegiatan wisata yang dapat dikembangkan dengan konsep ekowisata bahari dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu wisata pantai dan wisata bahari.

  Wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumberdaya pantai dan budaya masyarakat pantai seperti rekreasi, olahraga dan menikmati pemandangan, sedangkan wisata bahari merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumberdaya bawah laut dan dinamika air laut (Yulianda, 2007).

  Kegiatan wisata pantai dan bahari yang dapat dikembangkan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kegiatan wisata pantai dan bahari yang dapat dikembangkan Wisata Pantai Wisata Bahari 1.

  1. Rekreasi Rekreasi pantai dan laut 2.

  2. Panorama Resort/peristirahatan 3.

  3. Resort/Peristirahatan Wisata selam (diving) dan wisata 4.

  snorkling

  Berenang, berjemur 5.

  4. Olahraga Pantai (volley pantai, Selancar, jet ski, banana boat, perahu jalan santai, lempar cakram dan kaca, kapal selam lain-lain) 5.

  Wisata ekosistem lamun, wisata 6. nelayan, wisata pulau, wisata

  Berperahu 7. pendidikan, wisata pancing

  Memancing 8.

  Wisata Mangrove 6.

  Wisata satwa (penyu, duyung, paus, lumba-lumba, burung, mamalia, buaya) Sumber : Yulianda (2007)

  Wisata Pantai

  Wisata pantai merupakan bentuk kegiatan wisata yang dilakukan di daerah pantai yang umumnya memanfaatkan sumberdaya pantai dan permukaan air laut.

  Wisata pantai terdiri dari dua kategori yaitu kategori rekreasi pantai dan wisata mangrove. Kegiatan-kegiatan wisata yang masuk kategori rekreasi pantai antara lain berjemur, jalan-jalan menikmati panorama, berenang, memancing, berperahu di sekitar perairan pantai, wisata mangrove, wisata nelayan, olahraga pantai dan olahraga air. Wisata pantai kategori rekreasi merupakan jenis kegiatan yang paling dominan di daerah pantai. Kegiatan rekreasi memanfaatkan sumberdaya pantai seperti pasir putih, hamparan pantai, pemandangan (view), biota dan perairan pantainya (Kusharjani, dkk., 2009).

  Lingkungan dan Sumber Daya Wilayah Pesisir

  Dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami ataupun bersifat buatan (man made). Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain adalah terumbu karang (coral reefs), hutan mangroves, padang lamun (sea grass), pantai berpasir (sandy beach), formasi pes caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri, kawasan agroindustri dan kawasan pemukiman (Dahuri, dkk., 2004 diacu oleh Rahmawati, 2009).

  Sumberdaya di wilayah pesisir terdiri dari sumber daya alam yang dapat pulih dan sumber daya alam yang tidak dapat pulih. Sumber daya alam yang dapat pulih antara lain meliputi sumber daya perikanan (plankton, benthos, ikan, moluska, krustacea, mamalia laut), rumput laut (seaweed), padang lamun, hutan mangrove, dan terumbu karang. Sedangkan sumber daya alam yang tidak dapat pulih antara lain yaitu minyak, gas, bijih besi, pasir, timah, bauksit, dan mineral serta bahan tambang lainnya (Dahuri, dkk., 2004).

  Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Sektoral

  Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral biasanya berkaitan dengan hanya satu macam pemanfaatan sumber daya atau ruang pesisir oleh satu instansi pemerintah untuk memenuhi tujuan tertentu, seperti perikanan tangkap, tambak, pariwisata, pelabuhan atau industri minyak dan gas. Pengelolaan semacam ini dapat menimbulkan konflik kepentingan antar sektor yang berkepentingan yang melakukan aktivitas pembangunan pada wilayah pesisir dan lautan yang sama. Selain itu, pendekatan sektoral semacam ini pada umumnya kurang mengindahkan dampaknya terhadap yang lain, sehingga dapat mematikan usaha sektor lain. Contohnya kegiatan industri yang membuang limbahnya ke lingkungan pesisir dapat mematikan usaha tambak, perikanan tangkap, pariwisata pantai, dan membahayakan kesehatan manusia (Dahuri, dkk., 2004).

  Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu

  Wilayah pesisir dan laut merupakan tatanan ekosistem yang memiliki hubungan sangat erat dengan daerah lahan atas (upland) baik melalui aliran air sungai, air permukaan (run off) maupun air tanah (ground water), dan dengan aktivitas manusia. Keterkaitan tersebut menyebabkan terbentuknya kompleksitas dan kerentanan di wilayah pesisir. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan.

  Keterpaduan yang dimaksud mengandung tiga dimensi yaitu sektoral, bidang ilmu dan keterkaitan ekologis (Dahuri, dkk., 2004).

  Perencanaan Terpadu

  Perencanaan terpadu dimaksudkan untuk mengkoordinasikan dan mengarahkan berbagai aktivitas dari dua atau lebih sektor dalam perencanaan pembangunan dalam kaitannya dengan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Perencanaan terpadu biasanya dimaksudkan sebagai suatu upaya secara terprogram untuk mencapai tujuan yang dapat mengharmoniskan dan mengoptimalkan antara kepentingan untuk memlihara lingkungan, keterlibatan masyarakat, dan pembangunan ekonomi. Seringkali keterpaduan juga diartikan sebagai koordinasi antara tahapan pembangunan di wilayah pesisir dan lautan yang meliputi : pengumpulan dan analisis data, perencanaan, implementasi, dan kegiatan konstruksi (Sorensen dan Mc Creary, 1990).

  Sementara itu, Lang (1986) menyarankan bahwa keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam, seperti pesisir dan lautan, hendaknya dilakukan pada tiga tataran (level) yaitu : teknis, konsultatif dan koordinasi. Pada tataran teknis, segenap pertimbangan teknis, ekonomis, sosial dan lingkungan hendaknya secara seimbang atau proporsional dimasukkan ke dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan. Pada tataran konsultatif, segenap aspirasi dan kebutuhan para pihak yang terlibat (stakeholders) atau terkena dampak pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan hendaknya diperhatikan sejak tahap perencanaan sampai pelaksanaan. Tataran koordinasi mensyaratkan diperlukannya kerjasama yang harmonis antarsemua pihak yang terkait dengan pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan, baik itu pemerintah, swasta maupun masyarakat umum.

  Pengertian dan Kebijakan Pengembangan Masyarakat Wilayah Pesisir

  Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah sepanjang pantai atau pesisir laut, kebanyakan masyarakatnya hidup sebagai nelayan, petambak, pemasang bagan di laut dangkal atau petani rumput laut dan lain sebagainya yang berkaitan dengan sumberdaya kelautan. Strategi pengembangan masyarakat pesisir dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu bersifat struktural dan non struktural. Pendekatan struktural adalah pendekatan yang mengutamakan peranan instansi yang berwewenang atau organisasi yang dibentuk untuk pengelolaan pesisir. Di lain pihak pendekatan non struktural adalah pendekatan yang mengutamakan pemberdayaan masyarakat pesisir secara mental dalam rangka meningkatkan kemampuan anggota masyarakat untuk ikut serta dalam pengelolaan dan permasalahan pesisir laut. Kedua pendekatan tersebut harus saling melengkapi dan dilaksanakan secara integratif (Supomo, 2006).

  Stretegi pengembangan masyarakat pesisir dalam meningkatkan kemandirian daerah sesungguhnya dapat dibagi dua yaitu, pertama merupakan strategi jangka pendek yang bertujuan untuk mengatasi berbagai masalah pengembangan masyarakat pesisir dengan menyesuaikan urgensi kebutuhan melalui pendekatan srtuktural dan non struktural. Kedua adalah strategi jangka panjang dengan tujuan yang menitikberatkan pada : (1) Peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha; (2) Pengembangan program dan kegiatan yang mengarah kepada peningkatan, pemanfaatan secara optimal dan lestari sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan; (3) Peningkatan kemampuan dan peran serta masyarakat pantai dalam pelestarian lingkungan; dan (4) Peningkatan pendidikan, latihan, riset dan pengembangan di wilayah pesisir dan lautan. Keempat tujuan jangka panjang tersebut hanya mungkin dicapai bila disusun strategi dan kebijakan pembangunan kawasan pesisir dan laut secara berkesinambungan (Hidayat dan Surochim, 2003).

  Ekowisata Berbasis Masyarakat

  Denman (2001) menjelaskan bahwa ekowisata berbasis masyarakat dapat membantu memelihara penggunaan sumberdaya alam dan penggunaan lahan yang berkelanjutan. Lebih dari itu ekowisata berbasis masyarakat mengambil dimensi sosial ekowisata sebagai suatu langkah lebih lanjut dengan mengembangkan bentuk ekowisata menempatkan masyarakat lokal yang mempunyai kendali penuh dan keterlibatan di dalamnya baik itu manajemen dan pengembangannya dan proporsi yang utama menyangkut sisa manfaat di dalam masyarakat. Beberapa syarat dasar dalam pengembangan ekowisata berbasis masyarakat adalah :

  1. Tata ruang atau flora dan fauna yang dianggap menarik bagi para pengunjung khusus atau bagi pengunjung yang lebih umum.

  2. Ekosistem yang masih dapat menerima kedatangan jumlah tertentu tanpa menimbulkan kerusakan.

  3. Komunitas lokal yang sadar akan kesempatan-kesempatan potensial, resiko dan perubahan yang akan terjadi serta memiliki ketertarikan untuk menerima kedatangan pengunjung.

  4. Adanya struktur yang potensial untuk pengambilan keputusan komunitas yang efektif.

  5. Tidak adanya ancaman yang nyata-nyata dan tidak bisa dihindari atau dicegah terhadap budaya dan tradisi lokal.

  6. Penaksiran pasar awal menunjukkan adanya permintaan yang potensial untuk ekowisata dan terdapat cara yang efektif untuk mengakses pasar tersebut.

  Selain itu juga harus diketahui bahwa pasar potensial tersebut tidak terlalu banyak menerima penawaran ekowisata (Denman, 2001).

  Pemberdayaan Masyarakat Pesisir

  Untuk keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi sumber daya alam di wilayah pesisir dan laut, perlu dicarikan strategi yang tepat diantaranya adalah pemberdayaan atau peningkatan kesadaran masyarakat dalam pelestarian sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut. Peningkatan kesadaran masyarakat ditujukan untuk meyakinkan kepada masyarakat pesisir (nelayan), akan manfaat jangka panjang dari perlindungan kawasan, yaitu manfaat berkelanjutan yang dihasilkan oleh usaha perlindungan kawasan pesisir. Karenanya peran serta masyarakat harus dipusatkan pada identifikasi, perancangan dan pelaksanaan berbagai kemungkinan manfaat yang dapat diperoleh dari usaha perlindungan kawasan wilayah pesisir. Pemberdayaan atau peningkatan kesadaran dan peran serta masyarakat tersebut dapat dilakukan antara lain sebagai berikut : (a)

  Melakukan pendidikan, latihan dan bimbingan moral kepada masyarakat; (b)

  Mengembangkan sarana dan prasarana yang diperlukan; (c)

  Menyebarluaskan arti konservasi ekosistem sumberdaya wilayah pesisir, dalam kaitannya dengan kegiatan di masyarakat dengan segala aspek kebudayaan;

  (d) Menyebarluaskan pemanfaatan sumberhayati laut dan ekosistem wilayah pesisir dan laut secara lestari dan budidaya;

  (e) Melakukan pengawasan terhadap sumberdaya hayati yang telah langka dan kritis; dan

  (f) Melakukan pemulihan habitat sumberdaya alam hayati yang telah rusak.

  Peningkatan kesadaran masyarakat pantai atau pesisir umumnya lebih banyak diarahkan kepada masyarakat nelayan. Namun pada kenyataannya, para nelayan hanya sebagai pelaku, sehingga pembinaan juga perlu diarahkan kepada para “stakeholders” lainnya. Karenanya perlu disusun program pemberdayaan masyarakat pesisir yang jelas. Program pemberdayaan masyarakat mencakup paling tidak tiga aspek, yaitu : (a)

  Pemberdayaan usaha, yaitu mencakup peningkatan kualitas usaha nelayan sehingga mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.

  (b) Pemberdayaan sumberdaya manusia, yaitu mencakup peningkatan kualitas

  Sumber Daya Manusia (SDM) baik dalam konteks pola sikap dan perilaku, keterampilan, kemampuan manajerial, maupun aspek gizi dan kesehatan.

  (c) Pemberdayaan lingkungan, mencakup peningkatan kesadaran dan kemampuan para kaum nelayan untuk konservasi sumberdaya pesisir

  (Supriharyono, 2007).

  Partisipasi Masyarakat Pesisir

  Semua langkah menuju pendekatan yang demokratis dalam mengimplementasikan kawasan konservasi perairan laut harus mendapatkan pujian, tetapi yang paling utama yaitu ketika suatu masyarakat memiliki tanggung jawab terhadap pengelolaannya, terdapat kemungkinan yang bagus bahwa mereka akan lebih peduli dan hati-hati dalam memanfaatkan sumber daya. Misalnya, jumlah ikan dan kerang yang mereka ambil akan lebih dikontrol, tidak akan menangkap selama masa bertelur ikan, dan penggunaan cara menangkap ikan yang merusak akan berkurang. Mereka juga akan memiliki kesediaan yang lebih besar untuk mencegah pencemaran dan memelihara habitat-habitat yang ada. Masyarakat pantai harus dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan laut. Masyarakat lokal tidak dapat dengan mudah dipindahkan oleh pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat dalam pembentukan kawasan konservasi atau disisihkan dalam proses perencanaannya (Supriharyono, 2007).

  Partisipasi masyarakat oleh beberapa pemerhati lingkungan mungkin membawa kekhawatiran tercapainya tujuan konservasi melalui dukungan masyarakat. Sebaliknya, di suatu kawasan yang memiliki nilai konservasi yang tinggi dan masyarakat pesisir yang hidup berdampingan, terdapat pola pemanfaatan tradisional terhadap sumberdaya, yang dapat membentuk suatu dasar bagi tindakan konservasi yang efektif dari segi pembiayaan melalui masyarakat, untuk meraih tujuan konservasi maupun tujuan masyarakat. Jika di sisi lain, pola pemanfaatannya tidak lestari dan menyebabkan habisnya sumberdaya, muncul kesadaran yang baik pada masyarakat akan permasalahan tersebut dan menyambut dengan baik hadirnya intervensi konservasi yang akan memberi mereka keuntungan yang dapat diperhitungkan (Salm, dkk., 2000).

  Partisipasi masyarakat memiliki penafsiran dan aplikasi yang berbeda- beda, mulai hanya sekedar menginformasikan kepada masyarakat, mendorong partisipasi penuh dalam penilaian sumberdaya, perencanaan dan pengelolaan. Beaumont (1977) meninjau ulang pendekatan dan persepsi internasional tentang keikutsertaan masyarakat dalam penetapan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan laut, dan menghasilkan beberapa deskripsi dan contoh sebagai berikut : 1.

  Persuasi atau partisipasi pasif: Teknik pelibatan masyarakat digunakan untuk merubah perilaku masyarakat tanpa melambungkan harapan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan proses pengambilan keputusan. Ini adalah pendekatan tipe lama, perencana dan pengelola kini sedang beralih menuju salah satu dari yang tercantum di bawah ini a.

  Partisipasi melalui konsultasi: Kelompok pengguna memberikan masukan kepada instansi pemerintah melalui suatu proposal untuk proses pengumpulan permasalahan dan informasi.

  b.

  Partisipasi untuk insentif materi: Masyarakat berpartisipasi dengan memberi kontribusi sumberdaya, misalnya ditukar dengan makanan, uang tunai atau insentif materi lainnya.

  c.

  Partisipasi fungsional: Partisipasi dipandang oleh institusi eksternal sebagai sarana untuk mencapai tujuan proyek, misalnya mengurangi perlawanan atau antipati terhadap pendirian suatu kawasan konservasi. d.

  Partisipasi interaktif: Masyarakat berpartisipasi dalam analisis bersama, mengembangkan rencana aksi dan formasi institusi lokal. Partisipasi dipandang sebagai hak, tidak hanya sekedar sebagai alat untuk mencapai tujuan proyek.

  2. Mobilisasi diri: Masyarakat mengambil inisiatif mandiri terhadap institusi eksternal. Penduduk pulau-pulau Pasifik mungkin memiliki tradisi terlama dalam pengelolaan sumberdaya laut oleh masyarakat, termasuk perlindungan kawasan melalui mobilisasi diri (Supriharyono, 2007).

  Analisis SWOT

  Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi. Analisa SWOT didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats).

  Analisa SWOT membandingkan antara faktor eksternal peluang (Opportunities) dan ancaman (Threats) dengan faktor internal kekuatan (Strengths) dan kelemahan (Weaknesses). Analisis SWOT didasarkan asumsi bahwa strategi yang efektif adalah memaksimalkan kekuatan dan kesempatan yang dimiliki serta meminimalkan kelemahan dan ancaman yang dihadapi. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis data secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis data secara kualitatif adalah analisis yang dilakukan terhadap faktor-faktor internal dan faktor eksternal. Sedangkan analisis secara kuantitatif dilakukan dengan pembobotan dan pemberian rating (Rangkuti, 2003).