Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi tentang kepustakaan yang berkaitan dengan rumusan masalah
penelitian hukum ini. Uraian meliputi tindak pidana dan tindak pidana korporasi, pertanggungjawaban tindak pidana korporasi, teori mengenai konsep hukum dan pandangan hakim tentang hukum.
Tujuan dari kajian pustaka ini adalah untuk menjawab rumusan permasalahan skripsi ini. Juga nanti akan dipergunakan untuk melakukan analisa hasil penelitian di
Bab III A. TINDAK PIDANA DAN TINDAK PIDANA KORPORASI.
1. Tindak Pidana
Kusumadi Pudjosewojo sebagaimana yang dikutip oleh Bambang Purnomo dalam bukunya Azas
- –azas hukum pidana, hukum digambarkan sebagai rangkaian ugeran/peraturan yang menguasai tingkah laku dan
1
perbuatan tertentu dari manusia dalam hidup bermasyarakat. Kemudian Bambang Purnomo juga menjelaskan beberapa pendapat tentang pengertian
2
hukum pidana, sebagai berikut: a.
Hukum Pidana adalah hukum sanksi.
Definisi ini diberikan berdasarkan ciri hukum pidana yang 1 membedakan dengan lapangan hukum yang lain yaitu bahwa hukum Bambang Poernomo, 1978, Azas-Azas Hukum Pidana, Bandung: Ghalia Indonesia, Hal 13. pidana sebenarnya tidak mengadakan norma sendiri melainkan sudah terletak pada lapangan hukum yang lain, dan sanksi pidana diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma –norma tersebut.
b.
Hukum Pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya.
c.
Hukum Pidana dalam arti Objektif (dinamakan jus poenale) meliputi: 1.
Perintah dan larangan yang pelanggarannya diancam dengan sanksi pidana oleh badan yang berhak.
2. Ketentuan–ketentuan yang mengatur upaya yang dapat dipergunakan, apabila nurma itu dilanggar, yang dinamakan hukum penitentiaire.
3. Aturan–aturan yang menentukan kapan dan dimana berlakunya norma
- –norma tersebut diatas.
4. Subyektif (dinamakan jus puniendi) yaitu hak negara menurut hukum untuk menuntut pelanggaran delik dan untuk menjatuhkan serta melaksanakan pidana.
d.
Pengertian hukum pidana menurut Moeljatno, bahwa hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku disemua negara, yang mengadakan dasar
- – dasar dan anturan untuk : 1.
Menentukan perbuatan mana yang boleh dilakukan, yang dilarang, yang disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal – hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan
- – larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Berdasarkan beberapa difinisi hukum pidana tersebut, dapat diambil suatu kesimpulan tentang pengertian hukum pidana, yaitu hukum yang mengatur perbuatan
- –perbuatan yang dilarang oleh undang–undang dan berakibat diterapkannya hukumam bagi siapa saja yang melakukan dan memenuhi unsur
- –unsur perbuatan yang disebutkan dalam undang–undang pidana.
Bambang Poernomo dalam bukunya Azas-Azas Hukum Pidana, menyebutkan maksud diadakannya istilah perbuatan pidana, peristiwa pidana, tindak pidana dan sebagainya adalah untuk mengalihkan bahasa
3
dari istilah asing strafbaar feit. Simons sebagaimana dikutip oleh Moeljatno dalam bukunya Azas-Azas Hukum Pidana menerangkan, sebagai
4
berikut:
Strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan
pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu 3 bertanggungjawab. 4 Bambang Poernomo, 1994, Azas-Azas Hukum Pidana, Bandung: Ghalia Indonesia, Hal 89.
Sedangkan Van Hamel merumuskan strafbaar feit adalah kelakuan orang (menslijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (straf waardig) dan dilakukan dengan kesalahan. Pembentuk undang-undang tidak mengadopsi mentah-mentah istilah strafbaar feit, jika diadopsi mentah-mentah istilah dan makna
strafbaar feit sebagaimana dikemukakan oleh Simon dan Van Hamel di
atas, maka istilah tersebut baru dapat dipakai setelah ada penetapan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Karena untuk mengetahui orang bersalah atau tidak, melawan hukum atau tidak, dapat dipertanggungjawabkan atau tidak harus melalui suatu proses penyelesaian perkara pidana berdasarkan hukum pidana formil yang berlaku.
Menurut Moeljatno yang menggunakan istilah “perbuatan pidana”, memberi makna perbuatan pidana adalah “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertent u, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”, dengan demikian maka makna perbuatan pidana yang dikemukakan oleh Moljatno berbeda dengan makna istilah strafbaar feit seperti yang dikemukakan oleh Simons dan Van Hamel di atas, perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifatnya perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau dilanggar. Apakah yang melanggar itu benar-benar dipidana seperti yang sudah diancamkan, ini tergantung kepada keadaan batinnya dan hubungan batinnya dengan perbuatan itu, yaitu dengan kesalahannya. Jadi perbuatan pidana dipisahkan dari pertanggung-jawaban pidana dipisahkan perbuatan pidana dan kesalahan. Dengan demikian makna istilah perbuatan pidana yang dikemukakan oleh Moeljatno bukanlah merupakan salinan dari .
strafbaar feit
Makna istilah “perbuatan pidana” yang dikemukakan Moeljatno di atas masih terkesan bersifat pasif, baru merupakan perbuatan yang berada dalam dimensi rumusan peraturan pidana belum keluar menjadi perbuatan nyata yang dilakukan orang. Wiryono Projodikoro menggunakan istilah “tindak pidana”, dan memaknai tindak pidana dengan arti “suatu perbuatan
5 yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana”.
Dasar patut dipidananya perbuatan, berkaitan erat dengan masalah sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu perbuatan
6
sebagai tindak pidana atau bukan. Tindak pidana tersebut dalam KUHP tidak dirumuskan secara tegas tetapi hanya menyebutkan unsur-unsur tindak pidananya saja, tetapi dalam konsep hal tersebut telah dirumuskan atau diformulasikan, misalnya dalam konsep KUHP dirumuskan dalam
Pasal 11 yang menyatakan bahwa: 1. Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.
5 Wiryono, Projodikoro, 1989, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia, cetakan kedua, Bandung: PT 6 Eresco, Hal 232.
Barda Nawawi Arief, 2009, Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia, Semarang: Badan
2. Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar. Serupa dengan makna yang dikemukakan oleh Moeljatno bahwa
7
makna yang dikemukakan oleh Wiryono Projodikoro di atas masih terkesan bersifat pasif, baru merupakan perbuatan yang berada dalam dimensi rumusan peraturan pidana belum keluar menjadi perbuatan nyata yang dilakukan orang dalam suatu peristiwa atau kejadian dan sedikit bias karena jika diambil contoh seseorang yang menunggak iuran listrik dikenai sanksi denda, sedangkan denda merupakan salah satu jenis sanksi pidana.
Apakah perbuatan menunggak iuran listrik merupakan tindak pidana, contoh lain, karena bolos sekolah seorang anak dikurung (tidak boleh keluar rumah) oleh orang tuanya, apakah perbuatan bolos sekolah merupakan tindak pidana?
Penempatan kesadaran hukum masyarakat sebagai salah satu sifat melawan hukum, yaitu hukum tak tertulis merupakan jembatan hukum agar penggunaan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan dapat menjangkau keadilan substantif atau keadilan materil, terlebih hal tersebut jika dikaitkan dengan tindak pidana korupsi, di mana korupsi merupakan hal yang sangat dicela oleh masyarakat.
Penempatan sifat melawan hukum materiel tersebut juga untuk menjangkau keseimbangan dalam kehidupan masyarakat, karena menurut
Muladi tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan,
keselarasan dan keserasian dalam kehidupan masyarakat yang
8 mengakibatkan gangguan individual ataupun masyarakat.
Dari istilah-istilah yang dikemukakan di atas, tulisan ini memilih menggunakan istilah “tindak pidana” karena sudah sering digunakan oleh pembentuk undang-undang, contoh Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, undang-undang tindak pidana narkotika, Undang-undang Tindak Pi dana Pencucian Uang, dalam KUHAP pun muncul kata “tindak pidana” hingga lebih lazim digunakan.
2. Tindak Pidana Korporasi
Istilah “Tindak Pidana Korporasi” dalam beberapa literature sering disebut juga dengan “Kejahatan Korporasi” pada dasarnya tidak muncul dengan sendirinya melainkan muncul seiring dengan perkembangan zaman dan perkembangan masyarakat. Awal mula lahirnya tindak pidana korporasi ini berangkat dari pendapat Edwin Sutherland yang mengemukakan jenis-jenis kejahatan yang dikenal dengan White Collar
Crime . Terkait dengan white collar crime itu sendiri Hazel Croal
sebagaimana dikutip oleh Yusuf Shofie memberikan definisi yaitu sebagai:
white collar crime sering diasosiasikan dengan berbagai skandal dunia keuangan dan bisnis (financial and bussines world) dan penipuan canggih oleh para eksekutif senior (the sophisticated frauds of senior executives) yang didalamnya termasuk apa yang secara popular dikenal sebagai tindak pidana korporasi (corporate crime).
9 Mengenai corporate crime atau kejahatan korporasi ini, Steven Box
mengemukakan tipe dan karakteristik tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi yang pada dasarnya berbeda dengan tindak pidana atau kejahatan konvensional pada umumnya. Steven Box menyatakan bahwa ruang lingkup tindak pidana korporasi melingkupi:
10
1) Crimes for corporation, yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu guna memperoleh keuntungan.
2) Criminal corporation, yaitu korporasi yang bertujuan semata-mata untuk melakukan kejahatan. (dalam hal ini korporasi hanya sebagai kedok dari suatu organisasi kejahatan).
3) Crimes against corporation, yaitu kejahatan-kejahatan terhadap korporasi seperti pencurian atau penggelapan milik korporasi, dalam hal ini korporasi sebagai korban. Dalam tulisan ini, sudah tentu yang akan dibahas hanyalah Crimes for corporation yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dalam mencapai 9 Yusuf Shofie, “Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi”, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hal. 44. 10 Lihat juga Muladi dan Dwija Priyatno hal 29 dan bandingkan juga dengan Hamzah Hatrik, “Asas
Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious usaha dan tujuan tertentu guna memperoleh keuntungan. Berkaitan dengan korban kejahatan korporasi ini, Muladi membedakan antara korban kejahatan konvensional dengan korban kejahatan korporasi sebagai berikut:
Pada kejahatan konvensional, korbannya dapat diidentifikasi dengan mudah, sedangkan pada kejahatan korporasi korbannya seringkali bersifat abstrak, seperti pemerintah, perusahaan lain atau konsumen yang jumlahnya banyak, sedangkan secara
11 individual kerugiannya sangat sedikit .
Sedangkan menurut Clinard dan Yeager, terdapat enam jenis korban
12
kejahatan korporasi yaitu: 1)
Konsumen (keamanan atau kualitas produk). Bilamana resiko keamanan dan kesehatan dihubungkan dengan penggunaan produk, maka konsumen telah menjadi korban dari produk tersebut. 2)
Konsumen (kekuasaan ekonomi). Pelanggaran kredit, yakni memberikan informasi yang salah dalam periklanan dengan tujuan untuk mempengaruhi konsumen. 3)
Sebagian besar sistem ekonomi telah terpengaruh oleh praktik- praktik perdagangan yang tidak jujur secara langsung (pelanggaran 11 terhadap ketentuan anti monopoli dan pelanggaran-pelanggaran
Arief Amrullah, “Kejahatan Korporasi (The Hunt for Mega Profits and The Attack on Democracy)”, (Malang: Banyumedia Publishing, 2006), hal. 133. terhadap peraturan persaingan lainnya) dan kebanyakan pelanggaran keuangan kecuali yang berkaitan dengan belanjaan konsumen.
4) Pelanggaran lingkungan (pencemaran udara dan air), yang menjadi korban yakni lingkungan fisik.
5) Tenaga kerja menjadi korban dalam pelanggaran terhadap ketentuan upah.
6) Pemerintah menjadi korban, karena adanya pelanggaran- pelanggaran administrasi atau perintah pengadilan dan kasus-kasus penipuan pajak.
Selain itu, tindak pidana korporasi telah menimbulkan kerugian diberbagai bidang misalnya kerugian di bidang:
1. Kerugian di bidang ekonomi atau kerugian materil Berbagai peristiwa menunjukkan bahwa tingkat kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh kejahatan ini luar biasa besarnya, khususnya bila dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan warungan seperti perampokan, pencurian, penipuan. Misalanya perkiraan yang dilakukan oleh
Subcommitee on Antitrust and Monoplay of the US Senate Judiciary Commites yang diketuai oleh Senator Philip Hart memperkirakan
kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi antara 174-231 miliar dollar per tahun. Ini adalah angka yang sangat jauh bila dibandingkan kejahatan warungan yang berkisar 3-4 miliar.
2. Kerugian di bidang kesehatan dan keselamatan jiwa Menurut Geis, setiap tahunnya korporasi bertanggungjawab terhadap ribuan kematian dan cacat tubuh yang terjadi di seluruh dunia. Resiko kematian dan cacat yang disebabkan oleh korporasi dapat diakibatkan baik oleh produk yang dihasilkan oleh korporasi maupun dalam proses produksi, sehingga yang menjadi korban kejahatan korporasi adalah masyarakat luas, khususnya konsumen dan mereka yang bekerja pada korporasi.
3. Kerugian di bidang sosial dan moral Disamping kerugian ekonomi, kesehatan dan jiwa, kerugian yang tidak kalah pentingnya yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi adalah kerugian di bidang sosial dan moral. Dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi adalah merusak kepercayaan masyarakat terhadap perilaku bisnis. The
President„s Commision on Law Enforcement and Administration of Justice pernah menyatakan bahwa kejahatan korporasi merupakan
kejahatan yang paling penting mencemaskan bukan saja karena kerugiannya yang sangat besar, akan tetapi akibat yang merusak terhadap ukuran-ukuran moral perilaku bisnis orang Amerika. Kejahatan bisnis (korporasi) merongrong kepercayaan public terhadap sistem bisnis, sebab kejahatan demikian diintegrasikan ke dalam struktur bisnis yang sah (the
).
structure of legitimate business
Mengingat dampak yang dihasilkan dari tindak pidana korporasi sangat berdampak luas, menurut hemat saya, terdapat urgensi untuk mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana dimana korporasi dinilai dapat melakukan tindak pidana dan mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana. Namun demikian, pertanggungjawaban pidana korporasi harus tetap memperhatikan kriteria- kriteria yang dikemukakan oleh Clinard dan Yeagar sebagai berikut:
13 1.
The degree of loss to the public. (Derajat kerugian terhadap public); 2. The lever of complicity by high corporate managers. (Tingkat keterlibatan oleh jajaran manager);
3. The duration of the violation. (Lamanya pelanggaran).
4. The frequensi of the violation by the corporation. (Frekuensi pelanggaran oleh korporasi);
5. Evidence of intent to violate. (Alat bukti yang dimaksudkan untuk melakukan pelanggaran);
6. Evidence of extortion, as in bribery cases. (Alat bukti pemerasan, semisal dalam kasus suap);
7. The degree of notoriety engendered by the media. (Derajat pengetahuan publik tentang hal-hal negative yang ditimbulkan oleh pemberitaan media);
8. Precedent in law. (Jurisprudensi); 9.
The history of serious, violation by the corporation. (Riwayat pelanggaran- pelanggaran serius oleh korporasi);
10. Deterence potential. (Kemungkinan pencegahan); 11.
The degree of cooperation evinced by the corporation. (Derajat kerja sama korporasi yang ditunjukkan oleh korporasi).
Kemudian apabila dilihat secara global, maka tujuan pemidanaan korporasi menyangkut tujuan yang bersifat integratif yang mencakup :
14
13 Muladi dan Dwidja Priyatno, Op. Cit., hal. 118.
1. Tujuan pemidanaan adalah pencegahan (umum dan khusus). Tujuan pencegahan khusus adalah untuk mendidik dan memperbaikipenjahatnya; sedangkan tujuan pencegahan umum adalah agar orang lain tidak melakukan kejahatan tersebut.Jadi jika dihubungkan dengan korporasi, maka tujuan dipidananya korporasi agar korporasi itu tidak melakukan pidana lagi, dan agar korporasi-korporasi yang lain tercegah untuk melakukan tindak pidana, dengan tujuan demi pengayoman masyarakat.
2. Tujuan pemidanaan adalah perlindungan masyarakat. Perlindungan masyarakat sebagai tujuan pemidanaan mempunyai dimensi yang sangat luas, karena secara fundamental ia merupakan tujuan semua pemidanaan. Secara sempit hal ini digambarkan sebagai bahan kebijaksanaan pengadilan untuk mencari jalan melalui tindak pidana. Perlindungan masyarakat sering dikatakan berada di seberang pencegahan dan mencakup apa yang dinamakan tidak mampu . Bila dikaitkan dengan korporasi, sehingga korporasi tidak mampu lagi melakukan suatu tindak pidana.
3. Tujuan pemidanaan adalah memelihara solidaritas masyarakat. Pemeliharaan solidaritas masyarakat dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan adalah untuk penegakan adat istiadat masyarakat, dan untuk mencegah balas dendam perseorangan, atau balas dendam yang tidak resmi. Pengertian solidaritas ini juga sering dihubungkan dengan masalah kompensasi terhadap korban kejahatan yang dilakukan oleh negara. Kalau dihubungkan dengan pemidanaan korporasi kompensasi terhadap korban dilakukan oleh korporasi itu sendiri yang diambil dari kekayaan korporasi, sehingga solidaritas sosial
4. Tujuan pemidanaan adalah pengimbalan atau keseimbangan, yaitu adanya kesebandingan antara pidana dengan pertanggungjawaban individual dari pelaku tindak pidana, dengan memperhatikan beberapa faktor.Penderitaan yang dikaitkan oleh pidana harus menyumbang pada proses penyesuaian kembali terpidana pada kehidupan masyarakat sehari-hari dan di samping itu beratnya pidana tidak boleh melebihi kesalahan terdakwa bahkan tidak dengan alasan-alasan prevensi general apapun. Mengutip kembali pernyataan Muladi diatas yang menyatakan bahwa:
…Pada kejahatan konvensional, korbannya dapat diidentifikasi dengan mudah,
sedangkan pada kejahatan korporasi korbannya seringkali bersifat abstrak dan tidak
mudah diidentifikasi…15 Hazel Croall, menyatakan bahwa kesulitan mendeteksi kejahatan korporasi
ini karena karakteristik umum yang melekat pada white collar crime, yaitu:
16 1.
Ketidakjelasan pertanggungjawaban pidana (Diffusion Of Responsibility) 2. Ketidakjelasan korban (Diffusion Of Victim) 3. Aturan hukum yang samar (Ambiguous Criminal Law) 4. Serta sulit mendeteksi dan dilakukan penuntutan (Weak Detection And
Prosecution ).
Dari berbagai penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa korban kejahatan korporasi tidak hanya mengalami kerugian materi, tetapi juga kerugian imateril seperti kesehatan, bahkan bukan tidak mungkin kehilangan nyawa dan juga menimbulkan kerugian terhadap lingkungan hidup. Kerugian materi yang diderita 15 Arief Amrullah, Op. Cit., hal. 133. oleh korban kejahatan korporasi sangat sulit untuk diestimasi. Hal ini dikarenakan korban kejahatan korporasi yang sangat luas (masyarakat pada umumnya, konsumen pengguna produk yang dihasilkan korporasi baik berupa barang maupun jasa, korporasi yang bertindak selaku kompetitor, para karyawan dan pemegang saham dalam sebuah korporasi, bahkan negarapun dapat menjadi korban kejahatan korporasi). Selain itu, tidak jarang kerugian yang diderita oleh korban kejahatan korporasi bersifat kompleks sehingga tidak mudah melakukan pembuktiannya dan korbannya seringkali bersifat abstrak dan tidak mudah diidentifikasi.
3. Kriminalisasi Tindak Pidana Korporasi
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kriminalisasi? Mungkin pertanyaan inilah yang pertama- tama harus dijawab. Istilah “kriminalisasi” pada dasarnya merupakan suatu istilah yang berasal dari bahasa Inggris yaitu
“Criminalization” yang menurut penulis secara sederhana dapat diartikan bahwa sebuah langkah atau proses yang diambil oleh legislative untuk menilai, menentukan dan merumuskan, apakah suatu perbuatan yang sebelumnya dinyatakan bukan sebagai perbuatan pidana (tindak pidana) menjadi suatu tindak pidana.
Terkait dengan masalah kriminalisasi ini, pada dasarnya akan meliputi dua masalah sentral yaitu terkait dengan masalah menentukan:
17 1.
Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
17 Kristian, Draf
buku “Prinsip-Prinsip Dasar Pertanggungjawaban pidana korporasi”,
2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.
Meskipun demikian, untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, perlu memperhatikan pernyataan dari Satjipto Rahardjo yang menyatakan bahwa untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana perlu diperhatikan
18
kriteria umum sebagai berikut: 1.
Apakah perbuatan itu diakui oleh masyarakat karena merugikan atau dapat merugikan atau mendatangkan korban; 2)
Apakah biaya mengkriminalisasikan seimbang dengan hasil yang akan dicapai. Artinya biaya pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, beban yang dipikul korban dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai;
3) Apakah akan makin bertambah beban aparat penegak hukum sehingga terjadi ketidak seimbangan kemampuan dan beban tugas, atau nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimiliki petugas penegak hukum;
4) Apakah perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa
Indonesia, yakni terwujudnya masyarakt yang adil dan makmur sehingga merupakan bahaya bagi keselamatan masyarakat.
Jadi dapat dis impulkan pula bahwa istilah “krimanalisasi” hanya berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang dinilai sebagai perbuatan pidana. Proses kriminalisasi ini penting mengingat dalam hukum pidana Indonesia menganut asas legalitas sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan bahwa: Tiada
suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam
19 undang-undang yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu.
Ini artinya, suatu perbuatan dapat dihukum apabila sudah ada aturan hukum yang mengatur atau menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan pidana.
Perlu pula dikemukakan bahwa asas legalitas disini dimaksudkan untuk memberikan jaminan kedudukan hukum warga negara terhadap pemerintahan. Disinilah pentingnya proses kriminalisasi yaitu menentukan suatu perbuatan sebagai perbuatan pidana. Perlu pula dikemukakan bahwa proses kriminalisasi di bidang tindak pidana ekonomi yang salah satunya tindak pidana korporasi terus berlangsung dari waktu ke watu dalam sistem hukum Indonesia. Hal ini adalah sesuatu yang wajar mengingat salah satu peran negara adalah melindungi warganya.
Dalam rangka negara (pemerintah) melakukan banyak kriminalisasi terhadap tindak pidana baru di bidang ekonomi misalnya kriminalisasi tindak pidana pencucian uang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan UndangUndang Nomor
25 Tahun 2003 sebagaimana saat ini telah dicabut oleh Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, kriminalisasi tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kriminalisasi di bidang perpajakan dengan diaturnya perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 19 Tahun 1994 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (KUP) diubah
R. Soesilo, “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal dengan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2000 dan kriminalisasi di bidang perbankan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Berdasarkan uraian singkat diatas, dapat dilihat bahwa proses kriminalisasi dalam hal tindak pidana di bidang ekonomi berlangsung begitu cepat dan diatur dalam berbagai ketentuan dengan berbagai variasinya masingmasing.
Namun demikian, berbeda dengan hal sebagaimana disebutkan diatas, kriminalisasi tindak pidana korporasi dapat dikatakan berjalan sangat lambat dibandingkan dengan kriminalisasi tindak pidana ekonomi lainnya. Hal ini terbukti dengan tidak adanya Undang-Undang yang mengatur mengenai tindak pidana korporasi. Jangankan sampai pada lahirnya undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai tindak pidana korporasi, sampai dengan saat ini saja masih terjadi perdebatan yang tidak kunjung selesai mengenai pertanggungjawaban korporasi secara pidana. Sudah tentu hal ini nampaknya akan sangat berpengaruh terhadap berkembangnya kualitas dan kuantitas kejahatan yang bersangkutan dan akan sangat berpengaruh dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana di bidang ekonomi. Selain itu, dengan terlambatnya melakukan kriminalisasi tindak pidana korporasi maka akan manimbulkan dampak yang sangat serius. Hal ini dikarenakan dampak dari tindak pidana korporasi begitu berbahayanya.
Nampak dalam hal lumpur Lapindo, apabila tindak pidana lumpur Lapindo ini sudah menimbulkan dampak (rusaknya lingkungan) maka sangat sulit atau tidak ada lagi cara yang dapat diambil Negara untuk mengembalikan kondisi lingkungan seperti semula. Oleh sebab itu, alangkah baiknya dalam proses kriminalisasi tindak pidana korporasi ini dirumusakan baik dengan menggunakan rumusan delik formal ataupun material, delik aduan ataupun delik biasa sehingga upaya pencegahan dan pemberantasan dapat dilaksanakan secara efektif dan evisien.
Selain itu, yang perlu untuk diantisipasi mengingat banyaknya peraturan yang mengkriminalisasi tindak pidana di bidang ekonomi adalah berkaitan dengan subtansi atau pengaturannya. Dalam hal ini seringkali ditemukan terjadi tumpang tindih atau duplikasi norma antara ketentuan yang satu dengan ketentuan yang lain sehingga yang dicapai bukan efektifitas dan evisiensi dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana tetapi justru menimbulkan ketidakpastian hukum yang akan menghambat penegakan hukumnya. Oleh sebab itu, dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana ekonomi yang dalam hal ini adalah tindak pidana korporasi (yang tidak dapat dilepaskan antara bidang yang satu dengan bidang lainnya) dan dalam rangka menghindari tumpang tindih sebagaimana dikemukakan diatas, maka dibutuhkan suatu asas-asas hukum yang menjadi dasar dalam melakukan kriminalisasi tersebut, dibutuhkan suatu kebijakan hukum pidana (criminal penal policy) yang terpadu dan dibutuhkan kebijakan penal mengenai kriminalisasi di bidang ekonomi itu sendiri.
B. PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANA KORPORASI
Ketika korporasi dinyatakan bertanggungjawaban secara pidana atas tindak pidana yang dilakukan, maka pada umumnya dikenal tiga sistem
20
pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu:
20 Mardjono Reksodiputro, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korporasi,
makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, FH UNDIP, Semarang, 23-24
1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab (perkembangan pertanggungjawaban korporasi pada tahap pertama), 2. Korporasi sebagai pembuat namun penguruslah yang bertanggungjawab (perkembangan pertanggungjawaban korporasi pada tahap ke dua)
3. Korporasi sebagai pembuat dan korporasi pula yang harus bertanggungjawab (perkembangan pertanggungjawaban korporasi pada tahap ketiga).
Namun demikian, hemat saya, konsep pertanggungjawaban pidana korporasi tidak cukup sampai dengan 3 konsep sebagaimana dikemukakan diats, dalam hal ini, harus ditambahkan 1 konsep lagi yaitu: “Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidana”. Hal ini penulis kutip dari pendapat yang dikemukakan oleh Sutan Remy Sjahdeini. Berikut penjelasannya.
Beberapa alasan yang digunakan Sutan Remy Sjahdeini berkaitan dengan konsep
“
Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidana” antara lain sebagai berikut:
21 1.
Apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana, maka menjadi tidak adil bagi masyarakat yang telah menderita kerugian karena pengurus dalam melakukan perbuatannya itu adalah untuk dan atas nama korporasi serta dimaksudkan untuk memberikan keuntungan atau menghindarkan mengurangi kerugian finansial bagi korporasi.
2. Apabila yang dibebani pertanggungjawaban pidana hanya korporasi sedangkan pengurus tidak harus memikul tanggung jawab, maka sistem ini akan dapat memung kinkan pengurus bersikap “lempar batu sembunyi tangan” atau mengalihkan pertanggungjawaban. Dengan kata lain, pengurus akan selalu dapat berlindung di balik punggung korporasi untuk melepaskan dirinya dari tanggung jawab dengan dalih bahwa perbuatannya itu bukan merupakan perbuatan pribadi dan bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi merupakan perbuatan yang dilakukannya untuk dan atas nama korporasi dan untuk kepentingan korporasi.
3. Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya mungkin secara vikarius, atau bukan langsung (doctrine of vicrious liability), pertanggungjawaban atas tidak pidana yang dilakukan oleh seseorang dibebankan kepada pihak lain. Dalam hal pertanggungjawaban pidana, korporasi dialihkan pertanggungjawaban pidananya kepada korporasi. Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya mungkin dilakukan secara vikarius karena korporasi tidak mungkin dapat melakukan sendiri suatu perbuatan hukum. Artinya, segala perbuatan hukum yang benar atau yang salah baik dalam lapangan keperdataan maupun yang diatur oleh ketentuan pidana, dilakukan oleh manusia yang menjalankan kepengurusan korporasi. Dalam hal perbuatan hukum itu merupakan tindak pidana, actus reus tindak pidana itu dilakukan oleh manusia pelaku tindak pidana itu (pengurus). Dengan mendasarkan pada pemahaman atas kenyataan yang demikian itu, maka tidak seyogianya sistem pertanggungjawaban pertanggungjawaban pidana sedangkan manusia pelakunya dibebaskan. Untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, harus terlebih dahulu dapat dibuktikan bahwa tindak pidana tersebut benar telah dilakukan oleh pengurus korporasi dan sikap sikap batin pengurus dalam melakukan tindak pidana itu adalah benar bersalah dan karena itu pengurus yang bersangkutan harus bertanggung jawab atas tindak pidana itu.
Baru setelah dapat dibuktikan bahwa pengurus telah melakukan tindak pidana dan harus bertanggung jawab atas tindak pidana itu. Baru setelah dapat dibuktikan bahwa pengurus telah melakukan tindak pidana dan harus bertanggung jawab secara pidana, maka pertanggungjawaban pidana itu dapat dibebankan secara vikarius kepada korporasi. Tanpa terlebih dahulu dapat dibuktikan bahwa pengurus memang benar telah melakukan tindak pidana dan memang benar pengurus tersebut memiliki sikap batin yang bersalah dalam melakukan tindak pidan itu, tidak mungkin dapat dilakukan pembebanan pertanggungjawaban pidana secara vikarius kepada korporasi yang dipimpin oleh pengurus tersebut.
Sutan Remy Sjahdeini menambahkan bahwa apabila sistem yang
diberlakukan bukan sistem yang ke empat, yaitu membebankan pertanggungjawaban pidana baik kepada korporasi yang melakukan tindak pidana maupun membebankan pertanggungjawaban pidana secara vikarius kepada korporasi, maka kemungkinan lain yang dapat terjadi adalah manusia pelakunya (pengurus korporasi) yang harus memikul pertanggungjawaban pidana sedangkan korporasinya bebas. Ini adalah sistem yang dianut oleh KUHP yang berlaku sekarang, yang justru ingin ditinggalkan. Namun tidak mungkin memberlakukan yang sebaliknya, yaitu manusia pelakunya bebas. Hal ini bertentangan dengan sifat pembebanan pertanggungjawaban pidana secara vikarius. Kondisi seperti ini jelas bertentangan pula dengan asas bahwa korporsi tidak dapat bertindak sendiri tetapi harus melalui
22 pengurusnya.
Apabila pada bagian sebelumnya sudah dibahas mengenai apa itu korporasi, apa itu tindak pidana korporasi, kriminalisasi tindak pidana korporasi, sejarah dan tahap-tahap pertanggungjawaban pidana korporasi, doktrin yang membenarkan pertanggungjawaban pidana korporasi serta sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, hal yang tidak kalah penting yang penulis ingin kemukakan adalah masalah implementasi atau penerapan aturan yang bersangkutan. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, didalam hukum pidana khusus seperti dalam Undang- Undang No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau dalam Undang- Undang No. 08 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang korporasi sudah dengan tegas diatur sebagai subjek hukum. Ini artinya, seharusnya korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana manakala terjadi tindak pidana yang bersangkutan.
Namun demikian, dalam kenyataannya, hukum pidana hanya berkonsentrasi menjatuhkan pidana kepada orang perseorangan atau dengan perkataan lain korporasi yang terkait dengan tindak pidana yang bersangkutan tidak pernah dimintakan pertanggungjawaban secara pidana (pidana denda yang dijatuhkan bagi perusahaan si koruptor misalnya). Hal ini membuktikan bahwa meskipun korporasi sudah diatur sebagai subjek hukum pidana (meskipun hanya dalam hukum pidana khusus) apabila ketentuan tersebut tidak pernah diimplementasikan maka ketentuan itu akan menjadi “ketentuan yang mati”. Jadi dalam hal ini, penulis menekankan bahwa pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana adalah sesuatu yang penting dan sama pentingnya dengan pelaksanaan dari ketentuan yang mengatur korporasi dapat ditertanggungjawabkan secara pidana tersebut.
C. DOKTRIN PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI
Terdapat beberapa doktrin yang membenarkan korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dinilai dapat melakukan tindak pidana dan dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana. Umumnya, pertanggungjawaban korporasi didasarkan pada doktrin respondeat superior yaitu suatu doktrin yang menyatakan bahwa korporasi sendiri tidak bisa melakukan kesalahan. Dalam hal ini hanya agen- agen korporasilah yang bertindak untuk dan atas nama korporasi. Oleh sebab itu, hanya agen-agen korporasi saja yang dapat melakukan kesalahan. Doktrin
respondeat superior inilah yang kemudian menghasilkan tiga model
pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu direct corporate criminal liability, strict
23 liability , dan vicarious liability sebagaimana akan dijelaskan berikut ini.
Namun sebelum membahas teori teori tersebut, perlu ditekankan bahwa antara teori teori tersebut memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan.
1. Identification Theory Atau Direct Liability Doctrine
23 Sue Titus Reid, “Criminal Law”, Third Edition, (New Jersey: Prentice Hall, 1995), hal. 53. Wayne
Sebelum membahas lebih jauh mengenai doktrin-doktrin atau teori-teori yang membenarkan pertanggungjawaban pidana korporasi, Roeslan Saleh menyatakan bahwa khususnya untuk pertanggungjawaban dari badan hukum
24 (korporasi), asas kesalahan tidak mutlak berlaku.
Doktrin pertama yang membenarkan pertanggungjawaban pidana korporasi adalah Identification Theory atau dikenal juga dengan Direct Liability
Doctrine. Di Inggris, sejak tahun 1944 telah mantap pendapat bahwa suatu
korporasi dapat bertanggungjawab secara pidana, baik sebagai pembuat atau peserta untuk tiap delik, meskipun disyaratkan adanya mens rea dengan menggunakan asas identifikasi. Doktrin pertanggungjawaban pidana langsung atau doktrin identifikasi adalah salah satu teori yang digunakan sebagai pembenaran bagi pertanggungjawaban pidana korporasi meskipun korporasi bukanlah sesuatu yang dapat berdiri sendiri.
Menurut doktrin ini korporasi dapat melakukan tindak pidana secara langsung melalui “pejabat senior” (senior officer) dan diidentifikasi sebagai perbuatan perusahaan atau korporasi itu sendiri, dengan demikian maka perbuatan “pejabat senior” (senior officer) dipandang sebagai perbuatan korporasi. Jadi, dalam teori ini agar suatu korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana maka orang yang melakukan tindak pidana tersebut harus dapat didentifikasi terlebih dahulu. Pertanggungjawaban pidana baru dapat benar-benar dibebankan kepada korporasi apabila perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh orang yang merupakan “directing mind” dari korporasi tersebut.
Hal senada juga dikemukakan oleh Richard Card, yang menyatakan bahwa;
“the acts and state of mind of the person are the acts and state of mind of the corporation ” (tindakan atau kehendak direktur adalah merupakan tindakan
25 Jadi, dalam teori identifikasi, perbuatan pidana yang dilakukan oleh
dan kehendak korporasi).
pejabat senior diidentifikasikan sebagai perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi. Teori ini disebut juga sebagai teori atau doktrin “alter ego” atau “teori organ” yang dapat diartikan secara sempit maupun secara luas, sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, yaitu sebagai:
26
1) Arti sempit (Inggris): Hanya perbuatan pejabat senior atau otak korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi. Secara sempit teori identifikasi hanya membebankan pertanggungjawaban pidana kepada pejabat senior karena pejabat seniorlah yang merupakan otak atau pengambil keputusan atau kebijakan dalam korporasi, sehingga yang menentukan arah kegiatan korporasi adalah pejabat senior atau dengan perkataan lain bahwa pada umumnya pejabat senior adalah orang yang mengendalikan perusahaan, baik sendiri maupun bersama-sama yang dalam hal ini dipandang sebagai pengendali perusahaan yang didalamnya terdiri dari para direktur dan manajer.
2) Arti luas (Amerika Serikat): Tidak hanya pejabat senior atau direktur tetapi juga agen dibawahnya. Tetapi apabila ditafsirkan secara luas, pertanggungjawaban secara pidana tidak hanya dapat dibebaknan terhadap 25 Muladi, Op. Cit., hal 21. pejabat senior saja melainkan juga dapat dibebani kepada mereka yang berada dibawahnya.
Korporasi pada asasnya dapat dipertanggungjawabkan sama dengan orang pribadi berdasarkan asas identifikasi ini. Misalnya dalam hal ini suatu korporasi yang melakukan tindak pidana (yang mensyaratkan adanya mens rea dan actus reus). Pengadilan dalam hal ini dapat memandang atau menganggap bahwa perbuatan dan sikap batin dari pejabat tertentu yang dipandang sebagai perwujudan dari “kedirian” organisasi tersebut adalah perbuatan dan sikap batin dari korporasi. Korporasi dalam hal ini bukan dipandang bertanggungjawab atas dasar pertangunggjawaban dari perbuatan pejabatnya, melainkan korporasi itu sendiri yang bertanggungjawab seperti halnya dalam pelanggaran terhadap kewajiban hukum justru dipandang telah
27 melakukan tindak pidana itu secara pribadi.
Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah, bagaimana menentukan siapa yang menjadi directing mind dari sebuah korporasi. Apabila dilihat dari segi formal yuridis, yaitu melalui anggaran dasar korporasi, maka akan terlihat jelas siapa yang menjadi directing mind dari korporasi tersebut. Anggaran dasar tersebut berisi penunjukan pejabat-pejabat yang mengisi posisi tertentu berikut kewenangannya.
Disisi lain, Lord Diplock mengemukakan bahwa pejabat senior adalah:
“mereka-mereka yang berdasarkan memorandum dan ketentuan yayasan atau hasil
keputusan para direktur atau putusan rapat umum perusahaan, telah dipercaya
28 melaksanakan kekuasaan perusahaan”.27 Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 45-46.
Selain itu, menurut Lord Morris, yang dapat dikatakan sebagai pejabat senior adalah orang yang tanggung jawabnya mewakili atau melambangkan pelaksana dari the directing mind and will of the company
”. (Pejabat senior adalah orang yang tanggung jawabnya mewakili atau melambangkan pelaksana dari The
directing mind and will of the company).
Oleh sebab itu, mengenai hakikat pejabat senior itu sendiri pada dasarnya adalah mereka yang baik secara individual maupun kolektif, diberikan kewenangan untuk mengendalikan korporasi melalui tindakan atau kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Pejabat senior dari segi struktural dan kewenangan (biasanya direktur dan manejer) berbeda dari mereka yang bekerja sebagai pegawai atau agen yang melaksanakan perintah atau keputusan yang dibuat oleh pejabat senior. Selain itu, menurut Hanafi, penerapan prinsip identifikasi dapat menimbulkan beberapa
29
masalah antara lain: a.
Semakin besar dan semakin banyak bidang usaha sebuah perusahan, maka besar kemungkinan bahwa perusahan tersebut akan menghindar dari tanggung jawab. Sebagai contoh yang dapat diambil untuk menggambarkan kondisi ini, misalnya dalam kasus Tesco yang memiliki lebih dari 800 cabang yang dituntut melakukan tindak pid ana berdasarkan “The Trade Description Act 1968” yang dilakukan oleh manager cabang toko tersebut. Dalam kasus ini, House Of Lord memutuskan bahwa manager cabang adalah orang lain yang merupakan tangan dan bukan otak perusahaan, belum ada pelimpahan 29 oleh direksi berupa pelimpahan fungsi managerial mereka sehubungan