Gerakan Sosial Politik Mahasiswa di Era

TUGAS
MATA KULIAH KEBIJAKAN PUBLIK DAN DEMOKRASI
DOSEN : DR. INDRA BUDIMAN SYAMWIL

Tema :
GERAKAN SOSIAL-POLITIK MAHASISWA
DI ERA POSTMODERNISME

Oleh :
URUQUL NADHIF DZAKIY
NIM : 24014301

PROGRAM MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2015

Gerakan Sosial-Politik Mahasiswa di Era Postmodernisme

Abstrak
Mahasiswa merupakan entitas masyarakat yang memiliki andil dalam perubahan sosial-politik yang
ada di Indonesia. Dalam catatan sejarah, mahasiswa memiliki kontribusi yang besar dalam konflik

perpolitikan nasional seperti ikut serta menurunkan rezim Orde Lama dan Orde Baru. Gerakan
mahasiswa diidentikkan dengan gerakan sosial-politik elitis yang sasarannya adalah para pejabat
tinggi negara. Reformasi 98 membawa arus gelombang baru dalam sendi kehidupan berbangsa dan
bernegara sebagai akibat dari arus informasi yang terbuka luas. Gelombang ini berkembang dan
mencapai klimaksnya di dekade awal 2000-an dimana arus postmodernisme mempengaruhi kondisi
gerakan mahasiswa di berbagai sisi. Arus inilah yang membuat wajah baru gerakan mahasiswa yang
tak lagi sebagai gerakan utopis, elitis, dan ideologis melainkan sebagai gerakan rasional, populis,
dan anti-ideologi. Pada makalah ini akan dibahas terkait bagaimana gerakan politik mahasiswa
menyikapi arus besar postmodernisme ini.
Kata kunci : postmodernisme, gerakan sosial-politik mahasiswa

Pendahuluan
Mahasiswa merupakan entitas pemuda yang bermukim di lembaga pendidikan tinggi seperti
universitas, institut, sekolah tinggi, dan sebagainya. Mahasiswa selain memiliki kegiatan harian
sebagai penuntut ilmu (hard skill), mereka juga mengasah softskill-nya selama belajar di kampus.
Berorganisasi adalah salah satu bentuk softskill yang digeluti oleh mahasiswa. Melalui organisasi,
mahasiswa belajar bagaimana berinteraksi dengan orang lain dan juga belajar tentang masalah
sosial dan politik.
Melalui wadah organisasi, mahasiswa seringkali membahas terkait berbagai permasalahan mulai
dari masalah internal organisasi sampai dengan masalah bangsa. Dari sini, mahasiswa seringkali

diasosiasikan dengan agent of social change atau agen perubahan sosial. Pada masa awal republik
ini berdiri, mahasiswa seringkali menjadi aktor politik nasional yang diperhitungkan oleh penguasa.
Mulai dari aksi penggulingan Soekarno sampai aksi penggulingan Soeharto pada Mei 1998 silam.
Mahasiswa menjadi entitas yang dielu-elukan kehadirannya oleh masyarakat. Pada masa tersebut,
mahasiswa dan politik ibarat satu ikatan tali yang sukar untuk dilepaskan.
Masa reformasi menjadikan arus semakin terbuka di republik ini terutama arus untuk bersuara yang
semula dibungkam pada masa orde Baru. Sejak masa ini, keran informasi seolah dibuka secara total
dan tak terbendung. Puluhan partai politik dengan aneka ide dan gagasan mengikuti perhalatan
akbar Pemilihan Umum (Pemilu). Media-media yang semula ditekan oleh penguasa berlombalomba memberikan informasi secara gamblang atas kinerja pemerintah dan juga berbagai kondisi
kebangsaan lainnya. Media-media massa baru juga bermunculan. Mahasiswa bersorak-sorai karena
kini mereka dapat menyuarakan berbagai aspirasinya secara langsung ke pemerintah tanpa harus

melewati serangkaian tembakan bayonet, gas air mata, dan sebagainya seperti pada detik-detik
reformasi 98 silam.
Gelombang arus reformasi menyebar ke berbagai ranah kehidupan masyarakat. Gelombang arus
informasi sebagai dampak dari reformasi menjadi semakin tak terbendung sejak internet masuk ke
tanah air yang mencapai momentumnya pada tahun 2000-an awal. Ditambah lagi dengan
kemudahan akan gadget terutama smartphone yang memfasilitasi berbagai jejaring sosial yang
mulai booming di dekade kedua abad ke 21, membuat arus informasi tak hanya hadir dari satu arah
(media massa). Kini setiap orang bebas untuk menyampaikan gagasan di media sosial. Tak hanya

itu, kualitas liputan jurnalistik yang menurun akibat mengejar rating dan kecepatan dan juga
dikuasai oleh segelitir orang yang bermain di dunia perpolitikan nasional, membuat kesahihan
liputan informasi menjadi semakin bias.
Sumber informasi yang semakin bias dengan sebaran opini pribadi yang semakin meluas secara
langsung maupun tidak langsung mempengaruhi dinamikan gerakan mahasiswa. Kini gerakan
mahasiswa tak lagi berbicara politik. Gerakan politik mahasiswa hanya tersektor pada tingkat
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau Kabinet Keluarga Mahasiswa (KM) yang menjadikannya
semakin eksklusif. Gerakan mahasiswa pun menjadi semakin beragam jenisnya mulai dari kesenian,
pengabdian masyarakat, dan sebagainya yang lebih memiliki dampak langsung ke masyarakat.
Gerakan yang lebih konkret dan jelas hasilnya mendapat respon yang positif di kalangan
mahasiswa, sementara gerakan politik yang konseptual ideologis diasosiakan sebagai gerakan
wacana yang peminatnya semakin meredup. Gerakan yang dilakukan mahasiswa kini sekedar
pragmatis dan tidak memiliki akar pemikiran yang kuat namun itu yang justru digandrungi dan
memiliki massa yang banyak. Gelombang informasi seperti yang dijelaskan dimuka tak lain adalah
tanda dari arus postmodernisme. Arus inilah yang mempengaruhi wajah gerakan sosial-politik
mahasiswa saat ini.

Pertanyaan Riset
Makalah ini akan menjawab dua pertanyaan mendasar terkait dengan gerakan sosial-politik
mahasiswa di era postmodernisme ;

1. Bagaimana sebaiknya gerakan mahasiswa di era postmodernisme ?
2. Bagaimana mempertahankan idealisme visi-misi gerakan sosial-politik mahasiswa di tengah
arus postmodernisme ?

Metodologi
Makalah ini menyajikan pembahasan terkait dengan bentuk gerakan mahasiswa yang ada saat ini
berdasarkan pengalamatan penulis yang telah berkecimpung di dunia kemahasiswaan selama lebih
dari lima tahun sejak 2009 dengan dibenturkan dengan berbagai literatur yang ada terkait dengan
konsep postmodernisme. Penulis memakai buku karangan Bambang Sugiharto berjudul
Postmodernisme ; Tantangan terhadap Filsafat terbitan PT. Kanisius sebagai referensi utama,
ditambah dengan literatur lain yang relevan.

Pembahasan Literatur
Istilah "postmodern" muncul pertama kalinya di wilayah seni. Menurut Hassan dan Jencks, istilah
itu pertama-tama dipakai oleh Fredico de Onis pada tahun 1930-an dalam karyanya, Antologia de la
Poesia Espanola a Hispanoamericana, untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari dalam
modernisme. Kemudian di bidang histeriografi oleh Toynbee dalam A Study of History (1947).
Sebenarnya benih penggunaan positif awalan "post" telah terdapat pada tulisan Leslie Fiedler tahun
1965 ketika ia menggunakannya dalam istilah-istilah macam "post-humanist, post-male, postwhite" dsb. Pertengahan tahun 70-an Ilhab Hassan kemudian muncul memproklamirkan diri sebagai
pembicara utama postmodernisme dan ia menerapkan label ini pada eksperimentalisme seni dan

kecenderungan ultra-teknologi dalam arsitektur. Istilah itu kemudian menjadi lebih populer
manakala digunakan oleh para seniman, penulis, dan kritikus macam Rauschenberg dan Cage,
Burroughs dan Sontag untuk menunjukkan sebuah gerakan yang menolak modernisme yang
mandek dalam birokrasi museum dan akademi. Kemudian Charles Jencks sebagai pembicara
utamanya. Lalu juga dalam seni visual, seni pertunjukan, dan musik di tahun 1980-an.1
Postmodernisme katanya adalah logika kultural yang membawa transformasi dalam suasana
kebudayaan umumnya. Ia mengaitkan tahapan-tahapan modernisme dengan kapitalisme monopoli,
sedang postmodernisme dengan kapitalisme pasca Perang Dunia Kedua. Masyarakat
postmodernisme ditandai oleh implosi (ledakan ke dalam) alias peleburan segala batas, wilayah dan
pembedaan antara budaya tinggi dan budaya rendah, penampilan dan kenyataan, dan segala oposisi
biner lainnya yang selama ini dipelihara terus oleh teori sosial maupun filsafat tradisional.
Mengambil Ide Lyotard, postmodernisme itu sepertinya adalah intensifikasi dinamisme, upaya tak
henti-hentinya untuk mencari kebaruan, eksperimentasi dan revolusi kehidupan terus-menerus.
Lebih lanjut, postmodernisme diartikan sebagai ketidakpercayaan terhadap segala bentuk narasi
besar ; penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah, dan segala bentuk pemikiran yang
mentotalisasi-seperti Hegelianisme, Liberalisme, Marxisme, atau apa pun. 2
Postmodernisme secara bahasa berasal dari kata "post" yang berarti pasca, setelah, sesudah, dan
"modernisme" yang berarti segala hal yang serba saklek, mekanis, dan saintifik. Dari terminologi
tersebut, postmodernisme tidak lagi berpijak pada kebenaran mutlak yang menjadi ciri khas pada
masa modernisme. Kaum postmodernis menyangkal bahwa modernisme tak lagi relevan dalam

menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di kehidupan ini. Mereka pun meninggalkan doktrin
modernisme yang serba pasti, sentral, dan prosedural menjadi hal yang sifatnya relatif. Dari sinilah
muncul konsep kombinasi berbagai aliran gabungan antara modern dan pra-modern. Sebagai contoh
ideologi. Warga negara tak lagi menerima kebenaran tunggal yang menjadi ciri khas politik
totalitarian yang memakai ideologi tertentu dalam menjalani roda pemerintahan (politik) suatu
negara. Orang cenderung antipati pada ideologi-ideologi besar yang menjadi ciri khas zaman
modern seperti kapitalisme dan komunisme. Mereka memandang bahwa ideologi-ideologi tersebut
sudah tidak cocok diterapkan suatu negara. Kini orang cenderung pragmatis dan acuh terhadap
gerakan politik ideologis. Bagi mereka tidak penting ideologi apa yang dibawa, melainkan stabilitas
ekonomi negara yang lebih penting.

1

Sugiharto, I. Bambang, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat, Pustaka Filsafat Penerbit PT. Kanisius, cetakan ke-9,
2014
2
Sugiharto, I. Bambang, ibid

Selain di bidang ideologi politik, dunia arsitektur pun tak luput dari arus besar postmodernisme.
Para arsitek sudah mulai mendesain bangunan klasik modernis yang desainnya diadopsi pada aliran

arsitektur pra-modern dan modern. Banyak kita jumpai bangunan-bangunan dengan gaya arsitek
kuno dan klasik namun memiliki fasilitas serba modern. Arus postmodernisme juga merambah ke
dunia industri. Dunia industri kini tak sekedar mengejar untung-rugi semata melainkan memberikan
perhatian lebih pada lingkungan. Seringkali kita mendengar istilah "green economy",
"sustainability", dan konsep-konsep lain sebagai ciri dari gelombang postmodernisme. Dengan kata
lain, postmodernisme menjadi gelombang baru di berbagai sendi kehidupan termasuk juga gerakan
sosial-politik mahasiswa.

Diskusi dan Analisis
Gerakan mahasiswa di awal kemerdekaan hingga akhir 90-an dikenal sebagai gerakan sosial politik
yang didalamnya seringkali mengkritisi kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada
rakyat. Gerakan dalam artian tersebut berupa aksi turun ke jalan dengan berbagai tuntutan yang
ditujukan untuk penguasa republik. Pada masa ini mahasiswa dicitrakan sebagai entitas yang
mewakili suara rakyat Indonesia. Seperti pada gelombang demontrasi besar-besaran untuk
menumbangkan rezim Orde Baru, banyak elemen masyarakat mendukung aksi mahasiswa dengan
memberikan bantuan logistik dan dukungan moral lainnya.
Setelah gelombang reformasi 98, lambat laun gerakan mahasiswa bermetamorfosa menjadi berbagai
macam gerakan. Gerakan politik masih ada, namun tak lagi sekuat pra-reformasi. Kalaupun ada
gerakan politik, gerakan hanya tersektor dalam lingkaran Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang
tak sedikit elemen mahasiswa lain acuh terhadap gerakan ini. Metode gerakan turun ke jalan

menjadi satu hal yang semakin tidak populer. Ketidakpopuleran tersebut membuat model gerakan
lebih kepada cara-cara pop (kependekan dari populer) yang aman dengan harapan mendapat simpati
dari mahasiswa lain secara lebih luas. Kini, seringkali kita dapati gerakan paraf petisi di situs
change.org, infografis di berbagai jejaring sosial, #save di twitter, dan berbagaimedium lain yang
memiliki tujuan sama dengan metode gerakan klasik seperti demonstasi turun ke jalan yakni turut
serta menginginkan perubahan yang lebih baik.
Gerakan politik yang tidak lagi menjadi sentral menjadikan BEM atau Kabinet Keluarga Mahasiswa
tidak lagi menjadi mercusuar gerakan. Mahasiswa bebas untuk membuat dan menentukan jenis dan
bentuk gerakan. Bahkan banyak mahasiswa yang menciptakan gerakan kultural yang sama sekali
tidak berada di payung universitas seperti halnya himpunan dan unit. Sebagai contoh Rakapare.
Organisasi ini ini beranggotakan sekelompok mahasiswa lintas universitas yang memiliki
kepedulian untuk menyelesaikan konflik/masalah sosial yang muncul di permukaan. Organisasi
yang berdiri di Bandung dengan dikomandoi oleh mahasiswa ITB ini mencoba untuk selesaikan
masalah sosial di masyarakat tanpa melalui birokarasi dan audiensi berkelanjutan dengan
pemerintah atau bahkan demonstrasi turun ke jalan. Sebagai contoh salah satu programnya yaitu
ikut serta bersama petani Karawang untuk memperjuangkan hak atas tanah yang
beralihkepemilikannya kepada salah satu perusahaan swasta. Para anggota organisasi ini membantu
masyarakat dalam merancang strategi agar status kepemilikan tanah tetap ada di pihak petani.
Transfer pengetahuan ke petani dan juga perlatihan-perlatihan ke petani dilakukan guna agar petani
memiliki bekal yang cukup untuk menyuarakan aspirasinya. Tak hanya itu, mereka menyusun


gambaran masalah secara umum kemudian ditarik benang merah yang menjadi akar masalah.
Melalui akar masalah ini, solusi digali secara cermat. Biarpun gerakan ini sama sekali tidak berada
dibawah atap kampus, gerakan ini berjalan sukses dan mendapat respon positif dari kalangan
mahasiswa, terbukti dengan sirkulasi penambahan anggota yang cukup besar.

Gerakan Konvensional
Utopis
Narasi Besar
Elite
Ideologis
Konflik
Kaku

Gerakan Postmoderninme
Rasional
Narasi kecil
Populis
Anti-Ideologis
Anti-konflik

Fleksibel

Tabel 1 Perbedaan Gerakan Konvensial dan Gerakan Postmodernisme Mahasiswa

Selaian berwujud gerakan sosial kemasyarakatan, gerakan mahasiswa lain mewujud dalam gerakan
diskusi dan keilmuan dengan kemasan yang berbeda. Sebagai contoh, kolaborasi antarunit
pendidikan di ITB yakni Majalah Ganesha-Kelompok Studi Sejarah Ekonomi dan Politik (MGKSSEP), Institut Sosial Humaniora Tiang Bendera (ISH Tiben), Pusat Studi Ilmu Kemasyarakatan
(PSIK), dan Lingkar Sastra (LS). Unit-unit tersebut menyusun kajian pekanan yang terjadwal
dengan tema-tema khusus. Kolaborasi tersebut membuat stigma diskusi dan kajian tidak tersektor
pada unit tertentu dan jumlah anggota yang ikut-serta meningkat. Acara-acara masing-masing unit
kini tak lagi hanya disokong oleh kekuatan internal unit sendiri, melainkan ada dorongan dan
bantuan dari unit-unit lain. Hasil diskusi/kajian pun disebarkan ke khalayak kampus melalui
penyajian yang apik seperti halnya infografis, selain berwujud tulisan. Tak hanya itu, karya konkret
seperti buku coba ditampilkan dan kemudian disebarkan kepada massa kampus. Mereka tak lagi
hanya sekedar kajian/diskusi melainkan fokus pada produk.

Gerakan
Mahasiswa
Konvensional


Arus
postmodernisme

Gerakan mahasiswa
postmodern

Gerakan mahasiswa
postmodern berbasiskan nilai

Gambar 1 : Skema perkembangan gerakan sosial-politik mahasiswa

Contoh lainnya unit Lingkar Sastra (LS). Sebagai unit budaya, LS memainkan peran ganda
disamping ikut serta dengan tiga unit lain untuk selenggarakan diskusi yang bertemakan sastra, juga
mengadakan pertunjukan-pertunjukan yang dikemas kekinian. Sebagai contoh salah satu
kegiatannya adalah "Metamorfosa" yakni sebuah pertujukan puisi yang dilakukan di hari Valentine.
Acaranya tak lagi esklusif di tempat tertutup, melainkan coba dihadirkan dilingkungan terbuka. Saat
itu diadakan di teras CC Barat ITB tepat di didepan jalan tangga kawasan padat lalu lintas
mahasiswa keluar-masuk kampus ITB. Acara ini juga sebagai saingan acara nonton bareng film
spesial Valentine yang diputar oleh Liga Film Mahasiswa (LFM) ITB yang diadakan di lapangan
cinta depan CC Timur ITB. Dari sini terlihat bahwa pola gerakan yang dilakukan oleh unit LS ini
tak hanya fokus pada mereka para penikmat sastra khususnya puisi, melainkan difokuskan pada
khalayak umum yang awam pada puisi. Pola gerakan semacam ini merupakan gejala
postmodernisme.
Di era postmodernisme ini, gerakan politik mahasiswa konvensional perlahan-lahan akan dijauhi.
Mereka yang dipandang sebagai aktivis mahasiswa tak lagi sekedar mereka yang gemar
demonstrasi, aktif diskusi membahas karya-karya Marx, dan nongkrong di kampus sampai larut
malam dengan ditemani kopi dan rokok, namun mereka yang memiliki aliran gerakan lain yang
cenderung lebih santai, fleksibel, dan bersifat lokal dapat dimaknai sebagai aktivis. Gerakangerakan yang digandrungi merupakan gerakan non-ideologis dan mampu memberikan inspirasi.
Dua hal inilah yang menjadi ciri dari postmodernisme. Oleh karenanya gerakan politik yang masih
berorientasi dengan romantika masa lalu seperti halnya reformasi 98 akan ditinggalkan para
pengikutnya. Gerakan politik harus mampu menyadari arus besar postmodernisme ini.
Gerakan politik harus menyesuaikan dengan arus besar postmodernisme dengan membumikan
gerakannya ke grass-root dengan memakai metode-metode yang biasa dilakukan oleh gerakan
mahasiswa postmodernisme seperti halnya terbuka terhadap semua aliran pemikiran (inklusif),
mengemas penyampaian ke publik dengan menggunakan media yang sedang hits dikalangan anak
muda seperti halnya jejaring sosial, infografis, dan sebagainya, dan meramu strategi gerakan yang
lebih dapat berdampak langsung kepada masyarakat. Memang seringkali terjadi distorsi
dikarenakan gerakan politik memiliki misi tertentu yang sifatnya perubahan sosial, namun dengan
mengabaikan arus postmodernisme dan mempertahan gerakan politik konvensional akan membuat
perubahan yang diinginkan menjadi seolah sia-sia. Mengikuti arus postmoderisme tidak berarti
pragmatis dengan melupakan idealisme visi-misi semula yang dibawa, melainkan bagaimana
mengejahwantahkan visi-misi menjadi tindakan yang diterima oleh masyarakat luas dan berdampak
secara langsung.
Arus postmodernisme merupakan tanda zaman sebagai respon dari arus modernisme yang telah
berkembang sejak sekian lama. Mempertahankan arus modernisme dalam gerakan politik seolah
mempertahankan status quo dimana ini menyalahi prinsip perubahan yang sedang gendang
ditiupkan. Kini tinggal bagaimana caranya meramu arus postmodernisme yang serba fleksibel, tidak
jelas arah, dan terkadang dangkal secara konten/nilai menjadi arus postmodernisme berbasiskan
nilai. Mungkin dengan ini akan memunculkan aliran baru yakni postmodernisme berbasis nilai.
Gerakan politik mahasiswa memiliki kans besar untuk melakukan hal tersebut.

Kesimpulan
Arus besar gelombang postmodernisme mempengaruhi dinamika gerakan politik mahasiswa.
Gerakan mahasiswa di masa awal kemerdekaan hingga akhir orde baru ditandai dengan gerakan
yang berbasis politik yang kaku, ideologis, dan eksklusif. Reformasi 98 membuka wajah baru
gerakan mahasiswa dan menemui puncaknya di dekade awal 2000-an dimana gelombang
postmodernisme mulai mempengaruhi arah gerak mahasiswa. Akibatnya gerakan mahasiswa tak
sekedar turun ke jalan menuntut banyak hal ke pemerintah, melainkan muncul gerakan-gerakan
baru yang inklusif dengan marketisasi yang dikemas secara apik. Itulah gerakan postmodernisme
dan dari situ seorang aktivis tak lagi sekedar mereka yang sibuk berdiskusi permasalahan politik
bangsa hingga larut malam serta gemar demonstrasi turun ke jalan.
Gerakan politik mahasiswa harus menyadari betul arus besar postmodernisme dengan tak lagi
beromantika dengan gerakan politik pada pendahulu seperti gerakan politik menurunkan rezim
Soeharto pada tahun 98 silam. Di masa postmodernisme ini tak ada lagi musuh tunggal. Gerakan ini
lebih bersifat lokal dan jelas arah/capaiannya (rasionalis, tidak utopis). Sangat mustahil untuk
membuat arus tandingan, maka gerakan politik mahasiswa harus menyesuaikan. Nilai yang
diperjuangkan gerakan politik mahasiswa harus terus dipertahankan namun dalam mengaplikasikan
gerakan harus luwes dengan mengikuti arus postmodernisme. Gerakan politik mahasiswa harus
inklusif dan mengarah ke grass-root, mahasiswa dan masyarakat secara luas. Dengan mengadopsi
aliran postmodernisme dan mempertahankan nilai visi-misi yang dibawa, gerakan sosial-politik
mahasiswa menjadi gerakan postmodernisme yang berbasiskan nilai. Dengan demikian diharapkan
nilai-nilai yang diperjuangkan dapat diterima oleh khalayak yang lebih luas.

Daftar Pustaka
Sugiharto, I. Bambang, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat, Pustaka Filsafat Penerbit PT.
Kanisius, cetakan ke-9, 2014

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Kuliah di PTN Kini Lebih Mahal

0 87 1