KLIPING EKSEKUSI PIDANA TUGAS MATA KULIA

KLIPING
“EKSEKUSI PIDANA”

TUGAS MATA KULIAH
HUKUM EKSEKUSI DAN PELELANGAN

DI BUAT OLEH
RICKY ANGRIAWAN
B1A010244

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2013

 Eksekusi Pidana: Tanggungjawab Pengadilan atau
kejaksaan ?
Beberapa waktu terakhir, pelaksanaan atau eksekusi putusan pidana mengundang kontroversi
yang cukup riuh, karena adanya putusan-putusan pengadilan terkait perkara tidak pidana
korupsi yang tidak (segera) dilaksanakan. Protes keras terhadap hal ini antara lain datang dari
ICW.

Menanggapi adanya protes tersebut, pihak kejaksaan cenderung untuk menghindar, serta
mengemukakan bahwa keterlambatan eksekusi putusan terjadi, karena pihak pengadilan tidak
segera mengirimkan salinan putusan ke kejaksaan. Jaksa Agung mengutip ketentuan dalam
Pasal 270 KUHAP yang menentukan bahwa eksekusi dilakukan oleh jaksa, setelah panitera
mengirimkan sailnan surat putusan kepadanya. Dalam prakteknya, tambah Jaksa Agung,
eksekusi putusan tanpa menunjukkan salinan putusan itu seringkali mengundang perlawanan
dari pihak terpidana. Pada intinya, Jaksa Agung hendak menyatakan bahwa protes keras ICW
seharusnya diarahkan kepada pengadilan.
Pasal 270 KUHAP
“Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan
oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.”
Pernyataan Jaksa Agung tersebut, dalam pandangan saya, mengandung beberapa kejanggalan.
Waktu pengiriman salinan putusan
Permasalahan waktu pengiriman ini, bukan hal baru. Namun demikian, perdebatan yang
selama ini muncul sebenarnya tidak terkait pelaksanaan putusan, melainkan terkait dengan
pengajuan memori oleh jaksa – meskipun pada kenyataannya, entah mengapa, perdebatan
tersebut tetap berada dalam kerangka Pasal 270 KUHAH (padahal ruang lingkup Pasal 270
KUHAP adalah putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap).
Tugas dan tanggungjawab jaksa selaku eksekutor
Bahwa pelaksanaan putusan adalah tanggungjawab kejaksaan, sebenarnya telah diakui oleh

pihak kejaksaan sendiri. Pada tahun 1995, satu tahun setelah keluarnya surat edaran
pelaksanaan putusan pengadilan yang mengikuti batas waktu penyelesaian salinan putusan
yang ditetapkan Mahkamah Agung, kejaksaan mengeluarkan surat edaran lagi.

Sumber : hukumonline.com

Analisis :
Dengan demikian, sebenarnya telah cukup jelas, pelaksanaan putusan pengadilan seharusnya
menjadi tugas dan tanggungjawab kejaksaan. Namun pada prakteknya, potensi adanya

benturan kepentingan antara pengacara (terpidana) dengan jaksa (penegakan hukum) dalam
skenario proses hukum di “negara hukum” yang ideal, tidak akan sampai ke institusi
pengadilan, melainkan telah diselesaikan oleh jaksa yang tidak hanya berperan sebagai jaksa,
namun juga sebagai hakim, dengan sendirinya, hal ini membuat kejaksaan, ketika terkena
tekanan politik dari aktivis pemantau peradilan dan/atau berhadapan dengan pengadilan,
seperti mewakili dua kepentingan sekaligus. Bukan hanya penegakan hukum, tetapi juga hakhak terpidana.
Kondisi ini, kalau dilihat sekilas, tentu akan menempatkan lembaga tersebut dalam posisi
“korup”, dalam arti menyimpang dari tugas idealnya menegakkan hukum. Kepentingan jaksa
dan kepentingan terpidana yang dalam skenario proses hukum di “negara hukum” yang ideal
akan berbenturan dan harus diselesaikan di muka hakim, ternyata tidak selalu seperti itu

adanya. Bagaimanapun, dari sudut pandang institusional ini, fenomena korupsi sebenarnya
lebih menarik untuk dikaji. Dan diperdebatkan lebih lanjut.

 Eksekusi Putusan Batal Demi Hukum di Mata Ahli Pidana
Ahli hukum pidana, Yahya Harahap berpendapat putusan pemidanaan yang tidak memuat
ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP dalam amar putusan pengadilan adalah batal
yang bersifat absolut/mutlak. “Putusan itu sejak semula tidak sah karena bertentangan dengan
undang-undang,” kata Yahya Harahap saat menjadi ahli dalam pengujian pasal itu di Gedung
MK, Rabu (5/9).
Ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP memuat 12 poin yang harus dimuat dalam putusan
pemidanaan. Apabila salah satu poin tidak termuat dalam putusan, maka mengakibatkan
putusan batal demi hukum sebagaimana ditegaskan Pasal 197 ayat (2) KUHAP.
Selengkapnya, Pasal 197 ayat (1) huruf k berbunyi, “Surat putusan pemidanaan memuat : k.
Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.”
Yahya menegaskan kebatalan putusan pengadilan yang bersifat mutlak ini tidak melihat
apakah itu putusan tingkat pertama, banding, atau kasasi. Putusan itu tetap dianggap sebagai
putusan yang tidak sah dan tidak pernah ada, sehingga tidak memiliki kekuatan daya hukum
mengikat (eksekutorial) kepada terpidana.
Menurut ahli yang dihadirkan pemohon ini, apabila jaksa tetap mengeksekusi putusan batal
demi hukum berarti jaksa telah bertindak sewenang-wenang, inkonstitusional, dan melanggar

HAM. “Eksekusi terhadap putusan yang batal demi hukum nyata-nyata melanggar pilar

negara hukum karena melanggar Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28J ayat (1) UUD
1945,” tutur Yahya.

Karena itu, ia menilai putusan PK No.
157 PK/Pid.Sus/2011 yang tidak
mengoreksi/meluruskan putusan kasasi
No. 1444/Pid.Sus/2010 yang tidak
memuat perintah penahanan merupakan
putusan yang batal secara mutlak,
sehingga tidak melekat kekuatan
eksekutorial. “Seharusnya putusan PK
memperbaiki putusan kasasi dengan
menyatakan ‘mengadili sendiri’ dengan
dan ‘membatalkan’ putusan kasasi No.
1444. Ini sesuai yurisprudensi putusan
MA No. 169 K/Pid/1988,” ujar mantan hakim agung ini.
Ahli pemohon lainnya, Mudzakkir menilai norma Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP bersifat
imperatif yang harus ditaati pengadilan pada semua tingkatan termasuk MA dalam membuat

putusan yang berisi pemidanaan. “Apabila putusan pemidanaan itu tidak memuat materi Pasal
197 ayat (1) huruf k ini, maka putusan pemidanaan itu batal demi hukum dan tidak dapat
dieksekusi, jika tetap mengeksekusi bentuk pelanggaran hukum,” katanya.
Dosen Fakultas Hukum UII Yogyakarta ini berpendapat konstitusionalitas Pasal 197 ayat (1)
Menurutnya, putusan pemidanaan yang tidak memuat “perintah supaya terdakwa ditahan atau
tetap dalam tahanan atau dibebaskan” seharusnya batal demi hukum. Putusan itu sejak
semula dianggap tidak pernah ada, sehingga tidak mempunyai kekuatan eksekutorial yang
tidak dapat dieksekusi jaksa.
Sebelumnya, Parlin divonis tiga tahun penjara dalam kasus perambahan hutan di Kalimantan
Selatan lewat putusan PK No. 157 PK/Pid.Sus/2011 tertanggal 16 September 2011 yang
sebelumnya di tingkat pertama dinyatakan bebas. Yusril yang juga menjadi kuasa hukum
Parlin menolak eksekusi dengan dalih tidak memenuhi syarat formal Pasal 197 ayat (1) huruf
k KUHAP yakni tidak memuat perintah penahanan dalam putusan PK itu.

Sumber : hukumonline.com

Analisis :
Ketentuan KUHAP tentang pengawasan dan pengamatan di atas itu menunjukkan bahwa
hukum acara pidana yang dianut Indonesia kini, tidak lagi bertujuan untuk menghukum


sebagai balas dendam atas kejahatan si terpidana. Hukuman sebagai balas dendam atas
kejahatan telah ditinggalkan sebagai bagian peradaban hukum masa lalu. Ajaran hukum
terkini yang dianut Indonesia adalah bahwa pelaksanaan hukum merupakan satu rehabilitasi
dan reintegrasi bagi terpidana agar kembali hidup normal ke dalam peradaban masyarakat
umum. Dengan ajaran yang diyakini itu, maka yang dulunya penjara telah diganti nama jadi
lembaga pemasyarakatan (LP). Nuansa substansi dalam konsep LP menjadi sebentuk klinik
penyembuhan penyakit masyarakat dalam bentuk kejahatan yang diidap oelh si terpidana.
Jumlah dan lama hukumannya menjadi sebentuk resep obat dengan kadar kualitas tertentu,
yang jika resep itu telah dipenuhi, maka seharusnya orang yang bersangkutan sudah akan
sehat, normal, kembali ke masyarakat setelah keluar dari LP.
Dengan adanya ketentuan tentang pengawasan hakim terhadap pelaksanaan putusan maka
kesenjangan (gap) yang ada antara apa yang diputuskan hakim dan kenyataan pelaksanaan
pidana di lembaga pemasyarakatan dan di luar lembaga pemasyarakatan jika terpidana
dipekerjakan di situ dapat dijembatani. Hakim dapat mengikuti perkembangan terpidana
sebagai narapidana dan juga perlakuan para petugas lembaga pemasyarakatan yang
bersangkutan.

 PELAKSANAAN PUTUSAN HAKIM (EKSEKUSI)”
Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan sebuah interaksi dengan sesamanya. Dan
proses interaksi itu tidak selamanya berjalan dengan baik, namun ada kalanya dihiasi dengan

konflik horizontal sehingga dalam kasus ini diperlukan adanya suatu institusi yang menjadi
pemutus konflik tersebut. Dalam kehidupan bernegara, institusi ini menjelma dalam bentuk
Lembaga-lembaga peradilan.
Di dalam dunia pengadilan, sebenarnya hanya ada satu hal pokok yang dicari para
justiabalance (pencari keadilan) yaitu Putusan Hakim.Setelah putusan tersebut sudah final
dan berkekuatan hokum sacara tetap maka akan dilaksanakan eksekusi(akibat dari putusan
tersebut).
Tujuan pihak-pihak yang berperkara menyerahkan perkara-perkaranya kepada pengadilan
adalah untuk menyelesaikan perkara mereka secara tuntas dengan putusan pengadilan.Tetapi
dengan adanya putusan pengadilan bukan berarti sudah menyelesaikan perkara secara tuntas,
akan tetapi perkara akan dianggap selesai apabila ada pelaksanaan putusan atau eksekusi.
Dengan kata lain pencari keadilan mempunyai tujuan akhir yaitu agar segala hak-haknya
yang dirugikan oleh pihak lain dapat dipulihkan melalui putusan pengadilan/hakim . Dan

pemulihan tersebut akan tercapai apabila putusan dapat dilaksanakan.Dan dalam makalah
singkat ini akan mengemukakan sedikit pembahasan mengenai pelaksanaan putusan/eksekusi
Pelaksanaan putusan /eksekusi adalah putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan. Dan
putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang sudah mempunyai
kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) . Putusan yang sudah berkekuatan tetap
adalah putusan yang sudah tidak mungkin lagi dilawan dengan upaya hukum verzet, banding,

dan kasasi.
Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dapat melaksanakan
segala putusan yang dijatuhkannya secara mandiri tanpa harus melalui bantuan Pengadilan
Negeri. Hal ini berlaku setelah ditetapkannya UU No. 7/1989. Dan sebagai akibat dari
ketentuan UU Peradilan Agama diatas adalah:
1. Ketentuan tentang eksekutoir verklaring dan pengukuhan oleh Pengadilan Negeri
dihapuskan
2. Pada setiap Pengadilan Agama diadakan Juru Sita untuk dapat melaksanakan putusanputusannya
Pelaksanaan putusan hakim dapat Secara sukarela,atau Secara paksa dengan menggunakan
alat Negara,apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan secara sukarela.Semua
keputusan pengadilan mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan
secara paksa oleh alat-alat Negara .Keputusan pengadilan bersifat eksekutorial adalah karena
pada bagian kepala keputusannya berbunyi “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa ”.

Sumber : hukumonline.com

Analisis :
Maksud pelaksanaan putusan yang diatur dalam ketentuan ini adalah untuk menguangkan
bagian tertentu dari harta kekayaan pihak tergugat sebagai pihak yang dikalahkan dengan

tujuan guna memenuhi isi putusan sebagai termuat dalam amarnya, yang telah memenangkan
pihak penggugat sebagai pemohon eksekusi, putusan yang memerintahkan pengosongan atas
benda tidak bergerak. Dalam praktek di pengadilan,tergugat yang dihukum untuk
mengosongkan benda tidak bergerak tersebut setelah terlebih dahulu ditegur, untuk
mengosongkan dan menyerahkan benda tidak bergerak tersebut kepada penggugat selaku
pihak yangdimenangkan.Apabila tidak bersedia melaksanakan perintah tersebut secara
sukarela, maka Ketua Pengadilan dengan penetapan akan memerintahkan Panitera atau Juru
Sita, kalau perlu dengan bantuan alat negara polisi atau pihak yang berwenang dengan paksa
melakukan pengosongan terhadap tergugat dan keluarga serta segenap penghuni yang ada,
ataupun yang mendapat hak dari padanya, dengan menyerahkannya kepada Penggugat selaku
pemohon eksekusi.

Adapun mengenai cara melakukan penjualan barang-barang yang disita dalam hal
pelaksanaan eksekusi riil dalam bentuk penjualan lelang diatur dalam pasal 200 HIR.
Ketentuan pokoknya antaralain berisi:












Penjualan dilakukan dengan pertolongan Kantor Lelang;
Urutan-urutan barang yang akan dilelang ditunjuk oleh yang terkena lelang jika ia
mau
Jika jumlah yang harus dibayar menurut putusan da biaya pelaksanaan putusan
dianggap telah tercapai, maka pelelangan segera dihentikan. Baran-barang selebihnya
segera dikembalikan kepada yang terkena lelang;
Sebelum pelelangan, terlebih dahulu harus diumumkan menurut kebiasaan setempat
dan baru dapat dilaksanakan 8 hari setelah penyitaan;
Jika yang dilelang terasuk benda yang tidak berberak maka harus diumumkan dalam
dua kali dengan selang waktu 15 hari;
Jika yang dilelang menyangkut benda tidak bergerak lebih dari Rp.1000.- harus
diumumkan satu kali dalam surat kabar yang terbit di kota itu paling lambat 14 hari
sebelum pelelangan;
Jika harga lelang telah dibayar, kepada pembeli diberikan kwitansi tanda lunas dan

selain itu pula hak atas barang tidak bergerak tersebut beralih kepada pembeli;
Orang yang terkena lelang dan keluarganya serta sanak saudaranya harus
menyerahkan barang tidak bergerak itu secara kosong kepada pembeli.

 EKSEKUSI PUTUSAN PIDANA UANG PENGGANTI
DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
Eksistensi dari penegakan hukum pidana materil adalah sejauh mana suatu putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan secara cepat dan tepat, hal ini sangat
penting mengingat wibawa dari suatu putusan sebagai akhir dari proses penegakan hukum
pidana terletak pada dapat tidaknya isi dari putusan hakim tersebut dilaksanakan oleh Jaksa
selaku eksekutor, putusan hakim pada dasarnya mengandung beberapa aspek yuridis baik
materil maupun formil. Putusan hakim beraspek materil dalam pengertian bahwa segala
perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa telah terbukti adanya sehingga yang bersangkutan
dapat dimintakan pertanggungjawaban hukumnya. Sedangkan putusan hakim yang beraspek
formil dalam pengertian adanya suatu kewajiban bagi jaksa selaku eksekutor untuk dapat
melaksanakan putusan yang telah ditetapkan oleh hakim (Pengadilan).

Pelaksanaan isi putusan oleh jaksa, selaku eksekutor pada dasarnya tidak terlepas dari apa
yang telah dituntutkan olehnya pada saat proses pemeriksaan perkara.tersebut didasarkan
pada adanya alat bukti dan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, namun tidak
jarang pula apa yang telah dituntutkan oleh Penuntut Umum3mengalami kesulitan pada saat
akan dilakukan eksekusi, baik itu menyangkut eksekusi terhadap terpidana, eksekusi terhadap
barang, serta eksekusi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti dalam perkara
tindak pidana korupsi.

Dari beberapa hal yang harus dilakukan esekusi tersebut, yang menimbulkan persoalan
adalah eksekusi terhadap pembayaran uang pengganti yang menjadi kewajiban tambahan dari
terpidana dalam perkara tindak pidana korupsi. Pembayaran uang pengganti dalam tindak
pidana korupsi merupakan pidana tambahan selain pidana terhadap terpidananya sendiri dan
pidana denda. Pidana tambahan dalam tindak pidana Korupsi. ada dasarnya pelaksanaan
eksekusi pembayaran uang pengganti tidak jauh berbeda, dengan pelaksanaan eksekusi
terhadap orang maupun eksekusi terhadap barang dalam perkara tindak pidana pada
umumnya, yang membedakannya adalah adanya
batas waktu bagi terpidana untuk membayar uang
pengganti tersebut setelah putusan mempunyai
kekuatan hukum tetap serta diharuskannya
menyerahkan harta bendanya untuk menutup
pembayaran uang pengganti apabila terpidana
tidak mampu membayarnyaAkan tetapi dalam
pelaksanaannya ternyata tidak semudah yang
dibayangkan, sehingga tidak jarang ada
pelaksanaan eksekusi pembayaran uang pengganti
yang tidak dapat dilakukan selama bertahun-tahun, sehingga hal ini menghambat proses
pengembalian kerugian negara sebagai muara dari penyelesaian perkara tindak pidana
korupsi itu sendiri. Dalam pelaksanaannya, eksekusi terhadap pidana pembayaran uang
pengganti pada tindak pidana korupsi hingga saat ini belum menunjukan hasil yang
maksimal, karena tunggakan terhadap uang pengganti dalam tindak pidana korupsi yang ada
pada kejaksaan.

Sumber : http://jurnal.untan.ac.id

Analisis :
Belum maksimalnya Jaksa melaksanakan eksekusi uang penganti dalam tindak pidana
korupsi, pada dasarnya bukan sesuatu yang dikehendaki atau disengaja, tetapi adanya
hambatan yuridis terhadap putusan pengadilan tersebut. Hambatan yuridis sebagaimana
dimaksud adalah tidak jelasnya tentang kapan eksekusi putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan tetap tersebut dilaksanakan, diantaranya adalah Pasal 270 KUHAP

yang dinyatakan bahwa Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatanBelum maksimalnya Jaksa melaksanakan eksekusi uang penganti dalam tindak
pidana
korupsi, pada dasarnya bukan sesuatu yang dikehendaki atau disengaja, tetapi adanya
hambatan yuridis terhadap putusan pengadilan tersebut. Hambatan yuridis sebagaimana
dimaksud adalah tidak jelasnya tentang kapan eksekusi putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan tetap tersebut dilaksanakan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, setelah
panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya, ketentuan ini mengharuskan eksekusi
baru dapat dilakukan dan dilaksanakan oleh jaksa, setelah panitera mengirimkan salinan surat
putusan kepadanya, sehingga terakwa menolak untuk dieksekusi berdasarkan kutipan
putusanyang sudah tetap tersebut disamping putusan pengadilan tersebut tidak memberikan
landasan hukum bagaimana terhadapbarang-barang milik terdakwa yang sudah disita,
Perhitungan jaksa itu seharusnya diajukan dalam tuntutannya (requisitoir). Dalam tuntutan
itu, jaksa (penuntut umum) menuntut agar terpidana dipidana pula membayar biaya perkara
dengan jumlah tertentu, sesuai Pasal 197 ayat (1) KUHAP dan Pasal 275 KUHAP.

 PRO KONTRA KETIDAK PASTIAN EKSEKUSI “PIDANA”
Pidana mati merupakan hukuman terberat dari jenis-jenis ancaman hukuman yang tercantum
dalam KUHP bab 2 pasal 10. Karena pidana mati merupakan pidana terberat, yaitu:
pelaksanaannya berupa perampasan terhadap kehidupan manusia, maka tidaklah heran
apabila dalam menentukan pidana mati terdapat banyak pendapat yang pro dan kontra
dikalangan ahli hukum ataupun masyarakat itu sendiri, pidana mati tercantum di dalam
KUHP diwarisi dari pemerintan kolonial dan tetap
demikian ketika dinasionalisasikan dengan undangundang Nomor 1 Tahun 1946. Bahkan sesudah
Indonesia merdeka, beberapa undang-undang yang
dikeluarkan kemudian, ternyata tercantum juga pidana
mati didalamnya, dengan demikian, alasan bahwa
pidana mati itu tercantum dalam W.v.S (KUHP) pada
waktu diberlakukan oleh pemerintahan kolonial
didasarkan pada alasan faktor rasial.
Dalam hukum positif Indonesia kita mengenal dengan
adanya hukuman mati atau pidana mati. Dalam KUHP
Bab II mengenai Pidana, pasal 10 menyatakan
mengenai macam-macam bentuk pidana, yaitu terdiri

dari pidana pokok dan pidana tambahan. Dan pidana mati termasuk jenis pidana pokok yang
menempati urutan yang pertama, peraturan perundang-undang yang lain yang ada di
Indonesia, juga banyak yang mencantumkan ancaman pemidanaan berupa pidana mati.,
misalkan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang
No. 26 tahun 2000 tentang Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia, Perpu
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah disahkan menjadi Undang-undang.
Namun perdebatan muncul ketika banyak orang yang mulai menanyakan apakah pidana mati
masih relevan atau layak diterapkan sebagai suatu hukuman di Indonesia. Pertanyaan tersebut
dilontarkan bukan tanpa alasan, namun kebanyakan dari mereka menganggap pidana mati
melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu hak untuk hidup. Hak itu terdapat dalam UUD
1945 pasal 28A yang mengatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya” Mengenai upaya hukum yang dilakukan oleh
pihak terpidana adalah suatu ketentuan-ketentuan yang telah diatur di dalam perundangundangan berdasarkan tingkat pengajuan upaya hukum dari yang paling awal hingga yang
paling akhir, dimana upaya hukum tersebut adalah merupakan suatu tindakan dari kerabat,
kuasa hukum, maupun keluarga terpidana didalam memperjuangkan suatu pidana yang telah
atau dijatuhkan kepada seorang terpidana berdasarkan kesalahan atau tindak pidana yang
telah dilakukannya, namun jika teliti lagi, dalam penjelasan pasal ini menyatakan setiap orang
berhak atas kehidupan, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak
atas kehidupan ini bahkan melekat pada bayi yang baru lahir atau orang yang terpidana mati.
Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam
kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan
aborsi atau pidana mati dalam hal atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada
dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dibatasi.

Sumber : hukumonline.com

Analisis :
Dalam pembahasan terhadap upaya hukum adalah dengan melihat sejauh apa upaya tersebut
dilakukan dan bagaimana lembaga yang bersangkutan dalam menilai upaya tersebutKasuskasus berikut ini menggambarkan peradilan terhadap mereka yang menghadapituntutan
pidana mati di Indonesia, yang tidak selalu sesuai dengan standar internasional dalam
mendapatkan proses peradilan yang adil, hukum Pidana objektif berisi tentang berbagai
macam perbuatan yang dilarang yang terhadap perbuatan-perbuatan itu telah ditetapkan
ancaman pidana kepada barangsiapa yang melakukannya, sanksi pidana yang telah ditetapkan
dalam UU tersebut kemudian oleh negara dijatuhkan dan dijalankan kepada pelaku
perbuatan. Hak dan kekuasaan negara yang demikian merupakan suatu kekuasaan yang
sangat besar, yang harus dicari dan diterangkan dasar-dasar pijaknnya.
Mengenai teori-teori pemidanaan berhubungan langsung dengan pengertian hukum pidana
subjektif tersebut. Teori-teori ini mencari dan menerangkan tentang dasar dari hak negara

dalam menjatuhkan dan menjalankan pidana tersebut. Pertanyaan seperti mengapa, apa
dasarnya dan untuk apa pidana yang telah diancamkan itu dijatuhkan dan dijalankan, atau
apakah alasannya bahwa negara dalam menjalankan fungsi menjaga dan melindungi
kepentingan hukum dengan cara melanggar kepentingan hukum dan hak pribadi orang,
adalah pertanyaan-pertanyaan mendasar dan menjadi pokok bahasan dalam teori-teori
pemidanaan ini. Pertanyaan yang mendasar tersebut timbul berhubung bahwa dalam
pelaksanaan hukum pidana subjektif itu berakibat diserangnya hak dan kepentingan hukum
pribadi manusia tadi, yang justru dilindungi oleh hukum pidana itu sendiri, jelaslah kiranya
pidana yang diancamkan itu telah diterapkan, justru menyerang kepentingan hukum dan hak
pribadi manusia yang dilindungi oleh hukum. Tentulah hak untuk menjalankan hukum
subjektif ini sangat besar sehingga hanya boleh dimiliki oleh negara saja. Mengenai negara
yang seharusnya memiliki hak ini tidak ada perbedaan pendapat. Negara merupakan
organisasi sosial tertinggi, yang bertugas dan berkewajiban menyelenggarakan dan
mempertahankan tata tertib/ketertiban masyarakat. Dalam rangka melaksanakan kewajiban
dan tugas itu, maka wajar jika negara melalui alat-alatnya diberi hak dan kewenangan untuk
menjatuhkan dan menjalankan pidana.