Tanah dalam Produksi Pertanian untuk

Nama

: Wakhidatus Sholikhah

NIM/Off

: 107821410661/B

Tugas 3
Tanah dalam Produksi Pertanian
A. Tanah sebagai faktor produksi
Tanah sebagai salah satu faktor produksi adalah merupakan tempat dimana produksi berjalan
dan dari mana hasil produksi keluar. Di Indonesia sering ditemukan peristiwa pemindahan hak
mengerjakan (dalam sistem penyakapan) dari pada pemindahan hak milik. Walaupun secara teoritis,
diangap petani akan terdorong untuk memlihara tanahnya untuk lebih baik dan terdorong untuk
mengadakan investasi-investasi guna mmeperbaiki tanahnya bila tanah itu dimilikinya, namun ada
kemungkinan pemilik tanah akan memilih menyakapkan tanahnya pada petani yang sanggup
menawarkan bagi hasil yang yang lebih menarik. Ada kemungkinan sebidang tanah tidak secara
langsung dipakai oleh pemiliknya sebagai modal untuk berusaha tani, tetapi dipakai sebagai sebagai
alat mencari kredit atau membayar hutang-hutang.
Sebagai faktor produksi, tanah mendapat bagian dari hasil produksi karena jasanya dalam

produksi itu. Pembayaran atas jasa produksi ini disebut sewa tanah (rent). David Recardo
mengatakan bahwa tinggi rendahnya sewa tanah disebabkan oleh perbedaan kesuburan tanah,
makin subur tanah maikin tingi sewa tanah. Harga sewa tanah dapat naik dan turun disebabkan
karena hubungan langsung dengan harga komoditi yang diproduksi oleh tanah. Dengan makin
meningkatnya permintaan atas hasil-hasil pertanian dan makin banyak petani yang berlomba-lomba
dan bersaingan untuk berusaha tani, makin tinggi harga sewa tanah karena terbatasnya persediaan
tanah yang ada.
Faktor yang mempunyai peranan penting dalam peningkatan harga sewa tanah adalah
bertambahnya jumlah penduduk yang memerlukannya. Dengan berkembangnya perekonomian
maka kebutuhan manusia aka tanah tidak terbatas untuk memproduksi bahan makanan dan sandang
saja, tetapi juga untuk perumahan dan industri. Penggunaan tanah yang berbeda-beda inilah yang
menimbulkan kompleksnya persoalan sewa tanah. Sewa tanah tidak lagi ditentukan oleh factor
kelangkaan dan perbedaan kesuburan saja, tetapi juga oleh harga komoditi yang diproduksikan dan
pembayaran-pembayaran keperluan lainnya.
Dalam bidang pertaian, hubungan antara pemilik tanah dan penggarap makin lama makin
kompleks seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Untuk itu perlu diadakan suatu aturan
yang mengatur tantang kepastian usaha pertanian, salah satunya adalah Undang-undang Pokok Bagi
Hasil (UUBPH) yang menganjurkan diadakannya perjanjian secara tertulis agar:
1.


Ada jaminan dalam hal waktu penyakapan

2.

Dapat ditentukan secara lebih jelas dan tegas kewajiban masing-masing pihak, sehingga
penyakap dapat terdorong untuk mengadakan investasi.

3.

Agar pembagian hasil dapat bersifat adil, tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.
Salah satu kelemahan dari UUPBH adalah ketentuan yang tidak jelas dalam pembebanan

biaya. Dalam pedoman pelaksanaan undang-undang ini hanya dikatakan bahwa yang dimaksud
dengan hasil tanah adalah hasil bersih, yaitu hasil bruto setelah dikurangi biaya untuk bibit, pupuk,
ternak, serta biaya untuk menanam dan panen. Biaya-biaya tersebut diambilkan dari hasil bruto dan
diberikan kepada pemilik atau penggarap yang memberikan persekot itu tanpa bunga. Dalam
kenyataannya hal-hal ini sering memberatkan petani penyakap. Dalam suatu daerah yang
penduduknya sangat padat, dimana jumlah petani penyakap lebih besar dari pada persediaan tanah
yang ada, maka pemilik tanah dapat meminta syarat-syarat yang lebih berat dibandingkan dengan
daerah yang mempunyai persediaan tanah garapan yang lebih luas. Untuk perjanjian bagi hasil,

yang paling umum digunakan adalah sistem paruhan (seperdua untuk pemilik tanah, seperdua untuk
petani penyakap).
B. Perpecahan dan perpencaran tanah
Faktor lain yang mempunyai pengaruh langsung pada efisiensi usaha tani adalah perpecahan
(division) dan pemencaran (fragmentasi) petak-petak sawah. Perpecahan tanah adalah pembagian
milik seseorang ke dalam bidang atau petak-petak kecil untuk diberikan kepada ahli waris pemilik
tanah tersebut. Sedangkan pemencaran tanah adalah kenyataan adanya usaha tani (di bawah suatu
manajemen) yang terdiri atas berapa bidang yang berserak-serak. Perpecahan dan perpencaran
sawah ini ditimbulkan oleh berbagai sebab, misalnya jual beli, pewarisan dan hibah perkawinan,
serta sistem penyakapan. Perserakan ini dapat menurunkan efisiensi produksi.
Salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi usaha tani adalah dengan mengadakan
konsolidasi yaitu penggabungan petak-petak atau bidang-bidang sawah yang berserak-serak
menjadi satu atau lebih petak-petak sawah yang lebih besar. Untuk merealisasikan hal tersebut
diperluka campur tangan dan bantuan dari pemerintah, baik dalam mengatur administrasinya
maupun soal pembiayaannya. Pada saat ini knsolidasi tanah-tanah di Indonesia belum dapat
direalisasikan, namun untuk konsolidasi dalam manajemen usaha tani dalam arti luas sudah
dilaksanakan, seperti pembelian alat-alat produksi dan pertanian, pemasaran hasil-hasil pertanian,
serta penyediaan pupuk dan benih unggul.
C. Bentuk milik tanah dan produksi pertanian
Di Indonesia selain tanah milik perseorangan, dikenal juga tanah desa (tanah bersama).

Tanah ini dianggap sebagai modal bersama, diusahakan secara bersama dan demi kepentingan
bersama masyarakat desa tersebut. Di pedasaan terdapat dua sistem pemilikan tanah yaitu sistem
tanah yasan (hak milik yang turun temurun berdasarkan hokum adat) dan sistem tanah kongsen (hak

mengerjakan). Tanah kongsen ini dapat pula diwariskan tetapi tidak dapat di pecah-pecah. Pada
sistem tanah kongsen sudah ada factor konservasi atau perlindungan pada efisiensi pengusahaan
tanah. Sedangkan tanah yasan dapat dijual dan diwariskan dengan cara dipecah-pecah. Selain kedua
sistem tersebut, terdapat juga sistem kepemilikan tanah dalam bentuk persewaan. Bentuk persewaan
seluruhnya dapat dilihat dalam tabel berikut.
Macam-macam pemilikan/persewaan
Petani pemilik
Petani penyakap
Petani penyewa
Petani bebas sewa
Lain-lain

Persen
64
12
10

12
2

Persen dari tanah pertanian
80
6
4
5
5

Dari table tersebut dapat dilihat bahwa sistem persewaan yang lebih penting bukan dengan
uang atau hasil panen, tetapi dengan bagi hasil yang kebanyakan didasarkan pada kebiasaan
setempat. Sistem yang disebut penyakapan ini sudah mengandung unsur-unsur keadilan yang
dianggap wajar karena disesuaikan dengan kebiasaan masyarakat setempat, sehingga perselisihan
hampir tidak pernah terjadi. Setiap sistem hubungan pertanahan harus selalu disesuaikan dengan
keperluan pada suatu waktu tertentu, pada macam tanaman dan tujuan-tujuan sosial ekonomis
tertentu.
D. Pengairan dan konservasi tanah
Salah satu factor yang sangat penting dalam usaha meningkatkan produksi pertanian adalah
melaluui pengairan. Air adalah syarat mutlak bagi kehidupan dan pertumbuhan tanaman. Air bias

didapatkan dari air hujan atau melalui pengairan yang diatur oleh manusia. Pengairan adalah
pengaturan kebutuhan air bagi tanaman. Dikenal juga istilah irigasi untuk membawa air sungai ke
sawah-sawah. Pembangunan pengairan meliputi irigasi dan drainase, perbaikan sungai dan
pengamanan terhadap bencana banjir, pemanfaatan rawa serta pengembangan wilayah sungai.
Tanah adalah factor produksi yang tahan lama, walaupun tanah termasuk sumber daya alam
unrenewable. Untuk mempertahankan kesuburan tanah, petani harus mengadakan rotasi tanaman
dan usaha-usaha konservasi tanah. Dalam arti sempit, konservasi diartikan sebagai usaha untuk
mengurangi laju pengusahaan tanah sekarang untuk memungkinkan pengusahaan yang lebih besar
di kemudian hari. Konservasi tanah tidak sama dengan penggunaan tanah secaara ekonomis.
Pengertian ekonomis hanya membandingkan hasil-hasil dan biaya atau pengorbanan. Sedangkan
konservasi lebih menekankan pada fungsi tanah dalam arti ekologis. Namun penggunaan tanah
secara ekonomis yang mempertimbangkan jangka panjang dapat diartikan pula sebagai konservasi.
Usaha penghijauan akan dilihat pertama sebagai usaha konservasi untuk mengandalikan erosi.
Tetapi prinsip ekonomi dalam penghijauan juga berlaku. Pengeluaran biaya penghijauan sekarang
diharapkan dapat digantikan pada masa yang akan dating berupa hasil-hasil pertanian yang dipetik.

Pertanyaan dan latihan
1.

Buktikan bahwa tanah sebagaimana juga modal adalah merupakan satu factor produksi yang

selalu diusahakan memberikan hasil tertinggi oleh pemiliknya!

2.

Bagaimana cara UUPA mengatur perjanjian penyakapan tanah? Apakah baik buruknya
perjanjian yang tertulis dan yang tidak tertulis?

3.

Factor-faktor apa saja yang menentukan tinggi rendahnya bagian hasil yang diterima oleh
pemilik tanah dan penyakap?

4.

Apa sebab-sebab terjadinya perpecahan dan perserakan tanah? Apa usaha yang dapat dilakukan
untuk menghilangkan kerugian-kerugian yang terjadi?

5.

Apakah ada hubungan antara bentuk millik tanah dengan produksi pertanian?


6.

Persoalan ekonomi apa yang terdapat pada masalah pengairan dan konservasi tanah?

Jawaban
1.

Tanah sebagai salah satu factor produksi selalu diusahakan dapat memberikan hasil tertinggi
oleh pemiliknya. Hal ini terlihat dalam kegiatan pemeliharaan kesuburan tanah dan tinggi
rendahnya balas jasa (sewa bagi hasil) yang sesuai dengan permintaan dan penawaran tanah
pada suatu daerah. Agar tanah dapat mmeberikan hasil yang tinggi dalam pertanian, maka
pemillik akan berusaha menjaga kesuburan dan system drainase tanah tersebut. Apabila
pemillik tidak mau mnegrjakan tanahnya sendiri, maka pemilik bias menyewakan tanahnya
kepada petani penyakap yang memerlukan tanah. Dalam menyewakan tanahnya, pemilik dapat
memilih ataupun mengajukan syarat-syarat untuk bekerja sama dengan petani penyakap yang
dipilihnya. Dari hal tersebut, terlihat bahwa pemillik tanah akan mengusahakan tanahnya agar
dapat memberikan hasil produksi yang maksimal.

2.


UUPBH menganjurkan agar perjanjian penyakapan tanah diadakan secara tertulis, hal ini
dilakukan agar:
a. Ada jaminan dalam hal waktu penyakapan tanah
b. Dapat ditentukan secara jelas dan tegas kewajiban masing-masing pihak sehingga penyakap
dapat terdorong untuk mengadakan investasi.
c. Agar pembagian hasil dapat bersifat adil, dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Jika perjanjian dilakukan secara tertulis, maka kemunginan akan terjadinya perselisihan sangat
kecil. Namun hal ini cenderung terlihat seperti hubungan yang bersifat perusahaan, sehingga
sifat kekeluargaan diantara pemillik tanah dan penyakap semakin berkurang. Hal ini berdampak
pada budaya masyarakat Indonesia yang cenderung gorong royong dan kekeluargaan.

Masyarakat Indonesia biasanya lebih suka pada perjanjian nontertulis, karena mereka lebih
suka memandang hubungan penyakapan tanah ini sebagai hubungan kekeluargaan, bukan
hubungan yang bersifat perusahaan. Namun perjanjian nontertulis ini mempunyai kelemahan,
yaitu kemungkinan terjadinya perselisihan lebih besar karena sifat lupa manusia, sehingga
akibatnya terdapat pihak yang merasa dirugikan.
3.

Factor-faktor yang menentukan tinggi rendahnya bagian hasil yang diterima pemilik tanah dan

penyakap adalah:
a. Kesuburan tanah yang digarap. Jika tanah sangat subur maka pemilik biasanya menerima
bagian hasil yang lebih, dan sebaliknya jika tanah kurang subur, maka pemilik tanah
biasanya mendapat bagian yang lebih kecil dari hasil bersih. Ketentuan ini merupakan
pedoman dalam pembagian hasil tanaman palawija di sawah dan tanaman lain di tanah
kering.
b. Kepadatan penduduk di suatu daerah. Jika penduduk yang mempunyai tanah lebih kecil
dari jumlah petani penyakap, maka biasanya pemilik akan meminta bagian hasil yang lebih
besar.
c. Ada atau kebiasaan di suatu daerah. Misalnya ada kebiasaan maro hasil dalam masyarakat
yaitu bagi hasil yang sama antara pemilik tanah dan petani penyakap (50% pemilik 50%
petani penyakap)

4.

Sebab terjadinya perpecahan dan perserakan tanah adalah:
a. Adanya jual beli tanah dalam masyarakat
b. Adanya system pewarisan tanah untuk keluarga
c. Adanya hibah dalam perkawinan
d. Adanya system penyakapan tanah

Untuk menghilangkan atau meminimkan kerugian yang terjadi akibat perpecahan dan
prserakan tanah adalah dengan konsolidasi tanah-tanah yang telah mengalami perpecahan dan
perserakan. Untuk mewujudkan konsolidasi tanah, diperlukan campur tangan pemerintah baik
dalam pengaturan asministrasi maupun soal pembiayaannya. Pemerintah juga perlu memberi
keahlian lain untuk para petani untuk mempersiapkan petani pada jika konsolidasi tanah
dilaksanakan. Misalnya dengan memberikan pelatihan kerja, workshop, maupun memberikan
lapangan kerja baru. Selain itu pemerintah dapat pula melakukan konsolidasi dalam arti luas
yaitu dengan memberikan sarana atau alat-alat pertanian, pemberian bantuan pupuk, dan bibit
unggul untuk meningkatkan hasil-hasil pertanian.

5.

Ada. Misalnya petani yang kepemilikannya sebagai penyakap biasanya akan mempunyai
tingkat kemakmuran yang lebih tinggi dan lebih stabil dari pada petani pemilik tanah. Ini
dikarenakan petani penyakap akan mengusahakan hasil pertanian yang maksimal untuk

menyenangkan pemilik tanah. Pada system kepemilikan tanah kongsen (hak mengerjakan)
mempunyai hasil produksi yang lebih tinggi dari pada system tanah yasan (hak milik turun
temurun berdasarkan hokum adat). Ini dikarenakan pada system kongsen sudah terdapat factor
konservasi pada efisiensi pengusahaan tanah. Selain itu tanah ini juga tidak dapat dijual,
sehingga penggarap memiliki motivasi untuk mempertahankan kesuburan tanah agar
mendapatkan hasil pertanian yang maksimal.
6.

Pembuatan saluran irigasi memerlukan biaya yang tidak sedikit, sedangkan kebutuhan akan air
untuk pertanian kadang melebihi kemampuan saluran irigasi yang dibuat. Inilah yang
menyebabkan timbulnya masalah ekonomi pada system pengairan lahan pertanian. Agar petani
mendapatkan harga yang adil untuk air yang dinikmatinya, maka diperlukan usaha lebih, yaitu
perbaikan sungai, pengamanan terhadap bencana banjir melalui system drainase dan
pembangunan DAM, pemanfaatan rawa, dan pemanfaatan DAM dan bendungan (missal untuk
PLTA). Sedangkan pada konservasi tanah, masalah muncul ketika diperlukan hitungan biaya
pada upaya konservasi tanah itu sendiri dengan hasil pertanian yang akan diperoleh. Misalnya
biaya yang harus diperhitungkan untuk penghijauan dan proyeksi hasil pertanian yang dapat
dipetik nantinya, atau biaya yang harus dikeluarkan jika tidak dilakukan penghijuan, misal
untuk kerugian akibat erosi tanah, penurunan kesuburan tanah, atau bahkan tanah longsor.