Menimbang Nasionalisme Indonesia Dalam P

Menimbang Nasionalisme Indonesia
Dalam Perspektif Papua
http://www.papuapos.com/index.php/opini/item/1968-menimbang-nasionalisme-indonesia-dalam-perspektif-papua



Ditulis oleh Fransiskus Xaverius Magai




ukuran huruf


Cetak



Email

Jadilah yang pertama!


Oleh: Fransiskus Xaverius Magai
Mengawali tulisan ini, saya ingin menyampaikan sebuah intepretasi pribadi tentang sebuah
nesionalime, “ Nasionalisme adalah seragam yang di tenun secara alamiah, dan Nasionalisme tidak
dapat di seragamkan ,”
Nasionalisme tentunya mempunyai sejarah dan jejak, dan untuk menjawab pertanyaan itu sangatlah
penting untuk kita lihat jejak itu kembali.
Secara etimologi Nasionalisme, Natie dan Nasional, kesemuanya berasal dari bahasa Latin Natio
yang berarti bangsa yang dipersatukan karena kelahiran, dari kata Nasci yang berarti dilahirkan,
maka jika dapat dihubungkan secara objektif maka yang paling lazim dikemukakan adalah bahasa,
ras, agama dan peradaban (civilization), wilayah, negara dan kewarganegaraan.
Beberapa faktor atau unsur-unsur diatas merupakan pokok nasionalisme yang objektif dan hakiki
yang amat kuat membentuk nasionalisme suatu bangsa. Menjadi pertanyaan kita bersama,” apakah
Papua terkait dan dapat di kaitkan degan unsur-unsur diatas ? Tidak ada satupun jawaban yang
pasti., “ Mengapa bangunan nasionalisme Indonesia di Papua tampak begitu rapuh ?, pertanyaan ini
mempunyai relevansi dengan pernyataan Barbara Goodwin, seorang profesor politik asal Inggris,
bahwa ada empat faktor di balik incoherence (tidak adanya pertalian) dari tegaknya nasionalisme.
Pertama, multiple and conflicting bases for” national identity”. Apa basis nasionalisme atau identitas
nasional suatu bangsa ? Apakah terbangun atas kesamaan bahasa, etnis, agama, merasa satu
rumpun melayu, atau lainnya? Tidak ada satupun jawaban yang persis sama dengan pertanyaan

diatas. Hingga saat ini, basis nasonalisme yang selalu diangkat kepermukaan oleh indonesia lebih
soal semangat anti-kolonialisme dan semangat kemerdekaan, namun benarkah mayoritas
masyarakat papua memiliki perasaan yang sama seperti itu ? tentu tidak.

Papua merupakan sebuah bangsa yang mempunyai basis dan sejarahnya sendiri. Etnik bangsa
papua telah hidup secara kolektif dalam sebuah basis sebagai satu kesatuan individu yang memiliki
rasa saling memiliki atas dasar ikatan budaya, ras, agama, bahasa, suku dan adat istiadat dan nenek
moyang yang sama, hal-hal diatas telah mempengaruhi sikap berpikir dan kesadaran akan perasaan
persaudaraan hingga membentuk suatu idiologi bersama.
Idiologi tersebut telah tertanam dalam sanubari rakyat papua secara turun-temurun, para nasionalis
Papua dan rakyat papua beranggapan bahwa mereka memiliki ciri-ciri tertentu yang berbeda dengan
suku bangsa lain di indonesia.
Semuanya itu telah mendorong rakyat papua untuk membentuk sebuah negara sendiri dan
perjuangan itu mengalami titik klimaksnya pada tahun 1960, ketika Belanda mengijinkan Papua
membentuk sebuah Batalyon Sukarelawan Papua (Papua Vrijwillegers Korps) di arfai manokwari,
kemudian pembentukan Dewan Rakyat Nieuw Guinea (Nieuw Guinea Raad) serta pembentukan 10
Dewan Daerah (Streek Raad) yang kemudian menghasilkan “ Bintang Kejora” Bendera Nasional
Papua, Lagu Kebangsaan “ Hai Tanahku Papua”, serta Negara (The State) “ West Papua” Serta
Lambang Negara yakni” Burung Mambruk”. Kemudian bendera nasional Papua Barat dikibarkan
bersama dengan bendera Belanda, lagu kebangsaan juga dinyanyikan pada saat itu.

Kedua adalah a license for fragmentation. Fragmentasi atau konflik yang terjadi sejauh ini tidak
mengenal batas waktu. Konflik dan aksi-aksi yang berbau disintegrasi bangsa selalu saja terjadi di
papua, hal itu disebabkan oleh keyakinan mayoritas rakyat Papua bahwa papua barat telah merdeka
dan telah menjadi sebuah bangsa yang berdaulat, namun kemudian kemerdekaan itu telah di rampas
oleh bangsa indonesia melalui TRIKORA dan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) “ Act of Free
Choice” dengan jumlah anggota 1.025 orang dari jumlah penduduk waktu itu sebanyak 809.337
orang, PEPERA bagi rakyat papua di anggap cacat hukum dan bersifat manipulatif karena tidak
sesuai dengan isi perjanjian New York Agreement yakni One Man One Vote (Satu Orang Satu Suara).
Persoalan diatas merupakan pemicuh utama sering terjadinya rangkaian konflik dan perlawanan yang
tidak mengenal batas waktu dan telah berkembang dari masa ke masa hingga pada saat ini, hal itu
sebagai wujud perlawanan terhadap indonesia oleh kaum nasionalis Papua, seperti Organisasi
Papua Merdeka (OPM), mahasiswa, organisasi-organisasi prokemerdekaan Papua barat dan bahkan
telah meluas ke masyarakat umum dan dunia Internasional.
Ketiga adalah the problem of multiple loyalties. Tingkat loyalitas masyarakat papua terhadap
indonesia sangat rendah, hanya para pejabat dan orang-orang tertentu yang merasakan dampak
keuntungan dari keberadaan indonesia di papua yang masih mempertahankan sikap loyalnya.
Mayoritas masyarakat asli papua masih tetap loyal akan nasionalisme terhadap papua barat dan
terus dengan giatnya memperjuangkan kemerdekaan papua barat dalam berbagai bentuk.
Keempat adalah circularity. Pemikiran masyarakat papua terus mengami perkembangan. Sejak
zaman orde lama hingga zaman orde baru sampai reformasi bergulir, pendidikan politik kepapuaan

dan pembedahan sejarah papua kian marak di risetkan, hal itu telah membuka pikiran masyarakat

papua akan fakta sejarah kemerdekaannya yang di anggap telah di manipulasi oleh indonesia dan
semua kejahatan indonesia dengan pendekatan militerismenya terhadap masyarakat papua seperti
pembunuhan, intimidasi, teror, pemerkosaan, stigmatisasi, diskriminasi,dan pengeksploitasian hasil
alam papua secara besar-besaran demi kepentingan ekonomi indonesia.
Masyarakat Papua telah mempertanyakan kembali untung-ruginya jika tetap menjadi bagian dari
indonesia. Pada titik ini kita dapat menyadari bahwa sirkularitas terus berubah dan perkembangan
nasionalisme indonesia di papua bergantung pada situasi dan kondisi setiap masyarakat papua,
tentang apa yang mereka rasakan selama berada dalam kerangka indonesia, tentang perilakuan
indonesia terhadap mereka. Apalagi nasionalisme dengan istilah final dan di tentukan oleh sebuah
paksaan atau rekayasa.
Akhirnya kita harus bisa berani melihat persoalan “ Nasionalisme indonesia di papua” dan “
Keutuhan” wilayah indonesia dengan kacamata yang lebih bijak, sebelum bom waktu itu benar-benar
meledak. Barangkali kalimat dibawah ini dapat lebih memberi penceraan pada kita semua.
“Nasionalisme adalah seragam yang di tenun secara alamiah, dan Nasionalisme tidak dapat di
seragamkan,”.***