MERANCANG BUDAYA ORGANISASI SEKOLAH. docx

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA

MERANCANG BUDAYA ORGANISASI SEKOLAH
ARIS PRIMASATYA ZEBUA*
*Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia
arisprimasatya@gmail.com
Abstraksi
Budaya adalah norma sosial, cara berperilaku, tingkah laku, kepercayaan, simbolsimbol, warisan yang dipegang dan dilakukan oleh mayoritas orang dalam suatu
masyarakat. Budaya organisasi adalah sebuah usaha untuk mendapatkan perasaan,
kesan, atmosfir, karakter, atau gambaran sebuah organisasi. Adapun fungsi utama
budaya adalah sebagai peran batas-pendefinisian; budaya menciptakan perbedaan
di antara sekian banyak organisasi. Organisasi pendidikan atau sekolah juga
memilik budaya tersendiri. Bagaimana merancang budaya organisasi pendidikan?
Sebagaimana organisasi lainnya, langkah pertama, adalah mengembangkan
tuntutan sejarah sambil belajar dari “pahlawan”. Kedua, meningkatkan kreativitas
dan pemahaman akan keutuhan. Ketiga, promosi dan pemahaman tentang
anggota. Dan terakhir, tingkat pertukaran informasi di antara anggota. Keempat
metode ini bila dianalisis dan disatukan kembali, maka akan menciptakan budaya
organisasi pendidikan yang baru.
Kata kunci: budaya, budaya organisasi, pendidikan, sekolah


PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
“Pendidikan adalah senjata paling mematikan di dunia, karena dengan itu
Anda dapat mengubah dunia.” Kalimat tersebut diucapkan oleh seorang tokoh
dunia yaitu Nelson Mandela. Pendidikan memegang peranan penting dalam
perkembangan sebuah bangsa. Di Indonesia, pendidikan mendapat perhatian yang
besar dari pemerintah dengan mengalokasikan 20 persen dari anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk kepentingan pendidikan.
Manusia mendapatkan pendidikan pertama kali dalam keluarga. Manusia
mendapatkan nilai-nilai kehidupan berawal dari lingkungan keluarga. Kemudian
seiring berjalannya waktu manusia pun bertumbuh dan bersosialisasi dengan
masyarakat atau lingkungan sekitar. Manusia dipengaruhi juga oleh lingkungan
tempat tinggalnya. Nilai-nilai yang ada dalam masyarakat bisa memengaruhi

seseorang. Tidak hanya sampai di situ, ada juga yang disebut sebagai pendidikan
formal yaitu sekolah. Sekolah adalah tempat seorang pribadi mendapatkan
pendidikan dan pengajaran. Sekolah adalah lembaga jasa yang berkomitmen pada
dunia belajar-mengajar (Hoy dan Miskel, 2014).
Sekolah merupakan sarana yang secara sengaja dirancang untuk

menjalankan pendidikan. Semakin maju suatu masyarakat, semakin penting
peranan sekolah dalam mempersiapkan generasi muda sebelum masuk dalam
proses pembangunan masyarakat itu. Peran masyarakat dalam pendidikan
memang sangat berkaitan dengan perubahan cara pandang masyarakat terhadap
pendidikan. Hal ini tentu saja bukan hal yang mudah untuk dilakukan.
Sekolah adalah lembaga pembelajaran; tempat para partisipan (peserta
didik) terus menerus mengembangkan kapasitas mereka dalam mencipta dan
meraih, tempat mendorong kemunculan pola-pola pemikiran baru, tempat
penumbuhan aspirasi kolektif, tempat partisipan mempelajari cara belajar
bersama,

dan tempat organisasi memperluas kapasitasnya akan inovasi dan

pemecahan masalah (Senge, 1990; Watkins dan Marsick, 1993; dalam Hoy dan
Miskel, 2014).
Sebagai sebuah lembaga-pembelajaran sekolah tidak hanya terdiri dari
peserta didik. Di sekolah ada kepala sekolah, tenaga pendidik (guru), tenaga
kependidikan, dan juga lingkungan, gedung, dan fasilitas. Artinya sekolah
merupakan sebuah organisasi. Sebagai sebuah organisasi, sekolah memiliki tujuan
bersama, nilai, simbol, seremoni; budaya organisasi. Agar tercipta sekolah yang

efektif, maka penting sekali untuk membangun/merancang suatu budaya
organisasi pendidikan (budaya sekolah) yang baru dan terbuka; sebuah budaya
yang membawa karakter tersendiri bagi masyarakat sekolah dalam menjalankan
fungsi kemanusiaannya dalam keluarga, masyarakat, serta bangsa dan negara.
B. Tujuan dan Mafaat
Makalah ini membahas bagaimana merancang budaya organisasi baru
pendidikan. Agar pembahasan lebih lengkap dan menyeluruh, maka makalah ini
dimulai dari pengertian budaya, budaya organisasi dengan didukung oleh teoriteori yang sudah berkembang; kemudian akan membahas rancangan budaya

2

organisasi pendidikan. Rancangan organisasi pendidikan ini tidak terbatas pada
tingkatan tertentu, misalnya sekolah dasar saja, tetapi dapat pula diterapkan di
tingkat pendidikan menengah.
Bila sekolah diharapkan lebih efektif dalam menjalankan pendidikan,
maka sekolah harus menumbuhkan budaya organisasi yang baik dan terbuka.
Karena itu, penulis berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi para pendidik, para
pemimpin sekolah dan masyarakat dalam menciptakan budaya sekolah yang baik
dan terbuka. Sehingga pendidikan kita bisa lebih berkembang dan lebih siap
dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di sekitar kita.


PEMBAHASAN
A. Pengertian Budaya
Taylor E. B. (1920) mendefinisikan budaya sebagai “sesuatu yang
kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, moral, kemampuan, dan kebiasaan
yang dilakukan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.” Budaya memastikan
norma-norma berperilaku dan juga memberikan mekanisme yang membantu
individu dalam kelangsungan hidup pribadi dan sosialnya. Herskovitz (1948)
lebih lanjut menunjukkan bahwa budaya adalah bagian dari lingkungan buatan
manusia. Hal ini mencerminkan cara hidup orang, tradisi mereka, warisan, dan
desain untuk hidup.
Cummings dan Worley (2009) mendefinisikan budaya sebagai pola
artefak, norma, nilai-nilai, dan asumsi dasar tentang bagaimana memecahkan
masalah yang bekerja cukup baik untuk diajarkan kepada orang lain. Budaya
adalah suatu proses pembelajaran sosial; itu adalah hasil dari pilihan sebelumnya
tentang dan pengalaman dengan strategi dan desain organisasi. Ini juga
merupakan dasar untuk perubahan yang baik dapat memfasilitasi atau
menghambat transformasi organisasi.
Beberapa definisi budaya lainnya menurut para ahli, antara lain:



Budaya merupakan sekumpulan pengalaman hidup yang ada dalam
masyarakat sendiri. Pengalaman hidup masyarakat tentu saja sangatlah banyak

3

dan variatif, termasuk di dalamnya bagaimana perilaku dan keyakinan atau
kepercayaan masyarakat itu sendiri (Lehman, Himstreet dan Baty).


Budaya diartikan sebagai pemrograman kolektif atas pikiran yang
membedakan anggota-anggota suatu kategori orang dari kategori lainnya.
Dalam hal ini yang menjadi kata kunci budaya adalah pemrograman kolektif
yang menggambarkan suatu proses yang mengikat setiap orang segera setelah
kita lahir di dunia ini (Hofstede).



Budaya adalah sistem sharing atas simbol-simbol, kepercayaan, sikap, nilainilai, harapan, dan norma-norma untuk berperilaku. Dalam hal ini, semua
anggota dalam budaya memiliki asumsi-asumsi tersebut (Bovee dan Thill).

Secara umum penulis mendefinisikan budaya adalah norma sosial, cara

berperilaku, tingkah laku, kepercayaan, simbol-simbol, warisan yang dipegang
dan dilakukan oleh mayoritas orang dalam suatu masyarakat.
B. Budaya Organisasi
Budaya organisasi adalah sebuah usaha untuk mendapatkan perasaan,
kesan, atmosfir, karakter, atau gambaran sebuah organisasi (Hoy dan Miskel,
2005). Beberapa pengertian budaya organisasi menurut para ahli yang dicatat oleh
Hoy dan Miskel (2005), antara lain:


Willian Ouchi (1981) mendefinisikan budaya organisasi sebagai “simbolsimbol, seremoni, dan mitos yang mengomunikasikan nilai dasar dan
kepercayaan organisasi kepada karyawannya.”



Henry Mintzberg (1989) menyamakan budaya sebagai ideologi organisasi,
atau “tradisi dan kepercayaan sebuah organisasi yang membedakannya dengan
organisasi lain dan menanamkan kehidupan pasti ke dalam kerangka
strukturnya.”




Stephen Robbins (1998) mendefinisikan budaya organisasi sebagai “sebuah
sistem makna milik bersama yang dipegang oleh anggota yang membedakan
organisasinya dengan organisasi lain.”



Namun, Edgar Schein (1992, 1999), berargumen bahwa budaya harus
dipertahankan untuk “tingkat paling dalam dari asumsi dasar, nilai, dan

4

kepercayaan” yang menjadi milik bersama dan menjamin organisasi berlanjut
dengan sukses.
Budaya organisasi mencakup empat elemen utama yang ada pada berbagai
tingkat kesadaran (Cummings dan Worley, 2009):
1. Artefak. Artefak adalah tingkat tertinggi manifestasi budaya. Mereka adalah
simbol terlihat dari tingkat yang lebih dalam budaya, seperti norma, nilai-nilai,

dan asumsi dasar. Artefak termasuk perilaku anggota, pakaian, dan bahasa;
dan struktur, sistem, prosedur, dan aspek fisik, seperti dekorasi, pengaturan
ruang, dan tingkat kebisingan organisasi.
2. Norma. Tepat di bawah permukaan kesadaran budaya adalah norma yang
membimbing bagaimana anggota harus berperilaku dalam situasi tertentu. Ini
merupakan aturan tidak tertulis perilaku. Norma-norma umum yang
disimpulkan dari mengamati bagaimana anggota berperilaku dan berinteraksi
satu sama lain.
3. Nilai. Tingkat yang lebih dalam dari kesadaran budaya meliputi nilai-nilai
yaitu tentang “apa yang seharusnya” dalam organisasi. Nilai memberitahu
anggota apa yang penting dalam organisasi dan apa yang layak untuk
mendapatkan perhatian mereka.
4. Asumsi dasar. Pada tingkat terdalam dari kesadaran budaya adalah asumsi
yang diambil-untuk-diberikan tentang bagaimana masalah organisasi harus
diselesaikan. Asumsi dasar memberitahu anggota bagaimana memahami,
berpikir, dan merasa tentang hal. Mereka asumsi nonconfrontable dan
nondebatable tentang yang berkaitan dengan lingkungan dan tentang sifat
manusia, aktivitas manusia, dan hubungan manusia.
C. Fungsi Budaya Organisasi
Budaya menjalankan sejumlah fungsi dalam sebuah organisasi. Fungsi

utama adalah peran batas-pendefinisian (boundary-defining role), karena
menciptakan perbedaan antara satu organisasi dengan organisasi lain. Budaya juga
memberikan identitas bagi anggota organisasi. Selanjutnya, budaya memfasilitasi
komitmen karyawan dan meningkatkan stabilitas sistem sosial untuk orang-orang
yang terkait (Nigam dan Mishra, 2015). Dari literatur di atas disimpulkan bahwa

5

budaya merupakan perekat sosial yang membantu memegang organisasi bersamasama dengan menyediakan standar yang sesuai untuk apa karyawan harus katakan
dan lakukan dan juga berfungsi sebagai mekanisme kontrol yang memandu dan
membentuk perubahan sikap dan perilaku dalam karyawan.
MERANCANG BUDAYA ORGANISASI BARU PENDIDIKAN
Menurut Cross dan Schichman yang dikutip dari Manahan (2012),
menuliskan bahwa untuk mengembangkan suatu budaya organisasi, kita harus
dapat mengondisikan budaya tersebut ibarat sebuah rumah tempat tinggal
(HOME). Gambar berikut ini adalah skema pengembangan budaya organisasi
Cross dan Schichman.

Gambar: Mengembangkan Suatu Budaya Organisasi
Penulis akan melakukan analisis dan solusi merancang suatu budaya

organisasi pendidikan berdasarkan skema tersebut. Ada empat metode yang
digunakan yang terdiri dari variabel-variabel. Bila semua variabel tersebut
disatukan, maka akan membentuk suatu budaya organisasi.
1. Pengembangan Budaya Sesuai Tuntutan Sejarah

6

Sebagaimana dikemukakan oleh Cross dan Schichman dalam Manahan
(2012), pengembangan budaya sesuai tuntutan sejarah ialah membentuk
kondisi organisasi yang dapat mengidentifikasi tuntutan berdasarkan
komitmen sejarah dari orang-orang terdahulu yang dianggap sebagai
“pahlawan”. Penulis berasumsi bahwa jika sebuah organisasi – seperti sekolah
– belum memiliki budaya yang kuat, maka merancang budaya sekolah juga
harus diawali dengan mengidentifikasi tuntutan sejarah. Jadi, masih sejalan
dengan pengembangan budaya oleh Cross dan Schichman.
Langkah pertama adalah mengidentifikasikan tuntutan komitmen
sejarah dari orang-orang terdahulu yang disebut sebagai “pahlawan”. Ide
konsep

dari


pahlawan

tersebut

terbentuk

berdasarkan

pengetahuan,

pengalaman, dan kerumitan permasalahan yang menurut mereka harus diatasi
dan akan dihadapi (Manahan, 2012). Pertanyaan yang muncul adalah siapakah
“pahlawan” di sekolah? Terrance Deal (1985), dalam Hoy dan Miskel (2014),
mengemukakan bahwa kepala sekolah sebagai pahlawan yang mewujudkan
nilai-nilai utama. Sementara, karyawan sebagai pahlawan situasional. Dalam
lingkup sekolah swasta, selain kepala sekolah, koordinator yayasan bisa
disebut sebagai “pahlawan”.
Sebagai contoh, ketika guru-guru menghadapi permasalahan dengan
orang tua siswa, kepala sekolah harus membela guru-gurunya bahkan ketika
tekanan dari orang tua semakin kuat. Pembelaan kepala sekolah terhadap
guru-gurunya bisa menjadi nilai baru, bisa pula menjadi simbol kerekatan dan
kesetiaan di lingkungan sekolah. Kisah pembelaan ini akan terus menerus
diceritakan kepada guru baru nantinya. Dengan kata lain, ada transfer nilai dan
simbol. Inilah budaya organisasi baru.
Contoh lain, ketika terjadi konflik ide/gagasan antar guru atau konflik
dengan kepala sekolah sendiri. Pemecahan konflik harus dimusyawarahkan
bersama dengan memilih gaya pemecahan yang tepat, kolaborasi misalnya;
bukannya

baku-hantam

karena

perbedaan

pendapat.

Kebiasaan

bermusyawarah menjadi budaya baru bagi sekolah dan terus-menerus
dipertahankan.

7

Cita-cita dan harapan pendidikan masa depan bisa juga dijadikan
sebuah budaya. Misalnya dalam menghadapi globalisasi, hilangnya batas antar
bangsa, maka penting sekali menguasai Bahasa Inggris dan bahasa asing
lainnya. Sekolah wajib menyediakan kegiatan belajar tambahan tentang
penguasaan bahasa asing untuk memfasilitasi peserta didik menguasai bahasa
asing. Budaya belajar bahasa asing menjadi budaya sekolah dengan tetap
mempertahankan bahasa lokal dan bahasa nasional. Artinya, sekolah tersebut
menyiapkan peserta didiknya untuk menghadapi tantangan globalisasi.
2. Kreativitas dan Pemahaman Keutuhan
Terdapat dua variabel dalam kreativitas dan pemahaman keutuhan ini.
Pertama, kepemimpinan dan aturan. Kedua, norma dan nilai komunikasi.
Para pemimpin itu penting karena mereka berfungsi sebagai jangkar,
memberikan bimbingan pada masa-masa perubahan, dan bertanggung jawab
atas efektivitas organisasi (Hoy dan Miskel, 2014). Di sekolah, peran
pemimpin dipegang oleh kepala sekolah. Kepala sekolah harus mampu menata
aktivitas dan menjalin hubungan di lingkungan sekolah. Aktivitas kepala
sekolah

sangat

padat;

memberdayakan,

mengarahkan,

mengawasi,

mengevaluasi kinerja guru, berkomunikasi dengan berbagai elemen – baik
internal maupun eksternal, dan berbagai aktivitas lainnya.
Sebagai contoh, sebelum memulai kegiatan pembelajaran di pagi hari,
setiap pagi, kepala sekolah mengumpulkan guru-guru untuk memberikan
arahan, motivasi, atau informasi-informasi baru. Untuk melaksanakan ini
dibuat aturan, “guru harus tiba di sekolah 30 menit sebelum proses belajarmengajar dimulai”. Kepala sekolah membuat seperangkat aturan atau norma,
dan dengan menggunakan pengaruhnya, guru diwajibkan menyimak,
menerima, dan mematuhi. Inilah budaya sekolah yang menjadi ciri pembeda
dengan sekolah lain.
Komunikasi bersifat kompleks, halus, menjamur, dan penting;
komunikasi mewarnai semua aspek kehidupan sekolah (Hoy dan Miskel,
2014). Oleh karena itu, harus ada model peraturan yang menjadi norma dan
nilai dalam berkomunikasi di sekolah. Contoh norma dan nilai komunikasi di

8

lingkungan sekolah, 1) saling menghormati satu sama lain ketika berbicara; 2)
mengucapkan salam dan berjabatan tangan saat bertemu di pagi hari; 3)
informasi dari bawahan harus disampaikan secara transparan/terbuka kepada
atasan; 4) kepala sekolah harus memberikan arahan, informasi, atau motivasi
yang jelas sehingga dipahami oleh semua warga sekolah; 5) guru harus
mampu berkomunikasi (baik secara formal atau informal) kepada peserta
didik. Norma dan nilai-nilai ini terus dipertahankan dan kalau bisa
dikembangkan terus.
3. Promosi dan Pemahaman tentang Anggota
Promosi

dan

pemahaman

tentang

anggota

meliputi:

sistem

penghargaan, manajemen karier dan keamanan kerja, rekrutmen dan
penempatan, sosialisasi anggota baru, pelatihan dan pengembangan. Promosi
dan pengembangan karier merupakan hal penting bagi setiap karyawan
termasuk guru-guru di sekolah. Guru pegawai negeri mungkin tidak
memerlukan ini karena kenaikan pangkat dan golongan sudah diatur oleh
pemerintah. Namun, bagaimana dengan guru honor, guru tidak tetap, atau guru
tetap yayasan yang berstatus guru swasta?
Kelemahan dalam perekrutan dan penempatan guru yang umum terjadi
di sekolah-sekolah adalah merekrut dan menempatkan guru tidak pada bidang
keahliannya. Penempatan sering mengabaikan sisi profesionalisme guru. Oleh
karena itu, perlu merancang budaya baru. Perekrutan dilakukan dengan
terencana, terprogram dan akurat. Sesuai dengan kekosongan yang terjadi.
Misalnya bila kebutuhannya guru Matematika, maka sekolah wajib merekrut
calon guru Matematika. Bila ada pelamar lain selain yang memiliki bidang di
Matematika, tidak perlu diterima. Memang akan ada kendala bila calon guru
yang diharapkan terbatas. Namun, bila dilakukan dengan serius, terprogram
dan akurat, maka perekrutan berjalan dengan baik.
Penyelenggara sekolah atau pemimpin sekolah perlu memikirkan
sistem penghargaan bagi karyawan. Dalam hierarki kebutuhan Maslow,
kebutuhan tertinggi manusia adalah aktualisasi diri (Robbins, 2014). Dengan
demikian, penting sekali untuk merancang sistem penghargaan bagi guru-guru

9

yang berdedikasi tinggi. Sebagai contoh, pada saat melaksanakan upacara
bendara

atau

peringatan

hari

pendidikan

nasional,

kepala

sekolah

mengumumkan di depan warga sekolah siapa saja tenaga pendidik dan
kependidikan yang berprestasi. Ini bisa menjadi budaya baru (ritual) bagi
sekolah yang jauh lebih bermakna daripada pemberian bonus lain. Sistem
penghargaan ini memberi pengakuan terhadap kinerja individu dan disaksikan
oleh seluruh warga sekolah (aktualisasi diri). Budaya yang baik ini harusnya
diciptakan dan terus dipertahankan.
Bagian lain yang penting adalah manajemen karier. Ada guru yang
mengajar di suatu sekolah selama lebih dari 10 tahun, namun tetap menjadi
guru biasa; tidak ada peningkatan karier – misalnya dipromosikan sebagai
wakil

kepala

sekolah,

dipromosikan

sebagai

kepala

sekolah,

atau

dipromosikan untuk memegang jabatan strategis tertentu. Budaya ini perlu
diperbaharui. Dalam dunia belajar-mengajar ada istilah guru senior atau guru
junior, dan selalu begitu selamanya. Bagaimana merancang budaya baru
dalam bagian ini? Penulis menawarkan beberapa hal, antara lain: 1) pemimpin
sekolah membuat sebuah kebijakan tentang promosi jabatan – siapa yang
layak dinaikkan jabatannya; 2) pemimpin sekolah memberikan penawaran
beasiswa studi lanjut kepada guru-guru yang sudah lama mengajar dan telah
menunjukkan dedikasi tinggi; 3) mengikut-sertakan guru-guru dalam program
sertifikasi guru; 4) melaksanakan pelatihan dan pengembangan secara berkala
dan berkesinambungan (misalnya: pelatihan bahasa Inggris, pelatihan
penanganan siswa berkebutuhan khusus, seminar-seminar, dan lain-lain).
Bagian terakhir dari promosi dan pemahaman tentang anggota adalah
sosialisasi anggota baru. Di suatu organisasi pasti ada anggota yang baru
bergabung. Anggota baru ini membawa tujuan-tujuan individunya sambil
berusaha menyesuaikan diri dengan budaya yang ada di sekolah. Pemimpin,
kepala sekolah, berperan dalam mengenalkan budaya sekolah kepada anggota
baru tersebut. Kepala sekolah menceritakan budaya sekolah yang berlaku;
nilai-nilai, norma, aturan, kebiasaan, ritual, dan sebagainya. Sehingga anggota
baru tersebut mengenal organisasi secara utuh. Sosialisasi anggota baru bisa
dengan mengadakan acara khusus dalam rapat guru (ritual) sebagai acara

10

penyambutan sehingga guru baru merasa diterima di lingkungan barunya dan
siap bekerja sama dengan guru lainnya.
Sosialisasi anggota baru terjadi pula di antara peserta didik yaitu ketika
penerimaan peserta didik baru. Masa orientasi peserta didik (MOPD)
merupakan kesempatan mengenalkan budaya sekolah. Kebiasaan-kebiasaan
buruk dan tidak mendidik dalam masa orientasi – seperti perloncoan,
kekerasan fisik – hendaknya ditinggalkan. Penulis menawarkan budaya baru
yang lebih mendidik, sebagai berikut: 1). MOPD dirancang untuk
mengenalkan budaya sekolah; 2). Kegiatan-kegiatan dalam MOPD dirancang
untuk menumbuhkan semangat belajar, kekerabatan, saling menghormati –
bukannya menimbulkan ketakutan/kecemasan bagi peserta didik; 3). Kepala
sekolah dan guru wajib memantau setiap aktivitas; 4). Mengadakan seminar
pengembangan diri dengan tema-tema yang sesuai bagi perkembangan peserta
didik.
4. Tingkat Pertukaran Informasi di antara Anggota
Bagian terakhir dari analisis pengembangan budaya organisasi menurut
Cross dan Schichman adalah tingkat pertukaran informasi di antara anggota.
Pertukaran dapat dimulai dengan memfasilitasi kontak antarsesama anggota
kelompok (Manahan, 2012). Selanjutnya, Manahan mengatakan bahwa proses
pertukaran tidak hanya sebatas informasi saja, tapi bisa juga dalam bentuk
fisik.
Pertukaran informasi erat kaitannya dengan komunikasi. Komunikasi
di dalam organsasi semisal sekolah memenuhi sejumlah tujuan pokok –
misalnya, produksi dan regulasi, inovasi, dan sosialisasi individual serta
pemeliharaan (Myers dan Myers, 1982 dalam Hoy dan Miskel, 2014). Tujuan
produksi dan regulasi mencakup penetapan tujuan dan standar, penyampaian
fakta dan informasi, pengambilan keputusan, pengarahan dan tindakan
memengaruhi pihak-pihak lain, dan penilaian hasil. Tujuan inovasi meliputi
pesan-pesan tentang penciptaan gagasan baru dan program, struktur, dan
prosedur yang menantang di sekolah. Tujuan terakhir meliputi sosialisasi dan
pemeliharaan memengaruhi harga diri partisipan, hubungan antra-pribadi, dan

11

motivasi untuk memadukan tujuan-tujuan individual mereka dengan tujuan
sekolah (Hoy dan Miskel, 2014).
Salah satu cara membangun pertukaran informasi adalah menciptakan
jaringan komunikasi formal di antara anggota organisasi sekolah. Menurut
Barnard dalam Hoy dan Miskel (2014) beberapa faktor yang harus
diperhatikan dalam membangun jaringan komunikasi formal di sekolah:
1. Saluran komunikasinya harus diketahui.
2. Salurannya harus menghubungkan semua anggota organisasi.
3. Jalur-jalur komunikasi harus sesingkat dan selugas-lugasnya.
4. Jaringan lengkap komunikasinya sebaiknya digunakan.
5. Setiap komunikasi harus diautentifikasi benar-benar berasal dari orang
yang tepat yang menduduki jabatannya dan di bawah otoritasnya untuk
mengeluarkan pesan yang bersangkutan.
Dalam hal pengambilan keputusan, yang menjadi pertanyaannya
adalah kapan dan bagaimana seyogianya guru dilibatkan dalam pengambilan
keputusan? Penyelenggara sekolah harus memperhatikan berbagai situasi saat
pengambilan keputusan. Penyelenggara sekolah bisa mengidentifikasi situasisituasi tersebut dengan mengajukan dua pertanyaan berikut:
a. Pertanyaan relevansi: Apakah bawahan memiliki kepentingan pribadi pada
hasil keputusan?
b. Pertanyaan kepakaran: Bisakah bawahan menyumbangkan kepakarannya
pada solusi?
Selain dua pertanyaan tersebut, ada satu tambahan, Pertanyaan
kepercayaan: bisakah bawahan dipercaya untuk mengambil keputusan demi
kepentingan terbaik organisasi?
Peran kepala sekolah adalah mengembangkan pemberdayaan guru
dalam pengambilan keputusan dan peran bertukar-pikiran. Hoy dan Miskel
(2014) mengemukakan peran kepala sekolah tersebut: pertama, para guru
harus belajar dan kemudian membuktikan bahwa kesejahteraan siswa dan
sekolah mereka lebih utama daripada agenda pribadi. Kedua, kepala sekolah
memperlihatkan ketulusan dengan para guru – percakapan yang tulus atau
lugas, keterbukaan, konsistensi, dan tidak ada rekayasa. Ketiga, ketika guru

12

tidak memiliki pengetahuan untuk berpartisipasi secara efektif, maka kepala
sekolah harus menumbuhkan kepakaran tersebut. Memang tidak semua guru
mau dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Guru-guru tersebut memilih
mengikuti keputusan penyelenggara sekolah. Namun, tetap saja kepala
sekolah perlu mencari sosok guru yang memiliki kepakaran dalam hal
pengambilan keputusan.
BUDAYA ORGANISASI PENDIDIKAN (SEKOLAH)
Hasil analisis pengembangan budaya organisasi di atas berakhir pada
terbentuknya suatu budaya sekolah yang baru. Kita mengharapkan sebuah sekolah
menjalankan pendidikan secara efektif sesuai dengan amanat pendiri bangsa yang
tercantum dalam undang-undang. Agenda pendidikan, sejatinya adalah agenda
pembangunan moral dan budaya bangsa (Komaruddin Hidayat dalam Tim PGRI,
2014). Bung Hatta secara tepat menyatakan bahwa apa yang diajarkan dalam
proses pendidikan adalah kebudayaan, sedangkan pendidikan itu sendiri adalah
proses pembudayaan (Tim PGRI, 2014).
Salah satu cara membentuk budaya bangsa yang bermartabat adalah
melalui pendidikan. Oleh karena itu, penting sekali untuk membangun budaya
sekolah yang bermartabat untuk mencapai pembentukan budaya bangsa.
Bayangkan sebuah sekolah yang dipimpin oleh seorang kepala sekolah, namun
beberapa gurunya adalah pendatang baru. Demikian juga di awal tahun ajaran,
datang peserta didik baru. Semua berkumpul dalam satu sekolah, melakukan
kegiatan bersama, menghadiri rapat bersama, bersosialisasi, guru dan peserta
didik dalam proses pembelajaran di kelas, dan tenaga kependidikan bekerja di
ruangannya masing-masing. Bagaimana memadukan semua itu? Dengan
membangun budaya sekolah.
Pemimpin

sekolah

atau

para

“pahlawan”

menceritakan

cita-cita

penyelenggara sekolah – pemerintah atau swasta – kepada semua warga sekolah
(baik yang lama maupun yang baru); menciptakan seperangkat aturan yang jelas
tentang hak dan kewajiban yang harus dipatuhi semua warga sekolah;
menciptakan kebijakan yang mampu memberdayakan guru (struktur yang

13

memberdayakan); memperhatikan kepentingan warga sekolah (sekolah yang
perhatian), dan mengoordinasikan semua kegiatan kelompok.
Mengadakan upacara penyambutan peserta didik baru, penyambutan
tenaga pendidik dan/atau kependidikan yang baru, mengapresiasi prestasi atau
pencapaian dalam upacara bendera atau upacara hari besar negara, mengadakan
promosi jabatan bagi guru yang berkinerja tinggi; semuanya merupakan budaya
(ritual) yang harus dikembangkan.
Selain itu penting juga memperhatikan kondisi lingkungan sekolah. Ciriciri fisik sekolah seperti perpustakaan, ruang belajar, kantor kepala sekolah,
kantor guru, kantin, lapangan; semuanya hendaknya di desain sesuai dengan
budaya sekolahnya. Sehingga ketika masyarakat luar memasuki sekolah tersebut,
mereka merasakan bahwa sekolah tersebut memiliki karakteristik dan budaya
yang kuat.

KESIMPULAN
Budaya organisasi adalah sebuah usaha untuk mendapatkan perasaan,
kesan, atmosfir, karakter, atau gambaran sebuah organisasi. Adapun tingaktan
budaya organisasi antara lain asumsi dasar, nilai, norma, dan artefak. Beberapa
fungsi budaya, yaitu:
1. Peran batas-pendefinisian (boundary definition role),
2. Memberikan identitas kepada organisasi,
3. Mengembangkan komitmen pada kelompok,
4. Meningkatkan stabilitas di dalam sistem social, dan
5. Sebagai perekat sosial, yang memberikan standar berperilaku.
Budaya sekolah bisa dikembangkan dengan empat metode yang
dikemukakan oleh Cross dan Schichman. Empat metode tersebut terdiri dari
beberapa variabel (bagian).
Pertama, kembangkan tuntutan sejarah. Meliputi penjelasan kerumitan
sejarah dan pembelajaran dari “pahlawan”. Kedua, kreativitas dan pemahaman
dari keutuhan. Mencakup kepemimpinan dan aturan, norma dan nilai komunikasi.
Ketiga, promosi dan pemahaman tentang anggota mencakup sistem penghargaan,

14

manajemen karier dan keamanan kerja, rekrutmen dan penempatan, sosialisasi
anggota baru, serta pelatihan dan pengembangan. Keempat, yang terakhir, tingkat
pertukaran informasi di antara anggota, meliputi kontak antar anggota, partisipasi
dalam pengambilan keputusan, koordinasi antar kelompok, serta pertukaran
anggota.
Budaya sekolah bisa berupa menceritakan cita-cita penyelenggara
pendidikan, melakukan upacara penyambutan anggota baru, mengapresiasi
prestasi. Budaya di lingkungan fisik bisa terlihat dari desain lingkungan fisik
sekolah – ruang belajar, perpustakaan, kantor, kantin, dll., – yang memberikan
kesan berkarakter dan menggambarkan budaya sekolah tersebut.

REFERENSI
Cummings and Worley. 2009. Organization Development & Change, (Dikopi dari
materi kuliah Pengembangan Organisasi & Perubahan oleh Prof. Dr.
Manahan P. Tampubolon, dalam format PDF, 17 Maret 2015).
Herskovits, M. J. 1948. Man and his Works: The Science of Cultural
Anthropology. New York: Knopf.
Hoy, W. K., dan Miskel, C. G. 2005. Educational Administration: Research,
Theory, and Practice (7th Edition). McGraw-Hill International Edition.
Hoy, W. K., dan Miskel, C. G. 2014. Administrasi Pendidikan: Teori, Riset, dan
Praktik (Versi Indonesia, Edisi ke-9). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Irsal,
Ahmad.
Memahami
Budaya
dan
Perbedaannya.
https://www.academia.edu/9930241/Memahami_Budaya_dan_Perbedaann
ya (diunduh tanggal 15 Juli 2015)
Nigam, R., dan Mishra, S. 2015. A Study on Perception of Work Culture and Its
Impact on Employee Behavior (diterjemahkan sendiri oleh penulis dari
Jurnal Internasional MSDM dan Riset, Vol. 5, 37–46).
Robbins, S. P., dan Judge, T. A. 2014. Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba
Empat.
Suriasumantri, Jujun S. 2007. Filasafat Ilmu - Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Taylor, E. B. 1920 [1871]. Primitive Culture. New York: J. P. Putnam’s Sons. Vol.
1.
Tim PGRI. 2014. Pendidikan untuk Transformasi Bangsa. Jakarta: Penerbit
Kompas.

15