MANUSIA dalam islam manusia dicip (2)

Tugas 10

MANUSIA
(oleh: Anwaril Hamidy)
Mata Kuliah Matematika Model
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Marsigit, MA.

Manusia menyadari bahwa dirinya sangat berbeda dari makhluk apa pun. Tetapi
memahami siapa sebenarnya manusia itu bukan persoalan yang mudah. Ini terbukti dari
pembahasan manusia tentang dirinya sendiri yang telah berlangsung demikian lama. Siapakah
manusia? Dari mana asalnya? Di mana kedudukan dan fungsi manusia? Lalu apa tujuan
manusia? Beberapa pertanyaan tersebut merupakan hal yang akan terus dipertanyakan
sepanjang jaman, mengingat bahwa topik manusia selalu berkembang dari masa ke masa. ).
Permasalahan tentang manusia merupakan pembahasan yang abadi dan di saat yang sama
merupakan topik yang paling penting dari sekian banyak permasalahan. Barangkali sejak
manusia diberi kemampuan berpikir secara sistematik, pertanyaan tentang siapakah dirinya itu
mulai timbul. Namun informasi secara tertulis tentang hal ini baru terlacak pada masa Para
pemikir kuno Romawi yang konon dimulai dari Thales (abad 6 SM). Sebuah pepatah kuno
mengatakan bahwa sebaik-baik memikirkan manusia adalah manusia itu sendiri (Spirkin). Hal
ini terletak pada jantung pertanyaan yang filosofis tentang tempat dan tujuan manusia di dunia,
yang kemudian diungkap dan ditransformasi dengan nama kemanusiaan, nilai yang paling

tinggi di antara semua nilai-nilai. Tujuan utama dari pengembangan sosial adalah pembentukan
kemampuan manusia dan menciptakan kondisi yang paling diinginkan oleh manusia dalam
berekspresi.
Para fisikawan mampu secara tepat memberikan penekanan terhadap kesulitankesulitan dalam penelitian menjadi beberapa bagian yang mendasar. Namun mereka
semestinya tidak perlu tersinggung ketika disampaikan bahwa penelitian hanyalah mainan anak
kecil jika dibandingkan dengan pemahaman ilmiah dari permainan yang dimainkan oleh anakanak (Spirkin). Aturan setiap permainan hanyalah sebuah penanda jalur konvensional; anakanak ‘berlari’ sepanjang jalur itu dengan tidak terduga, melanggar batas-batasnya di setiap
giliran, karena mereka memiliki kebebasan kehendak dan pilihan mereka tidak dapat ditebak.
Sehingga tidak ada yang lebih kompleks dan membingungkan di dunia ini daripada manusia.
Banyak ilmu-ilmu yang mempelajari manusia, namun masing-masing darinya hanya berangkat
dari sudut pandang tertentu. Filsafat, yang mempelajari kemanusiaan siang dan malam,

Tugas 10

menyandarkannya kepada pencapaan ilmu pengetahuan yang lainnya dan terus mencari esensi
dari pengetahuan yang mampu menyatukan manusia (Spirkin).
Dalam pemikiran filsafat kuno, manusia dianggap sebagai dunia dalam bentuk kecil
yang merupakan komposisi dari alam semesta secara umum (Spirkin). Hal ini merupakan
sebuah hasil refleksi dan simbol pemahaman bahwa alam semesta itu merupakan organisme
yang memiliki jiwa. Seorang manusia dianggap memiliki semua unsur dasar dari alam semesta
dalam dirinya sendiri. Dalam teori transmigrasi jiwa yang dikembangkan oleh filsuf India

(Spirkin), garis batas antar makhluk hidup (tumbuhan, binatang, manusia, dan dewa-dewa)
adalah gerakan. Manusia mencoba untuk membongkar belenggu keberadaan empiris tentang
hukum karma, atau yang kita kenal dengan istilah takdir. Berdasarkan kepada the Vedanta,
prinsip khusus dari manusia adalah the atman (jiwa, ruh, kepribadian), yang secara esensial
dapat diidentifikasi dengan prinsip spiritual yang universal, yaitu the Brahman. Filsuf Yunani
Kuno, Aristotle contohnya, memahami manusia sebagai makhluk sosial yang diberkahi jiwa
‘yang bernalar’.
Filsafat Yunani klasik merupakan landasan utama dari konsepsi Barat tentang sifat
alamiah sesuatu. Dalam filsafat Yunani, alam merupakan tolak ukur dalam melakukan
penilaian terhadap segala sesuatu, tidak terkecuali konsep tentang manusia. Hampir seluruh
filsuf Yunani klasik sepakat bahwa manusia yang baik adalah manusia yang hidup sesuai
dengan alam (Leo dalam Wikipedia, 2016). Dalam pembahasan terkait manusia, pendekatan
Socrates (yang lebih dikenal dengan pendekatan teleologi, 469-399 SM) merupakan
pendekatan yang paling dominan pada akhir masa klasik dan abad pertengahan. Berdasarkan
penjelasan Aristoteles, pembahasan secara filosofis tentang manusia diawali oleh Socrates,
yang mengubah arah pembahasan filsafat dari hal ketuhanan kepada hal kemanusiaan
(Aristoteles dalam Wikipedia, 2016). Diceritakan bahwa Socrates telah mengkaji pertanyaan
tentang bagaimana sebaik-baik kehidupan seorang manusia, namun beliau tidak meninggalkan
catatan-catatan dari hasil kajiannya tersebut. Namun pemikiran Socrates jelas terlihat dari
pemikiran muridnya, Plato (427-347 SM) dan Xenophon (430-354 SM), dan juga apa yang

dijelaskan oleh Aristoteles (murid Plato), bahwa Socrates adalah seorang rasionalis dan
meyakini bahwa sebaik-baik hidup dan kehidupan yang paling cocok bagi manusia adalah
kehidupan yang sesuai dengan penalaran (akal pikiran). Pendekatan ini menjelaskan manusia
dalam istilah final dan formal causa. Pemahaman tentang manusia melalui pendekatan ini
menganggap alam sebagai suatu ‘ide’ atau ‘forma’ (wadah) dari manusia (Aristoteles dalam
Wikipedia, 2016). Sehingga, alam merupakan satu-satunya penyebab manusia menjadi seperti

Tugas 10

saat ini dan hal tersebut berdiri sendiri, tidak berkaitan dengan individu manusia itu. Hal ini di
kemudian hari dipahami sebagai bentuk koneksi khusus antara manusia dengan Tuhan.
Jiwa manusia dalam pemikiran Plato dan Aristoteles memiliki pembagian yang alami,
yang terbagi dalam ranah kemanusiaan yang spesifik. Bagian yang satu merupakan bagian yang
manusiawi dan rasional, dan terbagi menjadi rasional itu sendiri dan bagian ruh yang dapat
dipahami oleh akal pikiran. Bagian yang lain dari jiwa adalah rumah bagi hawa nafsu atau
kecintaan yang memiliki kesamaan dengan yang ditemukan pada binatang. Baik Aristoteles
maupun Plato, membedakan kejiwaan (ruh/thumos) dari bentuk passion lainnya (epithumial)
(Aristoteles dalam Wikipedia, 2016). Fungsi yang sesuai dari rasional itu sendiri adalah
sebagai aturan bagi bagian jiwa yang lain, yang dibantu oleh ruh. Dari penjelasan tersebut,
menggunakan akal (berpikir) adalah sebaik-baik cara dalam hidup dan para filsuf merupakan

tipe manusia yang menempati level paling tinggi di antara yang lain. Proses mengadanya
manusia merupakan refleksi kritis terhadap manusia dan realitas sekitar. Sebagaimana
perkataan bijak yang dilontarkan oleh Socrates bahwa hidup yang tak direfleksikan tak pantas
untuk dijalanani. Refleksi tersebut menjadikan manusia dapat memahami diri sendiri, realitas
alam dan Tuhan. Manusia yang memahami tentang dirinya sendiri ma ia akan memahami
Penciptanya. Proses pemahaman diri dengan pencipta menjadikan manusia berproses menuju
kesempurnaan yang berada dalam diri manusia. Proses pemahaman diri dengan refleksi kristis
diri, agama dan realitas, hal tersebut menjadikan diri manusia menjadi insan kamil atau
manusia sempurna (Pratiwi, 2015).
Aristoteles (384-322 SM), seorang filosof besar Yunani mengemukakan bahwa
manusia adalah binatang yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara
berdasarkan akal-pikirannya. Sebagai murid Plato yang paling terkenal, telah membuat begitu
banyak pernyataan yang terkenal dan berpengaruh mengenai manusia. Dalam hasil karyanya,
terlepas dari penggunaan skema yang mirip dengan pembagian jiwa manusia, Aristoteles
memberikan pernyataan yang jelas tentang manusia sebagai makhluk.


Man is a conjugal animal, manusia adalah binatang yang berpasang-pasangan. Maksudnya
adalah manusia merupakan makhluk yang lahir untuk hidup berpasang-pasangan ketika
mereka dewasa, kemudian mereka membangun rumah tangga (oikos) dan dalam banyak

kasus yang berhasil, membentuk klan atau desa kecil yang masih menganut sistem



patriarkal (Aristoteles dalam Wikipedia, 2016).
Man is a political animal, manusia adalah binatang berpolitik. Maksudnya adalah manusia
merupakan makhluk dengan kecenderungan bawaan untuk meningkatkan masyarakat
menjadi lebih kompleks yang seukuran dengan kota, dengan pembagian kerja berupa

Tugas 10

buruh dan pembuat kebijakan atau aturan. Tipe dari masyarakat ini berbeda dengan
keluarga besar sebagaimana yang telah dijelaskan pada poin pertama, dan lebih
memerlukan penggunaan akal/nalar manusia (Aristoteles dalam Wikipedia, 2016).
Manusia membangun masyarakat di atas famili-famili menjadi pengelompokkan yang
impersonal dari pada kampung dan negara. Manusia berpolitik karena ia mempunyai
bahasa yang memungkinkan ia berkomunikasi dengan yang lain. Dan didalam masyarakat
manusia mengenal adanya keadilan dan tata tertib yang harus dipatuhi. Ini berbeda dengan



binatang yang tidak pernah berusaha memikirkan suatu cita keadilan (Pratiwi, 2015).
Man is a mimetic animal, manusia adalah binatang yang meniru. Maksudnya adalah
manusia suka menggunakan imajinasi mereka (dan tidak hanya untuk membuat aturan dan
menjalankan pemerintahan). Manusia menikmati saat melihat kemiripan yang sangat
persis terhadap sesuatu yang mereka tidak suka untuk melihatnya, seperti sesuatu yang
cabul, dalam beberapa hal, dan mayat. Dan alasan kenapa mereka menyukainya adalah
sebagaimana yang kita saksikan, kita belajar dan menyimpulkannya masing-masing.
Sehingga begini dan begitu (Aristoteles dalam Wikipedia, 2016).

Aristotle (Wikipedia, 2016) juga mendeskripsikan manusia sebagai "hewan komunal" (ζωον
πο τ ον), yaitu menekankan pembangunan masyarakat sebagai pusat pembawaan alam
manusia, dan "hewan dengan sapien" (ζωον ογον εχων, dasar rasionil hewan), istilah yang
juga menginspirasikan taksonomi spesies, Homo sapiens. Bagi Aristoteles, akal atau nalar
bukan hanya sesuatu yang paling spesial dari manusia dibandingkan makhluk yang lain. Tetapi
akal juga merupakan penghargaan terhadap apa yang terbaik yang telah manusia lakukan.
Penjelasan Aristoteles tentang manusia ini masih bisa dirasakan pengaruhnya hingga saat ini.
Akan tetapi, ide-ide teleologi bahwa manusia itu ‘berarti’ dan memiliki kehendak untuk
menjadi sesuatu menjadi kurang populer zaman modern (Aristoteles dalam Wikipedia, 2016).
Bagi Socrates, manusia dan segala sifat alamiahnya merupakan konsep yang metafisik.
Lalu Aristoteles mengembangkan standar penjelasan dari pendekatan ini dengan teorinya

tentang ‘empat causa/alasan`. Segala sesuatu yang hidup dapat dibuktikan dengan empat aspek
atau causa: materi, bentuk, efek/akibat dari apa, dan bagian akhir atau ujungnya. Contohnya,
pohon ek yang terbuat dari sel tumbuhan (materi), tumbuh dari sebuah benih (akibat dari),
mengalami proses alamiah sebagaimana pohon ek (bentuk), dan tumbuh hingga menjadi pohon
yang dewasa (akhir). Manusia merupakan contoh dari forma causa, sebagaimana yang
dijelaskan oleh Aristoteles. Demikian pula, untuk menjadi benar-benar manusial aktual
sepenuhnya (termasuk aktual sepenuhnya dalam pikiran) adalah ujung atau akhirannya.
Aristoteles (Nicomachean Ethics, Book X, Wikipedia, 2016) mengesankan bahwa kecerdasan

Tugas 10

manusia (νούς) merupakan ‘bagian terkecil yang sangat penting’ dan bagian paling
berpengaruh signifikan terhadap psikis manusia, dan sebaiknya selalu diasah melebihi segala
hal. Penguatan kemampuan belajar dan penumbuhan cara berpikir filosofis merupakan bentuk
kehidupan yang paling membahagiakan dan paling kecil dari rasa sakit.
Di dalam diri manusia terdapat 6 rasa menjadi satu, yakni : intelek, agama, sosial, seni,
dan harga diri / sifat keakuan. Phytagoras (495 SM) & Diasgenes (412-323 SM) berpendapat
bahwa ruh merupakan satu unsur halus yang dapat meninggalkan badan. Jika pergi dari badan,
ruh kembali ke alam yang tinggi, meluncur ke angkasa luar dan tidak mati. Meskipun
setingginya ilmu manusia tidak akan pernah dapat melebihi Tuhan (Wikipedia, 2016). Sekolah

Socrates (pemikiran Socrates) tersebut memberikan pengaruh yang dominan dan bertahan lama
terhadap pembahasan filosofis tentang manusia pada abad pertengahan, baik di kalangan filsuf
Islam, Kristen, maupun Yahudi. Ahli filsafat Yahudi, Protagoras (485-415) (Wikipedia, 2016)
telah membuat pernyataan terkenal bahwa "Manusia adalah ukuran dari segalanya; apa yang
benar, benarlah itu; apa yang tidak, tidaklah itu" .

Akan tetapi, eksistensi dari sifat manusia yang tidak berubah-ubah menjadi hal yang
diperdebatkan dalam perjalanan sejarah, dan berlanjut hingga masa modern. Dalam rangka
melawan ide yang permanen tentang manusia, bahwa manusia merupakan makhluk yang lemah
(relatif tidak memiliki daya terhadap alam), hal tersebut dibantah pada beberapa abad
(Wikipedia, 2016). Pertama kali dicetuskan oleh para modernis pendahulu seperti Thomas
Hobbes dan Jean-Jacques Rousseau. Dalam buku Rousseau yang berjudul Emile, or On
Education, beliau menulis: "We do not know what our nature permits us to be ." Kita tidak

mengetahui sifat alami dari kita yang mana, yang membentuk kita. Sejak awal abad ke-19,
pemikir

seperti

Hegel, Marx, Kierkegaard, Nietzsche, Sartre, kaum


structuralists,

dan postmodernists dalam beberapa kesempatan juga membantah tentang fiksasi dan bawaan
lahir manusia.
Salah satu penanda berakhirnya masa abad Pertengahan adalah runtuhnya dominansi
dari pemikiran filsafat Aristoteles, yang kemudian diganti dengan pendekatan yang baru dalam
mempelajari tentang alam, tak terkecuali manusia (Wikipedia, 2016). Pada pendekatan yang
baru ini, segala upaya untuk menduga tentang bentuk (forma) dan final causa ditolak karena
dianggap sebagai spekulasi yang tidak berguna. Begitu pula, istilah hukum alam hari ini yang
lebih diterapkan kepada pola alam yang bersifat reguler dan dapat diprediksi, tidak dalam
pemahaman sebagai sebuah hukum yang dibuat oleh Tuhan yang Membuat Hukum. Dan pada
saat yang sama, sifat alamiah manusia tidak lagi menjadi penyebab khusus yang metafisik,
melainkan disederhanakan sebagai kecenderungan yang khas dari manusia.

Tugas 10

Meskipun pemikiran realisme di atas telah diterapkan dalam setiap pembahasan tentang
kehidupan manusia sejak pertama kali (contohnya adalah hasil karya Machiavelli), namun
argumentasi yang benar-benar definitif menolak pemikiran Aristoteles lebih terasosiasi kepada

sosok Francis Bacon (1561-1626) (Wikipedia, 2016). Bacon terkadang menulis seolah-olah ia
menerima empat causa tradisional milik Aristoteles ("It is a correct position that "true
knowledge is knowledge by causes." And causes again are not improperly distributed into four
kinds: the material, the formal, the efficient, and the final" ), tetapi kemudian dia mengadaptasi

istilah tersebut dan menolak satu di antara ketiga causa tersebut. Namun final causa tersebut
cukup buruk bagi kemajuan dalam bidang sains, kecuali dalam hal pembahasan tindakan
manusia. Penemuan bentuk forma kehilangan harapan. Causa efisien dan materi (sebagaimana
yang telah mereka investigasi dan terima, bahwa keduanya merupakan causa yang kecil
kaitannya, sehingga tidak memiliki landasan yang kuat untuk mengarah kepada proses latent
pembentukan forma) merupakan aspek yang kecil, dangkal dan berkontribusi minim terhadap
kebenaran sains (Bacon dalam Wikipedia, 2016).
Alur berpikir ini dilanjutkan oleh René Descartes (1596-1650), dengan melakukan
pendekatan yang mengembalikan filsafat dan sains kepada masa pra Socrates, di mana
pembahasan lebih fokus kepada benda mati/non manusia. Abad kebangkitan (the Renaissance)
benar-benar terinspirasi oleh gagasan oronomi manusia, sebuah kemampuan kreatif manusia
yang tidak terbatas. Descartes menjelaskan dalam prinsip dari hasil pemikirannya, yaitu cogito,
ergo sum (Spirkin). Aku berpikir, karena itu aku ada. Akal dan daya nalar merupakan fitur

khusus yang dimiliki oleh manusia. Jiwa dan raga dipahami secara dualistik. Raga sebagai

sebuah mesin, yang mirip dengan makhluk lainnya, sedangkan jiwa ditunjukkan dengan bentuk
kesadaran. Pemahaman dualistik ini menganggap bahwa manusia itu pada hakekatnya terdiri
dari dua substansi, yaitu jasmani dan rohani (Jalaludin, 1997). Aliran ini melihat realita semesta
sebagai sintesa kedua kategori animate dan inanimate, makhluk hidup dan benda mati.
Demikian pula manusia merupakan kesatuan rohani dan jasmani, jiwa dan raga (Syam, 1988).
Misalnya ada persoalan: dimana letaknya mind (jiwa, rasio) dalam pribadi manusia. Mungkin
jawaban umum akan menyatakan bahwa ratio itu terletak pada otak. Akan tetapi akan timbul
problem, bagaimana mungkin suatu immaterial entity (sesuatu yang non-meterial) yang tiada
membutuhkan ruang, dapat ditempatkan pada suatu materi (tubuh jasmani) yang berada pada
ruang wadah tertentu. Jadi, aliran ini meyakini bahwa sesungguhnya manusia tidak dapat
dipisahkan antara zat/raga dan ruh/jiwa. Karena pada hakekatnya keduanya tidak dapat
dipisahkan. Masing-masing memiliki peranan yang sama-sama sangat vital. Jiwa tanpa ruh ia

Tugas 10

akan mati, ruh tanpa jiwa ia tidak dapat berbuat apa-apa. Dalam pendidikan pun, harus
memaksimalkan kedua unsur ini, tidak hanya salah satu saja karena keduanya sangat penting.
Meneruskan pemahaman dualistik ini (Spirkin), yang memahami manusia sebagai
makhluk yang memiliki dua dunia yang berbeda, dunia kebutuhan alami dan dunia bebas
moral, Kant (1724-1804) membagi ilmu Antropologi menjadi aspek psikologi dan pragmatis.
Aspek yang pertama mempelajari tentang kondisi alam yang seperti apa yang membentuk
manusia, sedangkan aspek kedua fokus membahas dengan apa seorang manusia, sebagai
makhluk yang bebas bertindak, dapat dan seharusnya membentuk dirinya. Inilah konsepsi
tentang manusia sebagai makhluk hidup yang menyeluruh, yang merupakan karakteristik
pemikiran pada masa Renaissance. Tidak seperti binatang, organisasi dan indera tubuh tidak
begitu dispesialisasikan, dan ini merupakan seuatu keuntungan. Manusia dapat membentuk
dirinya sendiri, dengan membentuk sebuah budaya. Pandangan dunia dominan pada abad
pertengahan Eropa berupa keberadaan manusia yang diciri-cirikan oleh dosa, dan tujuan
hidupnya

adalah

untuk

mempersiapkan

diri

terhadap

pengadilan

akhir

setelah kematian. Pencerahan / pewahyuan digerakkan oleh keyakinan baru, bahwa, dalam
perkataan Immanuel Kant, "Manusia dibedakan di atas semua hewan dengan kesadarandirinya, yang mana ia adalah 'hewan rasionil'" (Wikipedia, 2016).

Thomas

Hobbes

(1588-1679),

kemudian

Giambattista

Vico,

dan

David

Hume, semuanya menyatakan bahwa diri mereka yang pertama kali secara tepat menggunakan
pendekatan saintifik modern Bacon terhadap manusia. Hobbes terkenal sebagai pengikut
Descartes dalam menjelaskan manusia sebagai materi yang bergerak, seperti mesin. Beliau juga
juga begitu terpengaruh pemikiran Descartes dalam mendeskripsikan kondisi alamiah manusia
(tanpa ilmu atau kecerdasan) sebagai makhluk yang hidup “menyendiri, lemah, menjijikkan,
kasar, dan pendek." (Hobbes dalam Wikipedia, 2016). Berdasarkan penjelasan Thomas
Hobbes, Homo homini lupus artinya manusia yang satu serigala manusia yang lainnya
(berdasarkan sifat dan tabiat) Nafsu yang paling kuat dari manusia adalah nafsu untuk
mempertahankan diri, atau dengan kata lain, ketakutan akan kehilangan nyawa (Pratiwi, 2015).
Mengikuti dirinya, filsafat empirisme oleh John Locke (1632-1704) (Wikipedia, 2016) juga
memandang manusia sebagai tabula rasa . Dalam pandangan ini, pikiran manusia ketika lahir
dalam keadan kosong, tanpa aturan, sehingga setiap informasi yang ditambahkan dan aturan
yang memproses informasi tersebut dibentuk oleh pengalaman sensori mereka semata.
Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) mendorong pendekatan Hobbes ke arah yang lebih
ekstrim dan mengkritisinya di saat yang sama. Sebagai filsuf yang sejaman sekaligus rekan
dari Hume, beliau mulai menulis sebelum Revolusi Prancis dan jauh sebelum Darwin dan

Tugas 10

Freud. Beliau sempat mengalami guncangan pemikiran ketika peradaban Barat mulai bangkit,
sebagaimana tergambar dalam tulisannya yang berjudul Second Discourse yang mengajukan
gagasan bahwa manusia pernah menjadi makhluk hidup menyendiri, tanpa berpikir atau bahasa
atau komunitas, dan hal tersebut terjadi karena sebuah aksiden pada masa pra-sejarah
(penjelasan yang sama namun kurang terkenal juga pernah ditulis oleh Giambattista Vico). Di
satu sisi, Rousseau berpendapat bahwa konsep alamiah manusia belum fix, bahkan belum
mendekati fix jika dibandingkan dengan apa yang telah beliau asumsikan. Manusia saat ini
adalah makhluk politik, rasional, dan memiliki bahasa, tetapi pada awalnya manusia tidak
memiliki hal tersebut (Rousseau dalam Wikipedia, 2016). Hal ini pada gilirannya berimplikasi
bahwa hidup dalam manajemen akal manusia tidak selalu menjadi jalan hidup yang
membahagiakan, atau mungkin memang tidak jalan hidup yang ideal. Rousseau juga sosok
yang luar biasa dalam mengekstensikan apa yang ia ambil dari pendekatan Hobbes, beliau
menegaskan manusia primitif secara alamiah bukanlah makhluk sosial. Sehingga manusia yang
berperadaban tidak hanya tidak seimbang dan tidak bahagia karena ketidakcocokan antara
hidup berperadaban dan secara alami, tetapi tidak seperti Hobbes, Rousseau juga menjadi di
kenal karena pernyataannya bahwa kehidupan manusia primitif lebih bahagia, "noble savages"
(Rousseau dalam Wikipedia, 2016). Konsepsi Rousseau tentang manusia dipandang sebagai
asal usul dari banyak perkembangan intelektual dan politik pada abad ke-19 dan 20 (Delaney
dalam Wikipedia, 2016). Pandangan beliau juga memiliki pengaruh yang penting terhadap
Kant, Hegel, and Marx, dan perkembangan idealism, historicism, dan romanticism di Jerman.
Berdasarkan penjelasan Rousseau dan modernis abad ke-17 dan 18 (Spirkin), bahwa hawa
nafsu kebinatangan telah menggiring manusia mengembangkan bahasa dan akal pikirannya,
dan masyarakat yang lebih kompleks .
Berbeda dengan Rousseau, David Hume (1711-1776) merupakan seorang kritikus
terhadap penyederhanaan dan sistematisasi pendekatan Hobbes, Rousseau, dan lainnya di
mana (sebagai contoh) semua manusia diasumsikan dikendalikan oleh kepentingan pribadi
yang

bervariasi.

Dipengaruhi

oleh

Hutcheson dan

Shaftesbury,

beliau

menolak

penyederhanaan yang berlebihan. Di satu sisi, beliau mengakui bahwa untuk banyak subyek
politik dan ekonomi, secara sederhana orang-orang dapat diasumsikan dapat dikendalikan oleh
kepentingan pribadi, dan beliau juga telah menulis beberapa aspek sosial dari manusia sebagai
sesuatu yang dapat dihancurkan, contohnya adalah jika manusia tidak bergaul dalam sebuah
masyarakat. Di sisi yang lain, dia menolak konsep ‘paradoks skeptis’, yakni tidak ada politikus
yang mampu menciptakan kata seperti ‘yang terhormat’ dan ‘yang memalukan’, ‘yang dicintai’
dan ‘yang dibenci’, ‘yang mulia’ dan ‘yang hina’, jika tidak terdapat beberapa aturan pikiran

Tugas 10

yang mendasar (Wikipedia, 2016). Hume (sebagaimana Rousseau) begitu kontroversial dalam
pendekatan modernnya pada masanya. Berdasarkan contoh Bacon dan Hobbes, yang
menghindari pertimbangan penjelasan metafisik untuk setiap tipe sebab dan akibat. Sehingga
ia dituduh sebagai seorang yang ateis. Dia menulis:
We needn't push our researches so far as to ask "Why do we have humanity, i.e. a fellow-feeling
with others?" It's enough that we experience this as a force in human nature. Our examination
of causes must stop somewhere (Wikipedia, 2016)

Kita tidak perlu mendorong penelitian sejauh mungkin untuk menanyakan “Kenapa memiliki
rasa kemanusiaan, yakni simpati terhadap sesama?” Cukuplah bahwa kita mengalaminya
sebagai sebuah kekuatan alamiah manusia. Pengujian kita terhadap sebab-sebabnya mesti
berhenti di suatu tempat.
Setelah Rousseau dan Hume, filsafat dan ilmu pengetahuan tentang alam telah
mengalami perubahan, mencabang kepada disiplin dan pendekatan yang berbeda-beda, dan
pembahasan tentang manusia pun ikut berubah. Gagasan Rousseau bahwa manusia dapat
dibentuk memiliki pengaruh yang besar terhadap pergerakan revolusioner dalam berbagai
bentuk, sedangkan pendekatan Hume lebih khas di negara-negara Anglo-Saxon (turunan
Inggris), termasuk Amerika Serikat.
Idealisme kemudian mereduksi esensi kemanusiaan menjadi prinsip spiritual.
Berdasarkan penjelasan Hegel (1770-1831), seorang individu menyadari akan adanya tujuan
yang obyektif, bukan yang subyektif; ia menyadari bahwa ia tidak hanya merupakan bagian
dari ras manusia, tetapi juga alam semesta seluruhnya. Karena esensi dari keduanya (semesta
dan manusia) adalah jiwa. Aliran ini berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada di
dunia ini adalah ruh, juga hakekat manusia adalah ruh (Jalaludin, 1997). Ruh disini bisa
diartikan juga sebagai jiwa, mental, juga rasio/akal. Karena itu, jasmani atau tubuh (materi, zat)
merupakan alat jiwa untuk melaksanakan tujuan, keinginan dan dorongan jiwa (rohani, spirit,
ratio) manusia (Syam, 1988). Isi/esensi dari manusia terdiri dari lingkup spiritual, pikiran dan
organisasi tubuh, namun hal ini tidak untuk membatasinya (Spirkin). Sehingga manusia
menjadi memiliki kesadaran akan dirinya sendiri yang merupakan bagian dari lingkungan
sosial secara keseluruhan. Sehingga dengan kata lain seseorang dinilai hidup selama ia hidup
untuk orang lain. Manusia bertindak dalam bentuk yang ditentukan oleh perkembangan sejarah
terdahulu secara keseluruhan. Bentuk dari aktivitas manusia secara objektif terikat dalam setiap
pokok budaya, dalam pelaksanaan tugas, dalam bahasa, konsep, sistem dari suatu norma sosial.
Manusia merupakan makhluk hidup yang bergaul dan merupakan representasi dari tingkatan
tertinggi dari perkembangan semua organisme hidup, subyek kerja, bentuk sosial dari

Tugas 10

kehidupan, komunikasi dan kesadaran. Jika kita menguji eksistensi manusia dalam tingkatan
organisme , kita akan menemukan bahwa penerapan hukum didasari oleh sikap diri terhadap
proses organisme untuk dapat stabil dalam sebuah sistem yang terpadu (Spirkin). Sehingga jika
kita bergerak ke atas, menghadapi dunia pikiran dari kepribadian. Pada level suatu organisme,
manusia merupakan bagian dari interkoneksi alamiah antara fenomena dan ketundukannya
terhadap kebutuhan, tetapi pada level sosial makan orientasinya adalah sosial. Dari dunia
biologi hingga psikologi, kita akan memasuki lingkungan sosial historis. Jadi, pemahaman
Idealisme beranggapan bahwa yang menggerakkan tubuh itu adalah ruh atau jiwa. Tanpa ruh
atau jiwa maka jasmani, raga atau fisik manusia akan mati, sia-sia dan tidak berdaya sama
sekali. Dalam pendidikan, maka tidak hanya aspek pengalaman saja yang diutamakan, faktor
dalam seperti potensi bawaan (intelegensi, rasio, kemauan dan perasaan) memerlukan
perhatian juga.
Titik tolak dari pemahaman Marxist (1818-1833) tentang manusia adalah manusia
sebagai hasil atau produk dan subyek dari aktivitas tenaga kerja (buruh). ". . .The essence of
man is no abstraction inherent in each single individual. In its reality it is the ensemble of the
social relations."(Marx dalam Spirkin). Esensi dari manusia adalah tidak ada abstraksi yang

melekat pada masing-masing individu. Dalam realitanya manusia adalah kumpulan hubungan
sosial. Marx menunjukan perbedaan antara manusia dengan binatang tentang kebutuhannya,
binatang langsung menyatu dengan kegiatan hidupnya. Sedangkan manusia membuat kerja
hidupnya menjadi objek kehendak dan kesadarannya. Binatang berproduksi hanya apa yang ia
butuhkan secara langsung bagi dirinya danketurunnya, sedangkan manusia berproduksi secara
universal bebas dari kebutuhan fisik, ia baru produksi dari yang sesungguhnya dalam
kebebasan dari kebutuhannya. Manusia berhadapan bebas dari produknya dan binatang
berproduksi menurut ukuran dan kebutuhan jenis produksinya, manusia berproduksi mnurut
berbagai jenis dan ukuran dengan objek yang inheren, dikarenakan manusia berproduksi
menurut hukum-hukum keindahan. Manusia dalam bekerja secara bebas dan universal, bebas
I dapat bekerja meskipun tidak merasakan kebutuhan langsung, universal dikarenakan ia dapat
memakai beberapa cara untuk tujuan yang sama. Dipihak yang lain ia dapat menghadapi alam
tidak hanya dalam kerangka salah satu kebutuhan. Oleh sebab itu menurut Marx manusia hnya
terbuka pada nilai-nilai estetik dan hakekat perbedaan manusia dengan binatang adalah
menunjukan hakekat bebas dan universal.(Suseno, 1999).
Dari filsafat Jerman klasik (Spirkin), faktor penentunya adalah ungkapan bahwa
manusia merupakan makhluk yang secara aktif membangun budaya dunia secara spiritual,
sebagai kendaraan dalam menalar. Ketika mengkritisi ide tersebut, Feuerbach memperoleh

Tugas 10

reorientasi filsafat yang berpusat kepada manusia, yang memahami manusia sebagai makhluk
yang perlu memenuhi kebutuhan dirinya secara spiritual, sebagai sebuah hubungan yang
penting antara "saya" dan "anda”. Berdasarkan Nietzsche (Spirkin), kehidupan manusia
ditentukan oleh pertarungan antara daya dorongan dan tarikan, bukan pada akal pikiran.
Menurut Nietsche (Pratiwi, 2015), bahwa manusia sebagai binatang kekurangan (a shortage
animal). Selain itu juga menyatakan bahwa manusia sebagai binatang yang tidak pernah selesai

atau tak pernah puas (das rucht festgestelte tier ). Artinya manusia tidak pernah merasa puas
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kierkegaard (Spirkin) memberikan prioritas kepada
tindakan atas dasar kehendak, di mana tiap individu membuat sebuah pilihan, memberikan
permulaan bagi dirinya sendiri, berhenti menjadi seorang anak kecil, dan menjadi sosok yang
lebih sadar, yakni menjadi sosok spiritual, yang mampu menentukan dirinya sendiri. Dalam
aliran personalism and eksistentialism, permasalahan kepribadian menjadi pusat diskusi.
Seorang manusia tidak dapat direduksi ke intisari manapun (biologi, psikologi, sosial atau
spiritual). Eksistentialism dan personalism membedakan konsep individualitas (menjadi bagian
alam dan sosial secara keseluruhan) dengan konsep kepribadian, sebagai kemampuan
determinasi yang unik, sebagi bentuk eksistensinya. Aliran filsafat modern ini berpikir tentang
hakekat manusia merupakan eksistensi atau perwujudan sesungguhnya dari manusia. Jadi
intinya hakikat manusia itu yaitu apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Disini
manusia dipandang dari serba zat, serba ruh atau dualisme dari kedua aliran itu, tetapi
memandangnya dari segi eksistensi manusia itu sendiri di dunia (Jalaludin, 1997).
Julien (Pratiwi, 2015) berpendapat bahwa manusia manusia tak ada bedanya dengan
hewan karena manusia merupakan suatu mesin yang terus bekerja (de lamittezie). Artinya
bahwa dari aktivitas manusia dimulai bangun tidur sampai ia tidur kembali manusia tidak
berhenti untuk beraktivitas. Sedangkan Ernest Haeskel (Pratiwi, 2015) berpendapat bahwa
manusia merupakan (animalisme), tak ada sanksi bahwa segala hal manusia sungguh-sungguh
ialah binatang beruas tulang belakang yakni hewan menyusui. Artinya bahwa tidak diragukan
lagi manusia adalah sejajar dengan hewan yang menyusui. Pemahaman serba zat ini
mengatakan yang sungguh-sunguh ada itu adalah zat atau materi, alam ini adalah zat atau
materi dan manusia adalah unsur dari alam, maka dari itu manusia adalah zat atau materi
(Jalaludin, 1997). Manusia ialah apa yang nampak sebagai wujudnya, terdiri atas zat (darah,
daging, tulang) (Syam, 1988). Jadi, pemahaman ini lebih berpemahaman bahwa esensi manusia
adalah lebih kepada zat atau materinya (materialisme). Manusia bergerak menggunakan organ,
makan dengan tangan, berjalan dengan kaki, dll. Semua serba zat atau materi. Berdasarkan

Tugas 10

pemahaman ini, maka dalam pendidikan manusia harus melalui proses mengalami atau praktik
(psikomotor).
Dalam ilmu mantiq (logika) manusia disebut sebagai Al-Insanu hayawanun nathiq
(manusia adalah binatang yang berfikir) (Pratiwi, 2015). Nathiq sama dengan berkata-kata dan
mengeluarkan pendapatnya berdasarkan pikirannya. Sebagai binatang yang berpikir manusia
berbeda dengan hewan. Walau pada dasarnya fungsi tubuh dan fisiologis manusia tidak
berbeda dengan hewan, namun hewan lebih mengandalkan fungsi-fungsi kebinatangannya,
yaitu naluri, pola-pola tingkah laku yang khas, yang pada gilirannya fungsi kebinatangan juga
ditentukan oleh struktur susunan syaraf bawaan. Semakin tinggi tingkat perkembangan
binatang, semakin fleksibel pola-pola tindakannya dan semakin kurang lengkap penyesuaian
struktural yang harus dilakukan pada saat lahirnya. Pada primata yang lebih tinggi (bangsa
monyet) bahkan dapat ditemukan intelegensi yaitu penggunaan pikiran guna mencapai tujuan
yang diinginkan sehingga memungkinkan binatang untuk melampaui pola-pola kelakuan yang
telah digariskan secara naluri. Namun setinggi-tingginya perkembangan binatang, elemenelemen dasar eksistensinya yang tertentu masih tetap sama. Dalam agama Kristen (Spirkin),
terdapat ungkapan tentang manusia di dalam Bible, bahwa manusia merupakan "image and
likeness of God", gambaran dan memiliki kesamaan dengan Tuhan, yang secara internal
terpisah disebabkan oleh the Fall. Pernyataan tersebut dikombinasikan dengan teori bersatunya
manusia dan Tuhan dalam kepribadian Christ dan konsekuensi yang mungkin terjadi adalah
setiap individu terdapat berkah Tuhan dalam dirinya.
Sedangkan

dalam

sudut

pandang

saintifik

(Wikipedia,

2106),

seperti

behaviorism, determinism, dan model kimiawi dengan psikiatri modern dan psikologi memilih
netral (tidak berpihak) terkait sifat alamiah manusia. (Sebagaimana kebanyakan sains modern,
disiplin ilmu tersebut berusaha menjelaskannya tanpa atau dengan sedikit menyinggung aspek
metafisika)[3] Mereka lebih menawarkan penjelasan tentang asal usul manusia dan mekanisme
yang mendasarinya, atau mendemonsrasikan kemampuan manusia dalam berubah dan
keberagamannya yang sebenarnya dapat merusak konsep permanen dari manusia. Pada
awal abad ke-20, Sigmund Freud (1856-1939) melancarkan serangan serius kepada
positivisme mendalilkan bahwa kelakuan manusia mengarah kepada suatu bagian besar yang
dikendalikan oleh pikiran bawah sadar. Praktik psikoanalisis yang dirancang oleh Sigmund
Freud mencoba menyingkap bagian dari alam bawah sadar. Freud menyusun diri manusia
menjadi Ego, Superego, dan Id (Wikipedia, 2016). Carl Gustav Jung memperkenalkan
pemikiran alam bawah sadar kolektif / bersama, dan sebuah proses pengindividuan,
menuangkan keragu-raguan untuk ketepatan pendefinisian individu ‘yang dapat diartikan’.

Tugas 10

1.

Bagian Dasar atau das Es (the Id)
Bagian ini merupakan bagian paling dasar yaitu berkenaan dengan hasrat-hasrat atau
sumber nafsu kehidupan. Semua tuntutan das Es semata-mata demi kepuasan, tanpa
memperhatikan nilai baik-buruk. das Es ini merupakan prototype dari sifat individualistis
manusia, egoistis, a-sosial bahkan a-moral. Dan ketika manusia semata-mata mengikuti
dorongan das Es yang demikian tadi, maka sesungguhnya manusia tidak ada bedanya
dengan makhluk alamiah lain.

2.

Bagian Tengah atau das Ich (aku)
Bagian ini terletak ditengah antara das Es dan das Uber Ich. Menjadi penengah antara
kepentingan das Es dan tujuan-tujuan das Uber Ich. Das Ich ini bersifat objektif dan
realistis, sehingga pribadi seseorang dapat berjalan dengan seimbang dan harmonis. Sesuai
letaknya, das Ich ini lebih sadar norma dibanding das Es. Kesadaran das Ich yang bersifat
ke-aku-an ini lebih bersifat social, sehingga das Ich dapat disamakan sebagai aspek social
kepribadian manusia.

3.

Bagian Atas atau das Uber Ich (superego)
Bagian jiwa yang paling tinggi, sifatnya paling sadar norma, paling luhur. Bagian ini yang
paling lazim disamakan dengan budi nurani. Setiap motif, cita-cita dan tindakan das Uber
Ich selalu didasarkan pada asas-asas normative. Superego ini selalu menjunjung tinggi
nilai-nilai, baik nilai etika maupun nilai religious. Dengan demikian, superego adalah
bagian jiwa yang palling sadar terhadap makna kebudayaan, membudaya dalam arti
terutama sadar nilai moral, watak superego ialah susila.
Pada akhir abad ke-20, Paulo Freire menyatakan bahwa manusia merupakan satu-

satunya mahluk yang memiliki hubungan dengan dunia. Manusia berbeda dari hewan yang
tidak memiliki sejarah, dan hidup dalam masa kini yang kekal, yang mempunyai kontak tidak
kritis dengan dunia, yang hanya berada dalam dunia. Manusi dibedakan dari hewan
dikarenakan

kemampuannya

untuk

melakukan

refleksi

(termasuk

operasi-operasi

intensionalitas, keterarahan, temporaritas dan trasendensi) yang menjadikan mahluk berelasi
dikarenakan kapasitasnya untuk meyampaikan hubungan dengan dunia. Tindakan dan
kesadaran manusia bersifat historis manusia membuat hubungan dengan dunianya bersifat
epokal, yang menunjukan disini berhubungan disana, sekarang berhubungan masa lalu dan
berhubungan dengan masa depan. manusia menciptakan sejarah juga sebaliknya manusia
diciptakan oleh sejarah. (Collin, 2002). Bagi Freire dalam memahami hakekat manusia dan
kesadarannya tidak dapat dilepaskan dengan dunianya. Hubungan manusia harus dan selalu
dikaitkan dengan dunia dimana ia berada. Dunia bagi manusia adalah bersifat tersendiri,

Tugas 10

dikarenakan

manusia

dapat

mempersepsinya

kenyataan

diluar

dirinya

sekaligus

mempersepsikan keberadaan didalam dirinya sendiri. Manusia dalam kehadirannya tidak
pernah terpisah dari dunidan hungungganya dengan dunia manusia bersifat unik. Status unik
manusia dengan dunia dikarenakan manusia dalam kapasistasnya dapat mengetahui,
mengetahui merupakan tindakan yang mencerminkan orientasi manusia terhdap dunia. Dari
sini memunculkan kesadaran atau tindakan otentik, dikarenakan kesadaran merupakan
penjelasnan eksistensi penjelasan manusia didunia. Orientasi dunia yang terpuasat oleh releksi
kritiuas serta kemapuan pemikiran adalah proses mengetahui dan memahami. Dari sini
manusia sebagaiu suatu proses dan ia adalah mahluk sejarah yang terikat dalam ruang dan
waktu. Manusia memiliki kemapuan dan harus bangkit dan terlibat dalam proses sejarah
dengan cara untuk menjadi lebih (Murtiningsih, 2004).
Berdasarkan penjelasan sejarah hakaikat manusia tersebut, maka berikut pandangan
filsafat terhadap manusia dari beberapa perspektif yakni dari:
1. Teori descendensi, Teori ini meletakkan manusia sejajar dengan hewan berdasarkan sebab
mekanis. Artinya manusia tidaklah jauh berbeda dengan hewan, dimana manusia termasuk
hewan yang berfikir, melakukan segala aktivitas hidupnya, manusia juga tidak beda dengan
binatang yang menyusui. Beberapa ahli filsafat berbeda pemikiran dalam mendefinisikan
manusia. Manusia adalah makhluk yang concerned (menaruh minat yang besar) terhadap
hal-hal yang berhubungan dengannya, sehingga tidak ada henti-hentinya selalu bertanya dan
berpikir.
2. Metafisika, adalah teori yang memandang keberadaan sesuatu dibalik atau di belakang fisik.
Dalam teori ini manusia dipandang dari dua hal yakni: a. Fisik, yang terdiri dari zat. Artinya
bahwa manusia tercipta terdiri dari beberapa sel, yang dapat di indera dengan panca indera.
b. Ruh, manusia identik dengan jiwa yang mencakup imajinasi, gagasan, perasaan dan
penghayatan semua itu tidak dapat diindera dengan panca indera. 3. Psikomatik,
memandang manusia hanya terdiri atas jasad yang memiliki kebutuhan untuk menjaga
keberlangsungannya artinya manusia memerlukan kebutuhan primer (sandang, pangan dan
papan) untuk keberlangsungan hidupnya. Manusia terdiri dari sel yang memerlukan materi
cenderung bersifat duniawi yang diatur oleh nilai-nilai ekonomi (dinilai dengan harta / uang)
artinya manusia memerlukan kebutuhan duniawi yang harus dipenuhi, apabila kebutuhan
tersebut sudah terpenuhi maka mereka akan merasa puas terhadap pencapaiannya. Manusia
juga terdiri dari ruh yang memerlukan nilai spiritual yang diatur oleh nilai keagamaan
(pahala). Dalam menjalani kehidupan duniawi manusia membutuhkan ajaran agama,
melalui ceramah keagamaan untuk memenuhi kebutuhan rohaninya. Dalam hal ini manusia

Tugas 10

ingin menjadi manusia yang paling sempurna. Untuk menjadi manusia sempurna haruslah
memiliki unsur-unsur sebagai berikut: Rasionalitas, Kesadaran, Akal budi, Spiritualitas,
Moralitas, Sosialitas, Keselarasan, dengan alam.
Manusia terdiri dari unsur jasmani dan ruhani. Terdapat empat aliran pemikiran yang
berkaitan tentang masalah rohani dan jasmani (sudut pandang unsur pembentuk manusia) yaitu:
aliran serba zat, aliran serba ruh, aliran dualisme, dan aliran eksistensialisme.
a. Aliran Serba zat (Faham Materialisme)
b. Aliran Serba Ruh
c. Aliran Dualisme
d. Aliran Eksistensialisme
Manusia sebagai makhluk terbaik yang diciptakan oleh Tuhan, memiliki beberapa
sebutan yang menggambarkan kelebihannya dibandingkan makhluk yang lain. Berikut ini
adalah sebutan kepada manusia berdasarkan ahli pikir dan ahli filsafat.
a. Manusia adalah Homo Sapiens, artinya makhluk yang mempunyai budi dan mengungguli
mahluk yang lain,
b. Manusia adalah Animal Rational, artinya binatang yang berpikir,
c. Manusia adalah Homo Laquen, artinya makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan
menjelmakan pikiran manusia dan perasaan dalam kata-kata yang tersusun,
d. Manusia adalah Homo Faber , artinya makhluk yang terampil. Dia pandai membuat
perkakas atau disebut juga Toolmaking Animal yaitu binatang yang pandai membuat alat,
e. Manusia adalah Zoon Politicon, yaitu makhluk yang pandai bekerjasama, bergaul dengan
orang lain dan mengorganisasi diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
f. Manusia adalah Homo Economicus, artinya makhluk yang tunduk pada prinsip-prinsip
ekonomi dan bersifat ekonomis,
g. Manusia adalah Homo Religious, yaitu makhluk yang beragama.
h. Dr. M. J. Langeveld seorang tokoh pendidikan bangsa Belanda, memandang manusia
sebagai Animal Educadum dan Animal Educable, yaitu manusia adalah makhluk yang
harus dididik dan dapat dididik. Oleh karena itu, unsur rohaniah merupakan syarat mutlak
terlaksananya program-program pendidikan.
i. Manusia adalah animal simbolik adalah pernyatakan tersebut dikarenakan manusia
mengkomunikasikan bahasa melalui simbol-simbol dan manusia menafsirkan simbolsimbol tersebut

Tugas 10

j. Manusia disatu pihak ia merupakan “mahluk alami”, seperti binatang ia memerlukan alam
untuk hidup. Dipihak lain ia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing sehingga
ia harus menyesuaikan alam sesuai dengan kebutuhan-kebutuhannya
k. Manusia juga disebut sebagai homo ludens (mahluk yang senang bermain). Manusia dalam
bermain memiliki ciri khas dalam suatu kebudayaan yang bersifat fun. Fun disini
merupakan kombinasi lucu dan menyenangkan. Permainan dalam sejarahnya juga
digunakan untuk memikat dewa-dewa dan bahkan ada suatu kebudayaan yang
menganggap permainan sebagai ritus suci.

Implikasi terhadap Pendidikan Matematika
Manusia memiliki berbagai dimensi dasar, baik secara pribadi, jiwa, kelompok, dll.
Semua itu bercampur aduk menjadi potensi dasar atau bawaan manusia, sehingga disadari atau
tidak, manusia telah mengembangkan potensi tersebut, baik secara maksimal atau tidak,
dengan baik atau buruk. Semuanya tergantung manusia itu sendiri dan lingkungan yang
mempengaruhinya. Kaitanya dengan hal tersebut, dengan akal manusia yang bisa dikatakan
jenius, manusia dapat menemukan jalan untuk mengembangkan potensi-potensi mereka
dengan baik, yaitu dengan pendidikan. Manusia mulai sadar akan arti penting pendidikan bagi
kehidupan mereka.
Pendidikan adalah usaha sadar, terencana, sistematis dan berkelanjutan untuk
mengembangkan potensi-potensi bawaan manusia, memberi sifat dan kecakapan, sesuai
dengan tujuan pendidikan. Pendidikan adalah bagian dari suatu proses yang diharapkan untuk
mencapai suatu tujuan. Hubungan pendidikan dengan manusia itu sangat erat. Adanya
pendidikan untuk mengembangkan potensi manusia, menuju manusia yang lebih baik, dan
dapat mengemban tugas dari Tuhan. Berbicara tentang pendidikan, berarti membicarakan
tentang hidup dan kehidupan manusia. Sebaliknya, berbicara tentang kehidupan manusia
berarti harus mempersoalkan masalah kependidikan. Jadi, antara manusia dan pendidikan
terjalin hubungan kausalitas. Karena manusia, pendidikan mutlak ada; dan karena pendidikan,
manusia semakin menjadi diri sendiri sebagai manusia yang manusiawi. Manusia merupakan
subyek pendidikan, tetapi juga sekaligus menjadi objek pendidikan itu sendiri. Pedagogik tanpa
ilmu jiwa, sama dengan praktek tanpa teori. Pendidikan tanpa mengerti manusia, berarti
membina sesuatu tanpa mengerti untuk apa, bagaimana, dan mengapa manusia dididik. Tanpa
mengerti atas manusia, baik sifat-sifat individualitasnya yang unik, maupun potensi-potensi
yang justru akan dibina, pendidikan akan salah arah. Bahkan tanpa pengertian yang baik,
pendidikan akan memperkosa kodrat manusia.

Tugas 10

Esensi kepribadian manusia, yang tersimpul dalam aspek-aspek: individualitas,
sosialitas dan moralitas hanya mungkin menjadi realita (tingkah laku, sikap) melalui
pendidikan yang diarahkan kepada masing-masing esensia itu. Harga diri, kepercayaan pada
diri sendiri (self-respect, self-reliance, self confidence) rasa tanggung jawab, dan sebagainya
juga akan tumbuh dalam kepribadian manusia melalui proses pendidikan. Jadi, hubungan
antara filsafat, pendidikan dan manusia secara singkat adalah sebagai berikut: filsafat
digunakan untuk mencari hakekat manusia, sehingga diketahui apa saja yang ada dalam diri
manusia. Hasil kajian dalam filsafat tersebut oleh pendidikan dikembangkan dan dijadikan
(potensi) secara nyata berdasarkan esensi keberadaan manusia. Sehingga dihasilkan manusia
yang sejati.

REFERENSI

Collin, Denis E. & Henry H. (2002). Paulo Freire: Kehidupan, karya dan pemikirannya .
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jalaludin & Abdulloh. (1997). Filsafat pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama.
K. Bertens. (2005). Panorama filsafat modern. Jakarta: Gramedia.
Murtiningsih, Siti. (2004). Pendidikan sebagai alat perlawanan. Yogyakarta: Resist Book.
Pratiwi. Wahyu R. E. (2015). Manusia dalam pandangan filsafat. Diambil pada 13 April 2016.
http://www.kompasiana.com/wrep/manusia-dalam-pandanganfilsafat_5520266981331141709de5e6
Spirkin, A. (tanpa tahun). Chapter 5. On the human being and being human. Diambil pada 13
April

2016.

https://www.marxists.org/reference/archive/spirkin/works/dialectical-

materialism/ch05.html#ch05-s01
Suseno, Franz Magnis. (1999). Pemikiran Karl Marx. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Syam, Mohammad Noor. (1988). Filsafat pendidikan dan dasar filsafat pendidikan pancasila.
Surabaya: Usaha Nasional.
Wikipedia.

(2016).

Human

nature.

Diambil

pada

13

April

2016.

https://en.wikipedia.org/wiki/Human_nature
________.

(2015).

Manusia .

https://id.wikipedia.org/wiki/Manusia

Diambil

pada

13

April

2016.

Tugas 10
ABAD KE -17

FILSAFAT KLASIK

JOHN LOCKE
Tabula Rasa
(1632-1704)

Atman  Brahman

INDIA
TEORI TRANSMIGRASI
JIWA

THOMAS HOBBES
Homo Homini Lupus
(1588-1679)

ABAD KE -19

ABAD KE -18
DAVID HUME
Paradoks Skeptis
(1711-1776)

J.J. ROUSSEAU
Noble Savage
(1712-1778)

Ruh
KARL MARX
Marxisme
(1818-1833)

IMMANUEL KANT
1724-1804

Final

HEGEL
Idealisme
(1770-1831)

ABAD KE -20
DAN
KONTEMPORER

SIGMUND FREUD
Ego
Super ego
Id
(1856-1939

Psikologi
SOCRATES
(Teleologi)
469-399 SM

Formal Causa

RENE DESCARTES
(Dualisme)
1596-1650

PLATO
427-347 SM
Rasional

Pragmatis

FRANCIS BACON
(Realisme)
1561-1626

Mimetic
YUNANI
ARISTOTELES
384-322 SM

Conjugal

Matter, Effect,
Form, End

Political

ALAM SEBAGAI
STANDAR

Kebebasan
Kebutuhan

PAUO FREIRE
Manusia, Dunia dan Sejarah

Raga

Manusiawi

MANUSIA

Jiwa

Timeline Manusia dalam Pemikiran Para Filssuf

KONSEP PENDIDIKAN