SENGKETA WILAYAH AMBALAT ANTARA INDONESI

SENGKETA WILAYAH AMBALAT ANTARA INDONESIA DENGAN
MALAYSIA DITINJAU DARI HUKUM LAUT INTERNASIONAL
A. Latar Belakang
Batas wilayah laut setiap negara telah ditetapkan di UNCLOS (United
Nations Convention on the Law of the Sea) yang selanjutnya diratifikasi oleh
pemerintah Indonesia menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. Telah
diakui bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar
17.506 pulau dengan 2/3 luas wilayah yang merupakan lautan. Dari pulaupulau tersebut ada yang berbatasan dengan negara tetangga seperti Malaysia,
Singapura, Papua Nugini, dan lain sebagainya.
Keberadaan pulau-pulau serta wilayah yang ada di sekitar pulau
tersebut dapat menjadi sumber daya alam yang sangat berpotensi bagi negara.
Salah satu contohnya adalah Blok Ambalat. Ambalat terletak di laut Sulawesi
atau Selat Makasar dengan luas 15.235 kilometer persegi. Wilayah ini
diperkirakan menyimpan kekayaan alam seperti minyak dan gas yang dapat
dimanfaatkan hingga 30 tahun ke depan.1 Menurut Perjanjian Tapal Batas
Kontinen Indonesia-Malaysia yang ditanda tangani pada tanggal 27 Oktober
1969 di Kuala Lumpur, menyatakan bahwa wilayah Blok Ambalat merupakan
milik Indonesia.2 Perjanjian tersebut lah yang menjadi dasar hukum
kepemilikan Indonesia atas Blok Ambalat.
Semenjak kasus sengketa pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia
dengan Malaysia, yang dimenangkan oleh Malaysia, terjadilah sengketa juga

terhadap Blok Ambalat. Hal ini karena pulau Sipadan-Ligitan berada di
kawasan Blok Ambalat. Malaysia mengakui bahwa Blok Ambalat merupakan
bagian dari wilayahnya. Hal tersebut merupakan upaya Malaysia untuk
melakukan ekspansi terhadap wilayah negaranya. Hal ini lah yang akan
dibahas pada penulisan ini. Apakah klaim Malaysia tersebut legal atau tidak,
walaupun sudah ada perjanjian yang mengatakan bahwa Blok Ambalat adalah
wilayah Indonesia.
1 RI Peringatkan Malaysia Soal Blok Ambalat,
http://nasional.kompas.com/read/2008/10/21/22413798/, diakses 4 Juni 2017
pukul 21.57 WIB.
2 Boer Mauna, Hukum Internasional (Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam
Era Dinamika Global), Alumni, Bandung, 2008, hlm. 357.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang menjadi dasar hukum Malaysia untuk melakukan klaim
atas kepemilikannya terhadap wilayah Blok Ambalat?
2. Apakah klaim tersebut sesuai dengan UNCLOS 1982?
C. Pembahasan
Ada dua macam sengketa yang dikenal di dalam hukum internasional
publik, yaitu sengketa hukum (legal or judicial disputes) dan sengketa politik

(political or nonjusticiable disputes).3 Sengketa internasional pada pokoknya
selalu dapat diselesaikan oleh Mahkamah Internasional, sesulit apa pun
sengketa itu, sekalipun tidak ada pengaturannya. Segala kasus yang masuk
pada Mahkamah Internasional bergantung dengan prinsip kepatutan dan
kelayakan (ex aequo et bono). Penyelesai sengketa internasional sendiri dibagi
menjadi dua, yaitu penyelesaian secara damai dan non damai. Sangat
dianjurkan pada setiap kasus untuk menyelesaikannya secara damai. Menurut
pasal 33 Konvensi Den Haag 1899, penyelesaian sengketa secara damai dibagi
lagi menjadi dua, yaitu penyelesaian secara diplomatik (negosiasi, penyidikan,
mediasi, konsiliasi) dan penyelesaian secara litigasi atau melalui jalur hukum
(arbitrase dan Mahkamah Internasional).4
Berikut beberapa cara penyelesaian sengketa internasional secara
damai yang sudah disebutkan pada paragraf sebelumnya:
a. Negosiasi
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar.
Cara penyelesaian melalui negosiasi merupakan cara yang
paling penting. Banyak sengketa yang diselesaikan melalui cara
ini tanpa harus menyita perhatian publik.5 Cara ini dilakukan
karena agar para pihak dapat mengawasi prosedur penyelesaian
sengketanya


dan

setiap

penyelesaian

didasarkan

atas

kesepakatan atau konsekuensi dari para pihak.
b. Pencarian Fakta
3 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika,
Bandung, 2004, hlm. 3.
4 Ibid, hlm. 15.
5 W. Poeggel and E. Oeser, Methods of Diplomatic Settlement, dalam
Mohammed Bedjaoui (ed.), International Law: Achievements and Prospects,
Martinus Nijhoff and UNESCO, Dordrescht, 1991, hlm. 514.


Suatu

sengketa

muncul

seringkali

berawal

karena

mempersoalkan fakta. Meskipun suatu sengketa berkaitan
dengan

hak

dan

kewajiban,


akan

tetapi

sering

kali

permasalahannya bermula pada perbedaan pandangan para
pihak terhadap fakta yang menentukan hak dan kewajiban
tersebut. Penyelesaian sengketa demikian bergantung pada
penguraian fakta para pihak yang tidak disepakati. Oleh sebab
itu, pemastian kedudukan fakta yang sebenarnya dianggap
sebagai bagian penting dari prosedur penyelesaian sengketa.
Dengan demikian para pihak yang bersengketa dapat
memperkecil masalah sengketanya dengan menyelesaikan
sengketa melalui metode pencarian fakta yang menimbulkan
persengketaan.6
c. Jasa-Jasa Baik

Jasa-jasa baik merupakan cara penyelesaian sengketa melalui
atau dengan bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga berupaya agar
para pihak menyelesaikan sengketanya dengan negosiasi. Jadi
fungsi utama jasa baik ini adalah mempertemukan parapihak
sedemekian rupa sehingga para pihak mau duduk bersama dan
bernegosiasi.7
d. Mediasi
Mediasi merupakan cara atau metode penyelesaian melalui
pihak ketiga. Pihak ketiga tersebut disebut dengan mediator.
Mediator dalam hal ini bisa negara, organisasi internasional,
atau juga individu. Mediator ikut serta secara aktif dalam setiap
proses negosiasi. Biasanya mediator dengan kapasitasnya
sebagai pihak yang netral berupaya mendamaikan para pihak
dengan memberikan saran penyelesaian sengketa.8
e. Konsiliasi
Konsiliasi adalah cara penyelesaian sengketa yang sifatnya
lebih formal dibanding mediasi. Konsiliasi adalah suatu cara
penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga atau oleh suatu komisi
yang dibentuk oleh para pihak. Komisi ini disebut dengan
6 Ibid.

7 W. poeggel dan E. Oeser, Op.cit, hlm. 24.
8 Ibid.

komisi konsiliasi. Komisi konsoliasi bisa yang sudah
terlembaga atau ad hoc yang berfungsi untuk menetapkan
persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak, namun
putusannya tidak mengikat para pihak.9
f. Arbitrase
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase merupakan penyerahan
sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral yang
mengeluarkan putusan yang bersifat final dan mengikat. Badan
arbitrase saat ini sudah semakin populer dan semakin banyak
digunakan dalam penyelesaian sengketa-sengketa internasional.
Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan
dengan pembuatan suatu compromis, yaitu penyerahan kepada
arbitrase suatu sengketa yang telah lahir atau melalui
pembuatan suatu klausula arbitrase dalam suatu perjanjian,
sebelum sengketa lahir, orang yang dipilih melakukan arbitrase
disebut dengan arbitrator atau arbiter.10
g. Mahkamah Internasional

Penyelesaian sengketa melalui Mahkamah

Internasional

merupakan alternatif penyelesaian sengketa selain cara-cara di
atas, yaitu

melalui jalur pengadilan. Penggunaan cara ini

biasanya ditempuh apabila cara-cara penyelesaian yang ada
ternyata tidak berhasil. Mahkamah Internasional dapat dibagi
dalam dua kategori, yaitu pengadilan permanen (International
Court of Justice) dan pengadilan ad hoc atau pengadilan
khusus.11
Dasar Hukum Malaysia melakukan Klaim atas Blok Ambalat
Berdasarkan undang-undang Essential Powers Ordonance yang
disahkan pada bulan Agustus 1969, Malaysia menetapkan luas teritorial
laut sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis dasar dengan menarik
garis pangkal lurus menurut ketentuan Konvensi Hukum Laut 1958
mengenai Laut Teritorial dan Contiguous Zone. Berdasarkan undangundang tersebut selanjutnya Malaysia mendeklarasikan secara sepihak

Peta Malaysia 1979 pada tanggal 21 Desember 1979. Selanjutnya pada
9 Ibid.
10 Ibid, hlm. 23.
11 Ibid.

bulan Desember 1979 Malaysia mengeluarkan peta baruu dengan batas
terluar klaim maritim yang sangat eksesif di Laut Sulawesi. Peta
tersebut secara jelas memasukkan kawasan dasar laut sebagai bagian
dari Malaysia yang kemudian disebut Blok Ambalat oleh Indonesia.
Hanya Malaysia sendiri yang mengetahui garis pangkal dan titik
pangkal

untuk

menentukan

batas

wilayahnya.


Dalam

dunia

internasional, suatu negara harus memberitahukan titik-titik pangkal dan
garis pangkal laut teritorialnya agar negara lain dapat mengetahuinya.
Peta 1979 yang dikeluarkan pemerintah Malaysia tersebut tidak
hanya mendapat protes dari Indonesia saja tetapi juga dari Filipina,
Singapura, Thailand, Tiongkok, Vietnam, karena dianggap sebagai
upaya atas perebutan wilayah negara lain. 12 Filipina dan Tiongkok
misalnya mengajukan protes terkait Spartly Island. Pada bulan April
tahun 1980, Singapura mengirimkan protesnya terkait dengan Pedra
Branca (Pulau Batu Putch). Protes juga dilayangkan oleh Vietnam,
Taiwan, Thailand, dan United Kingdom atas nama Brunei Darussalam.
Dengan

demikian

klaim


Malaysia

terhadap

wilayah

teritorial

berdasarkan peta 1979 tidak mendapat pengakuan dari negara-negara
tetangga dan dunia internasional. Namun Malaysia tetap menjadikan
Peta 1979 tetap menjadi peta resmi yang berlaku hingga saat ini.
Ditinjau dari hukum laut internasional, Malaysia bukanlah
negara kepulauan oleh karena itu tidak dibenarkan menarik garis
pangkal demikian sebagai penentu batas laut wilayah dan landas
kontinennya. Malaysia hanyalah negara pantai biasa yang hanya
dibenarkan menarik garis pangkal normal (biasa) dan garis pangkal
lurus apabila memenuhi persyaratan-persyaratan, yaitu terdapat deretan
pulau atau karang di hadapan daratan pantainya dan harus mempunyai
ikatan kedekatan dengan wilayah daratan Sabah untuk tunduk pada
rezim hukum perairan pedalaman sesuai dengan pasal 5 KHL 1958
tentang Laut Teritorial dan Contiguous Zone dan sesuai dengan pasal 7

12 Haller Trost, R., The Contested Maritime and Territorial Boundaries of
Malaysia, an International Law Perspective, Kluwer International Law, 1998,
hlm. 34.

KHL 1982.13 Pada hukum kebiasaan internasional jika klaim suatu
negara merupakan tindakan sepihak dari negara tersebut (unilateral
action) lalu tidak mendapat protes dari negara lain selama dua tahun
maka klaim tersebut dianggap sah.14 Maka peta Malaysia 1979 yang
mendapat banyak protes dari negara-negara tetangga dan negara lainnya
sesungguhnya peta tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.15
Pendapat Malaysia mengenai “tiap pulau berhak mempunyai
laut territorial, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinennya
sendiri”, maka hal tersebut menyalahi UNCLOS pasal 121. Rezim
penetapan batas landas kotinen mempunyai specific rule yang
membuktikan keberadaan pulau-pulau yang relatively small, socially
and economically insignificant dan tidak diannggap sebagai special
circumstation dalam penentuan garis batas kontinen. Malaysia bukanlah
negara kepulauan sehingga tidak berhak mengklaim Blok Ambalat.
Menurut KHL, sebuah negara pantai (negara yang wilayah daratannya
secara langsung bersentuhan dengan laut) berhak atas zona maritim laut
territorial, ZEE dan landas kontinental sepanjang syarat-syarat yang
memungkinkan (biasanya jarak dan geologis).
Klaim Malaysia menurut UNCLOS 1982
Klaim Malaysia atas kepemilikan blok Ambalat berdasarkan
Peta 1979 dan berdasarkan kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan yang
diberikan kepada Malaysia. Dalam peta 1979, Malaysia tersebut
mengumumkan lebar laut territorialnya 12 mil laut yang diukur melalui
garis dasar dengan menarik garis pangkal lurus menurut hukum laut
1958.

Dengan

tindakan

tersebut

Malaysia

merugikan

negara

disekitarnya karena garis pangkal dan titik pangkal untuk menentukan
batas wilayahnya hanya diketahui oleh Malaysia sendiri. Dalam dunia
internasional suatu negara harus memberitahukan titik-titik pangkal dan
garis laut territorialnya agar negara-negara lain dapat mengetahuinya.
13 Pasal 5 Konvensi Hukum Laut (KHL) Tahun 1958 dan pasal 7 Konvensi Hukum
Laut (KHL) Tahun 1982.
14 Arif Havas Oegrosewu, Delimitasi Batas Maritim dalam Kebijakan Border
Diplomasi Indonesia, Lokakarya Hukum Laut Internasional, Yogyakarta, 2004,
hlm. 65.
15 Ibid.

Dalam UNCLOS 1982 dijelaskan bahwa Malaysia selaku
negara pantai hanya bisa diperbolehkan menarik garis pangkal biasa
(normal baselines) atau garis pangkal lurus (straight baselines), karena
alasan ini seharusnya Malaysia tidak diperbolehkan menarik garis
pangkal lautnya dari pulau Sipadan dan Ligitan karena Malaysia bukan
lah negara pantai. Namun dari sisi lain, Malaysia menggunakan pasal
121 UNCLOS yang menyatakan bahwa setiap pulau berhak
mendapatkan laut territorial, ZEE dan landas kontinental sendiri-sendiri.
Hal ini dapat dibenarkan, namun dalam penetapan landas kontinen antar
negara juga harus memperhatikan apakah daratan dasar laut itu
merupakan kelanjutan tanah alamiah tanah diatasnya atau tidak.
Sehingga itu merupakan daerah landas kontinen suaru negara dan juga
harus diperhatikan perjanjian batas landas kontinen yang telah
ditetapkan Indonesia dan Malaysia.
Berdasarkan kelaziman hukum internasional karena Malaysia
melakukan klaim bukan berdasar pada tindakan Indonesia yang
melakukan eksploitasi di wilayah Blok Ambalat sejak tahun 1960
hingga pasca keluarnya peta Malaysia tahun 1979 (yang merupakan
bukti pengakuan Malaysia terhadap Blok Ambalat) maka tetap saja
Indonesia memiliki hak berdaulat di wilayah tersebut. Selain itu sejak
zaman Belanda, sudah dikenal bahwa Indonesia merupakan negara
kepulauan (archipelagic state). Lalu ditambah dengan deklarasi Juanda
yang menyatakan deklarasi mengenai Negara Kepulauan Indonesia pada
tahun 1957, setelah itu diikuti Prp No. 4/1960 tentang Perairan
Indonesia. Deklarasi Negara Kepulauan ini juga telah disahkan oleh
UNCLOS 1982 bagian IV. Isi UNCLOS bagian IV antara lain, di antara
pulau-pulau Indonesia tidak ada laut bebas dan sebagai negara
kepulauan, Indonesia boleh menarik garis pangkal (baseline) dari titiktitik terluar pulau-pulau terluar.
D. Kesimpulan
1. Dasar hukum Malaysia dalam mengkalim kepemilikannya atas Blok
Ambalat adalah peta yang dibuat tahun 1979 oleh Malaysia dan
meletakan batas terluar maritim secara eksesif di daerah Laut Sulawesi

karena Malaysia menggunakan pulau Sipadan dan Ligitan untuk
menarik garis pangkal terluar negaranya sedangkan Malaysia bukanlah
negara kepulauan, seharusnya penarikan garis pangkal bukan dari situ.
Selanjutnya Malaysia menggunakan pasal 121 UNCLOS 1982 yang
menyatakan bahwa “setiap pulau berhak mempunyai laut territorial,
ZEE dan landas kontinen”. Dengan peta yang dikeluarkannya pada
tahun 1979, Malaysia mengumumkan lebar laut terrotiroalnya 12 mil
laut yang diukur dengan garis dasar dengan menarik garis pangkal
lurus menurut hukum laut 1958. Padahal dalam perjanjian Tapal Batas
Kontinen tahun 1969 antara Indonesia dengan Malaysia, sudah
tercantum bahwa Blok Ambalat adalah bagian dari Indonesia.
2. Klaim yang diajukan Malaysia terhadap Blok Ambalat belum sesuai
dengan hukum laut internasional. Malaysia bukan lah negara
kepulauan sehingga tidak bisa menarik garis pangkal dari pulau-pulau
terluar. Apalagi peta yang dikeluarkannya pada tahun 1979 telah
mendapat protes dari berbagai negara selain Indonesia. Hal tersebut
bisa dikatakan bahwa peta tersebut tidak sah secara hukum.

Daftar Pustaka
Konvensi Hukum Laut tahun 1983
Adolf, Huala, 2012, Hukum Peneyelesaian Sengketa Internasional,
Sinar Grafika, Jakarta.
R. Haller Trost, 1988, The Contested Maritime and Territorial
Boundaries of Malaysia, An International Law Perspective, Kluwer
Law International.

W. Poeggel and E. Oeser, 1991, Methods of Diplomatic Settlement,
dalam Mohammed Bedjaoui (ed.), International Law: Achievements
and Prospects, Dordrescht: Martinus Nijhoff and UNESCO.
Havas Oegrosewu, Arif, 2004, Delimitasi Batas Maritim dalam
Kebijakan Border Diplomacy Indonesia, 12-15 Desember 2014,
Lokakarya Hukum Laut Internasional, Yogyakarta.
RI Peringatkan Malaysia Soal Blok Ambalat,
http://nasional.kompas.com/read/2008/10/21/22413798/