Opresi yang Dialami Tokoh Dini dalam Nov

Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Gender dalam Sastra
Alfi Yusrina
0906527351
4 Januari 2012

Opresi yang Dialami Tokoh Dini dalam Novel Argenteuil Hidup
Memisahkan Diri
1

Pendahuluan

1.1

Latar Belakang

Women are oppressed, as women. Members of certain racial and or economic groups
and classes, both the male and the females, are oppressed as members of those races
and/ or classes. But men are not oppressed as men.

… and isn’t it strange that any of us should have been confused and mystified
about such a simple thing? (Frye, 2005: 90)


Pertanyaan Frye ini membahas sikap masyarakat mengenai opresi yang
dilakukan terhadap perempuan. Perempuan ditindas bukan oleh gendernya tetapi oleh
kelas, ras, kasta, serta warna kulitnya, penindasan yang juga dialami laki-laki dari
pengelompokan sosial serupa. Jika laki-laki miskin ditindas dua lapis oleh warna kulit
dan kelasnya, perempuan miskin mengalami “tiga lapis penindasan”. Penindasan itu
terletak dalam posisinya, sebagai anggota suatu bangsa; sebagai anggota kelas
pekerja; dan sebagai perempuan, yang tunduk kepada, hak atas kekayaan dan akses
terhadap pelayanan (Mosse, 2003: 112).
Anggapan bahwa perempuan itu rasional atau emosional sehingga perempuan
tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan
perempuan pada posisi yang tidak penting (Fakih, 1997: 15). Pandangan mengenai
perempuan sebagai second citizen dapat ditemukan dalam karya-karya satra Indonesia
tahun tujuh puluhan. Ketika laki-laki penulis menyatakan kritik sosial politik dan

1

pemantauan isu identitas nasional, perempuan penulis dianggap lebih menyibukkan
diri dengan masalah-masalah domestik (Paramadhita, 2007: 38).
Salah satu tokoh perempuan penulis yang selalu menyajikan tema-tema

masalah domestik adalah Nh. Dini. Ia adalah seorang penulis yang mengulas
“masalah perempuan” dengan mengudar tema-tema yang berkaitan dengan hubungan
personal laki-laki-perempuan dan seksualitas perempuan. Tokoh-tokoh protagonis
dalam karya-karya Nh. Dini adalah perempuan yang hidup di dalam dua kebudayaan
yang berbeda dan berusaha mencari tempat di dalamnya. (Ibid. hlm. 39).
Pembahasan

mengenai

masalah

gender,

khususnya

opresi

terhadap

perempuan, pembahasan ini menggunakan novel Argenteuil Hidup Memisahkan Diri

sebagai data analisis. Novel ini adalah salah satu seri Cerita Kenangan yang ditulis
Nh. Dini.

1.2

Rumusan Masalah

Permasalahan mengenai ketidakadilan gender di dalam Argenteuil Hidup
Memisahkan Diri yang dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. bagaimana citra perempuan digambarkan dalam tokoh Dini?
2. bagaimana opresi yang dialami tokoh Dini?
3. bagaimana perspektif tokoh Dini terhadap pelaku opresi?

1.3

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:
1. mendeskripsikan citra perempuan dalam tokoh Dini,

2. mendeskripsikan opresi-opresi yang dialami tokoh Dini, dan
3. mendeskripsikan perspektif tokoh Dini terhadap pelaku opresi.
.
1.4

Landasan Teori
Landasan teori dalam penelitian ini menggunakan beberapa teori. Untuk

menganalisis

tokoh dan penokohan, analisis ini menggunakan buku Memahami

2

Cerita Rekaan karya Panuti Sudjiman. Selain itu, penelitian ini menggunakan

pendekatan gender dalam sastra untuk menjawab rumusan-rumusan masalah. Ada
beberapa buku mengenai gender yang digunakan dalam analisis ini. Buku Getar
Gender karya A Nunuk Murniati digunakan untuk menjelaskan teori-teori gender dari


perspektif budaya. Buku Feminist Theory digunakan untuk memberikan penjelasan
mengenai jenis-jenis opresi menurut Marilyn Frye. Buku-buku lain yang digunakan
untuk menunjang analisis ini, yaitu Analisis Gender & Transformasi Sosial karya
Mansour Fakih dan buku Pola dan Silangan: Jender dalam Teks Indonesia dengan
editor Rahman Lisabona.

1.5

Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam menganalisis novel ini adalah

metode deskriptif analitis. Tindakan nyata pelaksanaan metode ini yaitu mencari datadata dan menentukan bahan. Melalui data-data tersebut, penulis ingin membuktikan
ada opresi yang dialami oleh tokoh Dini dalam novel ini.
Penelitian ini menggunakan novel Argenteuil Hidup Memisahkan Diri karya
Nh. Dini sebagai sumber data. Setelah mencari bentuk-bentuk opresi dalam kutipankutipan pada novel ini, kemudian penulis menganalisis kutipan-kutipan tersebut
berdasarkan perspektif gender yang telah dijelaskan melalui landasan teori.

1.6

Penelitian Terdahulu

Penulis menemukan empat peneliti yang telah membahas karya-karya Nh.

Dini. Tineke Hellwig (1994) menulis buku yang berjudul In the Shadow of Change:
Citra Perempuan dalam Sastra Indonesia . Buku ini membahas dua karya Nh. Dini

yaitu La Barka dan Pada Sebuah Kapal. Pembahasan Hellwig hanya membahas
masalah perbedaan antara budaya Timur dan Barat.
Intan Paramaditha (2007) menulis sebuah artikel yang berjudul “Identitas
Antara” dalam Novel-novel Nh. Dini. Artikel ini membahas novel Keberangkatan.

3

Paramaditha membahas tokoh-tokoh perempuan dalam karya Nh. Dini yang mewakili
dua identitas budaya, budaya Timur dan Barat.
Sariyati Nadjamuddin-Tome (2008) menulis “Permasalahan Wanita dalam
Novel Nh. Dini: Analisis Kritik Sastra Feminis ” Tulisan Tome menitikberatkan pada

permasalahan wanita yang ditampilkan pada teks La Barka . Permasalahan tersebut
berkaitan dengan pembagian kerja secara seksual, cinta segitiga, dan sosiokultural
dalam suatu perkawinan campur. Tome menjelaskan segala permasalahan wanita

berasal dari sistem patriakat yang berlaku di masyarakat.
Fenty Nadia Luwis (2008) menulis skripsi yang berjudul Kekerasan dalam
Rumah Tangga Yang Dialami Tokoh Dini dalam Novel Dari Fontenay ke

Magallianes: Sebuah Perspektif Gender. Skripsi ini mengakat kasus-kasus kekerasan
dalam rumah tangga yang terdapat dalam novel Dari Fontenay ke Magallianes.
Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, penulis mempunyai gagasan
yang berbeda dalam meneliti karya Nh. Dini. Sampai saat ini, sejauh penelusuran
peneliti mengenai analisis-analisis karya Nh. Dini yang terdahulu belum ada tulisan
yang membahas opresi terhadap tokoh perempuan protagonis. Hal inilah yang
menyebabkan topik opresi terhadap tokoh protagonis dibahas dalam analisis ini.

1.7

Sistematika Penulisan
Analisis ini terdiri atas lima bab. Bab pertama terdiri atas tujuh subbab, yaitu

latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian,
penelitian terdahulu, dan sistematika penulisan. Bab kedua membahas landasan teori,
yang dibagi dari dua subbab, yaitu penjelasan mengenai tokoh dan penokohan, dan

teori-teori gender mengenai opresi terhadap perempuan. Bab ketiga berisi analisis
data. Bab ketiga ini terbagi dari empat subbab. Kemudian bab keempat, yaitu
penutup, yang berisi kesimpulan. Kesimpulan merupakan ringkasan dari seluruh hasil
analisis.

4

2

Landasan Teori

2.1

Sastra, Tokoh, dan Penokohan
Horatius, seorang filsuf, mengatakan bahwa sebuah karya sastra haruslah

dulce, utile, prodesse et delectare (indah, berguna, bermanfaat, dan nikmat).

Keempat hal tersebut nampak dalam setiap karya sastra. Bahasa sastra bersifat
konotatif dan refensial serta memiliki fungsi ekspresif untuk menunjukkan nada dan

sikap pembicara atau penulisnya. Tak jarang juga bahasa dalam sastra menunjukkan
kondisi kehidupan kita sehari-hari. Sesuai dengan pendapat Welleck dan Warren,
“bahasa sastra berusaha mempengaruhi, membujuk, dan pada akhirnya mengubah
sikap pembaca.” (Welleck, 1990: 15).
Karya sastra tidak akan pernah bisa hidup tanpa lakon yang menggerakkan
peristiwa. Lakon-lakon itu sering kita kenal dengan sebutan tokoh. Tokoh ialah
pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa ini
menjalin cerita (Aminuddin, 1984: 85).
Sudjiman (1991: 16), tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa
atau berlakuan di dalam berbagai peristiwa cerita. Ketidakadilan gender dapat dilihat
dari penokohan sebuah tokoh di dalam suatu cerita. Tokoh punya ciri umum: umur,
jenis kelamin, penampilan, dan kepribadian. Penokohan adalah kualitas tokoh,
kualitas nalar dan jiwanya yang membedakannya dengan tokoh lain. Penokohan
penting karena menekankan sifat atau watak tokoh tersebut. Biasa tergambar melalui
dialog, atau ide yang diungkapkan oleh pengarang melalui percakapan tokoh utama.

2.2

Konsep Gender
Gender adalah seperangkat peran yang, seperti halnya kostum dan topeng di


teater, menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminin dan maskulin.
Perangkat khusus ini–yang mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian,
bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga dan
sebagainya—secara bersama-sama memoles “peran gender” kita. Satu hal yang
paling menarik mengenai peran gender adalah peran-peran itu berubah seiring waktu
5

dan berbeda antara satu kultur dengan kultur lainnya. Peran itu juga amat dipengaruhi
oleh kelas, sosial, usia, dan latar belakang etnis (Mosse, 2003: 3-4).
Gender constructivism is roughly the view that, contrary to popular belief,
gender differences are not biologically based. Rather, gender is a social construct
That was invented for sociopolitical ends —such as a reinforcing the existence of
patriarchy—Konstruktivisme

gender merupakan pandangan bahwa,

hal ini

bertentangan dengan kepercayaan populer, perbedaan gender tidak berbasis biologis.

Sebaliknya, gender adalah konstruksi sosial itu diciptakan untuk tujuan sosio-politikseperti memperkuat keberadaan patriarki (Cudd, 2004: 118).

2.3 Gender dan Opresi terhadap Perempuan
Butler (Cudd, 2005: 118) beragumen bahwa gender berhubungan dengan
beberapa kategori opresi, seperti ras, kelas, etnis, seksualitas, dan lainnya, karenanya
perempuan tidak dapat dipahami dari satu kategori saja. Opresi bersifat sistematis dan
tidak kelihatan. Fenomena opresi terhadap perempuan tidak kelihatan apabila dilihat
dari sudut pandang mikro. Ketika kita melihat masalah ini secara makro, ada sebuah
jaringan kekuatan dan hambatan yang berhubungan secara sistematis. Untuk
penjelasan yang lebih jelas, Frye menganalogikannya dengan sangkar burung.
Frye (2005: 90) berargumen opresi hanya menimbulkan penderitaan dan
kesengsaraan. Iris Marion Young mendefinisikan kata opresi melalui penjelasan lima
bentuk opresi (lihat Cudd, 2005: 95-102). Lima bentuk opresi menurut Young, yaitu
eksploitasi, marginalisasi, ketidakberdayaan, imperial kebudayaan, dan kekerasan.
Fakih Mansour (1997: 12) menggunakan sebutan bentuk ketidakadilan gender
untuk menyebut istilah opresi yang dibicarakan Young. Ada enam bentuk
ketidakadilan gender menurut Mansour, yaitu marginalisasi atau proses pemiskinan
ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik,
pembentukan stereotip atau melalui pelabelan negatif, kekerasan, beban kerja lebih
panjang dan lebih banyak (burden ), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.
Murniati (2004: xxiii) membagi bentuk-bentuk ketidakadilan gender menjadi empat,
6

yaitu stereotip, beban ganda perempuan, marginalisasi, dan kekerasan terhadap
perempuan.

2.3 Gender dan Kekerasan
Keberadaan partriarki identik dengan kekuasaan. Secara ringkas, Mosse
(2003: 64-65) mendefinisikan patriarki sebagai istilah yang digunakan untuk
menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak-anak di dalam keluarga
dan ini berlanjut kepada dominasi laki-laki dalam semua lingkup kemasyarakatan
lainnya. Patriarki adalah konsep bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua
peran penting dalam masyarakat dan bahwa pada dasarnya perempuan tercerabut dari
akses kekuasaan itu.
Kekuasaan

patriarki

memberikan

ruang

kepada

masyarakat

untuk

memperlakukan perempuan sesuai kehendak mereka. Penguasaan nilai-nilai kultural,
dan kekuasaan yang didapatkan dari seberapa besar jumlah sumber yang
diperoleh/yang dimiliki seseorang dalam suatu budaya. Sumber-sumber itu adalah
cultural capital yang menjadi penunjang utama bagi posisi sosial seseorang dalam

relasi sosial. Cultural capital adalah segala hal yang menjadikan seseorang dapat
memiliki privilege di lingkungan sosialnya, seperti kekuatan fisik, harta, pendidikan,
jabatan, dan keturunan (Winarno, 2003: 12).
Apabila kekuasaan patriarki dibiarkan bebas dan tanpa pengawasan dapat
mengarah ke bentuk kekerasan terhadap perempuan. Menurut Pascal Lardellier,
kekerasan didefinisikan sebagai prinsip tindakan yang mendasarkan diri pada
kekuatan untuk memaksa pihak lain tanpa persetujuan (Haryatmoko, 2010: 131)..
Posisi subordinat perempuan menimbukan perlakuan yang tidak adil oleh suami
(Muniarti, 2004: 229). Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan tindakan
kekerasan yang terjadi dalam ruang lingkup keluarga. Berdasarkan pelakunya,
kekerasan dilakukan oleh salah satu anggota keluarga terhadap anggota keluarga lain
yang dianggap lebih lemah.

7

Tindak kekerasan terhadap perempuan dalam keluarga cenderung dianggap
sebagai salah satu bentuk problema dalam kehidupan pribadi dan dikategorikan
sebagai salah satu bentuk hidden crime (kriminalitas tersembunyi) yang sulit
dimasukan dalam koridor hukum (Winarno, 2003: 14). Kekerasan tidak harus dalam
bentuk fisik. Sasarannya bisa berbentuk psikologi seseorang. Menurut Haryatmoko
(2010: 131), kekerasan yang paling sulit diatasi adalah kekerasan simbolis yang
beroperasi melalui wacana. Kekerasan simbolis adalah pintu gerbang menuju ke
kekerasan psikologis dan beresiko ke kekerasan fisik.
Salah satu bentuk kekerasan psikologis adalah kekerasan verbal.. Evans
(1996: 81-83) membuat pengertian, kategori, dan jenis-jenis kekerasan secara verbal.
Secara umum kekerasan verbal adalah upaya untuk menguasai dan mengontrol. Tidak
secara jelas, karena bersifat psikologis sehingga korban tidak merasa apa-apa Ada
tujuh belas bentuk kekerasan secara verbal menurut Evans, yaitu withholding
(menyembunyikan), countering (membantah), discounting (memotong), verbal abuse
disguised as jokes (kekerasan secara verbal dianggap sebagai lelucon), blocking and
diverting (menghambat dan menghalangi), mengalihkan pembicaraan, accusing and
blaming (menuduh dan menyalahkan), judging and criticizing (menghakimi dan

mengkritik), trivializing (meremehkan), undermining (meruntuhkan), threatening
(mengancam), name calling (memberi sebutan), forgetting (melupakan), melindungi
diri sendiri, ordering (memerintah), denial (penyangkalan), dan abusive anger
(kemarahan yang merusak).

8

3

Opresi yang Dialami Tokoh Dini dalam Novel Argenteuil Hidup Memisahkan
Diri

3.1 Gambaran perempuan dalam tokoh Dini
Novel ini memiliki satu tokoh protagonis yang bernama Dini. Sudut
penceritaan dalam novel ini adalah sudut penceritaan akuan. Dalam beberapa kutipankutipan, tokoh Dini digambarkan sebagai sosok perempuan yang memiliki dua orang
anak dari pernikahan bersama laki-laki Prancis. Tokoh Dini ialah seorang perempuan
Indonesia yang harus berpindah kewarganegaraan demi mengikut kewarganegaraan
suami. Pernikahan tokoh Dini dengan suaminya tidak berjalan mulus. Sejak kelahiran
anak kedua mereka, hubungan rumah tangga mereka sudah tidak harmonis lagi.
Perceraian adalah jalan satu-satunya bagi tokoh Dini untuk terbebas dari
tingkah suaminya yang menyebalkan. Dini merasa suaminya selalu mengekang
dirinya dan memberikan banyak batasan. Perceraian di Prancis tidak mudah. Setiap
pasangan harus melewati proses yang sangat panjang dan bisa memakan waktu
bertahun-tahun. Untuk menunggu semua itu, Dini rela hidup memisahkan diri di
sebuah kota kecil bernama Argenteuil. Pengasingan diri ini adalah bentuk perlawanan
Dini untuk menolak tinggal bersama suami di Detroit, Amerika Serikat.
Kembali dari perjalanan ke Indonesia, aku harus menyesuaikan diri lagi
dengan rutinitas yang membosankan: membersihkan rumah, memasak,
mencuci pakaian, membenahi benda atau barang. Lebih-lebih aku merasa
sebel melihat apartemen ‘dijajah’ kehadiran semua bentuk-bentuk yang
bersangkutan dengan fotografi (hlm.7).
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa Dini telah muak dengan aktifitasaktifitas rumah tangga yang dijalaninya. Profesinya sebagai ibu rumah tangga sering
dianggap suaminya hanya sebagai sekadar pembantu rumah tangga. Inilah
kekecewaan terberat tokoh Dini, ketika kerja kerasnya selama ini untuk keluarga
tidak pernah dianggap berarti oleh sang suami. Kata ‘dijajah’ dalam narasi tokoh Dini
adalah sebuah gambaran bahwa sebagai seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya, ia
telah dijajah oleh kekuasaan suami.
9

Dia tidak mengerti kehendak suaminya (hlm. 8).
Kesabaran kujadikan landasan, kutopang dengan latihan ketidakpedulian
terhadap apa pun yang dilakukan atau dikatakan suami (hlm.9).

Dalam sejumlah kutipan-kutipan, terlihat Dini memang tidak mengerti lagi
sikap dan tingkah laku suaminya. Kadang suami Dini dapat bersikap lembut sebagai
layaknya suami apabila segala permintaannya dituruti seisi keluarga. Kadang pula
suami Dini dapat berubah menjadi sosok yang suka marah dan menentang segala
kemauan dan perkataan istrinya. Kutipan tersebut adalah suatu pengakuan bahwa
tokoh Dini mencoba untuk sabar dan tidak peduli atas hal apapun yang dilakukan
suami.

Aku tidak mempunyai sifat penghasut. Tapi karena berangsur-angsur mereka
mengetahui sendiri-sendiri bagaimana perilaku suamiku yang sebenarnya,
akhirnya mereka berubah menjadi teman-temanku (hlm. 53).
Kutipan ini adalah penjelasan tentang sikap teman-teman suami Dini. Mereka
lebih berpihak kepada Dini daripada suaminya. Hal ini juga menunjukkan, selain
sudut pandang Dini yang ditampilkan, pengarang juga menunjukkan sudut pandang
orang lain terhadap suami Dini melalui salah kutipan-kutipan dari tokoh lain. Melalui
kutipan ini pula, tokoh Dini digambarkan bukan sebagai perempuan penghasut dan
menjelek-jelekan sifat suami di hadapan umum. Tokoh Dini membiarkan tabiat buruk
suaminya terlihat orang banyak dengan sendirinya, tanpa harus ia bicarakan kepada
orang lain.

10

3.2 Opresi-opresi yang dialami tokoh Dini
Menurut Murniati (2004: 71), analisis gender tidak hanya melihat perbedaan
peran dan kegiatan antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga melihat relasi mereka.
Dari relasi ini akan tampak status perempuan dan laki-laki. Faktor yang memengaruhi
hubungan laki-laki dan perempuan dapat berasal dari peran budaya, politik, sosial,
ekonomi, adat, tradisi, hukum, dan lain-lain.
Untuk melihat hubungan antara tokoh Dini sebagai seorang perempuan dan
tokoh suaminya sebagai seorang laki-laki, analisis ini membahas opresi dalam bentuk
kekerasan verbal yang dialami tokoh Dini. Tindak kekerasan terhadap perempuan
dalam keluarga cenderung dianggap sebagai salah satu bentuk problema dalam
kehidupan pribadi dan dikategorikan sebagai salah satu bentuk hidden crime
(kriminalitas tersembunyi) yang sulit dimasukan dalam koridor hukum (Winarno,
2003: 14).
Alasan kekerasan dalam suatu rumah tangga dapat terjadi karena ada satu
pihak yang mendominasi atau berkuasa. Penguasaan nilai-nilai kultural, dan
kekuasaan yang didapatkan dari seberapa besar jumlah sumber yang diperoleh/yang
dimiliki seseorang dalam suatu budaya. Sumber-sumber itu adalah cultural capital
yang menjadi penunjang utama bagi posisi sosial seseorang dalam relasi sosial.
Cultural capital adalah segala hal yang menjadikan seseorang dapat memiliki
privilege di lingkungan sosialnya, seperti kekuatan fisik, harta, pendidikan, jabatan,

dan keturunan. Opresi yang dialami tokoh Dini dapat terjadi karena ada penguasaan
nilai-nilai kultural yang dimiliki tokoh suami. Dalam bacaaan ini, tokoh suami
berperan sebagai laki-laki berkebangsaan Prancis, yang merasa identitas nasionalnya
lebih tinggi daripada identitas nasional milik tokoh Dini. Penjelasan mengenai hal
tersebut dapat dilihat melalui kutipan-kutipan berikut.

11

Ayahnya mulai sarapan, dan di saat itulah kuberitahu bahwa aku akan pergi
selama paling tidak seminggu menengok Anis. Tak perlu kuceritakan
bagaimana lelaki yang menjadi ayah anak-anaku itu langsung bangkit dari
kursi, berteriak, menghentakkan kaki, memaki, dan menyumpah. Sebelum dia
menyinggung masalah bayaran yang harus dia keluarkan untuk wanita
pocokan tersebut, aku mendahului berkata,
“C’est ton devoir de donner un logis proper et confortable a tes enfants.
(kewajibanmulah memberikan rumah yang bersih dan nyaman kepada anakanakmu. Kamu harus membayar ibu ini. Untuk perjalananku, teman-teman
dan aku yang menanggung biaya,” lalu aku masuk kamar mengambil tas,
menyiapkan sepatu, langsung membuka pintu keluar (hlm. 11).
“Karena dia senang, Maman pulang berarti dia tidak perlu membayar orang
buat mengurus rumah!” (hlm. 8).
Tugasku adalah mengurus rumah tangga, tapi kali ini akan dibayar.
Sedangkan bersama suami, aku tidak pernah dibayar. Uang saku 150 francs
selama bertahun-tahun tidak dinaikkan. Tapi uang saku dan harga tiket itu
banyak kali bisa kuperoleh setelah aku merengek-rengek seolah-olah seorang
pengemis (hlm. 26).
“Dan aku harus memberi uang lembur …,” nada suara suamiku setengah
mengejek (hlm. 98).
Kutipan-kutipan tersebut ingin membuktikan bagaimana opresi kekerasan
verbal yang dilakukan oleh suami tokoh Dini. Tokoh suami Dini digambarkan seperti
laki-laki yang menyamakan status seorang istri dengan tukang bersih-bersih rumah.
Menurut Evans, tindakan yang dilakukan suami Dini adalah salah satu bentuk
kekerasan verbal ordering (memerintah).
Dari kutipan tersebut, pendapat Hatley tentang identitas perempuan Indonesia
menjadi kuat. Ketika bangsa dihubungkan dengan kekuasaan maskulin, identitas
perempuan Indonesia dirumuskan dengan ukuran maskulin dan untuk menegaskan
posisinya perempuan Indonesia harus berkompromi dengan kekuasaan patriarki. Di
dalam kebudayaan Jawa yang ideal, perempuan adalah istri dan ibu yang patuh serta
mendukung suami mereka; perempuan aktif, ambisius, dan bebas secara seksual
dianggap perempuan yang menyimpang (Hatley, 1997: 94).

12

Ideologi yang menuntut perempuan Jawa harus menjadi istri dan ibu yang
patuh serta mendukung suami. Muniarti (2004: 105) menyatakan bahwa ideologi ini
begitu kuat mencengkram perempuan feodal Jawa, sehingga mempunyai pengaruh
yang sangat luas. Kesempatan ini seolah dimanfaatkan oleh suami Dini untuk
menggunakan tenaga tokoh Dini secara murah. Persepsi suami Dini sebagai laki-laki
Prancis menganggap perempuan Jawa rela disuruh-suruh sebagaimana layaknya
pembantu rumah tangga.
Ketika pulang, baru sampai di pintu apartemen petang itu, suamiku langsung
menyampaikan berita yang sudah kami ketahui,
“Lintang tidak pulang kali ini. Dia dihukum karena tidak merapikan tempat
tidurnya.”
“Ya, kami sudah tahu. Tadi Maman menelepon asrama karena cemas
mengapa sampai sore Lintang belum sampai di rumah, “ Padang menanggapi
bicara ayahnya. “Mengapa Papa tidak memberitahu Maman? Apa asrama
tidak diberi nomor telepon Nyonya Melchior? Kalau Papa sedang dinas keluar
kota bagaimana?!”
Aku tidak mau menekankan kebenaran kata-kata anak bungsuku. Kebiasaanku
‘diam’ sudah menjadi rutih. Hanya bila ada tamu sajalah aku berbicara lebih
(hlm. 18).
Potongan adegan tersebut menampilkan sikap suami Dini yang tidak
menganggap posisi istrinya setara dengannya. Selain memberi beban kerja yang lebih
berat untuk mengurusi rumah tangga, suami Dini juga memperlakukan Dini dengan
cara tidak menganggap bahwa Dini layak untuk diberi kesempatan mengurusi sekolah
anaknya. Menurut Evans, kekerasan verbal dalam kutipan tersebut dapat digolongkan
sebagai tindakan trivializing (meremehkan).
Sikap meremehkan dalam kutipan ini adalah dengan tidak memberikan nomor
telepon rumah kepada pihak sekolah. Suami Dini mengatur agar jika terjadi sesuatu di
sekolah anak-anak, maka ia adalah orang pertama yang mengetahui keadaanya, bukan
Dini.

13

Bentuk lain dari sikap meremehkan yang dilakukan suami Dini adalah dalam
kutipan berikut.
Waktu itu ayahnya anak-anak sedang dinas keluar kota. Sedangkan surat dari
sekolah berisi pilihan: apakah anak diizinkan atau tidak mengikuti tambahan
pelajaran tersebut. Tanpa ragu aku membubuhkan tanda tanganku. Tapi
ternyata keputusanku itu menyebabkan percekcokan dahsyat dengan suamiku
(hlm. 80).
Suami Dini tidak memberikan kesempatan Dini untuk mengambil keputusan.
Kondisi rumah tangga dalam kutipan ini terkekang oleh suami yang otoriter.
Permasalah sederhana yang bisa dirembuk bersama-sama menjadi sebuah perkara
besar.
Kutipan di tersebut juga menyuarakan posisi istri yang tidak dianggap sebagai
peran yang penting dalam keputusan keluarga. Kaum istri di Indonesia senantiasa
berada pada posisi inferior atas superior kaum suami. Kondisi kesetaraan ini selalu
membawa korban, yakni kepentingan istri, yang termanifestasi pada gejala
marginalisasi atau pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting
dalam penyusunan setiap keputusan keluarga (Fakih, 1996: 12-13).

“Seperti anak-anak lain, aku senang mempunyai seorang ayah. Meskipun ia
suka berteriak, pemarah, pelit, tapi dia ayahku. Apa boleh buat! Jadi aku cinta
Maman, cinta Papa , tapi sendiri-sendiri, jangan bersama-sama, karena aku
sedih melihat ayahku berbuat semena-mena kepada ibuku!” (hlm. 22).
Kutipan tersebut terlontar dari mulut Lintang, anak sulung Dini. Dari
pengakuan ini, pembaca diberi informasi bahwa tindakan suami Dini telah semenamena terhadap istrinya. Tokoh suami disebutkan sering berteriak, pemarah, pelit, dan
berbuat semena-mena.
Suamiku termasuk jenis lelaki yang pandai menulis surat. Dari
kalimat-kalimat yang dia tulis, sama sekali tidak tersirat sifat beringasan atau
pemarahnya. Dia ramah menjawab, bahwa jika memang ini kehendakku, apa
boleh buat: perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi (hlm. 51).

14

Dari nada jawaban surat tersebut , aku bahkan merasakan, seolah-olah
dia memang mengharapkan atau menunggu agar akulah yang mendahului
bertindak akan bercerai (hlm. 51).
“Hati-hati, Maman, kalau kamu yang meninggalkan rumah tangga,
jangan-jangan kelak kamu disalahkan oleh Pengadilan. Papa lelaki yang pintar
menggunakan suasana demi kepentingannya…” kata Lintang (hlm. 52).
Tokoh Dini menyebutkan sifat beringasan atau pemarah yang dimiliki
suaminya. Hal ini yang membuat tokoh Dini tergerak untuk mengambil jalan
perceraian. Dini menganggap perceraian adalah satu-satunya jalan untuk dapat keluar
dari belenggu suami yang selalu memberikan tekanan emosional.
Di mana dia hadir, percakapan dimonopoli oleh Tuan Konsul. Sekali-kali
Kepala Bagian Duane berhasil menyelipkan pertanyaan kepadaku, kujawab
dengan sopan. Bahkan agak kupanjanglebarkan, supaya dia tahu bahwa aku
‘juga mampu’ berdiskusi dalam bahasa Inggris. Lebih-lebih kusengaja
‘menepis’ kesan yang dibayangkan suami sejak lima atau sepuluh menit kami
bersama, bahwa di sana aku tidak hanya sebagai istri diplomat Prancis,
melainkan juga sebagai seorang perempuan bertanah air Indonesia, karena
tidak bisa dihalangi, pertanyaan ‘dari mana asal Anda’ selalu terucap di mana
pun aku berada (hlm. 94).
Di Amerika, walau pada waktu yang berdekatan—di penghujung abad ke-19
dan awal abad ke-20—ahli sejarah Gail Bederman (1995:15) berpendapat bahwa para
laki-laki kulit putih kelas menengah berperan dalam proses penciptaan ulang
maskulinitas. Dalam kurun waktu ini, keunggulan rasial menjadi unsur penting dalam
proses tersebut. Ini berarti pada periode tersebut, wacana para lelaki kulit putih kelas
menengah penting sebagai tempat bertemunya gagasan “kekuasaan lelaki” dan
keunggulan rasial. Posisi kebangsaan Prancis yang dimiliki suami Dini, sebagai lakilaki kulit putih, menyelaraskan pendapat Bederman. Ada kemungkinan pengarang ini
menyampaikan sebuah perspektif bagaimana laki-laki kulit putih memperlakukan
perempuan Asia di depan publik. Sikap suami Dini dalam kaitannya dengan
kekerasan verbal termasuk dalam bagian meremehkan.

15

“Tapi harga dirimu sebagai Tuan Konsul tetap terjaga…”
“Harga diri, harga diri! Itu! Ibumu kalau sudah mengoceh kelihatan imajinasi
pengarangnya yang sok lebih tahu dari orang lain…”
Tapi suamiku bukan suamiku kalau gampang menuruti kehendak istri dan
anaknya! (hlm. 100).
Setelah beberapa bulan hidup terpisah, dengan majikan bersifat mudah seperti
Tuan Willm, ada saatnya aku merasa tertekan ketika mendengar kata atau
kalimat menyakitkan dari ayahnya anak-anak (hlm. 103).
Kutipan-kutipan di atas adalag sebagai sebuah contoh lain sikap suami Dini
yang memberikan ruang gerak yang terbatas kepada Dini. Jika melihat identitas
kebangsaan yang dimiliki Dini dan suaminya, ada kemungkinan bahwa segala bentuk
opresi yang dilakukan suami Dini dapat dilatarbelakangi oleh faktor ras. Suami Dini
memiliki pandangan bahwa rasnya lebih tinggi daripada ras istrinya.

3.3

Perspektif tokoh Dini terhadap opresi yang dialaminya
Peran dan status tidak dapat dipisahkan. Jika peran perempuan ditingkatkan,

statusnya perlu ditingkatkan juga. Peningkatan peran dan status perempuan berarti
mengangkat kedudukan perempuan dari subordinasi. Murniati (2004: 72) berpendapat
bahwa pemberdayaan perempuan harus berangkat dari diri perempuan itu sendiri.
Peningkatan peran-peran tersebut dapat melalui sarana-sarana, seperti melibatkan
dalam pengelolaan lingkungan hidup, upaya meningkatkan untuk menjadi pengambil
keputusan dan perencana, dan berpartisipasi melalui hukum, konsitusi, administrasi,
budaya, ekonomi, sosial, dan perilaku.
Berikut adalah perspektif-perspektif tokoh Dini dalam rangka pemberdayaan
diri sendiri terhadap opresi yang dialaminya.

16

Kesabaran kujadikan landasan, kutopang dengan latihan
ketidakpedulian terhadap apa pun yang dilakukan atau dikatakan suami (hlm.
9).
Aku tidak berunding dengan suami, melainkan dengan sahabatsahabatku, yang utama adalah Benedicte (hlm. 10).
Tines bertanya kepadaku harus memberiku berapa franc sebagai
pengganti alat masak itu. Tanpa bertanya kepada suami, kuputuskan sendiri
bahwa benda itu kuberikan saja sebagai kenang-kenangan (hlm. 31).
Perspektif tokoh Dini terhadap suaminya sudah tidak peduli lagi. Sikap yang
dipilih Dini dalam menyikapi bentuk-bentuk opresi yang dilakukan suami adalah
sikap tidak peduli dan mengambil keputusan tanpa berkompromi kepada suami. Ciri
ini membuktikan bahwa tokoh Dini telah menjadi karakter yang mandiri, tidak
bergantung kepada keputusan suami. Sikap ini menjadi salah satu ciri pemberdayaan
perempuan yang dikategorikan oleh Murniati (lihat 2004: 73).
Sejak aku kembali dari Indonesia dan bermaksud akan mengubah
sama sekali cara hidupku, pikiranku agak direpoti oleh pertanyaan: bagaimana
menyampaikan berita keinginanku akan segera bercerai dengan suami kepada
anak bungsuku ini (hlm. 20).
Tapi aku ‘harus’ mengabaikannya demi anak-anakku. Di masa itulah
aku berusaha memasang perisai ketebalan daya pendengaranku
bila
berhadapan dengan si kepala rumah tangga (hlm. 100).
Karena masa depanku sudah tampak meyakinkan, kupikir aku harus
memulai langkah akan memisahkan diri dari ayahnya anak-anak. Semakin
usia pernikahan kami melonjok ke jumlah belasan tahun, laki-laki itu semakin
tidak sabaran, bila kuajak membicarakan sesuatu.
Kukatakan bahwa hubungan kami sebagai suami-istri yang sebenarnya
sudah lama tidak sehat ini harus diakhiri. Akulah yang kini mendahului
langkah: aku tidak akan ikut pindah ke Amerika untuk hidup serumah dengan
dia dan Padang (hlm. 51).
Berpisah dari ayahnya anak-anak itu saja sudah merupakan
keberuntungan bagiku (hlm. 53).
Laki-laki ini menginginkan pujian dariku. Tapi aku tidak hendak
memenuhi harapannya. Sikapnya di ruang Kepala Bagian Duane yang nyata

17

membayangkan kebodohanku, karena selali mendahuiku menjawab
pertanyaan tentang Indonesia atau lainnya yang ditujukan kepadaku masih
kuingat jelas (hlm. 97).
Sikap berani mengambil keputusan yang dipilih Dini adalah suatu upaya
untuk meningkatkan status dan perannya sebagai istri. Dalam kutipan-kutipan di atas,
Dini telah menjadi pribadi yang mandiri dengan mengambil langkah perceraian.
Keputusan ini juga tidak serta merta tanpa pergulatan batin yang cukup panjang.
Awalnya Dini enggan untuk mengambil langkah ini karena ia masih memikirkan
nasib anak-anaknya. Setelah kedua anak-anaknya menyetujui langkah perceraian
orangtuanya, atas prakarsa Dini, ia menjatuhkan tuntutan cerai kepada suaminya.
Upaya pemberdayaan lain yang ditampilkan dalam novel ini adalah keikutsertaan
Dini dalam kegiatan sosial pecinta alam. Ada dalam suatu adegan, ketika Dini
menjadi sukarelawan menolong burung-burung yang hampir punah di pesisir pantai
Prancis Selatan. Upaya ini menurut Murniati sebagai bagian dari peran perempuan
melibatkan diri dalam pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, upaya lain menurut
Murniati, partisipasi perempuan dalam berbagai bidang. Sosok tokoh Dini sebagai
pengarang juga menjadi contoh bahwa tokoh Dini telah melakukan pemberdayaan
pada dirinya sendiri.

4

Simpulan
Gender adalah seperangkat peran yang, seperti halnya kostum dan topeng di

teater, menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminin dan maskulin.
Perangkat khusus ini–yang mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian,
bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga dan
sebagainya—secara bersama-sama memoles “peran gender” kita. Analsis ini melihat
hubungan gender antara tokoh Dini dengan suaminya dalam novel Argenteuil Hidup
Memisahkan Diri.

Frye dan Young menyebutkan ada lima bentuk opresi atau dengan istilah lain
masalah bias gender, yaitu eksploitasi, marginalisasi, ketidakberdayaan, imperial

18

kebudayaan, dan kekerasan. Fakih Mansour (1997: 12) menggunakan sebutan bentuk
ketidakadilan gender untuk menyebut istilah opresi yang dibicarakan Young. Ada
enam bentuk ketidakadilan gender menurut Mansour, yaitu marginalisasi atau proses
pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan
politik, pembentukan stereotip atau melalui pelabelan negatif, kekerasan, beban kerja
lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.
Murniati (2004: xxiii) membagi bentuk-bentuk ketidakadilan gender menjadi empat,
yaitu stereotip, beban ganda perempuan, marginalisasi, dan kekerasan terhadap
perempuan.
Salah satu masalah bias gender yang dibahas dalam analisis ini adalah
kekerasan terhadap perempuan. Tindak kekerasan terhadap perempuan dalam
keluarga cenderung dianggap sebagai salah satu bentuk problema dalam kehidupan
pribadi dan dikategorikan sebagai salah satu bentuk hidden crime (kriminalitas
tersembunyi) yang sulit dimasukan dalam koridor hukum (Winarno, 2003: 14).
Kekerasan tidak harus dalam bentuk fisik. Sasarannya bisa berbentuk psikologi
seseorang. Menurut Haryatmoko (2010: 131), kekerasan yang paling sulit diatasi
adalah kekerasan simbolis yang beroperasi melalui wacana. Kekerasan simbolis
adalah pintu gerbang menuju ke kekerasan psikologis dan beresiko ke kekerasan
fisik.
Dalam novel ini, berdasarkan kategori kekerasan verbal menurut Evans (1996:
81-83) opresi yang paling sering terjadi adalah tindakan meremehkan posisi istri.
Secara umum kekerasan verbal adalah upaya untuk menguasai dan mengontrol. Sikap
opresi yang diterima oleh tokoh Dini ditanggapi oleh tokoh Dini dengan upaya-upaya
pemberdayaan. Ada tiga bentuk upaya pemberdayaan menurut Muniarti, analsis ini
menemukan ketiga contoh jenis pemberdayaan tersebut, yaitu peran aktif dalam
kegiatan pecinta alam, aktif dalam kegiatan kebudayaan, dan berani mengambil
keputusan untuk terbebas dari suami.

19

Daftar Pustaka
Aminuddin. 1984. Pengantar Apresiasi Sastra . Malang: IKIP Malang.
Bederman, Gail. 1995. Manliness abd Civilization: A Cultural History of Gender and
Race in the United States, 1880-1817. Chicago: The University of Chicago

Press.
Cudd, Ann E., & Robin O. Andreasen (peny.). 2005. Feminist Theory: A
Philosophical Anthology. UK: Blackwell Publishing,

Dini, Nh. 2008. Argenteuil Hidup Memisahkan Diri. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Evans, Patricia. 1996. The Verbally Abusive Relationship: How to Recognize It and
How to Respons. Massachusetts: Adams Media Coorporation.

Fakih, Mansour. 1997. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Frye, Marilyn. 2005. “Oppression”, dalam Ann E. Cudd, & Robin O. Andreasen
(peny.), Feminist Theory: A Philosophical Anthology. UK: Blackwell
Publishing.
Haryatmoko. 2010. Dominasi Penuh Muslihat Akar Kekerasan dan Diskriminasi.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hatley, Barbara. 1997. “Nation, Tradition, and Constructions of the Feminine in
Modern Indonesian Literature”, dalam Jim Schiller dan Barbara M. Schiller
(peny.), Imagining Indonesia: Cultural Politics and Political Culture. Ohio:
Ohio University Center for International Studies.
Hellwig, Tineke. 1994. In the Shadow of Change. Citra Perempuan dalam Sastra
Indonesia. Depok: Desantara.

Luwis, Fenty Nadia. 2008. Kekerasan dalam Rumah Tangga yang Dialami Tokoh
Dini dalam Novel Dari Fontenay ke Magallianes (Skripsi). Depok: Fakultas

Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Mosse, Julia Cleves. 2003. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

20

Muniarti, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender: Perempuan Indonesia dalam Perspektif
Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum, dan HAM. Magelang: IndonesiaTera.

Paramadhita, Intan. 2007. ““Identitas Antara” dalam Novel-novel Nh. Dini” dalam
Rahman, Lisabona (peny.), Pola dan Silangan: Jender dalam Teks Indonesia .
Jakarta: Yayasan Kalam.
Rahman, Lisabona (peny.). 2007. Pola dan Silangan: Jender dalam Teks Indonesia .
Jakarta: Yayasan Kalam.
Saraswati, Luh Ayu. 2007. ““Tetralogi Buru”, Kecantikan Perempuan, dan
Maskulinitas Pascakolonial”, dalam Rahman, Lisabona (peny.), Pola dan
Silangan: Jender dalam Teks Indonesia . Jakarta: Yayasan Kalam.

Sudjiman, Panuti. 1991. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Welleck, Rene, dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan , terj. Melani Budianta.
Jakarta: Gramedia.
Winarno, Endro. 2003. Pengkajian Profil Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan
Dalam Keluarga . Jakarta: Departemen Sosial RI.

Lampiran
Sampul Buku

21

Sinopsis
Argenteuil, sebuah kota kecil di tepian Sungai Seine, kira-kira 10 km barat
laut Paris. Ke sanalah Dini pindah setelah suaminya berangkat ke Amerika Serikat
untuk menjadi Konsul Jenderal Prancis di Detroit. Padang ikut ayahnya, sementara
Lintang meneruskan tinggal di asrama sekolah sampai menamatkan pendidikan
menengahnya.
Sambil menunggu perceraian resmi yang proses pengurusannya memakan
waktu 4-6 tahun, ia memilih hidup memisahkan diri dari suami dan anak-anaknya.
Meski demikian, ia bersyukur karena Lintang dan Padang mendukung keputusannya
dan secara batin tetap dekat dengannya.
Di Argenteuil, Dini menjalani hari-hari yang tenang dengan bekerja sebagai
dame de compagnie – wanita pendamping bagi Tuan Willm, seorang pria tua berusia
tujuh puluhan yang hidup seorang diri di rumah kuno berlantai empat dan pernah
menjadi tempat tinggal Karl Marx.

22

Tugas Dini adalah merawat dan menjadi teman berbincang bagi Tuan Willm.
Di saat-saat senggang, ia terus menekuni kegemarannya menulis dan berkebun.
Hari-harinya yang tenang terusik ketika ia menerima undangan dari Angele –
kakak Sang Kapten – untuk berkunjung ke tanah pertanian tempat kekasihnya itu
dilahirkan.

Riwayat Pengarang

Nh. Dini lahir pada 29 Februari 1936 dari pasangan Saljowidjojo dan
Kusaminah. Ia sudah menulis sajak dan prosa berirama sejak tahun 1951. Ia adalah
anak bungsu dari lima bersaudara. Karya pertama Nh. Dini adalah Pendurhaka yang
dimuat di majalah Kisah dan mendapat sorotan dari H.B Jassin. Di tahun 1965, ia
menerbitkan kumpulan cerpen Dua Dunia .
Nh. Dini pernah menjadi pramugari Garuda Indonesia Airways. Kemudian, ia
menikah dengana Yves Coffin, seorang diplomat Prancis. Dari pernikahannya
tersebut, ia memiliki dua orang anak, Marie Claire Lintang dan Pierre Louise Padang.
Setelah lebih dari duapuluh tahun melanglang buana, di antaranya tinggal di
Jepang, Kamboja, Filipina, Amerika Serikat, Belanda, dan Prancis, pada tahun 1980
Dini kembali ke Indonesia. Sejak itu, pengarang yang mendapat “Hadiah Seni Untuk

23

Sastra, 1989” dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ini aktif dalam Wahana
Lingkungan Hidup dan Forum Komunikasi Gerakan Muda Keluarga Berencana”
Tahun 2000 Nh. Dini menerima “Hadiah Seni” dari Dewan Kesenian Jawa
Tengah. Tahaun 2003 ia menerima “Southeast Asia Writers’ Award” di Bangkok,
Thailand.
Sejak tahun 2002, sampai empat tahun kemudian, Nh. Dini tinggal di Graha
Wredha Mulya, Sendowo, Yogyakarta, dan mengisi hari-harinya dengan menulis,
mengurusi Pondok Baca, merawat tanaman, dan melukis.
Menjelang akhir tahun 2006, Nh. Dini bergabung ke Wisma Lansia Langen
Werdhasih di Lerep, sebuah desa yang tenang di lereng Gunung Ungaran, kira-kira
30 km di selatan kota Semarang. Di awal November 2007, Dini diundang mewakili
Indonesia untuk mengikuti “Jeonju 2007 Asia-Africa Literature Fetival” di Korea
Selatan.

24

Dokumen yang terkait

OPTIMASI FORMULASI dan UJI EFEKTIVITAS ANTIOKSIDAN SEDIAAN KRIM EKSTRAK DAUN KEMANGI (Ocimum sanctum L) dalam BASIS VANISHING CREAM (Emulgator Asam Stearat, TEA, Tween 80, dan Span 20)

97 464 23

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15

Hubungan Antara Kompetensi Pendidik Dengan Kecerdasan Jamak Anak Usia Dini di PAUD As Shobier Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember

4 116 4

Kekerasan rumah tangga terhadap anak dalam prespektif islam

7 74 74

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan manajemen mutu terpadu pada Galih Bakery,Ciledug,Tangerang,Banten

6 163 90

Kesesuaian konsep islam dalam praktik kerjasama bagi hasil petani desa Tenggulun Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan Jawa Timur

0 86 111

Upaya guru PAI dalam mengembangkan kreativitas siswa pada mata pelajaran pendidikan agama islam Kelas VIII SMP Nusantara Plus Ciputat

48 349 84