Bahaya Ideologis Perayaan Tahun Baru Mas
Bahaya Ideologis dibalik Perayaan Tahun Baru Masehi
Oleh: Yan S. Prasetiadi, M.Ag
Peneliti Ukhuwah Islamiyyah Institute – Purwakarta Jabar.
Perayaan tahun baru sudah dipastikan selalu menjadi momen spesial bagi
sebagian besar masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia. Bahkan jika
diperhatikan, perayaan tahun baru Masehi yang dilakukan oleh umat Islam, terkadang
kemeriahannya bisa mengalahkan perayaan tahun baru Masehi umat Kristiani. Data
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, tahun ini saja (2014) terhitung Januari
hingga Oktober, Indonesia sudah mengimpor kembang api lebih dari USD 23 juta atau
senilai Rp. 288 miliar (jika kurs Rp 12.000) (www.koran-sindo.com). Sungguh miris
memang, negeri dengan mayoritas berpenduduk muslim ini, dalam satu malam disulap
bagaikan negeri non-muslim. Padahal semua orang jelas mengetahui, bahwa perayaan
tahun baru Masehi merupakan tradisi yang berasal dari umat Kristiani, namun mengapa
lebih meriah ketimbang tahun baru Hijriah? Inilah sebuah hal yang patut dipikirkan
umat Islam.
Bahaya Ideologis
Secara historis, penentuan 1 Januari sebagai tahun baru, awalnya diresmikan
Kaisar Romawi Julius Caesar (tahun 46 SM), lalu tahun 1582 diresmikan ulang
pemimpin tertinggi Katolik, Paus Gregorius XIII, yang kemudian diadopsi hampir
seluruh negara Eropa Barat Kristen sebelum mengadopsi kalender Gregorian tahun
1752. (www.en.wikipedia.org; www.history.com).
Perayaan tahun baru Masehi di Barat dirayakan secara beragam, baik berupa
ibadah seperti layanan ibadah di gereja, maupun aktivitas non-ibadah, seperti
parade/karnaval, menikmati berbagai hiburan, berolahraga seperti hockey es dan
American football (rugby), menikmati makanan tradisional, berkumpul dengan
keluarga, dan lain sebagainya. (www.en.wikipedia.org).
Berdasarkan fakta di atas, sejatinya perayaan tahun baru masehi adalah bagian
dari hadharah (peradaban) di luar Islam. Sehingga kaum muslim, sebagaimana
penjelasan para ulama, dilarang ikut serta memeriahkannya. Dalil keharamannya ada 2
(dua); Pertama, dalil umum yang mengharamkan kaum muslimin menyerupai kaum
kafir (tasyabbuh bi al-kuffâr). Kedua, dalil khusus yang mengharamkan kaum muslimin
merayakan hari raya kaum kafir (tasyabbuh bi al-kuffâr fi a’yâdihim). (M. Shiddiq Al
Jawi, 2013).
Selain secara syar’i haram ikut serta dan larut dalam perayaan tahun baru
masehi, di sisi lain jika kita jeli, perayaan tahun baru masehi ini memiliki bahaya
ideologis bagi umat Islam. Bahaya ideologis ini adalah bahaya yang menyerang sisi-sisi
prinsip dan substansi dalam konteks umat Islam sebagai individu pemeluk agama,
konseptual ajaran, hukum, sejarah dan berbagai perkara penting lainnya dalam Islam.
Diantara bahaya-bahaya ideologis tersebut adalah:
Pertama, mengikis kepribadian Islam
Seorang muslim dituntut untuk selalu mempertahankan identitasnya sebagai
seorang muslim, baik dalam konteks berpikir maupun berbuat, dalam bahasa dakwah
biasa dikenal dengan pola pikir Islam dan pola sikap Islam. Sehingga kaum muslim
1
tidak boleh sedikitpun meniru kepribadian non-muslim, yakni kepribadian yang tidak
berlandaskan akidah dan syariah.
Sedangkan dalam konteks perayaan tahun baru masehi, selain diawali dengan
seruan perayaan natal bersama yang merusak akidah, perayaan tahun baru masehi pun
disinyalir merupakan momentum umat nasrani mempropagandakan tradisi mereka
dalam menyambut tahun baru, baik dengan ibadah, maupun dengan perbuatanperbuatan lainnya, yang tentunya bisa merusak jati diri seorang muslim. Misalnya
meniup terompet, dan budaya hedonisme-hura-hura lainnya.
Padahal seorang muslim ketika sebuah tahun berlalu (misal hijriah) ia di
anjurkan agar melakukan muahsabah (instropeksi) akan amal-amal yang dia lakukan,
dan memohon kepada Allah agar diterima amalnya, dan memperbaiki diri kedepannya.
Semua tentunya diiringi dengan suasanya taubat dan istigfar (meminta ampun) atas
segala dosa yang telah dilakukannya. Jadi bukan diisi dengan hura-hura seolah olah dia
hidup selamanya di dunia ini.
Kedua, pendangkalan Akidah Islam
Perayaan tahun baru Masehi secara khusus memang sangat erat dengan hari raya
kaum kafir. Peringatan tahun baru sudah dimulai sejak masa kaisar Julius Caesar.
Januari dipilih menjadi bulan pertama diantaranya karena dikaitkan dengan nama dewa
Janus. Umat Kristen akhirnya ikut merayakannya. Berdasarkan keputusan Konsili Tours
tahun 567 umat Kristen ikut merayakan Tahun Baru dan mereka mengadakan puasa
khusus serta ekaristi. Lalu pada tahun 1582 M, Paus Gregorius XIII mengubah Perayaan
Tahun Baru Umat Kristen dari tanggal 25 Maret menjadi 1 Januari. Sejak saat itu, umat
kristen di seluruh dunia merayakan Tahun Baru mereka pada tanggal 1 Januari. (AlIslam, 587; 2011).
Berdasarkan ini jelaslah perayaan tahun baru masehi baik langsung, maupun
tidak langsung, telah dijadikan hari spesial kaum Nasrani. Akidah Islam sendiri
menentang keimanan kaum Nasrani, dan seluruh turunannya, termasuk tahun baru
masehi, karena tahun baru tersebut jelas-jelas telah diadopsi mereka menjadi hari raya
kaum Nasrani.
Jika seorang muslim larut dalam perayaan tahun baru, tidak menutup
kemungkinan tentunya Imannya akan tergerus, sehingga Akidahnya dangkal, hal ini
disebabkan kerelaan mereka merayakan hari raya umat yang konsep ketuhanannya
bermasalah. Padahal, Imam Ahmad berkata: “Kaum Muslim telah diharamkan untuk
merayakan hari raya orang-orang Yahudi dan Nasrani.” (Ibnu Taimiyyah, Iqtidhâ’ ashShirâth al-Mustaqîm, hal. 201).
Ketiga, propaganda liberalisasi budaya
Sudah tidak aneh lagi jika peradaban Barat identik dengan liberalisasi budaya,
hal ini merupakan konsekuensi logis paradigma sekuler yang mereka gunakan dalam
mengatur kehidupan manusia. Karena agama tidak boleh ikut campur tangan dalam
kehidupan, maka segala macam aturan dan tradisi akhirnya diserahkan kepada hawa
nafsu manusia. Nah, hal ini sangat telanjang terlihat dalam konteks perayaan tahun baru
Masehi. Sudah umum diketahui, perayaan tahun baru Masehi adalah perayaan yang
menghabiskan biaya sangat besar sampai miliaran rupiah, hal itu demi menciptakan
berbagai sarana hiburan menjelang pesta kembang api, tak hanya itu, pesta sex, mabukmabukan, dan kegiatan amoral lainnya pun senantiasa mewarnai tahun baru Masehi
tersebut.
Ini merupakan bukti nyata bahwa perayaan tahun baru Masehi, sejatinya
merupakan sebuah propaganda liberalisasi budaya, budaya serba bebas dan tidak
2
memperhatikan halal dan haram tersebut, terus menerus disosialisasikan dengan
berbagai cara, salah satunya media, akhirnya kaula muda muslim pun terpengaruh
budaya liberal itu.
Keempat, menjauhkan umat Islam dari kalender Hijriah
Dengan diberlakukan sistem kalender Masehi, praktis ini akan menyulitkan umat
Islam di seluruh dunia, dalam memperhatikan dan mengingat momen-momen penting
dalam ajaran Islam, sebab umat Islam sendiri sebenarnya memiliki sistem tersendiri
dalam penghitungan waktu, yang biasa dikenal dengan sistem kalender Hijriah. Ada
banyak hukum Islam yang pelaksanaannya tergantung dengan kalender Hijriah, semisal
Ramadhan, Idul Adha, Idul Fitri, Haji, dan juga termasuk hari-hari bersejarah dalam
peradaban Islam. Semuanya ditandai oleh sistem kalender Hijriah.
Meskipun hingga kini, umat Islam dibantu oleh para Ulama, beserta pihak-pihak
yang peduli dengan sistem kalender Hijriah, sehingga berbagai pelaksanaan hukum
Islam dan hari-hari bersejarah dalam peradaban Islam bisa diingat, namun tidak
menutup kemungkinan suatu saat pengaruh penerapan sistem kalender Masehi ini, pasti
berdampak serius terhadap umat Islam. Buktinya kini saja, banyak umat Islam yang
masih belum mengenal sistem kalender Hijriah (Qamariyyah), yang terdiri dari: (1)
Muharram; (2) Shafar; (3) Rabi’ul Awwal; (4) Rabi’ul Akhir/Rabi’u ats-Tsani; (5)
Jumada al-Ula; (6) Jumada al-Akhir/Jumada ats-Tsani; (7) Rajab; (8) Sya’ban; (9)
Ramadhan; (10) Syawwal; (11) Dzulqa’dah; dan (12) Dzulhijjah.
Karena itu pemberlakukan sistem kalender Masehi, mau tidak mau akan
berdampak serius kedepannya, yang akan menjauhkan umat Islam dari kalender Hijriah,
yakni sebuah sistem waktu yang ditetapkan berdasarkan ijma para sahabat (lihat, Ibnu
Hajar al-Asqalani, Fath al-Bâri, VIII/335).
Kelima, mengokohkan Penjajahan Barat
Akhirnya, tatkala identitas seorang muslim –yang seharusnya digenggam kokoh
kepribadian Islamnya– mulai tercabut, akidahnya semakin dangkal, pemahamannya
akan kalender Hijriah semakin hilang –sehingga banyak hukum syara’ yang dia lalaikan,
maka jelas ini akan menjadi kesempatan emas bagi para musuh Islam dan musuh kaum
muslim, untuk terus mengokohkan hegemoninya di seluruh negeri muslim.
Benar sekali, mereka akan terus kokoh menjajah umat Islam. Baik fisik maupun
non fisik. Hal ini terjadi tatkala umat meninggalkan Islam –akibat empat dampak di
atas, sehingga mengambil aturan yang lahir dari ideologi transnasional Barat, seperti
demokrasi, liberalisme, sekalurisme, dll. Ketika itu terjadi, umat Islam akan mengalami
berbagai krisis multidimensi, krisis moral, sosial-budaya, politik, ekonomi dll; pada saat
yang sama mereka akan terus bergantung pada barat dalam berbagai bidang, umat Islam
kehilangan jati dirinya sebagai umat terbaik dan umat unggul penguasa peradaban
sebagaimana dulu kala.
Dalam perspektif simbolis, perayaan tahun baru masehi seolah-olah merupakan
simbol perayaan keberlangsungan penjajahan Barat atas dunia Islam. Karena para ahli
sejarah mengakui bahwa ketika Khilafah Ustmani pada 1924 runtuh, kalender Hijriah
yang berlaku saat itu, kemudian diganti dan berubah dengan kalender Masehi atas
prakarsa para politisi sekuler Turki, kejadian tersebut bersamaan dengan perubahan
sistem tata Negara kala itu, dari sistem Pemerintahan Islam menjadi Negara RepublikSekuler Turki.
Demikianlah empat bahaya ideologis yang mengancam umat Islam dibalik
perayaan tahun baru Masehi. Wallahu a’lam.
3
4
Oleh: Yan S. Prasetiadi, M.Ag
Peneliti Ukhuwah Islamiyyah Institute – Purwakarta Jabar.
Perayaan tahun baru sudah dipastikan selalu menjadi momen spesial bagi
sebagian besar masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia. Bahkan jika
diperhatikan, perayaan tahun baru Masehi yang dilakukan oleh umat Islam, terkadang
kemeriahannya bisa mengalahkan perayaan tahun baru Masehi umat Kristiani. Data
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, tahun ini saja (2014) terhitung Januari
hingga Oktober, Indonesia sudah mengimpor kembang api lebih dari USD 23 juta atau
senilai Rp. 288 miliar (jika kurs Rp 12.000) (www.koran-sindo.com). Sungguh miris
memang, negeri dengan mayoritas berpenduduk muslim ini, dalam satu malam disulap
bagaikan negeri non-muslim. Padahal semua orang jelas mengetahui, bahwa perayaan
tahun baru Masehi merupakan tradisi yang berasal dari umat Kristiani, namun mengapa
lebih meriah ketimbang tahun baru Hijriah? Inilah sebuah hal yang patut dipikirkan
umat Islam.
Bahaya Ideologis
Secara historis, penentuan 1 Januari sebagai tahun baru, awalnya diresmikan
Kaisar Romawi Julius Caesar (tahun 46 SM), lalu tahun 1582 diresmikan ulang
pemimpin tertinggi Katolik, Paus Gregorius XIII, yang kemudian diadopsi hampir
seluruh negara Eropa Barat Kristen sebelum mengadopsi kalender Gregorian tahun
1752. (www.en.wikipedia.org; www.history.com).
Perayaan tahun baru Masehi di Barat dirayakan secara beragam, baik berupa
ibadah seperti layanan ibadah di gereja, maupun aktivitas non-ibadah, seperti
parade/karnaval, menikmati berbagai hiburan, berolahraga seperti hockey es dan
American football (rugby), menikmati makanan tradisional, berkumpul dengan
keluarga, dan lain sebagainya. (www.en.wikipedia.org).
Berdasarkan fakta di atas, sejatinya perayaan tahun baru masehi adalah bagian
dari hadharah (peradaban) di luar Islam. Sehingga kaum muslim, sebagaimana
penjelasan para ulama, dilarang ikut serta memeriahkannya. Dalil keharamannya ada 2
(dua); Pertama, dalil umum yang mengharamkan kaum muslimin menyerupai kaum
kafir (tasyabbuh bi al-kuffâr). Kedua, dalil khusus yang mengharamkan kaum muslimin
merayakan hari raya kaum kafir (tasyabbuh bi al-kuffâr fi a’yâdihim). (M. Shiddiq Al
Jawi, 2013).
Selain secara syar’i haram ikut serta dan larut dalam perayaan tahun baru
masehi, di sisi lain jika kita jeli, perayaan tahun baru masehi ini memiliki bahaya
ideologis bagi umat Islam. Bahaya ideologis ini adalah bahaya yang menyerang sisi-sisi
prinsip dan substansi dalam konteks umat Islam sebagai individu pemeluk agama,
konseptual ajaran, hukum, sejarah dan berbagai perkara penting lainnya dalam Islam.
Diantara bahaya-bahaya ideologis tersebut adalah:
Pertama, mengikis kepribadian Islam
Seorang muslim dituntut untuk selalu mempertahankan identitasnya sebagai
seorang muslim, baik dalam konteks berpikir maupun berbuat, dalam bahasa dakwah
biasa dikenal dengan pola pikir Islam dan pola sikap Islam. Sehingga kaum muslim
1
tidak boleh sedikitpun meniru kepribadian non-muslim, yakni kepribadian yang tidak
berlandaskan akidah dan syariah.
Sedangkan dalam konteks perayaan tahun baru masehi, selain diawali dengan
seruan perayaan natal bersama yang merusak akidah, perayaan tahun baru masehi pun
disinyalir merupakan momentum umat nasrani mempropagandakan tradisi mereka
dalam menyambut tahun baru, baik dengan ibadah, maupun dengan perbuatanperbuatan lainnya, yang tentunya bisa merusak jati diri seorang muslim. Misalnya
meniup terompet, dan budaya hedonisme-hura-hura lainnya.
Padahal seorang muslim ketika sebuah tahun berlalu (misal hijriah) ia di
anjurkan agar melakukan muahsabah (instropeksi) akan amal-amal yang dia lakukan,
dan memohon kepada Allah agar diterima amalnya, dan memperbaiki diri kedepannya.
Semua tentunya diiringi dengan suasanya taubat dan istigfar (meminta ampun) atas
segala dosa yang telah dilakukannya. Jadi bukan diisi dengan hura-hura seolah olah dia
hidup selamanya di dunia ini.
Kedua, pendangkalan Akidah Islam
Perayaan tahun baru Masehi secara khusus memang sangat erat dengan hari raya
kaum kafir. Peringatan tahun baru sudah dimulai sejak masa kaisar Julius Caesar.
Januari dipilih menjadi bulan pertama diantaranya karena dikaitkan dengan nama dewa
Janus. Umat Kristen akhirnya ikut merayakannya. Berdasarkan keputusan Konsili Tours
tahun 567 umat Kristen ikut merayakan Tahun Baru dan mereka mengadakan puasa
khusus serta ekaristi. Lalu pada tahun 1582 M, Paus Gregorius XIII mengubah Perayaan
Tahun Baru Umat Kristen dari tanggal 25 Maret menjadi 1 Januari. Sejak saat itu, umat
kristen di seluruh dunia merayakan Tahun Baru mereka pada tanggal 1 Januari. (AlIslam, 587; 2011).
Berdasarkan ini jelaslah perayaan tahun baru masehi baik langsung, maupun
tidak langsung, telah dijadikan hari spesial kaum Nasrani. Akidah Islam sendiri
menentang keimanan kaum Nasrani, dan seluruh turunannya, termasuk tahun baru
masehi, karena tahun baru tersebut jelas-jelas telah diadopsi mereka menjadi hari raya
kaum Nasrani.
Jika seorang muslim larut dalam perayaan tahun baru, tidak menutup
kemungkinan tentunya Imannya akan tergerus, sehingga Akidahnya dangkal, hal ini
disebabkan kerelaan mereka merayakan hari raya umat yang konsep ketuhanannya
bermasalah. Padahal, Imam Ahmad berkata: “Kaum Muslim telah diharamkan untuk
merayakan hari raya orang-orang Yahudi dan Nasrani.” (Ibnu Taimiyyah, Iqtidhâ’ ashShirâth al-Mustaqîm, hal. 201).
Ketiga, propaganda liberalisasi budaya
Sudah tidak aneh lagi jika peradaban Barat identik dengan liberalisasi budaya,
hal ini merupakan konsekuensi logis paradigma sekuler yang mereka gunakan dalam
mengatur kehidupan manusia. Karena agama tidak boleh ikut campur tangan dalam
kehidupan, maka segala macam aturan dan tradisi akhirnya diserahkan kepada hawa
nafsu manusia. Nah, hal ini sangat telanjang terlihat dalam konteks perayaan tahun baru
Masehi. Sudah umum diketahui, perayaan tahun baru Masehi adalah perayaan yang
menghabiskan biaya sangat besar sampai miliaran rupiah, hal itu demi menciptakan
berbagai sarana hiburan menjelang pesta kembang api, tak hanya itu, pesta sex, mabukmabukan, dan kegiatan amoral lainnya pun senantiasa mewarnai tahun baru Masehi
tersebut.
Ini merupakan bukti nyata bahwa perayaan tahun baru Masehi, sejatinya
merupakan sebuah propaganda liberalisasi budaya, budaya serba bebas dan tidak
2
memperhatikan halal dan haram tersebut, terus menerus disosialisasikan dengan
berbagai cara, salah satunya media, akhirnya kaula muda muslim pun terpengaruh
budaya liberal itu.
Keempat, menjauhkan umat Islam dari kalender Hijriah
Dengan diberlakukan sistem kalender Masehi, praktis ini akan menyulitkan umat
Islam di seluruh dunia, dalam memperhatikan dan mengingat momen-momen penting
dalam ajaran Islam, sebab umat Islam sendiri sebenarnya memiliki sistem tersendiri
dalam penghitungan waktu, yang biasa dikenal dengan sistem kalender Hijriah. Ada
banyak hukum Islam yang pelaksanaannya tergantung dengan kalender Hijriah, semisal
Ramadhan, Idul Adha, Idul Fitri, Haji, dan juga termasuk hari-hari bersejarah dalam
peradaban Islam. Semuanya ditandai oleh sistem kalender Hijriah.
Meskipun hingga kini, umat Islam dibantu oleh para Ulama, beserta pihak-pihak
yang peduli dengan sistem kalender Hijriah, sehingga berbagai pelaksanaan hukum
Islam dan hari-hari bersejarah dalam peradaban Islam bisa diingat, namun tidak
menutup kemungkinan suatu saat pengaruh penerapan sistem kalender Masehi ini, pasti
berdampak serius terhadap umat Islam. Buktinya kini saja, banyak umat Islam yang
masih belum mengenal sistem kalender Hijriah (Qamariyyah), yang terdiri dari: (1)
Muharram; (2) Shafar; (3) Rabi’ul Awwal; (4) Rabi’ul Akhir/Rabi’u ats-Tsani; (5)
Jumada al-Ula; (6) Jumada al-Akhir/Jumada ats-Tsani; (7) Rajab; (8) Sya’ban; (9)
Ramadhan; (10) Syawwal; (11) Dzulqa’dah; dan (12) Dzulhijjah.
Karena itu pemberlakukan sistem kalender Masehi, mau tidak mau akan
berdampak serius kedepannya, yang akan menjauhkan umat Islam dari kalender Hijriah,
yakni sebuah sistem waktu yang ditetapkan berdasarkan ijma para sahabat (lihat, Ibnu
Hajar al-Asqalani, Fath al-Bâri, VIII/335).
Kelima, mengokohkan Penjajahan Barat
Akhirnya, tatkala identitas seorang muslim –yang seharusnya digenggam kokoh
kepribadian Islamnya– mulai tercabut, akidahnya semakin dangkal, pemahamannya
akan kalender Hijriah semakin hilang –sehingga banyak hukum syara’ yang dia lalaikan,
maka jelas ini akan menjadi kesempatan emas bagi para musuh Islam dan musuh kaum
muslim, untuk terus mengokohkan hegemoninya di seluruh negeri muslim.
Benar sekali, mereka akan terus kokoh menjajah umat Islam. Baik fisik maupun
non fisik. Hal ini terjadi tatkala umat meninggalkan Islam –akibat empat dampak di
atas, sehingga mengambil aturan yang lahir dari ideologi transnasional Barat, seperti
demokrasi, liberalisme, sekalurisme, dll. Ketika itu terjadi, umat Islam akan mengalami
berbagai krisis multidimensi, krisis moral, sosial-budaya, politik, ekonomi dll; pada saat
yang sama mereka akan terus bergantung pada barat dalam berbagai bidang, umat Islam
kehilangan jati dirinya sebagai umat terbaik dan umat unggul penguasa peradaban
sebagaimana dulu kala.
Dalam perspektif simbolis, perayaan tahun baru masehi seolah-olah merupakan
simbol perayaan keberlangsungan penjajahan Barat atas dunia Islam. Karena para ahli
sejarah mengakui bahwa ketika Khilafah Ustmani pada 1924 runtuh, kalender Hijriah
yang berlaku saat itu, kemudian diganti dan berubah dengan kalender Masehi atas
prakarsa para politisi sekuler Turki, kejadian tersebut bersamaan dengan perubahan
sistem tata Negara kala itu, dari sistem Pemerintahan Islam menjadi Negara RepublikSekuler Turki.
Demikianlah empat bahaya ideologis yang mengancam umat Islam dibalik
perayaan tahun baru Masehi. Wallahu a’lam.
3
4