BENCANA DAN KEMASYARAKATAN Studi Penyeba

BENCANA DAN KEMASYARAKATAN:
Studi Penyebab dan Penanganan Bencana Berbasis Lokal
Oleh: Zainal, M.Ag1
Abstrak
Although the earthquake caused by natural factors, but also the human factor can lead to
disaster. Indeed human interaction with the natural balance of nature is quite decisive.
Therefore, it should be noted human concern towards the natural surroundings. Effective
earthquake disaster management community is helpless in dealing with the worst possibilities
and responsive to escape. Enough potential to help local communities in addressing disaster
recovery, both from the aspect of physical and psychological aspects
Key Word: Disasters and Society, Local

Meskipun bencana gempa disebabkan oleh faktor alam, namun faktor manusia juga dapat
menyebabkan bencana. Sesungguhnya interaksi manusia dengan alam cukup menentukan
keseimbangan alam. Oleh sebab itu perlu diperhatikan kepedulian manusia terhadap alam
sekitarnya. Penanganan bencana gempa yang efektif adalah berdayanya masyarakat
dalam mengatasi terjadinya kemungkinan yang terburuk dan tanggap terhadap
penyelamatan diri. Potensi lokal cukup membantu masyarakat dalam menangani
pemulihan bencana, baik dari aspek fisik maupun dari aspek psikis
Key Word: Bencana dan Masyarakat,Lokal
A. Pendahuluan

Bencana sesungguhnya adalah suatu kenyataan yang terjadi di luar keinginan
manusia, ia datang tanpa diundang dan diminta, tetapi ia muncul begitu saja tanpa
memberitakan aba-aba secara detail. Pada prinsipnya bencana demikian datang tidak
hanya semata-mata karena faktor alam, tetapi juga ada kaitannya dengan perilaku
manusia yang sudah tidak peduli dengan alam. Dalam sejarah manusia, bencana terbesar
telah terjadi pada masa Nabi Nuh, tercatat pada peristiwa ini telah menelan korban yang
tidak terhingga. Meskipun bencana terbesar pada masa Nabi Nuh ini berbentuk air,
namun juga diawali dengan gempa yang sampai mengeluarkan air dari bumi tanpa hentihentinya, serta tertumpahnya air hujan yang terus mendera. Menarik pada masa ini,
bencana yang terjadi juga berkaitan langsung dengan perilaku manusia yang ada pada
saat itu telah melampaui batas ketentuan Sang Pencipta (Allah), sehingga bencana itu
dapat menginsafkan kembali pengikut Nabi Nuh yang sudah mulai berpaling jauh dari
ajaran agama yang diserukan Nabi Nuh.
1Dosen Fak. Dakwah IAIN Imam Bonjol Padang. Sekarang sedang penyelesaian S.3 di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam Al-Qur’an banyak digambarkan peristiwa bencana yang terjadi menimpa
umat manusia lebih disebabkan larinya mereka dari ajaran agama yang diserukan oleh
para Nabi dan Rasulnya, serta merajalelanya mereka memperlakukan alam dengan
semena-mena, sehingga diberikan peringatan melalui gejala alam, seperti hujan yang
tiada henti-henti pada akhirnya menyebabkan banjir, gempa yang datang silih berganti

mulai dari gunung hingga laut, serta tumpahan air laut dan air gunung yang tidak
terhingga.
Permasalahan bencana yang terkait dengan ekologi telah menjadi sorotan dunia
(global), karena sudah menjurus pada tingkat mencemaskan dan mengkhawatirkan
stabilitas bumi yang ditempati oleh umat manusia ini. McElroy, 2 WALHI,3

dan

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada akhir tahun 2007 sampai 2010,4
melaporkan bahwa kerusakan lingkungan yang banyak menimpa bumi seperti bencana
banjir, bencana gempa, dan bencana lonsor, dan lain-lain ternyata ada pengaruhnya oleh
perilaku manusia yang kurang harmonis dalam berinteraksi dengan alam.5
Indonesia termasuk kawasan yang tidak henti-henti dilanda bencana semenjak
tahun 2000 hingga sekarang, mulai dari peristiwa Tsunami akhir 2004 di Aceh, 2010 di
Mentawai Sumatera Barat, Gempa Alam 2006 di Yogyakarta, 2007 & 2009 di Sumatera
Barat, Gunung Meletus 2010 di Solok Sumatera Barat, 2011 di Yogyakarta, Gunung
Sinabung 2013 di Sumatera Utara dan peristiwa lainnya sejumlah daerah. Meskipun
tahun sebelumnya telah banyak peristiwa bencana yang melanda Indonesia, namun
kejadian bencana yang bertubi-tubi seperti sekarang telah banyak mendatangkan
perhatian. Hasil kajian ilmiah telah menelurkan banyak pemikiran, sehingga melahirkan

beberapa temuan baru. Di antaranya yang mengejutkan adalah bahwa pulau Sumatera
bagian Barat terdapat patahan lempengan yang sudah memasuki tingkat mencemaskan,
terkhusus lagi bagian wilayah Mentawai dan sekitarnya. Pada satu sisi temuan ini
2Mary Evelyn Tucker dan Jhon A, Grim, “Introduction: The Emerging Alliance World Religions
and Ecology,” Dacdalu (2001): vol. 130, Iss. 4, I. Dapat juga ditemukan pada Bill McKibben, The End of
Nature, cet. II (New York: Random House, 1989)
3Sudarsono, Menuju Kemampanan Lingkungan Hidup Regional Jawa (Yogyakarta: PPLHRJ,
2007), h. 129.
4Penyebab bencana bisa datang dari kerusakan lingkungan, seperti: pengundulan hutan, dan gaya
hidup manusia modern. Lihat Nur Arfiyah Febriani, Ekologi Berwawasan Gender Dalam Persfektif alQur’an (Jakarta: Disertasi, 2001), h. 1.
5 Nur Arfiyah Febriani, Ekologi Berwawasan Gender Dalam Persfektif al-Qur’an (Jakarta:
Disertasi, 2001), h. 1.

kelihatannya mencemaskan masyarakat yang menempati wilayah Sumatera bagian Barat
ini, tetapi sisi lain yang tidak boleh dilupakan adalah, semuan temuan itu adalah sebuah
ikhtiar (usaha) manusia mendeteksi alam dengan segala potensi yang telah dianugrahi
oleh Allah. Tentu yang diperhatikan adalah bagaimana menyikapi temuan demikian yang
berbasis kemashlahatan.
Permasalahan yang mesti dipertanyakan melalui peristiwa ini adalah kenapa
bencana terjadi serta bagaimana penanganannya terkhusus berbasis lokal. Maka dalam

tulisan ini akan diungkap penyebab terjadinya bencana gempa serta upaya-upaya
penanganannya.
B. Manusia dan Alam
Sepintas manusia memang perkasa dihadapan alam, ia dengan leluasa dapat
memperlakukan alam dengan seenaknya, sehingga tidak menghiraukan keseimbangan
alam. Hutan-hutan menjadi gundul oleh penebangan liar, sungai-sungai menjadi kotor
oleh limbah produksi manusia, udara menjadi tidak sehat atas menjamurnya sejumlah
pabrik. Semua itu terjadi atas perbuatan manusia yang telah meremehkan posisi alam,
ketimbang memanfaatkanya secara berimbang yang disertai dengan peremajaan. Pada
dasarnya alam disiapkan Allah untuk manusia agar memberikan manfaat yang sekaligus
memuculkan rasa syukur manusia kepada Allah dengan serta tetap menjaga
kelestariannya. Koesnadi Hardjosoemantri mengungkapkan bahwa segala yang ada di
dunia ini erat hubungannya antara yang satu dengan lainnya, seperti manusia dengan
manusia, antara manusia dengan hewan, antara manusia dengan tumbuh-tumbuhan,
bahkan juga antara manusia dengan benda-benda mati di sekelilingnya. Demikian juga
halnya antara satu makhluk hidup dengan makhluk hidup lainnya atau benda mati
sekalipun.6 Yang pasti semuanya terinterkoneksi dan saling mempengaruhi, sehingga
tidak terlepas dari saling keterkaitan.
Dapat dikatakan bahwa suatu peristiwa yang menimpa diri seseorang dapat
disimpulkan sebagai “resultante” berbagai pengaruh di sekitarnya. Begitu banyak

6Penjelasan tentang interkoneksitas antar makhluk dalam alam raya yang
mempengaruhi terdapat pada Rodrik Hanat, Munhi>nat Numu> al-Naba>t (Baghdad:
Wizarah al-Ta’lim al-Ali wa al-Bahth al-‘Ilmiy Jami’ah Baghdad, 198), juga terdapat
dalam Stanley A. Rice, Green Planet: How Plants Keep The Earth Alive (New
Brunswick: Rutgers University Prss, 2009)

pengaruh yang mendorong manusia ke dalam suatu kondisi tertentu sehingga adalah
wajar jika manusia tersebut kemudian juga berusaha untuk mengerti apakah sebenarnya
yang mempengaruhi dirinya, dan sampai berapa besarkah pengaruh-pengaruh tersebut.7
Pada tinjauan lain dapat dikelompokkan pendekatan ini dengan istilah pola interaksi
mutual antara makhluk hidup dengan lingkungan sekitarnya. Nur Afriyah Febriani
mengemukakan hal ini dengan istilah ekologi manusia yang merupakan wujud interaksi
sosial antara manusia dengan manusia serta dengan lingkungan sekitarnya. Begitu juga
dengan ekologi alam yaitu keberadaan alam sebagai pemberi manfaat sesuai dengan
potensi dan ketersediaanya serta memerlukan manfaat dari manusia.8
Dicermati lebih dalam ternyata tidak bisa terbantah bahwa manusia memiliki
integritas dengan makluk lainnya, sehingga kajian seperti ini dapat dikategorikan dalam
bentuk ekologi yang mempunyai hubungan timbal balik dengan ilmu lainnya. Sebab
ekologi ini menyangkut tentang proses interaksi kehidupan manusia dengan sesama
manusia lainnya, serta dengan lingkungan sekitarnya. Untuk dapat mengungkap lebih

komprehensif perlu melibatkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan lain, seperti ilmu
keagamaan (transmitted science), ilmu teoritis (rational science) dan ilmu praktis
(practical science). Maka sangat tepat menggunakan beberapa disiplin tersebut dalam
menyorot kajian tentang bencana dan kemasyarakatan yang memfokuskan pada aspek
penanganan korban gempa berbasis lokal. Walau bagaimana pun bencana yang terjadi
namun ia tetap memberikan efek yang cukup dalam bagi korban yang pada akhirnya akan
mempengaruhi sisitem alam yang ada. Pada konteks ini cukup beralasan melihat bencana
sebagai bagian fenomena kemasyarakatan di samping sebuah peristiwa alam, sekaligus
menunjukkan hal ini merupakan bentuk ketidaksanggupan alam menampung beban yang
tidak semestinya.
Keterkaitan ilmu keagamaan dengan sistem alam dapat ditinjau pada pemahaman
manusia terhadap alam itu sendiri, apakah manusia menganggap alam bagian penting
dalam melestarikan keseimbang yang perlu diperhatikan, atau manusia mengira alam
hanya sebatas pemenuhan kebutuhan mereka, yang tidak perlu dilestarikan. Kondisi ini
menunjukkan suatu sikap yang mengabaikan ajaran agama yang menganjurkan menjaga
7Koesnadi Harjasoemantri, Hukum Tata Lingkung, cet 11, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Prss, 1994), h. 1-2.
8Nur Arfiyah Febriani, “Bisnis dan Etika Ekologi Berbasis Kitab Suci” NURAINI, Vol. 10. No. 2,
Desember 2010. Jurnal Fakultas Syari’ah IAIN Raden Fatah Palembang, 17.


keseimbangan. Sangat jelas Allah menyebutkan, prilaku manusia seperti ini hanya
mendatangkan kerusakan dan kepunahan bagi alam, sehingga mereka tidak menyadari
bahwa akibat dari prilaku berlebihan ini akan mendatangkan suatu bencana yang
melebihi kerakusan manusia itu sendiri. Dalam istilah Marjorie Hope dan James Young
prilaku manusia seperti ini adalah kering spiritual atau antroposentris, karena telah
mengabaikan seruan agama, maka tidak ada jelan keluar selain kembali kepada ajaran
agama.9
Sementara itu keterkaitan bencana dengan ilmu teoritis (rational science) terpotret
pada interaksi manusia dengan alam, kemudian melahirkan sains tentang alam dan
pengaruhnya bagi dinamika kehidupan manusia, sehingga terlihat ketergantungan
manusia pada sains untuk menaklukan alam. Ahmad Baiquni menyebutkan sampel kajian
ini terdapat dalam cabang ilmu kosmologi dan botani yang saling terintegritas dalam
proses saling mempengaruhi. Maka kuat dugaan bahwa pendekatan sains akan
menjadikan manusia menjadi makhluk perkasa atas alam, sehingga mulai mengabaikan
prinsip-prinsip keseimbangan dalam menjaga kelestarian kehidupan manusia itu sendiri
apalagi kehidupan manusia lainya.10
Selain ilmu agama (transmitted science) dan ilmu teoritis (rational science),
terdapat juga ilmu praktis dalam mengamati kebencanaan ini. Bahwasanya ilmu agama
dan ilmu teori masih pada tataran konseptual, dalam pelaksanaannya perlu dicarikan titik
temunya agar terintegrasi serta dapat menjawab permasalahan kebencanaan dan

kemasyarakatan. Ditinjau lebih lanjut ilmu praktis ini meliputi aspek etika, ekonomi, dan
politik. Upaya mengintegrasi aspek tersebut perlu sebuah langkah praktis penerapannya.
M. Evan menawarkan bentuk integral penerapan aspek tersebut seperti etika, ekonomi,
dan politik dalam satu kesatuan yang saling memberikan solusi serta implementasi
kongkrit dalam mengatasi kebencanaan yang berdampak terhadap tatanan sosial
masyarakat. Oleh sebab itu pembahasan tentang bencana dan kemasyarakat perlu
9Cross Currents, Islam and Ecology, Proquest Religion (Summer, 1994), 180. Dalam al-Qur’an
terdapat beberapa ayat yang menyebutkan bahwa prinsip dasar akidah, syari’ah dan akhlak menjurus pada
kemashlatan serta keseimbangan, tidak terkecuali bagaimana membangun keharmonisan manusia dengan
sesame manusia dan dengan makhluk lainnya. Oleh sebab itu tidak ada alasan manusia mengelak
bersanding harmonis dengan seklilingnya. Dapat ditemukan pada Q.S. al-Nahl (16): 5-8, dan Q.S. al-Nahl
(16): 10-13.
10Afzalur Rahman, Qur’anic Science, al-Qur’an Sumber Ilmu Pengetahuan, Terj. H. M. Arifin,
Cet. III (Jakarta: P.T. Rineka Cipta, 2000)

ditekankan pada aspek lokal yang memiliki potensi kekuatan kultur serta struktur dalam
penanganan bencana melalu tiga ilmu di atas.
C. Penyebab Kerentanan Bencana Kasus Indonesia
Sejarah perjalanan bumi yang ditempati manusia terdapat berbagai bentuk
bencana, seperti gempa bumi yang bersumber dari gunung dan laut, banjir berasal dari

luapan sungai dan laut, banjir bandang yang datang dari gunung, Tsunami yang
disebabkan hempasan air laut ke daratan, hujan yang berasal dari pasir atau kerikil, atau
batu, badai tropis hingga badai topan, serta bentuk bencana lainnya. Pada intinya semua
bentuk bencana yang telah dipaparkan di atas merupakan gejala alam yang dipengaruhi
oleh perubahan iklim serta pergeseran patahan-patahan bumi, sehingga dalam waktu
tertentu terdapat ketidakstabilan ekosistem alam.
Indonesia menjadi wilayah sorotan dunia, sekaligus termasuk salah satu kawasan
paru-paru dunia setelah Brazil. Indonesia terdapat banyak gunung, sungai, serta
hamparan laut yang luas terbentang, sehingga dari bentuk struktur alamnya sangat
meyakinan bencana alam silih berganti datang menghampiri Indonesia. Mencermati
kondisi geografis Indonesia seperti demikian cukup beralasan ia termasuk wilayah yang
rentan dengan bencana seperti gempa bumi dan tsunami dengan intensitas yang cukup
tinggi. Tidak hanya itu yang memicu rentannya Indonesia dengan beberapa bencana
gempa, tetapi juga disebabkan oleh posisi Indonesia yang berada antara tiga lempeng
tektonik dunia yaitu Lempeng Indo-Australian, Eurasia dan Lempeng Pasific. Secara
pendekatan teoritis apabila bertemu beberapa lempeng tadi akan menghasilkan tumpukan
energi yang pada batas tertentu akan menghasilkan goncangan-goncangan bumi.
Seterusnya pada sisi lain, Indonesia juga diapit oleh beberapa gunung api aktif yang
sewaktu-waktu bisa meletus. Hal ini dimungkinkan karena di samping itu Indonesia
merupakan jalur rangkaian gunung api yang aktif yang siap mengacam menjadi bencana.

Menurut catatan Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG)
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ada 28 wilayah Indonesia yang dianggap
rawan gempa dan tsunami. Di antaranya adalah NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Tengah, DIY bagian selatan, Jawa Timur bagian
selatan, Bali, NTB, NTT, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku

Utara, Maluku Selatan, Biak, Yapen dan Fak-Fak di Papua serta Balikpapan Kaltim. Di
bawah ini akan dikemukan factor kerentanan bencana serta bentuk-bentuknya.
1. Faktor Alam
Dibalik kekayaan alam Indonesia dengan berjejernya sejumlah gunung, dan
terhamparnya luas lautan serta terbentangnya beberapa sungai, ternyata menyimpan
banyak misteri yang patut diamati dan diperhatikan oleh penghuninya. Selama satu abad
saja telah terjadi sebanyak 17 bencana tsunami besar di Indonesia, seperti tsunami besar
Gunung Krakatau pada tahun 1883 yang menewaskan sekitar 36.000 jiwa, gempa dan
tsunami besar Aceh pada tahun 2004 dan sebagian Sumatera Utara yang menelan korban
lebih 150.000 jiwa, disusul gempa bumi di Pulau Nias pada tahun 2005 yang memakan
korban sekitar 1.000 jiwa, berikut disusul gempa yang menimpa Yogyakarta pada tahun
2006 menelan korban lebih 5.000 jiwa, dan terakhir pada tahun 2010 tsunami juga
menimpa kepulauan Mentawai. Di bawah ini dikemukakan beberapa peristiwa bencana
beserta area dan keterangan lainnya.

Daftar gempa Bumi besar (di atas skala Richter 5) di Indonesia (diurutkan
menurut tanggal paling lama):
Tanggal
Kekuatan
Episentrum
25 November 1833 8.8-9.2
2.5°LU
Mw
100.5°BT

Area
Sumatera

Tewas

Keterangan
Gempa disebabkan
pecahnya segmen
Palung Sumatera
sepanjang 1000 km
di tenggara area
yang mengalami hal
yang sama pada
gempa 26 Desember
2004. Gempa
kemudian memicu
terjadinya tsunami
yang menerjang
pesisir barat
Sumatera dengan
wilayah terdekat
dari pusat gempa
adalah Pariaman
hingga Bengkulu.

Tanggal

Kekuatan

Episentrum

20 September 1899 7.8

2 Februari 1938

8.5

14 Agustus 1968

7.8

26 Juni 1976

7.1

19 Agustus 1977

8.0

Area

Tewas

Kota Ambon 3.280

5.05°LU
131.62°BT

Informasi lebih
lanjut: Gempa Bumi
Laut Banda 1938
Memicu Tsunami
yang menerjang
Pulau Banda dan
Pulau Kai[2]

Pulau Banda
dan Pulau
Kai

Sulawesi
Utara
Papua
Kepulauan
Sunda

392
9.000
2.200

12 Desember 1992 7.5

Pulau Flores 2.100

2 Juni 1994

7.2

4 Mei 2000

6.5

Banyuwangi
Kepulauan
Banggai
Bengkulu
Alor

4 Juni 2000
7.3
12 November 2004 7.3

26 Desember 2004 9.3

28 Maret 2005

8.2

Keterangan
Tsunami juga
menyebabkan
kerusakan parah di
Maladewa dan Sri
Langka. Selain itu,
tsunami juga
mencapai Australia
bagian utara, Teluk
Benggala, dan
Thailand meskipun
dalam intensitas
kecil. Bencana ini
tidak terdokumentasi
dengan baik
sehingga tidak
diketahui dengan
pasti dampak dan
korbannya.[1]

Informasi lebih
lanjut: Gempa Bumi
Flores 1992

200
54

>100
26
131.028
Nanggroe
tewas
Aceh
dan
Darussalam
Samudra Hindia
sekitar
dan sebagian
37.000
Sumatera
orang
Utara
hilang
Pulau
Nias
2.04°LU 97°BT

Informasi lebih
lanjut: Gempa Bumi
Samudera Hindia
2004
[1]
Informasi lebih

Tanggal

Kekuatan

Episentrum

Area

Tewas

Samudra Hindia
27 Mei 2006

5.9

Daerah
7.977°LS
Istimewa
110.318°BT
Yogyakarta
Bantul, Yogyakarta dan Klaten

17 Juli 2006

7.7

9.334°LS
107.263°BT
Samudra Hindia

Ciamis dan
Cilacap

11 Agustus 2006

6.0

2.374°LU
96.321°BT

6 Maret 2007

6.4 Mw,
6.3 Mw

0.49°LS
100.529°BT

Pulau
Simeulue
Solok, Kota
Solok, Tanah
Datar, dan >60
Kota
Bukittinggi

6.234

Informasi lebih
lanjut: Gempa Bumi
Yogyakarta 2006

>400

Informasi lebih
lanjut: Gempa Bumi
Jawa 2006

12 September 2007 7.7

4.517°LS
101.382°BT

Kepulauan
Mentawai

10

26 November 2007 6.7

8.294°LS
118.36°BT

Sumbawa

>3

Sulawesi
Tengah
Manokwari

17 November 2008 7.7
4 Januari 2009

7.2

2 September 2009 7.3

8.24°LS
107.32°BT

Informasi lebih
lanjut: Gempa Bumi
Bengkulu 2007

2

Tasikmalaya
>87
dan Cianjur

Informasi lebih
lanjut: Gempa Bumi
Jawa Barat 2009
Informasi lebih
lanjut: Gempa Bumi
Sumatera Barat
2009
135.299 rumah
rusak berat, 65.306
rumah rusak sedang,
& 78.591 rumah
rusak ringan[3]

30 September 2009 7.6 Mw

0.725°LS
99.856°BT

1 Oktober 2009

2.44°LS
101.59°BT

Kerinci

9 November 2009 6.7

8.24°LS
118.65°BT

25 Oktober 2010

3.61°LS
99.93°BT

Pulau
Sumbawa
Sumatera
Barat

7.7

Informasi lebih
lanjut: Gempa Bumi
Sumatera Barat
2007

4

Padang
Pariaman,
Kota
1.115[3]
Pariaman,
Kota Padang,
dan Agam

6.6 Mw

Keterangan
lanjut: Gempa Bumi
Sumatera 2005

2
1
408
orang
tewas

80 orang luka & 282
rumah rusak berat.[4]

Tanggal

Kekuatan

Episentrum

Area

Tewas

Keterangan

[5]

11 April 2012

8,5

2.4°LU
92.99°BT

Seluruh
Pulau
Sumatera.

1

Terasa hingga India
dan Thailand

Berdasarkan eksploitasi data di atas ternyata seluruh kawasan Indonesia di luar
Kalimantan telah mengalami banyak bencana gempa dan masih berpotensi terulang
gempa kembali. Berbagai model dan bentuk bencana gempa demikian tergambar bahwa
potensi alam cukup mempengaruhi munculnya bencana gempa. Kondisi ini cukup
meyakinkan bahwa

bencana gempa bumi termasuk akrab menghampiri kepulauan

Indonesia. Dalam teori kegempaan yang dikemukakan beberapa ahli bahwa Indonesia
adalah kawasan pertemuan tiga lempengan tektonik besar, yaitu Lempengan IndoAustralia, Eurasia dan Lempengan Pasifik. Dalam teori ini dikatakan Lempengan Pasific,
Lempengan Indo-Australia bertabrakan dengan Lempengan Eurasia di lepas pantai
Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara, sedangkan dengan Pasific di utara Papua (Irian) dan
Maluku Utara, sehingga dalam kesimpulan teori ini di sekitar lokasi pertemuan
lempengan inilah terjadi akumulasi energy tabrakan hingga sampai suatu titik lapisan
bumi tidak lagi sanggup menahan tumpukan energy dan akhirnya energy tersebut akan
dilepas dalam bentuk gempa bumi. Pelepasan energy sesaat ini menimbulkan berbagai
dampak terhadap bangunan akibat percepatan gelombang seismic, tsunami, longsor, dan
liquefaction. Secara umum yang dikembangkan pala ilmuan bahwa besarnya dampak
gempa bumi terhadap bangunan tergantung pada beberapa faktor, di antara adalah karena
skala gempa yang kuat, jarak epicenter, mekanisme sumber, jenis lapisan tanah di lokasi
bangunan dan kualitas bangunan.
Apabila dihubungkan kejadian peristiwa gempa karena faktor alam cukup tepat
dihubungkan dengan tiga pendekatan seperti yang telah dikemukan di atas (ilmu
keagamaan, ilmu teoritis, dan ilmu praktis). Dalam hal ilmu keagamaan telah disinggung
tentang teologi (kepercayaan) manusia terhadap alam ini, apakah manusia hanya berpikir
sebatas alam saja tanpa mencermati fenomena dibalik keberadaan alam tersebut, atau
manusia menyadari bahwa alam (bumi dan lain-lain) merupakan sebuah simbol yang
perlu diperhatikan secara mendalam tentang proses terciptanya. Terpenting diperhatikan

di sini adalah bagaimana posisi alam dalam kerangka kepercayaan manusia, apakah alam
tercipta dengan sendirinya atau diciptakan oleh Sang Khalik, kemudian apakah alam
diciptakan untuk kemashlahatan manusia atau sebaliknya, demikian juga halnya tentang
keterkaitan alam dengan seluruh elemen yang ada seperti dengan manusia. Maka dalam
konteks ini teologi cukup dominan mempengaruhi kerangka pemikiran manusia tentang
gempa alam (bumi). Oleh sebab itu pemahaman terhadap alam serta permasalahan yang
terkait dengan alam akan memberikan sebuah persepsi tentang permasalahan alam ini
termasuk peristiwa gempa yang melandanya.
Pemikiran yang mengakamodir bahwa gempa terjadi hanya semata-mata faktor
alam berarti ia melihat sebatas apa adanya dan tidak menggali fenomena lain yang
terdapat padanya. Kecendrungan pemikiran seperti ini lebih dipengaruhi oleh kekuatan
ilmu teoritis yang menguatkan dirinya. Biasa pemikiran seperti ini dikelompokkan paham
qadariyah. Upaya yang mereka lakukan dalam meyakinkan pemikiran tersebut, kerap
diawali oleh rasa penasaran serta ketidakpuasan terhadap peristiwa yang terjadi, maka
muncul sebuah temuan (rasional) mendukung pengungkapan sebab terjadinya gempa.
Berangkat dari pemikiran ini terdapat beberapa faktor yang menjelaskan kenapa gempa
bumi terjadi, di antara jawabannya diperoleh melalui teori (sience) kegempaan seperti
yang dijelaskan di atas.
Sebaliknya perlu juga diketahui pemikiran yang tidak sepenuhnya menerima
bahwa terjadinya peristiwa gempa karena faktor alam semata-mata, tetapi juga ada
kekuatan lain yang mendorong terjadinya yaitu Sang Pencipta bumi itu sendiri (Allah).
Alasan pemikiran seperti ini cukup tergambar pada pemahaman mereka yang menyatakan
bahwa Allah telah menciptakan bumi sesuai perjalanannya serta menentukan batas-batas
waktunya. Sehingga semuanya berjalan sesuai dengan karidornya masing-masing. Perlu
diingat bahwa pemahaman keagamaan seperti ini kurang menggunakan teori (rasional)
dalam mengungkap penyebab terjadinya gempa, tentu saja ada sisi lain yang terabaikan
oleh prinsip keagamaan seperti ini. Pada hal upaya manusia dalam menuntaskan
permasalahannya sangat dituntut oleh agama. Terpenting di sini adalah keseimbangan
antar kedua pendekatan tadi terjalin, sehingga tidak terkesan salah satu diantaranya yang
paling dominan.

Pemahaman keagamaan yang terdapat dalam teks al-Qur’an telah menjelaskan
bahwa terjadi gempa di samping sebuah peristiwa alam, tetapi mesti disadari juga bahwa
gempa demikian merupakan kehendak Sang Pencipta (Allah) setelah prilaku manusia
melanggar ajaran-Nya. Hanya saja lagi bagaimana dapat mempertemukan antara
kehendak Allah tersebut dengan faktor gejala alam dalam sebuah kerangka pemikiran
yang menuntun pemahaman tentang gempa bumi hanya semata-mata pengaruh faktor
alam, namun sesungguhnya gempa bumi sebuah ketetapan Allah.
Teologi tentang gempa ini perlu juga dicermati dengan seksama supaya, gempa
tidak serta merta mendatangkan kecemasan serta ketakutan berlebihan, tetapi juga dapat
menuntun manusia memahami kenapa gempa terjadi selain faktor alam. Faktor manusia
ternyata juga ikut mempengaruhi peristiwa gempa ini. Oleh sebab itu keterkaitan faktor
manusia dengan faktor alam cukup kuat dalam mempengaruhi terjadinya gempa.
2. Faktor Manusia
Bencana tidak hanya datang dari faktor alam, tetapi bencana juga datang dari ulah
sikap, prilaku dan perbuatan manusia. Di perhatikan secara cermat ternyata bencana yang
berasal perbuatan manusia lebih dahsyat dampaknya dibandingkan bencana yang muncul
dari alam. Kenapa tidak, bencana yang berasal dari ulah prilaku manusia terencana dan
bisa berakibat fatal terhadap masa depan manusia itu sendiri, sementara dari faktor alam
amat cepat dipulihkan kembali. Dalam konteks ini M. Abduh (1969:33) mengemukakan
bahwa urusan manusia tidak hanya terselesaikan setelah menuntaskan seluruh
kewajibannya secara syari’at saja, tetapi pada aspek sosial (kepedulian) seperti
ketentraman orang banyak, kelestarian alam termasuk bagian terpenting dalam
mewujudkan keimanannya kepada Allah. Sehingga dari pemikiran M. Abduh terungkap
bahwa bentuk keyakinan seseorang yang masih dalam ranah meyakini akan wujud Allah
dengan segala sifat-sifat-Nya yang sempurna, serta dilanjutan pada rentetan rukun iman
berikutnya masih tergolong dalam kelompok “Tauhidullah” atau “Tauhid Individual”,
seharusnya menurut Abduh disertai dalam bentuk aksi nyata yang terkait dengan
kepentingan orang banyak dan kelestarian alam semesta ini.11 Pada hal yang dituntut oleh
agama adalah bagaimana manusia mampu menyeimbangkan antara bentuk hubungannya
11Amien Rais, Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan (Bandung: Mizan, 1998), 108.

kepada Allah dengan hubunganya kepada sesama manusia dan makhluk lainya (termasuk
alam). Sehingga sangat tepat dikatakan faktor manusia termasuk mempengaruhi
terjadinya gempa melalui prilakunya yang hanya mementingkan invidual dan
mengabaikan bentuk solidaritas sosial dan merusak alam.
Mengurai penyebab gempa dari faktor manusia memang sulit diukur secara
lahiriah, tetapi kalau ditinjau dalam hal teologi terlihat jelas ada hubungan gempa dengan
ulah perangai manusia, karena keimanan manusia tidak cukup hanya sampai pada
pengakuan secara lisan, namun harus dilanjutkan sampai pada tindakan dan aktualisasi
yang mencerminkan pelestarian kehidupan, baik terkait dengan manusia maupun terkait
dengan alam. Kalau kita menerapkan pemahaman yang menyatakan bahwa alam ada
terkoneksi dengan manusia, maka ia terjewantahkan melalui pilar-pilar pengamalan
prinsip-prinsip tauhid yang menyejarah. Secara langsung memang sulit ditemukan gempa
disebabkan oleh manusia, tetapi dari sikap kerakusan serta ketamakan yang mengabaikan
keseimbangan alam akan menyembabkan terjadinya kesenjangan. Dalam hal ini Ahmad
Syafi’i Ma’arif menyorot tentang relevansi tauhid sosial (sebagai tanggung jawab sosial
dalam hal melestarikan alam) dengan tauhid individual. Maka pada kategori keterlibatan
manusia dalam penyebab terjadinya gempa terdapat pada dua hal: pertama, iman
merupakan sebuah kekuatan yang mendorong manusia untuk beraktivitas yang menjadi
pilar utama dalam sejarah manusia, sedangkan yang kedua, iman tidak hanya dalam
tataran kalbu, lisan, tetapi berlanjut pada tingkat pengamalan yang tujuannya adalah
untuk menjawab masalah praksis manusia. Oleh sebab itu pemahaman manusia terhadap
alam melalui teologi ini sangat mempengaruhi pola dan sikapnya. Tentu yang diharapkan
di sini adalah prilaku manusia yang berdampak terhadap kerusakan sudah semestinya
dijauhi, agar bencana demi bencana menghindari dari kehidupan manusia.
Sesungguhnya sangat jelas, bahwa Islam tidak setuju pola kehidupan manusia
yang mendatangkan kehonaran dipermukaan bumi ini. Malah dengan tegas Allah sangat
murka terhadap manusia yang berjalan dipermukaan bumi ini dengan sifat sombong dan
takabur. Tidak sampai di sana, Allah juga membenci prilaku manusia merusak bumi serta
tidak memperhatikan seimbangan alam. Tentu permasalahan sekarang adalah bagaimana
menata manusia seperti ini, Kuntowijoyo menyampaikan bahwa system kehidupan sosial,
politik, ekonomi, dan budaya cukup mempengaruhi pemahaman manusia dalam

merealisasikan nilai system tersebut menjadi sebuah kemestian mendasar. 12 Artinya
dalam tataran ini keadilan, keberimbangan antara beberapa unsur di atas menjadi sebuah
kemestian yang ideal, oleh karena itu kepedulian antara manusia dengan manusia,
manusia dengan alam akan melahirkan sebuah konsep ideal memperoleh kemapanan
hidup. Keharusan mewujudkan nilai system kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan
budaya yang mapan menjadi sebuah tujuan yang tepat, agar tidak muncul sikap rakus dan
tamak.
Pada suatu ayat disebutkan bahwa kerusakan di muka bumi ini merupakan akibat
perbuatan manusia. Pada tataran ini sangat nampak pengaruh manusia terhadap alam
dalam hal kerusak. Artinya imbas perbuatan manusia yang tidak memperdulikan tata
lingkungan serta kelestarian alam akan mengurangi kekuatan-kekuatan bumi menahan
tekanan beban yang tidak setimpal dengan daya energinya. Sehingga secara perlahan
sambil menunggu waktu, bumi mengeluarkan beban tersebut yang dikonversi menjadi
bencana alam seperi gempa.
Di samping berdampak terhadap alam, celakanya perbuatan manusia tersebut
juga berimplikasi terhadap masyarakat sekitarnya. Dalam penataan ini sesungguhnya
terdapat dua kekuatan manusia untuk menghentikan sikap dan pola perusakan demikian.
M. Syulthut menyebutkan dua kekuatan tersebut dapat membentengi manusia dari hal
perusakan. Dua kekuatan itu dalam pandangan Syulthut adalah pertama: Nazhariah
(penyelidikan) klimaknya adalah kemampuan menangkap makna yang sesungguhnya,
sehingga

ditemukan

hakikat

yang

sebenarnya.

Keduanya

adalah

amaliah

(penerapan/tindakan) puncaknya terdorong melakukan urusan hidup dan penghidupan
sesuai dengan jalur yang semestinya. Sesungguhnya perbuatan individual manusia
memiliki dampak kemasyarakatan, maka dapat dipahami bahwa tanggung jawab
individual semestinya menjurus pada tanggung antar sesama dan dengan alam sekitar.
Dikaji lebih dalam, dihadapan Allah manusia sesungguhnya mempunyai tugas
tanggung jawab utama menyembah pada-Nya. Sebagai wujudnya adalah diiringi dengan
perbuatan nyata dalam hal menata kehiduapan serta melestarikan alam dari kepunahan.
Sekiranya manusia menyimpang dari demikian berarti ia tidak menunjukkan sikap tunduk
kepada-Nya. Berarti manusia dinilai melalui perbuatannya, apakah mencerminkan
12Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), 197.

perbuatan yang mengarah pada ketundukan pada Allah, atau sebaliknya. Seyogyanya
perbuatan manusia seluruhnya bermuara pada kepada Allah, termasuk memperlakukan
alam sesuai dengan tuntunan Allah.
D. Penanganan Bencana Gempa Berbasis Lokal: Sebelum dan Sesudah
Peristiwa
Manusia pada dasarnya dalam menghadapi bencana terdapat dua pola, pertama
sangat takut atas kedatangan bencana tersebut karena tidak siap dan tidak menerima
kemungkinan kejadian peristiwa demikian sehingga memunculkan sikap panik. Kedua
adalah berusaha mengalahkan rasa takut itu dengan melengkapi diri dengan beberapa
pengetahuan dalam menghadapi bencana apabila kemungkinan itu terjadi. Artinya pada
kategori ini tidak hanya mengandalkan sikap pasrah terhadap penomena alam namun
berusaha mengendalikan serta mengatasinya dengan seperangkat ilmu pengetahuan serta
dengan persiapan kesiagaan penuh.
Dalam al-Qur’an dikatakan model manusia dalam menghadapi suatu bencana,
pertama mereka yang tergolong pada model berkeluh kesah, artinya golongan ini dalam
menghadapi suatu bencana hanya mengandalkan mengeluh karena tidak siap menerima
kemungkinan terjadi khususnya dalam hal bencana. Ketidaksiapan demikian dipengaruhi
oleh lemahnya aspek spiritual dan aspek intelekual dari sisi menyikapi permasalahan
bencana ini. Kedua model manusia dalam menghadapi suatu bencana kebalikan yang
disebut di atas, kelompok ini berupaya menekan kemungkinan terburuk dari bencana
melalui seperangkat pengetahuan. Artinya serangkaian yang membantu mendeteksi
bencana dilakukan secepat mungkin, serta berusaha menghindar dan mencegah
berjatuhan banyak korban merupakan jawaban tepat dari berkeluh kesah. Secara teori
penanganan bencana gempa dapat dilakukan beberapa langkah:
Harus diakui hingga sekarang belum dapat diketahui secara pasti kapan terjadi
suatu bencana seperti gempa, karena ini adalah kekuasaan Sang Penciptanya (Allah).
Meskipun demikian ikhtiar manusia selaku makhluk yang berfikir serta makhluk yang
diberi kemampuan lebih dari makhluk lain, dapat berupaya menangkap gejala-gejalanya
sebagai langkah antispasi dan pencegahan secara dini. Sebagai perbandingan makhluk
lain seperti hewan melalui insting yang ia miliki dapat menangkap sebuah gejala bencana

sehingga ia dapat menyelamatkan diri secepat mungkin. Tentu saja hal seperti ini adalah
sebuah iktibar bagi manusia untuk memanfaatkan potensi yang dia miliki untuk
mendeteksi sedini mungkin terjadinya bencana seperti gempa. Memang mencegah
terjadinya bencana gempa sulit dilakukan, tetapi mendeteksi sebab-sebab terjadinya,
langkah-langkah menyelamatkan diri dari bencana itu cukup mungkin dilakukan oleh
manusia. Maka dalam pembahasan ini akan dikemukan beberapa hal terkait dengan
penanganan sebelum terjadi bencana gempa.
1. Mengenal Wilayah Rawan Gempa
Mengetahui kondisi geografis di tempat yang ditempati sudah semestinya
diketahui semua orang tanpa terkecuali, apa lagi dibagian wilayah yang terdapat beberapa
indikator yang mendukung terjadinya suatu bencana gempa tersebut, seperti di daerah
pegunungan/ perbukitan, di daerah pantai/bantaran sungai, serta sekitar wilayah yang
berpotensi dihembus angin topan dan sebagainya. Sebut saja contohnya gunung berapi di
Indonesia adalah termasuk gunung berapi teraktif dalam Ring Api Pasifik. Kondisi ini
terbentuk dari daerah subbagian antara Lempeng Eurasia dan Lempeng Indo-Australia.
Tentu yang menjadi persoalan sekarang adalah bagaimana mengantispasi terjadinya
kemungkinan terburuk, langkah-langkah apa yang efektif dilakukan untuk mengatasi
terjadinya korban di saat terjadinya bencana.
Dalam temuan para ahli Indonesia merupakan bagian terpenting dari jalur The
Pasific Ring of Fire (Cincin Api Pasifik) atau dikenal dengan istilah wilayah yang
didapati sejumlah gunung api aktif di dunia. Dalam teori ini dikatakan bahwa Cincin Api
Pasific demikian membentang antara subduksi maupun pemisahan Lempeng Pasifik
dengan Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, Lempeng Amerika Utara dan
Lempeng Nazca yang bertabrakan dengan lempeng Amerika Selatan. Jalur ini dikatakan
membentang mulai dari pantai barat Amerika Selatan, terus ke pantai barat Amerika
Utara, lalu melingkar ke Kanada, semenanjung Kamsatschka, Jepang, melewati
Indonesia, Selandia Baru dan kepulauan di Pasifik Selatan. Sesungguhnya Indonesia
memiliki gunung berapi dengan jumlah yang cukup besar yaitu mencapai 240 buah,
hingga sekarang tercatat hampir 70 di antaranya masih aktif. Dalam kondisi geografis
seperti sangat dimungkinkan Indonesia termasuk kawasan zona kegempaan dan gunung

api aktif Circum Pasifik amat terkenal, karena setiap gempa hebat atau tsunami dahsyat di
kawasan ini, dapat dipatikan banyak menelan korban jiwa manusia.
Beberapa peristiwa gempa yang terjadi ditemukan bahwa gempa bumi terbesar di
dunia terjadi sepanjang Cincin Api, karena sekitar 90% dari gempa bumi di dunia dan
80% dari gempa bumi terbesar memang disebabkan oleh faktor ini. Beberapa wilayah
paling seismic (5-6% dari gempa bumi dan 17% dari gempa bumi terbesar di dunia)
adalah sabuk Alpide, yang membentang dari Jawa ke Sumatera melalui Himalay,
Mediterania, dan keluar ke Atlantik. Mid-Atlantic Ridge tergolong sabuk ketiga tempat
terjadinya gempa. Sedangkan Indonesia terletak di antara Cincin Api sepanjang
kepulauan timur laut berbatasan langsung dengan New Guinea dan di sepanjang sabuk
Alpide Selatan dan barat dari Sumatera, Jawa, Bali, Flores dan Timor Leste yang terkenal
dan sangat aktif.

Gambar III.1. Peta kepulauan Indonesia pada pertemuan 3 lempeng

Gambar III.2. Peta Tektonik Kepulauan Indonesia

Mencermati kondisi geografis Indonesia dapat dipastikan bencana gempa akan
selalu menjadi fenomena alam yang tidak dapat dihentikan. Hanya saja bagaimana
menyikapinya dengan berbekal pengetahuan yang memadai untuk mengatasi banyak
berjatuhan korban jiwa. Dalam konteks ini, tidak cocok mengandalkan pemahaman yang
berkeluh kesah tanpa mengupayakan solusi yang tepat untuk menyikapinya, tentu perlu
dilakukan

beberapa

ikhtiar

untuk

mengatasinya.

Meningkatkan

efektivitas

penanggulangan bencana akibat gempa bumi dan bencana susulannya, sangat penting
disusun suatu petunjuk teknik penanggulangan bencana gempa di Indonesia. Tercakup
dalamnya pengkajian ulang terhadap Peta Zona Gempa yang telah digunakan oleh
berbagai instansi di Indonesia untuk keperluan perancangan infrastruktur tahan gempa.
2. Memperkaya pengetahuan dan Pengalaman Masyarakat di Wilayah
Rawan Gempa
Ketika bencana terjadi di Sumatera Barat pada tahun 2009 muncul sebuah istilah
“bukan gempanya yang membuat korban berjatuhan, tetapi karena bangunannya lah

berjatuhan korban”. Pada konteks ini di satu sisi istilah demikian mengisyaratkan kepada
kita semua untuk selalu mewaspadai segala bentuk bencana yang akan mengancam
kehidupan manusia. Oleh sebab itu menanamkan kesadaran akan tanggap terhadap
bencana yang akan dan yang sedang terjadi perlu menjadi perhatian semua pihak. Adapun
beberapa hal yang penting diketahui adalah seperangkat alat yang membantu mendeteksi
sedini mungkin akan terjadinya bencana gempa. Seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, sangat tepat dimanfaatkan sebagai sarana kemashlahatan kehidupan dalam
mengantispasi terjadinya banyak korban di saat bencana gempa melanda. Beberapa alat
yang dapat difungsikan untuk mendeteksi dini kemunculan bencana gempa adalah sirine,
detektor, alat komunikasi dan alat lainnya.
Sirine yang disandingkan dengan detektor ditempatkan di lokasi atau di wilayah
yang dikategorikan rentan bencana gempa, akan membantu menginformasikan atau
menunjukkan gejala-gejala awal bencana gempa akan terjadi. Kasus terjadinya banyak
korban ketika bencana gempa melanda di sejumlah wilayah adalah ketidaksiapan mereka.
Dampak positifnya adalah masyarakat mengetahui apa yang akan mereka lakukan ketika
bencana melanda, karena telah dibekali beberapa hal untuk menyelamatkan diri. Dalam
kasus tsunami ada alat yang cukup membantu menyampaikan aba-aba bencana yaitu
melalui TEWS (Tsunami Early Warning Sistem). Berdasarkan seperangkat system ini
cukup terbukti istilah yang diapungkan di Sumatera Barat “bukan gempanya yang
membunuh tetapi bangunan yang menyebabkan kematian”. Memang faktanya bangunan
faktor dominan menyebabkan terjadinya korban di Sumatera Barat ketimbang gempanya,
karena dampak dari gempa tersebut menyebabkan bangunan roboh dan menimpa
penghuni sehingga berjatuhan korban akibat ini. Berbeda dengan Jepang, masyarakatnya
telah memiliki seperangkat pengetahuan dan pengalaman dalam menghadapi gempa,
sehingga langkah-langkah penyelamatan diri telah mereka kuasa, makanya tidak banyak
korban yang berjatuhan sebagaimana yang terjadi di Indonesia. Di samping itu,
masyarakat Jepang juga menyiapkan bangunan yang tidak mudah dihancurkan oleh
gempa

berskala

tertentu.

Kacakapan

seperti

ini

semestinya

yang

perlu

ditumbuhkembangkan di Indonesia, supaya masyarakat juga peka dan terlatihan dalam
penyelamatan diri.

Langkah berikutnya adalah bagaimana cara menyelamatkan diri dari ancaman
bencana gempa. Hal ini sesungguhnya juga telah diterapkan oleh sejumlah perusahaan
tambang dan minyak yang senantiasa menekankan pentingnya keselamatan pekerjanya.
Kemudian di samping itu, wilayah evakuasi beserta jalurnya harus telah tersosialisaikan
dengan baik dan tepat kepada masyarakat, sehingga dapat dipastikan masyarakat sudah
mengetahui jalur mana yang akan ditempuhnya di saat bencana gempa berlangsung.
Maka di antara beberapa langkah ini cukup membantu masyarakat dalam memperkaya
pengetahuan dan pengalaman, sehingga masyarakat bisa cekatan menyikapi bencana
gempa.
Langkah langkah yang dipaparkan di atas diharapkan dapat dijadikan sebagai
system peringatan dini (Early Warning System) dalam mengatasi jatuhnya banyak
korban. Oleh sebab itu pengetahuan dan pengalaman tentang penyelamatan diri di saat
terjadinya gempa merupakan bagian terpenting pada konteks ini. Pengetahuan lainnya
yang perlu dimiliki masyarakat adalah memanfaatkan dengan mengoptimalkan potensi
lokal dalam mengatasi bencana alam baik sebelum maupun sesudah terjadinya bencana.
Tidak kalah pentingnya dari bagian pengetahuan dan pengalaman adalah
pengetahuan medis masyarakat minimal tentang teknik pertolongan pertama pada korban
bencana. Ketika bencana terjadi sekiranya tenaga medis sedang tidak berada di lokasi,
maka tugas ini dapat dilaksanakan oleh mesyarakat yang tidak kena langsung oleh
bencana gempa ini. Hubungan dengan pengetahuan medis masyarakat ini adalah terkaitan
dengan obat-obatan luka, serta teknis penanganannya dengan sesegera mungkin.
Sekiranya mereka tidak tertampung di rumah sakit karena keterbatasan peralatan, tenaga
medis serta fasilitas lainnya, hendaknya dapat ditangan oleh masyarakat yang sudah
terlatih yang didamping tenaga media di lokasi-lokasi yang dapat menampung korban.
3. Memamfaatkan serta Mengoptimalkan Potensi Lokal
Potensi lokal cukup dominan membantu mengurusi penanganan bencana gempa,
karena potensi lokal dapat dijadikan sebagai sebuah kekuatan yang efektif mengatasi
banyaknya berjatuhan korban. Dalam kasus gempa yang melanda kawasan Aceh,
Yogyakarta dan Sumatera Barat, potensi lokal cukup efektif memberikan perhatian dalam
penanganan bencana gempa. Secara umum masyarakat Indonesia dengan segenap suku

budaya dan tradisinya memiliki watak kepedulian antara sesama, maka cukup beralasan
menyatakan bahwa potensi lokal merupakan faktor yang paling penting dalam penangan
bencana gempa.
Beberapa bentuk faktor lokal diantaranya adalah hubungan kekerabatan,
hubungan kewilayahan, hubungan sama memiliki kebudayaan, serta hubungan bentuk
lainnya. Meskipun manusia tercipta bersuku, berbangsa, berbeda bahasa budaya, tetapi
pada dasarnya sama memiliki nilai kemanusia sejati. Hubungan kekerabatan dalam
wilayah Indonesia tidak dapat diabaikan keberadaannya, karena ia telah menjadi bagian
terpenting dalam proses kehidupan masyarakat. Hal ini selalu diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya, sehingganya hubungan kekeluargaan telah menjadi
denyut kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Hubungan kekeluargaan ini disemangati
oleh nilai-nilai keagamaan telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia, maka
potensi ini merupakan bagian yang perlu dikemas dan dikembangkan untuk mengatasi
kelemahan penanganan bencana gempa. Hubungan kekeluargaan ini dimulai dari
keluarga inti terdiri atas suami dan istri yang dilengkapi oleh anak, kemudian berlanjut
pada keluarga besar yang terdiri atas gabungan keluarga inti beserta saudara-saudaranya
keluarga inti hingga ke atas dan ke bawah dengan keluarga inti lain beserta saudarasaudaranya. Maka dalam hal ini kepedulian mereka saling bahu membahu mengatasi
ancaman bencana gempa cukup ampuh menjadi potensi yang ditumbuh kembangkan di
tengah msyarakat.
Selanjutnya hubungan kewilayahan juga bisa memperteguh potensi lokal sebagai
modal mengatasi beratnya beban yang diakibatkan oleh bencana gempa. Walau
bagaimanapun hubungan kewilayahan yang sering disebut primodial telah teruji sebagai
potensi kuat dalam membangunan suatu daerah. Kasus Sumatera Barat hubungan
primodeal telah menjadikan daerah ini termasuk kawasan yang mandiri dalam
penanganan musibah bencana. Artinya tetesan air mata hanya berlangsung pada saat
bencana berlangsung, namun pada hari berikutnya mulai bangkit menyelesaikan
persoalan ini dengan system gotong royong, baik yang datang dari masyarakat di
kampung maupun yang datang dari masyarakat perantauan. Tradisi seperti ini telah teruji
ketika bencana gempa melanda Sumatera Barat pada tahun 2009 lalu. Slogan “pulang
basamo” yang diusung oleh masyarakat Sumatera Barat ketika menangani bencana

gempa cukup meringankan beban duka yang ditanggung masyarakat. Meraka pulang
kampung melihat secara langsung peristiwa yang telah melanda kampung halamannya.
Bagi mereka yang tidak berkesempatan pulang kampung dengan segera turut
memberikan perhatian melalui sumbangan untuk disampaikan kepada korban bencana.
Biasanya masyarakat tidak bisa langsung pulang menggunakan sistem “badoncek atau
system bareh baganggam” dalam mengumpulkan sesuatu yang akan dibawa ke kampung
yang dikenal dengan istilah buah tangan. Hal ini telah berlangsung jauh sebelumnya,
bahkan system seperti ini sering digunakan untuk hal-hal kehidupan sosial, baik dalam
kegiatan yang bernuansa duka maupun yang bernuansa suka cita seperti acara hajatan.
Pengelolaan potensi lokal seperti ini harus dilestarikan ditengah derasnya arus
perubahan sosial yang dibawa oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, begitu
juga oleh globalisasi yang mulai melemahkan sendi-sendi sosial yang telah dijalani
masyarakat.

Biasanya

pola

kehidupan

bersama

terbangun

melalui

hubungan

kekeluargaan, dan hubungan kewilayahan, bisa saja digeser oleh arus kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta globalisasi menjadi pola hidup individual. Setelah
memperoleh informasi lengkap tentang penanganan sebelum dan sesudah datangnya
bencana yang akan melanda, kemungkinan terburuk harus diantispasi melalui pendekatan
keagamaan, pendekatan teori serta pendekatan praktis, maka segala yang terkait dengan
penanganan bencana gempa akan berjalan baik dan lancar untuk mewaspadai terjadinya
bencana serta menekan terjadinya banyak korban. Oleh sebab itu yang menjadi pokok
dalam mengantispasi terjadinya bencana gempa adalah memaksimalkan peran manusia
sebagai sumber pencegahan bencana dengan pola kehidupan yang melampaui batas-bata
ketentuan. Berikut melalui pendekatan keilmuan baik dalam hal pengenalan wilayah
maupun dalam hal pengetahuan tentang gejala-gejala menyelamatkan diri dan
penanganan korban yang berjatuhan merupakan bagian satu kesatuan dengan masyarakat.
E. Kesimpulan
Masyarakat dengan kebencanaan adalah pilar penting dalam membicarakan
penyebab dan penanganannya. Kiprah manusia adalah sebagai faktor yang dominan
dalam menentukan efektifitas menggali penyebab dan penanganan bencana. Kelancaran
efektifitas mengetahui penyebab terjadinya bencana gempa diperlukan seperangkat teori

dan temuan menetukan gejala supaya bencana gempa dapat terdeteksi sedini mungkin.
Begitu juga dalam penangannya korban bencana gempa dibutuhkan pengetahuan praktis
melalui serangkaian pengetahuan dan pengalaman. Hal terpenting di sini adalah
bagamimana masyarakat menjadi berdaya dalam hal mengurus keselamatan diri, keluarga
dan masyarakat sekitarnya dari ancaman bencana gempa dengan pendekatan ketangkasan
pengetahuan dan pengalaman. Perbandingan antara satu peristiwa gempa dengan dengan
peristiwa gempa lainnya, serta penanganan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya,
dapat dijadikan modal untuk melakukan hal yang sama pada sisi keberhasilannya serta
memperbaikinya kalau ada kelemahan dan kekurangan. Oleh sebab itu semua yang
terjadi di alam ini semestinya dijadikan sebagai pelajaran yang berharga, setelah
mencermati sisi keunggulan dan sisi kekurangannya. Selain itu usaha dengan tekun dan
ulet dalam menyiapkan segala yang menjurus kemashlahatan manusia tidak boleh
melemah ketimbang terlalu dini menyerah yang menjurus mengeluh.

DAFTAR PUSTAKA
Currents, Cross, Islam and Ecology, Proquest Religion (Summer, 1994)
Evelyn Tucker, Mary dan Jhon A, Grim, “Introduction: The Emerging
Alliance World Religions and Ecology,” Dacdalu (2001): vol. 130,
Iss. 4, I.
Febriani, Nur Arfiyah, Ekologi Berwawasan Gender Dalam Persfektif alQur’an (Jakarta: Disertasi, 2001)
-----------------------------, “Bisnis dan Etika Ekologi Berbasis Kitab Suci”
NURAINI, Vol. 10. No. 2, Desember 2010. Jurnal Fakultas Syari’ah
IAIN Raden Fatah Palembang, 17.
Harjasoemantri, Koesnadi, Hukum Tata Lingkung, cet 11, (Yogyakarta:
Gajah Mada University Prss, 1994)
Hanat, Rodrik, Munhi>nat Numu> al-Naba>t (Baghdad: Wizarah alTa’lim al-Ali wa al-Bahth al-‘Ilmiy Jami’ah Baghdad, 198)
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan,
1991), 197.
McKibben, Bill, The End of Nature, cet. II (New York: Random House,
1989)
Rice, Stanley A., Green Planet: How Plants Keep The Earth Alive (New
Brunswick: Rutgers University Prss, 2009)
Rahman, Afzalur, Qur’anic Science, al-Qur’an Sumber Ilmu
Pengetahuan, Terj. H. M. Arifin, Cet. III (Jakarta: P.T. Rineka Cipta, 2000)
Rais, Amien, Tauhid Sosial:
(Bandung: Mizan, 1998), 108.

Formula

Menggempur

Kesenjangan

Sudarsono, Menuju Kemampanan Lingkungan Hidup Regional Jawa
(Yogyakarta: PPLHRJ, 2007)