Merekonstruksi Pembangunan Papua Studi K

Merekonstruksi Pembangunan Papua: Studi Kasus Pada Suku Bangsa Amungme dan
Permasalahannya dengan Kapitalisasi Lahan oleh P.T. Freeport Indonesia serta
Harapan Pembangunan yang Berbasis Local Wisdom
Oleh : A. Gonzaga Dimas Bintarta Raharja1

I.

Kapitalisme dan Kekerasan yang Dibawanya

“Kita harus membongkar sisi lain di balik kemakmuran, wajah gelap
kapitalisme ...” (Salmi,2003:4)
Kapitalisme, bisa dikatakan menjadi akar dari berbagai potensi kekerasan yang ada
pada masa-masa mulai Revolusi Industri hingga saat ini. Dalam setiap wacana kemajuan,
pertumbuhan dan kemakmuran selalu diikuti dengan ketidakseimbangan realita
(ibid,2003:3). Hal ini dapat disadari ataupun tidak sudah memberi ruang kesenjangan pada
masyarakat yang kemudian membentuk akar dari suatu kekerasan. Hal ini tentu saja juga
berpengaruh dengan adanya kekuatan sebuah frasa “peradaban Barat”, sebuah representasi
dari tempat awal kapitalisme mulai bicara dan ada. Sayangnya, kapitalisme juga menguasai
media massa yang mana adalah senjata utama masyarakat menyoal enlightment tapi justru
menjadi senjata kapitalisme untuk melegitimasi segala akibat dan hal-hal lain yang
berpengaruh negatif bagi masyarakat.

Salmi mengajak kita untuk menganalisis hubungan struktural antara kekerasan dan
logika akumulasi pemilik modal. Melalui tiga pandangan kapitalis seperti bias kekerasan ,
klasifikasi bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM secara sistematis dan komprehensif
serta studi mendalam mengenai peran dan signifikansi kekerasan dalam perkembangan
kapitalisme (ibid,2003:5). Semua ini dilakukan untuk menafsirkan kekerasan dan
hubungannya dengan kapitalisme, mulai dari hal terkecil hingga yang biasa diberitakan
media massa.
“Perhatian publik hanya terfokus pada kekerasan yang instan dan sensasional
digembar-gemborkan media massa ...” (Salmi, 2003:8)

1

Mahasiswa Jurusan Antropologi Univeritas Gadjah Mada Yogyakarta

1

Masyarakat Barat, tempat di mana kapitalisme global pertama kali tumbuh
memberi kita gambaran-gambaran nyata tentang segala efek samping kapitalisme itu
sendiri. Dalam segala kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada masa dominasi kapitalisme
terdapat banyak hal yang tidak seimbang. Politik kepentingan sangat besar pengaruhnya

diikuti dengan individualistis pelaku kekerasan. Kekerasan juga terdapat pada diskriminasi
terhadapa dua tipe kejahatan, yaitu blue collar (buruh/karyawan) dan white collar
(pengusaha/politisi) (Salmi, 2003:23). Hal ini terlihat juga dalam masalah rasial dalam
kehidupan masyarakat migran di berbagai tempat. Terlihat pula pada dominasi masyarakat
pada suatu tempat yang melegitimasi kekuasaan untuk membentuk sebuah standard ganda
bagi mereka dan minoritas.
Jadi, dalam perananannya kapitalisme menjadi sebuah bayang-bayang bagi
masyarakat. Hal itu mengacu pada kebutuhan ekonomi masyarakat dan kelas. Berawal
darisanalah sebuah keinginan untuk melakukan kekerasan atau resistensi terhadap
kesenjangan yang dibuat oleh sistem kapitalis itu muncul. Melalui kekerasan yang sudah
ada di pikiran tersebutlah sebuah konflik atau friksi-friksi dalam masyarakat seringkali
muncul. Namun, sekali lagi mereka seringkali tumbang oleh kekerasan yang lebih kuat dari
pihak berkuasa sehingga kekerasan kapitalisme dapat disebut juga sebagai konflik yang
sifatnya struktural.

II.

Konsumtivisme sebagai Perpanjangan Tangan dari Kapitalisme

“Konsumtivisme sosial dan komodifikasi pekerjaan merupakan dua efek sosial

kapitalisme yang pada akhirnya akan bermuara pada teralienasinya manusia dari
dirinya sendiri” (Darmawan, 2005:119 ; dalam Raharja 2014:1).
Sekitar 12.000 jiwa masyarakat suku Amungme hidup dalam bayang-bayang P.T.
Freeport Indonesia (Amirrudin dan de Soares, 2003:16). Namun, keberadaan mereka di
tanah sendiri seperti tidak dianggap ada oleh pihak perusahaan maupun pemerintah secara
tegas. Seolah keberadaan Suku Amungme hanya sebagai batu sandungan untuk usaha
perluasan konsesi lahan tambang P.T. Freeport. Kondisi inilah yang menginspirasi Saya
untuk mencoba mencurahkan kegelisahan terhadap proses alienasi yang dilakukan P.T.
Freeport dan pemerintah terhadap Suku Amungme.
2

Menurut Saya proses kapitalisme lahan yang ada di wilayah hidup Suku Amungme
berawal dari pemikiran konsumtivistik2 baik dari P.T. Freeport sendiri maupun pemerintah.
Hal ini ditengarai dengan ketidakpuasaan P.T. Freeport yang terus menerus mengajukan
perluasan konsesi lahan. Padahal Suku Amungme sendiri telah memiliki konsep bagi hasil
atas sewa lahan yang seharusnya menjadi dasar konsesi ini (Amirrudin dan de
Soares,2003:21). Namun yang ada adalah pembelian tanah dengan skala besar dengan
intervensi pemerintah dalam hal perizinan resmi.
Peran negara dalam pengaturan kepemilikan tanah ini juga diperlukan seperti yang
tercantum pada UU Pokok-Pokok Agraria No.5 tahun 1960, pada bagian “Berpendapat”

butir (d) disebutkan “ ... mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan
memimpin penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat ...”. Tujuan utama dari pengaturan
kepemilikan tanah ini yang sama sekali tidak tercapai dalam kasus Amungme-Freeport ini.
Pemerintah seperti yang digambarkan Amirrudin dan de Soares terlihat begitu
mengesampingkan tujuan ayat 3 Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatakan,
“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. “kemakmuran rakyat” sama
sekali tidak terlihat nyata saat ini, khusunsnya masyarakat Suku Amungme. Selebihnya hal
ini juga tidak berdampak baik terhadap ekonomi masyarakat Indonesia sampai saat ini
terkait dengan sistem bagi hasil antara Freeport denga pemerintah Indonesia yang tidak
seimbang dan transparan (ibid, 2003:34).

III.

Solusi dari Alienasi melalui Pembangunan Berbasis Local Wisdom

Pengaruh lain yang menyebabkan masyarakat Suku Amungme rentan teralienasi
adalah komposisi penduduk pendatang yang bekerja di P.T. Freeport. Hunter (2000 ;
dalam; Kutanegara, 2014:21) mengatakan bahwa interaksi penduduk dengan lingkungan

dipertimbangkan dari 3 variabel kompleks yaitu kependudukan, lingkungan dan teknologi.
2

Konsumtivistik di sini Saya maksudkan kepada pemenuhan kebutuhan politik-ekonomi antara Freeport
dengan pemerintah yang membuat kesepakatan-kesepakatan saling untung dengan menempatkan Suku
Amungme pada posisi marjinal. Hal itu disampaikan oleh Amirrudin dan de Soares (2003:32) yang
menyatakan bahwa pada tanggal 7 April 1967 diadakan penandatangan Kontrak Karya (berdasarkan UU No.
1/1967 tentang PMA) antara pemerintah Indonesia dengan Freeport, tanpa sepengetahuan suku-suku yang
hidup di atas tanah ulayat terkait.

3

Dalam hal ini kedudukan masyarakat Suku Amungme sebagai penduduk primer yang
berdampingan secara turun-temurun dan langsung dengan lingkungan alam yang kini
menjadi lahan tambang Freeport mulai bergeser dengan distribusi migran dari daerah lain,
tentu dengan kepekaan berbeda terhadap lingkungan yang baru ini. Sedangkan teknologi di
sini dapat diasumsikan dengan keberadaan transportasi dan sarana pra-sarana yang hadir
seiring berkembangnya kegiatan pertambangan Freeport.
Kondisi tumpang tindih antara kebutuhan hidup dan keterancaman masyarakat Suku
Amungme oleh karena tidak berlakunya hak mereka sebagai indiegenous people ini

menimbulkan konflik-konflik pula. Sehingga, dengan alasan ini pihak Freeport dapat secara
mudah meminta bantuan perlindungan usaha kepada pemerintah. Pada posisi ini terlihat
bagaimana Masyarakat Suku Amungme semakin tidak diakui keberadaannya.

Mengapa begitu? Mari kita lihat bahwa tanah yang seharusnya mereka kelola untuk
bertahan hidup dan memiliki makna kultural secara tiba-tiba diambil alih oleh sebuah
perusahaan tambang asing dengan persetujuan pemerintah Indonesia (yang seharusnya
melindungi masyarakat lokal sebagai pihak yang harus disejahterakan), lalu kemudian
setelah tambang berdiri masyarakat Suku Amungme hanya dipekerjakan secara seadanya
dengan upah yang bahkan tidak masuk akal (Amirrudin dan de Soares, 2003: 31-32).
Kemudian, pengaruh migrasi dari luar wilayah membuat interaksi masyarakat Suku
Amungme dengan lingkungannya terganggu karena perbedaan pola pikir migran dengan
mereka sebagai indiegenous people. Sedangkan hal terakhir adalah peran pemerintah yang
seharusnya menjadi harapan ternyata malah membatasi ruang gerak mereka dengan
memberi izin kepada P.T. Freeport untuk memakai jasa militer dalam menjaga wilayah
konsesi tambangnya.
Hal-hal itulah yang menyebabkan proses alienasi atau peniadaan terhadap Suku
Amungme berjalan. Identitas Suku Amungme telah direnggut dengan penguasaan tanah
ulayat dan tanah-tanah kultural oleh Freeport dengan intervensi pemerintah yang berat
sebelah. Sedangkan kebutuhan hidup mereka yang seharusnya bisa dipenuhi dari

lingkungan alam tempat mereka juga telah terberangus menjadi lahan konsesi. Secara
sosio-kultural mereka juga harus berhadapan dengan pertumbuhan penduduk yang
didominasi migran. Hal ini menimbulkan “erring acculturation” (van Baal; dalam

4

Koentraningrat, et al. 1994:453) yang disebabkan oleh sistem pembangunan dari atas atau
perencanaan pembangunan dengan penanaman modal yang sangat besar.
Seiring dengan pendapat Koentajarningrat (ibid. 1994:453-454) berkaitan dengan
pembangunan dari bawah, yaitu sebuah model pembangunan dengan orientasi masyarakat
lokal. Sistem ini menggunakan tenaga, sumber modal dan birokrasi dengan masyarakat
setempat, bukan langsung melalui birokrasi tingkat pemerintah pusat seperti apa yang
dilakukan Freeport. Koentjaraningrat menambahkan bahwa perlu adaanya pendekatan
konvensional yang bertujuan untuk merundingkan secara terbuka hambatan. Hal itu
menurut Saya juga tepat digunakan untuk saling mengetahui kemungkinan-kemungkinan
terjadinya bad effect dari dibukanya perusahaan tambang dengan konsesi luas ini melalui
perhitungan masyarakat lokal, bukan pemerintah.
Jadi, dalam rangka pencegahan teralienasinya masyarakat Suku Amungme maka
perlu adanya langkah-langkah solusi yang berdasar pada sudut pandang kerugian dari
mereka sebagai indiegenous people. Jika hal itu dapat dilakukan secara terbuka antara

masyarakat Suku Amungme, pemerintah daerah dan pusat serta pihak P.T. Freeport
Indonesia, maka kemungkinan keadaan ini semakin berlarut-larut bisa ditanggulangi. Saya
kira pendapat Koentjaraningrat tentang “pembangunan dari bawah” yang waktu itu
digunakan untuk REPELITA bisa menjadi salah satu acuan solusi. Selain itu, pembenahan
wilayah tinggal masyarakat Suku Amungme juga harus dilakukan, hal itu menjadi
kewajiban pemerintah untuk mempertegas perlu dan tidaknya perpanjangan kontrak karya
P.T. Freeport. Jika pemerintah bisa membatasi kontrak karya atau bahkan menasionalisasi
Freeport maka kondisi ini akan menunjang pengembalian identitas masyarakat Suku
Amungme.
Hal lain yang perlu ditambahkan adalah program-program pemberdayaan
masyarakat sebagai timbal balik ganti rugi terhadap masyarakat Suku Amungme oleh pihak
Freeport juga harus dilakukan dengan orientasi konvensional melalui pendekatan sosiokultural dan ekologi-ekonomi. Pengadaan sarana prasarana antara migran dan penduduk
lokal juga harus diseimbangkan. Pembatasan pengelolaan ekosistem alam milik masyarakat
Suku Amungme juga harus diprioritaskan oleh pemerintah, pendatang maupun Freeport.
Meski hanya sebagian kecil saja dari tanah kultural masyarakat Suku Amungme yang
tersisa Saya rasa hal ini tetap harus dilakukan demi terjaganya pewarisan identitas dan
pencegahan alienasi terhadap masa depan masyarakat Suku Amungme. Jadi, pembangunan
5

dengan berlandaskan aspek-aspek kultal-ekonomi serta kondisi sosio-ekologi masyarakat

Suku bangsa Amungme inilah yang Saya sebut dengan pembangunan berbasis Local
Wisdom. Hal itu kemungkinan besar menjadi saluran yang terbaik demi keselarasan suatu
masyarakat, lingkungan dan peradabannya.

6

IV.

Daftar Pustaka

Amirrudin dan Aderito Jesus de Soares. 2003. Perjuangan Amungme Antara Freeport dan
Militer. Jakarta:ELSAM

Darmawan, Eko.P. 2005. Agama Itu Bukan Candu: Tesis-tesis Feurbach, Marx dan Tan
Malaka. Yogyakarta:Resist Book

Koentjaraningrat, et al. 1994. Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk. Jakarta:
Djambatan

Kutanegara, Pande Made. 2014. Manusia, Lingkungan, dan Sungai: Transformasi Sosial

Kehidupan Masyarakat Sempadan Sungai Code. Yogyakarta:Ombak

Salmi, Jamil. 2003. Kekerasan dan Kapitalisme. Pustaka Pelajar:Yogyakarta

7

V.

Daftar Laman

Raharja, Aloysius G. Dimas B. 2014. Memanusiakan Manusia Melalui Transparansi
Sistem

Bagi

Hasil.

https://www.academia.edu/10457372/Memanusiakan_Ma-

nusia_Melalui_Transparansi_Sistem_Bagi_Hasil (diunduh tanggal 7 April 2015 pukul

20:18 WIB)

Syahyuti. 2004. Perbaikan Sistem Bagi Hasil Sebagai Strategi Prospektif Reforma Agraria.
http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/ART02-2b.pdf

(diunduh

tanggal

3

Januari2015 pukul 17.57 WIB)

8