PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PERIKANAN
PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PERIKANAN:
TINJAUAN YURIDIS-SOSIOLOGIS1
A. Pengantar
Pada
bertemu
suatu
dengan
bertugas
di
bercerita
pertemuan
seorang
Pengadilan
bahwa
di
Hakim
Jakarta
Pengadilan
Perikanan
Pengadilan
penulis
Medan.
Perikanan
pernah
Perikanan
Hakim
Medan
yang
tersebut
baru
saja
menjatuhkan pidana denda sebesar 350 juta kepada kapal ikan
yang
tertangkap
melakukan
illegal,
unreported,
and
unregulated (IUU) fishing. Sedangkan kapal ikannya sendiri,
yang harganya diperkirakan sekitar 500 juta, disita untuk
negara. Pidana tersebut sempat menjadi kontroversi. Di satu
sisi
terdapat
putusan
kelompok
tersebut
dengan
tersebut jera melakukan
sebagian
yang
lain
masyarakat
alasan
yang
agar
setuju
dengan
kapal-kapal
ikan
tindak pidana IUU Fishing, namun
menganggap
putusan
tersebut
terlalu
berlebihan karena dikhawatirkan akan menjadi preseden yang
kurang baik dan mengancam kelangsungan usaha di bidang
perikanan.
Tingginya
pengenaan
sanksi
pidana
oleh
Pengadilan
Perikanan sejalan dengan batas maksimum sanksi pidana yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan yang mencapai 2 milyar rupiah dan pidana penjara
selama
10
tahun.
Para
perumus
undang-undang
perikanan
sengaja melipatgandakan sanksi pidana di bidang perikanan
dengan pertimbangan agar dapat memberi efek jera bagi para
1
Disampaikan pada diskusi terbatas Mahasiswa Program Pasca Sarjana MITL 2009.
pelaku illegal fishing yang marak di perairan Indoensia
yang sebelumnya kerapkali diputus oleh pengadilan dengan
sanksi yang sangat rendah.2
Dari kasus di atas, pertanyaan yang kerap muncul
adalah sejauhmana peran dari suatu aturan hukum dapat
memberikan solusi dalam penanggulangan berbagai persoalan
di
masyarakat?
(termasuk
apakah
di
Dengan
kata
bidang
telah
lain,
perikanan)
menduduki
peran
peran
hukum
selalu
yang
pidana
diperdebatkan
semestinya
dalam
menegakkan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada
sekaligus
telah
memberikan
jawaban
atas
berbagai
persoalan yang dihadapi masyarakat? Pertanyaan ini dirasa
sangat
krusial
mengingat
banyaknya
tuntutan
terhadap
supremasi hukum di era reformasi sekarang ini, di mana
hukum dapat kembali kepada fungsinya yang ideal.
Berbicara
pidana
yang
tentang
terkait
hukum
dengan
pidana,
tindak
termasuk
pidana
di
hukum
bidang
perikanan, tidak bisa tidak harus pula membahas aturan
pokok dari hukum pidana itu sendiri sebagaimana dimuat
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP).
Kitab
aturan
Undang-undang
induk
yang
Hukum
timbul
Pidana
sebagai
(KUHP)
bagian
merupakan
dari
gagasan
kodifikasi hukum, sebagaimana yang diterapkan konkordan
oleh
Pemerintah
Hindia
Belanda
dan
kemudian
dijadikan
oleh Pemerintah Indonesia ketika masa awal kemerdekaan,
sebagai
aturan
pokok
terhadap
berbagai
pelanggaran
di
bidang hukum pidana.
2
Rusmana, “Pengadilan Perikanan: Mampukah Menjadi Terobosan?”, Sinar
Harapan, tanggal 22 Oktober 2004.
Dalam sudut pandang tersebut, kodifikasi merupakan
gagasan
idealis
diakui
hukum
di
bidang
hukum
dalam
rangka
kegunaannya
dan
cita-cita
keadilan
pendukung
adanya
hukum
itu
himpunan
tertentu,
tuntas
ketertiban
yang
yang
(sekaligus
yang
menjunjung
merupakan
diyakini
sendiri).
hingga
kepastian
masyarakat
Kodifikasi
memungkinkan
bahan
aturan
hukum
disusun
secara
sistematis,
Berkenaan
ini
perwujudan
oleh
segala
(uit-puttend)3
saat
dari
dengan
hukum
lengkap
dan
pengkodifikasian
ini, perlu diperhatikan pendapat S.R. Sianturi yang me
nyatakan
bahwa
sebagian
besar
mated
hukum
pidana
itu
lebih tepat tersebar karena merupakan bagian yang sukar
dipisahkan
dari
induknya
yang
merupakan
peraturan
perundang-undangan hukum administrasi, hukum pidana atau
hukum tata negara. Adapun Alasan-alasan pemisahan atau
penyendirian itu disebabkan oleh:
1. Lebih
adanya
banyak
kerugian
daripada
pengkodifikasian,
sebab
keuntungan
dengan
akan
merusak
sistematika;
2. Alasan
mendesaknya
waktu
untuk
memberlakukan
suatu
materi hukum pidana tertentu;
3. Masa
3
penerapannya
hanya
apabila
diperlukan
saja,
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hal. 53.
Asas kodifikasi ini merupakan tanda ciri sistem hukum Eropa
Kontinental, berbeda dengan negara-negara penganut sistem common law
yang memberlakukan asas stare decisis atau asas the binding force of
precedents
(keterikatan
hakim
kepada
putusan-putusan
hakim
sebelumnya). Namun kini hal ini tidak absolut sebab di negara Inggris
misalnya, berbagai peraturan sudah dituangkan dalam undang-undang
meskipun tidak dalam bentuk kodifikasi yang dikenal negara-negara
Eropa Kontinental.
kendati
berlakunya
undang-undang
tersebut
tidak
menimbulkan masalah;
4. Kewenangan
pembuatan
peraturan
perundang-undangan
tersebut ada pada penguasa yang lebih rendah daripada
pembuat undang-undang;
5. Hanya
merupakan
"pelengkap"
perundang-undangan
di
bidang
dari
hukum
suatu
peraturan
perdata,
hukum
administrasi negara atau hukum tata negara saja;
6. Merupakan bagian dari delik adat yang hanya berlaku
untuk suatu golongan masyarakat tertentu.4
Dengan
peraturan
demikian
yang
pekerjaan
beraspek
pidana
untuk
menyatukan
dalam
suatu
semua
kodifikasi
justru dapat mengundang masalah baru, misalnya: berkaitan
dengan subjek yang diatur oleh suatu bidang hukum, asasasas umum yang dianut suatu undang-undang perdata yang
beraspek
pidana,
belum
tentu
sejalan
dengan
asas-asas
umum hukum pidana, demikian juga pengacaraannya (hukum
formilnya), dan sebagainya (meskipun harus diakui bahwa
asas-asas hukum yang umum seperti asas legalitas, asas
lex spesialis, dll. berlaku pada seluruh bidang hukum
tersebut).
Demikian pula halnya kelahiran UU No. 31 Tahun 2004
tentang
Perikanan
dan
peraturan
pelaksanaannya,
tetap
membuka peluang untuk menggunakan hukum pidana sebagai
penguat, sehingga aturan hukum tersebut dapat dipatuhi
dan ditegakkan dengan sebaik-baiknya.
4
S.R. Sianturi, Hukum Pidana Khusus, diktat, Ahaem-Petehaem, Jakarta,
1994, hal. 1,9.
B. Apakah Tindak Pidana
Untuk
Perikanan Tindaka Pidana Khusus?
menjawab
pertanyaan
di
atas,
dapat
dilihat
beberapa pandangan mengenai hakikat tindak pidana khusus,
sebelum
menentukan
apakah
delik
perikanan
merupakan
tindak pidana khusus.
Prof.
tidak
Sudarto
dalam
dikodifikasikan
menyatakan
bahwa
legislatifhya
membedakan
dengan
hal
belaka.
hukum
yang
itu
hanya
Dalam
rangka
pidana
yang
dikodifikasikan,
menyangkut
hukum
bentuk
pidana
yang
tidak dikodifikasikan perlu dilihat sifat hukum pidananya
dari berbagai peraturan perundang-undangan pidana, yang
dapat dibagi menurut sifatnya dalam:5
1. undang-undang pidana "dalam arti sesungguhnya," ialah
"undang-undang,
yang
menurut
tuju-annya,
bermaksud
mengatur hak memberi pidana dari negara, jaminan dari
ketertiban hukum."
2. peraturan-peraturan
hukum
pidana
dalam
tersendiri
ialah
peraturan-peraturan
dimaksudkan
untuk
memberi
sanksi
undang-undang
yang
pidana
hanya
terhadap
aturan-aturan mengenai salah satu bidang yang terletak
di luar hukum pidana. Kelompok ini dapat dimasukkan
dalam pengertian "undang-undang pidana khusus."
5
Sudarto, Op. Cit., hal. 59 et seq. Pembagian lain yang dapat dilihat
selain hukum pidana dikodifikasikan dan hukum pidana yang tidak
dikodifikasikan ialah hukum pidana umum (ius commune) dan hukum pidana
khusus (ius singulare atau ius speciale). Kedua hal ini harus
dibedakan dari pengertian "bagian umum" dari hukum pidana dan "bagian
khusus" dari hukum pidana. "Bagian umum" dari hukum pidana me-muat
ketentuan-ketentuan atau ajaran-ajaran umum (algemene leerstukken),
sedang "bagian khusus"-nya memuat perumusan tindak pidana. Hukum Pidana Khusus menurut Prof. Sudarto ialah hukum pidana yang ditetapkan
untuk golongan orang khusus atau yang ber-hubungan dengan perbuatanperbuatan khusus (Conf. pendapat S.R. Sianturi).
Masih
berkaitan
dengan
pengertian
mengenai
hukum
pidana khusus ini, perlu diingat pendapat S.R. Sianturi
yang menyatakan bahwa dalam praktiknya perkataan khusus
digunakan
sebagai
terjemahan
kalanya
merupakan
istilah
bijzondere
mempunyai
logika,
arti
yang
dari
terjemahan
dengan
tersendiri
umum
bijzondere
dari
terlebih
speciale.
pembagian
yang
ada
ada
Kaitan
hukum
bersejarah.
dahulu
dan
pidana
Menurut
daripada
yang
khusus, setelah itu dengan perbandingannya terhadap yang
umum,
lahir
atau
muncullah
yang
khusus.
Namun
dalam
sejarah hukum pidana, justru ketentuan mengenai tindakan
larangan dan keharusan beserta ancaman pidananyalah yang
terbentuk sejak awal. Baru pada abad XIII oleh jurisjuris
umum
Italia
yang
keharusan
disusun
ketentuan-ketentuan
berlaku
bagi
seluruh
tersebut
atau
setidak-tidaknya
yang
tindakan
bersifat
larangan
bagi
dan
sebagian
besar dari padanya. Sekitar abad ke-18 hingga abad ke-19
dalam
rangka
ketentuan
muncul
umum
kegiatan
ini
belakangan
pengkodifikasian
lebih
ini
dibakukan.
bersifat
umum,
hukum
Oleh
maka
pidana,
karena
ia
yang
disebut
sebagai bagian umum (alge-mene deel, general provisions),
sedangkan
keharusan
ketentuan
itu
disebut
tentang
bagian
tindakan
khusus
larangan
(bijzondere
dan
deel,
special provisions).6
Namun dalam kaitan istilah bijzondere atau special
dengan istilah delict, ia mempunyai pengertian yang agak
berbeda. Prof. Simons7 dalam mengkaitkan bijzondere delict
(yang dapat diterjemahkan delik khusus), dengan algemene
6
S.R. Sianturi, Op.cit., hal. 2 mengutip pendapat Van Bemmelen, hal.
13.
7
Ibid, menyitir pendapat Simons, D. Leerboek van het Nederlandsch
Straf-recht, Tweede deel, hal. 1-2.
delict
(delik
umum),
menyandarkan
pengkaitan
pada
kepentingan hukum atau benda hukum: orang perorangan atau
ma-syarakat
atau
negara
yang
dirugikan.
Dalam
hal
kerugian itu bertitik tolak pada orang perorangan, maka
disebut
sebagai
delik
khusus
(bijzondere
delict),
sedangkan jika titik berat kerugian ada pada masyarakat
dan
atau
negara
disebut
delict).
Dengan
demikian
dipahami
bahwa
baik
sebagai
delik
berdasarkan
delik
khusus
umum
(algemene
hal
maupun
ini
dapat
delik
umum
terdapat di KUHP maupun di luar KUHP. Dari pola pikir ini
dapat disimpulkan bahwa delik khusus (bijzondere delict)
merupakan
bagian
dari
hukum
pidana
bagian
khusus
bijzondere deel, special provisions).
Sebaliknya Pompe8 melandaskan pengkaitan itu kepada
penyimpangan
diatur
di
peraturan
luar
perundang-undangan
KUHP,
baik
karena
ia
pidana
secara
yang
khusus
ditujukan kepada orang-orang tertentu atau secara khusus
ada
penyimpangan
beratnya
ialah
ketentuan
terhadap
diatur
dalam
di
KUHP
norma
luar
tetap
tertentu.
KUHP,
Jadi
namun
merupakan
titik
ketentuan-
pelengkap
bagi
peraturan ini sepanjang tidak disimpangi. Jadi menurut
pola
pikir
ini,
delik
khusus
(special
delict)
bukan
merupakan bagian dari bagian khusus KUHP (delik di KUHP).
Namun pengaturan ketentuan yang menyimpang dari ketentuan
umum merupakan bagian dari Hukum Pidana Khusus.
Kembali kepada pengertian Hukum Pidana Khusus, S.R.
8
Sianturi
terutama
tolaknya
pada
Ibid,
mengambil
Nederlandsch
menitikberatkan
usaha
pendapat
penekodifikasian.
pendapat
Pompe, Handboek
Hal
atau
titik
ini
dapat
van
het
dibandingkan dengan kegiatan para juris pada abad XVIIIXIX. Oleh karenanya yang dikodifikasikan (KUHP) disebut
sebagai pidana umum. Sedangkan yang diatur di luar yang
dikodifikasikan, termasuk penyimpangan terhadap ketentuan
umumnya dan bahkan juga ketentuan penyimpangan terhadap
pengacara-annya,
disebut
sebagai
Hukum
Pidana
Khusus.
Untuk tidak mengacau-kan penggunaan istilah khusus. sebaiknya
KUHP
disebut
sebagai
Hukum
Pidana
Umum
(yang
tertulis), yang terdiri dari Buku I sebagai ketentuan
umum sedangkan Buku II dan Buku III sebagai delik umum.
Sementara
itu
yang
diatur
di
luar
KUHP
disebut
Hukum
Pidana Khusus yang terdiri dari ketentuan khusus (sebagai
penyimpangan terhadap ketentuan umum) dan delik khusus.
Masih dalam rangka pembedaan yang khusus dan yang umum
ini
ada
juga
yang
pengacaraannya,
dilakukan
oleh
mendasarkannya
yaitu
jika
penyidik
terutama
penyidikan
Polri
disebut
kepada
perkara
sebagai
itu
tindak
pidana umum (khusus pidana umum), sedangkan jika jaksa
penun-tut
umum
terlibat
di
dalamnya,
disebut
sebagai
tindak pidana khusus. Dengan demikian maka KUHP, delik
lalu lintas, dan sebagainya merupakan tindak pidana umum,
tetapi
tindak
tindak
pidana
pidana
ekonomi,
subversi
(dulu)
tindak
adalah
pidana
korupsi,
tindak
pidana
khusus.9
Apabila ukuran untuk mengatakan tindak pidana khusus
adalah
semua
ketentuan
hukum
pidana
di
luar
KUHP
dan
KUHAP, maka untuk hukum pidana khusus (materialnya) dapat
dibedakan antara:
1. hukum pidana khusus (material) yang murni dan
9
Ibid., hal. 3.
2. hukum pidana khusus (material) yang berasal dari materi
hukum
perdata,
hukum
administrasi
dan
hukum
tata
negara.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
tindak
pidana
di
bidang
perikanan,
merupakan
tindak
pidana khusus yang masih memberikan tempat bagi hukum
pidana
untuk
melakukan
fungsinya
sebagai
ultimum
remedium.
C. Tindak Pidana Perikanan
Mengamati
pidana
perkembangan
perikanan,
terhadap
pemikiran
ternyata
pasal-pasal
yang
telah
tentang
terjadi
berkaitan
tindak
perubahan
sebagaimana
diatur
oleh KUHP.
Misalnya
ketentuan
Bab
XXII
(Pasal
362-367)
KUHP
tentang Pencurian hanya mengatur pencurian yang dilakukan
oleh orang dan terhadap barang yang dimiliki oleh orang
lain.
Bagi
tindak
pidana
perikanan,
yang
kejahatannya
tidak dilakukan terhadap barang milik orang per orangan (
tidak ada pemilikan orang per orang atas ikan di laut)
ketentuan
KUHP
diterapkan,
tersebut
karena
itu
tidak
bisa
diperlukan
begitu
undang-undangn
saja
yang
lebih khusus sebagai lex specialis.
KUHP
juga
tidak
mengenal
tindak
pidana
pencurian
yang dilakukan oleh korporasi. Tidak dikenalnya prinsip
pertanggungjawaban
korporasi
karena
subjek
tindak
adalah
orang
dalam
dalam
pidana
konotasi
yang
KUHP
dikenal
biologis
disebabkan
dalam
yang
KUHP
alami
(natuurlijke persoon). Di samping itu, KUHP juga masih
menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan
hukum
dianggap
Dengan
tidak
demikian,
dapat
pemikiran
melakukan
fiksi
tindak
tentang
pidana.
sifat
hukum (rechspersoonlijkheid) tidak berlaku
badan
dalam bidang
hukum pidana.10
Perubahan
sanksi
pidana
terhadap
ketentuan
Pasal
362-367 KUHP menunjukkan bahwa dalam Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2004 tentang Perikanan, terdapat kumulasi atau
alternatif
sanksi
dan/atau
pidana
denda.
Hal
penjara
ini
dengan
merupakan
pidana
denda
kecenderungan
perkembangan hukum pidana modern yang membuka kemungkinan
pengalternatifan sanksi pidana sesuai ide individualisasi
pidana,
sekaligus
perampasan
memberikan
kemerdekaan
dengan
penggabungan
denda
yang
sanksi
dimaksudkan
untuk menambah keuangan negara (yang pengancamannya pun
dilakukan
dengan
menggunakan
strafminima
dan
strafmaxima).
Selain dua ketentuan di atas, masih cukup banyak
perluasan
rumusan
Undang-Undang
Mengenai
Nomor
sanksi
mengatur
alternative
tindak
secara
31
pidana
Tahun
denda,
pada
2004
tentang
prinsipnya
alternatif,
sebagaimana
perikanan
bukan
terdapat
dalam
berdasarkan
Perikanan.
KUHP
hanya
kumulatif
dan
Undang-Undang
Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan.
Bertalian dengan topik di atas, ini, Prof. Sudarto
pernah mengutarakan bahwa untuk menyaring begitu banyak
perbuatan
10
yang
tercela
dalam
masyarakat,
sebelum
Rusmana, “Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Perikanan”,
Hukumonline.com, Tanggal 16 Oktober 2005.
memberikan ancaman pidana harus diperhatikan empat hal
sebagai berikut:11
1. Penetapan hukum pidana oleh pembuat undang-undang dan
badan-badan kenegaraan lainnya harus diusahakan untuk
mewujudkan
masyarakat
adil
dan
makmur
yang
merata
materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila; dengan
demikian
hukum
kejahatan
pidana
dan
penanggulangan
bertugas
pengugeran
itu
sendiri,
untuk
menanggulangi
terha-dap
demi
tindakan
kesejahteraan
dan
pengayoman masyarakat;
2. Perbuatan
yang
pidana
adalah
diusahakan
untuk
dicegah
perbuatan-perbuatan
oleh
yang
hukum
tidak
dikehendaki, yakni perbuatan yang mendatangkan kerugian
atas warga masyarakat baik.material maupun spiritual;
3. Usaha
untuk
mencegah
suatu
perbuatan
dengan
sarana
hukum pidana hams memperhitungkan keseimbangan antara
biaya dan hasil yang diharapkan akan dicapai; sebab
harus diingat bahwa hukum pidana itu sendiri bersifat
criminogeen, artinya menjadi sumber timbulnya tindak
pidana;
4. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kemampuan
daya
kerja
sampai
11
ada
dari
badan-badan
ke-lampauan
beban
penegak
tugas
hukum,
jangan
(over-belasting)
Sudarto, Op. Cit., hal. 44-49. Ditambahkan bahwa dalam hal sanksi
pidana akan dijatuhkan, maka itu berarti sudah berkaitan dengan masalah
pemberian pidana yang sesungguhnya mempunyai dua arti, yakni pertama,
dalam arti umum ialah yang menyangkut pem-bentuk undang-undang, ialah
yang menetapkan stelsel sanksi hukum pidana (pemberian pidana in
abstracto), dan kedua, dalam arti konkrit ialah yang menyangkut berbagai
badan kesemuanya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana
itu (pemberian pidana in concreto).
yang
akan
mengakibatkan
effek
dari
peraturan
itu
menjadi kurang.
Untuk
mempertimbangkan
apakah
sanksi
pidana
itu
sendiri efektif sesuai dengan tujuan digunakannya hukum
pidana,
maka
Ted
Honderich
mengemukakan
bahwa
suatu
pidana dapat disebut sebagai alat pencegah yang ekonomis
apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:12
a.
Pidana itu sungguh-sungguh mencegah;
b.
Pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang
lebih berbahaya/merugikan daripada yang akan terjadi
apabila pidana itu tidak dikenakan;
12
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya
Bakti, Bandung,1996, hal. 38, 39. Disinggung pula pendapat Jeremy
Bentham yang pernah menyatakan bahwa pidana janganlah diterapkan atau.
digunakan apabila groundless, needless, Unprofitable or inefficacious.
Sejalan dengan itu Herbert L. Packer menyatakan bahwa sanksi pidana
merupakan penjamin utama dan pada suatu ketika juga merupakan pengancam
utama terhadap kebebasan manusia. la harus di gunakan secara hematcermat dan ma-nusiawi sebagai penjamin; pemakaian yang menyamaratakan
dan memaksakan merupakan pengancam. (The criminal sanction is at once
prime guarantor and prime threatener of human freedom. Used providently
and humanely it is guarantor; used indiscriminately and coercively, it
is threatener). (Herbert L. Packer, The Limits of the Criminal
Sanction, Stanford University Press, Stanford, California, 1968, hal.
366. Selanjutnya, Nigel Walker menyatakan tentang prinsip-prinsip
pembatas (the limiting principles) yang patut diperha-tikan, antara
lain: jangan menggunakan hukum pidana semata-mata untuk tujuan
pembalasan; jangan menggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan
yang tidak merugikan/memba-hayakan; jangan menggunakan hukum pidana
untuk mencapai suatu tujuan yang dapat dicapai secara lebih efektif
dengan sarana-sarana lain yang lebih ringan; jangan menggunakan hukum
pidana apabila kerugian/bahaya yang timbul dari pidana lebih besar
daripada kerugian/bahaya dari perbuatan/tindak pidana itu sendiri;
larangan-larangan hukum pidana jangan mengandung sifat lebih berbahaya
daripada perbuatan yang akan dicegah; hukum pidana jangan memuat
larangan-larangan yang tidak mendapat dukungan kuat dari publik. (Vide:
Barda Nawawie Arief, "Batas-batas Kemampuan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahat-an," dalam Barda Nawawie Arief, Beberapa Aspek
Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 47, 48).
c.
Tidak
ada
pidana
lain
yang
dapat
mencegah
secara
efek-tif dengan bahaya/kerugian yang lebih kecil.
Berdasarkan pendapat atau hasil penelitian berbagai
pakar
di
bawah
ini
dapat
diketahui
lebih
jauh
bahwa
efektivitas sarana penal dalam mencapai tujuan politik
kriminal masih sering dipermasalahkan.13
1.
Rubin menyatakan bahwa pemidanaan (apapun hakikatnya
apa-kah dimaksudkan untuk menghukum atau memperbaiki)
sedikit
atau
tidak
mempunyai
pengaruh
terhadap
masalah kejahatan.
2.
Schultz menyatakan bahwa naik turunnya kejahatan di
suatu negara tidaklah berhubungan dengan perubahanperubahan
di
kecenderungan
tetapi
dalam
hukumnya
dalam
berhubungan
atau
kecenderungan-
putusan-putusan
dengan
pengadilan,
bekerjanya
atau
berfiingsinya perubahan-perubahan kultural yang besar
dalam kehidupan masyarakat.
3.
Johannes Andenaes mengatakan bahwa bekerjanya hukum
pidana
selamanya
harus
dilihat
dari
ke-seluruhan
konteks kulturalnya. Ada saling pengaruh antara hukum
dengan faktor-faktor lain yang membentuk sikap dan
tindakan-tindakan kita.
4.
Hood dan R. Sparks menyatakan bahwa beberapa aspek
lain
dari
general
prevention,
seperti
reinforcing
social values, strengthening the common conscience,
alleviating fear dan providing a sense of communal
security sulit untuk diteliti.
13
Ibid., hal. 59-62.
5.
Karl
O.
Christiansen
mengemu-kakan
bahwa
pengaruh
pidana terhadap masyarakat luas sangat sulit diukur.
Pengaruh general prevention itu terdiri dari sejumlah
bentuk
aksi
berkaitan
dan
erat,
penamaan,
umum
yang
yang
misalnya
pencegahan
kembali
reaksi
disebut
moral
dan
dengan
pencegahan
(general
nilai-nilai
berbeda
saling
berbagai
(deterrence),
prevention),
memperku-at
(reinforcement
of
moral
values), memperkuat kesadaran kolektif (strengthening
the
collective
solidarity),
menegaskan
kembali/
memperkuat rasa aman dari masyarakat (rconfirmation
of the public feeling of security), mengurangi atau
meredakan
ketakutan
(alleviation
melepaskan ketegangan-ketegangan agresi
of
fears),
(release of
aggressive tensions), dan sebagainya.
6.
Brody
meneliti
antaranya
dari
menyatakan
sembilan
bahwa
pemidanaan,
lamanya
lima
waktu
di
yang
dijalani di dalam penjara nampaknya tidak berpengaruh
pada adanya penghukuman kembali (reconvictioh).
7.
Cherif Bassiouni menegaskan bahwa kita tidak tahu dan
tidak pernah tahu secara pasti metode-metode tindakan
(treatment) apa yang paling efektif untuk men-cegah
dan memperbaiki atau tidak mengetahui seberapa jauh
efektivitas setiap metode tindakan itu.
8.
Irvin Waller menyatakan bahwa tujuan hukum pidana dan
pelaksanaannya adalah untuk melindungi masyarakat dan
meningkatkan
keadilan
terhadap
masyarakat,
sehingga
prinsip
direfleksikan
sebagai
korban,
konsekuensi
pelaku
pemidanaan
yang
dan
harus
sepantasnya
untuk melindungi korban dan kemungkinan memperbaiki
dan perdamaian.14
9.
Inkeri Anttila, dalam kaitan hukum pidana dan korban
kejahatan
menyatakan
bahwa
terhadap
pelaku,
juga
kompensasi
terhadap
kerugian
di
samping
perlu
yang
pemidanaan
dipertimbangkan
diderita
korban
sebagai pertim-bangan dalam penjatuhan pidana.15
10. Aryeh
Neier
berpendapat
bahwa
sekalipun
pemidanaan
merupakan alternatif terbaik untuk memidana kejahatan
yang serius, kita harus membatasi penggunaan pidana
dan
lebih
restitusi
kejahatan.
memanfaatkan
dan
probation
Tatkala
kita
pelayanan
sebagai
masyarakat,
sarana
menggunakan
terhadap
pidana,
kita
harus meminimalkan penderitaan yang mereka alami.16
Dari uraian para pakar di atas terlihat bagaimana
keterbatasan hukum pidana dari sudut terjadinya tindak
pidana dan dari sudut hakikat bekerjanya sanksi pidana
itu sendiri. Ditinjau dari hakikat tindak pidana sebagai
masalah kemanusiaan dan masalah sosial menunjukkan bahwa
penggunaannya
merupakan
(Kurieren
Symptom)
dengan
am
menghilangkan
penang-gulangan
dan
bukan
suatu
suatu
sebab-sebabnya.
gejala
penyele-saian
Artinya
sanksi
pidana bukan merupakan pengobatan kausatif, tetapi hanya
14
Irvin Waller, "Victima vs Regina vs Malefactor: Justice for the Next
100 Years," dalam van Dijk, et ai (ed.). Criminal Law in Action, Kluwer
Law and Taxation Publishers, Deventer, Netherlands, 1988, hal. 430.
15
Inkeri Anttila, "From Crime Policy to Victim Policy, " dalam Ezzat A.
Fattah. From Crime Policy to Victim Policy: Reorienting the Justice
System, Macmillan Press, Houndmills, Basing-stoke, Hampshire, and
London, 1986, hal. 240.
16
Aryeh Neier,. Crime and Punishment: A Radical Solution, Stein and Day,
Scarborough House, New York, 1978, hal. 186.
sekadar
pengobatan
mengandung
banyak
berfungsinya,
yang
banyak
dangan
kelemahan.
hukum
dan
organik,
simptomatik,
pidana
yang
Sedangkan
memerlukan
berva-riasi
instansi
baik
dan
juga
masih
dari
sudut
sarana
berupa
aparat
pendukung
perundang-unpelaksananya,
sarana/prasarana maupun operasionalisasi penegakan hu-kum
pidana di lapangan.17
Oleh sebab itu, mencermati efektivitas sanksi pidana
terhadap tindak pidana perikanan, tidaklah hanya cukup
dengan mengamati perkembangan formulasi aturan yang ada
dalam
peraturan
perundang-undangan
di
bidang
perikanan
(sebagai lex specialis terhadap keten-tuan yang ada di
KUHP sebagai lex generalis), tetapi juga harus meninjau
berbagai faktor terkait lainnya.
Berdasarkan
berbagai
paparan
di
atas,
dapat
dicermati sebab-sebab keterbatasan kemampuan hukum pidana
dalam
menanggulangi
tindak
pidana
perikanan,
sebagai
berikut:18
1. Sebab-sebab tindak pidana yang demikian kompleks berada
di
luar
jangkauan
hukum
pidana.
Jika
diperhatikan,
perkembangan hokum itu sendiri umumnya berjalan lebih
lambat dari tingkat perkembangan kejahatan yang ada di
masyarakat.
2. Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (subsistem)
dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi
masalah
kejahatan
sebagai
masalah
kemanu-siaan
dan
kemasyarakatan yang sangat kompleks (sosio-psikologis,
17
Barda N.A., Bunga Rampai... Op. Cit., hal. 44-46.
18
Ibid.
sosio-politik,
sosio-ekonomi,
sosio-kultural,
dan
sebagainya). Masalah tindak pidana perikanan sebagai
suatu
masalah
politik
yang
masyarakat
bertalian
berkembang,
budaya
dengan
sistem
masyarakat
yang
mengalami perubahan, dan berbagai aspek lain, termasuk
ekonomi masyarakat dan psikologi masyarakat;
3. Penggunaan
hukum
pidana
dalam
menanggulangi
tindak
pidana hanya merupakan kurieren am symptom, oleh karena
itu
hukum
pidana
simptomatik"
dan
bukan
hanya
merupakan
"pengobatan
"pengobatan
kausatif."
Untuk
mencegah dan mengobati akibat yang terjadi, tidak cukup
hanya menjatuhkan sanksi pidana, karena akar tindak
pidana perikanan itu justru tidak dapat "diobati" oleh
hukum
pidana,
pembenahan
melainkan
secara
dengan
menyeluruh
dan
melakukan
simultan
upaya
terhadap
seluruh aspek terkait;
4. Sanksi hukum pidana merupakan remedium yang mengandung
sifat
kontradiktif/paradoksal
dan
mengandung
unsur-
unsur serta efek sampingan yang negatif. Itu sebabnya,
sukar mengukur kadar sanksi yang tepat terhadap suatu
tindak
pidana,
sehingga
legislatif
sendiri
dalam
menentukan sanksi pidana untuk "tindak pidana baru"
tidak memiliki rambu-rambu yang baku. Dengan kata lain,
apakah
akan
meningkatkan
sanksi
pidananya
secara
keseluruhan dibandingkan dengan apa yang diatur dalam
KUHP,
ataukah
melihat
bobot
pelanggaran
hukum
satu
persatu;
5. Sistem
pemidanaan
individual/personal,
struktural/fungsional.
bersifat
fragmentair
tidak
Meskipun
dalam
dan
bersifat
kaitan
dengan
partai politik atau afiliasi seseorang terhadap suatu
kelornpok, tetapi dalam banyak hal, pertanggungjawaban
pidana
dalam
kasus
tindak
pidana
perikanan
lebih
dilihat secara individual;
6. Keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan
sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif. Hal ini
walaupun
sudah
dibuat
strqfininima
dan
strafmaxima-
nya, tetapi dengan belum jelasnya pola pemidanaan,19 hal
ini menimbulkan kesulitan tersendiri yang bahkan dapat
menimbulkan masalah lain berupa disparitas pemidanaan
(disparity of sentence);
7. Bekerjanya
yang
hukum
lebih
tinggi,"
perikanan
perikanan
pidana
bervariasi
Timbul
dapat
itu
dan
memerlukan
sarana
dan
menuntut
"biaya
tindak
pidana
lebih
berkembangnya
dikatakan
sendiri.
hanya
Untuk
pada
memantau
pendukung
masa-masa
dan
melacak
berbagai jenis tindak pidana yang terjadi di seputar
perikanan, tentu tidak mudah dan melibatkan berbagai
institusi yang ada.20
Dengan
demikian
nyatalah
bahwa
efektivitas
sanksi
19
Dalam Konsep KUHP Baru 1999/2000 di samping pedoman
pemidanaan, juga terdapat pola pemidanaan yang dapat digunakan oleh
hakim dalam menjatuh-kan pidana. Dengan perhitungan yang cukup
matang, pemberian pidana terhadap seorang terpidana tidak akan terpisah dari konsep pemikiran mengenai individualisasi pidana, bahwa
pemidanaan itu disesuaikan dengan keadaan si pelaku. Oleh karena itu,
disparitas pemidanaan sedapat mungkin diperkecil agar memberikan
jaminan kepastian hukum dan pemenuhan rasa keadilan yang semakin baik
bagi masyarakat dan pelaku itu sendiri.
20
Sebagai contoh, ketika terjadi suatu pelanggaran hukum terhadap
ketentuan perikanan, tidak dengan serta merta menjadikannya sebagai
suatu tindak pidana, sebab masih harus diteliti apakah ia bukan
pelanggaran administratif belaka. Untuk menilai apakah hal itu merupakan
suatu tindak pidana, harus dapat di-uraikan unsur-unsur tindak pidananya
secara konkrit.
pidana
dalam
tindak
pidana
permasalahan
tersendiri
apakah
untuk
mampu
perikanan,
untuk
mengurangi
masih
merupakan
atau
mengukur
mencegah
timbulnya
menilai
atau
tindak pidana perikanan.
Lebih
tujuan
lanjut
masalah
pemidanaan
yang
itu
dapat
bersifat
dikaitkan
integratif,
dengan
yang
men-
cakup:21
1. Tujuan pemidanaan adalah pencegahan (umum dan khusus).
Dikatakan
khusus,
ada
pencegahan
bilamana
individual
seorang
atau
penjahat
pencegahan
dapat
dicegah
melakukan suatu kejahatan dikemudian hari apabila ia
sudah mengalami dan sudah meyakini bahwa kejahatan itu
membawa penderitaan baginya. Di sini pidana dianggap
mempunyai daya untuk mendidik dan memperbaiki. Bentuk
pencegahan
yang
kedua
adalah
pencegahan
umum
yang
mempunyai arti bahwa penjatuhan pidana yang dilakukan
oleh
pengadilan
dimaksudkan
agar
orang-orang
lain
tercegah untuk melakukan kejahatan. Dikaitkan dengan
tujuan pemidanaan tindak pidana perikanan, bahwa dengan
dipidananya pelaku agar pelaku itu sendiri tidak akan
melakukan tindak pidana lagi dan calon-calon pelaku
lainnya tercegah untuk melakukan tindak pidana, dengan
tujuan demi pengayoman masyarakat.
2. Tujuan
pemidanaan
Perlindungan
adalah
masyarakat
perlindungan
sebagai
tujuan
masyarakat.
pemidanaan
mempunyai dimensi yang bersifat luas, karena secara
fundamental
Secara
ia
sempit
merupakan
hal
ini
tujuan
semua
digambarkan
pemidanaan.
sebagai
bahan
kebijaksanaan pengadilan untuk mencari jalan mela-lui
21
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1992, hal. 81-87
pemidanaan
agar
masyarakat
pengulangan
tindak
pidana.
sering
dikatakan
berada
di
terlindungi
Perlindungan
seberang
bahaya
masyarakat
pencegahan
dan
mencakup apa yang dinamakan tidak mampu.
3. Tujuan
pemidanaan
adalah
memelihara
solidaritas
masyarakat. Pemeliharaan solidaritas masyarakat dalam
kaitannya
dengan
tujuan
pemidanaan
adalah
untuk
menegakkan adat istiadat masyarakat dan mencegah balas
dendam perseorangan, atau balas dendam yang tidak resmi
(private revenge or unofficial retaliation}. Peradilan
pidana merupakan pernyataan masyarakat bahwa masyarakat
mengurangi hasrat yang agresif menurut cara yang dapat
diterima
masyarakat.
Pembersihan
kesalahan
secara
kolektif (collective cleaning of guilt) ditujukan untuk
memperkuat
moral
anggotanya
masyarakat
untuk
dan
bersama
mengikat
berjuang
erat
melawan
para
para
pelanggar hukum.
4. Tujuan
pemidanaan
Artinya
ada
adalah
pengimbalan/pengimbangan.
kesebandingan
antara
pidana
dengan
pertanggungjawaban individual dari pelaku tindak pidana,
dengan
memperhatikan
pada
beberapa
faktor.
Penderitaan yang dikaitkan oleh pidana harus dibatasi
dalam batas-batas yang paling sempit dan pidana harus
menyumbangkan pada proses penyesuaian kembali terpidana
pada kehidupan masyarakat sehari-hari dan di samping
itu
beratnya
terdakwa
pidana
bahkan
tidak
tidak
boleh
dengan
melebihi
alasan-alasan
kesalahan
prevensi
general apapun.
Berkaitan dengan tujuan pemidanaan di atas, apabila
digunakan
pendekatan
yang
bersifat
tradisional
(fundamental
selalu
approach),
diarahkan
melindungi
maka
fungsi
terutama
nilai-nilai
untuk
moral.
Dalam
hukum
pidana
akan
mempertahankan
dan
hal
ini
kesalahan
(guilt) akan selalu merupakan unsur utama dalam syarat
pemidanaan
dan
biasanya
hal
ini
akan
berkaitan
erat
dengan teori pemidanaan yang bersifat retributif. Dalam
perkembangannya
bergeser
ke
approach)22
selanjutnya
arah
di
pendekatan
pendekatan
mana
hukum
di
utilitarian
pidana
dan
atas
mulai
(Utilitarian
sanksi
pidana
dianggap merupakan salah satu dari sekian sarana yang
oleh masyarakat dapat digunakan untuk melindungi dirinya
dari
perilaku
tersebut.
yang
Kegunaan
dapat
sanksi
membahayakan
pidana
dinilai
masyarakat
dari
sudut
apakah dengan mengenakan sanksi tersebut dapat diciptakan
kondisi yang lebih baik. Apabila pandangan fundamentalis
menitikberatkan
pada
ancaman
terhadap
perasaan
moral
masyarakat sebagai pembenaran penggunaan sanksi pidana,
maka pandangan utilitarian melihat public order sebagai
sarana perlindungannya. Harus diakui bahwa dalam proses
modernisasi
22
dan
perkembangan
ekonomi
yang
semakin
Pandangan utilitarian ini dapat dibagi dua, yakni Utilitarisme KJasik
dan Utilitarisme Aturan. Utilitarisme Klasik dipelopori oleh David Hume,
filsuf Skotlandia, kemudian dikembangkan oleh Jeremy Bentham. Menurut
Ben-tham, manusia menurut kodratnya di-tempatkan di bawah pemerintahan
dua penguasa yang berdaulat: ketidakse-nangan dan kesenangan, dan pada
kodratnya manusia menghindari ketidaksenangan dan mencari kesenangan.
Moralitas suatu tindakan harus ditentukan dengan menimbang kegunaannya
untuk mencapai kebahagiaan umat manusia. Timbullah ajaran the
hedonistic calculus (felicific calculus), yang menya-takan the greatest
happiness of the greatest number (kebahagiaan terbesar dari jumlah orang
terbesar). Sedangkan Utilitarisme Aturan menyatakan bahwa prinsip
kegunaan ttdak harus diterapkan atas salah satu perbuatan, melainkan
atas aturan-aturan moral yang mengatur perbuatan-perbuatan manusia.
Menurut Richard B. Brandt bukan aturan moral satu demi satu, melainkan
sistem aturan moral sebagai keseluruhan diuji dengan prinsip kegunaan.
Dengan demikian, perbuatan adalah baik secara moral, bila sesuai dengan
aturan yang berfungsi dalam sistem aturan moral yang paling berguna bagi
suatu masyarakat. (Vide: K. Bertens, Etika, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1993, hal. 246-254). Lihat juga: Theo Huiberjs, Filsafat Hukum
dalam Lintasan Sejarah, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1982, hal. 196-201
meningkat, telah muncul perkembangan baru dalam kaitannya
dengan ruang lingkup dan fungsi hukum pidana dan sanksi
pidana.
sarana
Hukum
untuk
pidana
dalam
hal
meningkatkan
rasa
ini
digunakan
tanggung
sebagai
jawab
negara
dalam rangka mengelola kehidupan masyarakat modern yang
semakin
kompleks.
Sanksi
pidana
antara
lain
digunakan
secara maksimal untuk mendukung norma hukum administratif
dalam pelbagai hal.
D. Penegakan Hukum dalam Tindak Pidana Perikanan
Membicarakan
dilepaskan
fungsi
dari
hukum
perannya
pidana
dalam
tidak
rangka
dapat
menjamin
efektivitas penegakan hukum. Berbicara tentang penegakan
hukum tentu saja melibatkan manusia dengan segala tingkah
lakunya. Hukum tak mampu memenuhi kehendak dan tujuan
yang terdapat dalam muatan hukum itu sendiri. Membahas
penegakan hukum pada hakikatnya ialah berbicara mengenai
penegakan
ide-ide
serta
konsep-konsep
abstrak
yang
terkandung dalam hukum. Dengan kata lain, penegakan hukum
merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut
menjadi kenyataan.23 Penegakan hukum adalah suatu proses
untuk
mewujudkan
keinginan-keinginan
hukum
menjadi
kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan-keinginan hukum
di
sini
adalah
adalah
pikiran-pikiran
badan
pembuat
undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan
hukum itu.24
23
Satjipto
Rahardjo,
Masalah
Penegakan
Hukum.
Sosiologis, Si-narBaru, Bandung, 1983, hal. 15.
24
Suatu
Tinjauan
Ibid, hal. 24. Menurut Chambliss dan Seidman harus dipahami bahwa
pemi-kiran yang bersandar pada persepsi nor-matif-dogmatis yang
menganggap apa yang tercantum dalam peraturan hukum sebagai deskripsi
Agar hukum benar-benar hidup dalam masyarakat ada
beberapa
faktor
yang
menyebabkan
warga
masyarakat
mematuhi hukum, yaitu:
1.
Compliance:
"an
overt
acceptance
induced
by
expectation of rewards and an attempt to avoid
possible punishment - not by any conviction in the
desirability of the enforced rule. Power of the
influencing agent is based on "means-control" and, as
a consequence, the influenced person conforms only
under surveillance. "
2.
Identification: "an acceptance of a rule not because
of its intrinsic value and appeal but because of a
person's desire to maintain membership in a group or
relationship with the agent. The source of power is
the attractiveness of the relation which the persons
enjoy with the group or agent, and his conformity
with the rule will be dependent upon the salience of
these relationship."
3.
Internalization: "the acceptance by an individual of
a rule or behavior because he finds its content
intrinsically rewarding ... The content is congruent
with a person's values either because his values
changed and adapted to the inevitable. "
4.
Kepentingan-kepentingan
para
warga
terjamin oleh wadah hukum yang ada.25
masyarakat
Dalam hukum kita diperhadapkan dengan persoalan atau
keharusan untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan
maupun
cara-cara
yang
hendak
dipakai
untuk
mencapai
tujuan tersebut. Hukum sebagai lembaga yang saling kait
mengkait
dengan
sektor-sektor
kehidupan
lain
dalam
masyarakat memiliki suatu segi bahwa ia harus senantiasa
melakukan penyesuaian terhadap tujuan-tujuan yang ingin
dicapai oleh masyarakatnya.
dari keadaan yang se-sungguhnya,
deskripsi dari kenyataan.
25
hendaknya
jangan
diterima
sebagai
Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum bagi Kalangan Hukum Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1989, hal. 53, 54.
Dalam
dinamika
yang
demikian
dibutuhkan
kehadiran
politik hukum untuk memberikan pemikiran terhadap iure
constituendo (ius cons-tituendum), hukum yang seharusnya
berlaku,
dengan
mengajukan
perta-nyaan
seperti;
tujuan
apakah yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada,
cara-cara
apakah
dan
yang
manakah
yang
terbaik
untuk
mencapai tujuan tersebut, kapankah hukum itu perlu diubah
dan
bagaimana
dirumuskan
seba-iknya
suatu
pola
perubahan
yang
tersebut,
mapan
untuk
dapatkah
memutuskan
bagaimana proses pemilihan tujuan dan cara-cara mencapai
tujuan tersebut.26
Bekerjanya
hukum
berupaya
melakukan
syarakat
itu
terjadi
untuk
dalam
masyarakat
penyesuaian
sendiri,
suatu
dinamika
mencapai
hukum
terhadap
sehingga
yang
yang
dalam
senantiasa
kebutuhan
proses
mengarahkan
seharusnya
pada
ma-
demikian
gagasan
berlaku
(ins
constituen-dum).
Makna sosial diberikan kepada hukum melalui kontakkontak
dengan
lingkungan
sosial
di
mana
hukum
itu
diterapkan. Dari pengamatan empiris, peraturan hukum yang
ada tidak dapat memaksakan agar isi peraturan dijalankan
secara mutlak, melainkan dalam banyak hal dikalahkan oleh
struktur sosial di mana hukum itu dijalankan. Struktur
26
Satjipto Rahardjo, limit Hukum Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal.
351-353.
Cf.
Soehardjo
Sastrosoehardjo,
Politik
Hukum
dan
Pelaksanaannya dalam Negara Republik Indonesia Program Magister Ilmu
Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hal. 16, 17, menyatakan
bahwa politik hukum dalam arti formal hanya terbatas pada satu tahap
yaitu menuangkan kebijak-sanaan pemerintah dalam bentuk pro-duk hukum
(legislative drafting), se-dang dalam arti materiil meliputi tidak hanya
legislative drafting, tetapi juga legal executing dan legal review, bahkan termasuk legal planning. Pada ak-hirnya, politik hukum yang tidak
dapat dilepaskan dari asas-asas hukum itu, ditujukan pada hukum yang
benar atau adil (das Richtiges Recht).
sosial menjadi faktor penentu dalam hukum dan masyarakat
pun turut membentuk hukum dengan memberi makna sosial
kepadanya. Harus dipahami bahwa hukum itu bukan hanya
peraturan,
melainkan
juga
perilaku
(atau
experience,
meminjam istilah Oliver Wendell Holmes).27
Struktur
sinergis
masyarakat
dari
sebagaimana
proses-proses
dilukiskan
dalam
oleh
Parsons
memperlihatkan bahwa subsistem budaya, sosial, politik,
dan
ekonomi
dapat
saling
terjadi
energi.
Hukum
memasuki
perbenturan
sebagai
melakukan
integrasi
berlangsung
dalam
satu
sama
kekuatan
subsistem
yang
sosial
terhadap
masyarakat,
lain,
sehingga
menimbulkan
yang
fungsinya
proses-proses
sehingga
tercapai
yang
suatu
keadaan tertib tertentu. Dengan demikian dapat dipahami
bagaimana tempat hukum itu dalam konflik dan kerja sama
antarsubsistem.28
Mengamati
perkembangan
sanksi
pidana
dalam
tindak
pidana perikanan, juga tidak lepas dari bagaimana perkembangan masyarakat itu sesuai dengan subsistem budaya,
sosial, politik, dan ekonominya, sehingga diperoleh suatu
gambaran
yang
utuh
dan
menyeluruh
tentang
bagaimana
fenomena tindak pidana perikanan dan penyelesaiannya dari
perspektif sosiologi hukum pidana. Menurut cara pandang
demikian, maka hukum pidana tidak berhenti pada rumusan
kaku
undang-undang
melainkan
juga
dan
melihat
penerapannya
kepada
bagaimana
secara
semua
ketat,
faktor
memberikan pengaruh satu sama lain. Dari sudut ini, tidak
27
Satjipto Rahardjo, "Beberapa Pilihan Masalah," dalam Sosiologi Hukum:
Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah, Universitas Muhammadiyah
Surakarta, 2002, hal. 108-113
28
Ibid. hal. 119, 120
sukar untuk memahami, mengapa begitu banyak pelanggaran
perikanan
yang
tidak
sampai
ke
pengadilan,
walaupun
mengandung unsur-unsur pidana.
D. Penutup
Tulisan
penyelesaian
perikanan
tahun
ini
tidak
secara
yang
yuridis
diatur
2004
pelaksanaannya,
berupaya
untuk
teknis
menurut
bagi
tindak
Undang-Undang
tentang
Perikanan
melainkan
hanya
memberikan
dan
memberikan
pidana
Nomor
31
peraturan
deskripsi
terhadap fenomena tindak pidana perikanan itu sendiri dan
penegakan hukumnya dari segi sosiologi hukum pidana.
Oleh
sebab
"menghakimi"
itu,
penegakan
tulisan
hukum
inipun
tindak
tidak
pidana
bermaksud
perikanan.
Uraian yang sudah dikemukakan sebelumnya kiranya memadai
walaupun disadari belum begitu dalam 'membedah' hingga ke
jantung permasalahan. Namun setidaknya, tulisan ini mampu
menggugah
demikian
ketentuan
para
tidak
pembaca
begitu
hukum
yang
untuk
saja
ada,
melihat
harus
bahwa
diselesaikan
melainkan
lebih
fenomena
menurut
mengkaji
peraturan perundang-undangan yang ada itu sebagai suatu
perilaku manusia. Tentu saja, dengan mengatakan hukum itu
sebagai perilaku manusia bukan juga bermaksud memberikan
pembenar terhadap berbagai kelemahan yang timbul, tetapi
sekadar
memaparkan
pidana perikanan.
realitas
yang
ada
seputar
tindak
DAFTAR PUSTAKA
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996
———, Beberapa Aspek Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2000
Bertens, K., Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993
Departemen Kehakiman dan HAM RI, RUU KUHP Baru 1999/2000
Ezzat
A.
Fattah.
From
Crime
Policy
to
Victim
Policy:
Reorienting the Justice System, Macmillan Press,
Houndmills, Basingstoke, Hampshire, and London, 1986
Huiberjs,
Theo,
Fihafat
Hukum
da-lam
Lintasan
Sejarah,
Yayasan Kan i-sius, Yogyakarta, 1982
Muladi,
Neier,
Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1992
Aryeh,
Crime
and
Punishment:
A
Radical
Solution,
Stein and Day, Scarborough House, New York, 1978
Packer, Herbert L. The Limits of the Criminal Sanction,
Stanford University Press, Stanford, Califor-nia, 1968
Rusmana,
“Pengadilan
Perikanan:
Mampukah
Menjadi
Terobosan?”, Sinar Harapan 22 Oktober 2004.
———,
“Pertanggungjawaban
Korporasi
Dalam
Tindak
Perikanan”, Hukumonline.com, Tanggal 16 Oktober 2005.
Pidana
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan
Sosiologic, SinarBaru, Bandung, 1983
———, Ilmu Hukum Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000
———, "Beberapa Pilihan Masalah, " dalam Sosiologi Hukum:
Perkem-bangan,
Mctode
dan
Pilihan
Masalah,
Universi'tas
Muhammadiyah Surakarta, 2002
Sianturi, S.R., Hukum Pidana Khusus, diktat, Ahaem-Petehaem,
Jakarta, 1994
Soehardjo Sastrosoehardjo, Politik Hukum dan Pelaksanaannya
dalam Negara Republik Indonesia Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang, 1995
Soerjono
Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum bagi Kalangan
Hukum Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981
van Dijk, et al. (ed,). Criminal Law in Action, Kluwer Law
and Taxation Publishers, Deventer, Netherlands, 1988
TINJAUAN YURIDIS-SOSIOLOGIS1
A. Pengantar
Pada
bertemu
suatu
dengan
bertugas
di
bercerita
pertemuan
seorang
Pengadilan
bahwa
di
Hakim
Jakarta
Pengadilan
Perikanan
Pengadilan
penulis
Medan.
Perikanan
pernah
Perikanan
Hakim
Medan
yang
tersebut
baru
saja
menjatuhkan pidana denda sebesar 350 juta kepada kapal ikan
yang
tertangkap
melakukan
illegal,
unreported,
and
unregulated (IUU) fishing. Sedangkan kapal ikannya sendiri,
yang harganya diperkirakan sekitar 500 juta, disita untuk
negara. Pidana tersebut sempat menjadi kontroversi. Di satu
sisi
terdapat
putusan
kelompok
tersebut
dengan
tersebut jera melakukan
sebagian
yang
lain
masyarakat
alasan
yang
agar
setuju
dengan
kapal-kapal
ikan
tindak pidana IUU Fishing, namun
menganggap
putusan
tersebut
terlalu
berlebihan karena dikhawatirkan akan menjadi preseden yang
kurang baik dan mengancam kelangsungan usaha di bidang
perikanan.
Tingginya
pengenaan
sanksi
pidana
oleh
Pengadilan
Perikanan sejalan dengan batas maksimum sanksi pidana yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan yang mencapai 2 milyar rupiah dan pidana penjara
selama
10
tahun.
Para
perumus
undang-undang
perikanan
sengaja melipatgandakan sanksi pidana di bidang perikanan
dengan pertimbangan agar dapat memberi efek jera bagi para
1
Disampaikan pada diskusi terbatas Mahasiswa Program Pasca Sarjana MITL 2009.
pelaku illegal fishing yang marak di perairan Indoensia
yang sebelumnya kerapkali diputus oleh pengadilan dengan
sanksi yang sangat rendah.2
Dari kasus di atas, pertanyaan yang kerap muncul
adalah sejauhmana peran dari suatu aturan hukum dapat
memberikan solusi dalam penanggulangan berbagai persoalan
di
masyarakat?
(termasuk
apakah
di
Dengan
kata
bidang
telah
lain,
perikanan)
menduduki
peran
peran
hukum
selalu
yang
pidana
diperdebatkan
semestinya
dalam
menegakkan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada
sekaligus
telah
memberikan
jawaban
atas
berbagai
persoalan yang dihadapi masyarakat? Pertanyaan ini dirasa
sangat
krusial
mengingat
banyaknya
tuntutan
terhadap
supremasi hukum di era reformasi sekarang ini, di mana
hukum dapat kembali kepada fungsinya yang ideal.
Berbicara
pidana
yang
tentang
terkait
hukum
dengan
pidana,
tindak
termasuk
pidana
di
hukum
bidang
perikanan, tidak bisa tidak harus pula membahas aturan
pokok dari hukum pidana itu sendiri sebagaimana dimuat
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP).
Kitab
aturan
Undang-undang
induk
yang
Hukum
timbul
Pidana
sebagai
(KUHP)
bagian
merupakan
dari
gagasan
kodifikasi hukum, sebagaimana yang diterapkan konkordan
oleh
Pemerintah
Hindia
Belanda
dan
kemudian
dijadikan
oleh Pemerintah Indonesia ketika masa awal kemerdekaan,
sebagai
aturan
pokok
terhadap
berbagai
pelanggaran
di
bidang hukum pidana.
2
Rusmana, “Pengadilan Perikanan: Mampukah Menjadi Terobosan?”, Sinar
Harapan, tanggal 22 Oktober 2004.
Dalam sudut pandang tersebut, kodifikasi merupakan
gagasan
idealis
diakui
hukum
di
bidang
hukum
dalam
rangka
kegunaannya
dan
cita-cita
keadilan
pendukung
adanya
hukum
itu
himpunan
tertentu,
tuntas
ketertiban
yang
yang
(sekaligus
yang
menjunjung
merupakan
diyakini
sendiri).
hingga
kepastian
masyarakat
Kodifikasi
memungkinkan
bahan
aturan
hukum
disusun
secara
sistematis,
Berkenaan
ini
perwujudan
oleh
segala
(uit-puttend)3
saat
dari
dengan
hukum
lengkap
dan
pengkodifikasian
ini, perlu diperhatikan pendapat S.R. Sianturi yang me
nyatakan
bahwa
sebagian
besar
mated
hukum
pidana
itu
lebih tepat tersebar karena merupakan bagian yang sukar
dipisahkan
dari
induknya
yang
merupakan
peraturan
perundang-undangan hukum administrasi, hukum pidana atau
hukum tata negara. Adapun Alasan-alasan pemisahan atau
penyendirian itu disebabkan oleh:
1. Lebih
adanya
banyak
kerugian
daripada
pengkodifikasian,
sebab
keuntungan
dengan
akan
merusak
sistematika;
2. Alasan
mendesaknya
waktu
untuk
memberlakukan
suatu
materi hukum pidana tertentu;
3. Masa
3
penerapannya
hanya
apabila
diperlukan
saja,
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hal. 53.
Asas kodifikasi ini merupakan tanda ciri sistem hukum Eropa
Kontinental, berbeda dengan negara-negara penganut sistem common law
yang memberlakukan asas stare decisis atau asas the binding force of
precedents
(keterikatan
hakim
kepada
putusan-putusan
hakim
sebelumnya). Namun kini hal ini tidak absolut sebab di negara Inggris
misalnya, berbagai peraturan sudah dituangkan dalam undang-undang
meskipun tidak dalam bentuk kodifikasi yang dikenal negara-negara
Eropa Kontinental.
kendati
berlakunya
undang-undang
tersebut
tidak
menimbulkan masalah;
4. Kewenangan
pembuatan
peraturan
perundang-undangan
tersebut ada pada penguasa yang lebih rendah daripada
pembuat undang-undang;
5. Hanya
merupakan
"pelengkap"
perundang-undangan
di
bidang
dari
hukum
suatu
peraturan
perdata,
hukum
administrasi negara atau hukum tata negara saja;
6. Merupakan bagian dari delik adat yang hanya berlaku
untuk suatu golongan masyarakat tertentu.4
Dengan
peraturan
demikian
yang
pekerjaan
beraspek
pidana
untuk
menyatukan
dalam
suatu
semua
kodifikasi
justru dapat mengundang masalah baru, misalnya: berkaitan
dengan subjek yang diatur oleh suatu bidang hukum, asasasas umum yang dianut suatu undang-undang perdata yang
beraspek
pidana,
belum
tentu
sejalan
dengan
asas-asas
umum hukum pidana, demikian juga pengacaraannya (hukum
formilnya), dan sebagainya (meskipun harus diakui bahwa
asas-asas hukum yang umum seperti asas legalitas, asas
lex spesialis, dll. berlaku pada seluruh bidang hukum
tersebut).
Demikian pula halnya kelahiran UU No. 31 Tahun 2004
tentang
Perikanan
dan
peraturan
pelaksanaannya,
tetap
membuka peluang untuk menggunakan hukum pidana sebagai
penguat, sehingga aturan hukum tersebut dapat dipatuhi
dan ditegakkan dengan sebaik-baiknya.
4
S.R. Sianturi, Hukum Pidana Khusus, diktat, Ahaem-Petehaem, Jakarta,
1994, hal. 1,9.
B. Apakah Tindak Pidana
Untuk
Perikanan Tindaka Pidana Khusus?
menjawab
pertanyaan
di
atas,
dapat
dilihat
beberapa pandangan mengenai hakikat tindak pidana khusus,
sebelum
menentukan
apakah
delik
perikanan
merupakan
tindak pidana khusus.
Prof.
tidak
Sudarto
dalam
dikodifikasikan
menyatakan
bahwa
legislatifhya
membedakan
dengan
hal
belaka.
hukum
yang
itu
hanya
Dalam
rangka
pidana
yang
dikodifikasikan,
menyangkut
hukum
bentuk
pidana
yang
tidak dikodifikasikan perlu dilihat sifat hukum pidananya
dari berbagai peraturan perundang-undangan pidana, yang
dapat dibagi menurut sifatnya dalam:5
1. undang-undang pidana "dalam arti sesungguhnya," ialah
"undang-undang,
yang
menurut
tuju-annya,
bermaksud
mengatur hak memberi pidana dari negara, jaminan dari
ketertiban hukum."
2. peraturan-peraturan
hukum
pidana
dalam
tersendiri
ialah
peraturan-peraturan
dimaksudkan
untuk
memberi
sanksi
undang-undang
yang
pidana
hanya
terhadap
aturan-aturan mengenai salah satu bidang yang terletak
di luar hukum pidana. Kelompok ini dapat dimasukkan
dalam pengertian "undang-undang pidana khusus."
5
Sudarto, Op. Cit., hal. 59 et seq. Pembagian lain yang dapat dilihat
selain hukum pidana dikodifikasikan dan hukum pidana yang tidak
dikodifikasikan ialah hukum pidana umum (ius commune) dan hukum pidana
khusus (ius singulare atau ius speciale). Kedua hal ini harus
dibedakan dari pengertian "bagian umum" dari hukum pidana dan "bagian
khusus" dari hukum pidana. "Bagian umum" dari hukum pidana me-muat
ketentuan-ketentuan atau ajaran-ajaran umum (algemene leerstukken),
sedang "bagian khusus"-nya memuat perumusan tindak pidana. Hukum Pidana Khusus menurut Prof. Sudarto ialah hukum pidana yang ditetapkan
untuk golongan orang khusus atau yang ber-hubungan dengan perbuatanperbuatan khusus (Conf. pendapat S.R. Sianturi).
Masih
berkaitan
dengan
pengertian
mengenai
hukum
pidana khusus ini, perlu diingat pendapat S.R. Sianturi
yang menyatakan bahwa dalam praktiknya perkataan khusus
digunakan
sebagai
terjemahan
kalanya
merupakan
istilah
bijzondere
mempunyai
logika,
arti
yang
dari
terjemahan
dengan
tersendiri
umum
bijzondere
dari
terlebih
speciale.
pembagian
yang
ada
ada
Kaitan
hukum
bersejarah.
dahulu
dan
pidana
Menurut
daripada
yang
khusus, setelah itu dengan perbandingannya terhadap yang
umum,
lahir
atau
muncullah
yang
khusus.
Namun
dalam
sejarah hukum pidana, justru ketentuan mengenai tindakan
larangan dan keharusan beserta ancaman pidananyalah yang
terbentuk sejak awal. Baru pada abad XIII oleh jurisjuris
umum
Italia
yang
keharusan
disusun
ketentuan-ketentuan
berlaku
bagi
seluruh
tersebut
atau
setidak-tidaknya
yang
tindakan
bersifat
larangan
bagi
dan
sebagian
besar dari padanya. Sekitar abad ke-18 hingga abad ke-19
dalam
rangka
ketentuan
muncul
umum
kegiatan
ini
belakangan
pengkodifikasian
lebih
ini
dibakukan.
bersifat
umum,
hukum
Oleh
maka
pidana,
karena
ia
yang
disebut
sebagai bagian umum (alge-mene deel, general provisions),
sedangkan
keharusan
ketentuan
itu
disebut
tentang
bagian
tindakan
khusus
larangan
(bijzondere
dan
deel,
special provisions).6
Namun dalam kaitan istilah bijzondere atau special
dengan istilah delict, ia mempunyai pengertian yang agak
berbeda. Prof. Simons7 dalam mengkaitkan bijzondere delict
(yang dapat diterjemahkan delik khusus), dengan algemene
6
S.R. Sianturi, Op.cit., hal. 2 mengutip pendapat Van Bemmelen, hal.
13.
7
Ibid, menyitir pendapat Simons, D. Leerboek van het Nederlandsch
Straf-recht, Tweede deel, hal. 1-2.
delict
(delik
umum),
menyandarkan
pengkaitan
pada
kepentingan hukum atau benda hukum: orang perorangan atau
ma-syarakat
atau
negara
yang
dirugikan.
Dalam
hal
kerugian itu bertitik tolak pada orang perorangan, maka
disebut
sebagai
delik
khusus
(bijzondere
delict),
sedangkan jika titik berat kerugian ada pada masyarakat
dan
atau
negara
disebut
delict).
Dengan
demikian
dipahami
bahwa
baik
sebagai
delik
berdasarkan
delik
khusus
umum
(algemene
hal
maupun
ini
dapat
delik
umum
terdapat di KUHP maupun di luar KUHP. Dari pola pikir ini
dapat disimpulkan bahwa delik khusus (bijzondere delict)
merupakan
bagian
dari
hukum
pidana
bagian
khusus
bijzondere deel, special provisions).
Sebaliknya Pompe8 melandaskan pengkaitan itu kepada
penyimpangan
diatur
di
peraturan
luar
perundang-undangan
KUHP,
baik
karena
ia
pidana
secara
yang
khusus
ditujukan kepada orang-orang tertentu atau secara khusus
ada
penyimpangan
beratnya
ialah
ketentuan
terhadap
diatur
dalam
di
KUHP
norma
luar
tetap
tertentu.
KUHP,
Jadi
namun
merupakan
titik
ketentuan-
pelengkap
bagi
peraturan ini sepanjang tidak disimpangi. Jadi menurut
pola
pikir
ini,
delik
khusus
(special
delict)
bukan
merupakan bagian dari bagian khusus KUHP (delik di KUHP).
Namun pengaturan ketentuan yang menyimpang dari ketentuan
umum merupakan bagian dari Hukum Pidana Khusus.
Kembali kepada pengertian Hukum Pidana Khusus, S.R.
8
Sianturi
terutama
tolaknya
pada
Ibid,
mengambil
Nederlandsch
menitikberatkan
usaha
pendapat
penekodifikasian.
pendapat
Pompe, Handboek
Hal
atau
titik
ini
dapat
van
het
dibandingkan dengan kegiatan para juris pada abad XVIIIXIX. Oleh karenanya yang dikodifikasikan (KUHP) disebut
sebagai pidana umum. Sedangkan yang diatur di luar yang
dikodifikasikan, termasuk penyimpangan terhadap ketentuan
umumnya dan bahkan juga ketentuan penyimpangan terhadap
pengacara-annya,
disebut
sebagai
Hukum
Pidana
Khusus.
Untuk tidak mengacau-kan penggunaan istilah khusus. sebaiknya
KUHP
disebut
sebagai
Hukum
Pidana
Umum
(yang
tertulis), yang terdiri dari Buku I sebagai ketentuan
umum sedangkan Buku II dan Buku III sebagai delik umum.
Sementara
itu
yang
diatur
di
luar
KUHP
disebut
Hukum
Pidana Khusus yang terdiri dari ketentuan khusus (sebagai
penyimpangan terhadap ketentuan umum) dan delik khusus.
Masih dalam rangka pembedaan yang khusus dan yang umum
ini
ada
juga
yang
pengacaraannya,
dilakukan
oleh
mendasarkannya
yaitu
jika
penyidik
terutama
penyidikan
Polri
disebut
kepada
perkara
sebagai
itu
tindak
pidana umum (khusus pidana umum), sedangkan jika jaksa
penun-tut
umum
terlibat
di
dalamnya,
disebut
sebagai
tindak pidana khusus. Dengan demikian maka KUHP, delik
lalu lintas, dan sebagainya merupakan tindak pidana umum,
tetapi
tindak
tindak
pidana
pidana
ekonomi,
subversi
(dulu)
tindak
adalah
pidana
korupsi,
tindak
pidana
khusus.9
Apabila ukuran untuk mengatakan tindak pidana khusus
adalah
semua
ketentuan
hukum
pidana
di
luar
KUHP
dan
KUHAP, maka untuk hukum pidana khusus (materialnya) dapat
dibedakan antara:
1. hukum pidana khusus (material) yang murni dan
9
Ibid., hal. 3.
2. hukum pidana khusus (material) yang berasal dari materi
hukum
perdata,
hukum
administrasi
dan
hukum
tata
negara.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
tindak
pidana
di
bidang
perikanan,
merupakan
tindak
pidana khusus yang masih memberikan tempat bagi hukum
pidana
untuk
melakukan
fungsinya
sebagai
ultimum
remedium.
C. Tindak Pidana Perikanan
Mengamati
pidana
perkembangan
perikanan,
terhadap
pemikiran
ternyata
pasal-pasal
yang
telah
tentang
terjadi
berkaitan
tindak
perubahan
sebagaimana
diatur
oleh KUHP.
Misalnya
ketentuan
Bab
XXII
(Pasal
362-367)
KUHP
tentang Pencurian hanya mengatur pencurian yang dilakukan
oleh orang dan terhadap barang yang dimiliki oleh orang
lain.
Bagi
tindak
pidana
perikanan,
yang
kejahatannya
tidak dilakukan terhadap barang milik orang per orangan (
tidak ada pemilikan orang per orang atas ikan di laut)
ketentuan
KUHP
diterapkan,
tersebut
karena
itu
tidak
bisa
diperlukan
begitu
undang-undangn
saja
yang
lebih khusus sebagai lex specialis.
KUHP
juga
tidak
mengenal
tindak
pidana
pencurian
yang dilakukan oleh korporasi. Tidak dikenalnya prinsip
pertanggungjawaban
korporasi
karena
subjek
tindak
adalah
orang
dalam
dalam
pidana
konotasi
yang
KUHP
dikenal
biologis
disebabkan
dalam
yang
KUHP
alami
(natuurlijke persoon). Di samping itu, KUHP juga masih
menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan
hukum
dianggap
Dengan
tidak
demikian,
dapat
pemikiran
melakukan
fiksi
tindak
tentang
pidana.
sifat
hukum (rechspersoonlijkheid) tidak berlaku
badan
dalam bidang
hukum pidana.10
Perubahan
sanksi
pidana
terhadap
ketentuan
Pasal
362-367 KUHP menunjukkan bahwa dalam Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2004 tentang Perikanan, terdapat kumulasi atau
alternatif
sanksi
dan/atau
pidana
denda.
Hal
penjara
ini
dengan
merupakan
pidana
denda
kecenderungan
perkembangan hukum pidana modern yang membuka kemungkinan
pengalternatifan sanksi pidana sesuai ide individualisasi
pidana,
sekaligus
perampasan
memberikan
kemerdekaan
dengan
penggabungan
denda
yang
sanksi
dimaksudkan
untuk menambah keuangan negara (yang pengancamannya pun
dilakukan
dengan
menggunakan
strafminima
dan
strafmaxima).
Selain dua ketentuan di atas, masih cukup banyak
perluasan
rumusan
Undang-Undang
Mengenai
Nomor
sanksi
mengatur
alternative
tindak
secara
31
pidana
Tahun
denda,
pada
2004
tentang
prinsipnya
alternatif,
sebagaimana
perikanan
bukan
terdapat
dalam
berdasarkan
Perikanan.
KUHP
hanya
kumulatif
dan
Undang-Undang
Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan.
Bertalian dengan topik di atas, ini, Prof. Sudarto
pernah mengutarakan bahwa untuk menyaring begitu banyak
perbuatan
10
yang
tercela
dalam
masyarakat,
sebelum
Rusmana, “Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Perikanan”,
Hukumonline.com, Tanggal 16 Oktober 2005.
memberikan ancaman pidana harus diperhatikan empat hal
sebagai berikut:11
1. Penetapan hukum pidana oleh pembuat undang-undang dan
badan-badan kenegaraan lainnya harus diusahakan untuk
mewujudkan
masyarakat
adil
dan
makmur
yang
merata
materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila; dengan
demikian
hukum
kejahatan
pidana
dan
penanggulangan
bertugas
pengugeran
itu
sendiri,
untuk
menanggulangi
terha-dap
demi
tindakan
kesejahteraan
dan
pengayoman masyarakat;
2. Perbuatan
yang
pidana
adalah
diusahakan
untuk
dicegah
perbuatan-perbuatan
oleh
yang
hukum
tidak
dikehendaki, yakni perbuatan yang mendatangkan kerugian
atas warga masyarakat baik.material maupun spiritual;
3. Usaha
untuk
mencegah
suatu
perbuatan
dengan
sarana
hukum pidana hams memperhitungkan keseimbangan antara
biaya dan hasil yang diharapkan akan dicapai; sebab
harus diingat bahwa hukum pidana itu sendiri bersifat
criminogeen, artinya menjadi sumber timbulnya tindak
pidana;
4. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kemampuan
daya
kerja
sampai
11
ada
dari
badan-badan
ke-lampauan
beban
penegak
tugas
hukum,
jangan
(over-belasting)
Sudarto, Op. Cit., hal. 44-49. Ditambahkan bahwa dalam hal sanksi
pidana akan dijatuhkan, maka itu berarti sudah berkaitan dengan masalah
pemberian pidana yang sesungguhnya mempunyai dua arti, yakni pertama,
dalam arti umum ialah yang menyangkut pem-bentuk undang-undang, ialah
yang menetapkan stelsel sanksi hukum pidana (pemberian pidana in
abstracto), dan kedua, dalam arti konkrit ialah yang menyangkut berbagai
badan kesemuanya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana
itu (pemberian pidana in concreto).
yang
akan
mengakibatkan
effek
dari
peraturan
itu
menjadi kurang.
Untuk
mempertimbangkan
apakah
sanksi
pidana
itu
sendiri efektif sesuai dengan tujuan digunakannya hukum
pidana,
maka
Ted
Honderich
mengemukakan
bahwa
suatu
pidana dapat disebut sebagai alat pencegah yang ekonomis
apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:12
a.
Pidana itu sungguh-sungguh mencegah;
b.
Pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang
lebih berbahaya/merugikan daripada yang akan terjadi
apabila pidana itu tidak dikenakan;
12
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya
Bakti, Bandung,1996, hal. 38, 39. Disinggung pula pendapat Jeremy
Bentham yang pernah menyatakan bahwa pidana janganlah diterapkan atau.
digunakan apabila groundless, needless, Unprofitable or inefficacious.
Sejalan dengan itu Herbert L. Packer menyatakan bahwa sanksi pidana
merupakan penjamin utama dan pada suatu ketika juga merupakan pengancam
utama terhadap kebebasan manusia. la harus di gunakan secara hematcermat dan ma-nusiawi sebagai penjamin; pemakaian yang menyamaratakan
dan memaksakan merupakan pengancam. (The criminal sanction is at once
prime guarantor and prime threatener of human freedom. Used providently
and humanely it is guarantor; used indiscriminately and coercively, it
is threatener). (Herbert L. Packer, The Limits of the Criminal
Sanction, Stanford University Press, Stanford, California, 1968, hal.
366. Selanjutnya, Nigel Walker menyatakan tentang prinsip-prinsip
pembatas (the limiting principles) yang patut diperha-tikan, antara
lain: jangan menggunakan hukum pidana semata-mata untuk tujuan
pembalasan; jangan menggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan
yang tidak merugikan/memba-hayakan; jangan menggunakan hukum pidana
untuk mencapai suatu tujuan yang dapat dicapai secara lebih efektif
dengan sarana-sarana lain yang lebih ringan; jangan menggunakan hukum
pidana apabila kerugian/bahaya yang timbul dari pidana lebih besar
daripada kerugian/bahaya dari perbuatan/tindak pidana itu sendiri;
larangan-larangan hukum pidana jangan mengandung sifat lebih berbahaya
daripada perbuatan yang akan dicegah; hukum pidana jangan memuat
larangan-larangan yang tidak mendapat dukungan kuat dari publik. (Vide:
Barda Nawawie Arief, "Batas-batas Kemampuan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahat-an," dalam Barda Nawawie Arief, Beberapa Aspek
Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 47, 48).
c.
Tidak
ada
pidana
lain
yang
dapat
mencegah
secara
efek-tif dengan bahaya/kerugian yang lebih kecil.
Berdasarkan pendapat atau hasil penelitian berbagai
pakar
di
bawah
ini
dapat
diketahui
lebih
jauh
bahwa
efektivitas sarana penal dalam mencapai tujuan politik
kriminal masih sering dipermasalahkan.13
1.
Rubin menyatakan bahwa pemidanaan (apapun hakikatnya
apa-kah dimaksudkan untuk menghukum atau memperbaiki)
sedikit
atau
tidak
mempunyai
pengaruh
terhadap
masalah kejahatan.
2.
Schultz menyatakan bahwa naik turunnya kejahatan di
suatu negara tidaklah berhubungan dengan perubahanperubahan
di
kecenderungan
tetapi
dalam
hukumnya
dalam
berhubungan
atau
kecenderungan-
putusan-putusan
dengan
pengadilan,
bekerjanya
atau
berfiingsinya perubahan-perubahan kultural yang besar
dalam kehidupan masyarakat.
3.
Johannes Andenaes mengatakan bahwa bekerjanya hukum
pidana
selamanya
harus
dilihat
dari
ke-seluruhan
konteks kulturalnya. Ada saling pengaruh antara hukum
dengan faktor-faktor lain yang membentuk sikap dan
tindakan-tindakan kita.
4.
Hood dan R. Sparks menyatakan bahwa beberapa aspek
lain
dari
general
prevention,
seperti
reinforcing
social values, strengthening the common conscience,
alleviating fear dan providing a sense of communal
security sulit untuk diteliti.
13
Ibid., hal. 59-62.
5.
Karl
O.
Christiansen
mengemu-kakan
bahwa
pengaruh
pidana terhadap masyarakat luas sangat sulit diukur.
Pengaruh general prevention itu terdiri dari sejumlah
bentuk
aksi
berkaitan
dan
erat,
penamaan,
umum
yang
yang
misalnya
pencegahan
kembali
reaksi
disebut
moral
dan
dengan
pencegahan
(general
nilai-nilai
berbeda
saling
berbagai
(deterrence),
prevention),
memperku-at
(reinforcement
of
moral
values), memperkuat kesadaran kolektif (strengthening
the
collective
solidarity),
menegaskan
kembali/
memperkuat rasa aman dari masyarakat (rconfirmation
of the public feeling of security), mengurangi atau
meredakan
ketakutan
(alleviation
melepaskan ketegangan-ketegangan agresi
of
fears),
(release of
aggressive tensions), dan sebagainya.
6.
Brody
meneliti
antaranya
dari
menyatakan
sembilan
bahwa
pemidanaan,
lamanya
lima
waktu
di
yang
dijalani di dalam penjara nampaknya tidak berpengaruh
pada adanya penghukuman kembali (reconvictioh).
7.
Cherif Bassiouni menegaskan bahwa kita tidak tahu dan
tidak pernah tahu secara pasti metode-metode tindakan
(treatment) apa yang paling efektif untuk men-cegah
dan memperbaiki atau tidak mengetahui seberapa jauh
efektivitas setiap metode tindakan itu.
8.
Irvin Waller menyatakan bahwa tujuan hukum pidana dan
pelaksanaannya adalah untuk melindungi masyarakat dan
meningkatkan
keadilan
terhadap
masyarakat,
sehingga
prinsip
direfleksikan
sebagai
korban,
konsekuensi
pelaku
pemidanaan
yang
dan
harus
sepantasnya
untuk melindungi korban dan kemungkinan memperbaiki
dan perdamaian.14
9.
Inkeri Anttila, dalam kaitan hukum pidana dan korban
kejahatan
menyatakan
bahwa
terhadap
pelaku,
juga
kompensasi
terhadap
kerugian
di
samping
perlu
yang
pemidanaan
dipertimbangkan
diderita
korban
sebagai pertim-bangan dalam penjatuhan pidana.15
10. Aryeh
Neier
berpendapat
bahwa
sekalipun
pemidanaan
merupakan alternatif terbaik untuk memidana kejahatan
yang serius, kita harus membatasi penggunaan pidana
dan
lebih
restitusi
kejahatan.
memanfaatkan
dan
probation
Tatkala
kita
pelayanan
sebagai
masyarakat,
sarana
menggunakan
terhadap
pidana,
kita
harus meminimalkan penderitaan yang mereka alami.16
Dari uraian para pakar di atas terlihat bagaimana
keterbatasan hukum pidana dari sudut terjadinya tindak
pidana dan dari sudut hakikat bekerjanya sanksi pidana
itu sendiri. Ditinjau dari hakikat tindak pidana sebagai
masalah kemanusiaan dan masalah sosial menunjukkan bahwa
penggunaannya
merupakan
(Kurieren
Symptom)
dengan
am
menghilangkan
penang-gulangan
dan
bukan
suatu
suatu
sebab-sebabnya.
gejala
penyele-saian
Artinya
sanksi
pidana bukan merupakan pengobatan kausatif, tetapi hanya
14
Irvin Waller, "Victima vs Regina vs Malefactor: Justice for the Next
100 Years," dalam van Dijk, et ai (ed.). Criminal Law in Action, Kluwer
Law and Taxation Publishers, Deventer, Netherlands, 1988, hal. 430.
15
Inkeri Anttila, "From Crime Policy to Victim Policy, " dalam Ezzat A.
Fattah. From Crime Policy to Victim Policy: Reorienting the Justice
System, Macmillan Press, Houndmills, Basing-stoke, Hampshire, and
London, 1986, hal. 240.
16
Aryeh Neier,. Crime and Punishment: A Radical Solution, Stein and Day,
Scarborough House, New York, 1978, hal. 186.
sekadar
pengobatan
mengandung
banyak
berfungsinya,
yang
banyak
dangan
kelemahan.
hukum
dan
organik,
simptomatik,
pidana
yang
Sedangkan
memerlukan
berva-riasi
instansi
baik
dan
juga
masih
dari
sudut
sarana
berupa
aparat
pendukung
perundang-unpelaksananya,
sarana/prasarana maupun operasionalisasi penegakan hu-kum
pidana di lapangan.17
Oleh sebab itu, mencermati efektivitas sanksi pidana
terhadap tindak pidana perikanan, tidaklah hanya cukup
dengan mengamati perkembangan formulasi aturan yang ada
dalam
peraturan
perundang-undangan
di
bidang
perikanan
(sebagai lex specialis terhadap keten-tuan yang ada di
KUHP sebagai lex generalis), tetapi juga harus meninjau
berbagai faktor terkait lainnya.
Berdasarkan
berbagai
paparan
di
atas,
dapat
dicermati sebab-sebab keterbatasan kemampuan hukum pidana
dalam
menanggulangi
tindak
pidana
perikanan,
sebagai
berikut:18
1. Sebab-sebab tindak pidana yang demikian kompleks berada
di
luar
jangkauan
hukum
pidana.
Jika
diperhatikan,
perkembangan hokum itu sendiri umumnya berjalan lebih
lambat dari tingkat perkembangan kejahatan yang ada di
masyarakat.
2. Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (subsistem)
dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi
masalah
kejahatan
sebagai
masalah
kemanu-siaan
dan
kemasyarakatan yang sangat kompleks (sosio-psikologis,
17
Barda N.A., Bunga Rampai... Op. Cit., hal. 44-46.
18
Ibid.
sosio-politik,
sosio-ekonomi,
sosio-kultural,
dan
sebagainya). Masalah tindak pidana perikanan sebagai
suatu
masalah
politik
yang
masyarakat
bertalian
berkembang,
budaya
dengan
sistem
masyarakat
yang
mengalami perubahan, dan berbagai aspek lain, termasuk
ekonomi masyarakat dan psikologi masyarakat;
3. Penggunaan
hukum
pidana
dalam
menanggulangi
tindak
pidana hanya merupakan kurieren am symptom, oleh karena
itu
hukum
pidana
simptomatik"
dan
bukan
hanya
merupakan
"pengobatan
"pengobatan
kausatif."
Untuk
mencegah dan mengobati akibat yang terjadi, tidak cukup
hanya menjatuhkan sanksi pidana, karena akar tindak
pidana perikanan itu justru tidak dapat "diobati" oleh
hukum
pidana,
pembenahan
melainkan
secara
dengan
menyeluruh
dan
melakukan
simultan
upaya
terhadap
seluruh aspek terkait;
4. Sanksi hukum pidana merupakan remedium yang mengandung
sifat
kontradiktif/paradoksal
dan
mengandung
unsur-
unsur serta efek sampingan yang negatif. Itu sebabnya,
sukar mengukur kadar sanksi yang tepat terhadap suatu
tindak
pidana,
sehingga
legislatif
sendiri
dalam
menentukan sanksi pidana untuk "tindak pidana baru"
tidak memiliki rambu-rambu yang baku. Dengan kata lain,
apakah
akan
meningkatkan
sanksi
pidananya
secara
keseluruhan dibandingkan dengan apa yang diatur dalam
KUHP,
ataukah
melihat
bobot
pelanggaran
hukum
satu
persatu;
5. Sistem
pemidanaan
individual/personal,
struktural/fungsional.
bersifat
fragmentair
tidak
Meskipun
dalam
dan
bersifat
kaitan
dengan
partai politik atau afiliasi seseorang terhadap suatu
kelornpok, tetapi dalam banyak hal, pertanggungjawaban
pidana
dalam
kasus
tindak
pidana
perikanan
lebih
dilihat secara individual;
6. Keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan
sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif. Hal ini
walaupun
sudah
dibuat
strqfininima
dan
strafmaxima-
nya, tetapi dengan belum jelasnya pola pemidanaan,19 hal
ini menimbulkan kesulitan tersendiri yang bahkan dapat
menimbulkan masalah lain berupa disparitas pemidanaan
(disparity of sentence);
7. Bekerjanya
yang
hukum
lebih
tinggi,"
perikanan
perikanan
pidana
bervariasi
Timbul
dapat
itu
dan
memerlukan
sarana
dan
menuntut
"biaya
tindak
pidana
lebih
berkembangnya
dikatakan
sendiri.
hanya
Untuk
pada
memantau
pendukung
masa-masa
dan
melacak
berbagai jenis tindak pidana yang terjadi di seputar
perikanan, tentu tidak mudah dan melibatkan berbagai
institusi yang ada.20
Dengan
demikian
nyatalah
bahwa
efektivitas
sanksi
19
Dalam Konsep KUHP Baru 1999/2000 di samping pedoman
pemidanaan, juga terdapat pola pemidanaan yang dapat digunakan oleh
hakim dalam menjatuh-kan pidana. Dengan perhitungan yang cukup
matang, pemberian pidana terhadap seorang terpidana tidak akan terpisah dari konsep pemikiran mengenai individualisasi pidana, bahwa
pemidanaan itu disesuaikan dengan keadaan si pelaku. Oleh karena itu,
disparitas pemidanaan sedapat mungkin diperkecil agar memberikan
jaminan kepastian hukum dan pemenuhan rasa keadilan yang semakin baik
bagi masyarakat dan pelaku itu sendiri.
20
Sebagai contoh, ketika terjadi suatu pelanggaran hukum terhadap
ketentuan perikanan, tidak dengan serta merta menjadikannya sebagai
suatu tindak pidana, sebab masih harus diteliti apakah ia bukan
pelanggaran administratif belaka. Untuk menilai apakah hal itu merupakan
suatu tindak pidana, harus dapat di-uraikan unsur-unsur tindak pidananya
secara konkrit.
pidana
dalam
tindak
pidana
permasalahan
tersendiri
apakah
untuk
mampu
perikanan,
untuk
mengurangi
masih
merupakan
atau
mengukur
mencegah
timbulnya
menilai
atau
tindak pidana perikanan.
Lebih
tujuan
lanjut
masalah
pemidanaan
yang
itu
dapat
bersifat
dikaitkan
integratif,
dengan
yang
men-
cakup:21
1. Tujuan pemidanaan adalah pencegahan (umum dan khusus).
Dikatakan
khusus,
ada
pencegahan
bilamana
individual
seorang
atau
penjahat
pencegahan
dapat
dicegah
melakukan suatu kejahatan dikemudian hari apabila ia
sudah mengalami dan sudah meyakini bahwa kejahatan itu
membawa penderitaan baginya. Di sini pidana dianggap
mempunyai daya untuk mendidik dan memperbaiki. Bentuk
pencegahan
yang
kedua
adalah
pencegahan
umum
yang
mempunyai arti bahwa penjatuhan pidana yang dilakukan
oleh
pengadilan
dimaksudkan
agar
orang-orang
lain
tercegah untuk melakukan kejahatan. Dikaitkan dengan
tujuan pemidanaan tindak pidana perikanan, bahwa dengan
dipidananya pelaku agar pelaku itu sendiri tidak akan
melakukan tindak pidana lagi dan calon-calon pelaku
lainnya tercegah untuk melakukan tindak pidana, dengan
tujuan demi pengayoman masyarakat.
2. Tujuan
pemidanaan
Perlindungan
adalah
masyarakat
perlindungan
sebagai
tujuan
masyarakat.
pemidanaan
mempunyai dimensi yang bersifat luas, karena secara
fundamental
Secara
ia
sempit
merupakan
hal
ini
tujuan
semua
digambarkan
pemidanaan.
sebagai
bahan
kebijaksanaan pengadilan untuk mencari jalan mela-lui
21
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1992, hal. 81-87
pemidanaan
agar
masyarakat
pengulangan
tindak
pidana.
sering
dikatakan
berada
di
terlindungi
Perlindungan
seberang
bahaya
masyarakat
pencegahan
dan
mencakup apa yang dinamakan tidak mampu.
3. Tujuan
pemidanaan
adalah
memelihara
solidaritas
masyarakat. Pemeliharaan solidaritas masyarakat dalam
kaitannya
dengan
tujuan
pemidanaan
adalah
untuk
menegakkan adat istiadat masyarakat dan mencegah balas
dendam perseorangan, atau balas dendam yang tidak resmi
(private revenge or unofficial retaliation}. Peradilan
pidana merupakan pernyataan masyarakat bahwa masyarakat
mengurangi hasrat yang agresif menurut cara yang dapat
diterima
masyarakat.
Pembersihan
kesalahan
secara
kolektif (collective cleaning of guilt) ditujukan untuk
memperkuat
moral
anggotanya
masyarakat
untuk
dan
bersama
mengikat
berjuang
erat
melawan
para
para
pelanggar hukum.
4. Tujuan
pemidanaan
Artinya
ada
adalah
pengimbalan/pengimbangan.
kesebandingan
antara
pidana
dengan
pertanggungjawaban individual dari pelaku tindak pidana,
dengan
memperhatikan
pada
beberapa
faktor.
Penderitaan yang dikaitkan oleh pidana harus dibatasi
dalam batas-batas yang paling sempit dan pidana harus
menyumbangkan pada proses penyesuaian kembali terpidana
pada kehidupan masyarakat sehari-hari dan di samping
itu
beratnya
terdakwa
pidana
bahkan
tidak
tidak
boleh
dengan
melebihi
alasan-alasan
kesalahan
prevensi
general apapun.
Berkaitan dengan tujuan pemidanaan di atas, apabila
digunakan
pendekatan
yang
bersifat
tradisional
(fundamental
selalu
approach),
diarahkan
melindungi
maka
fungsi
terutama
nilai-nilai
untuk
moral.
Dalam
hukum
pidana
akan
mempertahankan
dan
hal
ini
kesalahan
(guilt) akan selalu merupakan unsur utama dalam syarat
pemidanaan
dan
biasanya
hal
ini
akan
berkaitan
erat
dengan teori pemidanaan yang bersifat retributif. Dalam
perkembangannya
bergeser
ke
approach)22
selanjutnya
arah
di
pendekatan
pendekatan
mana
hukum
di
utilitarian
pidana
dan
atas
mulai
(Utilitarian
sanksi
pidana
dianggap merupakan salah satu dari sekian sarana yang
oleh masyarakat dapat digunakan untuk melindungi dirinya
dari
perilaku
tersebut.
yang
Kegunaan
dapat
sanksi
membahayakan
pidana
dinilai
masyarakat
dari
sudut
apakah dengan mengenakan sanksi tersebut dapat diciptakan
kondisi yang lebih baik. Apabila pandangan fundamentalis
menitikberatkan
pada
ancaman
terhadap
perasaan
moral
masyarakat sebagai pembenaran penggunaan sanksi pidana,
maka pandangan utilitarian melihat public order sebagai
sarana perlindungannya. Harus diakui bahwa dalam proses
modernisasi
22
dan
perkembangan
ekonomi
yang
semakin
Pandangan utilitarian ini dapat dibagi dua, yakni Utilitarisme KJasik
dan Utilitarisme Aturan. Utilitarisme Klasik dipelopori oleh David Hume,
filsuf Skotlandia, kemudian dikembangkan oleh Jeremy Bentham. Menurut
Ben-tham, manusia menurut kodratnya di-tempatkan di bawah pemerintahan
dua penguasa yang berdaulat: ketidakse-nangan dan kesenangan, dan pada
kodratnya manusia menghindari ketidaksenangan dan mencari kesenangan.
Moralitas suatu tindakan harus ditentukan dengan menimbang kegunaannya
untuk mencapai kebahagiaan umat manusia. Timbullah ajaran the
hedonistic calculus (felicific calculus), yang menya-takan the greatest
happiness of the greatest number (kebahagiaan terbesar dari jumlah orang
terbesar). Sedangkan Utilitarisme Aturan menyatakan bahwa prinsip
kegunaan ttdak harus diterapkan atas salah satu perbuatan, melainkan
atas aturan-aturan moral yang mengatur perbuatan-perbuatan manusia.
Menurut Richard B. Brandt bukan aturan moral satu demi satu, melainkan
sistem aturan moral sebagai keseluruhan diuji dengan prinsip kegunaan.
Dengan demikian, perbuatan adalah baik secara moral, bila sesuai dengan
aturan yang berfungsi dalam sistem aturan moral yang paling berguna bagi
suatu masyarakat. (Vide: K. Bertens, Etika, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1993, hal. 246-254). Lihat juga: Theo Huiberjs, Filsafat Hukum
dalam Lintasan Sejarah, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1982, hal. 196-201
meningkat, telah muncul perkembangan baru dalam kaitannya
dengan ruang lingkup dan fungsi hukum pidana dan sanksi
pidana.
sarana
Hukum
untuk
pidana
dalam
hal
meningkatkan
rasa
ini
digunakan
tanggung
sebagai
jawab
negara
dalam rangka mengelola kehidupan masyarakat modern yang
semakin
kompleks.
Sanksi
pidana
antara
lain
digunakan
secara maksimal untuk mendukung norma hukum administratif
dalam pelbagai hal.
D. Penegakan Hukum dalam Tindak Pidana Perikanan
Membicarakan
dilepaskan
fungsi
dari
hukum
perannya
pidana
dalam
tidak
rangka
dapat
menjamin
efektivitas penegakan hukum. Berbicara tentang penegakan
hukum tentu saja melibatkan manusia dengan segala tingkah
lakunya. Hukum tak mampu memenuhi kehendak dan tujuan
yang terdapat dalam muatan hukum itu sendiri. Membahas
penegakan hukum pada hakikatnya ialah berbicara mengenai
penegakan
ide-ide
serta
konsep-konsep
abstrak
yang
terkandung dalam hukum. Dengan kata lain, penegakan hukum
merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut
menjadi kenyataan.23 Penegakan hukum adalah suatu proses
untuk
mewujudkan
keinginan-keinginan
hukum
menjadi
kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan-keinginan hukum
di
sini
adalah
adalah
pikiran-pikiran
badan
pembuat
undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan
hukum itu.24
23
Satjipto
Rahardjo,
Masalah
Penegakan
Hukum.
Sosiologis, Si-narBaru, Bandung, 1983, hal. 15.
24
Suatu
Tinjauan
Ibid, hal. 24. Menurut Chambliss dan Seidman harus dipahami bahwa
pemi-kiran yang bersandar pada persepsi nor-matif-dogmatis yang
menganggap apa yang tercantum dalam peraturan hukum sebagai deskripsi
Agar hukum benar-benar hidup dalam masyarakat ada
beberapa
faktor
yang
menyebabkan
warga
masyarakat
mematuhi hukum, yaitu:
1.
Compliance:
"an
overt
acceptance
induced
by
expectation of rewards and an attempt to avoid
possible punishment - not by any conviction in the
desirability of the enforced rule. Power of the
influencing agent is based on "means-control" and, as
a consequence, the influenced person conforms only
under surveillance. "
2.
Identification: "an acceptance of a rule not because
of its intrinsic value and appeal but because of a
person's desire to maintain membership in a group or
relationship with the agent. The source of power is
the attractiveness of the relation which the persons
enjoy with the group or agent, and his conformity
with the rule will be dependent upon the salience of
these relationship."
3.
Internalization: "the acceptance by an individual of
a rule or behavior because he finds its content
intrinsically rewarding ... The content is congruent
with a person's values either because his values
changed and adapted to the inevitable. "
4.
Kepentingan-kepentingan
para
warga
terjamin oleh wadah hukum yang ada.25
masyarakat
Dalam hukum kita diperhadapkan dengan persoalan atau
keharusan untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan
maupun
cara-cara
yang
hendak
dipakai
untuk
mencapai
tujuan tersebut. Hukum sebagai lembaga yang saling kait
mengkait
dengan
sektor-sektor
kehidupan
lain
dalam
masyarakat memiliki suatu segi bahwa ia harus senantiasa
melakukan penyesuaian terhadap tujuan-tujuan yang ingin
dicapai oleh masyarakatnya.
dari keadaan yang se-sungguhnya,
deskripsi dari kenyataan.
25
hendaknya
jangan
diterima
sebagai
Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum bagi Kalangan Hukum Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1989, hal. 53, 54.
Dalam
dinamika
yang
demikian
dibutuhkan
kehadiran
politik hukum untuk memberikan pemikiran terhadap iure
constituendo (ius cons-tituendum), hukum yang seharusnya
berlaku,
dengan
mengajukan
perta-nyaan
seperti;
tujuan
apakah yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada,
cara-cara
apakah
dan
yang
manakah
yang
terbaik
untuk
mencapai tujuan tersebut, kapankah hukum itu perlu diubah
dan
bagaimana
dirumuskan
seba-iknya
suatu
pola
perubahan
yang
tersebut,
mapan
untuk
dapatkah
memutuskan
bagaimana proses pemilihan tujuan dan cara-cara mencapai
tujuan tersebut.26
Bekerjanya
hukum
berupaya
melakukan
syarakat
itu
terjadi
untuk
dalam
masyarakat
penyesuaian
sendiri,
suatu
dinamika
mencapai
hukum
terhadap
sehingga
yang
yang
dalam
senantiasa
kebutuhan
proses
mengarahkan
seharusnya
pada
ma-
demikian
gagasan
berlaku
(ins
constituen-dum).
Makna sosial diberikan kepada hukum melalui kontakkontak
dengan
lingkungan
sosial
di
mana
hukum
itu
diterapkan. Dari pengamatan empiris, peraturan hukum yang
ada tidak dapat memaksakan agar isi peraturan dijalankan
secara mutlak, melainkan dalam banyak hal dikalahkan oleh
struktur sosial di mana hukum itu dijalankan. Struktur
26
Satjipto Rahardjo, limit Hukum Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal.
351-353.
Cf.
Soehardjo
Sastrosoehardjo,
Politik
Hukum
dan
Pelaksanaannya dalam Negara Republik Indonesia Program Magister Ilmu
Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hal. 16, 17, menyatakan
bahwa politik hukum dalam arti formal hanya terbatas pada satu tahap
yaitu menuangkan kebijak-sanaan pemerintah dalam bentuk pro-duk hukum
(legislative drafting), se-dang dalam arti materiil meliputi tidak hanya
legislative drafting, tetapi juga legal executing dan legal review, bahkan termasuk legal planning. Pada ak-hirnya, politik hukum yang tidak
dapat dilepaskan dari asas-asas hukum itu, ditujukan pada hukum yang
benar atau adil (das Richtiges Recht).
sosial menjadi faktor penentu dalam hukum dan masyarakat
pun turut membentuk hukum dengan memberi makna sosial
kepadanya. Harus dipahami bahwa hukum itu bukan hanya
peraturan,
melainkan
juga
perilaku
(atau
experience,
meminjam istilah Oliver Wendell Holmes).27
Struktur
sinergis
masyarakat
dari
sebagaimana
proses-proses
dilukiskan
dalam
oleh
Parsons
memperlihatkan bahwa subsistem budaya, sosial, politik,
dan
ekonomi
dapat
saling
terjadi
energi.
Hukum
memasuki
perbenturan
sebagai
melakukan
integrasi
berlangsung
dalam
satu
sama
kekuatan
subsistem
yang
sosial
terhadap
masyarakat,
lain,
sehingga
menimbulkan
yang
fungsinya
proses-proses
sehingga
tercapai
yang
suatu
keadaan tertib tertentu. Dengan demikian dapat dipahami
bagaimana tempat hukum itu dalam konflik dan kerja sama
antarsubsistem.28
Mengamati
perkembangan
sanksi
pidana
dalam
tindak
pidana perikanan, juga tidak lepas dari bagaimana perkembangan masyarakat itu sesuai dengan subsistem budaya,
sosial, politik, dan ekonominya, sehingga diperoleh suatu
gambaran
yang
utuh
dan
menyeluruh
tentang
bagaimana
fenomena tindak pidana perikanan dan penyelesaiannya dari
perspektif sosiologi hukum pidana. Menurut cara pandang
demikian, maka hukum pidana tidak berhenti pada rumusan
kaku
undang-undang
melainkan
juga
dan
melihat
penerapannya
kepada
bagaimana
secara
semua
ketat,
faktor
memberikan pengaruh satu sama lain. Dari sudut ini, tidak
27
Satjipto Rahardjo, "Beberapa Pilihan Masalah," dalam Sosiologi Hukum:
Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah, Universitas Muhammadiyah
Surakarta, 2002, hal. 108-113
28
Ibid. hal. 119, 120
sukar untuk memahami, mengapa begitu banyak pelanggaran
perikanan
yang
tidak
sampai
ke
pengadilan,
walaupun
mengandung unsur-unsur pidana.
D. Penutup
Tulisan
penyelesaian
perikanan
tahun
ini
tidak
secara
yang
yuridis
diatur
2004
pelaksanaannya,
berupaya
untuk
teknis
menurut
bagi
tindak
Undang-Undang
tentang
Perikanan
melainkan
hanya
memberikan
dan
memberikan
pidana
Nomor
31
peraturan
deskripsi
terhadap fenomena tindak pidana perikanan itu sendiri dan
penegakan hukumnya dari segi sosiologi hukum pidana.
Oleh
sebab
"menghakimi"
itu,
penegakan
tulisan
hukum
inipun
tindak
tidak
pidana
bermaksud
perikanan.
Uraian yang sudah dikemukakan sebelumnya kiranya memadai
walaupun disadari belum begitu dalam 'membedah' hingga ke
jantung permasalahan. Namun setidaknya, tulisan ini mampu
menggugah
demikian
ketentuan
para
tidak
pembaca
begitu
hukum
yang
untuk
saja
ada,
melihat
harus
bahwa
diselesaikan
melainkan
lebih
fenomena
menurut
mengkaji
peraturan perundang-undangan yang ada itu sebagai suatu
perilaku manusia. Tentu saja, dengan mengatakan hukum itu
sebagai perilaku manusia bukan juga bermaksud memberikan
pembenar terhadap berbagai kelemahan yang timbul, tetapi
sekadar
memaparkan
pidana perikanan.
realitas
yang
ada
seputar
tindak
DAFTAR PUSTAKA
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996
———, Beberapa Aspek Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2000
Bertens, K., Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993
Departemen Kehakiman dan HAM RI, RUU KUHP Baru 1999/2000
Ezzat
A.
Fattah.
From
Crime
Policy
to
Victim
Policy:
Reorienting the Justice System, Macmillan Press,
Houndmills, Basingstoke, Hampshire, and London, 1986
Huiberjs,
Theo,
Fihafat
Hukum
da-lam
Lintasan
Sejarah,
Yayasan Kan i-sius, Yogyakarta, 1982
Muladi,
Neier,
Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1992
Aryeh,
Crime
and
Punishment:
A
Radical
Solution,
Stein and Day, Scarborough House, New York, 1978
Packer, Herbert L. The Limits of the Criminal Sanction,
Stanford University Press, Stanford, Califor-nia, 1968
Rusmana,
“Pengadilan
Perikanan:
Mampukah
Menjadi
Terobosan?”, Sinar Harapan 22 Oktober 2004.
———,
“Pertanggungjawaban
Korporasi
Dalam
Tindak
Perikanan”, Hukumonline.com, Tanggal 16 Oktober 2005.
Pidana
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan
Sosiologic, SinarBaru, Bandung, 1983
———, Ilmu Hukum Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000
———, "Beberapa Pilihan Masalah, " dalam Sosiologi Hukum:
Perkem-bangan,
Mctode
dan
Pilihan
Masalah,
Universi'tas
Muhammadiyah Surakarta, 2002
Sianturi, S.R., Hukum Pidana Khusus, diktat, Ahaem-Petehaem,
Jakarta, 1994
Soehardjo Sastrosoehardjo, Politik Hukum dan Pelaksanaannya
dalam Negara Republik Indonesia Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang, 1995
Soerjono
Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum bagi Kalangan
Hukum Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981
van Dijk, et al. (ed,). Criminal Law in Action, Kluwer Law
and Taxation Publishers, Deventer, Netherlands, 1988