Isu Global Kontemporer tentang Perempuan

Bahan Presentasi Kelompok 8
Oleh:
1. Putri Larasati (11141130000043)
2. Widya Astri Bahtiar (11141130000075)
3. Yusti Winduningsih (11141130000084)
Perempuan dan Anak-anak
A. Latar Belakang
Perempuan dan anak-anak di era globalisasi masih tetap merupakan isu yang sangat
penting sekalipun Perang Dingin telah berakhir lebih dari dua dekade yang lalu. Mendiskusikan
isu perempuan dan anak-anak tidak hanya bicara tentang keamanan ‘negara’ melainkan juga
berkaitan dengan keamanan ‘manusia’. Keamanan manusia juga berkaitan di dalamnya dengan
perdagangan dan perbudakan. Perjalanan sejarah menjelaskan bahwa perdagangan manusia
berakar pada zaman kerajaan dan juga kolonialsme yang dikenal dengan era perbudakan.
Perbudakan itu dipandang sebagai konsekuensi logis dari penjajahan dan kekuasaan pemimpin
yang membutuhkan sumber daya manusia untuk kepentingan negara atau dinastinya. Dengan
demikian, perbudakan telah menjadi sebuah isu yang lazim dari resiko penjajahan itu sendiri.
Perdagangan dan perbudakan manusia adalah kegiatan mencari, mengirim, memindahkan
atau menerima tenaga kerja dengan ancaman, kekerasan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya.
Bentuk-bentuk pemaksaan itu antara lain adalah menipu, menculik, memperdaya, membujuk,
memanfaatkan ketidaktahuan serta ketidakberdayaan dan tidak adanya perlindungan terhadap
korban atau dengan memberikan atau menerima bayaran atau imbalan untuk mendapatkan izin

atau persetujuan dari orang tua, wali atau orang yang mempunyai wewenang atas diri korban
dengan tujuan untuk mengeksploitasi. Kejahatan kepada perempuan dan anak-anak merupakan
kejahatan yang terorganisir, yang disebut dengan A Transnational-Crime.
Secara kasat mata perempuan dan anak-anak sebagai korban atas jual beli manusia yang
pada umumnya adalah untuk tujuan eksploitasi seksual, banyak dari mereka yang dilacurkan
untuk kepentingan industri seks, pornografi dan untuk berbagai kepentingan lainnya dengan
mengabaikan kepentingan korban dan memperlakukan mereka bukan lagi sebagai manusia
1

seutuhnya tetapi cenderung sebagai komoditas. Perdagangan perempuan dan anak yang
dipekerjakan ke luar negeri misalnya, semakin beresiko dan mengalami viktimisasi
multidimensi, yaitu penderitaan baik secara fisik maupun psikis atau mental dengan perbuatan
yang dilakukan oleh individu atau suatu kelompok tertentu. Bukan saja karena perbedaan gender,
tetapi dilipat gandakan karena perbedaan ras, kelas sosial dan ekonomi antara mereka dengan
lingkungannya. Persoalan ini lebih rumit ditandai dengan posisi mereka sebagai pekerja imigran
gelap, sehingga mereka akan dilabeli sebagai kelompok masyarakat kelas kedua. Ketimpangan
relasi berdasarkan gender dan berbagai perbedaan dalam aspek kehidupan dengan masyarakat
setempat akan semakin menambah rentan terhadap korban perdagangan perempuan.
B. Perdagangan Perempuan
Juni 2006, BBC melaporkan adanya pelelangan wanita-wanita muda di Eropa timur yang

terjadi di Stansted, Gatwick dan bandara London lainnya, Menurut Crwon Prosecution Service,
wanita-wanita tersebut dijual dengan harga 8,000 poundsterling (atau US$ 15,000), Pelelangan
wanita-wanita muda ini ditujukan sebagai perdagangan seks komersial secara terbuka. Salah
satunya di depan sebuah café di bandara Gatwick. Anehnya, menurut Shelley (2010) ketika
seorang mucikari didapati menjual obat-obatan terlarang di sana, polisi dengan mudah
menangkapnya.
Dalam buku “Human Trafficking: A Global Perspective” (2010), pemerintah negaranegara di Eropa menghadapi peningkatan jumlah imigran gelap dari Afrika, Timur Tengah, dan
Asia yang diperkirakan 400,00 jiwa pertahunnya. Terkait dengan kasus ini, pada tahun 2004,
pemerintah AS memperkirakan 600,000-800,000 orang menjadi korban perdagangan manusia
pada skala internasional, di mana 80 persen di antaranya adalah perempuan, 50 persen anak-anak
dan 70 persen ditujukan untuk eksploitasi seksual. Sedangkan menurut ILO pada 2006
memaparkan data bahwa 12,3 juta orang menjadi buruh sandera, buruh anak-anak, dan pelayan
seksual. 9,8 juta orang dieksploitasi oleh agen swasta dan 2,5 juta orang dipaksa untuk bekerja
pada pemerintah dan kelompok-kelompok militer.
Korban terbanyak berasal dari benua Asia yaitu ILO memperkirakan 2,5 juta orang
menjadi korban perdagangan manusia, dua per tiganya adalah perempuan dan anak-anak yang
ditujukan untuk eksploitasi sksual serta satu pertiganya laki-laki yang juga dieksplitasi untuk
2

kegiatan ekonomi lainnya. UNICEF memprediksi 300.000 anak pada rentang usia 18

diperdagangkan sebagai tentara bayaran pada konflik-konflik militer di berbagai wilayah di
dunia.
C. Eksploitasi Seks Anak dan Tentara Anak
Perdagangan manusia dapat mengakibatkan timbulnya kejahatan baru lainnya. Hal itu
disebabkan oleh motif perdagangan manusia yang berbeda-beda. Dari aspek tujuan penjualan
dan pembelian, biasanya yang menjadi tujuan utama perdagangan manusia adalah eksploitasi.
Eksploitasi tersebut biasanya meliputi beberapa hal, seperti eksploitasi seksual (pelacuran), kerja
paksa, perbudakan, penghambaan, dan pengambilan organ-organ tubuh. Oleh karena motif
perdagangan tersebut biasanya untuk eksploitasi, maka sasaran utama dalam perdagangan
manusia yaitu pihak-pihak yang lemah dan mudah dikelabui, seperti perempuan dan anak-anak
yang cenderung diasosiasikan demikian. Contoh kasus yang saat ini sedang jadi perbincangan
global yang berkaitan dengan perdagangan manusia ialah kasus eksploitasi seks anak dan tentara
anak.
C.1. Eksploitasi Seks Anak
Eksploitasi seksual terhadap anak adalah pemanfaatan kaum muda dalam kegiatan seks
untuk mencari keuntungan. Menurut data UNICEF, ada sekitar 1,2 juta anak yang
diperdagangkan

setiap


tahunnya.

Kebanyakan

anak

yang

diperdagangkan

tersebut

diperdagangkan untuk eksploitasi seksual. Dari data yang dihimpun oleh ILO pun didapatkan
hasil lainnya yaitu 40.000-70.000 anak menjadi korban eksploitasi seks di Indonesia. Untuk di
Pulau Jawa sendiri, perdagangan anak untuk eksploitasi seksual tercatat ada 21.000 anak yang
dilacurkan.
Anak-anak yang dieksploitasi secara seksual tersebut dijumpai di jalanan, di lokalisasi,
dan di sarang-sarang pelacuran tersembunyi seperti salon kecantikan, diskotek, tempat main bola
sodok, panti pijat, tempat karaoke dan tempat mandi uap. Anak korban pelacuran rawan berbagai
penyakit, khususnya penyakit menular seksual dan HIV/AIDS, rawan kecanduan narkoba, dan

anak perempuan yang menjadi korban seringkali dicap buruk oleh masyarakat. Mereka seringkali
tidak dibayar sebagaimana dijanjikan, ditelantarkan di tempat terpencil, atau dipaksa
berhubungan seks dengan sejumlah klien.
3

Salah satu contoh kasus perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual yaitu yang
terjadi di Lebanon belakangan ini. Pasukan keamanan Lebanon membebaskan 75 anak
perempuan yang kebanyakan berasal dari Suriah di sebuah kelab malam di Beirut, Lebanon.
Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa Suriah sedang mengalami konflik tak berkesudahan.
Hal tersebut mendorong warga Suriah untuk mengungsi ke negara tetangga yaitu Lebanon.
Pengungsi tersebut rentan mengalami kemiskinan. Dan keadaan seperti itu dimanfaatkan oleh
oknum tak bertanggung jawab untuk melancarkan rencananya. Anak-anak perempuan asal
Suriah tersebut disiksa terlebih dahulu untuk kemudian dipaksa melayani hasrat seksual para
pelanggannya dengan berbagai cara. Aktivitas ilegal tersebut diorganisir oleh sebuah jaringan
perdagangan manusia paling berbahaya di negara Lebanon.
C.2. Tentara Anak
Satu dari 10 anak di wilayah konflik terlibat perang atau berarti 300 ribu anak sedang
terlibat perang di dunia ini. Sebanyak 75% anak diarahkan ke daerah konflik di dunia, baik
sebagai anggota tentara reguler maupun milisi, pemberontak, paramiliter, atau anggota geng.
Sebanyak 80% dari anak-anak yang menjadi tentara tersebut masih berusia di bawah 15 tahun.

Bahkan beberapa di antaranya masih berusia delapan tahun. Data tersebut dihimpun oleh
Warchild International yang merupakan lembaga riset non-profit.
Tentara anak didefinisikan sebagai anak yang menjadi tentara, turut bertempur, terlibat
baku tembak, menjadi mata-mata dan dikirim untuk melaksanakan misi pengintaian, yang
berjaga menyandang senjata, yang membawa logistik perang menembus hutan dan lembah, dan
yang memberi kepuasan seksual kepada komandannya. Anak kecil seringkali dijadikan tentara
anak oleh oknum tertentu karena mereka lebih penurut, tidak melawan, dan lebih mudah
dimanipulasi ketimbang tentara dewasa. Alasan utama perekrutan tentara anak lainnya yaitu
menyukai senjata (budaya), keyakinan (ideologi), tidak mempunyai pilihan (sosial-ekonomi),
ketersediaan pekerjaan (sosial-ekonomi), dendam, dipaksa, dan lain sebagainya.
Di Sudan, anak-anak berusia 12 tahun biasanya diseret dari bus dan mobil. Di Ethiopia,
oknum tak bertanggung jawab menodongkan pistol kepada anak-anak yang sedang bermain di
lapangan, pasar, festival keagamaan, dan di perjalanan menuju sekolah. Di Guatemala, banyak
anak yang diculik dari pesta, jalan, bahkan gereja. Kemudian anak-anak tersebut biasanya dijejali
4

obat bius dan obat penenang agar dapat menjadi tentara yang sangar dan tidak takut apapun.
Dalam fase tertentu, kadang tentara anak tersebut diperintahkan untuk membantai keluarganya
sendiri. Namun ada juga oknum yang menggaji tentara anak dengan gaji yang sangat kecil yang
diberikan langsung kepada keluarganya. Yang melakukan perekrutan terhadap tentara anak

biasanya adalah kekuatan bersenjata dan kelompok pemberontak.
Kasus perekrutan tentara anak yang paling kontemporer adalah perekrutan tentara anak
yang dilakukan oleh ISIS. Berdasarkan data yang telah dihimpun oleh para peneliti dari Georgia
State University, jumlah anak-anak anggota ISIS yang tewas pada tahun lalu mengalami
peningkatan sebanyak dua kali lipat. Ini berarti tentara anak yang direkrut oleh ISIS juga
semakin banyak dari tahun ke tahun. Mayoritas tentara anak yang direkrut oleh ISIS berasal dari
Suriah dan Irak. Sedangkan yang lainnya berasal dari Yaman, Arab Saudi, Tunisia, dan Libya.
Kemudian sebagian kecil lainnya berasal dari Inggris, Prancis, Australia, dan Nigeria.
D. Faktor- Faktor yang Menyebabkan Human Trafficking :
Isu Human Trafficking menjadi masalah yang serius yang dihadapi negara-negara di
dunia saat ini. Jumlah perdagangan manusia semakin meningkat sepanjang tahunnya hampir
diperkirakan ribuan orang diperdagangkan setiap tahunnya. Selain itu jaringan kriminal yang
memperjualbelikan manusia pun, selain telah beroperasi melewati batas-batas negara, kini
semakin berkembang dan terorganisasi seiring kemajuan teknologi menjadikan isu perdagangan
manusia sebagai sebagai suatu kejahatan transnasional yang serius. Menurut Shelley, beberapa
faktor yang menyebabkan perdagangan manusia adalah :
1. Faktor Ekonomi
Kemiskinan merupakan salah satu penyebab utama berkembangnya kejahatan
perdagangan manusia di suatu negara, sehingga hal ini juga berpengaruh terhadap dinamika
kejahatan perdagangan perdaganagan manusia. Pembangunan dan pertumbuhuhan ekonomi di

sector industri yang tidak seimbang menciptakan kesenjangan yang semakin tajam sehingga
melahirkan batas yang sangat jelas antar negara-negara yang tergolong kaya dan negara-negara
miskin. Pembangunan ekonomi yang tidak merata ini kemudian mempengaruhi perkembangan
kejahatn perdagangan dalam dua sisi. Pertama, negara-negara secara relatif berhasil sekarang ini
memiliki kebutuhan akan tenaga kerja dalam jumlah besar untuk memenuhi permintaan
5

industrinya yang semakin berkembang. Kedua, masyarakat di negara-negara yang tertinggal
secara ekonomi terdorong untuk mencari perbaikan nasib dan kesempatan memperoleh
penghasilan yang lebih baik di luar negaranya, sehingga mereka berkeinginan untuk melakukan
migrasi dan mudah dibujuk untuk bekerja diluar negeri. Alasan klasik yaitu untuk memenuhi
kebutuhan hidup atau mencari pendapatan . Sering kali korban adalah kaum ekonomi lemah yang
tidak memiliki posisi tawar dalam kehidupan .
2. Kondisi Geopolitik
Kondisi geografis suatu negara membuat sebuah negara memiliki banyak wilayah
perbatasan yang seringkali berdekatan dan berhimpitan, terpencil, serta tidak terjangkau oleh
kontrol pemerintah pusat. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh organisasi kriminal
transnasional. Mereka kemudian mengambil alih kewenangan diperbatasan tersebut agar lebih
mudah melakukan perpindahan korbannya.
Sally Cameron (2008:1991) menyatakan bahwa kerusuhan politik dan konflik juga

memainkan peran dalam meningkatkan resiko perdaganagan manusia untuk prostitusi. Beberapa
contoh yang terjadi di Guatemala menunjukan bahwa pelaku perdagangan manusia menjadikan
perempuan yang mengalami perkosaan selama masa konflik bersenjata untuk diperdagangkan.
Kurangnya pengertian terhadap politik maskulinitas dan feminitas dalam perkembangan
kesejahteraan ekonomi dan sistem patron serta adanya wilayah konflik dan poskonflik
memberikan kepercayaan yang salah atas kehadiran perempuan dan anak perempuan yang
dianggap “willing” untuk berhubungan seksual dengan tentara laki-laki. (Mazurana, 2005:34)
3. Lemahnya Peran dan Kontrol Pemerintah (Law Enforcement)
Negara dalah yurisdiksi (wilayah hukum) yang berdaulat dan berkewajiban menjamin
kesejahteraan warga negaranya. Negara dalam konteks pembahasan ini adalah pemerintah yang
seharusnya berada di garda depan dalam membuat kebijakan sosial dan ekonomi untuk
mengatasi jurang kemiskinan dan memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat dari
tindak kejahatan perdagangan manusia. Seharusnya pemberantasan kejahatan imgran terorganisir
menjadi prioritas utama negara. Sementara itu, masih banyak negara yang belum
mengalokasikan sumber daya yang dibutuhkan untuk pemberantasan kejahatan perdagangan
manusia, meskipun kasus ini telah menjadi kejahatan lintas negara.
6

4. Faktor Ideologi Patriarki
Anak-nak dan permpuan rentan menjadi korban perdagangan manusia salah satunya

adalah menguatnya ideologi patriarki dalam masyarakat dan Negara. Ideologi ini melihat posisi
anak dan perempuan sebagai obyek, dan bukan subyek patriarti, sehingga mereka mendapatkan
posisi kedua atau subordinat di mana anak dan perempuan tidak memiliki posisi tawar terhadap
keinginan orang tuanya. Kemudian, tingkat pendidikan yang rendah bagi perempuan, lalu
kekerasan terhadap perempuan yang merupakan alat bagi laki-laki untuk menunjukkan
kekuasaanya.
5. Faktor Sosial (Ketimpangan Gender dan Ketimpangan Sosial)
Perbedaan peran gender akibat ideology sosial menghasilkan perbedaan status. Adanya
perbedaan peran gender tersebut menjadikan perempuan lebih banyak yang menjadi ibu rumah
tangga karena mereka dipercaya cocok untuk bersifat komunal, sementara laki-laki cocok
menjadi pencari nafkah. Terdapat tiga hal yang mempengaruhi pembentukan relasi gender seperti
yang diungkapkan oleh Cornell (1987) dalam Walklate (2004:74) yaitu struktur sosial yang
mendukung pembentukan relasi gender yaitu pembagian kerja berdasarkan gender, kekuasaan
berbasir gender, dan seksualitas.

E. Solusi Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan terhadap Perempuan dan Anak
Perdagangan manusia yang melibatkan anak-anak serta perempuan tidak bisa didiamkan
begitu saja. Perlu langkah pencegahan dan penanggulangan yang dilakukan tidak hanya oleh
pemerintah baik pemerintah daerah, pemerintah negara/pusat, dan institusi internasional saja,
namun juga oleh seluruh komponen yang hidup di dunia ini. Kejahatan terhadap perempuan dan

anak harus dihapuskan demi memenuhi tujuan, yaitu kebahagiaan masyarakat (happiness of the
citizens), kehidupan kultur yang sehat dan menyegarkan (a wholesome and cultural living),
kesejahteraan masyarakat (social welfare), dan keadilan (equity).
Untuk mencapai berbagai tujuan tersebut, diperlukan adanya dua kebijakan, yaitu
kebijakan sosial (social policy) dan kebijakan criminal (criminal policy). Selain itu, dalam
menanggulangi kasus kejahatan terhadap perempuan dan anak-anak, khususnya masalah
perdagangan manusia untuk dieksploitasi diperlukan juga dua kebijakan, yaitu kebijakan penal
7

dan kebijakan non-penal. Kebijakan penal adalah penanggulangan dengan sanksi pidana.
Kebijakan penal ini sangat berkaitan dengan politik dan hukum pidana. Sedangkan kebijakan
non-penal adalah sarana lain yang di luar pengenaan hukum pidana.
Tentu saja jika hendak mewujudkan tujuan bersama yang tadi telah disebutkan, antara
satu kebijakan dengan kebijakan lainnya harus saling bersinergi. Penanggulangan kasus
kejahatan terhadap anak-anak dan perempuan tidak bisa dilakukan secara parsial. Suatu negara
tidak boleh hanya mengandalkan peningkatan keamanan dari aparat kepolisian. Tidak bisa juga
dengan hanya berfokus pada kampanye yang digembar-gemborkan para aktivis. Namun
memerlukan kebijakan struktural yang adil, misalnya perbaikan upah buruh, pelayanan kesehatan
dan pendidikan yang lebih murah, pembukaan lapangan pekerjaan, pelaksanaan program padat
karya, dan lain-lain yang dapat mengentaskan kemiskinan. Dengan kata lain, pencegahan dan
penanggulangan kejahatan terhadap anak-anak dan perempuan memerlukan program
pembenahan jangka panjang.
F. Kerjasama Internasional dalam Kejahatan Perdagangan Manusia
Kejahatan perdagangan manusia (Human Trafficking) merupakan salah satu bentuk
kejahatan transnasional yang mendapat perhatian besar saat ini. Berbagai kendala yang dihadapi
dalam memberantas kejahatan tersebut menimbulkan keinginan bagi negara untuk bekerjasama
dengan negara lainnya. Salah satu organisasi internasional yang melakukan kerjasama dalam
pemberantasan perdagangan manusia adalah.
1. UNICEF
UNICEF adalah singkatan dari United Nations Emergency Children’s Fund dimana
organisasi internasional yang berada di bawah naungan PBB ini didirikan pada 11 Desember
1946 untuk memberikan bantuan kemanusiaan khususnya kepada anak-anak yang hidup di
negara dunia ketiga atau bekas negara jajahan.
2. AICHR
AICHR atau ASEAN Ingovermental Commision on Human Rights merupakan wujud
komitmen negara-negara anggota ASEAN untuk membentuk ASEAN Human Rights Body
8

sebagaimana dimandatkan dalam Piagam ASEAN untuk memberantas pelanggaran-pelanggaran
HAM terutama kejahatan perdagangan manusia.
3. IPHRC
IPHRC atau Independent Permanent Human Rights Commision merupakan organisasi
yang berada dalam naungan OKI yang berperan penting dalam proses pemberantasan kejahatankejahatan kemanusiaan yang berfokus kepada anak-anak dan perempuan.

9

Daftar Pustaka
1. Barkin, J. Samuel. 2006. International Organization: Theories and Institutions. New
York: Palgrave Macmillan.
2. Berlianto. 2016. Jumlah Tentara Anak-anak ISIS Meningkat. Diakses dari
http://international.sindonews.com/read/1086783/42/jumlah-tentara-anak-anak-isismeningkat-1455893268, pada tanggak 31 Mei 2016, pukul 16:08 WIB.
3. Harkrisnowo, Harkristuti. 2003. Laporan Perdagangan Manusia di Indonesia. Sentra
HAM Universitas Indonesia.
4. Hermawan, Yulius P. 2007. Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor,
Isu dan Metodologi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
5. ILO. 2004. Perdagangan anak untuk pelacuran di Jakarta dan Jawa Barat.
6. ILO. 2004. Perdagangan anak untuk pelacuran di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa
Timur.
7. Muladi & Barda Nawawi Arief. 2007. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung: Alumni.
8. Rudy, T. May. 2009. Administrasi dan Organisasi Internasional. Bandung: PT. Refika
Aditama.
9. Sihite, Romany. 2007. Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan: Suatu Tinjauan
Berwawasan Gender. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
10. Sinaga,
Danny
P.
2010.
Harusnya
Bermain.
Diakses
http://ftp.unpad.ac.id/koran/mediaindonesia/2010-09-07/mediaindonesia_2010-0907_028.pdf, pada tanggal 31 Mei 2016, pukul 16:01 WIB.

dari

11. Sulistyawati, Rr. Laeny. 2016. Polisi Lebanon Bebaskan 75 Anak Perempuan dari
Perdagangan Seks. Diakses dari http://m.republika.co.id/berita/internasional/timurtengah/16/04/01/o4x72c359-polisi-lebanon-bebaskan-75-anak-perempuan-dariperdagangan-seks, pada tanggal 31 Mei 2016, pukul 15:56 WIB.
12. Sunarto, Siswanto. 2005. Wawasan Penegak Hukum di Indonesia. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
13. UNICEF. Lembar Fakta Eksploitasi Seks Komersil dan Perdagangan Anak. Diakses dari
http://www.unicef.org/indonesia/id/Factsheet_CSEC_trafficking_Indonesia_Bahasa_Indo
nesia.pdf, pada tanggal 31 Mei 2016. Pukul 15:52 WIB.
14. Winarno, Budi. 2014. Dinamika Isu-isu Global Kontemporer. CAPS Publishing.
10

Dokumen yang terkait

MANAJEMEN BERITA TELEVISI PADA MEDIA NUSANTARA CITRA (MNC) NEWS CENTER BIRO SURABAYA (Studi Pada Pengelola Berita Lokal di RCTI, TPI, dan Global TV

2 40 2

Konstruksi Media tentang Kontroversi Penerimaan Siswa Baru di Kota Malang (Analisis Framing pada Surat Kabar Radar Malang Periode 30 Juni – 3 Juli 2012)

0 72 56

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS PELAYANAN KESEHATAN DENGAN PEMBENTUKAN CITRA POSITIF RUMAH SAKIT Studi pada Keluarga Pasien Rawat Jalan RSUD Dr. Saiful Anwar Malang tentang Pelayanan Poliklinik

2 56 65

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15

Analisa studi komparatif tentang penerapan traditional costing concept dengan activity based costing : studi kasus pada Rumah Sakit Prikasih

56 889 147

Partisipasi Politik Perempuan : Studi Kasus Bupati Perempuan Dalam Pemerintahan Dalam Kabupaten Karanganyar

3 106 88

Makna Kekerasan Pada Film Jagal (The Act Of Killing) (Analisis Semiotika Roland Barthes pada Film Dokumenter "Jagal (The Act of Killing)" tentang Pembunuhan Anti-PKI pada Tahun 1965-1966, Karya Joshua Oppenheimer)

17 109 98

Rancangan media informasi tentang makanan tradisional Peyeum Bandung

5 77 1

Politik Hukum Pembaharuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Kajian Pasal 74 beserta Penjelasannya)

0 1 22