Menalar Penguatan Partisipasi dalam Penyusunan Kebijakan di Era Pemerintahan Digital | Nugroho | Jurnal Ilmiah Manajemen Publik dan Kebijakan Sosial 2 PB

Menalar penguatan partisipasi dalam penyusunan kebijakan – Hanantyo Sri Nugroho

Menalar Penguatan Partisipasi dalam Penyusunan Kebijakan di Era Pemerintahan
Digital
Hanantyo Sri Nugroho
Program Studi Ilmu Pemerintahan
Fakultas Ekonomi dan Sosial, Universitas AMIKOM Yogyakarta
hanantyosrinugroho@gmail.com

ABSTRAK
Ditengah beragamnya kapasitas pemerintah daerah dalam menyediakan kebijakan
berbasis pada penguatan Information and Communication Technology (ICT), maka kemudian
muncullah dominasi tentang formulasi maupun penyelenggaraan kebijakan yang efektif dan
efisien. Konsekuensi dari dominasi tersebut kemudian mendahulukan dimensi teknokratisadministratif, sedangkan dimensi politik atas ruang partisipasi mulai terpinggirkan. Hal
tersebut diwujudkan dengan model pengambilan kebijakan teknokratis-administratif. Hal ini
tentu membuat kesimpang-siuran paradigma terkait dengan letak dari dimensi teknokratisadministratif maupun dimensi politik dalam kebijakan publik, dimana sebagaimana diketahui
formulasi kebijakan menjadi bagian dari proses politik dan implementasi adalah proses
administrasi. Oleh karena itu, perlu kembali untuk menalar penguatan partisipasi dalam
penyusunan kebijakan publik di era pemerintahan digital. Penelitian ini bersifat kualitatif
menggunakan desk-research. Hasil penelitian menunjukkan dimensi politik atas ruang
partisipasi menjadi instrumen penting dalam penyusunan kebijakan publik di era

pemerintahan digital. Artinya, ruang partisipasi masyarakat tetap menjadi titik tekan yang
perlu diperkuat ditengah adanya tuntutan akan penyelenggaraan kebijakan publik yang efektif
dan efisien dalam era pemerintahan digital yang berbasiskan pada Information and
Communication Technology (ICT).
Kata Kunci : Partisipasi
pemerintahan digital.

masyarakat,

ruang

partisipasi,

kebijakan

publik,

ABSTRACT

Amid the diversity of local government ca pacity to provide policy based on the

strengthening of the Information and Communication Technology (ICT), then later came the
domination of the formulation and implementation of effective and efficient policies. The
consequence of such dominance then put the technocratic-administrative dimension, while
the political dimension of participatory space marginalized. This is manifested by
technocratic-administrative decision-making model. This certainly creates a paradigm
associated with the location of the technocratic-administrative dimension as well as the
political dimension in public policy, where as it is known that the policy formulation becomes
part of the political process and the implementation is the administrative process. Therefore,
need to go back to making sense strengthening public participation in policy making in the
digital era. This is a qualitative study using the desk-research. The results showed the
Jurnal Ilmiah Manajemen Publik dan Kebijakan Sosial - Vol. 1 No. 2 Tahun 2017 I 91

Menalar penguatan partisipasi dalam penyusunan kebijakan – Hanantyo Sri Nugroho

political dimension of participatory space become an important instrument in the
preparation of public policy in the digital era. That is, the space for public participation
remains a pressure point that needs to be strengthened amid their demands for the
implementation of public policies that are effective and efficient in the era of digital
governance based on Information and Communication Technology (ICT).
Keywords: Public participation, participatory space, public policy, digital government.


A. PENDAHALUAN
Urgensi Partisipasi Masyarakat dalam
Formulasi Kebijakan Publik
Tulisan ini hendak memberikan
gambaran
pentingnya
penguatan
partisipasi masyarakat dalam proses
penyusunan kebijakan di era pemerintahan
digital. Permasalahan ini menarik untuk
dikaji
karena
semakin inklusifnya
partisipasi di era digitalisasi, yang
sepertinya tidak disadari. Sangatlah ironis
jika kita ingat bahwa, partisipasi di era
digital tidak hanya dipengaruhi oleh
infrastruktur sarana teknologi informasi,
tetapi

juga
tentang
pembangunan
infrastruktur sosial, yakni penguatan
partisipasi dan pembangunan ruang publik,
sebagai dimensi politik dalam proses
sebuah kebijakan. Penelitian ini bersifat
kualitatif-deskriptif dengan menggunakan
desk-research. Kajian akan dibatasi pada
partisipasi
masyarakat
dan
ruang
partisipasi dalam kebijakan publik di era
pemerintahan digital.
Partisipasi
diperlukan
dalam
proses
suatu

kebijakan
publik.
Sebagaimana proses kebijakan yang
berurusan
dengan
pembangunan
seharusnya didasarkan pada pertimbangan
pemberdayaan masyarakat (Mas’oed,
1994). Hal ini diperlukan karena berbagai
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
dengan melibatkan partisipasi masyarakat,
akan lebih sesuai dengan kepentingan dan

kebutuhan masyarakat tersebut. Selain itu,
dengan pelibatan partisipasi masyarakat
tersebut dapat mendorong masayarakat
untuk mematuhi dan bertanggung jawab
secara sosial terhadap implementasi dari
kebijakan tersebut. Artinya, partisipasi
masyarakat memiliki posisi penting dalam

proses kebijakan publik.
Dalam
beberapa
literatur,
partisipasi menurut Norman merupakan
keikutsertaan seseorang dalam kelompok
yang mendukung tercapainya tujuan yang
ditetapkan (Kaho, 2005). Apabila melihat
hal tersebut, partisipasi dapat bersifat
individu atau kelompok, serta terdapat
suatu tujuan dalam proses partisipasi.
Keikutsertaan partisipasi ini baik secara
langsung maupun tidak langsung dalam
tahap pengambilan keputusan, pembuatan
kebijakan,
perencanaan,
pengimplementasian, pengawasan atau
evaluasi (Alisjahbana, 2004). Hal ini bisa
dilakukan secara sukarela maupun
paksaan. Namun, jika melihat selama ini

bahwa partisipasi masyarakat seringkali
merupakan aktivitas maupun gerakan yang
dimobilisasi. Meskipun demikian, apabila
partisipasi masyarakat dapat didorong dan
dilakukan secara konsisten dan terusmenerus maka dapat
menciptakan
kepatuhan sukarela. Diharapkan dari
tingginya partisipasi masyarakat dapat
mendorong terciptanya iklim yang
kondusif. Terciptanya iklim tersebut yang
kemudian menjadikan partisipasi dapat

92 I Jurnal Ilmiah Manajemen Publik dan Kebijakan Sosial - Vol. 1 No. 2 Tahun 2017

Menalar penguatan partisipasi dalam penyusunan kebijakan – Hanantyo Sri Nugroho

berpengaruh
terhadap
penyusunan
kebijakan, baik secara langsung maupun

tidak langsung.
Dalam
melihat
berbagai
pengertian terkait dengan kebijakan publik
yang ada, maka dapat disimplifikasi
kedalam pengertian bahwa kebijakan
publik adalah segala sesuatu yang
diputuskan dari pemerintah, baik itu yang
dilakukan maupun yang tidak dilakukan.
Oleh karena, kebijakan publik merupakan
denyut nadi pemerintahan. Selain itu,
kebijakan publik adalah kebijakan negara,
disisi lain yang dimaksud negara disini
merupakan pemegang kekuasaan yang sah,
maka kebijakan publik erat kaitannya
dengan tindakan yang dilakukan oleh
pemegang kekuasaan untuk mencapai
tujuan yang sudah dirumuskan maupun
disepakati oleh publik. Pertanyaan yang

kemudian muncul adalah seberapa jauh
kebijakan pemerintah dapat bertaut dengan
kehendak publik
Menurut Harold Laswell terdapat
tiga dimensi yang menjadi basis dalam
anatomi kebijakan (Santoso, 2010), yakni :
1. Dimensi konten yang merupakan
persoalan yang hendak diatasi
2. Proses yang perlu dilakukan untuk
mengatasinya
3. Konteks dimana upaya untuk
mengatasi persoalan itu berlangsung
Dalam proses penyusunan suatu
kebijakan, dimensi konten memengaruhi
proses implementasi karena konten
kebijakan yang dihasilkan melalui
perumusan kebijakan menentukan apa
yang harus di deliver melalui sebuah
kebijakan, perubahan apa yang bakal
muncul sebagai akibat dari kebijakan yang

diimplementasikan, dimana kebijakan
tersebut diimplementasikan dan siapa yang
mengimplementasikan kebijakan tersebut
(Grindle, 1980). Hal ini dikarenakan
konten merupakan isi dari sebuah

kebijakan. Tentunya bukan hanya akibat
dari kebijakan yang diimplementasikan,
dimana
kebijakan
tersebut
diimplementasikan dan siapa yang
mengimplementasikan kebijakan tersebut,
tetapi dimensi konten dari sebuah
kebijakan juga menentukan siapa saja
yang terkena dampak dari kebijakan
tersebut, baik yang terkena manfaat
maupun yang dirugikan. Berikut ini
indikator dimensi konten kebijakan
(Grindle, 1980), yakni :

1. Kepentingan yang dipengaruhi (interest
affected)
Dalam pengimplementasian suatu
kebijakan ke sebuah institusi, maka harus
disadari bahwa di dalam institusi tersebut
telah tercipta situasi yang kompleks
dikarenakan terdapat dan beragamnya
kepentingan. Oleh karena itu, seringkali
sebuah kebijakan akan memunculkan
resistensi apabila berbenturan dengan
kepentingan yang sudah ada. Hal tersebut
kemudian tidak hanya mengancam pada
saat penyusunan kebijakan, namun hal ini
juga
dapat
berpengaruh
terhadap
implementasi dari sebuah kebijakan
tersebut dikarenakan pihak-pihak yang
berkepentingan tidak ingin kepentingan
mereka terancam apabila dilakukannya
pelaksanaan dari kebijakan yang dibuat.
2. Tipe benefit (type of benefits )
Oleh karena terdapat situasi yang
kompleks dikarenakan terdapat dan
beragamnya kepentingan, maka sebuah
kebijakan harus terdapat jenis manfaat
yang menunjukkan dampak positif kepada
pihak-pihak yang berkepentingan maupun
terkena dari proses implementasi sebuah
kebijakan tersebut. Untuk itu, nantinya
program
kebijakan
harus
dapat
memobilisasi lebih banyak tuntutantuntutan sehingga memberikan manfaat
secara kolektif pada tahap implementasi.

Jurnal Ilmiah Manajemen Publik dan Kebijakan Sosial - Vol. 1 No. 2 Tahun 2017 I 93

Menalar penguatan partisipasi dalam penyusunan kebijakan – Hanantyo Sri Nugroho

3. Derajat perubahan yang diinginkan
(extent of change envision )
Derajat
perubahan
yang
diinginkan terkait dengan target perubahan
yang hendak dicapai dari adanya sebuah
kebijakan. Hal ini tentu memerlukan
indikator yang jelas. Selain itu, apabila
konten kebijakan mempunyai target
perubahan yang besar maka akan
mendapat resistensi yang lebih kuat dan
juga memiliki potensi yang lebih besar
untuk gagal.
4. Letak pengambilan keputusan (site of
decision making )
Letak pengambilan keputusan
lebih
menekankan
kepada
letak
pengambilan keputusan dan siapa aktor
kunci yang memengaruhi pengambilan
keputusan.
Hal
ini
dikarenakan
menyangkut masalah konflik, keputusan
dan siapa yang memeroleh apa dari suatu
kebijakan.
5. Implementor program
Dalam
melaksanakan
suatu
kebijakan harus didukung dengan adanya
pelaksana kebijakan yang kompeten dan
kapabel
demi
tercapainya
tujuan
kebijakan, dikarenakan akan ada tarikmenarik kepentingan.
6. Sumber daya yang dialokasikan
Dengan adanya sebuah kebijakan,
maka sebuah kebijakan juga harus
didukung
oleh
sumberdaya
agar
tercapainya tujuan dari kebijakan tersebut.
Dengan demikian, dalam dimensi
konten dapat disimpulkan bahwa dimensi
lebih melihat kepada persoalan yang
hendak diatasi. Titik tekan dari dimensi ini
adalah akibat dari kebijakan yang
diimplementasikan, dimana kebijakan
tersebut diimplementasikan dan siapa yang
mengimplementasikan kebijakan tersebut,
tetapi dimensi konten dari sebuah
kebijakan juga menentukan siapa saja

yang terkena dampak dari kebijakan
tersebut, baik yang terkena manfaat
maupun yang dirugikan. Sedangkan,
dalam kebijakan publik yang orientasi
analisisnya terhadap dimensi proses akan
memberikan perhatian utamanya pada
pelibatan masyarakat sehingga dapat
mengantisipasi berbagai hal yang tidak
sempat dipikirkan oleh pemerintah
(Santoso, 2010). Pelibatan masyarakat
menjadi titik tekan dimensi proses dalam
proses penyusunan kebijakan publik. Hal
ini lebih menekankan dimensi politik,
daripada
teknokratis-administratif.
Artinya, proses ini lebih mengedepankan
partisipasi, emansipasi, dan keterbukaan.
Dalam proses kebijakan publik yang
menitikberatkan
pada
partisipasi
masyarakat, partisipasi dibedakan menjadi
empat jenis (Alisjahbana, 2004), yaitu :
1. Partisipasi
dalam
pengambilan
keputusan
2. Partisipasi dalam pelaksanaan
3. Partisipasi
dalam
pengambilan
pemanfaatan
4. Partisipasi dalam evaluasi
Lebih lanjut, dalam mengkaji
dimensi proses dalam kebijakan publik,
dapat dianalisis dengan dua model, yakni
model top-down dan model bottom-up.
Model top-down tercipta pada saat
terjadi mekanisme penyusunan kebijakan
publik dalam dimensi teknokratisadministratif. Dalam model top-down pada
dimensi teknokratis-administratif, proses
penyusunan kebijakan publik seringkali
dipengaruhi
kepentingan
maupun
kontestasi diantara para elit. Lalu, proses
penyusunan kebijakan publik diproses
oleh birokrasi. Pandangan top-down yang
sebagaimana dikemukakan oleh Sabatier
dan Mazmanian, lebih memperhatikan
hubungan antara keputusan dengan
pencapaian, perumusan dan implementasi

94 I Jurnal Ilmiah Manajemen Publik dan Kebijakan Sosial - Vol. 1 No. 2 Tahun 2017

Menalar penguatan partisipasi dalam penyusunan kebijakan – Hanantyo Sri Nugroho

serta potensi hierarki dengan pembatasan
pengimplementasi untuk mencapai tujuan
legal yang didefenisikan di dalam
kebijakan (Parsons, 2006). Artinya, model
top-down
top-down
pada
dimensi
teknokratis-administratif tersebut yang
kemudian seringkali mengesampingkan
peran penting dari partisipasi masyarakat.
Proses partisipasi masyarakat
seringkali dimaknai dengan proses yang
bersifat formalitas. Partisipasi masyarakat
kemudian hanya sebatas pada pelengkap,
bukan dalam pemberi masukan utama
kepada konten dari sebuah kebijakan. Hal
tersebut dikarenakan sebuah kebijakan
seringkali sudah bersifat “final” atau sudah
lengkap ketika disampaikan pada saat
publik hearing. Sebagaimana, proses
formulasi kebijakan diasumsikan hanya
dilakukan oleh pemerintah sebagai sebuah
agen tunggal yang menyediakan dan
menyiapkan
segala
hal
bagi
masyarakatnya (Santoso, 2010).
Dalam model bottom-up, biasanya
mengedepankan dimensi politik dalam
penyusunan kebijakan publik. Artinya,
peran partisipasi masyarakat dianggap
sebagai agregasi kepentingan. Hal ini tidak
lain sebagai upaya yang ditempuh oleh
warga negara untuk membicarakan,
mengartikulasikan, hingga mewujudkan
kepentingan untuk dapat menjadi bagian
dari konten suatu kebijakan publik.
Adapun kelemahan dari dimensi ini adalah
proses penyusunan kebijakan yang
dirasakan “terlalu lama” maupun dapat
memunculkan konflik dalam rangka
mencari dan mempertahankan agregasi
kepentingan di masing-masing kelompok
yang berkepentingan dalam masyarakat.
Hal ini yang kemudian dikaitkan dengan
siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana
mendapatkannya.
Dalam kajian yang dikemukakan
oleh Parsons, pendekatan bottom-up juga

didasarkan pada signifikansi hubungan
antara aktor-aktor yang terlibat dalam
suatu kebijakan atau problem dengan
pembatasan hierarki formal di dalam
pembuatan kebijakan (Parsons, 2006).
Artinya, titik tekan dalam pendekatan
pendekatan bottom-up tercipta karena
keterbatasan hierarki lembaga formal
dalam pembuatan kebijakan. Namun,
terdapat anomali dalam hubungan tersebut
dikarenakan hubungan antara aktor-aktor
seringkali dipengaruhi oleh patron-client.
Hal ini, tentu membuat pendekatan
bottom-up nantinya tidak ubahnya sama
seperti model top-down .
Lebih lanjut, perspektif bottom-up
menekankan
pada
ketepatan
dan
pedanticism-teknokratis,
lebih
mengandalkan pada inisiatif, pengetahuan,
dan kemampuan belajar dan beradaptasi
dari masyarakat sebagai stakeholders
dalam
mengimplementasikan
suatu
kebijakan (Santoso, 2010). Hal ini tentu
membutuhkan kualitas dari masyarakat,
belum lagi ada transformasi masyarakat
tersebut menjadi citizen dan kolektifitas
diantara masyarakat tersebut. Tentunya,
hal ini membutuhkan usaha dan estimasi
waktu yang lebih besar dalam pembuatan
kebijakan tersebut. Artinya, proses
penyusunan kebijakan yang dirasakan
“terlalu lama” tersebut yang kemudian
kurang disukai oleh briokrasi atau
pemerintah.
Meskipun demikian, dalam model
bottom-up memiliki beberapa kelebihan
dibandingkan dengan hanya berdasar pada
argumentasi proses penyusunan kebijakan
yang dirasakan “terlalu lama”. Pertama ,
masyarakat menjadi objek dari kegagalan
maupun kesuksesan sebuah kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kedu a,
model bottom-up dalam penyusunan
kebijakan publik dengan mengedepankan
partisipasi masyarakat seringkali dapat

Jurnal Ilmiah Manajemen Publik dan Kebijakan Sosial - Vol. 1 No. 2 Tahun 2017 I 95

Menalar penguatan partisipasi dalam penyusunan kebijakan – Hanantyo Sri Nugroho

mengurangi berbagai permasalahan dalam
level implementasi kebijakan. Ketiga ,
model bottom-up dalam penyusunan
kebijakan publik dengan mengedepankan
partisipasi masyarakat dapat sebagai
kekuatan akan kontrol atas berjalannya
suatu pemerintahan. Keempat, dapat
menjadi
penyeimbang
maupun
menjembatani resistensi antara pembuat
kebijakan, para pemangku kebijakan, elit.
Kelima ,
dalam
iklim
demokrasi,
kemampuan partispasi dan keterbukaan
dapat
berpengaruh
atau
memiliki
hubungan linier dengan popularitas kepala
daerah.
Sedangkan pada dimensi konteks
dimana upaya untuk mengatasi persoalan
itu berlangsung, seringkali terkait dengan
formulasi dan legitimasi tujuan kebijakan
maupun program. Tidak seluruh masalah
yang ada dalam daftar agenda akan
diwujudkan dalam kebijakan dan program.
Hal ini dikarenakan sebagian dari itu akan
diformulasikan
dan
dilegitimasikan.
Bagian dari menformulasikan alternatifalternatif tersebut kemudian dipilih satu.
Dari proses tersebut kemudian terjadi
pengembangan
alternatif
berupa
memperoleh informasi, dimana berbagai
individu maupun kelompok menyarankan
berbagai pandangan hingga memunculkan
hasil dari kompromi dan negosiasi, dan
berwujud suatu keputusan. Apabila terjadi
kegagalan dalam proses tersebut, maka
keputusan tidak dapat dibuat. Hal ini
kemudian membutuhkan legitimasi berupa
statemen terkait kebijakan maupun
program. Proses yang terjadi sebagai
upaya untuk mengatasi persoalan yang
sedang berlangsung terkait dengan
dimensi konteks pada sebuah kebijakan.
Dengan demikian, partisipasi
masyarakat memiliki posisi maupun peran
penting dalam formulasi kebijakan publik.
Hal ini terlihat jelas dari apa yang

digambarkan pada uraian yang ada.
Partisipasi masyarakat juga memiliki
ruang tersendiri dalam penyusunan
kebijakan sehingga mau tidak mau harus
diisi oleh masyarakat yang bertransformasi
menjadi citizen . Apabila tidak tercipta
partisipasi masyarakat dalam ruang
tersebut, maka dapat termanfaatkan oleh
elit dan birokrasi pemerintahan sehingga
hal tersebut menyebabkan munculnya
kebijakan
yang
mengesampingkan
kepentingan dan kebutuhan masyarakat,
tidak terciptanya kontrol sosial, dan
penilai evaluasi atas kebijakan tersebut.
Namun demikian, menjadi menarik
kemudian untuk melihat bagaimana
dinamika dari ruang partisipasi masyarakat
itu selama ini. Apakah benar ruang
partipasi masyarakat dapat netral atau
tidak terpengaruh oleh kekuasaan. Lalu,
apa saja faktor penghambat dan
pendukung ruang partisipasi masyarakat
tersebut.
B. PEMBAHASAN
1.
Dinamika
Ruang
Partisipasi
Masyarakat
dalam
Formulasi
Kebijakan Publik
Sebelum melihat dekripsi dari
dinamika ruang partisipasi masyarakat
dalam formulasi kebijakan publik, maka
penting untuk melihat “bangunan” ruang
tersebut. Produksi ruang atau keberadaan
ruang partisipasi masyarakat tidak lepas
dari kontestasi dan konstelasi dari aktoraktor yang ada di dalam ruang itu sendiri.
Ruang partisipasi masyarakat tersebut bisa
didefinisikan dengan ruang publik. Oleh
karena ruang publik itu tidak dapat lepas
dari kontestasi dan konstelasi dari aktoraktor yang ada, maka dialektika yang
terjadi adalah antara negara dan kekuatankekuatan yang saling bertarung dan
berusaha menempatkan dirinya sebagai
“publik”. Kedua kutub tersebut kemudian

96 I Jurnal Ilmiah Manajemen Publik dan Kebijakan Sosial - Vol. 1 No. 2 Tahun 2017

Menalar penguatan partisipasi dalam penyusunan kebijakan – Hanantyo Sri Nugroho

saling menegosiasi, dimana kekuatan
diluar negara berusaha mengatasnamakan
“publik” maupun negara yang berusaha
men-drive kelompok-kelompok yang ada
atau “publik” itu sendiri. Tentunya, proses
tersebut menghasilkan suatu hubungan
yang jelas sebagaimana patron-client,
bahkan hubungan yang bersifat laten.
Konstruksi pemikiran terkait dengan
dinamika ruang publik yang telah
dijelaskan, dimana yang menjadi ruang
partisipasi masyarakat, sedikit banyak
akan disinggung kembali. Oleh karena,
dinamika merupakan proses yang terus
berlangsung maka tetap diperlukan
penjelasan secara deskriptif.
Sebagaimana
yang
telah
dikemukakan, partisipasi masyarakat
dilakukan melalui ruang publik. Ruang
publik dapat diartikan ruang demokrasi
maupun wahana diskursif yang seringkali
digunakan sebagai artikulasi gagasan.
Kehadiran ruang publik tersebut menjadi
diskursus informal tentang refleksi
terhadap problematika yang muncul.
Namun, pembuatan maupun penguatan
ruang publik belum dioptimalkan. Ruang
tersebut tidak menghubungkan, tidak
inklusif, dan juga tidak dapat melepaskan
diri dari kekuasaan. Hal tersebut seringkali
membuat ruang publik tidak dapat menjadi
wadah strategis dalam memperjuangkan
kepentingan secara bersama.
Selain itu, dalam logika pasar,
kebijakan pemerintah dituntut sesuai
dengan logika pasar. Pasar menjadi
elemen kunci dalam membentuk pola pikir
dan pertimbangan peran negara dalam
pelayanan publik, kebijakan publik dan
pembangunan. Artinya, logika pasar
memandang masyarakat bukan lagi secara
kolektif tetapi sebagai individu, dan pasar
menjadi
pengusung
utama
serta
berpengaruh dalam formulasi kebijakan.
Hal
yang
kemudian
menjadikan

masyarakat sebagai individu. Oleh karena
itu, terjadi pergeseran dari “social
citizenship” menjadi “market citizenship”
(Jayasuriya, 2006). Individu dipandang
sebagai kompensasi yang diakibatkan dari
aktivitas pasar. Hal tersebut yang
kemudian juga berpengaruh terhadap
ruang publik, dan partisipasi masyarakat
secara tidak langsung.
Tentunya,
keberadaan
ruang
publik yang tersandera oleh keberadaan
negara dan pasar tersebut tidak membuat
ruang publik sebagai ruang mandiri.
Ketidak-netralan tersebut tidak dapat
membuat setiap warga negara memiliki
akses dalam mengusung opini publik.
Sebagaimana yang telah dijelaskan, hal
tersebut dikarenakan adanya perubahan
paradigma yang dibawa oleh pasar bahwa
masyarakat bukan lagi secara kolektif
tetapi sebagai individu. Padahal opini
publik berperan untuk memengaruhi
perilaku, kepentingan maupun gagasan
kolektif yang ada dalam ruang publik
tersebut. Selain itu, opini publik pada
penggunaan
ruang
publik
dapat
memunculkan rasionalitas diantara para
individu. Sayangnya, perilaku manusia
identik dengan material dan kekuasaan
sehingga seringkali mengubah tujuan. Hal
ini yang seringkali dimanfaatkan oleh
aktor-aktor yang mempunyai kepentingan.
Pada saat para elit merumuskan kebijakan,
maka kebijakan yang dibuat adalah
kebijakan
yang
diusahakan
untuk
mempertahankan kekuasaannya, kebijakan
yang menguntungkan dirinya, hingga
kebijakan
yang
diusahakan
untuk
meminggirkan
partisipasi
publik
(Agustino, 2006). Apa yang menjadi
kepentingan dan kebutuhan masyarakat
serta
kontrol
sosial
kemudian
terpinggirkan.
Diperlukan
outcomes
proses
politik murni dan juga sebagai proses

Jurnal Ilmiah Manajemen Publik dan Kebijakan Sosial - Vol. 1 No. 2 Tahun 2017 I 97

Menalar penguatan partisipasi dalam penyusunan kebijakan – Hanantyo Sri Nugroho

filsafat dalam memahami kebijakan yang
utuh, hal tersebut agar diskursus kebijakan
publik idealnya diarahkan pada upaya
mencari esensi publik interest yang lebih
komunikatif, partisipatif, dan juga
emansipatoris
yang
pada
upaya
formulasinya
membutuhkan
suatu
pendekatan khusus diluar pendekatan
ortodoks-konvensional
sebagaimana
dipakai selama ini (Lele, 1999). Artinya,
perlu adanya transformasi ruang publik
dan partisipasi masyarakat dalam proses
formulasi
kebijakan.
Dikarenakan
diskursus dalam ruang publik terkait
dengan kebijakan publik tidak dapat lagi
diibaratkan secara utuh seperti dalam
model konvensional, dimana kontestasi
yang ada adalah elit-birokrasi-masyarakat
dan bersifat vertikal. Oleh karena,
kontestasi pada ruang publik terjadi secara
horizontal sesama masyarakat yang
berpartisipasi dalam ruang publik tersebut.
Kenyataan kontestasi pada ruang
publik terjadi secara horizontal disebabkan
karena bentukan yang dihasilkan oleh
demokrasi dan model ruang publik liberal.
Hal
ini
yang
kemudian
lantas
memunculkan eksklusif, represi, konflik,
dan peng-kotak-an. Konsekuensi ini yang
kemudian membawa kembali bahwa
kebijakan merupakan domain pemerintah,
dimana pemerintah sebagai agen tunggal
penyedia dan menyiapkan segala hal bagi
masyarakat. Sekali lagi, dikarenakan
pembangunan ruang publik yang masih
rapuh maka memunculkan sikap skeptis
dalam diri masyarakat dan pemerintah
terkait dengan cara pandang akan
kegunaan partisipasi masyarakat.
Meskipun demikian, kebijakan
pembangunan yang berorientasi pada
pembangunan manusia sejatinya dalam
pelaksanaannya mensyaratkan keterlibatan
langsung oleh masyarakat penerima
program pembangunan, dimana dengan

partisipasi masyarakat penerima program
maka hasil pembangunan akan sesuai
dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat
itu sendiri (Alisjahbana, 2004). Selain
karena partisipasi masyarakat memiliki
peran penting dalam formulasi kebijakan,
pelibatan masyarakat sebenarnya juga
dapat
membantu
berjalannya
pemerintahan. Hal ini yang seringkali
belum
dipahami
oleh
pemerintah.
Pemerintah masih beranggapan dia yang
“tahu” apa yang cocok bagi masyarakat.
Oleh karena peran yang negara di dalam
proses pembangunan terlampau besar dan
luas itu, tanpa disadari negara kemudian
seringkali menjadi kurang peka dan
merasa bahwa aparat negara mempunyai
hak untuk membatasi masyarakat memilih
alternatif dalam pembangunan (Suyanto,
1996). Hal itu yang selama ini belum
mudah dipahami oleh pemerintah. Oleh
karena itu, perlu ada tranformasi dalam
diri pemerintah. Pemerintah harus kembali
mereorientasi dan melakukan reformasi
peran negara, untuk itu negara sebaiknya
menjadi katalisator dimana negara harus
banyak menjadi “pendengar” bukan
“pembicara” sehingga wacana yang sering
diungkapkan adalah bahasa masyarakat,
bukan bahasa Negara (Lele, 1999).
Meskipun demikian, terdapat
beberapa ruang publik yang masih dijaga
dan digunakan oleh masyarakat sebagai
ruang partispasi dalam melakukan
agregasi maupun kontrol terhadap
kebijakan pemerintah. Selain itu, dalam
iklim demokrasi dengan pemilihan kepala
dipilih secara langsung, maka ada
semacam upaya dari kepala daerah dalam
membuat dan menjaga ruang publik. Hal
tersebut bertujuan agar popularitas
maupun elektabilitas kepala daerah dapat
terjaga demi kepentingan politik kepala
daerah.

98 I Jurnal Ilmiah Manajemen Publik dan Kebijakan Sosial - Vol. 1 No. 2 Tahun 2017

Menalar penguatan partisipasi dalam penyusunan kebijakan – Hanantyo Sri Nugroho

Keterjagaan
beberapa
ruang
publik oleh masyarakat memberikan
gambaran bahwa ruang publik tersebut
hanyalah bangunan “non-fisik”, meskipun
ada bentuk bangunan secara “fisik”.
Bangunan “non-fisik” disini adalah
bagaimana tiap individu masyarakat dapat
mendiskusikan isu maupun masalah terkait
dengan kepentingan publik, tanpa harus
memiliki tempat khusus maupun psayarat
khusus terkait bentuk dan klasifikasi
bangunan. Di sisi lain, ruang publik yang
berbentuk “fisik bangunan” seringkali
memang secara sengaja disediakan tempat
oleh salah satu individu maupun dari
pemerintah.
Dengan demikian, setidaknya ada
beberapa permasalahan terkait dengan
ruang publik. Pertama , kelembagaan
ruang publik itu sendiri belum tercipta di
tengah masyarakat. Kedua , masyarakat
belum memiliki kesadaran secara sukarela
terkait dengan permasalahan publik.
Ketiga , demokrasi memiliki hubungan erat
dengan konflik, dikarenakan apabila tidak
terbentuk karakter maupun konsensus
secara kolektif maka yang terjadi adalah
konflik yang muncul akibat partikular satu
meniadakan partikular yang lain. Keempat,
terkait dengan representasi keterwakilan
dalam ruang publik untuk menghadirkan
isu atau masalah dalam diskursus, maupun
dalam membawa gagasan atau agregasi
kepentingan.
Namun, perlu dipahami bahwa
dengan adanya era pemerintahan digital
maka yang kemudian menjadi menarik
adalah bagaimana transformasi bentuk dan
ruang partisipasi masyarakat. Hal ini tentu
bertujuan
agar
dapat
mengetahui
perkembangan cara-cara yang digunakan
oleh masyarakat dalam menyampaikan
partisipasi mereka. Oleh karenanya,
penting untuk mengetahui fenomena
transformasi ruang pratisipasi dan bentuk

partisipasi masyarakat
kebijakan publik.

dalam

proses

2. Fenomena Transformasi Ruang
Patisipasi dan Bentuk Partisipasi
Masyarakat
dalam
Formulasi
Kebijakan Publik
Pada perkembangannya, ruang
publik
sebagai
tempat
partisipasi
masyarakat telah mengalami perubahan.
Perubahan tersebut dipengaruhi oleh
perkembangan pengguna, penyedia, dan
teknologi. Ketiga hal tersebut yang
kemudian dapat mendefinisikan kembali
ruang publik, baik secara konten, konteks,
proses, maupun bangunan “ruang publik”
itu sendiri. Pada awalnya, ruang publik di
Indonesia berbentuk seperti warung kopi,
taman, kampung, jalan, pasar. Hal tersebut
seringkali dilakukan secara sukarela oleh
masyarakat, belum ada keterlibatan
pemerintah.
Masyarakat
memperbincangkan tentang kondisi yang
ada.
Belum
adanya
keterlibatan
pemerintahan dikarenakan iklim yang
berkembang di Indonesia pada saat itu
cenderung otoriter, pemerintah sebagai
sentral kebijakan, sehingga mekanisme
yang muncul adalah mekanisme kebijakan
model top-down .
Lebih lanjut, sesuai dengan
perubahan yang terjadi di Indonesia, iklim
demokrasi membawa tuntutan agar
pemerintah
lebih
berperan
dalam
memperkuat partisipasi, emansipasi, dan
keterbukaan. Oleh karena itu, banyak
kemudian penyediaan ruang publik
menjadi bagian dari agenda setting
kebijakan pembangunan di masing-masing
daerah. Muncul tentang penyediaan ruang
terbuka hijau publik, ruang ramah anak,
komunitas-komunitas
sosial,
bahkan
pembangunan ruang-ruang informal dan

Jurnal Ilmiah Manajemen Publik dan Kebijakan Sosial - Vol. 1 No. 2 Tahun 2017 I 99

Menalar penguatan partisipasi dalam penyusunan kebijakan – Hanantyo Sri Nugroho

spontan di perumahan maupun kampung
padat penduduk.
Dalam
era
perkembangan
teknologi informasi yang berkembang
secara pesat, saat ini muncul media sosial
yang dapat memfasilitasi partisipasi
publik. Ruang publik tidak lagi terbatas
hanya pada ruang struktur bangunan.
Artinya, media sosial menjadi salah satu
pilihan alternatif yang dipilih oleh
masyarakat untuk menyampaikan aspirasi
maupun agregasi kepentingan. Meskipun
menjadi salah satu pilihan alternatif, media
sosial kemudian dapat menjadi wadah
ruang publik yang sangat berkontribusi
pada kehidupan nyata, bahkan dalam suatu
proses kebijakan pemerintah.
Media
sosial
bertranformasi
sebagai alat yang memiliki pengaruh yang
besar. Pemanfaatan media sosial terlihat
menguat pada saat munculnya suatu isu
maupun
permasalahan
di
dalam
masyarakat. Selain itu, media sosial juga
dapat menjadi upaya dari peningkatan
transparansi pemerintah. Artinya, media
sosial
menjadi
media
komunikasi
pemerintah kepada masyarakat. Apabila
terjadi
model
bottom-up
dalam
penyusunan kebijakan, maka media sosial
dapat digunakan untuk memengaruhi
kebijakan tertentu.
Survei yang dilakukan oleh
Asosiasi
Penyelenggaraan
Jaringan
Internet
Indonesia
(APJII)
mengungkapkan bahwa
lebih dari
setengah penduduk Indonesia, dimana 132
juta penduduk, kini telah terhubung ke
internet (Widiartanto, 2016). Penggunaan
media sosial berbanding lurus dengan
pertumbuhan
pengguna
internet
(Hasibuan, 2015). Terdapat beberapa
karakteristik yang kurang lebih sama
diantara media sosial dengan ruang publik
yang telah ada sebelumnya, dimana setiap
individu memiliki kesempatan dalam

berpartipasi. Oleh karena media sosial itu
berlangsung terus-menerus dan bersifat
terbuka oleh siapapun, maka proses
partisipasi masyarakat dalam penyusunan
kebijakan berlangsung secara terusmenerus. Proses tersebut tidak hanya
masuk pada proses penyusunan saja, tetapi
juga masuk pada setiap bagian dari proses
kebijakan. Oleh karena, di satu sisi
kebijakan merupakan denyut nadi proses
pemerintahan, di sisi yang lain “aktivitas”
media sosial berlangsung secara terusmenerus dan menuntut keterbukaan.
Problematika yang terdapat dalam
media sosial sebagai ruang partisipasi
masyarakat adalah partisipasi maupun
keterwakilan
“semu”.
Tidak
bisa
dipungkiri, media sosial sebagai ruang
publik yang dapat membawa pengaruh
baik atau buruk. Di satu sisi, media sosial
membentuk “social-citizen”, “jurnalis
citizen”, maupun “publik intelektual”.
Mereka berusaha memberikan opini publik
yang berbasis pada bukti. Di sisi lain,
media sosial juga melahirkan “buzzer”,
dimana seringkali membawa kepentingan
yang tidak sesuai dengan kepentingan dan
kebutuhan masyarakat. Konsekuensi dari
itu adalah seringkali muncul konflik dalam
masyarakat. Hal tersebut tentu diluar dari
tujuan dari ruang publik, dimana mencari
“kebaikan bersama”.
Dengan demikian, ruang publik
sebagai tempat partisipasi masyarakat
telah mengalami perubahan. Perubahan
tersebut dipengaruhi oleh perkembangan
pengguna, penyedia, dan teknologi. Ketiga
hal tersebut yang kemudian dapat
mendefinisikan kembali ruang publik, baik
secara konten, konteks, proses, maupun
bangunan “ruang publik” itu sendiri.
Karakteristik yang ada dalam media sosial
kurang lebih sama dengan ruang publik
yang telah ada sebelumnya, dimana setiap
individu memiliki kesempatan dalam

100 I Jurnal Ilmiah Manajemen Publik dan Kebijakan Sosial - Vol. 1 No. 2 Tahun 2017

Menalar penguatan partisipasi dalam penyusunan kebijakan – Hanantyo Sri Nugroho

berpartipasi. Beberapa perbedaan yang
muncul dari tranformasi tersebut adalah
proses partisipasi masyarakat dalam
penyusunan kebijakan berlangsung secara
terus-menerus dikarenakan ruang publik
melalui media sosial itu berlangsung terusmenerus dan bersifat terbuka oleh
siapapun. Proses tersebut tidak hanya
masuk pada proses penyusunan saja, tetapi
juga masuk pada setiap bagian dari proses
kebijakan.
C. KESIMPULAN
Ditengah beragamnya kapasitas
pemerintah daerah dalam menyediakan
kebijakan berbasis pada penguatan
Information
and
Communication
Technology (ICT), maka kemudian
muncullah dominasi tentang formulasi
maupun penyelenggaraan kebijakan yang
efektif dan efisien. Konsekuensi dari
dominasi
tersebut
kemudian
mendahulukan
dimensi
teknokratisadministratif, sedangkan dimensi politik
atas ruang partisipasi mulai terpinggirkan.
Selain itu, hal tersebut berdasar pada
argumentasi bahwa dimensi politik atas
ruang partisipasi dalam proses sebuah
kebijakan yang dirasakan “terlalu lama”.
Hal ini tentu membuat kesimpang-siuran
paradigma terkait dengan letak dari
dimensi teknokratis-administratif maupun
dimensi politik dalam kebijakan publik,
dimana sebagaimana diketahui formulasi
kebijakan menjadi bagian dari proses
politik dan implementasi adalah proses
administrasi.
Hasil
penelitian
menunjukkan dimensi politik atas ruang
partisipasi menjadi instrumen penting
dalam penyusunan kebijakan publik di era
pemerintahan digital. Artinya, ruang
partisipasi masyarakat tetap menjadi titik
tekan yang perlu diperkuat ditengah
adanya tuntutan akan penyelenggaraan

kebijakan publik yang efektif dan efisien
dalam era pemerintahan digital.
Pentingnya penguatan partisipasi
dalam sebuah kebijakan dikarenakan
partisipasi masyarakat memiliki ruang
tersendiri dalam penyusunan kebijakan,
sehingga mau tidak mau harus diisi oleh
masyarakat yang bertransformasi menjadi
citizen . Apabila tidak tercipta partisipasi
masyarakat dalam ruang tersebut, maka
dapat termanfaatkan oleh elit dan birokrasi
pemerintahan sehingga hal tersebut
menyebabkan munculnya kebijakan yang
mengesampingkan
kepentingan
dan
kebutuhan masyarakat, tidak terciptanya
kontrol sosial, dan penilai evaluasi atas
kebijakan tersebut.
Lebih lanjut, produksi ruang atau
keberadaan ruang partisipasi masyarakat
tidak lepas dari kontestasi dan konstelasi
dari aktor-aktor yang ada di dalam ruang
itu sendiri. Ruang partisipasi masyarakat
tersebut bisa didefinisikan dengan ruang
publik. Oleh karena ruang publik itu tidak
dapat lepas dari kontestasi dan konstelasi
dari aktor-aktor yang ada, maka dialektika
yang terjadi adalah antara negara dan
kekuatan-kekuatan yang saling bertarung
dan berusaha menempatkan dirinya
sebagai “publik”. Kedua kutub tersebut
kemudian saling menegosiasi, dimana
kekuatan
diluar
negara
berusaha
mengatasnamakan
“publik”
maupun
negara
yang
berusaha
men-drive
kelompok-kelompok yang ada atau
“publik” itu sendiri. Tentunya, proses
tersebut menghasilkan suatu hubungan
yang jelas sebagaimana patron-client,
bahkan hubungan yang bersifat laten.
Setidaknya ada beberapa permasalahan
terkait dengan ruang publik. Pertama ,
kelembagaan ruang publik itu sendiri
belum tercipta di tengah masyarakat.
Kedua , masyarakat belum memiliki
kesadaran secara sukarela terkait dengan

Jurnal Ilmiah Manajemen Publik dan Kebijakan Sosial - Vol. 1 No. 2 Tahun 2017 I 101

Menalar penguatan partisipasi dalam penyusunan kebijakan – Hanantyo Sri Nugroho

permasalahan publik. Ketiga , demokrasi
memiliki hubungan erat dengan konflik,
dikarenakan apabila tidak terbentuk
karakter maupun konsensus secara kolektif
maka yang terjadi adalah konflik yang
muncul akibat partikular satu meniadakan
partikular yang lain. Keempat, terkait
dengan representasi keterwakilan dalam
ruang publik untuk menghadirkan isu atau
masalah dalam diskursus, maupun dalam
membawa
gagasan
atau
agregasi
kepentingan.
Dalam memahami perkembangan
ruang publik sebagai tempat partisipasi
masyarakat, ruang publik telah mengalami
perubahan.
Perubahan
tersebut
dipengaruhi
oleh
perkembangan
pengguna, penyedia, dan teknologi. Ketiga
hal tersebut yang kemudian dapat
mendefinisikan kembali ruang publik, baik
secara konten, konteks, proses, maupun
bangunan “ruang publik” itu sendiri.
Karakteristik yang ada dalam media sosial
kurang lebih sama dengan ruang publik
yang telah ada sebelumnya, dimana setiap
individu memiliki kesempatan dalam
berpartipasi. Beberapa perbedaan yang
muncul dari tranformasi tersebut adalah
proses partisipasi masyarakat dalam
penyusunan kebijakan berlangsung secara
terus-menerus dikarenakan ruang publik
melalui media sosial itu berlangsung terusmenerus dan bersifat terbuka oleh
siapapun. Proses tersebut tidak hanya
masuk pada proses penyusunan saja, tetapi
juga masuk pada setiap bagian dari proses
kebijakan.
Dengan demikian, partisipasi
diperlukan dalam proses suatu kebijakan
publik. Hal ini diperlukan karena berbagai
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
dengan melibatkan partisipasi masyarakat,
akan lebih sesuai dengan kepentingan dan
kebutuhan masyarakat tersebut. Selain itu,
dengan pelibatan partisipasi masyarakat

tersebut dapat mendorong masayarakat
untuk mematuhi dan bertanggung jawab
secara sosial terhadap implementasi dari
kebijakan tersebut. Artinya, partisipasi
masyarakat memiliki posisi penting dalam
proses kebijakan publik. Oleh karena itu,
penguatan partisipasi masyarakat dalam
proses penyusunan kebijakan masih
relevan di era pemerintahan digital.

Referensi
Agustino, Leo,
Kebijakan
Alfabeta.
Alisjahbana,
Sektor
Press.

2006, Dasar-Dasar
Publik,
Bandung,

2004, Kebijakan Publik
Informal, Surabaya, ITS

Grindle, Merilee S., 1980, Politics and
Policy Implementation in the Third
World , Princeton University Press.
Hasibuan, Noor Aspasia, 2015, Jumlah
Pengguna Twitter di Indonesia
Akhirnya
Terungkap,
https://www.cnnindonesia.com/tekn
ologi/20150326141025-18542076/jumlah-pengguna-twitter-diindonesia-akhirnya-terungkap,
diakses pada tanggal 15 Januari
2018.
Jayasuriya, Kaniskha, 2006, Statecraft,
Welfare, and the Politics of
Inclusion, New York, Palgrave
Macmillan.
Kaho, Josef Riwu, 2005, Prospek Otonomi
Daerah
di
Negara
Republik
Indonesia, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Lele,

Gabriel, 1999, Postmodernisme
dalam
pengembangan
wacana
formulasi kebijakan , Yogyakarta,

102 I Jurnal Ilmiah Manajemen Publik dan Kebijakan Sosial - Vol. 1 No. 2 Tahun 2017

Menalar penguatan partisipasi dalam penyusunan kebijakan – Hanantyo Sri Nugroho

Jurnal Ilmu Sosial Ilmu Politik
Vol.3 No.2.
Mas’oed, Mochtar, 1994, Politik Birokrasi
dan Pembangunan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Parsons, Wayne, 2006, Publik Policy:
Pengantar Teori dan Praktik
Analisa
Kebijakan ,
Jakarta,
Kencana.
Putra, Fadillah, 2003, Paradigma Kritis
dalam Studi Kebijakan Publik,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Santoso, Purwo, 2010, Analisis Kebijakan
Publik,
PolGov
JPP
UGM,
Yogyakarta.
Suyanto, Bagong, 1996, Kemiskinan dan
Kebijakan
Pembangunan ,
Yogyakarta, Aditya Media.
Widiartanto, Y. H., 2016, 2016, Pengguna
Internet di Indonesia Capai 132 Juta
http://tekno.kompas.com/read/2016/
10/24/15064727/2016.pengguna.int
ernet.di.indonesia.capai.132.juta.,
diakses pada tanggal 15 Januari
2018.

Jurnal Ilmiah Manajemen Publik dan Kebijakan Sosial - Vol. 1 No. 2 Tahun 2017 I 103

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24