Penilaian Kerentanan Bangunan Terhadap B

Prosiding Simposium Nasional Sains Geoinformasi ~ III 2013 ISBN 978-979-98521-4-4

PENILAIAN KERENTANAN BANGUNAN TERHADAP BENCANA
TSUNAMI MELALUI IDENTIFIKASI BENTUK ATAP PADA CITRA
RESOLUSI TINGGI
Totok Wahyu Wibowo, Djati Mardiatno, Sunarto
Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
totokwahyu@geo.ugm.ac.id

ABSTRAK
Pesisir Pacitan merupakan salah satu daerah di Indonesia yang berpotensi terkena bahaya tsunami. Meski
tsunami memiliki tingkat probabilitas yang kecil, namun potensi kerugian yang dapat ditimbulkan tidak sedikit.
Diantara elemen yang berisiko lainnya, bangunan merupakan salah satu aspek yang penting untuk dilindungi,
karena selain memiliki nilai ekonomi bangunan juga berfungsi sebagai tempat tinggal bagi mereka yang selamat
dari bencana. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kerentanan bangunan terhadap bahaya tsunami melalui
upaya pengenalan bentuk atap dari data penginderaan jauh resolusi tinggi. Bangunan memiliki karakteristik
yang akan mempengaruhi kerentanan bangunan terhadap bahaya tertentu. Secara visual dengan menggunakan
data penginderaan jauh, atap merupakan hal pertama yang dapat diidentifikasi dari sebuah bangunan. Hal
tersebut digunakan sebagai asumsi, bahwa bentuk atap bangunan yang sama cenderung akan memiliki tingkat
kerentanan yang sama. Model Papathoma Tsunami Vulnerability Assessment3 (PTVA-3) digunakan untuk
menilai kerentanan bangunan di Kelurahan Ploso, Pacitan. Pemenuhan informasi komponen kerentanan

dilakukan dengan cara mengombinasikan data citra satelit Quickbird dengan data survei lapangan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar bangunan di Kelurahan Ploso memiliki kelas Relative
Vulnerability Index (RVI) sedang, sementara itu Lingkungan Barehan (RW VIII) menjadi daerah dengan tingkat
kerentanan bangunan tertinggi. Namun demikian asumsi awal bahwa bentuk atap bangunan akan sebanding
dengan tingkat kerentanan bangunan tidak terbukti. Hal ini dibuktikan dengan nilai signifikansi hasil
perhitungan analisis variansi satu arah sebesar 0,190 (derajad kepercayaan 95%). Secara umum, kerentanan
bangunan akan berasosiasi dengan kemampuan ekonomi si pemilik. Namun demikian faktor fisik bangunan
seperti jenis material, hidrodinamisai lantai, atau kedalaman fondasi dapat ditambahkan dengan bentuk atap
untuk pengelompokan kerentanan bangunan.
Kata kunci: Kerentanan bangunan, tsunami, PTVA-3, bentuk atap, Pacitan

LATAR BELAKANG
Tsunami merupakan bencana alam yang dapat menimbulkan kerusakan besar, dan sebagian
besar kejadiannya dipicu oleh gempabumi. Tsunami dapat menyebabkan kerugian terhadap
lingkungan pesisir seperti rusaknya properti, struktur bangunan, infrastruktur dan mengakibatkan
gangguan ekonomi dan bisnis (Paphatoma et al., 2003). Eisner (2005) mengemukakan bahwa tsunami
memiliki keunikan dibandingkan bencana lainnya, karena memiliki kemungkinan sangat kecil tetapi
dengan ancaman yang tinggi.
Selama kurun waktu tahun 2000-2010 tercatat beberapa tsunami besar melanda wilayah
Indonesia, diantaranya yaitu Tsunami Aceh, Tsunami Pangandaran dan Tsunami Mentawai. Tsunami

Aceh diawali dengan gempa besar yang tercatat 9,1 Mw, menyebabkan lebih dari 220.000 korban
jiwa. Pada tahun 2006, tsunami menghempas Pangandaran dan menyebabkan kurang lebih 664
korban jiwa. Area sepanjang 200 km di pantai selatan Jawa terdampak oleh tsunami tersebut, namun
kerusakan terparah diderita oleh Kabupaten Ciamis (Reese et al., 2007). Kejadian tsunami ketiga
terjadi di Pulau Mentawai, yang disebabkan oleh gempabumi berskala 7,8 Mw dan mengakibatkan
lebih dari 400 korban jiwa.
Peristiwa-peristiwa tsunami di atas semakin menguatkan bahwa beberapa wilayah di Indonesia
rawan akan gempabumi dan tsunami, salah satunya yaitu bagian selatan Pulau Jawa. Marfai et al.
(2008) menyatakan bahwa hampir seluruh daerah pesisir selatan Provinsi Jawa Tengah termasuk
Cilacap dan Kebumen memiliki risiko tsunami yang tinggi. Meskipun kejadian tsunami di bagian
177

Prosiding Simposium Nasional Sains Geoinformasi ~ III 2013 ISBN 978-979-98521-4-4

selatan Jawa lebih sedikit daripada bagian lain di Indonesia, namun sebagai pulau terpadat di
Indonesia risiko tsunami tidak bisa dikesampingkan (Mardiatno, 2006).
Pada kebanyakan kasus bencana, bangunan menjadi unsur yang paling rentan terhadap
kerusakan. Bangunan bukan saja bernilai ekonomis tetapi juga menjadi tempat tinggal bagi penduduk
yang masih selamat dari kejadian bencana (van Westen et al., 2009). Karakteristik dari bangunan akan
mempengaruhi perilakunya terhadap berbagai macam bencana, misalnya bangunan dengan beton

bertulang akan lebih tahan terhadap bahaya gempabumi daripada bangunan yang tidak memilikinya.
Perbedaan karakteristik bangunan tersebut membentuk suatu fungsi daya tahan bangunan atau dapat
disebut sebagai kerentanan bangunan. Dengan demikian diperlukan adanya suatu upaya untuk
mengetahui persebaran risiko bangunan agar dilakukan langkah persiapan yang tepat dalam
menghadapi bencana.

DAERAH KAJIAN
Penelitian ini memilih Kelurahan Ploso di Kecamatan Pacitan sebagai daerah kajian (Gambar
1). Pacitan merupakan daerah lowland yang terletak di bagian selatan pulau Jawa yang
menjadikannya berpotensi terkena tsunami. Kejadian tsunami besar di dekat Pacitan pernah terjadi
tahun 1994 di Banyuwangi (Rajegwesi). Topografi Pesisir Pacitan juga berpotensi memperbesar
risiko karena berupa teluk yang datar dan adanya konsentrasi permukiman. Menurut pemodelan
tsunami di pesisir Pacitan yang dilakukan oleh Mardiatno (2008) pada skenario gempabumi hipotetik
8,5 Mw sebanyak 16 desa/kelurahan terdampak langsung oleh tsunami.

Gambar 1. Daerah Penelitian (Kelurahan Ploso, Pacitan)

METODE PENELITIAN
Bahan Penelitian
Sebagian data sekunder dibutuhkan untuk menurunkan data primer, sedangkan sebagian lain

digunakan untuk melengkapi basis data elemen yang berisiko. Data geoinformasi utama yang
178

Prosiding Simposium Nasional Sains Geoinformasi ~ III 2013 ISBN 978-979-98521-4-4

digunakan dalam penelitian ini yaitu citra Quickbird daerah Perkotaan Pacitan yang direkam pada 6
September 2006. Sementara itu untuk kebutuhan peta bahaya, digunakan peta inundasi tsunami hasil
penelitian sebelumnya oleh Mardiatno (2008). Peta bahaya yang digunakan tersebut merupakan hasil
pemodelan tsunami di Teluk Pacitan pada skala gempa hipotetik 8,5 Mw.Mengingat bahwa
gempabumi di selatan Pulau Jawa memiliki magnitudo yang tidak terlalu besar, maka peta bahaya
tersebut dipertimbangkan sebagai skenario terburuk (worst case scenario).
Identifikasi Bentuk Atap
Data tapak bangunan akan diekstrak dengan cara interpretasi visual pada citra Quickbird yang
telah terkoreksi geometrik. Pada resolusi spasial 0,6 m, citra Quickbird memiliki ketelitian yang bagus
untuk dasar digitasi tapak bangunan. Pemenuhan data komponen kerentanan dilakukan dengan
mengombinasikan pengolahan data citra dan survei lapangan. Untuk mempermudah kerja lapangan,
bangunan dikelompokkan menurut bentuk atapnya. Pengelompokan tersebut dilakukan berdasarkan
kenampakan atap bangunan pada citra Quickbird.
Atap bangunan di daerah penelitian masih sangat dipengaruhi oleh bentuk atap tradisional
Jawa, yang terdiri dari atap kampung, atap limasan, atap joglo, dan atap masjid. Namun dalam

klasifikasi lebih lanjut dibedakan lagi menurut kompleksitasnya. Umumnya semakin baru bangunan,
maka semakin kompleks bentuknya. Dalam hal ini disusun hipotesis bahwa dalam tipe atap yang
sama akan memiliki karakteristik fisik yang sama, sehingga juga memiliki tingkat kerentanan yang
hampir sama pula. Beberapa informasi untuk membuat kerentanan bangunan dapat diekstrak dari citra
Quickbird, seperti bentuk dan orientasi bangunan serta urutan baris.
Penilaian Kerentanan Bangunan
Model Papathoma Tsunami Vulnerability Assessment 3 (PTVA-3) yang dikembangkan oleh
Dall’Osso et al. (2009) akan digunakan untuk penilaian kerentanan bangunan terhadap tsunami.
PTVA-3 dihitung berdasarkan kerentanan struktural bangunan dan kerentanan bangunan karena
adanya kontak dengan air. Konsep kerentanan bangunan yang diterapkan oleh Dall’Osso et al. (2009)
dalam model PTVA-3 lebih merujuk pada kerentanan bangunan secara keseluruhan dan digunakan
untuk perhitungan risiko secara kuantitatif. Secara ilustratif hubungan diantara istilah-istilah yang
digunakan dalam kerentanan bangunan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Ilustrasi hubungan istilah-istilah kerentanan dalam PTVA-3

Kerentanan struktural disusun atas tiga komponen, yaitu kerentanan bangunan, proteksi dan
eksposur. Kerentanan bangunan merupakan komponen fisik bangunan yang terdiri dari jumlah lantai,
jenis material dan teknik konstruksi, hidrodinamisasi lantai dasar, kedalaman fondasi, bentuk dan
orientasi bangunan, keberadaan objek yang mudah bergerak, dan kondisi pemeliharaan bangunan.

Semua komponen tersebut disatukan dengan sebuah formula, yang disusun berdasarkan data historis
tsunami di berbagai lokasi (Dall’Osso et al., 2009).
Proteksi ialah kondisi-kondisi di luar bangunan yang diharapkan dapat mengurangi dampak
tsunami terhadap bangunan. Dall’Osso et al. (2009) menyusun empat komponen penyusun faktor
proteksi, yaitu jarak bangunan dari garis pantai, keberadaan dinding laut (seawall), hambatan alamiah,
dan keberadaan pagar (bata) di sekitar bangunan. Sementara itu eksposur berkaitan dengan estimasi
inundasi tsunami yang akan mengenai suatu bangunan.
179

Prosiding Simposium Nasional Sains Geoinformasi ~ III 2013 ISBN 978-979-98521-4-4

Kerentanan struktural bangunan hanya memperhitungkan kerusakan akibat gelombang datang
tsunami, padahal kerusakan juga dapat ditimbulkan akibat gelombang balik tsunami. Oleh karena itu
Dall’Osso et al. (2009) menambahkan penilaian bangunan akibat adanya kontak dengan air. Relative
Vulnerability Index (RVI) merupakan hasil formulasi dari kedua hal tersebut. Adapun kontribusi
kerentanan struktural bangunan (SV) dan kerentanan akibat adanya kontak bangunan dengan air
(WV) adalah sebagai berikut:
=

(


)+

(

) ... (1)

HASIL DAN PEMBAHASAN
Bentuk Atap Bangunan
Pada resolusi spasial 0,6 m, citra Quickbird memiliki ketelitian yang bagus untuk dasar digitasi
tapak bangunan. Richards dan Jia (2006) memberikan acuan skala maksimum dari produk foto
udara/citra sebagai fungsi dari ukuran piksel efektif (berdasarkan ukuran piksel yang dapat dicetak 0,1
mm), pada resolusi spasial 0,6 m dapat dihasilkan peta dengan skala maksimum 1:6.000. Secara
visual pengenalan tapak bangunan pada citra Quickbird dapat dilakukan dengan melihat atap
bangunan. Bahkan pengenalan bentuk atap pun dapat dilakukan, dan untuk sebagian bangunan bentuk
atapnya dapat terlihat secara jelas.
Atap bangunan yang dapat dikenali dari citra Quickbird
digunakan sebagai dasar
pengelompokan bangunan. Penentuan kelompok atap bangunan pun didahului dengan survei lapangan
yang bertujuan untuk melihat secara sekilas variasi bentuk atap yang terdapat di Kelurahan Ploso.

Informasi dari survei pendahuluan ini kemudian dikombinasikan dengan kenampakan di citra
Quickbird dan studi literatur (Ronald, 1997), sehingga didapatkan 8 kelompok bentuk atap, yaitu atap
kampung, limasan, kampung modifikasi, limasan modifikasi, masjid, joglo dan limasan patah,
kompleks dan modern, dan perumahan.
Kebanyakan bangunan di Kelurahan Ploso memiliki tipe atap kampung dan limasan, bahkan
jumlah keduanya mencapai 73% dari keseluruhan bangunan. Pada kedua tipe atap tersebut jenis
penggunaan bangunan yang sering dijumpai yaitu sebagai permukiman. Sementara itu untuk tipe atap
kampung modifikasi dan limasan modifikasi memiliki jenis penggunaan bangunan berupa kantor
pemerintahan, sekolah, dan permukiman. Bentuk atap modifikasi yang ditemui antara lain berbentuk
seperti huruf U, L, dan T.
Bentuk atap masjid dapat dengan mudah dikenali, karena umumnya memiliki bentuk persegi
dengan kubah di puncak atapnya. Konstruksi atap masjid sendiri sebenarnya mirip dengan atap joglo,
hanya saja masjid-masjid modern sekarang terkadang sudah tidak menggunakan tiang/saka sebagai
penopang. Oleh karena penggunaannya yang khusus dan mudah dikenali dari citra, maka tipe atap
masjid dibedakan dari tipe atap joglo. Tipe atap joglo sendiri sudah jarang ditemui di Kelurahan
Ploso, hanya ada beberapa saja yang benar-benar berupa rumah joglo. Oleh karena memiliki sketsa
yang sama dengan atap limasan patah, maka kedua bentuk atap tersebut dijadikan satu kelompok.
Bentuk atap lain-lain dan kompleks merupakan kelompok bentuk atap yang memiliki jumlah
sedikit sehingga digabung menjadi satu kelompok. Bentuk atap lain-lain sendiri terdiri dari atap dak
beton, atap seng, dan atap asbes, sementara itu atap kompleks umumnya digunakan oleh rumah

dengan desain modern. Kelompok tipe atap bangunan yang terakhir yaitu atap perumahan, yang
sebenarnya bertipe kampung, namun dibedakan karena mengelompok di satu lokasi saja (Perumnas
Asabri Barehan). Jumlah bangunan per tipe atap beserta contoh kenampakannya di citra Quickbird
dapat dilihat pada Tabel 1.

180

Prosiding Simposium Nasional Sains Geoinformasi ~ III 2013 ISBN 978-979-98521-4-4

Tabel 1. Hasil identifikasi dan pengelompokan bentuk atap
No.

Bentuk Atap

Jumlah

1.

Kampung


713

2.

Limasan

500

3.

Kampung Modifikasi

104

4.

Limasan Modifikasi

72


5.

Masjid

22

6.

Joglo dan Limasan Patah

23

7.

Kompleks dan Modern

79

8.

Perumahan

142

Jumlah Total
1.655
Sumber: Ronald (1997) dan Survei lapangan (2011)

Kenampakan di Citra

Sketsa/Kerangka

-

-

Kerentanan Bangunan Relatif menurut PTVA-3
Kerentanan Struktural Bangunan (SV)
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa tidak ada bangunan yang memiliki kerentanan sangat
rendah (skor SV antara -1 sampai -0,6), dan hanya ada satu bangunan yang memiliki kerentanan
rendah (skor SV antara -0,6 sampai -0,2) yaitu SPBU. Sementara itu sebanyak 26, 1.361 dan 267
masing-masing tergolong sebagai kelas kerentanan sedang, tinggi dan sangat tinggi. Terdapat
beberapa komponen kerentanan yang berperan besar menyebabkan SPBU memiliki kerentanan
rendah, diantaranya material bangunan berupa beton bertulang, hidrodinasmisasi lantai sangat
terbuka, objek bergerak yang sangat sedikit, dan berada pada jarak 1.500 – 2000 m dari garis pantai.
Pada kelas kerentanan bangunan sedang, jumlah lantai menjadi komponen kerentanan yang paling
berpengaruh, dimana 26 bangunan tersebut memiliki jumlah lantai lebih dari 1.
Jika dibagi berdasarkan lingkungan/RW, maka Lingkungan Temon (RW II), Barehan (RW
VIII) dan Krajan Kidul (RW V) berturut-turut terdapat banyak bangunan dengan kelas kerentanan
bangunan sangat tinggi. Hampir semua bangunan dalam kelas sangat tinggi tersebut ternyata memiliki
bentuk dan orientasi yang buruk. Walaupun memiliki kontribusi yang sedikit, ternyata dalam kasus di
Kelurahan Ploso ini bentuk dan orientasi dapat mempengaruhi kerentanan bangunan menjadi sangat
tinggi. Sebanyak 82 % bangunan memiliki kerentanan bangunan tinggi, hal ini disebabkan oleh
karena interaksi antar komponen kerentanan. Namun demikian diperlukan kajian lebih lanjut untuk
mengetahui faktor manakah yang paling berpengaruh dalam menentukan tingkat kerentanan bangunan
tinggi tersebut.
Kerentanan Karena Adanya Kontak Bangunan dengan Air (WV)
Perhitungan kerentanan akibat adanya kontak bangunan dengan air dilakukan dengan
menggunakan bahaya tsunami, karena sangat diperlukan untuk memprediksikan berapa jumlah lantai
181

Prosiding Simposium Nasional Sains Geoinformasi ~ III 2013 ISBN 978-979-98521-4-4

dari suatu bangunan yang akan terendam. Nilai kerentanan WV sendiri berkisar antara 0 hingga 1,
dalam hal ini 0 menunjukkan tidak ada lantai yang terendam tsunami, sedangkan 1 menunjukkan
semua lantai terendam tsunami. Oleh karena itu jumlah lantai bangunan juga berpengaruh terhadap
perhitungan ini, karena pada dasarnya Dall’Osso et al. (2009) memang merancang WV untuk
mengakomodasi dampak tsunami walau hanya terkena airnya saja (tidak rusak).
Terdapat satu bangunan yang termasuk ke dalam kelas kerentanan WV rendah, pada model
bahaya tsunami 8,5 Mw. Bangunan tersebut adalah bangunan berlantai 3 yang terletak di Lingkungan
Ngampel (RW VII). Sementara itu, hanya terdapat 16 bangunan dengan kelas kerentanan WV sangat
rendah. Semua bangunan tersebut terletak di Lingkungan Temon (RW III) dan tidak terkena dampak
tsunami pada model bahaya tsunami 8,5 Mw. Sebanyak 65 bangunan yang termasuk pada kelas
kerentanan WV sedang tersebar di beberapa lingkungan dan dapat dipastikan adalah bangunan
bertingkat 2. Satu hal lagi yang perlu dicermati adalah tidak ada satu pun bangunan yang memiliki
kelas kerentanan WV tinggi.
Indeks Kerentanan Relatif Bangunan (RVI)
Nilai kerentanan SV dan WV yang telah dihitung sebelumnya kemudian disatukan membentuk
satu kesatuan nilai kerentanan bangunan yang disebut sebagai Indeks Kerentanan Relatif (RVI).
Dalam perhitungannya digunakan persamaan (1), dalam hal ini kerentanan SV merupakan bagian
yang lebih dominan daripada kerentanan WV. Peta indeks kerentanan relatif bangunan di Kelurahan
Ploso dapat dilihat pada Gambar 3.
Perhitungan indeks kerentanan relatif (RVI) bangunan di Kelurahan Ploso menunjukkan bahwa
sebagian besar bangunan memiliki kelas kerentanan sedang. Lokasi bangunan tersebut tersebar pada
delapan lingkungan yang terdapat di Kelurahan Ploso. Diantara semua lingkungan, Barehan (RW
VIII) merupakan lingkungan yang memiliki tingkat kerentanan tertinggi. Dari 246 bangunan di
Lingkungan Barehan, sebanyak 239 memiliki tingkat kerentanan tinggi dan sangat tinggi. Barehan
memang terletak di dekat Teluk Pacitan, jarak antara garis pantai dengan permukiman kurang lebih
600 m. Jika dilihat pada Gambar 3, arah hadap dinding utama (orientasi) menjadi pembeda antara
bangunan dengan kelas kerentanan tinggi (warna jingga) dan kelas kerentanan bangunan sangat tinggi
(warna merah) di Barehan. Sementara itu pada kelas sedang (warna kuning) menunjukkan bangunan
yang memiliki dua lantai.
Lingkungan Blumbang (RW I) memiliki kerentanan bangunan yang paling rendah. Hanya
terdapat 90 bangunan di Blumbang yang termasuk kelas kerentanan sedang. Blumbang memang
terletak agak jauh dari garis pantai, dengan jarak kurang lebih 2,5 km. Secara umum bangunan yang
memiliki kelas kerentanan sangat rendah memilki lantai lebih dari satu dan terletak 1,5 km (atau
lebih) dari garis pantai. Material bangunan kurang memberikan variasi kerentanan di Kelurahan Ploso
karena sebagaian besar bangunan dibangun dengan material bata satu.
Perhitungan kelas RVI pada Tabel 2 disajikan per kelompok bentuk atap bangunan. Hal ini
dimaksudkan untuk menguji apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok atap satu
dengan kelompok atap yang lain. Uji statistik yang digunakan untuk menghitung nilai signifikansi
antar kelompok bentuk atap bangunan ini adalah analisis variansi satu arah (one-way anova). Hasil
perhitungan statistik menunjukkan bahwa nilai signifikansi hasil perhitungan adalah sebesar 0,190,
dengan derajad kepercayaan yang digunakan adalah 95%. Dalam hal ini nilai signifikansi tersebut
lebih besar dari 0,05, oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa pengelompokan RVI bangunan
berdasarkan bentuk atap tidak memberikan pengaruh yang signifikan untuk pembedaan kerentanan
bangunan.

182

Prosiding Simposium Nasional Sains Geoinformasi ~ III 2013 ISBN 978-979-98521-4-4

Gambar 3. Kerentanan relatif bangunan di Kelurahan Ploso

183

Prosiding Simposium Nasional Sains Geoinformasi ~ III 2013 ISBN 978-979-98521-4-4

Tabel 2. Rekapitulasi indeks kerentanan relatif (RVI) menurut bentuk atap
Kelas RVI
Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
1.
AK
20
152
499
29
13
2.
AL
9
94
360
27
10
3.
AKM
3
26
71
2
2
4.
ALM
2
25
36
8
1
5.
AM
0
4
16
2
0
6.
AJP
0
7
16
0
0
7.
ALK
5
20
44
5
5
8.
AP
0
0
4
82
56
JUMLAH
39
328
1.046
155
87
Keterangan Kode: AK = Atap Kampung, AL = Atap Limasan, AKM = Atap Kampung Modifikasi, ALM =
Atap Limasan Modifikasi, AM = Atap Masjid, AJP = Atap Joglo/Limasan Patah, ALK = Atap Lainlain/Kompleks, dan AP = Atap Perumahan.
Sumber: Pengolahan data, 2012

No.

Kode

Jika dilihat menurut kondisi perawatan maka sesungguhnya kerentanan bangunan lebih terkait
dengan kemampuan ekonomi pemilik bangunan tersebut. Semakin tinggi tingkat ekonominya, maka
semakin rendah tingkat kerentanan bangunannya. Dengan kekuatan ekonomi yang berlebih tentunya
pemilik dapat dengan leluasa memilih bahan bangunan terbaik dan dibangun pada lahan yang
terlindung, atau rekayasa lain yang dapat mengurangi kerentanan bangunan. Bahkan untuk kelompok
atap bangunan yang sama, tetapi jika kemampuan ekonomi pemiliknya berbeda maka berbeda pula
tingkat kerentanannya. Pengelompokan bangunan berdasarkan bentuk atap dapat ditujukan untuk
mempermudah teknis pengambilan sampel di lapangan,karena merupakan hal yang paling mudah
dikenali dari citra satelit resolusi tinggi. Dalam hal generalisasi komponen kerentanan pun, kelompok
bangunan tersebut lebih bersifat membantu dan tidak memiliki pengaruh yang dominan.

KESIMPULAN
Secara umum pada model bahaya tsunami dengan gempa hipotetik 8,5 Mw, bangunan di
Kelurahan Ploso memiliki kerentanan sedang, sehingga diperlukan upaya untuk mengurangi
kerentanan bangunan. Diantara semua lingkungan di Kelurahan Ploso, ternyata Lingkungan Barehan
(RW VIII) merupakan daerah yang memiliki kerentanan bangunan sangat tinggi. Jika dilihat dari
komponen kerentanan, letak bangunan (dekat pantai), jumlah lantai (satu), dan arah hadap dinding
utama (tegak lurus terhadap arah tsunami), merupakan komponen yang paling mempengaruhi
tingginya kerentanan bangunan di Lingkungan Barehan.
Sementara itu jika dilihat kerentanan secara keseluruhan kondisi pemeliharaan bangunan adalah
komponen kerentanan yang berpengaruh pada kerentanan bangunan di Kelurahan Ploso.
Pemeliharaan bangunan erat kaitannya dengan kemampuan ekonomi pemilik rumah. Semakin tinggi
kemampuan ekonomi, maka semakin baik pula tingkat pemeliharaan bangunannya. Bahkan mampu
meningkatkan faktor proteksi dengan cara menanam hambatan alamiah atau membangun tembok di
sekeliling bangunan. Sementara itu pengenalan bentuk atap sejauh ini tidak menunjukkan korelasi
positif dengan tingkat kerentanan bangunan, namun demikian sangat baik untuk pengelompokan awal
bangunan secara cepat, karena dapat dilakukan dengan menggunakan citra satelit resolusi tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Dall’Osso, F., Gonella, M., Gabbianelli, G., Withycombe, G., dan Dominey-Howes, D., 2009, A Revised
(PTVA) Model for Assessing the Vulnerability of Buildings to Tsunami Damage, Natural Hazards Earth
System Science, Vol. 9, hal. 1557-1565.
Eisner, Richard K., 2005, Planning for tsunami: reducing future losses through mitigation, Natural Hazards,
Vol. 35, hal.155-162.
Marfai, Aris et al., 2008, Natural hazards in Central Java Province, Indonesia: an overview, Environmental
Geology, Vol. 56, hal. 335–351.

184

Prosiding Simposium Nasional Sains Geoinformasi ~ III 2013 ISBN 978-979-98521-4-4

Mardiatno, Djati, 2006, Risiko Tsunami di Pantai Selatan Jawa: Belajar dari kejadian tsunami di Banyuwangi
pada tahun 1994 dan di Pangandaran pada tahun 2006, Jurnal Kebencanaan Indonesia, hal. 23-27.
Mardiatno, Djati, 2008, Tsunami Risk Assessment Using Scenario-Based Approach, Geomorphological Analysis
and Geographic Information System: A Case Study in South Coastal Areas of Java Island-Indonesia,
Disertasi, Faculty of Geo-and Atmospheric Sciences. University of Innsbruck, Innsbruck, 249hlm.
Papathoma, M., Dominey-Howes, D., Zong, Y., dan Smith, D., 2003, Assessing tsunami vulnerability, an
example from Herakleio, Crete, Natural Hazards and Earth System Sciences, Vol. 3, hal. 377–389.
Reese, S., Cousins, W.J., Power, W.L., Palmer, N.G., Tejakusuma, I.G. dan Nugrahadi, S., 2007, Tsunami
vulnerability of buildings and people in South Java – field observations after the July 2006 Java tsunami,
Natural Hazards Earth System Science, Vol. 7, hal. 573-589.
Richards, J.A., dan Jia, X., 2006, Remote Sensing Digital Image Analysis: An Introduction (4th Edition), Berlin,
Springer-Verlag.
Ronald, A., 1997, Ciri-ciri Karya Budaya di Balik Tabir Keagungan Rumah Jawa, Yogyakarta, Penerbitan
Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Van Westen, C., Kingma, N., dan Montoya, L., 2009, Multi Hazard Risk Assessment, Educational Guide Book
Session 4: Elements at Risk, diedit oleh Cees van Westen, ITC, Enschede, The Netherlands.

185

Dokumen yang terkait

Analisis Konsep Peningkatan Standar Mutu Technovation Terhadap Kemampuan Bersaing UD. Kayfa Interior Funiture Jember.

2 215 9

Efek Pemberian Ekstrak Daun Pepaya Muda (Carica papaya) Terhadap Jumlah Sel Makrofag Pada Gingiva Tikus Wistar Yang Diinduksi Porphyromonas gingivalis

10 64 5

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Pengaruh Atribut Produk dan Kepercayaan Konsumen Terhadap Niat Beli Konsumen Asuransi Syariah PT.Asuransi Takaful Umum Di Kota Cilegon

6 98 0

Pengaruh Proce To Book Value,Likuiditas Saham dan Inflasi Terhadap Return Saham syariah Pada Jakarta Islamic Index Periode 2010-2014

7 68 100

Analisis Pengaruh Lnflasi, Nilai Tukar Rupiah, Suku Bunga Sbi, Dan Harga Emas Terhadap Ting Kat Pengembalian (Return) Saham Sektor Industri Barang Konsumsi Pada Bei

14 85 113

Strategi Public Relations Pegadaian Syariah Cabang Ciputat Raya Dalam Membangun Kepuasan Layanan Terhadap Konsumen

7 149 96

Analisis Pengaruh Faktor Yang Melekat Pada Tax Payer (Wajib Pajak) Terhadap Keberhasilan Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan

10 58 124

Pengaruh Dukungan Venezuela Kepada Fuerzas Armadas Revolucionaries De Colombia (FARC) Terhadap Hubungan Bilateral Venezuela-Kolombia

5 236 136

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157