Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Relasi Negara dan Masyarakat di Rote D 902007003 BAB IX

Bab Sembilan

Kesimpulan
Rote adalah pulau kecil yang memiliki luas 1.281,10 Km2
dengan kondisi keterbatasan ruang dan sumberdaya. Sumberdayasumberdaya ini tersedia secara terbatas sehingga menjadi rebutan antar
masyarakat di Rote. Ketika melakoni upaya merebut sumberdaya ini
masyarakat Rote selalu mengelompok berdasarkan Nusak karena
signifikan meningkatkan posisi tawar. Nusak adalah satuan adat
genealogis yang mempunyai klaim teritorial. Pernah diakui hingga 19
buah Nusak dan dipakai sebagai bentuk pemerintahan formal pada
jaman kolonial hingga kemerdekaan terus dipakai dan baru dibubarkan
pada Tahun 1962.
Sampai saat sekarang masih banyak yang menganggap
sentimen berdasarkan teritorial Nusak ini telah berakhir seiring
dengan dibubarkannya pemerintahan formal berdasarkan Nusak pada
Tahun 1962. Kenyataannya tidaklah demikian karena identifikasi
warga berdasarkan Nusak masih sangat kuat. Buktinya jika kita melihat
pola menawarkan jasa angkutan di Rote, mereka selalu menawarkan
tujuan angkutan dengan memakai nama Nusak atau ibukota Nusak
bukan berdasarkan nama kecamatan. Artinya masih banyak
masyarakat Rote yang menganggap bahwa batas Nusak adalah batas

kekuasaan, bukan batas administratif pemerintahan belaka seperti
berdasarkan kecamatan sekarang ini.
Bagi masyarakat Rote, Nusak adalah negara! Struktur
pemerintahan Nusak sebagaimana yang telah penulis kemukakan di
depan terdiri dari tiga fungsi utama yaitu eksekutif, legislatif dan
yudikatif 144, karena itu Nusak di Rote dapat digolongkan sebagai
sebuah Negara-Etnik (Ethnic State). Nusak sudah ada di Rote jauh
sebelum teori dan diskursus tentang Negara di rumuskan oleh Thomas
144

Lihat Gambar 3.2., 3.3.,8.1., dan 8.4.

191

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

Hobbes (1588-1679); John Locke (1632-1704); J.J. Rosseau (1712-1778),
artinya masyarakat Rote telah lama mengenal Nusak sebagai sebuah
negara dan sistem otonomi daerah jauh sebelum pembentukan bangsa
Indonesia (1926-1928) dan pembentukan negara Indonesia (1945).

Harus disadari bahwa Negara merupakan buah dari gerakan
kebangsaan. Karena itu, bentuk negara (Indonesia) harus disimetriskan
dengan konstruksi bangsa. Persatuan sebagai bentuk “bangsa-bangsa”
sesungguhnya sudah ditegaskan dalam M ukadimah Undang-Undang
Dasar 1945, sedangkan Kesatuan sebagai bentuk negara disebut dalam
Bab 1/Pasal 1/Ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Karena
itu-lah Indonesia sudah saatnya dilihat sebagai sebuah “Negara BangsaBangsa” (Nations State) karena Indonesia merupakan Negara yang
terdiri dari multibangsa, multibahasa, multiagama, polietnis, dan
pluralsuku. M enurut hemat penulis, Indonesia saat ini tidak lagi
relevan bila masih dilihat sebagai sebuah “Negara-Bangsa” (Nation
State). Pernyataan ini berangkat dari refleksi empiris relasi Nusak dan
masyarakat Rote yang telah penulis kemukakan di depan.

Civil Society di Rote
Terlepas dari pemaknaan civil society sebagai masyarakat sipil
atau masyarakat warga yang menyiratkan adanya kelompok aktif,
bebas, dan sukarela yang melakukan counter balance terhadap negara
ataupun memaknainya sebagai masyarakat madani yang menyiratkan
complement terhadap negara, civil society masih menjadi tema yang
relevan untuk diteliti dan dianalisis terutama civil society pada aras

lokal di Indonesia khususnya di Kawasan Timur Indonesia.
Civil society pada umumnya diungkapan dengan nuansa yang
berbeda, namun beberapa kaidah yang muncul kepermukaan adalah
civil society merupakan perluasan dari konsep demokrasi dan
partisipasi yang berkaitan dengan aktivitas negara; civil society juga
adalah arena publik yang bersifat kritis tempat negara dan individu
atau negara dan organisasi dapat bertemu secara bebas dan aman. Civil
192

Kesimpulan

Society juga mempersyaratkan sejumlah ketentuan, sebagai berikut,
yaitu (a) civil society selain mempersyaratkan penegakan hukum,
perbaikan sistem pemerintahan dan sistem politik juga harus disertai
dengan tindakan nyata dalam perbaikan ekonomi yang langsung
dirasakan oleh rakyat atau perbaikan dan pengakuan terhadap
organisasi politik yang dialami oleh rakyat; civil society bukanlah
sekadar wacana melainkan sebuah aksi nyata; (b) civil society baru
dapat berhasil kalau ada suatu common platform terutama menyangkut
pluralisme dan inklusivitas; dengan cara ini, kalaupun kenyataan

politik menunjukkan adanya dominasi kelompok tertentu terhadap
public sphere maka dominasi tersebut harus bersifat inklusif dan
menghormati kelompok lain. Dengan kata lain, common platform
harus diakui secara sungguh-sungguh. Untuk itu pendidikan politik
rakyat, pengembangan kelembagaan demokrasi, partisipasi, persamaan
dan keadilan merupakan prasyarat yang harus dipenuhi.
Pertanyaannya selanjutnya yang dapat diajukan terkait dengan
uraian pada bab ini adalah “Apakah syarat untuk mencapai civil society
hanya dengan non violence (tanpa kekerasan)?” hasil studi
sebagaimana telah dikemukakan secara rinci pada bab-bab empiris
(Bab 4-7)145 di atas sesungguhnya menunjukkan bahwa civil society
juga dapat dicapai dengan violence (menggunakan kekerasan).
Civil Society di Rote memberi warna tersendiri dalam
pemaknaan civil society di mana untuk mewujudkan civil society juga
dapat menggunakan kekerasan (violence) dalam menyalurkan aspirasinya
terhadap negara dengan tujuan akhir adanya perubahan kebijakan
terhadap kehidupan sosial politik, sosial ekonomi maupun sosial budaya.
Kekerasan digunakan karena beberapa alasan yaitu, pertama, adanya
kekuatan jarak (power of distance) antara negara dan masyarakat 146.
Meskipun kehadiran otonomi daerah bertujuan untuk mendekatkan

pelayanan kepada masyarakat, tetapi berbagai jenis jarak antara pemberi
pelayanan (negara) dan masyarakat selaku penerima pelayanan publik
145
146

Lihat juga Tabel 7.1. tentang Perkembangan Civil Society di Rote
Lihat Davis (1999)

193

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

masih seringkali terjadi, dan jarak tersebut tentu menghalangi idealisme
kualitas program pembangunan, pada saat negara “tidak mendengar”
maka pilihannya adalah masyarakat Rote menggunakan kekerasan dalam
menyampaikan aspirasinya.
Kedua, menyatunya masyarakat Rote dengan sistem
pemerintahan Nusak karena keberadaan Nusak dipandang sebagai
pelindung nilai-nilai sosial dan kultural yang berkembang dalam
masyarakat termasuk melindungi sumber daya alam (hutan, mata air,

padang pengembalaan untuk hewan) sebagai bagian dari communal
property masyarakat Rote. Kehadiran negara yang kemudian
mengalihkan communal property ke private property (lihat gambar 8.2
dan 8.3) menjadi alasan mengapa kekerasan digunakan oleh masyarakat
Rote dalam menyampaikan aspirasinya pada negara. Ketiga, negara telah
gagal dalam mewujudkan civil society yang lebih seimbang dan
konstruktif bagi pembangunan berkelanjutan baik pada aras nasional
maupun pada aras lokal (provinsi, kabupaten, kota).
Civil Society di Rote berbeda dengan perkembangan teori dan
analisis diskursus civil society yang selalu menegaskan bahwa civil society
menjadi dasar atau tempat berpijak bagi munculnya wacana yang rasional
yang mempunyai potensi untuk mempertanyakan pertanggungjawaban
negara secara lebih beradab. Kenyataan di atas juga berbeda dengan hasil
penelitian yang pernah dilakukan oleh Chandoke (1995); SchulteNordholt (1999); Suwondo (2004,2005); dan W iloso, (2009) yang
berakhir dengan kesimpulan yang sama bahwa perwujudan civil society
menyiratkan adanya gerakan tanpa kekerasan (non violence).

M enjawab Tantangan Pembangunan
Perkembangan gerakan civil society di Indonesia dalam beberapa
tahun belakangan ini selalu diwarnai dengan aksi anarkis dan tindakan

represif yang dilakukan oleh negara (pemerintah) tidak hanya dalam
ranah politik tetapi juga dalam ranah ekonomi. Indonesia sebagai negara
yang memiliki masyarakat dengan berbagai latar belakang suku, agama,
194

Kesimpulan

bahasa, dan adat istiadat yang sesungguhnya harus dipandang sebagai
sebuah kekayaan/kearifan lokal yang dimiliki oleh Indonesia, karena itu
menurut hemat penulis sudah saatnya negara (pemerintah) menggunakan
semangat otonomi daerah dengan mengembangkan manajemen pluralis
dan implementasinya dalam program-program pembangunan yang
menyentuh seluruh bidang kehidupan masyarakat.
Hasil studi dengan menggunakan konsep-konsep lokal seperti ini
dapat dijadikan sebagai rujukan bagi pemerintah (khususnya Pemerintah
Kabupaten Rote Ndao dan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur)
dalam merumuskan program-program kebijakan pembangunan di mana
hadirnya otonomi daerah melalui UU Nomor 32 Tahun 2004
sesungguhnya memberikan peluang bagi pemerintah untuk menghidupkan kembali pranata-pranata sosial yang pernah ada di Rote. Dari
pengalaman selama penelitian di lapangan, ada stereotype yang dibangun

antar warga Nusak. Menggambarkan bahwa antara warga Nusak di Rote
sendiri cenderung untuk tidak bersatu, mereka merasa lebih aman bila
kembali untuk membangun basis di tengah-tengah Nusak sendiri.
Sehingga apapun kebijakan pembangunan yang ditempuh oleh
Pemerintah Kabupaten Rote Ndao harus memperhitungkan realitas sosial
ini. Sebuah realitas sosial yang mengenal faksionalitas sosial hingga
sembilan belas buah.
Fakta lain yang juga tidak bisa dibantah adalah warga dari
kesembilan belas faksionalitas sosial yang dikenal dengan Nusak atau
mungkin ada cara penyebutan lain menurut antropologi, misalnya sub
etnis di mana isinya persekutuan klan berdasarkan kesamaan genealogis
dengan klaim teritorial selalu menganggap mereka mempunyai hak yang
sama. Mereka merasa bahwa wilayah mereka pernah sebagai sebuah
pemerintahan “berdaulat” yang harus sama dihargai di mana pun. Jika
ditarik ke level negara, upaya pembagian sumberdaya seperti alokasi
kebijakan proyek pembangunan, alokasi penempatan jabatan struktural
dan jabatan fungsional dalam birokrasi akan terlihat tidak adil jika tidak
memperhatikan perimbangan berdasarkan sembilan belas Nusak. Hal lain
yang perlu diperhatikan saat sekarang adalah di mana Manek (Raja) tidak
195


Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

lagi mempunyai “gigi”, maka Maneleo (kepala suku tidak berteritorial)
menjadi “sasaran tembak” para elit politik di Rote terutama oleh mereka
yang ingin menjadi Bupati. Kesetiaan masyarakat terhadap Maneleo
masih sangat kuat dan karena itu keberadaan Maneleo telah diformalkan
oleh pemerintah Kabupaten Rote Ndao sebagai mitra pemerintah dalam
mensukseskan program pembangunan.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa realitas kehidupan
orang Rote sehari-hari terikat dalam hubungan-hubungan kekerabatan
yang sudah menyatu (embedded) dengan Nusak. Hubungan tersebut
bukan baru terjadi sekarang, tetapi merupakan warisan leluhur sejak
dahulu kala, yang saat ini diwujudkan dalam berbagai aktivitas
pembangunan yang dilakukan secara bersama sebagai mekanisme untuk
mempertegas kembali hubungan yang ada diantara mereka di dalam
Nusak maupun antar Nusak.

Catatan Untuk Penelitian Lanjutan
Hasil penelitian terdahulu tentang civil society pada aras lokal di

Indonesia selalu dilandasi dengan adanya potensi untuk mempertanyakan
pertanggungjawaban negara dengan cara yang beradab dan santun (non
violence). Perkembangan civil society di Rote menunjukkan hal yang
berbeda di mana perwujudan civil society yang dibangun sangat dekat
dengan violence (menggunakan kekerasan). Oleh sebab itu maka
sebaiknya penelitian perkembangan civil society pada aras lokal juga
melihat gerakan civil society yang selalu menggunakan kekerasan dalam
menyampaikan aspirasinya pada negara (pemerintah).
Penelitian tentang civil society pada aras lokal perlu dilakukan
dan dikembangkan di wilayah-wilayah lain di luar Jawa terutama di
Kawasan Timur Indonesia yang wilayahnya mempunyai variasi suku,
agama, golongan, bahasa, strata sosial (termasuk ekonomi) serta kondisi
alam yang jauh lebih beragam dibanding Jawa.
Topik menarik lainnya tentang Rote yang perlu diungkap terkait
dengan perkembangan civil society antara lain adalah Penetrasi Negara di
196

Kesimpulan

mana negara (pada aras lokal bisa perangkat pemerintahan RT/RW ,

Desa/Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten maupun institusi seperti TNI
dan Polri) yang jauh lebih mandiri dan cenderung ekspansionis atau
penetratif terhadap masyarakat. Serta topik-topik lainnya yang dianggap
relevan terkait dengan perkembangan civil society di Rote.

197