TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP KEABSAHAN TANDATANGAN DALAM AKTA YANG DIBUATNYA.

(1)

LAPORAN PENELITIAN

DANA PRODI MAGISTER KENOTARIATAN

TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP KEABSAHAN TANDATANGAN DALAM AKTA YANG DIBUATNYA

TIM PENELITI

1. DR. I GUSTI KETUT ARIAWAN, SH. MH (KETUA) 2. I GUSTI AGUNG AYU DIKE WIDHIYAASTUTI, SH. MH

3. I GUSTI BAGUS ANGGARA PARAMARTA, SH/149241016 (MAHASISWA)

4. NIKETUT AYU MAS DIRMAYUNTI, SH/1492461030 (MAHASISWA)

DIBIAYAI DARI SP DIPA KENOTARIATAN – 042..04.2.400107/2015 DENGAN SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN PENELITIAN

NOMOR : TANGGAL :

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN UNIVERSITAS UDAYANA


(2)

HALAMAN PENGESAHAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

1. Judul Penelitian : Tanggung Jawab Notaris Terhadap Keabsahan Tanda Tangan Dalam Akta Yang Dibuatnya

2. Bidang Ilmu : Kenotariatan

3. Ketua Peneliti :

a. Nama lengkap dengan gelar : Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH. MH b. NIP : 1919570709 198610 1 001/0009075702 c. Pangkat/Golongan : Lektor Kepala/IVa

d. Jabatan Fungsional/Struktural : Pembina

e. Pengalaman Penelitian : (terlampir dalam CV) f. Program Studi/Jurusan : Ilmu Hukum/Hukum Pidana

g. Fakultas : Fakultas Hukum

h. Alamat Rumah : Jalan Kertha Petasikan IX No. 8 Sidakarya Denpasar

i. E-mail : ariawanigk@yahoo.com

4. Jumlah Tim Peneliti : 4 (empat) orang

5. Lokasi Penelitian : LKBH FH Unud dan Kantor Notaris 6. Jangka waktu penelitian : 1 (satu) tahun

7. Biaya Penelitian : Rp. 12.500.000,00 (duabelas juta rupiah)

Denpasar, 30 September 2015

Mengetahui, Ketua Peneliti,

Ketua Prodi Magister Kenotariatan

(Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH. MHum) (Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH. MH) NIP. 19640402 198911 2 001 NIP. 19570709 198610 1 001

Mengetahui Dekan Fakultas Hukum

Universitas Udayana

(Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH. MH) NIP. 19530401 198003 1 004


(3)

iii

iii ABSTRACT

The research purposes to find the synchronization of facts and rules in order to size up the notary responsibility to the signature legality in notary deed. Signature is very significant in legal documents such as notary deed. Signature can be a sign that someone approval to a things. In facts there is found signature forgery including signature forgery in notary deed. The main problems shown is about notary responsibility to the signature legality in their deed then can be notary ask for a criminal responsibility and if can what kind of sanction can be punish to the notary for illegal signature in their deed.

This research use normative juridical research methods which is not ignore the empirical aspects. Therefore the research method will combine norm and empirical (socio legal research). The approaches will uses is history approaches, concept approach, case approach and rules approaches.

The main result and discuss in this research is to find the notary responsibility boundaries to the signature legality in notary deed until find the main reason to submit criminal responsibility and punish by criminal sanction. Facts found that notary have a absolute responsibility to their deed particular to all aspects in the deed including the formal aspect such as signature. This absolute responsible give when the workmanship process of the deed and signature which performed legally and follow the UUJN rules.

The research conclusion is the notary has a responsibility to the workmanship process of the deed as performed legally and follow the UUJN rules. If found signature forgery, notary and the injure party shall prove their postulate. If notary proven culpability doing a signature forgery, notary bears a criminal responsibility and will punish with criminal sanction due to KUHP rules Article 263 maximum 6 (six) years under prison.


(4)

iv

iv ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan sinkronisasi antara kenyataan dengan undang-undang dalam menilai tanggung jawab notaris terhadap keabsahan tanda tangan dalam akta yang dibuatnya. Tanda tangan memiliki arti penting dalam surat. Tanda tangan bisa menjadi isyarat atau tanda bahwa seseorang menyetujui sesuatu. Dalam faktanya sering dijumpai adanya pemalsuan tanda tangan termasuk tanda tangan dalam akta yang dibuat oleh seorang notaris. Permasalahan yang timbul adalah berkaitan dengan bagaimana tanggung jawab notaris terhadap keabsahan tanda tangan dalam akta yang dibuatnya lalu dapatkah notaris dipertanggungjawabkan secara pidana dan jika dapat sanksi apa yang dapat diberikan kepada seorang notaris terkait ketidakabsahan tanda tangan dalam aktanya.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normative dengan tidak melepaskan aspek empiris. Dengan demikian metode penelitian ini nantinya akan mengkombinasikan antara norma dan empiris (socio legal research). Pendekatan yang digunakan antara lain pendekatan sejarah, pendekatan konsep, pendekatan kasus dan pendekatan undang-undang.

Hasil dan pembahasan dalam penelitian ini berfokus pada penemuan batasan tanggungjawab notaris terhadap keabsahan tanda tangan dalam akta yang dibuatnya sehingga ditemukan dasar untuk mengajukan pertanggungjawaban notaris secara pidana untuk kemudian dijatuhkan sanksi pidana. Ditemukan fakta bahwa notaris bertanggungjawab mutlak terhadap segala aspek dalam akta yang dibuatnya termasuk aspek formal yang berkaitan dengan tanda tangan. Tanggungjawab mutlak ini diberikan jika proses pembuatan akta dan penandatangan telah dilakukan berdasarkan prosedur yang ditetapkan UUJN.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa notaris bertanggungjawab terhadap proses pembuatan akta sepanjang telah mengikuti prosedur pembuatan akta dalam UUJN. Jika kemudian dijumpai adanya tanda tangan yang palsu maka notaris dan pihak yang dirugikan harus sama-sama dapat membuktikan dalilnya masing-masing. Jika ternyata notaris telah terbukti melakukan kesalahan memalsu tanda tangan para penghadapnya maka ia dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana dan dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan ketentuan KUHP Pasal 263 yaitu maksimum pidana penjara 6 (enam) tahun.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas berkat dan rahmat-NYA maka kami dapat menyelesaikan Laporan Penelitian dengan judul “Tanggung Jawab Notaris Terhadap Keabsahan Tanda Tangan Dalam Akta Yang Dibuatnya”.

Pengambilan judul ini dilatarbelakangi oleh adanya kasus di lapangan yang berkaitan dengan persoalan tanda tangan yang dipalsukan yang menyeret notaris ke hadapan hukum untuk mempertanggungjawabkan keabsahan tanda tangan tersebut.

Penelitian ini tidak akan ada tanpa adanya informasi bantuan Hibah Penelitian yang diluncurkan oleh Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Udayana. Oleh karenanya kami ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas kesempatan berpartisipasi kepada Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Udayana khususnya kepada Ibu Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH.MHum dan Tim TPPM Magister Kenotariatan.

Akhir kata, Laporan Penelitian ini masih sangat jauh dari sempurna karenanya besar harapan kami akan adanya kritik dan saran yang membangun bagi pengembangan pengetahuan dan keilmuan peneliti.

Denpasar, 30 September 2015


(6)

iii DAFTAR ISI

JUDUL ………..……… i

LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN ……… ii

ABSTRACT ………. iii

KATA PENGANTAR ………. iv

DAFTAR ISI ………. . v

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. LATAR BELAKANG ………. 2

B. RUMUSAN MASALAH ……….. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………. 4

A. SEJARAH KENOTARIATAN DI INDONESIA ………. 4

B. ARTI DAN PRINSIP PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA DAN PIDANA ……….. . 9

C. PERAN DAN KEWENANGAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA ………. 13

D. MACAM-MACAM AKTA NOTARIS ……….. 17

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ……….. 20

A. TUJUAN PENELITIAN ………. 20

B. MANFAAT PENELITIAN ………. 20

BAB IV METODE PENELITIAN ………. 21

A. JENIS PENELITIAN ………... 21

B. SPESIFIKASI PENELITIAN ………. 21

C. LOKASI PENELITIAN ………... 22

D. SUMBER BAHAN HUKUM ……….. 22

E. TEKNIK PENGUMPULAN BAHAN HUKUM ……….. 23

F. TEKNIK PENGOLAHAN DAN ANALISA DATA ……… 23


(7)

iv A. TANGGUNGJAWAB NOTARIS TERHADAP KEABSAHAN

TANDA TANGAN DALAM AKTA YANG DIBUATNYA …….. 24

B. PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS TERHADAP KETIDAKABSAHAN TANDA TANGAN DALAM AKTA YANG DIBUATNYA ……… 30

C. SANKSI BAGI NOTARIS DALAM KAITANNYA DENGAN KETIDAKABSAHAN TANDA TANGAN DALAM AKTA YANG DIBUATNYA ………. 33

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ……… 37

A. SIMPULAN ……… 37

B. SARAN ……… 38 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

a. Justifikasi Anggaran Penelitian b. Biodata Peneliti


(8)

4

3. Sanksi apa yang dapat dijatuhkan pada notaris terkait ketidakabsahan


(9)

2 yang membuat akta dibawah tangan tersebut. Jadi jika para pihak mengakuinya atau tidak menyangkal maka akta dibawah tangan tersebut dapat dikatakan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.

Akta otentik yang dibuat dihadapan notaris umumnya berisi pernyataan dari para pihak, dibuat atas kehendak atau permintaan para pihak dan notaris membuatnya dalam bentuk yang sudah ditentukan menurut undang-undang. Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian secara lahiriah, secara formal dan materiel. Diantara ketiga kekuatan pembuktian tersebut yang paling sering dipermasalahkan adalah yang berkaitan dengan aspek formal sebuah akta khususnya mengenai kepastian hari, tanggal, bulan dan tahun serta pukul/jam menghadap para pihak; para pihak yang menghadap; tanda tangan yang menghadap; salinan akta yang tidak sesuai dengan minuta akta; salinan akta ada tanpa dibuat minuta akta; minuta akta tidak ditanda tangani secara lengkap namun minuta akta dikeluarkan.

Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa salah satu hal penting dalam akta otentik yang dibuat notaris yang dapat menimbulkan permasalahan adalah berkaitan dengan tanda tangan. Hal ini dapat dimaklumi mengingat tanda tangan memiliki arti yang amat penting dalam surat. Adanya tanda tangan ini mengisyaratkan banyak hal seperti menyepakati, menyetujui, telah menerima dan lain-lain. Tanda tangan bisa menjadi suatu tanda keterwakilan atas keberadaan seseorang. Dalam konteks ini tanda tangan memiliki arti legalisasi terhadap isi daripada surat baik yang dibuat sendiri atau diperuntukkan bagi orang lain. Tanda tangan mengandung kebenaran atas sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.


(10)

3 Keabsahan suatu tanda tangan dalam akta dapat diragukan kebenarannya. Dalam beberapa peristiwa hukum banyak dijumpai adanya pemalsuan tanda tangan dalam akta otentik. Seringkali notaris selaku pejabat pembuat akta otentik turut dipermasalahkan. Dengan kata lain secara awam, notaris dianggap turut serta dalam proses pemalsuan tanda tangan dalam akta otentiknya. Kondisi ini tentunya akan menempatkan notaris dalam posisi yang kurang menguntungkan sebab secara hukum, notaris hanya seorang pejabat yang membuat akta otentik berdasarkan fakta-fakta yang diuraikan para pihak yang datang menghadap kepadanya.

Uraian latar belakang tersebut menarik untuk dikaji secara lebih lanjut mengenai tanggung jawab notaris terhadap keabsahan tanda tangan yang terdapat dalam akta yang dibuatnya. Oleh karena itu penelitian ini akan dilakukan untuk menemukan jawaban terkait tanggung jawab notaris terhadap keabsahan tanda tangan yang ada dalam aktanya. Tanggung jawab notaris ini nantinya akan berkaitan dengan dapat tidaknya ia dipertanggungjawabkan secara hukum pidana.

B.RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka dapat dijumpai beberapa permasalahan antara lain :

1. Bagaimanakah tanggung jawab notaris terhadap keabsahan tanda tangan yang terdapat dalam akta yang dibuatnya?

2. Apakah seorang notaris dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas ketidakabsahan tanda tangan dalam akta yang dibuatnya?


(11)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Akta merupakan produk hukum yang memiliki peranan penting dalam proses pembuktian dalam suatu perkara perdata maupun pidana. Hal ini dikarenakan akta termasuk sebagai alat bukti tulisan yang dapat memberikan jaminan kepastian akan hak dan kewajiban seseorang. Akta juga mengandung pernyataan-pernyataan yang memberikan petunjuk akan suatu keadaan yang terjadi. Akta merupakan wujud entitas kehendak dari pada orang-orang yang terlibat sebagai para pihak.

Akta umumnya dapat dibuat oleh seorang pejabat publik yang diberi wewenang untuk itu seperti notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), pejabat lelang dan pegawai Catatan Sipil. Akta yang dibuat dihadapan pejabat publik yang diberi wewenang untuk itu disebut dengan akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Selain akta otentik dikenal pula istilah akta dibawah tangan yang dibuat dalam bentuk yang tidak ditentukan oleh undang-undang dan tidak dilakukan di hadapan pejabat publik yang diberikan wewenang untuk membuat akta. Perbedaan yang penting antara kedua akta ini adalah terletak dalam nilai pembuktian yang dimilikinya. Sebagaimana telah disebutkan akta otentik yang dibuat oleh pejabat publik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Oleh karena kesempurnaannya itu maka akta otentik sebagai alat bukti harus dilihat dengan apa adanya dan tidak perlu ditafsirkan lagi. Akta dibawah tangan kekuatan pembuktiannya terletak pada adanya pengakuan dari para pihak


(12)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.SEJARAH KENOTARIATAN DI INDONESIA

Notaris merupakan lembaga yang memiliki arti penting dalam tata kehidupan masyarakat. Notaris merupakan lembaga yang berperan untuk menulis dan mencatat serta mensahkan perjanjian, akta, dan peristiwa-peristiwa hukum yang dilakukan oleh masyarakat. Dengan demikian dapat dipahami bahwa baik notaris maupun masyarakat memiliki hubungan simbiosis mutualisme (butuh membutuhkan).

Lembaga Notaris yang berkembang saat ini memiliki sejarahnya sendiri. Meskipun sejarah Lembaga Notaris pun masih diperdebatkan oleh para ahli namun dapat diterima bahwa lembaga notaris berawal pertama kalinya di Mesir. Hal ini dibuktikan dengan adanya temuan sejarah kertas papyrus yang digunakan dalam hal administrasi negara di zaman Firaun (Pharaos). Namun tidak pula dapat dipungkiri bahwa keberadaan notaris di dunia merupakan hasil pewarisan dari sistem hukum Roma yang mempengaruhi negara-negara Eropa Kontinental yang menganut sistem Civil Law. Tidak hanya mempengaruhi negara-negara penganut Civil Law System ternyata keberadaan notaris dari sistem hukum Roma juga turut mempengaruhi negara-negara penganut Common Law System. Contohnya adalah Inggris yang pada mulanya tidak mengenal keberadaan notaris kini mulai memberi ruang pada lembaga Public Notary dengan mengeluarkan Public Notary Act 1843.


(13)

6 Lembaga notaris di Indonesia sendiri mulai berkembang pada era penjajahan terutamanya ketika VOC masuk ke Indonesia. Saat itu Gubernur VOC Jan Pieterszoon Coen memandang perlu untuk mengangkat seorang notaris atau Notarium Publicum untuk kepentingan masyarakat dan para pedagang di era itu.

Tahun 1620, Melchior Kerchem seorang Sekretaris College van Schepenen

(Urusan Perkapalan Kota Jacatra) ditunjuk dan diberikan tugas rangkap sebagai seorang notaris yang berkedudukan di Jakarta. Tugas Melchior Kerchem saat itu

antara lain melayani dan melakukan semua surat libel atau smaadschriff, surat

wasiat di bawah tangan atau codicil, akta perjanjian perdagangan, perjanjian

kawin, surat wasiat atau testament serta akta-akta lainnya. Di tahun 1625, berdasarkan Instruksi Untuk Para Notaris yang dikeluarkan pada tanggal 16 Juni 1625 jabatan notaris pun mulai dipisahkan dari Sekretaris College van Schepenen.

Tahun 1822, pemerintah Belanda mengeluarkan Stb.1822 No. 11 atau Instructie voorde Notarissen Residerende in Nederlands Indie yang isinya mengatur secara hukum tentang batas-batas dan wewenang dari seorang notaris dan juga menegaskan tugas notaris untuk membuat akta-akta dan kontrak-kontrak dengan maksud untuk memberikan kepadanya kekuatan dan pengesahan, menetapkan dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli atau minutanya dan

mengeluarkan grossenya, demikian juga memberikan salinannya.1 Pada tahun

1860 Pemerintah Hindia Belanda memandang perlu untuk membuat

1

Soegondo Notodisoerjo dalam Habib Adjie, 2014, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 4


(14)

7 peraturan yang baru mengenai jabatan notaris di Nederlands Indie untuk disesuaikan dengan peraturan-peraturan mengenai jabatan notaris yang berlaku di

Belanda.2 Untuk itu di Indonesia kemudian berlaku Reglement op Het Notaris

Ambt in Nederlands Indie (Stb 1860: 3) sebagai pengganti Instructie voor de

Notarissen Residerende in Nederlands Indie.

Ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945, jabatan notaris tetap diakui

berdasarkan pada Pasal II Ketentuan Peralihan UUD 1945. Reglement op Het

Notaris Ambt in Nederlands Indie tetap diberlakukan dan kewenangan untuk mengangkat notaris berada di tangan Menteri Kehakiman. Tahun 1949 ketika terjadi penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda ke pemerintah Indonesia memberi dampak pada keberadaan notaris yang tidak berkewarganegaraan Indonesia. Notaris-notaris tersebut harus meninggalkan Indonesia sehingga terjadi kekosongan notaris di Indonesia. Untuk mengisi kekosongan tersebut, Menteri Kehakiman pun menetapkan dan mengangkat Wakil Notaris untuk menjalankan tugas jabatan notaris dan menerima protocol yang berasal dari notaris yang berkewarganegaraan Belanda.

Pada tanggal 13 November 1954 Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara. Pasal 2 ayat (1) undang-undang tersebut, menegaskan bahwa dalam hal notaris tidak ada, Menteri Kehakiman dapat menunjuk seorang yang diwajibkan menjalankan pekerjaan-pekerjaan notaris. Mereka yang ditunjuk dengan kewajiban seperti tersebut dalam pasal ini disebut sebagai wakil notaris

2 Ibid.


(15)

8 (Pasal 1 huruf c dan Pasal 8 Undang-Unang Nomor 33 Tahun 1954), selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (2) disebutkan, sambil menunggu ketetapan dari Menteri Kehakiman, Ketua Pengadilan Negeri dapat menunjuk seorang untuk sementara diwajibkan menjalankan pekerjaan-pkerjaan notaris. Mereka yang ditunjuk

dengan kewajiban seperti tersebut dalam pasal ini disebut sebagai Wakil Notaris

Sementara (Pasal 1 huruf d Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954), sedangkan yang disebut Notaris adalah mereka yang diangkat berdasarkan ketentuan Pasal 2

ayat (1) Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stb. 1860: 3) –

(Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954).3

Pada tahun 2004 dengan dikeluarkannya UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris maka beberapa ketentuan antara lain :

1. Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stb. 1860: 3)

sebagaimana diubah dalam LN 1954 Nomor 10;

2. Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;

3. UU No. 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris

Sementara;

4. Pasal 54 UU No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 2 tahun 1986

tentang Peradilan Umum;

5. Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji Jabatan

Notaris

Pun dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Dengan adanya UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris maka dapat dikatakan jika di Indonesia telah

3


(16)

9 terlaksana pembaharuan terhadap sistem hukum kenotariatan yang melahirkan adanya unifikasi hukum kenotariatan yang akan berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terakhir di tahun 2014 Undang-Undang Tentang Jabatan Notaris kembali diubah dengan mengeluarkan UU No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.

Demikian sekilas tentang sejarah kenotariatan di Indonesia yang digambarkan sejak jaman VOC hingga Indonesia merdeka di tahun 1945 dan kemudian secara independen memiliki undang-undang tersendiri sebagai bukti adanya pengakuan terhadap profesi/jabatan notaris di Indonesia.

B.ARTI DAN PRINSIP PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA

PERDATA DAN ACARA PIDANA

1. ARTI DAN PRINSIP PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA

PERDATA

Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat menginginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil untuk membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan ditolak.

Menurut Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, di dalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta


(17)

10

tidak boleh berat sebelah.4 Terkait dengan ini menurut keduanya, ada beberapa hal

dalam pembuktian yang tidak harus dibuktikan ialah berupa hal-hal atau keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai. Hal yang disebut terakhir ini

dalam hukum acara perdata disebut fakta notoir.5

A Pitlo mengatakan bahwa tidak termasuk dalam “notoire feiten” itu peristiwa-peristiwa yang secara kebetulan diketahui oleh hakim yang bersangkutan, atau ia menyakininya ketika terjadi atau hakim yang bersangkutan

mempunyai keahlian perihal suatu kejadian/keadaaan.6 Dengan demikian dapat

dipahami bahwa dalam soal pembuktian khususnya mengenai hubungan hukum diperlukan adanya dalil-dalil yang dapat menjadi dasar gugatan atau dalil-dalil yang dapat dipergunakan untuk menyanggah tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan. Dengan kata lain, pembuktian dalam hukum acara perdata cukup berdasarkan kebenaran formil yang ditunjang dengan berbagai dalil yang menguatkan.

Adapun yang dapat menjadi alat bukti dalam hukum acara perdata adalah :

1. Bukti surat

2. Bukti saksi

3. Persangkaan

4. Pengakuan

5. Sumpahan

4

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1989, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Penerbit Mandar Maju, Bandung, hal. 51

5 Ibid. 6


(18)

11 Dalam proses perdata, bukti tulisan atau bukti surat merupakan bukti yang penting dan utama. Bukti surat dapat diminta untuk diserahkan kepada hakim oleh para pihak yang berselisih. Tujuan penyerahan bukti surat kepada hakim adalah untuk memeriksa apakah ada alasan untuk menyangkal keabsahan dari surat-surat tersebut. Dengan demikian hakim akan memiliki keyakinannya sendiri terhadap kebenaran dalil yang ada. Apabila ada sangkalan dari salah satu pihak yang berselisih berkaitan dengan bukti surat yang diajukan maka hakim harus melakukan pemeriksaan lebih khusus terhadap hal tersebut. Jika ada sangkaan yang beralasan seperti misalnya surat yang diserahkan kepada hakim adalah palsu atau dipalsukan oleh orang yang masih hidup maka bukti surat tersebut akan dikirimkan kepada jaksa penuntut umum untuk dilaksanakan pemeriksaaan dan penuntutan sebagaimana mestinya. Jika hal ini terjadi dalam proses perkara perdata maka implikasinya adalah dilakukan penangguhan pemeriksaan dalam perkara perdata sampai ada putusan terhadap perkara pidananya. Terkait dengan hal inilah biasanya permasalahan mengenai tanda tangan atau cap jempol sering muncul.

2. ARTI DAN PRINSIP PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA

PIDANA

Berbeda dengan pembuktian dalam hukum acara pidana yang lebih mengedepankan kebenaran materiil. Hakim dalam memeriksa perkara pidana dalam sidang pengadilan senantiasa berusaha untuk membuktikan :

a. Apakah betul suatu peristiwa itu telah terjadi;


(19)

12

c. Apakah sebab-sebabnya peristiwa itu terjadi; dan

d. Siapakah orangnya yang telah bersalah berbuat peristiwa itu?7

Oleh karena itu dalam hukum acara pidana terdapat suatu azas yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP yang menentukan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya, dua alat bukti yang syah yang ia peroleh keyakinan bahwa satu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Terkait dengan alat bukti dalam hukum pidana diketahui ada beberapa alat bukti yang ditetapkan dalam Pasal 184 KUHAP yaitu :

a. Keterangan saksi

b. Keterangan ahli

c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa.

Khusus yang berkaitan dengan penelitian ini mengenai surat maka yang dimaksud dengan alat bukti surat dalam hukum acara pidana, yaitu yang dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah :

1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat

umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang

7

R. Soesilo, 1982, Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP Bagi Penegak Hukum), Politeia, Bogor, hal. 109


(20)

13 dialami sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

2. Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang

dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan

keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;

4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari

alat pembuktian yang lain.8

C.PERAN DAN KEWENANGAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN

AKTA

Jabatan notaris ada karena dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan dengan tujuan untuk memberikan pelayanan, bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan adanya alat bukti tertulis yang bersifat otentik berkaitan dengan keadaan ataupun peristiwa-peristiwa hukum. Adanya dasar seperti ini seyogyanya bisa memberikan semangat kepada para notaris yang diangkat untuk mempunyai semangat melayani masyarakat yang membutuhkan dan masyarakat yang menggunakan jasa notaris bersangkutan seyogyanya pula memberikan honor (fee) pembayaran.

8


(21)

14 Terkait dengan hal itu, dapat dipahami bahwa jabatan notaris merupakan suatu Jabatan (Publik) yang memiliki beberapa karakteristik, yaitu:

a. Sebagai Jabatan

b. Notaris mempunyai kewenangan tertentu

c. Diangkat dan diberhentian oleh pemerintah

d. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya

e. Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat.

Dengan adanya karakteristik demikian maka jelaslah bahwa notaris adalah jabatan yang diberikan negara untuk melaksanakan kewenangan tertentu dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Pasal 1 angka 1 UUJN menyebutkan bahwa notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksudkan dalam UUJN. Pejabat umum yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UUJN harus dibaca sebagai pejabat publik yang berwenang untuk membuat akta otentik (Pasal 15 ayat (1) UUJN) yang kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJN dan untuk melayani kepentingan masyarakat. Dalam konteks ini, Herry Susanto menerangkan notaris sebagai pejabat publik, dalam pengertiannya mempunyai kewenangan dengan pengecualian. Dengan mengkategorikan notaris sebagai pejabat publik dalam hal

ini publik yang bermakna hukum, bukan publik sebagai khalayak umum.9

9

Herry Susanto, 2010, Peranan Notaris Dalam Menciptakan Kepatutan Dalam Kontrak, Penerbit FH UII Press, Yogyakarta, hal. 38


(22)

15 Selanjutnya diterangkan kembali, notaris sebagai pejabat publik tidak berarti sama dengan pejabat publik dalam bidang pemerintahan yang dikategorikan

sebagai badan atau pejabat tata usaha negara.10 Hal ini dapat dibedakan dari

produk yang dihasilkan notaris dengan produk yang dihasilkan pejabat tata usaha negara. Jelas dalam hal ini notaris sebagai pejabat publik menghasilkan produk hukum yang disebut dengan akta otentik.

Akta tidak memenuhi syarat sebagai keputusan tata usaha negara yang bersifat konkret, individual, dan final serta tidak menimbulkan akibat hukum perdata bagi seseorang atau badan hukum perdata, karena akta merupakan formulasi keinginan atau kehendak para pihak yang dituangkan di dalam akta yang dibuat dihadapan atau oleh notaris itu sendiri. Sengketa

yang timbul akan di proses di pengadilan negeri.11

Pejabat publik dalam bidang pemerintahan menghasilkan produk yang disebut dengan surat keputusan ata ketetapan yang terkait dalam ketentuan hukum administrasi negara yang memenuhi syarat sebagai penetapan tertulis yang bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi setiap orang dan badan hukum perdata. Sengketanya pun akan diselesaikan melalui proses peradilan tata usaha negara.

Notaris sebagai pejabat publik dikatakan memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1), (2) dan (3) UUJN.

Menurut Pasal 15 ayat (1) UUJN, notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dari penetapan yang diharuskan oleh

peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang

10

Ibid. 11


(23)

16 berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang yang ditetapkan oleh undang-undang.

Selain wewenang membuat akta, UUJN juga memberikan wewenang lain kepada notaris sebagaimana tertuang dalam Pasal 15 ayat (2) UUJN yaitu :

1. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat

dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

2. Membuktikan surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku

khusus;

3. Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang

memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

4. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;

5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;

6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau

7. Membuat akta risalah lelang.

Dengan demikian jelaskan bahwa notaris memiliki peranan dan wewenang dalam pembuatan akta. Peranan notaris sebagai pejabat umum adalah memformulasikan kehendak-kehendak dari para pihak ke dalam akta otentik dengan memperhatikan hukum yang berlaku. Wewenang notaris adalah membuat


(24)

17 akta yang sesuai dengan aturan prosedur pembuatan akta yang ditentukan oleh UUJN sehingga akta tersebut dikemudian hari tidak merugikan pihak lain dan memiliki nilai keabsahan yang dapat menjadi suatu alat bukti yang sempurna.

D.MACAM-MACAM AKTA NOTARIS

Pasal 7 angka 7 UUJN menyebutkan akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN. Berdasarkan Pasal ini dapat dijumpai ada 2 (dua) pemahaman terkait penggolongan akta autentik, yaitu pertama, akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum dan kedua, akta otentik yang dibuat dihadapan pejabat umum.

Victor M Situmorang dan Cormentyna Sitanggang menyebutkan perbedaan dari kedua akta tersebut yaitu :

1. Akta relaas dibuat oleh pejabat, sedangkan akta para pihak dibuat oleh

para pihak di hadapan pejabat, atau para pihak meminta bantuan pejabat itu untuk membuat akta yang mereka inginkan tersebut.

2. Dalam akta para pihak, para pejabat pembuat akta sama sekali tidak

pernah memulai inisiatif, sedangkan dalam akta relaas, pejabat pembuat akta itu kadang-kadang yang memulai inisiatif untuk membuat akta itu.

3. Akta para pihak harus ditandatangani oleh para pihak dengan ancaman

kehilangan sifat otentiknya, sedangkan akta relaas tanda tangan demikian tidak merupakan keharusan


(25)

18

4. Akta para pihak berisikan keterangan yang dikehendaki oleh para pihak

yang membuat atau menyuruh membuat akta itu, sedangkan akta relaas berisikan keterangan tertulis dari pejabat yang membuat akta itu sendiri.

5. Kebenaran dari isi akta relaas tidak dapat diganggu gugat kecuali

dengan menuduh bahwa akta itu palsu, sedangkan kebenaran isi akta para pihak dapat diganggu gugat tanpa menuduh kepalsuan akta tersebut.12

Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat dipahami bahwa akta yang dibuat oleh notaris dalam praktik kenotariatan disebut akta relaas (relaas acten) atau akta berita acara yang berisi berupa uraian notaris yang dilihat dan disaksikan notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak dilakukan dan dituangkan ke dalam bentuk akta notaris. Sedangkan akta yang dibuat notaris atas permintaan para pihak disebut akta partij (partij acten). Pembuatan akta notaris baik akta relaas maupun akta pihak sama-sama didasarkan pada adanya keinginan dan kehendak dan permintaan dari para pihak. Jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada maka notaris tidak akan membuat akta yang dimaksud untuk memenuhi keinginan.

Menurut Pasal 1868 KUHPerdata, suatu akta baru akan mempunyai kekuatan otensitas apabila telah memenuhi syarat-syarat :

1. Aktanya itu harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum;

12


(26)

19

2. Aktanya harus dibuat di dalam bentuk yang ditentukan oleh

undang-undang dan pejabat umum itu harus mempunyai kewenangan.

Dengan demikian jelaslah bahwa akta-akta seyogyanya dibuat dalam bentuk akta notariil di hadapan notaris.

Terkait dengan hal itu, ada beberapa karakter yuridis dari akta notaris yaitu :

1. Akta wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh

undang-undang (UUJN).

2. Akta notaris dibuat karena ada permintaan para pihak dan bukan

keinginan notaris

3. Meskipun dalam akta notaris tercantum nama notaris, tapi dalam hal

ini notaris tidak berkedudukan sebagai pihak bersama-sama para pihak atau penghadap yang namanya tercantum dalam akta.

4. Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Siapa pun terikat

dengan akta notaris serta tidak dapat ditafsirkan lain, selain yang tercantum dalam akta tersebut.

5. Pembatalan daya ikat akta notaris hanya dapat dilakukan atas

kesepakatan para pihak yang namanya tercantum dalam akta. Jika ada yang tidak setuju, maka pihak yang tidak setuju harus mengajukan permohonan ke pengadilan umum agar akta yang bersangkutan tidak

mengikat lagi dengan alasan-alasan tertentu yang dapat dibuktikan.13

13

Habib Adjie, 2013, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 17


(27)

20

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

A. TUJUAN PENELITIAN

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menambah wawasan dalam bidang ilmu kenotariatan dan juga dalam bidang ilmu hukum pidana terkait dengan persoalan pertanggungjawaban notaris terhadap keabsahan tanda tangan dalam akta yang dibuatnya. 2. Untuk mengetahui dan menemukan jawaban pertanggungjawaban notaris

terhadap keabsahan tanda tangan dalam akta yang dibuatnya dan implikasinya bilamana tanda tangan dalam akta tersebut palsu.

3. Untuk menemukan jawaban mengenai sanksi yang dapat diterapkan pada notaris terkait ketidakabsahan dari tanda tangan yang ada dalam akta yang dibuatnya.

B. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis.

1. Manfaat teoritis, penelitian ini akan dapat memberikan sumbangsih pemikiran yang berkaitan dengan pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu kenotariatan.

2. Manfaat praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemikiran bagi praktisi notaris agar memahami tanggung jawabnya dalam memeriksa dan menetapkan keabsahan tanda tangan para pihak agar tidak menimbulkan permasalahan hukum di kemudian hari.


(28)

21

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian normative. Disebut penelitian normative karena penelitian ini hanya akan memperhatikan segi-segi norma-norma yang berasal dari peraturan perundang-undangan maupun doktrin-doktrin. Oleh karena itu ia juga disebut sebagai penelitian doktriner yang disebut juga penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.14 Disamping itu penelitian ini juga akan tetap memperhatikan perkembangan-perkembangan empiris yang terjadi di lapangan.

B.SPESIFIKASI PENELITIAN

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis15, yaitu penelitian yang menggambarkan fakta-fakta hukum yang ada juga bertujuan untuk menjelaskan dengan menggunakan analisis data yang diperoleh secara sistematis, factual, dan akurat dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan yuridis yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tanggung jawab notaris terhadap keabsahan tanda tangan dalam akta yang dibuatnya.

14

Bambang Waluyo, 1996, Metode Penelitian Hukum, PT. Ghalia Indonesia, Semarang, hal. 13

15

Bambang Sunggono, 2001, Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 35


(29)

22

C.LOKASI PENELITIAN

Penelitian akan difokuskan di Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum FH UNUD yang biasa menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan kerja notaris dalam penipuan atau pemalsuan tanda tangan. Penelitian juga akan dilakukan di sebuah kantor Notaris yang ada di Kabupaten Badung untuk menemukan jawaban mengenai tanggungjawab notaris terhadap keabsahan tanda tangan dalam akta yang dibuatnya.

D.SUMBER BAHAN HUKUM

Penelitian ini menggunakan sumber bahan hukum primer dan sekunder dalam menemukan jawaban terhadap permasalahan.

1. Sumber hukum primer akan difokuskan pada UU No. 30 Tahun 2004 jo. UU No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, KUHPidana dan KUHPerdata.

2. Sumber hukum sekunder akan menggunakan berbagai macam literature terkait yang menunjukkan adanya doktrin-doktrin terkait pertanggungjawaban notaris terhadap keabsahan tanda tangan dalam akta yang dibuatnya.

Disamping kedua sumber bahan hukum tersebut, penelitian ini juga tidak mengabaikan adanya data hasil wawancara dengan notaris sebagai penguat simpulan terkait dengan tanggungjawab notaris terhadap keabsahan tanda tangan dalam akta yang dibuatnya.


(30)

23

E.TEKNIK PENGUMPULAN BAHAN HUKUM

Bahan Hukum akan dikumpulkan dengan melakukan studi kepustakaan terhadap objek penelitian yaitu tanggung jawab yuridis notaris terhadap keabsahan tanda tangan dalam akta yang dibuatnya. Selain itu juga dilakukan wawancara terhadap salah seorang notaris untuk memperkuat penelusuran kepustakaan yang telah dilakukan.

F.TEKNIK PENGOLAHAN DAN ANALISA BAHAN HUKUM

Sumber bahan hukum dan data yang telah diperoleh selanjutnya akan diolah secara kualitatif. Selanjutnya bahan hukum dan data tersebut akan dianalisis dan diuraikan secara sistematis agar bisa menjawab semua permasalahan yang timbul terkait dengan tanggung jawab notaris terhadap keabsahan tanda tangan dalam akta yang dibuatnya. Terakhir hasil pengolahan dan analisa tersebut akan dideskripsikan dalam bahasan dan dikonstruksikan sebagai simpulan-simpulan.


(31)

24

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP KEABSAHAN TANDA

TANGAN DALAM AKTA YANG DIBUATNYA

1. Pengertian Tanggung Jawab

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan tanggung jawab sebagai keadaan wajib menanggung segala sesuatunya, kalau ada sesuatu hal boleh

dituntut, dipermasalahkan, diperkarakan, dan sebagainya.15 Menurut O. P

Simorangkir, tanggung jawab adalah kewajiban menanggung atau memikul segala-galanya yang menjadi tugas, dengan segala dilihat dari pada tindakan yang

baik maupun yang buruk.16 Dengan demikian dapat dipahami arti tanggung jawab

seabagi suatu kewajiban untuk memikul suatu hal sebagai tugas yang harus dilaksanakan.

Berkaitan dengan tanggung jawab notaris, Abdul Kadir Muhammad mengatakan bahwa bentuk-bentuk tanggung jawab notaris dapat diberi pengertian sebagai berikut :

1. Notaris dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar artinya akta yang dibuat ini memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihak yang berkepentingan karena jabatannya.

15

W.J.S Poerwadarminta, 1982, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta

16


(32)

25

2. Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu artinya akta yang dibuatnya itu sesuai dengan aturan hukum dan kehendak pihak yang berkepentingan dalam arti sebenarnya bukan mengada-ada. Notaris harus menjelaskan kepada pihak berkepentingan kebenaran isi dan prosedur akta yang dibuatnya itu.

3. Berdampak positif artinya siapapun akan mengakui akta notaris

mempunyai kekuatan bukti sempurna.17

Dari sisi hukum pidana, pertanggungjawaban menurut Simons adalah suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang bersalah dan orang ini dianggap bertanggung

jawab atas perbuatannya.18 Moeljatno memandang pertanggungjawaban pidana itu

dapat diberikan kepada seseorang apabila seseorang tersebut selain daripada melakukan perbuatan pidana, orang itu juga harus mempunyai kesalahan atau pertanggungjawaban pidana tidak cukup hanya dikarenakan adanya perbuatan pidana saja melainkan harus ada kesalahan didalamnya.

Berdasarkan beberapa pengertian tentang tanggung jawab tersebut diatas dapat dipahami bahwa tanggung jawab notaris dalam UUJN lebih dilihat sebagai ketaatan notaris terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Dalam artian semua perbuatan notaris saat melaksanakan tugas

17

Abdulkadir Muhammad, 2001, Etika Profesi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 93-94

18

Simons dalam Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 61


(33)

26

dan kewajibannya berdasarkan aturan UUJN harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum termasuk siap menerima konsekuensi dikenakan sanksi apabila melakukan pelanggaran dan tindakan hukum lain seperti kejahatan.

Selanjutnya penting dipahami bahwa tanggung jawab notaris terjadi dalam hubungannya dengan pelaksanaan tugas dan kewajiban yang dibebankan kepada notaris berdasarkan kewenangannya menurut hukum. Konkritisasi tanggung jawab notaris dalam hal ini berbentuk upaya-upaya maksimal untuk menghasilkan akta otentik yang diakui keabsahannya oleh hukum.

2. Keabsahan Tanda Tangan Para Pihak Dalam Akta Yang Dibuat Notaris

Tanda tangan adalah tulisan tangan berupa tanda huruf dari nama pribadi seseorang yang dibubuhkan pada dokumen (dalam hal ini akta notaris) atas kehendak sendiri sebagai pengesahan atas isi dokumen. Dalam pembuatan akta notaris, tanda tangan merupakan salah satu syarat formal yang melengkapi akta dan dilakukan paling akhir setelah notaris membacakan akta yang dibuatnya dihadapan para pihak. Melalui pembubuhan tanda tangan tersebut, para pihak akan dianggap telah mengetahui, memahami dan menyetujui isi akta.

Pada faktanya tanda tangan dalam akta notaris sebagai salah satu syarat formal sering dipermasalahkan. Dalam beberapa informasi media cetak dijumpai fakta bahwa identitas penghadap berikut tanda tangan penghadap seringkali dipalsu oleh pihak-pihak yang ingin mencari keuntungan. Tindakan ini tentunya akan merugikan pihak lain yang memiliki identitas tersebut bahkan termasuk akan


(34)

27

merugikan notaris sendiri. Tidak jarang notaris ikut disertakan membantu proses pembubuhan tanda tangan karena dianggap membiarkan atau mengijinkan hal itu terjadi.

Berdasarkan teori, notaris selaku pejabat publik tidak dapat dikriminalisasi atas perbuatannya membantu pembuatan akta apabila telah sesuai dengan prosedur pelaksanaan pembuatan akta sebagaimana ditentukan oleh UUJN. Dengan kata jika notaris telah bertindak sesuai dengan prosedur dalam UUJN maka ia tidak dapat dikriminalisasi telah melakukan tindak pidana. Oleh karena itu ketika seseorang hendak memidanakan notaris maka tolok ukur pemeriksaan yang dipergunakan adalah kesesuaian tindakan notaris dalam proses pembuatan akta dengan aturan hukum atau UUJN. Artinya dalam pembuatan atau prosedur pembuatan akta telah ditentukan bahwa notaris harus mengikuti ketentuan atau aturan dalam UUJN. Jika notaris telah mengikuti ketentuan dan tidak dijumpai adanya ketidakwajaran dalam aspek lahiriah, aspek formal dan aspek materii dari akta yang dibuatnya maka notaris tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban. Logikanya jika notaris telah melaksanakan pembuatan akta sesuai dengan ketentuan dalam UUJN maka sangatlah tidak mungkin notaris kemudian secara sengaja melakukan suatu tindakan yang akan merugikan dirinya. Terkecuali bahwa ia secara sadar kemudian melakukan tindakan pidana secara bersama-sama atau membantu para penghadapnya melakukan tindakan pemalsuan maka notaris tersebut dapat dikatakan melakukan tindak pidana.

Sehubungan dengan ini Notaris Chynthia Yuniati, SH. MKn menerangkan bahwa notaris sebagai pejabat publik hanya membantu para pihak untuk


(35)

28

memformulasikan kehendak atau keinginannya ke dalam akta. Dalam hal itu notaris tidak termasuk sebagai salah satu pihak dari para pihak. Dengan kata lain notaris berada diluar para pihak. Notaris Chynthia Yuniati, SH. MKn juga menerangkan bahwa tanggung jawab notaris terbatas hanya pada proses pembuatan akta yang sesuai dengan prosedur. Jadi jika notaris tidak bertindak sesuai dengan prosedur dalam UUJN maka notaris tersebut dapat dikatakan telah melakukan pelanggaran terhadap UUJN. Persoalan kemudian muncul permasalahan dalam aspek formal seperti misalnya tanda tangan palsu maka pihak yang dirugikan harus bisa membuktikan bahwa ia tidak datang menghadap ke hadapan notaris pada hari, tanggal, bulan dan tahun serta waktu pembuatan akta dan tidak melakukan pembubuhan tanda tangan pada akta tersebut. Menurut Notaris Chynthia Yuniati, SH. MKn, dalam hal ini pihak yang dirugikan harus melakukan pembuktian secara terbalik dan apabila hal tersebut masih dirasa belum kuat maka dapat dilakukan uji labfor oleh POLRI.

Terkait keabsahan tanda tangan dalam akta yang dibuat notaris, Notaris Chynthia Yuniati, SH. MKn menerangkan bahwa pada prinsipnya notaris harus mengedepankan prinsip know your customer atau prinsip mengenali penghadap. Ketika penghadap datang pertama kali, notaris harus memastikan benar bahwa yang datang kepadanya betul-betul para pihak yang hendak membuat akta partij. Ini dapat dilakukan dengan meminta identitas KTP dan lain sebagainya yang dapat menguatkan fakta bahwa penghadap adalah orang yang berkepentingan. Menurutnya memang tidak dapat dipungkiri bisa saja notaris terkecoh seperti yang diberitakan oleh media-media cetak dan baru menyadari ketika ada pihak


(36)

29

yang mempermasalahkan dan merasa dirugikan oleh akta yang dikeluarkannya. Namun Notaris Chynthia Yuniati, SH. MKn kembali menegaskan bahwa selama notaris telah bertindak sesuai dengan prosedur yang ditentukan oleh UUJN maka notaris tidak bertanggungjawab atas hal-hal lain yang kemudian muncul setelah akta dikeluarkan. Terangnya kembali beliau mengingatkan bahwa notaris hanyalah pejabat publik yang diberi tugas untuk membantu dan melayani masyarakat dan tidak memiliki kewajiban investigasi terhadap kebenaran materiil.

Dengan demikian jelaslah bahwa terkait keabsahan tanda tangan dalam akta yang dibuatnya, notaris mutlak harus bertanggungjawab sepanjang proses pembuatan akta itu telah dilakukan berdasarkan aturan UUJN. Jika tanda tangan itu dipalsu para pihak tanpa sepengetahuan notaris maka notaris tidak ada tanggung jawab apapun. Dalam hal ini notaris juga harus bisa membuktikan bahwa dirinya telah melakukan prosedur pembuatan akta sesuai UUJN dan membuktikan bahwa saat proses pembuatan akta tersebut para pihak telah menunjukkan identitas dirinya dan telah melaksanakan prinsip identifikasi. Terkecuali, saat proses pembuatan akta tersebut telah didahului dengan itikad tidak baik yaitu meniatkan adanya pemalsuan tanda tangan sebagai proses akhir pembuatan akta yang menandakan akta telah diketahui, dipahami dan disetujui isinya oleh para pihak maka notaris pun dapat dimintakan pertanggungjawaban.

UUJN juga tidak memberikan penjelasan lebih lanjut terkait keabsahan tanda tangan dalam akta yang dibuat notaris. UUJN lebih menekankan pada pelaksanaan prosedur pembuatan akta oleh notaris harus sesuai dengan standarisasi yang diatur UUJN. Ini artinya UUJN tidak mengharuskan notaris bertanggungjawab terhadap


(37)

30

keabsahan tanda tangan para pihak sepanjang notaris telah melaksanakan prosedur pembuatan akta sesuai UUJN. Dalam hal ini UUJN hanya mengatur tentang tanggungjawab notaris apabila akta yang dibuatnya ternyata cacat hukum maka akta tersebut dapat dibatalkan dan kepada notaris tersebut dapat dikenakan sanksi yang sifatnya perdata, administrative atau sanksi kode etik notaris.

B.PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA NOTARIS TERHADAP

KETIDAKABSAHAN TANDA TANGAN DALAM AKTA YANG DIBUATNYA

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, notaris mutlak bertanggungjawab terhadap keabsahan tanda tangan dalam akta yang dibuatnya apabila notaris telah melaksanakan prosedur pembuatan akta berdasarkan aturan dalam UUJN.

Pertanggungjawaban notaris secara pidana terjadi apabila tanda tangan tersebut ternyata tidak sah dan notaris mengetahui hal tersebut. Artinya ketidakabsahan tanda tangan dalam akta yang dibuatnya itu diketahui dan disetujui oleh notaris. Disini pertanggungjawaban pidana terhadap notaris tetap mendasarkan pada ada tidaknya kesalahan dalam proses pembubuhan tanda tangan para pihak. Jadi harus bisa dibuktikan bahwa notaris memiliki niat dan pengetahuan akan adanya pemalsuan tanda tangan. Bilamana menyangkal dapat ditindaklanjuti dengan mengajukan uji laboratorium forensik terhadap tanda tangan yang ada di dalam akta.

Jika terbukti ada pemalsuan tanda tangan maka notaris dapat dianggap melakukan tindakan-tindakan yang dapat dikenakan pasal-pasal dalam KUHP antara lain :


(38)

31

1. Membuat surat palsu/yang dipalsukan dan menggunakan surat

palsu/yang dipalsukan (Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP

2. Melakukan pemalsuan (Pasal 264 KUHP)

3. Menyuruh mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik (Pasal 266 KUHP)

4. Melakukan, menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan (Pasal 55 jo. Pasal 263 ayat (1) dan (2) atau Pasal 264 atau Pasal 266 KUHP

5. Membantu membuat surat palsu/atau yang dipalsukan dan

menggunakan surat palsu/yang dipalsukan (Pasal 56 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 263 ayat (1) dan (2) atau Pasal 264 dan Pasal 266 KUHP.

Pemeriksaan terhadap notaris yang sudah memenuhi syarat untuk menjadi tersangka (artinya ada kesalahan yang dapat dibuktikan) tetap harus mengacu pada tata cara pembuatan akta notaris yaitu:

1. Notaris melakukan pengenalan terhadap penghadapnya berdasarkan

identitas yang diperlihatkan kepada notaris.

2. Menanyakan, kemudian mendengarkan dan mencermati keinginan atau

kehendak para pihak tersebut (proses tanya jawab)

3. Memeriksa bukti surat yang berkaitan dengan keinginan atau kehendak

para pihak tersebut.

4. Memberikan saran dan membuat kerangka akta untuk memenuhi


(39)

32

5. Memenuhi segala teknik administrative pembuatan akta notaris, seperti

pembacaan, penandatanganan, memberikan salinan dan pemberkasan untuk minuta.

6. Melakukan kewajiban lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan notaris.19

Jadi dalam melakukan pemeriksaan terhadap notaris, tolok ukur yang digunakan tetap kepada prosedur pembuatan akta notaris yang berdasarkan pada UUJN. Apabila ditemukan fakta bahwa notaris telah melaksanakan prosedur sesuai UUJN namun para pihak yang telah melakukan tindak pidana tanpa sepengetahuan notaris maka notaris tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana. Namun jika ternyata disamping telah melaksanakan prosedur pembuatan akta sesuai UUJN, notaris juga ternyata ikut melakukan tindak pidana maka notaris dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana.

Sehubungan dengan adanya perbuatan notaris yang termasuk dalam ranahnya hukum pidana, seperti pemalsuan surat atau keterangan dan lain-lain, UUJN tidak membuat aturan tentang ketentuan pidana. Dalam konteks ini maka hukum yang akan diberlakukan kepada notaris yang melakukan tindak pidana adalah hukum pidana dengan menerapkan KUHP. UUJN hanya mengatur tentang pelanggaran oleh notaris dan sanksi yang diberikan kepada notaris yang melakukan pelanggaran.

19

Habib Adjie, 2013, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 77


(40)

33

Berkenaan dengan pertanggungjawaban notaris terhadap ketidakabsahan tanda tangan dalam akta yang dibuatnya, Notaris Chynthia Yuniati, SH. MKn menerangkan bahwa notaris dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana apabila terbukti benar ia telah melakukan tindak pidana yang dituduhkan. Dalam konteks ini Notaris Chynthia Yuniati, SH. MKn mengingatkan untuk memisahkan antara tanggung jawab Notaris dalam melaksanakan jabatannya dengan tanggung jawab notaris karena terbukti melakukan tindak pidana. Artinya tanggungjawab notaris dalam melaksanakan jabatannya hanya terbatas pada prosedur pelaksanaan pembuatan akta yang sesuai UUJN. Bilamana tidak sesuai maka notaris dianggap telah melakukan pelanggaran dan dapat dikenakan sanksi administrasi atau perdata dan sanksi kode etik. Konsekuensi adanya pelanggaran oleh notaris adalah aktanya cacat hukum dan dapat dibatalkan. Hal itu berbeda dengan tanggungjawab notaris yang melakukan tindak pidana, artinya notaris yang telah terbukti melakukan tindak pidana harus bertanggungjawab secara pidana dan menerima konsekuensi penjatuhan sanksi berdasarkan tindak pidana yang dilakukannya.

C.SANKSI BAGI NOTARIS DALAM KAITANNYA DENGAN

KETIDAKABSAHAN TANDA TANGAN DALAM AKTA YANG DIBUATNYA

UUJN mengatur bahwa ketika notaris melakukan pelanggaran saat menjalankan tugas jabatannya maka notaris tersebut dapat diberikan sanksi. Adapun sanksi yang dapat diberikan kepada notaris yang melakukan pelanggaran adalah sanksi perdata, administrasi dan kode etik jabatan notaris. Sanksi-sanksi


(41)

34

tersebut telah diatur dalam UUJN dan Kode Etik Jabatan Notaris. Dalam praktiknya terkadang ditemukan fakta bahwa suatu tindakan hukum atau pelanggaran yang dilakukan notaris dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Dengan demikian selain pemberian sanksi yang bersifat perdata, administrasi dan kode etik, notaris juga dapat dikenakan sanksi pidana.

Adapun hal-hal yang dapat menyebabkan tindakan seorang notaris dikualifikasikan sebagai tindak pidana adalah yang berkaitan dengan aspek formal dari akta yang dibuatnya. Aspek formal tersebut terdiri atas :

1. Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul penghadap;

2. Pihak atau siapa orang yang datang menghadap notaris;

3. Tanda tangan yang menghadap;

4. Salinan akta tidak sesuai dengan minuta akta; 5. Salinan akta ada, tanpa dibuat minuta akta; dan

6. Minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap, tapi minuta akta dikeluarkan.

Aspek-aspek formal tersebut dapat dijadikan dasar untuk memidana notaris dengan dugaan notaris telah membuat surat palsu atau memalsukan akta.

Terkait aspek formal akta dapat memidanakan notaris, Notaris Chynthia Yuniati, SH. MKn menjelaskan memidanakan notaris berdasarkan aspek formal tidak bisa dilakukan secara sembarang. Artinya, harus ada penelitian dan pembuktian yang mendalam dengan mencari unsure kesalahan atau kesengajaan notaris. Apabila terbukti notaris telah melakukan kesalahan (sengaja) memalsukan aspek-aspek formal sebuah akta maka ia dapat diproses secara hukum pidana


(42)

35

karena telah melakukan tindak pidana pemalsuan dan dapat dikenakan sanksi pidana.

Berdasarkan ketentuan dalam KUHP, tindak pidana pemalsuan surat diatur dalam Buku II Bab XVI Pasal 263 s/d 276. Terkait dengan akta yang dibuat notaris (akta otentik) termasuk dalam kualifikasi surat yang dikecualikan dan diatur dalam Pasal 264 KUHP ayat (1) ke-1. Adapun pidana yang dapat diberikan kepada notaris adalah pidana penjara maksimum 6 (enam) tahun sebagaimana tertuang dalam Pasal 263 KUHP.

Terkait dengan dugaan pemalsuan tanda tangan dalam akta yang dibuatnya sehingga tidak sah maka pihak yang menuduhkan dugaan tersebut harus membuktikan bahwa ada kesengajaan (dengan kesadaran penuh dan keinsyafan serta perencanaan yang matang oleh notaris tersebut) bahwa akta yang dibuat oleh notaris dihadapannya itu ada unsur palsunya yaitu dalam tanda tangannya. Di samping itu juga harus dibuktikan adanya kesengajaan dan kesadaran notaris untuk secara bersama-sama dengan para penghadap (para pihak) melakukan pembantuan atau menyuruh penghadap melakukan suatu tindakan hukum yang diketahuinya sebagai tindakan yang melanggar hukum. Apabila keseluruhan hal ini dapat dibuktikan oleh pihak yang dirugikan (yang mengajukan dugaan) maka notaris dapat diproses secara pidana.

Jadi dapat ditarik suatu pemahaman bahwa notaris pada dasarnya tidak dapat dikriminalisasi dalam melaksanakan tugas atau jabatannya. Namun notaris dapat dikriminalisasi dan dikenakan sanksi pidana apabila terbukti telah melakukan tindakan-tindakan :


(43)

36

1. Dalam proses pembuatan akta, ada tindakan notaris terhadap aspek formal seperti tanda tangan yang dengan sengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan untuk dipalsu.

2. Ada tindakan notaris yang menyalahi prosedur pembuatan akta yang telah diatur dalam UUJN.

3. Tindakan tersebut merupakan tindakan yang salah dalam penilaian


(44)

37

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A.KESIMPULAN

Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan dalam bab sebelumnya, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Tanggungjawab notaris terhadap keabsahan tanda tangan dalam akta yang

dibuatnya adalah mutlak. Tanda tangan termasuk dalam salah satu aspek formal akta yang harus dipenuhi sebagai penanda bahwa para pihak telah menyetujui, mengetahui (paham) dan mengerti akan isi akta. Apabila di kemudian hari ada pihak yang merasa dirugikan atas pembubuhan tanda tangan tersebut maka pihak tersebut harus membuktikan adanya ketidakwajaran tanda tangan.

2. Apabila diketemukan fakta adanya ketidakwajaran tanda tangan dalam

akta yang dibuat oleh notaris dan dapat dibuktikan maka notaris dapat dimintakan pertanggungjawaban atas ketidakabsahan tanda tangan dalam akta yang dibuatnya. Disini notaris dapat diduga telah melakukan kesalahan dengan memalsukan surat atau keterangan dalam suratnya. Notaris dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana. Jika notaris tersebut menyangkal pengetahuannya akan tidakabsahnya tanda tangan dalam aktanya maka notaris harus membuktikan bahwa ia telah melaksanakan prosedur-prosedur pembuatan akta sebagaimana diatur oleh UUJN. Termasuk memastikan para penghadap melalui identitas yang diberikan.


(45)

38

3.Secara umum sanksi yang dapat diberikan kepada notaris telah ditentukan

dalam UUJN yaitu sanksi perdata, sanksi administrasi dan sanksi kode etik jabatan. Sanksi-sanksi tersebut dijatuhkan kepada notaris apabila notaris dinilai telah melakukan pelanggaran terhadap UUJN oleh Majelis Pengawas Notaris. Secara khusus, sanksi pidana dapat diberikan kepada notaris yang telah terbukti sengaja (sadar dan insyaf) melakukan pemalsuan termasuk pemalsuan tanda tangan yang menyebabkan tidak absahnya tanda tangan tersebut. Penjatuhan sanksi pidana ini harus melalui prosedur pemeriksaan yang sesuai dan memperhatikan tolok ukur yang ditentukan UUJN yaitu prosedur pelaksanaan pembuatan akta oleh notaris. Apabila notaris tersebut terbukti melakukan tindak pidana pemalsuan tanda tangan maka kepadanya dapat dijatuhkan pidana penjara maksimal 6 (enam) tahun lamanya.

B.SARAN

Adapun saran yang dapat diberikan adalah :

1. Notaris harus lebih mengedepankan prinsip know your customer tatkala

hendak melaksanakan pembuatan akta para pihak maupun relaas. Sekalipun notaris tidak diwajibkan untuk melakukan investigasi terhadap para penghadapnya. Hal ini untuk menghindarkan notaris dari adanya dugaan-dugaan yang mungkin akan menyeret notaris ke meja hijau.

2. Notaris harus lebih taat kepada tugas dan wewenangnya sebagai pejabat


(46)

39

dalam UUJN dan tidak berfokus pada usaha-usaha mementingkan pihak-pihak yang memberikan keuntungan padanya.


(47)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

Andi Hamzah, 1985, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta

Bambang Sunggono, 2001, Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta

Bambang Waluyo, 1996, Metode Penelitian Hukum, PT Ghalia Indonesia, Semarang

Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama, Bandung

---, 2013, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, PT. Refika Aditama, Jakarta

---, 2013, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Refika Aditama, Bandung

Herry Susanto, 2010, Peranan Notaris Dalam Menciptakan Kepatutan Dalam Kontrak, FH UII Press, Yogyakarta

R. Soesilo, 1982, Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP Bagi Penegak Hukum), Politeia, Bogor

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1989, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Penerbit Mandar Maju, Bandung

Ronny Hanitijo Soemitro, 1994, Metodelogi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2004, Penelitian Normatif suatu Tinjauan


(48)

UNDANG-UNDANG

UU No. 30 Tahun 2004 jo. UU No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris KUHP

KUHAP KUHPerdata


(1)

36 1. Dalam proses pembuatan akta, ada tindakan notaris terhadap aspek formal seperti tanda tangan yang dengan sengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan untuk dipalsu.

2. Ada tindakan notaris yang menyalahi prosedur pembuatan akta yang telah diatur dalam UUJN.

3. Tindakan tersebut merupakan tindakan yang salah dalam penilaian Majelis Pengawas Notaris.


(2)

37

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A.KESIMPULAN

Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan dalam bab sebelumnya, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Tanggungjawab notaris terhadap keabsahan tanda tangan dalam akta yang dibuatnya adalah mutlak. Tanda tangan termasuk dalam salah satu aspek formal akta yang harus dipenuhi sebagai penanda bahwa para pihak telah menyetujui, mengetahui (paham) dan mengerti akan isi akta. Apabila di kemudian hari ada pihak yang merasa dirugikan atas pembubuhan tanda tangan tersebut maka pihak tersebut harus membuktikan adanya ketidakwajaran tanda tangan.

2. Apabila diketemukan fakta adanya ketidakwajaran tanda tangan dalam akta yang dibuat oleh notaris dan dapat dibuktikan maka notaris dapat dimintakan pertanggungjawaban atas ketidakabsahan tanda tangan dalam akta yang dibuatnya. Disini notaris dapat diduga telah melakukan kesalahan dengan memalsukan surat atau keterangan dalam suratnya. Notaris dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana. Jika notaris tersebut menyangkal pengetahuannya akan tidakabsahnya tanda tangan dalam aktanya maka notaris harus membuktikan bahwa ia telah melaksanakan prosedur-prosedur pembuatan akta sebagaimana diatur oleh UUJN. Termasuk memastikan para penghadap melalui identitas yang diberikan.


(3)

38 3.Secara umum sanksi yang dapat diberikan kepada notaris telah ditentukan dalam UUJN yaitu sanksi perdata, sanksi administrasi dan sanksi kode etik jabatan. Sanksi-sanksi tersebut dijatuhkan kepada notaris apabila notaris dinilai telah melakukan pelanggaran terhadap UUJN oleh Majelis Pengawas Notaris. Secara khusus, sanksi pidana dapat diberikan kepada notaris yang telah terbukti sengaja (sadar dan insyaf) melakukan pemalsuan termasuk pemalsuan tanda tangan yang menyebabkan tidak absahnya tanda tangan tersebut. Penjatuhan sanksi pidana ini harus melalui prosedur pemeriksaan yang sesuai dan memperhatikan tolok ukur yang ditentukan UUJN yaitu prosedur pelaksanaan pembuatan akta oleh notaris. Apabila notaris tersebut terbukti melakukan tindak pidana pemalsuan tanda tangan maka kepadanya dapat dijatuhkan pidana penjara maksimal 6 (enam) tahun lamanya.

B.SARAN

Adapun saran yang dapat diberikan adalah :

1. Notaris harus lebih mengedepankan prinsip know your customer tatkala hendak melaksanakan pembuatan akta para pihak maupun relaas. Sekalipun notaris tidak diwajibkan untuk melakukan investigasi terhadap para penghadapnya. Hal ini untuk menghindarkan notaris dari adanya dugaan-dugaan yang mungkin akan menyeret notaris ke meja hijau. 2. Notaris harus lebih taat kepada tugas dan wewenangnya sebagai pejabat


(4)

39 dalam UUJN dan tidak berfokus pada usaha-usaha mementingkan pihak-pihak yang memberikan keuntungan padanya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

Andi Hamzah, 1985, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta

Bambang Sunggono, 2001, Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta

Bambang Waluyo, 1996, Metode Penelitian Hukum, PT Ghalia Indonesia, Semarang

Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama, Bandung

---, 2013, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, PT. Refika Aditama, Jakarta

---, 2013, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Refika Aditama, Bandung

Herry Susanto, 2010, Peranan Notaris Dalam Menciptakan Kepatutan Dalam Kontrak, FH UII Press, Yogyakarta

R. Soesilo, 1982, Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP Bagi Penegak Hukum), Politeia, Bogor

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1989, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Penerbit Mandar Maju, Bandung

Ronny Hanitijo Soemitro, 1994, Metodelogi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2004, Penelitian Normatif suatu Tinjauan


(6)

UNDANG-UNDANG

UU No. 30 Tahun 2004 jo. UU No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris KUHP

KUHAP KUHPerdata