PENGARUH KINERJA KEUANGAN, DEWAN KOMISARIS, KEPEMILIKAN INSTITUSIONAL, KOMITE AUDIT, DAN KUALITAS AUDIT TERHADAP MANAJEMEN LABA (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur Industri Barang Konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2014-2016) -

BAB II LANDASAN TEORI A. Teori Keagenan Teori agensi merupakan teori yang menjelaskan hubungan antara

  pemilik modal (principal) yaitu investor dengan manajer (agent). Teori agensi terjadi ketika pemilik modal (principal) menyewa manajemen (agent) untuk melaksanakan suatu jasa, dan dalam menyewa manajemen, pemilik modal (principal) memberikan wewenang kepada manajemen (agent) untuk membuat keputusan.

  Hubungan keagenan sebagai suatu kontrak dimana satu orang atau lebih (principal) melibatkan orang lain (agent) untuk melakukan layanan tertentu demi kepentingan principal yang melibatkan pendelegasian beberapa kewenangan pengambilan keputusan kepada agen (Jensen dan Meckling, 1976). Principal memperkerjakan agent untuk melakukan tugas demi kepentingan principal, termasuk pendelegasian otoritas pengambilan keputusan dari principal kepada agent. Principal memberikan suatu wewenang kepada agent untuk melaksanakan tugas tertentu sesuai dengan kontrak kerja yang telah disepakati. Wewenang dan tanggungjawabagen maupun prinsipal diatur dalam kontrak kerja atas persetujuan bersama. Adanya kepentingan yang saling bertentangan (conflict of interest), menyebabkan hubungan kontrak yang baik antara pemilik (principal) dan manajemen (agent) sulit terjalin. Dalam praktiknya dapat terjadi konflik kepentingan ketika tidak semua keadaan diketahui oleh semua pihak, dan sebagai akibatnya, ketika konsekuensi-konsekuensi tertentu tidak dipertimbangkan oleh pihak-pihak tersebut, hal tersebut dapat mengakibatkan adanya ketidakseimbangan informasi (asymmetry information) yang dimiliki principal dan agent. Ketidakseimbangan informasi merupakan suatu kondisi dimana

  

principal tidak memiliki informasi yang mencukupi mengenai kinerja agent dan

  tidak dapat merasa pasti bagaimana usaha agent memberikan kontribusi pada hasil aktual perusahaan. Akibat adanya informasi yang tidak seimbang ini, dapat menimbulkan dua permasalahan yang disebabkan karena kesulitan principal mengawasi dan kesulitan melakukan kontrol terhadap tindakan-tindakan agent.

  Jensen dan Meckling (1976) menyatakan permasalahan tersebut adalah: 1.

  Moral Hazard, yaitu permasalaan yang muncul jika agent tidak melaksanakan hal-hal yang disepakati bersama dalam kontrak kerja.

  2. Adverse selection, yaitu suatu keadaan dimana principal tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agent didasarkan pada informasi yang telah diperoleh, atau terjadi sebagai kelalaian dalam tugas.

  Selain itu menurut Jensen dan Meckling (1976), menyatakan bahwa satu faktor yang memicu timbulnya konflik kepentingan yang disebut konflik keagenen sehingga dapat menimbulkan biaya keagenan. Biaya tersebut terdiri dari: 1.

  Monitoring Cost Merupakan suatu biaya yang dikeluarkan oleh pemilik untuk mengawasi perilaku manajer dalam mengelola perusahaan, termasuk juga usaha untuk mengendalikan perilaku manajer melalui pembatasan anggaran dan kebijakan kompensasi.

  2. Bonding Cost Merupakan suatu biaya yang dikeluarkan oleh manajer untuk menjamin bahwa manajer tidak akan bertindak yang akan merugikan pemlik.

  3. Residual Cost Merupakan penurunan tingkat kesejahteraan, baik bagi pemilik maupun manajer setelah adanya hubungan keagenan.

  Menurut Jensen dan Meckling (1976), ada dua cara untuk meredam tindakan para agent yang tidak sesuai dengan kepentingan principal, yaitu:

  1. Mengawasi perilaku agent dengan mengadopsi fungsi audit dan mekanisme corporate governance lain yang dapat meluruskan kepentingan

  agent dengan kepentingan principal.

  2. Menyediakan insentif kepegawaian yang menarik kepada agent dan mengadakan struktur reward yang dapat membujuk para agent untuk

  Teori agensi mengasumsikan bahwa semua individu bertindak atas kepentingan mereka. Principal diasumsikan tertarik hanya pada hasil keuangan yang bertambah dari investasi mereka dalam perusahaan. Para agent diasumsikan menerima kepuasan bukan saja dari kompensasi keuangan, tetapi juga dari syarat-syarat yang terlibat dalam hubungan agensi, seperti jam kerja yang fleksibel, kondisi kerja yang menarik, dan kemurahan jumlah waktu luang. Perbedaaan kepentingan tersebut mendorong agent untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya kepada principal. Istilah bahaya moral diberikan kepada seorang agent, dimana dalam situasi tertentu seorang agent dengan sengaja termotivasi menyajikan informasi yang salah.

B. Manajemen Laba 1. Definisi Manajemen Laba

  Manajemen laba didefinisikan sebagai upaya manajer perusahaan untuk mempengaruhi informasi-informasi dalam laporan keuangan dengan tujuan untuk mengelabui stakeholder yang ingin mengetahui kinerja perusahaan dan kondisi perusahaan (Sulistyanto, 2008). Stakeholder adalah orang yang memiliki minat maupun kepentingan didalam suatu perusahaan.

  Menurut Schipper (1989), manajemen laba adalah intervensi atau campur tangan dalam prosese penyusunan laporan keuangan dengan tersebut yaitu bahwa manajemen laba merupakan perilaku oportunistik manajer untuk memaksimalkan kepuasan mereka. Manajer melakukan manajemen laba dengan memilih metode atau kebijakan akuntansi untuk menaikkan laba atau menurunkan laba, pada saat menaikkan laba manajer menggeser laba periode-periode yang akan datang ke periode sekarang dan pada saat manajer menurunkan laba yaitu dengan menggeser laba periode masa sekarang ke periode-periode berikutnya (Widodo, 2005).

  Sugiri (2013) menyatakan definisi laba dibagi menjadi dua, yaitu definisi luas manajemen laba merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan (mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit dimana manajer bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomis jangka panjang unit tersebut. Sedangkan definisi sempit manajemen laba yaitu sebagai perilaku manajer untuk “bermain” dengan komponen discretionary accrual dalam menentukan besarnya laba.

  Healy dan Wahlen (1999) menyatakan bahwa manajemen laba terjadi apabila manajer menggunakan penilaian dalam pelaporan keuangan dan dalam struktur transaksi untuk mengubah laporan keuangan guna menyesatkan pemegang saham mengenai prestasi ekonomi perusahaan atau mempengaruhi akibat-akibat perjanjian yang mempunyai kaitan dengan angka-angka yang dilaporkan dalam laporan keuangan. Dan

  Menurut Fisher dan Rozenwig(1995), manajemen laba adalah tindakan-tindakan manajer untuk menaikkan (menurunkan) laba periode berjalan dari sebuah perusahaan yang dikelolanya tanpa menyebabkan kenaikan (penurunan) keuntungan ekonomi perusahaan jangka panjang.

  Dari beberapa definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa manajemen laba merupakan aktivitas manejerial untuk mempengruhi dan mengintervensi laporan keuangan.

2. Faktor Pendorong Manajemen Laba

  Menurut Scott (2009), faktor-faktor yang mendorong manajer melakukan kegiatan manajemen laba yaitu: a.

  Kontrak Bonus Laba sering dijadikan indikator penilaian prestasi manajer.

  Oleh karena itu, jika manajer perusahaan yang memperole laba dibawah target laba, maka akan melakukan manipulasi laba agar memperoleh bonus yang maksimal di periode mendatang.

  b.

  Stock Price Effect Manajer melakukan manajemen laba dalam laporan keuangan bertujuan untuk mempengaruhi pasar.

  c.

  Faktor Politik Untuk mengurangi biaya politis dan pengawasan dari pemerintah, dilakukan dengan cara menurunkan laba, untuk dilakukan dengan cara menurunkan laba untuk meminimalkan tuntutan serikat buruh.

  d.

  Faktor Pajak Pada periode terjadi kenaikan harga (inflasi), penggunaan LIFO akan menghasilkan laba yang dilaporkan lebih rendah dan pajak yang dibayarkan juga menjadi lebih rendah. Sehingga manajer perusahaan berusaha menurunkan laba dengan tujuan mengurangi beban pajak yang dikenakan perusahaan.

  e.

  Penawaran Saham Perdana (IPO) Biasanya perusahaan yang akan melakukan penawaran saham perdana (IPO) melakukan aktifitas manajemen laba pada periode terakhir sebelum IPO. Ketika perusahaan go public, maka informasi keuangan merupakan sumber informasi yang penting dan utama.

  Informasi tersebut dapat dipakai untuk mempengaruhi calon investor tentang nilai perusahaan, maka manajer berusaha menaikkan laba yang dilaporkan agar harga saham tinggi pada saat IPO.

3. Bentuk-bentuk Manajemen Laba

  Scott (2009) menyatakan bentuk-bentuk manajemen laba yang dilakukan oleh manajer antara lain: a.

  Taking a Bath

  Taking a bath terjadi pada periode stress atau reorganisasi melaporakan laba yang tinggi, maka manajer merasa dipaksa untuk melaporkan laba yang tinggi, konsekuensinya manajer akan menghapus aktiva dengan harapan laba yang akan datang dapat meningkat.

  b.

  Income Minimization Bentuk ini dilakukan sebagai alasan politis pada periode laba yang tinggi dengan mempercepat penghapusan aktiva tetap dan aktiva tak berwujud dan mengakui pengeluaran sebagai biaya. Pada saat profitabilitas perusahaan sangat tinggi dengan maksud agar tidak mendapat perhatian secara politis, kebijakan yang diambil dapat berupa penghapusan barang modal dan aktiva tak berwujud, biaya iklan dan pengeluaran untuk Research and Development, hasil akuntansi untuk biaya eksplorasi minyak, gas, dan sebagainya.

  c.

  Income Maximization Tindakan atas income maximization bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. Perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian hutang, maka manajer cenderung untuk memaksimalkan laba.

  d.

  Income Smoothing merupakan bentuk manajemen laba yang

  Income smoothing

  paling popular dan sering dilakukan oleh manajer. Manajemen laba untuk mengurangi fluktuasi dalam melaporkan laba, sehingga perusahaan terlihat stabil dan tidak berisiko tinggi.

  e.

  Offetting extradionary / unusual gains Teknik ini dilakukan dengan memindahkan efek-efek laba yang tidak biasa atau temporal yang berlawanan dengan trend laba.

  f.

  Aggressive acconting applications Teknik yang diartikan sebagai salah saji dan dipakai untuk membagi laba antar periode.

  g.

  Timing revenue dan Expense Recognition Teknik ini dilakukan dengan membuat kebijakan tertentu yang berkaitan dengan timing suatu transaksi.

4. Teknik dalam Manajemen Laba

  Menurut Setiawati dan Na’im (2000) ada tiga teknik yang dapat dilakukan dalam manajemen laba, yaitu: a.

  Memanfaatkan Peluang untuk Membuat Estimasi Akuntansi Manajemen mempengaruhi laba melalui perkiraan estimasi akuntansi, antara lain estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tetap tak berwujud, estimasi biaya garansi, dan lain-lain.

  b.

  Mengubah Metode Akuntansi

  Untuk dapat menaikkan dan menurunkan angka laba yaitu dengan mengubah metode akuntansi yang berbeda dengan metode sebelumnya. Perubahan metode akuntansi tersebut yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi, contoh; mengubah metode depresiasi tetap, dari metode depresiasi angka tahunan ke metode depresiasi garis lurus.

  c.

  Menggeser Periode Biaya atau Pendapatan Beberapa orang menyebutkan rekaya jenis ini sebagai manipulasi keputusan operasional (Fischer dan Rozenweig, 1995).

  Contoh merekayasa periode biaya atau pendapatan yaitu; seperti mempercepat atau menunda pengeluaran untuk meneliti dan mengembangkan sampai pada periode akuntansi berikutnya, mempercepat atau menunda pengiriman produk ke pelanggan, mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah tidak dipakai.

C. Kinerja Keuangan 1. Pengertian Kinerja Keuangan

  Kinerja perusahaan adalah suatu usaha formal yang dilaksanakan perusahaan untuk mengevaluasi efisiensi dan efektivitas dari aktivitas perusahaan yang telah dilaksanakan pada periode wktu tertentu. Menurut Jumingan (2006) kinerja merupakan gambaran prestasi yang dicapai keuangan, aspek pemasaran, aspek penghimpunan dana dan penyaluran dana, aspek teknologi, maupun aspek sumber daya manusianya. Kinerja dapat diartikan sebagai prestasi yang dicapai perusahaan dalam suatu periode tertentu yang mencerminkan tingkat kesehatan perusahaan tersebut.

  Menurut Sucipto (2003) pengertian kinerja keuangan adalah penentuan ukuran-ukuran tertentu yang dapat mengukur keberhasilan suatu organisasi atau perusahaan dalam menghasilkan laba. Sedangkan menurut IAI (2007) Kinerja Keuangan adalah kemampuan perusahaan dalam mengelola dan mengendalikan sumberdaya yang dimilikinya.

  Fahmi (2012) mengatakan kinerja keuangan adalah suatu analisis yang dilakukan untuk melihat sejauh mana suatu perusahaan telah melaksanakan dengan menggunakan aturan-aturan pelaksanaan keuangan secara baik dan benar.

  Menurut Mulyadi (2007:2), pengertian kinerja keuangan adalah penentuan secara periodik efektifitas operasional suatu organisasi dan karyawannya berdasarkan sasaran, standar, dan kriteria yang ditetapkan sebelumnya. Selain itu, hal serupa juga dikemukakan oleh Sawir (2005) yang menyatakan bahwa kinerja keuangan merupakan kondisi yang mencerminkan keadaan keuangan suatu perusahaan berdasarkan sasaran, standar, dan kriteria yang ditetapkan.

  Kesimpulan dari beberapa pengertian kinerja keuangan diatas yaitu kinerja keuangan adalah usaha yang dilakukan perusahaan supaya dapat mengukur keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan laba. Perusahaan dikatakan berhasil apabila berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

2. Pengukuran Kinerja Keuangan

  Kinerja keuangan perusahaan berkaitan erat dengan pengukuran dan penilaian kinerja. Pengukuran kinerja didefinisikan sebagai “performing measurement“, yaitu kualifikasi dan efisiensi serta efektifitas perusahaan dalam pengoperasian bisnis selama periode akuntansi.

  Perusahaan menggunakan pengukuran kinerja dengan tujuan untuk melakukan perbaikan pada kegiatan operasionalnya, supaya dapat bersaing dengan perusahaan lainnya.

  Kinerja keuangan dapat dinilai dengan beberapa alat analisis. Menurut Jumingan (2006), berdasarkan tekniknya anlisis keuangan dibedakan menjadi 8 (delapan) macam, yaitu: a.

  Analisis Perbandingan Laporan Keuangan, merupakan teknik analisis dengan cara membandingkan laporan keuangan dua periode atau lebih dengan menunjukkan perubahan, baik dalam jumlah (absolut) maupun dalam persentase (relatif).

  b.

  Analisis Tren (tendensi posisi), merupakan teknik analisis untuk mengetahui tendensi keadaan keuangan apakah menunjukkan kenaikan c.

  Analisis Persentase per-Komponen (common size), merupakan teknik analisis untuk mengetahui persentase investasi pada masing-masing aktiva terhadap keseluruhan atau total aktiva maupun utang.

  d.

  Analisis Sumber dan Penggunaan Modal Kerja, merupakan teknik analisis untuk mengetahui besarnya sumber dan penggunaan modal kerja melalui dua periode waktu yang dibandingkan.

  e.

  Analisis Sumber dan Penggunaan Kas, merupakan teknik analisis untuk mengetahui kondisi kas disertai sebab terjadinya perubahan kas pada suatu periode waktu tertentu.

  f.

  Analisis Rasio Keuangan, merupakan teknik analisis keuangan untuk mengetahui hubungan di antara pos tertentu dalam neraca maupun laporan laba rugi baik secara individu maupun secara simultan.

  g.

  Analisis Perubahan Laba Kotor, merupakan teknik analisis untuk mengetahui posisi laba dan sebab-sebab terjadinya perubahan laba.

  h.

  Analisis Break Even, merupakan teknik analisis untuk mengetahui tingkat penjualan yang harus dicapai agar perusahaan tidak mengalami kerugian.

3. Tujuan Pengukuran Kinerja Keuangan

  Menurut Munawir (2012) menyatakan bahwa tujuan dari pengukuran kinerja keuangan adalah sebagai berikut: Likuiditas menunjukkan kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangan yang harus segera diselesaikan pada saat ditagih.

  b.

  Mengetahui tingkat solvabilitas Solvabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangannya apabia perusahaan tersebut dilikuidasi, baik keuangan jangka pendek maupun jangka panjang.

  c.

  Mengetahui tingkat rentabilitas Rentabilitas atau yang sering disebut dengan profitabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba selama periode tertentu.

  d.

  Mengetahui tingkat stabilitas Stabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan untuk melakukan usahanya dengan stabil, yang diukur dengan mempertimbangkan kemampuan perusahaan untuk membayar hutang-hutangnya serta membayar beban bunga atas hutang-hutangnya tepat pada waktunya.

D. Rasio Keuangan 1. Pengertian Rasio Keangan

  Menurut Harahap (2010), rasio keuangan adalah angka yang diperoleh dari hasil perbandingan dari satu pos laporan keuangan dengan pos lainnya yang mempunyai hubungan relevan dan signifikan. Kasmir (2012) mengatakan, rasio keuangan merupakan kegiatan membandingkan angka-angka yang ada dalam laporan keuangan dengan cara membagi satu angka dengan angka lainnya. Perbandingan dapat dilakukan antara satu komponen dengan komponen dalam satu laporan keuangan atau antar komponen yang ada di antara laporan keuangan.

  Analisis laporan keuangan yang mencakup analisis rasio keuangan, analisis kelemahan dan kekuatan di bidang financial akan sangat membantu dalam menilai prestasi manajemen masalalu dan prospeknya dimasa akan datang. Rasio tersebut dapat memberikan indikasi apakah perusahaan memiliki kas yang cukup untuk memenuhi kewajiban finansialnya, besarnya piutang yang cukup rasional, efisiensi manajemen persedian, perencanaan pengeluaran investasi yang baik, dan struktur modal yang baik sehingga tujuan kemakmuran pemegang saham dapat dicapai (Sartono, 2010).

2. Jenis-jenis Rasio Keuangan

  Berdasarkan sumbernya rasio keuangan perusahaan digolongkan sebagai berikut (Kasmir, 2012): a.

  Rasio – rasio neraca ( Balance Sheet Ratio ), yaitu ratio – ratio yang disusun dari data yang berasal dari neraca, misalnya current ratio, acid

  test ratio, current asset to total asset ratio, current liabilities to total asset ratio dan lain sebagainya. b.

  Rasio – rasio Laporan Laba Rugi ( Income Statement Ratio ), ialah data yang disusun dari data yang berasal dari income statement, misalnya

  gross profit, net margin, operating margin, operating ratio dan sebagainya.

  c.

  Rasio – rasio antar Laporan Keuangan ( Intern Statement Ratio), ialah ratio

  • – ratio yang disusun dari data yang berasal dari neraca dan data lainya berasal dari income statement, misalnya asset turnover, Inventory turn over, receivable turnover , dan lain sebagainya. Rasio keuangan dapat dibagi kedalam tiga bentuk umum yang sering dipergunakan yaitu : Rasio Likuiditas, Rasio Solvabilitas ( Leverage ), dan Rasio Profitabilitas

1) Liquidity Ratio (Rasio Likuiditas)

  Menurut Kasmir (2012) Rasio likuiditas atau sering juga disebut dengan nama rasio modal kerja merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur seberapa likuidnya suatu perusahaan. Caranya adalah dengan membandingkan komponen yang ada di neraca, yaitu total aktiva lancar dengan total passiva lancar (utang jangka pendek). Penilaian dapat dilakukan untuk beberapa periode sehingga terlihat perkembangan likuiditas perusahaan dari waktu ke waktu.

  Tujuan dan manfaat rasio likuditas untuk perusahaan menurut Kasmir (2012) adalah sebagai berikut:

  1. Untuk mengukur kemampuan perusahaan membayar kewajiban atau utang yang secara jatuh tempo pada saat ditagih. Artinya, kemampuan untuk 20 membayar kewajiban yang sudah waktunya dibayar sesuai jadwal batas waktu yang telah ditetapkan (tanggal dan bulan tertentu).

  2. Untuk mengukur kemampuan perusahaan membayar kewajiban jangka pendek dengan aktiva lancar secara keseluruhan. Artinya jumlah kewajiban yang berumur di bawah satu tahun atau sama dengan satu tahun, dibandingkan dengan total aktiva lancar.

  3. Untuk mengukur kemampuan perusahaan membayar kewajiban jangka pendek dengan aktiva lancar tanpa memperhitungkan sediaan atau piutang. Dalam hal ini aktiva lancar dikurangi sediaan dan utang yang dianggap likuiditasnya lebih rendah.

  4. Untuk mengukur atau membandingkan antara jumlah sediaan yang ada dengan modal kerja perusahaan.

  5. Untuk mengukur seberapa besar uang kas yang tersedia untuk membayar utang.

  6. Sebagai alat perencanaan ke depan, terutama yang berkaitan dengan perencanaan kas dan utang.

  7. Untuk melihat kondisi dan posisi likuiditas perusahaan dari waktu ke waktu dengan membandingkannya untuk beberapa periode.

  8. Untuk melihat kelemahan yang dimiliki perusahaan, dari masing- masing komponen yang ada di aktiva lancar dan utang lancar.

9. Menjadi alat pemicu bagi pihak manajemen untuk memperbaiki kinerjanya, dengan melihat rasio likuiditas yang ada pada saat ini.

  a. Current Ratio (Rasio Lancar) Current ratio atau rasio lancar merupakan rasio untuk

  mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka pendek atau utang yang segera jatuh tempo pada saat ditagih secara keseluruhan. Dengan kata lain, seberapa banyak aktiva lancar yang tersedia untuk menutupi kewajiban jangka pendek atau utang yang segera jatuh tempo.

  Rumus untuk menghitung current ratio sebagai berikut:

  CR =

  Keterangan: CR = Current Ratio / Rasio Lancar

  Current Assets = Aktiva lancar Current Liabilities = Kewajiban lancar b. Quick Ratio (Rasio Cepat)

  Quick Ratio merupakan rasio yang menunjukkan kemampuan

  perusahaan dalam memenuhi atau membayar kewajiban atau utang lancar (utang jangka pendek) dengan aktiva lancar tanpa memperhitungkan nilai sediaan (inventory). Artinya mengabaikan nilai dilakukan karena sediaan dianggap memerlukan waktu relatif lebih lama untuk diuangkan, apabila perusahaan membutuhkan dana cepat untuk membayar kewajibannya dibandingkan dengan aktiva lancar lainnya.

  Quick Ratio dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

  Quick Ratio =

  Keterangan: Quick Ratio = Rasio cepat Current Assets = Aktiva lancar Inventory = Persediaan Current Liabilities = Kewajiban lancar c.

   Cash Ratio (Rasio Kas) Cash Ratio merupakan alat yang digunakan untuk mengukur seberapa besar uang kas yang tersedia untuk membayar utang.

  Ketersediaan uang kas dapat ditunjukkan dari tersedianya dana kas atau setara dengan kas seperti rekening giro atau tabungan di bank (yang dapat ditarik setiap saat). Dapat dikatakan rasio ini menunjukkan kemampuan sesungguhnya bagi perusahaan untuk membayar utang- utang jangka pendeknya.

  Rumus untuk menghitung cash ratio sebagai berikut:

  Cash Ratio =

2) Rasio Solvabilitas

  Rasio solvabilitas adalah rasio yang menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi segala kewajibannya baik jangka pendek maupun jangka panjang apabila perusahaan dilikuidasi. Perusahaan yang mempunyai aktiva/kekayaan yang cukup untuk membayar semua hutang- hutangnya disebut perusahaan yang solvable, sedang yang tidak disebut insolvable. Perusahaan yang solvabel belum tentu ilikuid , demikian juga sebaliknya yang insolvable belum tentu ilikuid.

  Jenis-jenis rasio solvabilitas adalah sebagai berikut:

a. Total Debt to Total Assets Ratio (Rasio Hutang terhadap Total Aktiva)

  Total debt to total asset ratio merupakan persentase besarnya

  dana yang berasal dari hutang. Total debt to total assets ratio membandingkan antara hutang jangka pendek dan hutang jangka panjang dengan jumlah keseluruhan aktiva yang dimiliki. Total debt to

  total asset ratio bertujuan untuk mengukur kemampuan perusahaan

  dalam menjamin hutang-hutangnya dengan sejumlah aktiva yang dimiliki perusahaan.

  Rumus untuk menghitung total debt to total asset ratio yaitu sebagai berikut:

  Debt Ratio = x 100%

b. Total Debt to Equity Ratio (Rasio Hutang terhadap Ekuitas)

  Total debt to equity ratio adalah imbangan antara hutang yang

  dimiliki perusahaan dengan modal sendiri. Semakin tinggi rasio ini berarti modal sendiri semakin sedikit dibanding dengan hutangnya.

  Bagi perusahaan sebaiknya, besarnya hutang tidak boleh melebihi modal sendiri agar beban tetapnya tidak terlalu tinggi. Semakin kecil rasio ini semakin baik. Maksudnya, semakin kecil porsi hutang terhadap modal, semakin aman. Total debt to equity ratio digunakan untuk mengukur seberapa besar perusahaan dibiayai oleh pihak kreditur dibandingkan dengan equity.

  Rumus untuk menghitung total debt to equity ratio yaitu sebagai berikut:

  Debt to Equity Ratio = x 100%

3) Rasio Profitabilitas

  Menurut Kasmir (2012), Rasio profitabilitas merupakan rasio ini juga memberikan ukuran tingkat efektivitas manajemen suatu perusahaan. Hal ini ditunjukkan oleh laba yang dihasilkan dari penjualan dan pendapatan investasi. Intinya adalah penggunaan rasio ini menunjukkan efisiensi perusahaan.

  Tujuan penggunaan rasio profitabilitas bagi perusahaan, maupun bagi pihak luar perusahaan, yaitu:

  1. Untuk mengukur atau menghitung laba yang diperoleh perusahaan dalam satu periode tertentu.

  2. Untuk menilai posisi laba perusahaan tahun sebelumnya dengan tahun sekarang.

  3. Untuk menilai perkembangan laba dari waktu ke waktu.

  4. Untuk menilai besarnya laba bersih sesudah pajak dengan modal sendiri.

  5. Untuk mengukur produktivitas seluruh dana perusahaan yang digunakan baik modal pinjman maupun modal sendiri.

  6. Untuk mengukur produktivitas dari seluruh dana perusahaan yang digunakan baik modal sendiri.

  7. Dan tujuan lainnya. Jenis-jenis rasio profitabilitas adalah sebagai berikut: a.

   Grosss Profit Margin (Margin Laba Kotor) Gross Profit Margin merupakan perbandingan antara penjualan penjualan, rasio ini menggambarkan laba kotor yang dapat dicapai dari jumlah penjualan.

  Rasio ini dapat dihitung menggunakan rumus yaitu:

  Gross Profit Margin = b.

   Net Profit Margin (Margin Laba Bersih) Net Profit Margin merupakan ukuran keuntungan dengan

  membandingkan antara laba setelah bunga dan pajak dibandingkan dengan penjualan. Rasio ini menunjukkan pendapatan bersih perusahaan atas penjualan.

  Rumus untuk menghitung net profit margin, sebagai berikut:

  Net Profit Margin = c.

   Return On Equity (ROE) Return On Equity merupakan rasio yang digunakan untuk

  mengukur kemampuan dari modal sendiri untuk menghasilkan keuntungan bagi seluruh pemegang saham, baik saham biasa maupun saham preferen.

  Rumus untuk menghitung ROE (Return On Equity) adalah sebagai berikut:

  ROE = d. Return On Invesment (ROI)

  Hasil pengembalian investasi atau lebih dikenal dengan nama return on investment (ROI) merupakan rasio yang menunjukkan hasil (return) atas jumlah aktiva yang digunakan dalam perusahaan. ROI juga merupakan suatu ukuran tentang efektivitas manajemen dalam mengelola investasinya. Semakin kecil rasio ini semakin kurang baik, demikian pula sebaliknya. Artinya rasio ini digunakan untuk mengukur efektivitas dari keseluruhan operasi perusahaan.

  Rumus untuk menghitung ROE (Return On Equity) adalah sebagai berikut:

  ROI = e. Return On Asset (ROA) Return on Assets atau sering disebut dengan Tingkat

  Pengembalian Aset adalah rasio profitabilitas yang menunjukan persentase keuntungan (laba bersih) yang diperoleh perusahaan aset. Return on Assets (ROA) adalah rasio yang mengukur seberapa efisien suatu perusahaan dalam mengelola asetnya untuk menghasilkan laba selama suatu periode. ROA dinyatakan dalam persentase (%). ROA sering dianggap sebagai imbal hasil investasi bagi perusahaan karena pada umumnya asset modal (capital assets) seringkali merupakan asset terbesar bagi kebanyakan perusahaan. Semakin tinggi nilai ROA suatu perusahaan maka semakin baik pula kemampuan perusahaan dalam mengelola asetnya.

  Return On Assets (ROA) dapat dihitung menggunkan rumus

  persamaan sebagai berikut:

  ROA =

  Keterangan: ROA = Return On Asset EAT (Earning After Tax) = Laba setelah pajak / Laba bersih Total Assets = Total aktiva E.

   Good Corporate Governance 1.

   Pengertian Good Corporate Governance

  Menurut The Indonesia Institute for Corporate Governance (IICG, 2012), Corporate Governance (CG) merupakan serangkaian mekanisme perusahaan berjalan sesuai dengan harapan para pemangku kepentingan (stakeholder). Good Corporate Governance merupakan sistem yang mengatur serta mengendalikan perusahaan guna menciptakan nilai tambah (value added) untuk pemegang sahamnya. Forum for Corporate

  Governance in Indonesia (FCGI, 2001) menyatakan bahwa corporate governance merupakan suatu peraturan yang berkaitan dengan hak-hak

  dan kewajiban yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus yaitu yang mengelola perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, dan karyawan serta para pemegang kepentngan lainnya atau intinya adalah suatu system yang mengendalikan perusahaan.

  Nasution dan Setiawan (2007) menyatakan Good corporate governance merupakankonsep yang diajukan demi peningkatan kinerja perusahaan melalui supervisi ataumonitoring kinerja manajemen dan menjamin akuntabilitas manajemen terhadapstakeholder dengan mendasarkan pada kerangka peraturan.

2. Tujuan Pedoman Good Corporate Governance

  Tujuan penyusunan Pedoman Good Corporate Governance Indonesia yaitu sebagai acuan perusahaan untuk melaksanakan GCG dalam rangka: a.

  Mendorong tercapainya kesinambungan perusahaan melalui pengelolaan yang didasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan. b.

  Mendorong pemberdayaan fungsi dan kemandirian masing-masing bagian perusahaan, yaitu Dewan Komisaris, Direksi, dan Rapat Umum Pemegang Saham.

  c.

  Mendorong pemegang saham, anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi agar dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakannya dilandasi oleh nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.

  d.

  Mendorong timbulnya kesadaran dan tanggungjawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan.

  e.

  Mengoptimalkan nilai perusahaan bagi pemegang saham dengan tetap memperhatikan pemangku kepentingan lainnya.

  f.

  Meningkatkan daya saing perusahaan secara nasional maupun internasional, sehingga meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat mendorong arus investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang berkesinambungan (KNKG, 2006)

3. Prinsip Pokok Good Corporate Governance

  Komite Nasional Kebijakan Governance atau KNKG (2006) menyatakan bahwa setiap perusahaan harus memiliki prinsip-prinsip pokok Good Corporate Governance, yaitu: a.

  Transparency (Keterbukaan Informasi) yaitu prinsip untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan.

  b.

  Accountability (Akuntabilitas) yaitu prinsipperusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar.

  c.

  Responsibility (Pertanggungjawaban) yaitu prinsip perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.

  d.

  Independency (Independensi) yaitu prinsip untuk melancarkan pelaksanaan asas good corporate governance dimana perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.

  e.

  Fairness (Kesetaraan dan kewajaran) yaitu prinsip dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.

4. Mekanisme Corporate Governance

  Mekanisme adalah suatu aturan, prosedur, dan cara kerja yang harus ditempuh untuk mencapai kondisi tertentu (Bukhori, 2012).

  Mekanisme corporate governance merupakan suatu mekanisme yang berdasarkan pada aturan main, prosedur, dan hubungan yang jelas antara pihak-pihak yang ada dalam suatu perusahaan untuk menjalankan peran dan tugasnya.

  Struktur merupakan salah satu elemen penting dalam mekanisme

  

corporate governance . Struktur corporate governance berperan sebagai

  kerangka dasar manajemen perusahaan yang menjadi pendistribusian hak- hak dan tanggung jawab diantara organ-organ perusahaan. Struktur

  

corporate governance dibagi menjadi dua bagian, yaitu struktur

pengendalian internal dan struktur pengendalian eksternal.

a. Struktur internal corporate governance 1. Dewan Komisaris

  Dewan komisaris merupakan bagian dari corporate

  governance . Jensen (1993) dan Lipton dan Lorsch (1992) merupakan

  yang pertama menyimpulkan bahwa ukuran dewan komisaris merupakan bagian dari mekanisme corporate governance. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Allen dan Gale (2000) yang menegaskan bahwa dewan komisaris merupakan mekanisme governance yang penting.

  Menurut Komite Nasional Kebijakan GCG (2004), komisaris independen adalah anggota komisaris yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis dan hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independenatau semata-mata demi kepentingan perusahaan.

  Yemark (1996), Beaslley (1996), dan Jensen (1993) dalam penelitiannya juga menyimpulkan bahwa dewan komisaris yang berukuran kecil akan lebih efektif dalam melakukan tindakan pengawasan dibandingkan dewan komisaris berukuran besar. Ukuran dewan komisaris yang besar dianggap kurang efektif dalam menjalankan fungsinya karena sulit dalam komunikasi, koordinasi, dan pembuatan keputusan.

  Ukuran dewan komisaris yang dimaksud adalah banyaknya jumlah anggota dewan komisaris dalam suatu perusahaan. Menurut Coller dan Gregory (1999) semakin besar jumlah dewan komisaris, maka semakin mudah untuk mengendalikan Chief Executive Officer (CEO) dan semakin efektif dalma memonitor aktivitas manajemen.

  Penelitian Lorsch dan Maclver (1989) yang berbasis wawancara menemukan bahwa peranan pemberian saran (advisory) mendominasi aktivitas anggota dewan. Dengan menekankan fungsi ini Dalton dan Daily (1999) menyatakan bahwa peranan keahlian atau konseling yang diberikan oleh anggota dewan tersebut merupakan suatu jasa yang berkualitas bagi manajemen dan perusahaan yang tidak dapat diberikan oleh pasar. Anggota dewan komisaris yang memiliki keahlian dalam bidang tertentu juga dapat memberikan nasehat yang bernilai dalam penyusunan strategi dan penyelenggaraan perusahaan.

  Fungsi kontrol yang dilakukan oleh dewan komisaris diambil dari teori agensi. Dari perspektif teori agensi, dewan komisaris mewakili mekanisme internal utama untuk mengontrol perilaku oportunistik manajemen sehingga dapat membantu menyelaraskan kepentingan pemegang saham dan manajer.

  Dalam KNKG (2006), agar pelaksanaan tugas dewan komisaris dapat berjalan secara efektif perlu dipenuhi beberapa prinsip yaitu: a.

  Komposisi dewan komisaris harus memungkinkan pengambilan keputusan secara efektif, tepat dan cepat, serta dapat bertindak independen.

  b. anggota dewan komisaris harus profesional, yaitu berintegritas dan memiliki kemampuan sehingga dapat menjalankan fungsinya dengan baik termasuk memastikan bahwa direksi telah memperhatikan kepentingan semua pemangku kepentingan.

  c.

  Fungsi pengawasan dan pemberian nasihat dewan komisaris mencakup tindakan pencegahan, perbaikan, sampai kepada pemberhentian sementara.

  Dewan komisaris dapat terdiri dari komisaris yang tidak berasal dari pihak terafiliasi yang dikenal sebagai komisaris independen dan mempunyai hubungan bisnis dan kekeluargaan dengan pemegang saham pengendali, anggota direksi dan dewan komisaris lain, serta dengan perusahaan.Jumlah komisaris independen harus dapat menjamin agar mekanisme pengawasan berjalan secara efektif dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (KNKG, 2006).

  Dalam melaksanakan tugasnya, dewan komisaris dapat membentuk komite. Salah satu komite penunjang dewan komisaris adalah adanya komite audit dimana komite audit disini bertugas membantu dewan komisaris untuk memastikan bahwa laporan keuangan disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, struktur pengendalian internal perusahaan dilaksanakan dengan baik, pelaksanaan audit internal maupun eksternal dilaksanakan sesuai dengan standar audit yang berlaku, dan tindak lanjut temuan hasil audit dilaksanakan oleh manajemen. Jumlah anggota komite audit harus disesuaikan dengan kompleksitas perusahaan dengan tetap memperhatikan efektiitas dalam pengambilan keputusan. Bagi perusahaan yang sahamnya tercatat di bursa efek, perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan yang menghimpun dan mengelola dana masyarakat, perusahaan yang produk atau jasanya digunakan oleh masyarakat luas, serta perusahaan yang mempunyai dampak luas terhadap kelestarian lingkungan, komite audit diketuai oleh komisaris independen dan anggotanya dapat terdiri dari komisaris

2. Komite Audit

  Komite audit merupakan bagian dari dewan komisaris dan memiliki tanggung jawab untuk mengawasi proses pelaporan keuangan perusahaan (Klein, 2002) dan meningkatkan prosedur pengendalian internal, pelaporan eksternal dan manajemen resiko perusahaan.

  Komite audit juga berperan penting sebagai saluran untuk memfasilitasi komunikasi antara dewan komisaris, auditor eksternal, dan auditor internal.

  Berdasarkan Kep-315/BEJ/06/2000 komite audit dibentuk oleh dewan komisaris perusahaan tercatat. Menurut Bradbury (2004), komite audit bertugas membantu dewan komisaris untuk memonitor proses pelaporan keuangan oleh manajemen untuk meningkatkan kredibilitas laporan keuangan. Adanya komunikasi antara komite audit, auditor internal, dan auditor eksternal akan menjamin proses audit internal dan eksternal dilakukan dengan baik. Proses audit internal dan eksternal yang baik akan meningkatkan akurasi laporan keuangan dan kemudian meningkatkan kepercayaan terhadap laporan keuangan (Anderson, 2003).

  Komite audit bertugas sebagai penengah apabila terjadi selisih pendapat antara manajemen dan auditor mengenai interpretasi dan penerapan prinsip akuntansi yang berlaku umum, untuk mencapai keseimbangan akhir sehingga laporan lebih akurat (Klein, 2002).

  Menurut Hasnati (2006), tugas, tanggung jawab, dan wewenang komite audit adalah membantu dewan komisaris, yaitu sebagai berikut: 1)

  Mendorong terbentuknya struktur pengendalian intern yang memadai.

2) Meningkatkan kualitas keterbukaan dan laporan keuangan.

  3) Mengkaji ruang lingkup dan ketepatan audit eksternal, kewajaran biaya audit eksternal, serta kemandirian dan objektivitas audit eksternal.

  4) Mempersiapkan surat uraian tugas dan tanggungjawab komite audit selama tahun buku yang sedang diperiksa eksternal audit.

3. Kepemilikan Manajerial

  Menurut Downes dan Goodman (1999) dalam Susanti (2010) kepemilikan manajerial adalah para pemegang saham yang juga berarti dalam hal ini sebagai pemilik dalam perusahaan dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan pada suatu perusahaan yang bersangkutan. Manajer dalam hal ini memegang peranan penting karena manajer melaksanakan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengawasan serta pengambil keputusan.

  Menurut Yuli Soesetio (2007), kepemilikan manjerial adalah perbandingan antara kepemilikan saham manajerial dengan jumlah berkepentingan memaksimalkan tujuannya. Kepemilikan manajerial adalah persentase suara yang berkaitan dengan saham option yang dimiliki oleh manajer dan komisaris suatu perusahaan (Melinda, 2008). Kepemilikan manajerial merupakan salah satu cara untuk mengurangi masalah keagenan, karena kepemilikan manajerial merupakan alat pengawasan terhadap kinerja manajer yang bersifat internal.

  Kepemilkan manajerial diukur dengan proporsi saham yang dimiliki perusahaan pada akhir tahun dan dinyatakan dalam persentase.

  Semakin besar proporsi kepemilikan manajerial dalam perusahaan maka manajemen akan berusaha lebih giat untuk kepentingan saham yang notabene adalah mereka sendiri (Putu Anom, 2003). Kepemilian manajerial dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

  MNJR = 4.

   Ukuran Perusahaan

  Menurut Butar dan Sudarsi (2012), ukuran perusahaan merupakan nilai yang menunjukkan besar atau kecilnya perusahaan.

  Ukuran perusahaan adalah suatu skala dimana dapat diklasifikasikan besar kecil perusahaan menurut berbagai cara (total aktiva, log size, nilai pasar saham, dan lain-lain) (Machfoedz, 1994 dalam Widaryanti, 2009). Pada dasarnya ukuran perusahaan terbagi dalam 3 kategori yaitu perusahaan besar (large firm), peusahaan menengah (medium firm ), dan perusahaan kecil (small firm).

  UU No. 20 Tahun 2008 mengklasifikasikan ukuran perusahaan ke dalam 4 kategori yaitu usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, dan usaha besar. 1)

  Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorang dan badan usaha perorang yang memiliki kriteria usaha mikro sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang. 2)

  Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh orang perorang atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil dari usaha menengahh atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. 3)

  Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorang atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahuhanan sebagaimana diatur dalam undang-undang.

  4) Usaha besar adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan usaha dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar dari usaha menengah, yang meliputi usaha nasional milik negara atau swasta, usaha patungan, dan usaha asing yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia.

  Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2008 pasal 6, kriteria ukuran perusahaan dilihat dari segi keuangan dalam modal yang dimilikinya adalah: 1)

Dokumen yang terkait

PENGARUH INDEPENDENSI AUDITOR DAN KUALITAS AUDIT TERHADAP MANAJEMEN LABA (Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2012-2014)

11 58 15

ANALISIS PENGARUH MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE DAN KUALITAS AUDIT TERHADAP MANAJEMEN LABA (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Listing di Bursa Efek Indonesia)

0 14 20

PENGARUH LEVERAGE, PROFITABILITAS DAN CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP MANAJEMEN LABA (Studi Empiris Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia 2011 – 2013)

1 12 21

PENGARUH UKURAN DEWAN KOMISARIS, UKURAN DEWAN KOMISARIS INDEPENDEN, UKURAN KOMITE AUDIT DAN UKURAN PERUSAHAAN TERHADAP KINERJA KEUANGAN PERUSAHAAN(Studi pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia)

0 5 63

ANALISIS PENGARUH INDEPENDENSI AUDITOR, MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE, KUALITAS AUDIT DAN MANAJEMEN LABA TERHADAP INTEGRITAS LAPORAN KEUANGAN (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2010 - 2012)

2 7 7

PENGARUH EFEKTIVITAS DEWAN KOMISARIS, DAN KOMITE AUDIT, STRUKTUR KEPEMILIKAN PERUSAHAAN, DAN KUALITAS AUDIT TERHADAP PERATAAN LABA

0 0 17

PENGARUH LIKUIDITAS, KEPEMILIKAN INSTITUSIONAL, DAN UKURAN PERUSAHAAN TERHADAP KUALITAS LABA (Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2014) Riska Ananda

1 1 18

PENGARUH BEBAN PAJAK KINI DAN BEBAN PAJAK TANGGUHAN TERHADAP MANAJEMEN LABA (Studi Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2014-2016) SKRIPSI

0 0 14

PENGARUH KEPEMILIKAN INSTITUSIONAL, KEPEMILIKAN MANAJERIAL, DAN KUALITAS AUDIT TERHADAP MANAJEMEN LABA (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI)

0 0 16

PENGARUH KOMITE AUDIT, DEWAN KOMISARIS DAN PROFITABILITAS TERHADAP AUDIT FEE (Studi Empiris Pada Perusahaan LQ 45 Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Tahun 2014-2016)

0 0 13